Monday 11 February 2008

Jaman Sukarno, Jaman Suharto

Lampiran :
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari Jaman Sukarno, Jaman Suharto
BAGIAN SATU :
Jaman Sukarno, Jaman Suharto

Oleh Anton

Minggu-minggu ini kita menyaksikan sebuah drama kesehatan seseorang yang kemudian dieksploitir menjadi adegan kemanusiaan dimana eksploitasinya secara tidak sengaja ingin menguburkan sebuah komitmen hukum yang disepakati oleh rakyat melalui mekanisme permusyaratan di Parlemen dan kesepakatan itu tertuang jelas dalam TAP MPR No.XI/1998. Sebuah komitmen yang serius dari negara sebagai penyelenggara pemerintahan dimana dengan rakyat melakukan kontrak politiknya lalu dengan drama kesehatan yang cengeng itu (Cengeng! Karena kejahatan kemanusiaan Suharto puluhan juta kali lebih keji dari yang kita lihat di TV tentang Suharto) dan diperantarai oleh media yang notabene dibawah kendali kepemilikan kroni Suharto, kita rakyat sekali lagi dieksploitir rasa kasihannya lalu digiring mengarah pada sebuah pengkhianatan keadilan, entah apa namanya Deponering atau pemutihan.

Lalu dengan naifnya lagi opini digiring dengan melihat era Sukarno sebagai hal yang lebih buruk dimana era Sukarno menjadi gambaran buram tentang sejarah Indonesia. Dimana sebuah era dilabur sehitam-hitamnya menjadi gambaran buruk dan dengan hadirnya Orde Baru dengan Junta Militernya seakan-akan Indonesia diselamatkan dari nafas komunisme, diselamatkan dari kehancuran ekonomi dan diselamatkan dari keadaan negara gagal (Failure State). Padahal fakta membuktikan bahwa Orde Baru berdiri melalui proses kejahatan terhadap kemanusiaan, lalu menjual negara dan dengan basis ideologi-nya yang picik membangun masyarakat dungu dengan mengembalikan jam sejarah sebagai masyarakat kolonialisme yang diperkuli oleh para elite Orde Baru. Yah diatas puing-puing keruntuhan Sukarno, Orde Baru membangun masyarakatnya dengan basis tatanan masyarakat kolonial dalam sebuah definisi yang lebih keji.

Mari kita bertamasya sejarah apa yang sesungguhnya terjadi pada Era Sukarno (1960-1965) khususnya pada masa pasca pembubaran PSI dan Masjumi yang dianggap sempurnanya politik Demokrasi Terpimpin dan apa yang terjadi pada era Suharto (1966-1998).

Demokrasi Terpimpin (1960-1965)

Lahirnya demokrasi terpimpin tak pelak dituding sebagai awal masa diktatornya kekuasaan Sukarno (harus diperhatikan masa demokrasi terpimpin bukanlah masa kediktatoran Sukarno tapi sebuah masa krisis revolusi yang memerlukan kepemimpinan yang kuat). Menurut pendapat saya masa demokrasi terpimpin adalah bertemunya kelanjutan logis dari ketidakpuasan Angkatan Darat tahun 1952, membludaknya massa akar rumput kekuatan kiri di bawah jaringan PKI dimana ini mendorong kesadaran atas pilihan ideologi sosialis bagi bangsa Indonesia, todongan negara maju terhadap kekayaan bangsa Indonesia dan kesadaran Sukarno bahwa masa depan dunia masih dalam cengkeraman kolonialisme yang melalui kompleksitasnya menciptakan Neo Imperialisme dan Kolonialisme dimana dua kutub kekuatan Soviet dan Amerika sama-sama memberlakukan sistem politik Nekolim ini. Faktor-faktor inilah yang kemudian menciptakan sebuah gerakan politik konsolidasi dibawah figur Sukarno dengan panji Nasakomnya dimana semua elemen-elemen pada waktu itu memang sedang bertarung di arus bawah politik, sementara di arus atas semua kekuatan terpusat pada Sukarno.

Dari tiga kepentingan ini mari coba kita anatomi satu persatu :

Setelah kemenangan Angkatan Darat jalur Nasution-Simatupang dalam konflik internal Angkatan Bersenjata dimana sempat melibatkan kekuatan politik lokal garis kiri-radikal pada tahun 1947 (usaha Kup Jenderal Mayor Sudharsono terhadap Sjahrir), 1948 (peristiwa Madiun) dan 1949 (Terbunuhnya Tan Malaka oleh Pasukan Jenderal Sungkono sekaligus membulatkan dukungan terhadap KMB) menjadikan kekuatan Angkatan Darat sepenuhnya dibawah kendali Nasution-Simatupang yang moderat.

Kemenangan Nasution membuat Angkatan Darat merasa memiliki saham politik terbesar atas kemenangan daulat Indonesia yang secara bulat diakui dunia internasional pada Desember 1949. Namun setelah dibubarkannya RIS dan kembali dalam bentuk NKRI, Angkatan Darat tersingkirkan dari kancah politik sehari-hari. Kekuatan politik berada di tangan partai-partai politik terutama Masjumi, Partai Sosialis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia. Beberapa kekuatan politik ada yang sengaja menarik Nasution cs ke dalam dunia politik sipil untuk menambah mesiu melawan lawan-lawan politiknya, di garis inilah kemudian Nasution bertanggung jawab menggiring militer untuk melibatkan dirinya ke dalam daulat politik sipil dan menjadi benih awal masuknya kekuatan militer sebagai bagian variabel politik sipil yang seharusnya diharamkan dalam negara modern menurut ukuran-ukuran barat.

Peristiwa Oktober 1952 sendiri memang merupakan gerakan Nasution yang gagal namun gerakan ini merupakan pintu pembuka untuk lebih berkuasanya para perwira tinggi Angkatan Darat dalam sektor-sektor sipil terutama di bidang ekonomi dan politik. Hal ini sesungguhnya sudah tidak disukai oleh kalangan PSI yang terkenal anti fasis dan militerisme namun PNI banyak mengambil manfaat dari masuknya militer ke sektor sipil dimana kekuatan militer kerap menjadi kekuatan yang saling bersinergi dengan kelompok nasionalis-birokrat dari sinilah kemudian tercipta papan atas politik Indonesia dari struktur priyayi-militer dimana struktur ini menjadi elite yang secara riil berkuasa di Indonesia.

Tumbuhnya papan atas elite pemerintahan yang didukung militer berbarengan dengan tumbuhnya kekuatan massif rakyat kecil yang didorong oleh para pemimpin komunis yang masih muda-muda dan lolos dari peristiwa Madiun 1948. Kemampuan para pemimpin Komunis muda di bawah empat serangkai : DN Aidit, Njoto, MH Lukman dan Sudisman membuat gemas beberapa elite pemimpin partai politik dan kekuatan militer yang takut akan bangkitnya komunis karena mereka sendiri pernah membantai kekuatan komunis dalam peristiwa 1948. Bangkitnya kaum komunis ini bukannya tidak diantisipasi oleh kekuatan kanan, Razia Agustus 1951 menunjukkan bahwa kekuatan kanan menolak akan bangkitnya komunis (Razia Agustus ini menangkap orang secara serampangan jadi asal dicurigai kiri harus ditangkap). Namun razia agustus 1951 lebih cenderung pada memenuhi keinginan Amerika Serikat yang saat itu sedang dibayang-bayangi ketakutan imajiner senator Joseph MacCarthy. Lewat proyek MSA-nya beberapa orang pemimpin teras partai politik terlibat dan kemudian MSA proyek dibongkar oleh kelompok Masyumi sendiri dibawah pimpinan Natsir dimana tujuannya adalah menyingkirkan pemimpin Masyumi yang berkuasa di pemerintahan Soekiman Wirjosandjojo. Terhentinya razia agustus yang lebih dikenal sebagai razia Soekiman membuat PKI bisa leluasa terus bergerak dan akhirnya DN Aidit memboyong papan nama ukiran Jepara dari Kampung Kranggan, Yogyakarta ke Jakarta untuk dipampang di Markas Besar PKI sekaligus menasbihkan PKI sebagai kekuatan politik legal.

PKI yang berhasil menyelenggarakan kongresnya dan menyingkirkan kekuatan Tan Ling Djie, jago tua PKI yang tidak menghendaki PKI bergerak secara legal sebelum memiliki kekuatan jelas. Tersingkirnya Tan Ling Djie ini sekaligus menandai era pertentangan PKI dengan Sukarno. Di jaman revolusi 1945-1949 para pemimpin PKI menganggap remeh kekuatan Bung Karno dan menjuluki Bung Karno adalah tipe pemimpin Nasionalis Borjuis yang juga kerap dianggap tidak mengerti jalannya revolusi kiri. Pandangan itu masih lekat pada para pemimpin tua yang telah bergerak melawan Belanda sejak tahun 1920-an. Namun pemimpin-pemimpin baru PKI adalah anak-anak muda yang lahir di tahun 1920-an. Semua pemimpin PKI muda mengawali perjuangannya dalam pergerakan anti politik Jepang. Mereka dekat sekali dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Bahkan DN Aidit adalah anak didik kesayangan Hatta karena pintarnya dan MH Lukman diberikan nama oleh Bapaknya dengan nama awal Mohammad Hatta. Njoto adalah orang yang mengerti benar jalan pikiran Sukarno sehingga kerap menuliskan pidato untuk Bung Karno untuk dibacakan pada upacara 17 Agustus. Sudisman lebih merupakan seorang Sukarnois ketimbang Marxist hal ini bisa dibaca dari pledoinya menjelang kematiannya di tahun 1968 yang membuat heboh para intelektual Indonesia.

Sukarno sedari awal sudah memahami dua kekuatan yang tumbuh akibat revolusi kemerdekaan Indonesia. Kekuatan elite yang banyak digawangi secara intelektual oleh PSI, Birokrasi oleh PNI serta perusahaan-perusahaan negara yang banyak diisi oleh perwira militer Angkatan Darat. Serta kekuatan bawah yang dipimpin oleh PKI dan sesungguhnya kekuatan bawah ini adalah massa pendukung setia Sukarno yang masih melihat negara daulat Indonesia belum tercapai sepenuhnya. Sukarno harus bisa mengendalikan ini semua agar Indonesia jangan terpecah seperti India Pakistan, Korea atau Vietnam. Sukarno paham bahwa persatuan Indonesia adalah syarat mutlak sementara di timur Indonesia kekuatan Belanda masih bercokol di Irian Barat.

Banyak para intelektual Komunis terutama dari garis anti Stalinis menuding bahwa DN Aidit terlalu mempermainkan nama komunis dalam pergolakan politik di Indonesia. Menurut mereka PKI dibawah pimpinan DN Aidit hanyalah pendukung Sukarno. Dan bila Sukarno mati maka PKI-pun akan mati. Hal ini kelak memang terbukti pada saat Suharto melakukan tawar menawar politik dimana Suharto menggunakan media massa sebagai pembangkit opini dan menggerakkan secara psikologis histeria massa lalu membantai 500 ribu sampai 3 juta nyawa dimana pembantaian itu dipelintir sebagai bagian dari kekejaman PKI. Suharto menaruh pembunuhan PKI sebagai daya tawar terhadap Sukarno, jelas ini merupakan Skak Mat terhadap Sukarno, karena Sukarno tahu bahwa kekuatan riilnya justru ada di PKI. Bung Karno sendiri tidak mempercayai lagi PNI yang sudah redup seiring dengan pemborjuisan para pemimpinnya sejak kepemimpinan Hardi di tahun 1950-an.

Independensi Indonesia

Dari seluruh kerja politik Sukarno di tahun 1960-1965 adalah sebuah usaha sungguh-sungguh untuk melepaskan ketergantungan Indonesia pada negara maju dan pembersihan unsur-unsur kolonialisme yang masih tersisa. Untuk itulah kerja politik Bung Karno ini disebut sebagai ‘Revolusi’ dan merupakan kelanjutan revolusi kemerdekaan 1945-1949. Orang yang tidak memahami maksud Sukarno dan gagal melihat visi Sukarno tentunya menggambarkan revolusi Sukarno sebagai halusinasi. Dan teori halusinasi Sukarno inilah yang kemudian dilihat sebagai gambaran kegagalan Bung Karno dalam mengelola negara karena menuduh Sukarno abai terhadap persoalan-persoalan ekonomi. Padahal apa yang dilakukan Bung Karno tidak sekedar mengelola negara tapi membawa negara pada kemakmuran dan syarat penting kemakmuran bagi Bung Karno adalah jelas : Independensi total Indonesia terhadap asing. Dengan kata lain independensi itu membuka ruang Kepemilikan Kapital yang sah atas nama Bangsa Indonesia.

Tatanan dunia pasca kekalahan Jerman di Eropa dan Jepang di Asia sudah berubah total. Amerika Serikat dan Inggris sadar bahwa bentuk-bentuk kolonialisme dan Imperialisme yang selama ini dipratekkan sejak abad 16 sudah harus ditinggalkan. Mereka sadar bahwa penguasaan ruang penaklukan dengan memasukkan unsur-unsur administrasi dalam pemerintahan negara jajahan sudah tidak efektif lagi karena bangkitnya nasionalisme di kalangan negara-negara jajahan. Karena sejak terjadinya revolusi industri dan membludaknya barang-barang produksi maka yang dibutuhkan bukan hanya hasil mentah dari negara jajahan tapi juga adalah pasaran terhadap pembelian barang-barang produksi itu. Dan pembeli itu adalah rakyat yang sangat besar jumlahnya di negara-negara bekas jajahan. Dengan menguasai ruang pemerintahan jajahan secara langsung efektifitas imperialisme tidak lagi efektif karena diperlukan biaya-biaya jajahan dan biaya sosial yang cenderung tinggi. Maka untuk melanjutkan kelangsungan ekonomi negara-negara maju, pemerintahan negara jajahan bisa saja diberikan kepada pemerintahan pribumi asalkan kepentingan ekonomi mereka secara esensial tidak terganggu. Dan untuk tidak terganggu kepentingannya maka negara maju harus menciptakan :

1. Ketergantungan negara-negara baru eks jajahan terhadap ekonomi negara maju
2. Mengendalikan pemerintahan negara eks jajahan dimana pemimpin pribumi mereka menjadi boneka asing yang bisa dikendalikan sepenuhnya oleh negara maju.
3. Memberikan ruang kenyamanan yang besar pada tingkat elite juga lapisan menengah dimana mereka adalah pengendali kekuasaan negara. Akses modal, pendidikan, gaya hidup lintas negara, pikiran terbuka, tingkat penghasilan yang memadai jauh diatas mayoritas rakyat, dan sebagai agen-agen pembentuk susunan masyarakat yang tergantung pada asing. Di pundak merekalah negara-negara eks jajahan dikendalikan agar tercipta hubungan yang saling memanfaatkan antara kelas elite dengan negara maju.
4. Nilai tambah paling besar dari sebuah rangkaian proses produksi diberikan pada negara maju kemudian setelahnya diberikan pada lapisan elite negara eks jajahan. Jadi disini berkembang bukan hubungan G to G (Government to Government) tapi Government to Elite. Kesejahteraan rakyat kecil tidak lagi menjadi objek paling penting.
5. Mendorong agar kaum elite negara berkembang terbiasa dengan sikap korupsi, kolusi dan nepotisme karena perilaku inilah yang dijadikan benteng paling kuat menghadapi gelombang dinamika kelas dan sosial di kalangan masyarakat negara eks jajahan. Kaum elite dengan senjata KKN menjadikan mereka sebagai tuan-tuan baru dari sistem neo feodalisme dimana ketergantungan kaum bawah terhadap kelas diatasnya sangat tinggi sehingga kaum bawah sulit bersatu untuk mengadakan gerakan-gerakan rakyat.

Sukarno yang sudah terlatih dalam memahami gelombang sejarah tentunya sudah menebak ke arah mana dunia bergerak. Hal ini bisa kita lihat kemampuan Sukarno dalam melakukan taktik-taktik politiknya yang cenderung memanfaatkan kekuatan lawan untuk kepentingan politiknya tanpa harus mengeluarkan tenaga atau bertarung frontal. Melihat realitas dunia yang sudah berubah serta perkembangan politik Indonesia yang nyaris mengalami perpecahan maka jalan satu-satunya adalah menyatukan kekuatan politik inti dan membubarkan kekuatan-kekuatan politik yang cenderung menjadi mesin perpecahan persatuan Indonesia.

Tahun 1960 muncullah gagasan yang dianggap aneh oleh barat (dunia kapitalis) dalam tatanan politik Indonesia yang kerap disebut sebagai sebuah gaya sinkretisme Indonesia, NASAKOM. Nasionalisme (dalam hal ini Sukarnois), Agama (mewakili kekuatan NU dan Muhammadiyah serta beberapa organisasi keagamaan non Islam) dan Komunis (dalam hal ini lebih pada PKI). Nasakom adalah bahasa Sukarno untuk menyebut persatuan. Sedari muda Sukarno sudah sadar bahwa tiga aliran besar ini yang menjadi inti dari dinamika pergerakan politik Indonesia. Bila dulu Belanda berhasil mengamputasi Komunis maka pada era kemerdekaan Indonesia, Komunis harus dimasukkan kembali ke dalam struktur kekuatan politik Indonesia agar jangan terjadi gelombang perpecahan baru. Dan bersama-sama menghadapi kekuatan Neo Kolonialisme yang sudah terang-terangan berdiri di Malaysia dan Singapura. Melalui persatuan politik Nasakom-lah Indonesia mampu mewujudkan cita-cita besar Indonesia yang independen sebagai jalan untuk menuju kemakmuran sesungguhnya.

Jadi Nasakom bukanlah sebuah proyek Megalomania Sukarno yang kerap banyak dituduhkan oleh barat. Nasakom adalah syarat persatuan dan kesatuan. Tanpa itu kita kalah terhadap hegemoni negara-negara maju. Kita harus bersatu, karena dengan persatuan sebagai syarat mutlak alat perjuangan kita bisa mengalahkan majikan kapitalis yang setelah sekian ratus tahun merongrong bumi Indonesia.

Banyak orang menuduh Sukarno nggak ngerti pembangunan ekonomi. Padahal jarang orang yang ingat Sukarno telah menyusun Dekon, sebuah konsep terukur pembangunan fisik Indonesia pada tahun 1963. Walaupun dalam pelaksanaannya sering disabot dan dimanfaatkan oleh kelompok militer namun program itu berjalan dengan baik sampai pada kudeta Suharto tahun 1965-1967.

Hanya satu kesalahan besar Sukarno dimata barat yang kemudian banyak melahirkan tulisan-tulisan ilmiah barat termasuk berita-berita dari majalah TIME bahwa Sukarno membawa kebangkrutan bagi bangsa Indonesia. Dan tulisan itu sedikit banyak memberikan gambaran yang keblinger terhadap Sukarno. Kesalahan Sukarno itu adalah : Beliau tidak mau menjual Indonesia ke tangan Kapitalis. Sesungguhnya mudah bagi Sukarno bila ingin menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang maju, karena kepemimpinannya sudah kuat. Tapi Sukarno mempunyai wawasan jangka panjang. Jangan sampai negeri ini jatuh ke tangan kaum kapitalis lewat utang atau ketergantungan ekonomi. Kemajuan harus diperoleh dengan sikap Berdikari. Inilah yang kemudian menjadi pangkal awal dari tuduhan Sukarno adalah anti barat dan anti modernisasi. Padahal apa yang dimaui Sukarno adalah sikap independen bangsa Indonesia agar kekayaan bangsa ini tidak dijual ke tangan kapitalis.

Jagoan yang dielus-elus barat dan secara serampangan disebut sebagai pemimpin yang memodernisasi Indonesia adalah Suharto. Suharto dianggap ‘sukses’ membangun perekonomian Indonesia. Jakarta menjadi kota metropolitan dunia dan seluruh sarana infrastruktur dibangun dengan tekun. Namun apa yang dimaui barat adalah agar Indonesia mau berhutang dengan mereka dan menjadikan Indonesia memiliki ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap negara maju agar negara maju bisa mendikte Indonesia dan menguras kekayaan alam Indonesia dengan harga murah. Suharto melakukan pembangunannya dengan dimulai membunuhi jutaan nyawa, membentuk rezim teror dan membangun susunan masyarakat yang konsumtif, tidak produktif, serta lembek. Dan hasilnya kita bisa lihat. Suharto turun dengan meninggalkan utang sebesar 140 milyar dollar AS. Ini artinya seluruh rakyat Indonesia termasuk bayi-bayi yang baru lahir harus membayar sekitar 3.500 dollar AS untuk utang-utang yang dipergunakan memperkaya keluarga Cendana dan kroni-kroninya.

Melihat kenyataan yang dialami Indonesia saat ini, maka kita harus ingat ucapan paling terkenal oleh Bung Karno : GO TO HELL WITH YOUR AID!!!! Bagi kapitalis barat ucapan ini adalah sebuah benteng besar yang menghalangi Indonesia pada konsepsi negara modern. Namun Sukarno tahu bahwa iming-iming modernisasi dipastikan menyertai utang yang ujung-ujungnya adalah ketergantungan bangsa ini kepada negara maju dan ini sama saja mengantarkan Indonesia ke dalam bentuk jajahan baru. Sukarno jelas tidak mau menjual bangsa ini. Dan bisa kita saksikan sekarang dampak globalisasi dan kapitalisme di negara dunia ketiga dimana mereka terus menerus dihisap dan dipermainkan kekuatan negara maju. Jadi pernyataan Sukarno dalam pidatonya bukan pernyataan bermakna politik tapi lebih jauh lagi yaitu : Pernyataan Kebudayaan!....Sukarno ingin membentuk budaya bangsa yang berdikari, karena dengan berdikarinya sebuah bangsa maka kemakmuran tidak akan sukar diraih. Tapi sayangnya cap ini itu terhadap Sukarno yang dimotori negara-negara barat kemudian malah mengaburkan apa keinginan Sukarno untuk bangsa Indonesia. Yaitu menciptakan susunan masyarakat yang merdeka sebenar-benarnya....



Pergolakan politik Asia Tenggara

Pergolakan politik Asia Tenggara pasca 1945 tak terlepas dari pengaruh dua wilayah yaitu : Indonesia dan Vietnam. Dua negara ini mengalami sejarah yang hampir serupa yaitu merebut kembali hak berkuasa rakyat pribumi terhadap penjajahan asing. Hanya bedanya di Indonesia pengendali revolusi lebih plural sementara di Vietnam pemegang rol revolusi adalah kekuatan homogen yaitu orang-orang komunis yang soliditasnya sangat tinggi ini terbukti mereka berhasil mengusir Perancis dan Amerika Serikat. Di Indonesia hanya berhasil -mengusir Belanda tapi gagal mengusir kekuatan Amerika Serikat-Jepang-Inggris dimana tiga kekuatan ini kemudian menjadi penting setelah berdirinya pemerintahan Junta Militer Orde Baru.

Pergolakan politik di Asia Tenggara menjadi sangat kritis ketika Amerika Serikat secara sepihak mendukung perpecahan Vietnam dengan mendukung pemerintahan Saigon di Vietnam Selatan setelah sebelumnya mengalami kegagalan total dalam usahanya mendirikan negara boneka PRRI di Sumatera.

Setelah kegagalan PRRI maka Amerika Serikat memutuskan menggunakan cara lain dalam berhadapan dengan Indonesia. Kekuatan bersenjata terfokus di Vietnam Selatan karena bagaimanapun pemerintahan Komunis sudah berdiri di Hanoi sementara Jakarta masih dinilai berwarna merah jambu karena ada faktor Nasution yang sangat anti PKI. Keengganan Amerika Serikat untuk masuk ke dalam peperangan melawan Sukarno juga merupakan keputusan strategis karena Sukarno dinilai masih sangat kuat wibawanya di mata bangsa Indonesia, melawan Sukarno berarti melawan bangsa Indonesia dan ini bisa meruntuhkan nama Amerika Serikat sebagai negeri yang menjaga imej sebagai negeri kebebasan menjadi negeri tukang jajah. Untuk menghadapi keras kepalanya Sukarno akhirnya diputuskan dengan mengadakan operasi intelijen secara terus menerus. Dan melakukan penyusupan yang intensif ke tubuh Angkatan Darat. AD dinilai AS masih bisa dikendalikan karena kekuatan Sukarno tidak begitu mengakar kuat disana.

Sukarno yang sudah mendeklarasikan politik Nasakom serta dibayangi keberhasilannya mengadakan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung melangkah lebih jauh lagi. Yaitu memberi penyadaran terus menerus akan bahaya imperialisme jenis baru. Sayangnya penyadaran Sukarno justru diserang oleh sekelompok intelektual yang tidak begitu mengerti jalannya gelombang sejarah masa depan. Intelektual jenis ini berhaluan moderat, cinta kebebasan bersuara, pro demokrasi gaya barat dan realistis. Kelompok ini banyak berdiam di PSI, partai sosialis kanan yang dibubarkan Sukarno tahun 1960. Kelak eks anggota PSI banyak berperan dalam proses penjungkalan Sukarno namun segera juga berseberangan dengan Orde Baru pada era tahun 1970-an.

Seperti hal-nya seorang Nabi yang selalu gagal memberikan pencerahan pada bangsanya sendiri, begitulah nasib Sukarno. Sebagai pemimpin ia memang berhasil memerdekakan bangsa Indonesia, memimpin Indonesia melewati masa-masa sulit saat perang Kemerdekaan 1945-1949, berhasil membawa Indonesia mendapatkan posisi terhormat di dunia Internasional dalam peranannya untuk mengkampanyekan kemerdekaan negara-negara yang masih terjajah dan membangun rasa kebanggaan bangsa Indonesia. Namun gagal dalam memberikan pencerahan terhadap antisipasi bangsa penguasaan kembali bangsa asing lewat Imperialisme gaya baru yang menurut bahasa Jenderal Yani disebut sebagai Nekolim : Neo Kolonialisme Imperialisme.

Sukarno sendiri dihadapkan pada belum siapnya bangsa Indonesia dalam melakukan konsolidasi kekuatan ekonomi. Itu memang kelambanan Sukarno. Lambatnya Indonesia memasuki era industri adalah karena antisipasi Sukarno untuk tidak menjebak Indonesia ke dalam permainan bangsa asing. Satu hal yang jarang diperhatikan oleh pengamat sejarah Indonesia tentang masa Sukarno adalah kehati-hatian Sukarno dalam melakukan kontrak-kontrak investasi dengan bangsa asing. Sukarno sangat keras kepala bila dihadapkan pada posisi Indonesia yang merugikan. Ini terlihat pada proses-proses kontrak investasi di pertambangan dan perkebunan peninggalan Belanda. Perlu diperhatikan juga gerakan Sukarno dalam menentang hegemoni asing yang masih tersisa dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda adalah sebuah keuntungan yang besar bagi perwira Angkatan Darat yang banyak masuk ke dalam sektor ekonomi setelah perginya para investor asing. Kelak di kemudian hari perwira-perwira bisnis inilah yang banyak berperanan di masa Suharto.

Sukarno menginginkan bahwa semua pengerjaan industri dan ekonomi Indonesia sepenuhnya dilakukan oleh bangsa Indonesia. Namun sebelumnya Indonesia harus aman dulu dari gangguan Nekolim. Jelas bahwa proyek Nekolim berdiri di depan mata bangsa Indonesia seperti berdirinya Federasi Negara Malaysia disertai dengan berdirinya Singapura sebagai negara sendiri yang menurut Sukarno adalah pangkalan dari Nekolim untuk mengepung Indonesia. Memang waktu itu banyak kaum intelektual yang mentertawakan Sukarno dengan gagasan yang dianggap halusinasi. Sukarno sendiri secara sadar untuk menanggulangi bahaya Nekolim maka Indonesia harus mempunyai kekuatan internal yang kemudian ditemukan pada jargon Sukarno, Trisakti :

Berdikari dalam ekonomi
Berdikari dalam politik
Berkepribadian Indonesia

Coba anda perhatikan sekarang apa yang diramalkan Sukarno tentang bahaya Nekolim. Singapura telah menjadi kekuatan keuangan terbesar di Asia Tenggara. Bahkan dalam prosesnya Singapura telah membeli sumber-sumber ekonomi bangsa Indonesia dengan cara yang legal seperti Indosat dan banyak perusahaan keuangan di Indonesia. Hampir seluruh proses investasi modal melalui Singapura baik itu hot money ataupun Foreign Direct Investments. Dana milik pengusaha Indonesia keluar masuk lewat Singapura baik itu dana legal maupun dana illegal, bahkan sampai sekarang Singapura menolak melakukan ratifikasi perjanjian ekstradisi untuk para maling dari Indonesia. Sementara Malaysia sendiri menjadi proyek kapitalisme yang sampai sejauh ini paling berhasil di Asia Tenggara. Namun perlu diperhatikan apa yang dilakukan Malaysia adalah mengambili kekayaan bangsa Indonesia yang sangat besar, bukan itu saja pembangunan infrastruktur Malaysia tergantung sekali dengan tenaga Indonesia yang diperkuli oleh mereka. Indonesia sendiri kelak di akhir era Suharto menjadi negara paling gagal menerapkan kapitalisme modern. Terbukti modernisasi yang dibawa Suharto tidak membawa kesejahteraan bagi bagian besar bangsa Indonesia dan Indonesia menjadi ‘bangsa yang sakit’ di Asia Tenggara. Ini adalah tragedi Indonesia yang tadinya merupakan bangsa terbesar, dihormati dan sumber inspirasi bukan saja bagi bangsa-bangsa Asia Tenggara tapi juga bangsa lain di dunia kini menjadi bangsa yang separuh gagal. Masih beruntung gagasan Nasionalisme Sukarno masih teramat kuat di Indonesia bila tidak kita akan menyaksikan perpecahan di Indonesia pasca lengsernya Suharto. Mengapa bisa begitu?


Kapitalisme Yang Mengabaikan Hak Milik Bangsa

Dari semua kerja politik Sukarno dimasa Nasakom yang paling penting adalah sebuah gagasan inti namun jarang diperhatikan orang yaitu : Berdaulat penuh terhadap kekayaan bangsa Indonesia. Indonesia merdeka adalah Indonesia yang memiliki daulat ekonomi dimana kepentingan rakyatnya menjadi sasaran utama perhatian. Namun untuk menuju ke arah kedaulatan ekonomi Sukarno harus memberantas dulu penyakit-penyakit feodalisme dan kolonialisme yang rupanya banyak bersarang di kalangan elite politik dan militer. Secara sadar Sukarno menggunakan PKI untuk bertarung dengan mesin elite ini sekaligus menjaga keseimbangan agar pertarungan itu tidak melibatkan pihak asing.

Memang terkadang perlawanan PKI terhadap kelompok elite ini dirasakan terlalu keras. Namun PKI sama sekali tidak pernah melakukan perlawanan dengan melewati batas kekuasaan Sukarno. Hanya sekali saja PKI mengumbar orasi politiknya yang melewati batas Sukarno yaitu saat kampanye pembubaran HMI dimana di depan Sukarno, DN Aidit menyebut bahwa pejabat tinggi menghinakan kaum wanita, berfoya-foya tapi tidak memperhatikan rakyat disamping menyuruh pemuda PKI memakai sarung saja kalau tidak bisa membubarkan HMI.

Perekonomian di masa Sukarno memang cenderung tidak mendapatkan perhatian. Hatta sendiri kerap menyatakan kepada kawan-kawan dekatnya bahwa Indonesia akan segera runtuh bila Sukarno tidak memperbaiki kondisi perekonomian dengan segera. Namun bertahun-tahun Hatta mengucapkan itu, toch Indonesia dimasa Sukarno tetap kuat bahkan mampu menyelenggarakan dua kali proyek perang besar yaitu dengan Belanda pada masa perebutan Irian Barat dan proyek perang di perbatasan Malaysia dengan Inggris sebagai lawan utama. Namun ternyata Sukarno akhirnya dikalahkan oleh sebuah peristiwa aneh yang digerakkan oleh Letkol Untung, komandan pasukan pengawal pribadi Sukarno, Tjakrabirawa dimana enam Jenderal terbunuh pada peristiwa itu. Sukarno tidak runtuh oleh kegagalan ekonomi tapi dibunuh karier politiknya oleh konspirasi paling misterius abad 20. Gerakan 30 September 1965.

Selama dua tahun lebih sejak peristiwa Gerakan Tiga Puluh September kekuasaan Sukarno dipreteli pelan-pelan. PKI jelas sudah habis bahkan satu hari setelah terjadinya gerakan Untung. Dan dua bulan setelah gerakan Untung para anggota PKI nyaris habis dibunuhi oleh massa yang marah karena membaca opini media massa yang digerakkan oleh Angkatan Darat pro Suharto dimana dalam berita-berita itu Suharto menyebarkan berita bohong tentang kekejaman gerakan Untung dan dikatakan ditunggangi oleh PKI. Sukarno tidak mau membubarkan PKI dan mahasiswa-mahasiswa yang dipersiapkan oleh militer bergerak menantang kekuasaan Sukarno. Di tangan para intelektual muda yang terpengaruh paham kebebasan barat keangkeran Sukarno dibongkar habis-habisan bahkan sampai tahun 1970-an nama Sukarno terus dihina sebagai bagian hitam sejarah Indonesia, terutama sekali jurnalis Mochtar Lubis sampai pada peristiwa Malari 1974 selalu memburuk-burukkan Sukarno.

Hilang Sukarno datanglah Suharto. Munculnya Suharto sebagai kekuatan tandingan Sukarno sama sekali diluar prediksi ahli politik manapun. Bahkan CIA menggembar-gemborkan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti siapa Suharto. Namun hal ini patut diragukan karena bagaimanapun Suharto sejak awal tahun 1960-an dekat dengan Jenderal Suwarto yang kerap dituding sebagai otak intelektual pembaratan di Indonesia yang anti terhadap Sukarno. Suwarto oleh banyak kalangan Sejarawan disebut-sebut sebagai otak dari berdirinya Orde Baru dimana militer ambil peranan.

Pada awalnya gerakan kudeta Suharto yang diselubungi surat Sukarno yang dipelintir dan penuh aroma konspirasi ‘Supersemar’ didukung oleh kelompok modernis Indonesia yang banyak bercokol di kalangan PSI dan secara lokasi berpusat di Bandung. Gagasan Orde Baru adalah gagasan modernisasi Indonesia. Suharto pada awalnya masih meraba-raba dukungan yang akan diperolehnya. Ini merupakan karakter politiknya. Ia menyimpan dulu anak buahnya yang asli di dalam kotak dan menggunakan kekuatan radikal anti Sukarno yang militan –kelak pendukung Suharto yang militan ini berakhir menyedihkan seperti HR Dharsono yang dipenjara pada tahun 1980-an - . Mereka ini adalah orang-orang PSI, para mahasiswa yang terpengaruh ideologi modernisasi barat/Amerika dan perwira tinggi Siliwangi, sebuah kekuatan militer di Jawa yang tidak terpengaruh oleh emosi Sukarnois. Ketiga kekuatan ini dimainkan Suharto dan dijadikan lansekap politik Orde Baru untuk berhadapan langsung dengan kekuatan Sukarno. Untuk berhadapan dengan Sukarno, Harto tidak menggunakan kekuatan militernya karena ia yakin bahwa Brawijaya dan Diponegoro masih berada di belakang Bung Karno. Namun Bung Karno juga sudah terkena Skak Mat karena sikapnya yang tidak jelas terhadap G 30 S pada awal mulanya walaupun kelak Bung Karno mengeluarkan kesimpulan dalam pidato pertanggung jawaban Nawaksara yang sampai saat ini adalah paling lengkap dari teori-teori konspirasi G 30 S. Namun Suharto dengan kelihaiannya sudah menguasai media massa, histeria massa sudah digiring sementara kaum intelektual yang berorientasi barat-liberal dan sosialis kanan sepenuhnya berada di belakang Suharto karena berharap Indonesia akan di modernisir setelah kejatuhan Sukarno.

Kaum Modernis Yang Tidak Sabaran

Sepanjang sejarahnya Sukarno selalu ditentang tiga unsur kekuatan : Islam dari jalur modern (baik pendukung Pan Islamisme ataupun Negara Islam), Sosialisme Kanan yang pro barat, dan Komunisme (Komunis-Nasionalis,Trotskys dan Komintern). Dari ketiga unsur inilah Sosialis Kanan yang paling militan menentang Sukarno. Kekuatan Islam walaupun menentang Sukarno namun bagian besar dari mereka mendukung. Bagaimanapun Sukarno adalah anak didik Tjokroaminoto ‘Raja Jawa tanpa mahkota’ dari Sarekat Islam, pernah menjadi guru Muhammadiyah di Bengkulu dan menjadi pendukung Muhammadiyah yang utama serta tidak boleh lupa Sukarno adalah anak Jawa Timur basis dari pendukung NU. Otomatis kekuatan penentang Sukarno dari kalangan Islam biasanya tidak berbasis kebudayaan Jawa, terpengaruh konsepsi negara Islam dan Pan Islamisme atau menjadi kekuatan Islam tarekat yang memiliki pengaruh mistis dan kuat seperti kelompok DI/TII. Boleh dikatakan untuk kalangan Islam Sukarno masih menguasai 80% dukungan. Faktor PKI-lah yang menjauhkan Bung Karno dari kalangan Islam. Namun sepanjang sejarah kepemimpinan Islam di Indonesia, Bung Karno tetap merupakan pemimpin yang paling menonjol dan dijagokan umat Islam Indonesia. Sementara untuk Komunisme, Sukarno ditentang karena masalah yunioritas dia dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bagaimanapun ketokohan Sukarno datang belakangan sesudah gerakan Komunis yang berani melawan koloni Belanda di Jawa dan Sumatera. Nama Sukarno muncul justru setelah kegagalan pemberontakan Komunis 1926/1927 dimana akibatnya pembuangan besar-besaran ke Digoel. Sukarno mengisi kekosongan kekuatan PKI dan membangun jalur politik garis tengah dengan jualan utamanya yaitu : Nasionalisme. Sukarno memang agak diremehkan oleh jago-jago tua komunis tapi anehnya para jago tua itu selalu menggunakan nama Sukarno untuk meraih tujuan-tujuan politiknya. Puncaknya adalah ketika Wikana yang memang seorang kader muda Komunis mendesak Sukarno dan Hatta memerdekakan Indonesia ini tidak lepas dari desakan jago-jago tua komunis untuk mendesak Wikana agar Sukarno diusulkan menjadi pemimpin. Begitu juga ketika Tan Malaka kembali lagi ke kancah politik Indonesia. Tan Malaka pada awalnya langsung ingin menggoyang kedudukan Bung Karno dengan menggunakan Sjahrir namun Sjahrir menolak karena ia tahu yang dipilih rakyat adalah Bung Karno bukan siapa-siapa. Setelah hancurnya Muso, yang juga mentor Sukarno di era ngekost di rumah Pak Tjokro dan terbunuhnya Tan Malaka. Kekuatan kiri garis keras sepenuhnya dibelakang Bung Karno seperti yang dikatakan di muka tulisan ini bahwa DN Aidit cs adalah pengekor Sukarno sejak jaman Jepang. Begitu juga dengan anak didik Tan Malaka yang langsung berada dibawah Sukarno seperti Chaerul Saleh dan Adam Malik. Jadi secara mutlak golongan garis keras Kiri yang tidak terpengaruh ajaran Sosialis Kanan alias Sosialis moderat bernadi Owenisme sepenuhnya berada dibelakang Bung Karno.

Satu golongan yang tidak mau dekat dengan kelompok Bung Karno dan memiliki jaringan pengaruh paling kuat bahkan sampai detik ini (tahun 2008) memiliki pengaruh besar atas gagasan modernisasi Indonesia dan berperanan dalam penjungkalan Sukarno serta memberikan api perlawanan terhadap Suharto sejak peristiwa Malari 1974 sampai pada gerakan Reformasi 1998 adalah Lingkaran Sjahririan yang biasa disebut orang-orang PSI dengan haluan ideologi Sosialis Kanan. Walaupun saya tidak akan menyebut hanya kelompok PSI saja yang militan terhadap kerja politik anti Sukarno tidak diragukan namun yang paling menonjol dalam proses penjungkalan sampai pemberian label buruk terhadap Bung Karno sampai pada peristiwa Malari 1974 adalah orang-orang PSI. Perlu diketahui setelah peristiwa Malari 1974 banyak dari golongan PSI dan juga orang-orang intelektual non partisan yang dulunya anti Sukarno menjadi sadar bahwa apa yang dilakukan Sukarno dalam menghadapi kekuatan asing ada maknanya. Baru setelah mereka melihat penyelundupan-penyelundupan yang dilakukan kroni Suharto, korupsi besar-besaran seperti kasus Pertamina dan Coopa juga penempatan pejabat korup yang tidak populer di kalangan masyarakat membuat kesadaran baru bahwa rezim Orde Baru merupakan rezim sinting. Namun pada saat itu Orde Baru tetaplah menjadi lambang dari modernisme yang pro barat. Ada kemungkinan bila Suharto jatuh maka yang berkuasa adalah kelompok yang dekat dengan komunis atau juga ketakutan akan berdirinya negara Islam. Jadi faktor Suharto juga merupakan fait accompli yang bisa disebut kuldesak/jalan buntu bagi kekuatan modernis Indonesia. Perlu diingat pada tahun 1970-an kekuatan Uni Soviet masih sangat raksasa sementara di Iran pada tahun 1979 terjadi Revolusi Islam Khomeini yang menjungkalkan pemerintahan Syah Reza Pahlevi yang pro Amerika Serikat. Disinilah kemudian kaum modernis tidak berani melakukan terobosan politik karena Suharto adalah satu-satunya alternatif agar Indonesia tidak jatuh ke tangan Komunis atau juga tidak menjadi negara Islam. Namun akhirnya terobosan itu menemukan efektivitasnya dengan menekankan kekuatan nasionalis yang membangkitkan aroma Sukarno, Dititik inilah kelak pada tahun 1970-an kekuatan Modernis Sjahririan dan Visi Sukarnoisme mendapatkan masa-masa bulan madunya setelah selama satu dekade penuh menghujat Sukarno. Kelompok Sjahrir ini terlepas dari anggapan sebagian orang mengatakan bahwa Sjahrir adalah sebuah ‘history of bubble’ gelembung sejarah. Namun diakui atau tidak diakui 70% jalannya sejarah Indonesia tergantung pada otak kelompok Sjahrir ini. Jadi bagi saya sendiri memulai merenungi jalannya Orde Baru haruslah lebih dulu membedah bagaimana kelompok Sjahrir bekerja dan apa maunya lalu kita korelasikan dengan Orde Baru-nya Suharto. Deviasi antara pemikiran Sjahririan dengan Orde Baru Suharto inilah yang merupakan penyimpangan dari maksud Orde Baru. Karena bagi saya Orde Baru adalah proyek modernisme PSI yang kemudian diselingkuhi oleh gagasan Nasionalisme Tangsi Suhartorian dan membawa Indonesia ke dalam lembah kebangkrutan. Dan harus diakui digiringnya konsepsi Nasionalisme Sukarno yang berdikari ke arah penyatuan Indonesia dalam kebudayaan barat merupakan antaran dari kalangan modernisme yang tidak sabaran.

Gagasan Indonesia Modern Dari Perspektif Intelektual Orde Baru

Banyak orang mengatakan bila menganatomi Orde Baru bacalah pikiran-pikiran Ali Moertopo namun saya katakan adalah kurang tepat membaca pemikiran Ali Moertopo. Justru bagi saya pemikiran Ali Moertopo baik yang tertuang dalam buku Akselerasi Pembangunan 25 tahun ataupun tindakan politiknya adalah sebuah langkah awal pengkhianatan dari modernisasi Orde Baru yang dicita-citakan kelompok modernis. Itulah makanya puncak dari perceraian Suharto dengan gagasan modernisasi Indonesia adalah pada peristiwa Malari 1974.

Hanya dua orang yang menurut saya paling tepat dalam mengarahkan cita-cita modernisme pasca Sukarno yang sempat disematkan pada pundak Orde Baru mereka berdua adalah : Soedjatmoko dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Di alam pemikiran Soedjatmoko (Koko) faktor pembangunan manusia menjadi pilihan utama. Dimensi manusia yang terbebaskan dan merupakan tujuan utama dari pembangunan sendiri merupakan pengejawantahan Marxisme dari jalur pelan. Koko tidak mengenalkan konsep revolusi yang mendahului sejarah seperti halnya konsepsi Leninis atau Maois tapi mengenalkan pada proses alami perkembangan kebudayaan manusia yang menghargai kemanusiaan dan tidak mencekal kemanusiaan ke dalam lembah penindasan. Watak utama pemikiran Koko adalah Sosialisme. Sementara Soemitro Djojohadikusomo (Cum) memiliki arti penting membentuk lingkaran yang kemudian sangat berpengaruh terhadap initial capital Orde Baru dibawah Suharto. Lingkaran itu sudah dipersiapkan Cum sejak tahun 1950-an dan menjadi sebuah arus besar ekonomi politik paling berpengaruh sampai detik ini bagi mentalitas pemikiran akademik ekonomi di Indonesia. Ekonomi Amerika. Sayangnya Koko gagal total dalam mengkampanyekan dimensi kemanusiaan dalam pembangunan dimana sesungguhnya Koko sudah tepat dalam membidik faktor manusia sebagai hal yang paling utama dalam kerangka pembebasan kemanusiaan dengan menggunakan kebudayaan modern barat yang liberal. Sementara Cum hanya berhasil dalam membentuk pengaruh wacana akademis karena akhirnya pekerjaan-pekerjaan ekonomi dengan basis maling menjadi pilihan Suharto untuk melanjutkan kekuasaannya. Disinilah yang akan menjadi pusat perhatian kita. Bagaimana Suharto menghancurkan gerak sejarah Sukarno yang bertujuan merebut secara mutlak sumber-sumber kekayaan ekonomi Indonesia sehingga tidak menjadi permainan asing, kemudian dengan menggunakan tangan kaum modernis Suharto membohongi bangsa Indonesia lewat program-program ekonomi modern yang kemudian mengamputasi kaum modernis dan membangun jaringan kekuasaan yang jahat dengan landasan sistem mafioso Italia. Dimana hasilnya sudah kita lihat dalam sejarah : Penghinaan kemanusiaan, Pembantaian manusia Indonesia berskala raksasa (kekejaman Suharto dalam membunuhi orang pada peristiwa 1965-1966 hanya bisa ditandingi oleh kekejaman pasukan SS Hitler dalam membunuhi orang Yahudi), membangun sistem nasionalisme palsu yang digunakan untuk kepentingan kekayaan segelintir elite dan yang paling fatal adalah menyusun masyarakat dengan berbasis korupsi dimana hasilnya bisa kita lihat adalah kehancuran dimana-mana. Selain ketokohan Soedjatmoko dan Soemitro Djojohadikoesoemo ada nama lain yang tak kalah hebatnya, seorang ‘Harvard Man’ berhaluan sosialis, Sarbini Soemawinata. Namun pikiran-pikiran Sarbini tidak begitu mengena dalam kultur Suhartorian, Akademik maupun wacana intelektualis kecuali memang ada pengaruhnya bagi gerakan mahasiswa tapi itu tidak seluas pikiran Koko dan Cum. Pengaruh Sarbini mungkin yang paling tinggi adalah pada awal berdirinya Orde Baru dimana modernisasi yang digadang-gadang kelompok PSI juga menyertakan wacana Sosialisme dititik inilah Sarbini memiliki arti pentingnya.

Suharto Dan Penipuan Terhadap Orde Baru

Sesungguhnya adalah salah bila mengatakan Suharto adalah tokoh yang paling berjasa terhadap Orde Baru. Justru yang paling tepat bagi saya adalah Suharto pengkhianat Orde Baru. Suharto bukan saja telah mengkhianati revolusi Sukarno (maka ia sering dijuluki celeng kontrarevolusioner dan ini adalah tafsiran saya dalam lukisan Djoko Pekik), Suharto juga berkhianat terhadap tujuan-tujuan modernisme Orde Baru dan yang paling parah dari semuanya Suharto sudah membawa jauh sekali Indonesia menyimpang dari arah tujuan Indonesia merdeka. Di tangan Suharto Indonesia saat ini sedang mengalami kebingungan terbesar, ke arah mana harus bergerak.

Suharto adalah penipu terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Pertama-tama ia menggunakan surat perintah pengamanan a-politis yang dipelintir menjadi kekuatan politik sebagai modal melawan Sukarno, kemudian menggunakan histeria massa untuk membubarkan PKI dimana alasan pembubaran itu sebelumnya didahului dengan membunuhi jutaan nyawa orang. Sungai-sungai banjir darah dan jutaan orang kehilangan nyawa, ratusan ribu dipenjara lalu belakangan ia menciptakan Gulag di Pulau Buru. Setelah melumpuhkan Sukarno, Suharto menggunakan kelompok modernis untuk bekerja mempercantik tindakan politik Orde Baru lalu kemudian menipu mereka dengan memasukkan unsur-unsur kekuasaan dalam tindakan memperkaya diri dan kroninya untuk mempermulus jalannya kekuasaan. Modal pertama yang dilakukan untuk melakukan itu adalah hasil boom minyak setelah Suharto tidak melakukan tindakan solider terhadap negara-negara Arab dalam krisis Palestina tahun 1973 yang menghasilkan forum OPEC. Setelah menipu kelompok modernis dan membungkam mereka di tahun 1974, Suharto mengkhianati mahasiswa yang dulu mendukungnya dan menjadi barometer kebebasan intelektual dengan menyuruh Menteri Pendidikan mengumumkan NKK/BKK, lalu pada tahun 1980-an Suharto menggenjot utang, melakukan reformasi Perbankan yang menghasilkan penyerapan dana masyarakat besar-besaran dan menjadi sumber utang terbesar Indonesia dimana pada akhirnya kita menyaksikan Bank-Bank yang didirikan di Indonesia dalam jumlah massif menjadi sarang-sarang penggelapan uang negara dan masyarakat yang pada tahun 1998 sesudahnya utang itu harus dibayar oleh rakyat. Suharto juga membangun Pasar Modal Indonesia namun masyarakat yang diciptakan Suharto rupanya juga membawa Pasar Modal Indonesia ke dalam kondisi nyaris bangkrut serta kerap menjadi sarana pencucian seperti misalnya dana-dana gelap reboisasi yang sering diputar di Pasar Modal Indonesia. Dari semua kegiatan bejatnya Suharto memberikan seluruh akses modal kepada kroni-kroninya yang bertujuan sebagai benteng kekuasaan Suharto. Serta dengan lucunya Harto memberikan modal kepada anak-anaknya untuk menjadi konglomerat dengan dana pinjaman yang tidak menyertakan faktor resiko. Apa yang dilakukan Harto ini kemudian menjadi sebuah gejala besar dalam pengerukan dana masyarakat dan negara dimana Manajemen Resiko tidak pernah menjadi titik perhatian, banyak kemudian anak-anak pejabat dari kelas menteri sampai lurah menggunakan sistem fasilitas model Suharto ini pada anak-anaknya. Jadi di bawah Suharto Indonesia bukan dibawa ke dalam negara modern tetapi sebagai negara primitif berlandaskan sistem maling. Jelas ini bukan sebuah negara modern, tapi negara kanibal yang primitif. Merupakan kesalahan fatal bila Suharto diunduh namanya menjadi Bapak Modernisasi Indonesia.

Suharto, Suhartorian dan Kapitalisme Semu

Pada awal-awal setelah peristiwa Gerakan Untung. Suharto jelas telah melakukan tindakan subversif pada Bung Karno. Bahkan tindakannya itu bisa disamakan dengan tindakan Letkol Untung yang tidak mencantumkan nama Bung Karno dalam susunan Dewan Revolusi (Susunan ini biarpun ngawur tapi juga memiliki makna serius terhadap kekuasaan Sukarno). Pada siang harinya Suharto menahan Umar dan Pranoto untuk bertemu dengan Bung Karno yang alasannya “Angkatan Darat tidak mau kehilangan Jenderalnya lagi” Namun dengan cepat Suharto mengangkat dirinya sendiri sebagai Menpangad tanpa sepengetahuan dan ijin Sukarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Dari sini saja Suharto bisa terkena tuduhan serius yaitu : membangkang terhadap kekuasaan yang sah. Tapi Suharto tahu segalanya, ia punya kartu truf yaitu hilangnya kelompok Yani yang diculik pasukan Untung. Ada missing link yang paling membingungkan ahli sejarawan tentang teori konspirasi 1965. Yaitu : Dimana Suharto pada malam 30 September 1965 setelah pertemuannya dengan Kolonel Latief, Wakil Komandan Gerakan Untung. Seperti yang telah diketahui oleh umum lewat pledoi Latief yang dirilis pada tahun 1978. Ternyata Suharto dilapori oleh Latief bahwa pasukan Untung akan menangkapi para Jenderal dan menurut pengakuan Latief, Suharto hanya mengangguk. Dianggap sudah mengerti Latief pamit pulang dan meneruskan pekerjaannya dalam pasukan Untung. Tapi hal itu dibantah oleh Suharto, katanya Latief mencari-cari Suharto di Rumah Sakit Gatot Soebroto untuk dibunuh. Pengakuan ini ada dua versi. Versi dari majalah Der Spiegel dan Versi dari Otobiografi Suharto G. Dwipayana.

Setelah subuh (menurut pengakuan Suharto) ada orang yang menyaksikan Suharto yaitu : Mashuri yang kelak menjadi Menteri Penerangan di Jaman Orde Baru. Mashuri menyaksikan sebelum jam 6 pagi Suharto sudah mengenakan pakaian tempur. Ini menunjukkan bahwa Suharto kemungkinan sudah tahu akan adanya gerakan. Dan orang yang mengetahui adanya gerakan ini diluar sistem gerakan Untung adalah : Suharto. Ia sendiri dengan menggunakan kendaraan dinasnya pergi ke Markas Kostrad dan tidak dikawal. Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan banyak pasukan dari luar daerah (Diponegoro) berkeliaran di sekitar Monas dan Istana Negara.

Puncak dari kehebatan Suharto dalam menguasai informasi Gerakan Untung adalah ketika ia mengucapkan kepada anak buahnya setelah hampir seluruh markas Kostrad sudah mendapat info bahwa Yani cs diculik adalah ucapan : “Itu Gerakan Untung, dan Untung sudah lama menjadi binaan PKI”. Ucapan inilah yang kemudian menjadi dasar paling kuat bukan saja menghantam gerakan Untung, menjungkalkan Sukarno dari kekuasaannya bahkan lebih jauh lagi menciptakan rezim teror selama 32 tahun.

Tidak ada yang Paling baik dalam menjelaskan pondasi struktur kekuasaan yang dibangun Suharto selain ucapan singkatnya : PKI berada dibalik Gerakan Untung. Ucapan inilah yang kemudian menjadi sebuah landasan filosofis paling penting dari semua struktur kekuasaan Suharto. Tidak mungkin menjelaskan kekuasaan Suharto tanpa melibatkan alasan utama berdirinya rezim teror ini, PKI. Pelaburan nama sehitam-hitamnya bagi Partai Komunis itu dijadikan alat paling penting dalam menciptakan rezim teror. Seperti yang telah tercatat dalam sejarah bahwa ketika Suharto sudah semakin mendekat dengan Sukarno dalam pertarungan politiknya. Suharto menggunakan kekuatan media massa untuk menciptakan histeria massa dimana kemudian teror paling kelam dalam sejarah Indonesia terjadi. Uniknya peran media massa ini kemudian sangat penting juga dalam menciptakan pemulihan nama baik Suharto di tahun 2008 saat ia sudah sakit-sakitan dan kemudian meninggal dunia pada 27 Januari 2008. (Bila tahun 1965-1966 panglima media massa adalah Angkatan Darat melalui corongnya yang utama Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata, maka pada tahun 2008 Panglima Media Massa adalah : Pemilik modal media massa yang notabene besar karena fasilitas Orde Baru dan kucuran dana Cendana. ( - catatan : Perlu diketahui pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada tiga koran yang dibolehkan terbit oleh Angkatan Bersenjata, dua koran dari Angkatan Darat : Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersendjata lalu yang lain adalah : Harian Rakjat. Harian Rakyat ini adalah koran corongnya PKI. Mungkin saja intel Angkatan Darat sudah tahu bahwa Harian Rakyat akan mengeluarkan tajuk rencana atau suara resmi koran itu mendukung Gerakan Untung. Sementara Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersendjata menentang dan mengutuk Gerakan Untung. Kenapa koran lain yang netral seperti Kompas misalnya dibredel saat mau turun cetak untuk edisi 2 Oktober 1965. Hal itu lebih dimungkinkan karena memang pihak Suharto sudah merencanakan untuk menjebak Harian Rakyat. Jadi dikotomi salah-benar dalam kasus G30S tidak digiring ke wilayah abu-abu. Jelas dua Koran Angkatan Bersenjata di pihak yang benar dan Harian Rakyat sebagai corongnya PKI terjebak sebagai satu-satunya pendukung G30S yang musti dikutuki tanpa melibatkan unsur lain. Hal ini dilakukan agar lawan Suharto di fase awal cukup hanya pada pendukung PKI saja, bukan termasuk pendukung Sukarno dan menggiring pada bukti bahwa PKI memang ada dibelakang G30S - ).

Melalui alat tawar PKI yang anehnya Sukarno juga terjebak dalam tawaran itu dan bukannya menangkap Jenderal Suharto. Suharto bergerak lebih agresif lagi. Ia langsung mengisi stafnya dengan orang-orang Diponegoro yang pro dengan Suharto sejak tahun 1950-an (Tahun 1950-an jaman Harto masih di Diponegoro, ia membangun klik-nya sendiri dan melakukan perbuatan melawan hukum sampai Yani marah lalu menempeleng Suharto, Yani melaporkan pada Nasution yang kemudian direspon untuk memecat Harto namun berhasil dihalangi oleh Gatot Subroto, sebelum menjabat sebagai Panglima Diponegoro Harto juga bersama kliknya menyingkirkan Kol. Bambang Soepeno sebagai kandidat Panglima Diponegoro). Perlu diingat Jenderal Yani sendiri agak kurang disukai oleh orang-orang Diponegoro karena sikapnya yang sudah ke Jakarta-Jakartaan. Namun di sisi lain Jenderal Yani juga berhadapan dengan Jenderal Nasution. Konflik Yani–Nasution reda karena adanya faktor DN Aidit. Aidit-lah orang yang menganggap Yani merupakan saingan seriusnya. Jadi Yani disisi lain sangat populer di lingkungan Internasional dan favoritnya Bung Karno namun ia juga musti berhadapan dengan Nasution, Kelompok Semarang dan Aidit. Nama Suharto jarang disebut-sebut sebagai rivaal Yani, bahkan Harto termasuk Jenderal paling tidak dikenal di mata publik. Orang mengenal Yani dengan Banteng Raiders-nya di titik inilah keuntungan Harto, ia tidak menjadi sasaran persaingan kaum politisi sipil. Setelah penculikan Yani, tiba-tiba nama Harto muncul dan bukan main-main Harto langsung head to head berhadapan dengan Bung Karno.

Saya perlu menekankan masa-masa genting 1965-1966 sebagai masa konsolidasi Suhartorian pada fase paling awalnya. Pada masa ini orang-orang Suharto lebih dikenal sebagai bagian dari orang radikal bukan orang yang berada di dalam lingkaran Harto barulah setelah sebulan G30S, Harto menemukan format paling pas orang-orangnya yang tahu strategi militer. Mereka ini Ali Moertopo, Yoga Sugama, Jenderal Mitro, dan Soedjono Hoemardhani. Kelak kelompok Ali-Soedjono dikenal sebagai Aspri akan berhadapan dengan Jenderal Mitro –sementara Yoga sempat dibuang karena adanya kasus koper disebuah hotel yang berkaitan dengan dokumen Ramadi- . Berbarengan dengan konsolidasi tim Suharto, Sukarno menemukan kenyataan bahwa ia sudah kalah. Dengan diculiknya para Jenderal Angkatan Darat, maka ada semacam legitimasi dari Angkatan Darat untuk balas dendam bahkan dengan langkah-langkah yang lebih jauh lagi. Perang Saudara di Jawa, dimana Amerika Serikat akan mempunyai kesempatan untuk masuk dan mendukung Suharto.

Sukarno adalah manusia yang sangat paham sejarah. Ia juga mendasarkan diri baik itu dia sadari atau tidak bahwa kekuasaan dalam demokrasi terpimpin mengikuti pola kekuasaan raja Jawa. Dalam sejarah Jawa, kekuasaan raja tidak pernah jatuh ke tangan orang luar Jawa kecuali didalamnya ada intrik antara sang Raja dan Pewaris Raja atau senopatinya. Dalam hal ini memang Sukarno terbersit pernah mencurigai Yani. Tapi nyatanya yang melakukan kup adalah Harto, orang yang tidak pernah ada dalam agenda suksesi kepemimpinan revolusi di Indonesia. Kembali ke Sejarah Jawa tadi, intrik internal antara Raja dan Putera Mahkota selalu melibatkan orang luar. Ini terjadi pada Sultan Ageng Tirtayasa dengan Pangeran Haji yang membawa masuk tentara loji Belanda dari Batavia, antara Amangkurat dengan Adipati Anom yang mengundang masuknya Trunojoyo dan VOC. Serta puluhan perselisihan internal dimana kemudian kekuatan luar masuk. Dan memang ketika Sukarno sudah berselisih paham dengan Suharto. Armada Angkatan Laut Amerika Serikat sudah siap mengepung Indonesia. Sukarno juga tahu ia pasti didukung bangsanya sendiri jika harus berperang, tapi taruhannya adalah perang besar di Jawa antara Komunis dan Non Komunis dan ia sudah saksikan betapa kejamnya kejadian di Danang. Jelas sejak pagi 1 Oktober 1965 praktis kekuatan Angkatan Darat di tangan Suharto sementara Aidit tidak jelas kemana, Soebandrio tidak begitu disukai banyak kalangan jadi secara alami Suharto-lah putera mahkota sesungguhnya, menggantikan posisi Yani. Dan dalam sejarah suksesi Jawa, ada kebiasaan buruk yaitu : Putera Mahkota harus mengkudeta Rajanya. Tentunya dengan bantuan pihak luar, dalam kasus Sukarno vs Suharto, kekuatan Amerika Serikat sudah bersiaga di banyak pangkalan asing, Ny.Utami Suryadarma sendiri sebagai ketua gerakan Konferensi Internasional Anti Pangkalan Asing (KIAPMA) sudah mengingatkan Sukarno disamping beberapa laporan intelijen di bawah Subandrio bahwa Amerika Serikat sudah bersiap melancarkan serangan membantu kubu anti Sukarno. Jadi Sukarno pelan-pelan mundur karena bila ia memaksakan bertarung, maka Jawa Tengah dan Jawa Timur akan dibiarkan bertarung berdarah-darah melawan Sumatera, Jawa Barat dan Indonesia Timur yang sudah dikuasai kekuatan militer anti Sukarno.

Inilah kenapa kita harus menghormati Sukarno yang tidak mau mengorbankan persatuan Indonesia hanya demi kekuasaannya. Dan ini jarang diungkap oleh banyak orang kecuali bahwa Sukarno keras kepala tidak mau membubarkan PKI dan kata-kata yang selalu diulang oleh sejarawan bentukan Orde Soeharto : “Har, kalau PKI dibubarkan mau ditaruh kemana mukaku di depan dunia Internasional” Sementara seperti yang saya katakan Suharto mendasarkan pada landasan “ Yang melakukan Gerakan tiga puluh september adalah Untung, dimana dibelakangnya adalah PKI” jadi dua landasan yang diajukan oleh sejarawan Orde Suharto menjadi klop dan mendasari bagaimana sebuah rezim teror kemudian mendapatkan legitimasinya karena adanya sikap egois Sukarno bukan dari kebesaran jiwa Sukarno.

Dari landasan inilah kemudian Sukarno diisolir oleh Harto, seperti ucapan Oejeng Soewargana seorang agen intel Nasution pada Oltmans “Akan layu pelan-pelan seperti tumbuhan yang tidak diberi air” begitulah kelakuan Suharto pada Bung Karno. Mikul Dhuwur Mendem Jero, sebuah filsafat etika Jawa disalahgunakan Suharto yang sesungguhnya menjadikan Sukarno sebagai kambing hitam dalam kasus Gerakan Untung. Harto jelas tidak berani mengajukan Sukarno ke pengadilan karena kalau Sukarno maju ini berarti kemungkinan peranannya dalam pemalsuan supersemar akan terbongkar, juga peran gelapnya sepanjang malam 30 September 1965. Harto adalah tipe orang yang senang menggunakan simbol, sepanjang orang atau sebuah kejadian itu masih memiliki penggerak sejarah maka Suharto hanya menggerakkan simbol-simbol itu tanpa mau menggunakan esensinya untuk manfaat kekuasaannya. Sukarno menjelang kematiannya disiksa, para dokter yang menyaksikan bagaimana Sukarno disiksa dalam penyakitnya pasti tahu benar hal ini. Bahkan menjelang Pemilu 1971, Sukarno diusahakan agar mati secepatnya, untuk mengamankan jalannya Pemilu dan melegitimasi Junta Militer.

Hatta sendiri berteriak agar Sukarno diadili, ia tidak tega sahabatnya itu diperlakukan Suharto semena-mena tanpa jelas dia salah atau tidak bersalah. Pada menjelang akhir hidup Sukarno, Hatta dan Sukarno saling menangis. Saya tidak tahu apakah tangisan dua orang tokoh yang telah mendarmabaktikan hidupnya hanya untuk Indonesia Raya adalah sebuah tangisan masa depan. Karena buktinya sepeninggal Sukarno negara ini dibangkrutkan secara total dan dihinakan kemanusiaannya. Karena itulah mari kita lihat apa yang terjadi pada jaman Suharto.

Orang mengira jaman Suharto adalah jaman modernisasi. Ini tidak sepenuhnya salah karena memang secara infrastruktur kita dibawa ke sebuah era modern dari kebudayaan dunia. Namun apakah standar manusianya juga menjadi modern, menjadi manusia bebas seperti yang banyak dicapai oleh masyarakat Amerika Serikat dan Eropa Barat?

Sebelum memasuki gagasan modernisasi Orde Baru ada baiknya kita mengenal dulu kekuatan-kekuatan yang pro terhadap modernisasi Indonesia dan menghendaki Indonesia bergabung dengan dunia bebas sembari meningkatkan human capital-nya. Mereka ini adalah kelompok Sjahririan yang akan saya bagi dua : Jalur Radikal yang sepenuhnya sekuler dan Jalur Moderat dengan pengaruh lingkaran Katolik. Atau bisa saya sebut Garis Radikal dan Garis Humanis.

Dua Garis dalam Post Sjahririan

Garis Radikal adalah kelompok yang banyak berada dikalangan intelektual dan perwira tinggi militer dimana mereka tidak sepenuhnya menerima kekuasaan Sukarno sebagai arus kebudayaan masa depan Indonesia. Garis Radikal ini berada pada kelompok-kelompok sosdem sayap radikal yang sebagian juga terlibat kasus PRRI 1958. Kemudian pada setelah PSI dibubarkan mereka secara diam-diam membangun perlawanan terhadap Sukarno di kantung-kantung intelektual. Ciri gerakan kelompok ini adalah tidak memihak pada suatu kelompok termasuk PSI, (-mungkin pada GemSos bisa dikecualikan-), terbuka pada barat, suka melakukan konspirasi karena pernah berpengalaman dalam melibatkan diri pada pendongkelan Bung Karno di luar negeri dimana aktor-aktor konpirasi menyiapkan taktik-taktik perang terhadap Bung Karno dari mulai Tokyo sampai Roma. Sementara Sosdem garis humanis tidak bergerak dalam penumbangan Sukarno, mereka justru akrab dengan Sukarno. Kelompok ini adalah diaspora gagasan dari IJ Kasimo. Dimana PK Ojong kelak memegang peranan penting kelompok ini yang bekerja dengan dasar-dasar sosialisme dalam menjalankan bisnis media dan tetap menjadi Sosialisme hidup di Indonesia. Dari dua kelompok ini, kelompok Radikal paling sering kelihatan dan nama-namanya populer karena aksi perlawanan mereka yang berani, ini berbeda dengan Sosdem garis humanis yang cenderung merayap dan memilih jalan perlawanannya sendiri.

Sesungguhnya ada yang sering luput dari perhatian yaitu : Usaha menjebak komunisme dalam hal ini PKI agar offset dalam permainan politik di Indonesia. PKI dibiarkan berkembang dalam akar massa rumput namun diisolir pada tingkatan elite. Sejauh ini saya sendiri belum pernah membaca sebuah karya ilmiah yang memfokuskan pada kejadian ini dimana usaha pengisoliran PKI pada tingkatan elite terhadap kekuasaan adalah usaha sungguh-sungguh untuk menciptakan masyarakat berdasarkan diktator elitisme dikemudian hari dan hal ini merupakan counter dari konsep kepemimpinan ‘bridge of revolution’ yang mengandalkan kepemimpinan Diktator Proletariat. Dua kubu ini bertarung di sekitar Sukarno.

Pertarungan dua kubu ini saling mematikan, dan langkah-langkahnya kerap menjadikan rumput-rumput politik mengering. Progresivitas PKI jelas menggugurkan konsepsi sosialisme di luar paham Leninis karena memang sosialisme diluar paham leninis terlalu memihak pada barat, padahal barat sendiri dikenal sebagai biangnya kapitalis. Angin politik memihak pada PKI bukan karena Sukarno memilih jalur Lenin sebagai pilihan pemikiran sosialisnya, tapi realitasnya PKI memegang akar rumput. Korban-korban dari pertarungan PKI menuju pertarungan final dengan kekuatan elite kanan adalah kelompok sosialis yang dipandang pengacau dari pikiran Komunisme Leninis. PSI dan Murba dua partai kiri telah dibredel sepanjang perjalanan PKI menuju puncak pertarungan di alam Demokrasi Terpimpin. Sementara Angkatan Darat masih terbelah menjadi beberapa kubu. Setidak-tidaknya ada tiga kubu dengan latarbelakang tradisi yang kuat. Kubu Jakartaisme dipimpin dua poros : Poros Yani dan Poros Nasution, Kubu Luar Jawa yang merupakan sisa-sisa pengagum kharisme pemimpin militer legendaris macam Zulkifli Lubis, Andi Selle ataupun Simbolon dan Militer Jawa Sentris yang terbagi ke dalam tiga kubu : Sukarnois, Komunis dan Feodalis. Suharto sendiri kelak kita tahu menjadi bagian dari militer beraliran feodal.

Satu-satunya kelemahan Sukarno dimata kaum modernis adalah irasional-nya kekuasaan di mata kaum modernis. Jelas Sukarno yang memang tidak tumbuh dalam atmosfer Eropa seperti : Hatta, Sjahrir atau Soedjatmoko. Sukarno gagap dalam memahami bagaimana cara berpikir eropa barat yang lugas. Namun orang juga kadangkala meremehkan kekuatan budaya Jawa dalam melihat kekuasaan Sukarno. Adalah Ong Hok Ham, sejarawan legendaris Indonesia yang mampu melihat ini sedari awalnya sebagaimana yang dicatat Soe Hok Gie. Sukarno adalah titisan dari Raja Mataram. Gelar-gelarnya adalah sebuah penasbihan legitimasi kekuasaan. Disinilah yang dianggap Sukarno jelas menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan dengan irasional namun efektif dalam menanamkan kepatuhan psikologis manusia Indonesia. Namun diluar konteks silang sengketa paham Jawa dalam fungsi ordinat kekuasaan Indonesia, ada sebuah pekerjaan besar yang juga gagal dilihat orang banyak. Gagasan Sukarno ini adalah sebuah gagasan profetik, gagasan dengan dasar ramalan. Oleh Sukarno gagasan Neo Kolonialisme dan Imperialisme yang sebenarnya merupakan sebuah ide untuk membumikan kedaulatan kapital, menjadi sebuah wacana perang militer ketika Malaysia terang-terangan mencaplok Kalimantan Utara dan secara jangka panjang berpotensi sebagai kantong terdepan dalam usaha kembalinya kolonialisme di Indonesia. Sukarno juga melihat (Walaupun masih samar karena jarang sekali Sukarno mengucapkan hal ini di pidato-pidatonya) tentang tatanan dunia yang berubah dari segi antar hubungan negara-negara. Namun Sukarno walaupun dia gagal menjelaskan fungsi-fungsi utama yang menjadikan alasan Nekolim itu ada namun ia secara jenius bisa menjawab satu-satunya fungsi untuk memakmurkan rakyat dan menghadang Nekolim adalah : Kedaulatan Kapital!. Jawaban ini dijabarkan dalam kebijakan agak naif yaitu : Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang pada aksi ekonominya malah menguntungkan segelintir perwira elite Angkatan Darat. Walaupun massa PKI yang paling keras melancarkan serangan untuk usaha nasionalisasi namun perwira tinggi Angkatan Darat-lah yang berhasil menguasai sumber-sumber ekonomi nasionalisasi dimana bibit-bibit inilah yang kemudian menjadi modal awal dari bisnis militer di segala bidang. Kelak kemudian berbagai kekuatan yang menentang Sukarno bertemu pada sebuah konspirasi yang berdarah-darah dan penuh dengan penangkapan-penangkapan diluar batas peri kemanusiaan.

Jalan Darah Sebuah Konspirasi

Tidak ada yang lebih baik dalam memahami rezim Suharto kecuali dengan membedah karakter politik Suharto. Pemerintahan resmi Suharto (1968-1998) dibangun pelan-pelan mengarah pada pembentukan personalisasi pribadi Suharto menjadi sebuah watak negara dan watak kekuasaan. Negara Republik Indonesia adalah Suharto, dan Suharto adalah Negara Republik Indonesia, benarlah kiranya yang dikatakan seorang raja Perancis Louis XIV “ Negara adalah Saya” di tangan Suharto, konsepsi Louis sang Raja Matahari itu menjadi realistis pada konteks Indonesia 1968-1998. Bahkan untuk membedah gerak kudeta Suharto terhadap kekuasaan Sukarno, karakter Suharto sangat dominan dan tragisnya Sukarno dikalahkan dengan karakter ini. Karakter Jawa yang bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sekalipun tidak memiliki kapasitas memainkan hal ini. Gabungan dari : Kecerdikan, Keberanian, Kehalusan Aristokrat, Kemunafikan, Penggunaan Simbol untuk menutupi maksud sebenarnya, Sikap santun di depan lawan maupun kawan dan hanya setia pada kepentingan kekuasaan selain dari itu tidak memiliki landasan ideologis. Karakter-karakter inilah yang disebut sebagai Suhartorian.

Orde Baru dibawah Suharto terhenti pada wacana penanggulangan kemiskinan dan meminta bayaran dengan membunuhi orang-orang Sukarno, radikal kiri dalam hal ini PKI dan jutaan nyawa rakyat yang kebanyakan tidak mengerti apa-apa. Pembunuhan ini digunakan Suharto sebagai alat tawar kepada Sukarno seakan-akan timbul kemarahan luar biasa di kalangan akar rumput. Perlu diketahui kemarahan akar rumput ini dikarenakan histeria massa dimana media massa dibawah kendali Angkatan Darat terus menerus memberitakan (-sekaligus memplintirkan-) kekejaman Gerakan Untung dan sangkaan rencana-rencana bila Gerakan Untung berhasil akan ada rangkaian pembunuhan lanjutan dimana orang-orang kontra PKI akan dibunuhi. Waktu yang sedemikian cepat tentulah tidak menyodorkan peluang pikiran dingin dan rasional, seperti misalnya beberapa bulan setelah kejadian muncul Cornell Paper yang menyebutkan Gerakan Untung adalah sebuah rangkaian tindakan yang diakibatkan perselisihan internal di tubuh Angkatan Darat. Semua kejahatan terlanjur mengarah pada PKI dan kemudian menghantam Sukarno yang semangkin hari ditinggal sendirian. Bersamaan dengan pembantaian manusia terbesar sepanjang sejarah di luar masa perang dan itu dilakukan dengan sikap tenang oleh Suharto.

Kejahatan atas kemanusiaan ini tidak jadi agenda utama dalam sorotan dunia Internasional karena dianggap sebagai sebuah gerakan yang menguntungkan dunia barat. Sementara Uni Soviet memilih diam sebab PKI sudah dianggap bukan merupakan sekutu mereka karena kedekatan elite PKI terhadap garis Mao dimana Uni Soviet menyatakan bermusuhan dengan PKI garis Mao. Amerika Serikat dan Inggris jelas berjingkrak-jingkrak akan pembantaian PKI serta kemunculan seorang Jenderal yang bisa secara serius menantang Sukarno. Bahkan Presiden Nixon di tahun 1970-an mengatakan : Indonesia adalah hadiah terbesar Amerika dari Asia Tenggara.

Pernyataan Nixon ini sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara satelit baru Amerika Serikat dimana Filipina dibawah Marcos, Singapura dibawah Lee Kuan Yew, sekutu lama Thailand dan negara persemakmuran eks jajahan Inggris Federasi Malaysia menjadi negara biru yang bertekuk lutut dibawah elang bondol Washington.

Setelah resmi dijatuhkan kemudian Sukarno diisolasi dengan pengawalan tentara yang ketat dan kasar. Maka Suharto menaiki kedudukan Presiden ditengah begitu banyak kepentingan. Awalnya Suharto menggunakan alat Adam Malik yang bisa menjangkau kekuatan Kiri- Sayap Tengah dan Sri Sultan HB IX yang bisa mengendalikan Jawa. Sementara tangan militernya di lapisan elite ia menggunakan Kemal Idris dan HR Dharsono untuk menguasai Siliwangi di Jawa Barat yang relatif bersih dari irama pembantaian berkat sikap tegas Ibrahim Adjie, Panglima Siliwangi yang pro Bung Karno namun kemudian tersingkirkan. Jawa Barat walaupun tidak bergejolak namun menyimpan tenaga intelektual yang suatu saat harus dijinakkan. Lewat tangan militer kelompok intelektual ini menjadi barisan pendukung Suharto dan terus menerus lewat media cetak menuliskan artikel-artikel yang menentang Bung Karno. Sementara Jawa Tengah dan Jawa Timur banjir darah. Suharto menggunakan dua wilayah ini sebagai alat tawar politik yang utama karena Suharto sadar bahwa ia harus berkuasa di dua wilayah ini secara mutlak. Siapa yang bisa berkuasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur maka dialah pemenang dalam pertarungan politik di Indonesia. Dan Suharto menggunakan kekuatannya untuk mengkonsolidasi gerakan pembantaian yang kemudian menjadi sangat tidak terkendali. Hal ini dicatat oleh Oei Tjoe Tat, menteri yang ditugasi Bung Karno menyelidiki kasus pembantaian itu ada 80.000 (delapan puluh ribu) orang terbunuh. Dan cilakanya ini versi terkecil, terbesarnya justru versi Kolonel RPKAD Sarwo Edhie Wibowo yang menyebutkan 3.000.000 (tiga juta) nyawa terbantai dalam kegilaan massal akibat pemberitaan pembantaian para Jenderal di Jakarta. Belum lagi siksaan psikologis bagi anak turun PKI serta orang yang dicap Sukarnois. Siksaan psikologis ini bahkan sampai detik ini masih terasa dan menimbulkan ketakutan luar biasa bagi orang Indonesia.

Sejauh ini banyak pendukung Suharto yang mengatakan bahwa pembunuhan besar-besaran itu dilakukan antara rakyat dengan rakyat, jadi ini adalah pembantaian sipil dan yang melakukan adalah sipil. Terlepas dari itu semua Suharto menggunakan kejadian ini sebagai keuntungan politik bagi dirinya. Sementara Sukarno yang telah salah memilih langkah dengan menyepelekan Suharto serta masih melihat Suharto tak lebih dari seorang Overste yang ia kenal saat di Yogya dulu tahun 1946 menjadi semangkin surut langkah. Pandangannya yang terus menerus terfokus pada Nasution dan kecurigaannya pada agen-agen asing di bawah kendali Kedubes Amerika Serikat telah menciptakan kabut dalam melihat Suharto. Dan Suharto sendiri sangat paham dalam permainan ini. Di tahun 1978 setelah banyak tawanan Buru dibebaskan dan muncul tulisan-tulisan sejarah bawah tanah yang mengulas dengan tajam peran Suharto di masa lalu terungkaplah sedikit demi sedikit watak tindakan Suharto dalam menjalani masa krisis. Untuk menjelaskan karakter Suharto dalam melewati masa krisis mari kita ikuti dua kisah berikut. :

Peristiwa penangkapan Jenderal Mayoor Sudharsono, 1946. Peristiwa ini kerap ditulis di buku sejarah sebagai Peristiwa 3 Juli 1946. Peristiwa ini berawal dari puncak perselisihan antara kelompok Sjahrir dan kelompok Tan Malaka. Kelompok Sjahrir berada di dalam pemerintahan sementara kelompok Tan Malaka berada di luar pemerintahan. Karena sikap Sjahrir yang longgar terhadap tuntutan Belanda serta kecurigaan dekatnya Sjahrir dengan orang-orang Inggris maka timbul kecurigaan di kalangan kelompok Tan Malaka bahwa Sjahrir bakal menjual negara RI kepada pihak Belanda atau Inggris. Padahal apa yang dimaui Sjahrir adalah ingin menghindari perang besar antara RI dan Belanda atau paling tidak melunakkan sikap Belanda agar tidak melakukan penyerbuan ke Indonesia pasca pengurusan interniran oleh Inggris, jelas hal ini tidak begitu disukai oleh kalangan radikal karena penghentian perang itu pastilah menimbulkan kompensasi berupa konsesi-konsesi yang mengurangi nilai kemerdekaan. Sikap Sjahrir ini menjadi isu utama pada pertemuan yang digagas Tan Malaka pada Januari 1946 dimana ada 300 delegasi dari hampir seluruh kekuatan politik dan militer bertemu lalu membentuk sebuah komite aksi yang bernama “Persatuan Perjuangan” (PP). Dukungan politik paling penting bagi PP muncul dari Jenderal Sudirman, Panglima TRI. Banyak dari orang penting di kalangan partai politik mendukung gagasan Tan Malaka, seperti : PNI, Masjumi, dan Partai-partai kecil lainnya. Tujuan utama dari Persatuan Perjuangan adalah secara bertahap menyingkirkan orang-orang Sjahrir dan menggantikan kelompok yang lebih di dominasi militer dan berkarakter anti Belanda 100% seperti : Jenderal Sudirman. Lebih jauh lagi Persatuan Perjuangan meminta Sukarno selaku Presiden RI meminta kekuasaan militer sepenuhnya diserahkan pada Jenderal Sudirman. Dengan menyerahkan kekuasaan militer pada Jenderal Sudirman, maka tidak ada lagi cerita-cerita perundingan dengan Belanda karena poros Jenderal Sudirman tidak mau sama sekali melakukan perundingan kecuali sudah ada pengakuan yang utuh dari pihak Belanda bahwa Republik Indonesia sudah berdiri dan memiliki kekuasaan bulat di seluruh kepulauan Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Gerakan Tan Malaka membuat gusar pemerintahan Sjahrir dan puncaknya adalah perintah penahanan Tan Malaka oleh pemerintah. Penangkapan Tan Malaka ini mengundang kemarahan pasukan pendukung Tan Malaka. Beberapa diantaranya bahkan diam-diam melakukan konspirasi untuk menekan Bung Karno agar membubarkan kabinet Sjahrir aksi ini didahului dengan tindakan penculikan terhadap Sjahrir di Paras, Boyolali. Desa Paras ini adalah tempat peristirahatan Pakubuwono X yang terkenal angker. Kabarnya seluruh orang-orang Sjahrir yang ditangkap termasuk Soemitro Djojohadikoesoemo, Darmawan Mangunkusumo, Jenderal Majoor Soedibjo, dokter Soedarsono dan Gaos akan ditembak mati. Pada tataran militer gerakan Tan Malaka didukung oleh Jenderal Mayoor Sudarsono, Panglima Divisi III atasan langsung Letnan Kolonel Soeharto. Saat itu Suharto menjadi penanggung jawab keamanan dalam kota Yogyakarta sekaligus mengemban keamanan Presiden RI Sukarno yang tinggal di Gedong Agung. Namun Suharto juga mengerti rencana dari Jenderal Sudarsono untuk menekan Sukarno agar membubarkan kabinet Sjahrir karena rapat-rapat perwira militer pro Sudarsono berlangsung di Wiyoro, markas Suharto. Disini Suharto mengesankan berpihak pada Sudarsono. Ketika Sukarno mendengar kabar bahwa akan ada gerakan Sudarsono yang dikhawatirkan juga mengancam keselamatan Sukarno, maka Suharto dipanggil. Disini Sukarno meminta agar Suharto segera menangkap Sudarsono, namun Suharto menolak karena menunggu situasi yang tepat. Menurut biografi yang resmi Suharto yang disusun G. Dwipayana tahun 1988 ia menolak perintah Sukarno untuk menangkap Sudarsono sebelum keadaannya jelas, namun pada sidang pengadilan Sudarsono tahun 1948 Suharto tidak mengatakan itu. Ia mengatakan di depan pengadilan bahwa ia lebih dulu mempersiapkan pasukannya untuk menangkap Sudarsono dengan kekuatannya sendiri tanpa melibatkan pasukan lain agar persoalannya jangan melebar dan juga menjaga agar martabat Sudarsono tidak terluka. Menurut saya justru yang benar adalah pernyataan Suharto di tahun 1988 yang mengatakan dia menolak perintah Sukarno sebelum ia tahu benar keadaannya. Inilah kecerdikan Suharto dalam melihat situasi. Kasus 3 Juli 1946 bukanlah kasus sederhana antara Sjahrir dan Tan Malaka, tapi sudah melibatkan militer, justru pertarungan terpenting antara Sjahrir dan Tan Malaka ada pada Jenderal Sudirman bukan lagi Sukarno. Karena Sukarno jelas memihak pada Sjahrir, disini Jenderal Sudirman-lah yang menjadi kartu as dari taruhan politik kelompok Tan Malaka. Dan pada awalnya Sudirman menyetujui gerakan Tan Malaka. Namun setelah gerakan itu bergeser dari gerakan politik menjadi gerakan militer dimana situasinya menjadi tidak terkendali setelah terjadi saling tangkap baik dari pihak Sjahrir maupun Tan Malaka. Jenderal Sudirman sendiri memilih menarik diri dari lingkaran Tan Malaka karena ia melihat apa yang dilakukan Jenderal Mayoor Sudarsono dengan bawahannya penjaga kota Yogya Mayor AK Jusuf sudah melampaui batas, jika ia mendukung terus apa yang dilakukan Sudarsono berarti ada kemungkinan Sudirman akan bertarung head to head dengan Sukarno. Apalagi Sudirman tahu bahwa Sudarsono sudah berunding dengan sekutu politiknya dari kalangan sipil untuk mempersiapkan skenario pembubaran kabinet dalam sebuah Surat Keputusan yang sedianya akan memaksa Sukarno untuk menandatanganinya. Keputusan itu terdiri dari tiga maklumat yang semuanya mengarah pada kudeta pemerintahan Sjahrir. Resiko yang dipikul Sudirman jika ia masih di dalam lingkaran Tan Malaka adalah bila Sukarno menolak SK itu dan tetap mendukung Sjahrir maka otomatis yang akan berhadapan dengan tentara pro Sjahrir adalah Jenderal Sudirman. Bagaimanapun Sudirman lebih mengutamakan persatuan dan ia tidak mau bertempur dengan anak buahnya sendiri. Sudirman juga mendapat informasi dari orang dalam Istana bahwa Sukarno tidak akan mau membubarkan kabinet Sjahrir dari informasi itu dan kemudian melihat Sudarsono sudah bermain di luar batas maka Sudirman menarik diri dan bersikap netral. Letnan Kolonel Suharto memperhatikan hal ini, bagaimanapun juga Sudarsono adalah atasannya langsung, sama-sama membentuk organisasi kemiliteran di Yogyakarta Divisi IX yang terdiri dari dua resimen. Sudarsono yang eks perwira polisi dan makelar kekuasaan sebelum Indonesia merdeka sangat percaya pada Suharto bahkan ketika ia sedang diburu pasukan Pesindo juga tentara pemerintah ia berlindung di markas Suharto di Wiyoro, lalu tak lama kemudian pergi ke Solo untuk menemui Jenderal Sudirman yang sedang gusar akibat penangkapan anak buahnya oleh pemerintah.

Setelah kepergian Sudarsono ke Solo, Suharto mendapat kabar bahwa Jenderal Sudirman tidak menyetujui aksi Sudarsono serta sekutu sipilnya untuk menekan Sukarno terlalu jauh. Dari sini kemudian Suharto melihat bahwa Sudarsono sudah kalah. Karena dua kekuatan besar : Sukarno dan Sudirman tidak akan berada di pihak Tan Malaka. Pertama, Suharto sudah memegang surat penangkapan yang diterimanya dari tokoh pemuda bernama Sundjojo dan juga perintah lisan dari Sukarno. Kedua, Sudirman enggan mendukung gerakan Sudarsono yang memaksa Sukarno menandatangani SK pembubaran kabinet Sjahrir. Disini Suharto sudah memegang informasi penting yang intinya bahwa Soedarsono sudah kalah. Sementara di pihak Soedarsono dan sekutunya mereka tidak tahu bahwa mereka sudah kalah, karena mereka larut dalam subjektivitas dan kesibukan persiapan gerakan yang tinggi. Dengan melihat kejelasan situasi Suharto menjalankan perintah Presiden Sukarno dengan hati-hati. Dan Sudarsono ditangkap oleh Suharto di Istana Yogyakarta tatkala hendak menghadap Presiden Sukarno dan membawa skenario SK pembubaran Kabinet Sjahrir.

Dari situasi 3 Juli bisa kita baca bahwa Suharto adalah orang yang sangat hati-hati bertindak. Ia tidak memiliki landasan ideologis, yang ia pilih adalah siapa yang memenangkan pertarungan, jadi ketika situasinya belum jelas ia berada di luar permainan namun memegang informasi penting. Dalam kasus ini, Suharto tahu rencana-rencana Sudarsono yang ia dengar pada rapat-rapat perwira Pro Sudarsono di markas Suharto. Setelah itu Suharto cerdas dalam menganalisa situasi, ia bisa memilih siapa yang sesungguhnya memegang peranan kunci dari permainan 3 Juli 1946. Suharto tepat memilih siapa pemegang kartu as dari permainan politik, dalam peristiwa 3 Juli Suharto berpendapat yang menentukan adalah Sudirman, bila Sudirman mendukung Sudarsono maka dipastikan pemerintahan Sjahrir akan goyah tapi peran besar kemungkinan akan terjadi karena pendukung Sjahrir seperti pasukan Pesindo dan sekutu politik sipilnya yang rata-rata dari kelompok kiri (Saat itu Sjahrir masih bersekutu dengan Amir Sjarifudin dan bersama dalam Partai Sosialis) akan melawan. Jadi agar tidak kehilangan wibawa dan tetap menjaga kekuatan pasukan agar terhindar dari perpecahan Sudirman menarik diri dari gerakan Sudarsono, saat itu Sudarsono tidak mampu membaca kehendak Jenderal Sudirman bahkan sampai ia ditangkap Sudarsono yakin bahwa Sudirman masih mendukungnya. Ketiga dan ini yang terpenting Suharto telah memegang surat perintah penangkapan namun dengan keberaniannya Suharto menunda penangkapan itu, dari penolakan inilah kemudian Sukarno menjuluki Suharto sebagai perwira Koppeg (Keras Kepala). Dalam kasus ini Suharto pada awalnya berada pada kubu Jenderal Mayoor Soedarsono namun tidak terlibat langsung atau berada dibawah perintah Sudarsono. Tapi jelas sekali ia mendukung rencana Sudarsono dengan memperbolehkan adanya rapat perwira pro Sudarsono di markasnya di Wiyoro. Namun ketika situasi tidak menguntungkan Jenderal Sudarsono dan ini tidak disadari Sudarsono Suharto langsung berbalik menyerang Sudarsono. Jadi watak paling khas Suharto dalam berpolitik adalah memegang informasi sebanyak-banyaknya, mendukung kekuatan antagonis sampai batas usia gerakan antagonis itu, masuk dan menghantam kekuatan antagonis lalu melakukan tindakan-tindakan yang sudah diperhitungkan sebelumnya. Jadi Suharto tidak akan memulai permainan bila ia belum yakin akan menang, makanya kasus 27 Juli 1996 adalah sebuah kasus anomali yang bukan menunjukkan karakter mainan politik Suharto, karena peristiwa itu berlangsung kasar, naif dan terlihat arogan yang bukan karakter Suharto bila ingin menghancurkan sesuatu, walaupun bukti-bukti memang mengarah bahwa Suharto memegang komando tertinggi kasus penyerbuan markas PDI di jalan Diponegoro, pada Sabtu kelabu di tahun 1996.

Selain peristiwa 3 Juli 1949, marilah kita lihat apa yang terjadi pada saat Suharto melakukan konspirasi penolakan terhadap Kolonel Bambang Soepeno yang akan diangkat menjadi Panglima TT VII Diponegoro. Kisah ini akan saya ambil dari buku Soebandrio dengan judul “Kesaksianku Tentang G30S” sebuah buku yang rencananya diterbitkan pada tahun 2000 namun kemudian urung diterbitkan oleh penerbitnya. Begini kisah Suharto pada kasus pemotongan jalur Bambang Soepeno untuk digagalkan menjadi Panglima Diponegoro :

Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro.Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun terselubung .Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus berpacu dengan waktu.Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak.Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebarkan.Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto. Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut – dikatakan Yoga – agar tidak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyatakan bahwa pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta membantu Yoga melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin kedua-duanya.Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung.Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro. Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi.

(Kesaksianku Tentang G30S, Subandrio, Tahun 2000)

Dari dua kasus diatas kita bisa menangkap kesan bahwa Suharto memang sudah berpengalaman pada permainan politik dan ia memahaminya bagaimana selah-selahnya agar lihai dalam mengatasi persoalan dan mengambil keuntungan dari saling tarik menarik kekuasaan. Dua peristiwa ini menjadikan seorang pengamat politik Australia, R.E Elson yang menulis biografi politik Soeharto mengambil kesimpulan watak politik Suharto sebagai berikut :
Perlunya berhati-hati ketika taruhan tinggi dan garis batas pertikaian tidak jelas, kebutuhan berkomitmen hanya ketika pihak mana yang menang, perlunya sikap tenang dibawah tekanan, perlunya mempertahankan bantuan pihak-pihak antagonis hingga saat-saat terakhir. Demikian halnya sudah nampak sikap Suharto : Berhati-hati, dingin, dan mampu mengambil tindakan penuh perhitungan pada saat-saat yang tepat.
(R.E Elson, SUHARTO Sebuah Biografi Politik hal. 57, Penerbit Minda Jakarta, 2005)

Dari kesimpulan Elson coba kita perhatikan apa yang dilakukan Suharto pada peristiwa Penculikan enam Jenderal dan bagaimana Suharto menempatkan dirinya. Mari kita lihat dulu rangkaian kejadian yang akan kita fokuskan pada apa yang terjadi pada diri Suharto menurut keterangan yang banyak diungkap oleh buku sejarah.

Sebelum tahun 1998 sejarah G30S masih menjadi sebuah kabut paling mengerikan dimana PKI menjadi satu-satunya tertuduh pelaku tunggal. Walaupun beberapa dokumen riset yang dikeluarkan para sarjana politik barat yang mengungkap peristiwa itu dengan melawan arus seperti Ben Anderson, Ruth MacVey dan Wertheim namun dokumen itu hanya beredar dikalangan tertentu, sementara rakyat awam masih dicekoki secara terus menerus dari buku sejarah resmi versi Orde Baru dan film propaganda buatan Arifin C Noer yang mutunya bila dinilai dari kualitas film Indonesia pada umumnya sampai detik ini (2008) tidak tertandingi eloknya. Namun jelas film buatan Arifin C Noer itu jelas-jelas hanya berpihak pada rilisan sejarah resmi Orde Baru. Barulah menjelang Suharto tumbang tahun 1998 banyak bermunculan berita-berita sejarah yang selama ini belum diungkap terutama dari Internet. Kemudian tabloid politik seperti “Detak” secara intens membuka tabir bagaimana peran Suharto dalam sejarah G30S. Pada tahun 2000 booming buku-buku sejarah gelap G30S berikut cerita-cerita kesaksian korban peristiwa 1965 sebuah episode paling mengerikan dalam sejarah Indonesia. Berdasarkan banyak buku yang beredar saya mencatat banyak missing link dalam kasus posisi Suharto, berikut pertanyaan tentang Suharto mengenai peristiwa sebelum dan sesudah Gerakan Untung di tahun 1965-1966.

1. Bagaimana link Suharto sebelum peristiwa Gerakan Untung 1965
2. Sejauh mana Suharto mengetahui rencana Gerakan Untung.
3. Apa yang terjadi dalam hubungan Suharto-Untung-Latief- Soepardjo?
4. Apa yang dilakukan Suharto setelah pulang dari membezoek Tommy saat dirawat di RSPAD. Dimana posisi Suharto?
5. Kenapa Suharto bisa langsung menyimpulkan bahwa Gerakan Untung adalah Gerakan yang didalangi PKI?
6. Keberanian Suharto menghalangi Perintah Sukarno agar Jenderal Umar Wirahadikusumah menghadap Sukarno di Halim
7. Menghalangi Pengangkatan Jenderal Pranoto Reksosamudro
8. Apa yang terjadi pada Supersemar sesungguhnya?

Bagi saya pribadi buku-buku tentang G30S baik yang ditulis peneliti luar negeri maupun dalam negeri, saya simpulkan terletak pada poin-poin itu. Benturan antara peneliti yang pro Suharto seperti : Victor M. Fic, yang menuduh Sukarno pelaku utama G30S seperti karangan : Anthony C A Dake dan beberapa peneliti yang menunjukkan bahwa peristiwa G30S adalah konflik internal Angkatan Darat seperti hasil riset ilmuwan Cornell yang terangkum dalam Cornell Paper dimana Ben Anderson menjadi tokohnya dan juga riset yang menyatakan Suharto terlibat G30S dari permulaan gerakan sampai penumpasan gerakannya seperti karya : Wertheim. Atau penulis-penulis dalam negeri yang intens dalam meriset apa yang terjadi pada peristiwa G30S dimana Soebandrio, Latief, AM Hanafi, Gunawan Mohammad, Manaii Sophiaan, Asvi Warman Adam, James Luhulima, Komodor Djajengminardo dan beberapa penulis kritis lain berdiri di satu sisi yang berseberangan dengan buku putih Orde Baru dimana dalam buku putih Orde Baru itu peran Sukarno digantung agar rakyat bisa menghakimi sendiri bahwa Bung Karno terlibat tapi Suharto tidak menyatakan secara resmi terlibat. Selain buku-buku yang memfokuskan peran Suharto banyak lagi buku-buku yang sifatnya lebih pada pembukaan kasus intelijen dan kenapa peristiwa PKI bisa meletus jumlah buku ini bisa mencapai ratusan termasuk paper-paper riset mahasiswa politik dan sejarah. Belum lagi buku yang secara khusus meriset deklasifikasi dokumen CIA seperti Peter Dale Scott atau yang paling mutakhir karya J.Roosa.

Dari semua pendapat saling silang sengketa tentang peran Suharto maka saya simpulkan ada delapan poin yang saya tulis diatas tadi, dimana delapan poin itu sampai sekarang masih gelap.

Link Soeharto Sebelum Meletus Gerakan Untung

Jaringan serius dan penting yang dibentuk Suharto ditengarai adalah saat dia menjabat Panglima Diponegoro. Jaringan ini bukan terbentuk sebagai jaringan yang arahnya keluar wilayah Diponegoro seperti misalnya Jaringan Yani yang setelah sukses pada pembentukan Banteng Raiders dan menumpas PRRI ke Sumatera maka Yani membangun jaringan perkenalan dengan orang-orang penting di negeri ini sampai pada tingkat Sukarno. Pentolan militer seperti Jenderal Gatot Subroto-pun tertinggal dengan jaringan hubungan Yani, sehingga karir kemiliterannya tersalip oleh Yani. Suharto membangun jaringan justru mengakar ke bawah, Suharto merasa tidak berkepentingan dengan perkenalan yang luas di Jakarta. Mungkin dalam benak Suharto karirnya akan pensiun pada jabatan Panglima Diponegoro tidak lebih, untuk itu ia ingin menimbulkan kesan yang baik pada anak buahnya di Diponegoro. Sampai sejauh ini belum pernah ada bukti tertulis ataupun pembicaraan-pembicaraan dalam buku biografi tokoh-tokoh penting yang mengenal Suharto di tahun 1950-an yang mengungkap ambisi Suharto, kecuali mungkin ulasan Soebandrio tentang konspirasi Suharto menggagalkan pengangkatan Kolonel Bambang Soepeno sebagai Panglima Diponegoro. Dari semua buku-buku biografi tentang Suharto ada yang terungkap di permukaan yaitu terbentuknya hubungan khusus antara Suharto-Ali Moertopo-Yoga Sugama-Soedjono Hoemardhani. Duet Ali-Yoga adalah duet militer sementara Soedjono sangat lihai dalam mengelola keuangan Diponegoro termasuk memperluas penghasilan Kodam tersebut. Suharto juga berhasil membentuk Finek (Finansial dan Ekonomi) serta secara diam-diam menguasai jaringan perdagangan di Jawa Tengah juga melakukan penyelundupan-penyelundupan. Dari sini kemudian Suharto belajar bagaimana menjalani bisnis dengan sistem mafia namun juga belajar mengenal bisnis resmi. Logika Suharto adalah bisnis mafia yang ilegal adalah sebuah sarana membiayai berlangsungnya kekuasaan dan bisnis resmi digunakan untuk mencuci dana-dana ilegal. Soedjono hanya berperanan dalam bidang perluasan kekayaan, tapi Ali Moertopo ditengarai merupakan otak utama kemampuan intelijen Suharto untuk membaca situasi politik, saya belum pernah menemukan suatu hasil penelitian yang mengembangkan karakter politik Ali Moertopo di masa-masa dia bertugas di Jawa Tengah artinya : apa yang dilakukan Ali pada masa dia Diponegoro. Sejauh mana hubungan Ali dengan kelompok-kelompok politisi sipil, ataukah Ali mengembangkan kemampuan politik intel-nya dengan cara otodidak? Kemunculan nama Ali baru sering disebut tatkala adanya usaha-usaha tersembunyi untuk melakukan rekonsiliasi terhadap Malaysia setelah G30S meletus yang juga melibatkan Benny Moerdani. Dilihat dari kemampuan Ali melakukan intelijensi politik maka sedikit bisa dipastikan kemampuan Suharto mengembangkan daya pukul politik praktis di tahun 1965-1966 untuk menghadapi Sukarno adalah hasil dari sumbangan pemikiran Ali Moertopo. Juga perlu diperhatikan jaringan Ali di tahun 1966 untuk menggunakan kekuatan mahasiswa, parpol dan pemimpin agama. Dari ketiga kekuatan ini kelak Ali memanfaatkan secara optimal parpol dan pemimpin agama sementara kekuatan mahasiswa akan berbalik melawan Ali di tahun 1968-1974 karena isu Sespri.

Selain Ali Moertopo, Suharto juga dekat dengan Untung yang bekas anak buahnya saat Suharto bertugas di Solo sekitar tahun 1953. Suharto memimpin Resimen 15 (eks elemen-elemen Divisi Panembahan Senopati). Dalam Resimen 15 itu ada batalyon 444 yang dikenal sebagai Batalyon Digdo dan berkedudukan di Kleco yang mendapat pendidikan politik dari veteran tua Komunis, Alimin. Salah seorang perwira di Bn 444, Untung Bin Sjamsuri – yang kelak di tahun 1965 memimpin G30S - termasuk yang mendapat pendidikan itu. Suharto tampaknya tidak peduli dengan apa yang terjadi di Kleco, ia hanya memperhatikan pelatihan militer dan pembentukan kesiagaan militer untuk bersiap menghadapi berbagai macam pertempuran baik melawan gerombolan DI/TII ataupun kelompok Komunis sempalan yang banyak berkeliaran di Merapi-Merbabu Compleks. Bisa dibilang Suharto sangat dekat dengan Untung, anak buah favoritnya. Untung ini terkenal berani tapi bukanlah perwira yang ngerti politik, ia tipe serdadu tulen. Di penghujung tahun 1950-an, Suharto mendapat hukuman karena kasus penyelundupan dan dipindahkan ke SSKAD, Cimahi diperintahkan untuk belajar. Disinilah Suharto berpisah dengan Untung. Pertemuan Suharto dengan Untung terjadi lagi pada tahun 1962 saat rencana penyerbuan Irian Barat dimana Suharto menjadi Panglima Mandala. Suharto memanggil kembali Untung yang saat itu sudah berpangkat Mayor untuk memimpin sebuah operasi penyusupan yang beresiko tinggi di Kaimana, Irian Barat. Akhirnya Untung dengan kemampuan prajuritnya Komando-nya berhasil melakukan penyusupan ke Irian Barat dengan pasukan khusus yang kecil namun efektif dalam menyerang pusat-pusat militer Belanda dengan tujuan memberikan terapi kejut dan melihat seberapa besar kekuatan Belanda. Operasi yang dipimpin Untung ini rupanya dinilai sukses oleh pemimpin di Jakarta selain operasi Untung, ada juga operasi yang dipimpin Benny Moerdani dan juga dinilai sukses. Kedua Mayor ini kemudian dianugerahi Bintang Sakti oleh Bung Karno.

Kecakapan Untung dalam prestasi militer menjadikan Suharto menghendaki Untung untuk tetap ikut dengannya setelah krisis Irian Barat dinyatakan selesai. Namun Suharto sangat marah sekali ketika tahu Untung menerima tawaran menjadi perwira pasukan penjaga keamanan Presiden Sukarno, Tjakrabirawa ketimbang ikut Suharto ke Kostrad.

Banyak penulis sejarah selalu mendasari kedekatan Suharto dengan Untung pada sebuah pernikahan Untung yang dihadiri Suharto di Kebumen. Bayangkan seorang perwira tinggi menghadiri pernikahan anak buahnya di sebuah tempat yang jauh dari Jakarta. Ini menandakan memang Untung sangat dekat dengan Suharto. Walaupun kelak ada berita bahwa Suharto tidak menghadiri pernikahan itu, tapi yang menghadiri adalah Kemal Idris, anak buah Suharto di Kostrad. Yang menjadi pertanyaan besar pada link Suharto-Untung, adakah Suharto menjelang G30S bertemu dengan Untung?. Bila pertemuan dengan Latief banyak diungkap maka pertemuan dengan Untung jarang sekali ada yang mengungkap. Hanya Subandrio yang mencatat dalam bukunya ‘Kesaksianku Tentang G30S” menyebutkan bahwa pada tanggal 15 September 1965, jadi beberapa hari menjelang hari H gerakan Letkol Untung melapor pada Suharto bahwa akan ada gerakan untuk membereskan orang-orang yang dicurigai terlibat dalam Dewan Djenderal. Menurut Soebandrio, Suharto menjawab “Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu”. Untung juga meminta bantuan pada Suharto dan dijawab dengan Suharto dengan serius, hal ini juga diungkap oleh Subandrio. “Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Djenderal. Dalam komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan Kostrad”. Selain Soebandrio dicatat dalam bukunya James Luhulima (seorang Jurnalis harian Kompas) tentang pasukan Jenderal Suharto ini yang diambil Luhulima dari sumber wawancara kepada Mayor (Purn) Sukarbi, eks Wakil Komandan Batalyon Raiders 530/Brawijaya pada tabloid Detak pada edisi khusus, 29 September-5 Oktober 1998, berikut cuplikannya : “Suharto bukan saja tahu adanya gerakan menjemput paksa tapi juga memfasilitasinya”. Selanjutnya dalam wawancara itu Soekarbi menyatakan adanya “Radiogram Pangkostrad no.220 dan no.239 tanggal 21 September 1965 yang ditandantangani oleh Major Djenderal Soeharto menginstruksikan agar Batalyon 530/Para Brigade 3 Brawidjaja/ dipersiapkan dalam rangka HUT ke-20 hari ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Djakarta dengan “ Perlengkapan Tempur Garis Pertama” Dan memang terbukti kemudian sebagian anggota Bataljon Raiders 530?Brawidjaja itu terlibat secara aktif adalam aksi penjemputan paksa para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari.

Bila kita lihat pengakuan Soekarbi, dan adanya bukti Radiogram dari Soeharto maka kesaksian Dr.Soebandrio mengenai pembicaraan antara Soeharto dan Untung pada 15 September 1965 maka bisa dikatakan ada korelasinya. Untuk itulah bila kemudian ada upaya serius penyelidikan sejarawan pada G30S garis hubungan Untung-Soeharto harus menjadi perhatian serius.

Setelah kita mencoba mengeksplorasi garis hubungan Untung – Soeharto maka kini kita akan melanjutkan membahas adakah hubungan antara Soeharto dengan Sjam Kamaruzaman salah seorang pemimpin G30S yang disini berperan sebagai agen intelijen. Banyak dari kalangan sejarawan dan politisi senior menganggap Sjam ini adalah agen ABRI yang disusupkan ke PKI, bukan sebaliknya agen PKI yang disusupkan ke ABRI. Mengenai hubungan Sjam dengan Soeharto sudah menjadi pengetahuan orang banyak bahwa Sjam ini kenal Soeharto sejak jaman ngumpul-ngumpul di Pesindo. Untuk itu marilah kita lihat apa yang terjadi pada hubungan Sjam dengan Soeharto sejak awal revolusi kemerdekaan 1945 di Yogyakarta dari berbagai tulisan berikut ini.


Jejak Sjam di Pathook-Mahameru Persentuhan Sjam dengan pemikiran-pemikiran politik bermula dari keikutsertaannya dalam Kelompok Pathook dan Mahameru I di Yogya. Di kota ini pula, diduga, Sjam mulai menjalin hubungan dengan Soeharto. Hal ini bisa dilihat dari kesaksian yang ada di tahun 1998 dan banyak dimuat di forum-forum milis. HINGGA kini, masih banyak saksi sejarah yang meragukan peran besar Sjam Kamaruzzaman di balik G-30-S/1965. Bukan apa-apa. Jika menilik track record-nya - paling tidak yang terdeteksi sejak sebelum namanya disebut-sebut sebagai "sutradara" G-30-S - Sjam memang jauh dari kesan intelektual, apalagi ahli strategi. Napak tilas yang dilakukan Tajuk, lewat konfirmasi dari sejumlah teman Sjam semasa tinggal di Yogya pada 1940-an, bahkan nyaris memperoleh jawaban seragam: Sjam - yang baru berumur belasan tahun - sama sekali tidak masuk hitungan dalam peta aktivis muda pemikir politik di Yogya pada masa itu. Meski demikian, sulit dimungkiri, di Kota Pelajar inilah Sjam - sedikit banyak - mulai bersentuhan dengan kegiatan olah pikir, lewat pergaulannya dengan aktivis kelompok diskusi yang memang ngetrend ketika itu. Menurut keterangan, ada setidaknya dua kelompok studi yang suka disambangi dan diikuti kegiatannya oleh Sjam. Yang pertama adalah Mahameru I, sebuah kelompok beraliran sosialis yang bermarkas di sebuah rumah di Jln. Mahameru I. Rumah yang terletak di belakang SMA 3 Yogya ini adalah hasil sitaan dari kompeni Belanda, yang kelak dipakai sebagai kantor Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan tempat diskusi sejumlah tokoh politik seperti Sutan Sjahrir dan H. Agus Salim. Meminjam Soemadi Moekajin, 74, salah seorang anggota Mahameru I, meski sesekali nongol dalam kegiatan diskusi kelompoknya, Sjam sama sekali tak menonjol. Selain dianggap muka baru (Moekajin menduga, Sjam baru masuk Yogya setelah Indonesia merdeka), Sjam sejak awal dikenal pendiam, tertutup, dan... agak goblok. Dalam diskusi-diskusi politik yang intens dilakukan ketika itu, Sjam lebih banyak mendengar. Jauh berbeda dibandingkan dengan Moenir atau Hartojo, ketua Barisan Tani Indonesia (BTI) pada 1965, yang memiliki kemampuan intelektual dan retorika hebat. "Melihat sikapnya, tak ada di antara kami yang tahu, apa interest Sjam ketika itu," ujar Moekajin. Sudah begitu, lanjutnya, Sjam juga tak tampak punya kegemaran membaca buku. Lingkup pergaulannya pun terbatas. Makanya, kalau ada data sejarah yang menyebut Sjam, pada tahun-tahun itu, ikut bergabung dan aktif di militer, Moekajin yakin: hal itu tidaklah benar. "Sjam tidak pernah bergabung di militer. Karena itu, dia tidak pernah ikut dalam peristiwa-peristiwa penting perjuangan kemerdekaan di Yogyakarta. Mulai dari Serangan 7 Oktober 1945 di Kotabaru sampai Serangan Oemoem 1 Maret 1949." Selain Mahameru I, kelompok diskusi lain yang acap diikuti Sjam, tak lain Kelompok Pathook '43 (diambil dari nama kampung) - yang eksis pada kurun 1943-1946 dan beranggotakan para pelajar Sekolah Menengah Tinggi Taman Siswa. Kelompok ini didirikan setelah Jepang, pada 8 Maret 1943, menutup sekolah Taman Siswa, yang mereka anggap "sarang kaum nasionalis". Dibimbing oleh, antara lain, Wijono Soerjokoesoemo (tokoh Taman Siswa), Soendjojo Koesoemo, dan Melanthon Tobing, Kelompok Pathook kelak berkembang menjadi salah satu simpul terkuat dari jaringan gerakan politik bawah tanah Sutan Sjahrir. Bersama Hatta dan Soebadio, Sjahrir memang beberapa kali memberikan bimbingan politik kepada anak-anak muda Pathook. Sebagaimana Mahameru I, mayoritas anggota Kelompok Pathook pun baru berumur belasan tahun. Toh, mereka sudah aktif mengkaji buku-buku Karl Marx, Adam Smith, dan melahap teori-teori kemiliteran Preager, perbandingan teori perjuangan dan pergerakan Machiaveli, Gandhi, hingga Lenin. Harus diakui, buku-buku macam itu memang amat menggairahkan pemuda-pemuda zaman itu, yang - dari hari ke hari - tak nyaman menghadapi represi fasisme Jepang. Wajar, jika kelak banyak aktivis Kelompok Pathook yang bergabung di Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), organisasi pemuda di bawah PSI. Jejak Sjam di Kelompok Pathook menarik dicermati. Meski di sini ia juga lebih banyak mendengar, namun - menurut rumor santer yang merebak kuat pasca-Soeharto lengser - di Pathook inilah Sjam mulai menjalin hubungan dengan Soeharto. Bukan rahasia, meski sama-sama pasif dalam diskusi, Soeharto pun tercatat sebagai salah satu anggota Kelompok Pathook. Kembangan rumor bahkan menyebut, Sjam-lah yang pertama kali mengajak Soeharto mengikuti diskusi-diskusi di Kelompok Pathook. Secara spekulatif, orang pun lantas mengait-ngaitkan peran Sjam dalam G-30-S sebagai "diketahui oleh Soeharto". Benar? Beberapa aktivis Kelompok Pathook yang dihubungi Tajuk, ternyata, berbeda pendapat tentang ini. Soemadi Moekajin, yang juga aktif di Kelompok Pathook, misalnya, tak mempercayai rumor tersebut. Ia bahkan tak yakin, Sjam dan Soeharto sudah saling mengenal ketika itu, lantaran - seingatnya - keduanya tak pernah terlihat berdua. Belum lagi, lanjut Moekajin, Sjam maupun Soeharto bukan anggota aktif Kelompok Pathook. "Jujur saja, selain lebih banyak mendengar, keduanya kalah pintar jika dibanding teman-teman lain di Kelompok Pathook," katanya. Sementara, menurut Dayino, 74, ketua Paguyuban Kelompok Pathook '43, rumor itu patut diragukan lantaran Sjam dan Soeharto berbeda tipe. Meski pendiam dan tertutup, Sjam masih memiliki ketertarikan pada topik-topik diskusi, sedangkan Soeharto tidak. "Saya ingat, ketika pertama kali datang, Soeharto malah tanya ke kita, 'Apa ta sing digunemke, aku kok ora mudheng.' (Kalian bicara apa sih, aku kok enggak ngerti)," ujar Dayino, seraya menunjuk Marsudi, tentara Heiho yang juga anggota Kelompok Pathook, sebagai orang yang memperkenalkan Soeharto dengan kelompoknya. Sepengetahuan Dayino, Sjam memang penganut gerakan kiri. Cuma, dalam pengejewantahannya, ia tergolong penganut Machiaveli. "Jadi, kalau dalam berpolitik Sjam mengacu pada kaidah-kaidah kiri, itu hanya legitimasi formal dia sebagai tokoh PKI. Pada dasarnya, Sjam tetap seorang Machiavelis." Dayino menambahkan, dari 58 anggota Kelompok Pathook, hanya empat orang yang kemudian menjadi komunis, yakni: Moenir, Hartojo, Sjam, dan Sumardi. "Soeharto berbeda lagi. Selain karena militer, dia juga tak suka diskusi soal-soal ideologi seperti nasionalisme, sosialisme dan kapitalisme." Moedjadi, anggota lain Kelompok Pathook, juga meragukan cerita yang menyebut Sjam sebagai orang yang membawa Soeharto ke kelompoknya. Setahu dia, selepas dari KNIL, Soeharto kala itu masuk dinas polisi Jepang, setelah sebelumnya sempat menjadi koki kapal laut di Surabaya. Dalam dinas kepolisian inilah, kata Moedjadi, Soeharto kenal dengan Sutadji, teman sekantor yang tak lain pemilik rumah kos Kelompok Pathook. "Jadi, Sudjadi-lah yang memperkenalkan Soeharto dengan para aktivis pemikir politik muda kala itu," jelas Moedjadi. Bagaimana persisnya hubungan Sjam dan Soeharto ketika itu, yang pasti, menurut Moehamad Noeh, 75, anggota lain Kelompok Pathook, Soeharto lebih dihormati dibanding Sjam. Pasalnya, dialah salah satu dari sedikit warga komunitas Pathook yang pernah mendapat pendidikan militer, sejak KNIL hingga PETA. Itu sebabnya, lanjut Noeh, ketika pecah perang kemerdekaan, Soeharto yang langsung dipercaya menjadi komandan pasukan. "Sedangkan Sjam, yang saya tahu, dia tidak pernah jadi tentara," jelas Noeh yang, selepas dinas militer, menekuni dunia usaha. Ada versi lain yang tak kalah seru. Menurut salah seorang anggota Kelompok Pathook yang menolak disebut namanya, Sjam dan Soeharto bisa jadi benar sudah saling kontak dan menjalin kerja sama sejak 1946. Hal ini patut "dicurigai", kata sumber itu, utamanya jika dikaitkan dengan adanya kesamaan modus operandi G-30-S dengan modus percobaan kudeta pada 3 Juli 1946, yang dilakukan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Tan Malaka dan Amir Syarifuddin. Seperti diketahui, dalam percobaan kudeta itu, FDR melakukan penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Pada saat-saat kudeta FDR, Soeharto - yang menjabat komandan Batalyon X dengan pangkat letkol - diperintahkan oleh Komandan Divisi Diponegoro, Mayjen Darsono, untuk melindungi Presiden Soekarno di Istana Negara. Soeharto menjalankan perintah dengan baik. Namun, belakangan muncul keanehan, lantaran sesudah percobaan kudeta itu, justru Mayjen Darsono sendiri yang ditangkap. Ia dituduh terlibat dalam gerakan itu dan dicopot dari jabatan komandan Divisi Diponegoro. Menurut sumber, Sjam - meski tak menenteng bedil sebagai prajurit - ketika itu menjadi intel di Batalyon X pimpinan Soeharto. "Permainan politik macam itulah yang, saya curiga, coba diulang dalam G-30-S," ujar si sumber, yang secara jujur mengakui, "teori"-nya sangat lemah dari sisi pembuktian. Tentunya, mengenai soal ini, semua akan lebih jelas jika Soeharto ikut berbicara.

(Kesaksian alumni Pesindo di Yogyakarta)

Melihat pertanyaan-pertanyaan yang mulai muncul di kalangan Veteran Tua tentang sepak terjang Soeharto, berarti bisa kita hubungkan antara kasus Jenderal Darsono pada peristiwa 3 Juli 1946 dengan kejadian 30 September 1965 dimana kemudian Soeharto sudah banyak paham bermain ditengah situasi yang pelik dan meminta keputusan yang paling tepat. Agak terlepas dari bahasan lalu bagaimana hubungan antara Sjam dengan DN Aidit untuk itu marilah kita lihat kesaksian AM Hanafi, mantan Dubes Kuba untuk Indonesia dan salah seorang yang sangat dekat dengan Bung Karno sejak sebelum masa Proklamasi 1945 dimana kakak AM Hanafi, Asmara Hadi menikah dengan Ratna Djuami (Omi) dimana Omi adalah anak angkat Sukarno tatkala Sukarno masih bersama Inggit Ganarsih. Berikut kesaksian AM Hanafi tentang siapa Sjam Kamaruzaman :

Nah,di Yogya inilah saya mengenali beberapa ex Pemuda Pathok, yang markasnya tadinya berada di Jl. Pakuningratan arah ke Jalan Tugu Lor. Di sana masih berdiam saudara Sulistio bersaudara (adiknya Dr. Sulianti dan Sulendro Sulaiman, semua pangkal namanya pakai "Su").Arah ke rumah saya Pakuningratan no. 60 ada rumah saudara Sumantoro Tirtonegoro (biasa kami panggil Mas Mantoro Waterleiding!). Dia inilah yang mengenalkan saya kepada saudara Sundjojo, Ketua Pathok yang aktif di sekitar hari-hari Proklamasi. Pemuda Pathok adalah hasil kaderisasi saudara Djohan Sjahruzah yang sudah saya kenal. Dan para Pemuda Pathok inilah yang memprakarsai agar Sri Sultan Hamengku Buwono dan anggota BKR yang bernama Soeharto berdiplomasi dengan Militer Jepang di Markasnya di Kota Baru secara damai menyerahkan senjata-senjata kepada Sri Sultan, demi keamanan. Dan dari saudara Sumantoro Tirtonegoro ini juga saya pertama kali mendengar sebuah nama Pemuda Pathok: Syamsul Qamar Mubaidah (yang di zaman Peristiwa GESTAPU, berubah sedikit namanya menjadi Syam Kamaruzaman Bin Mubaidah). Jadi, bisa disimipulkan Syam Kamaruzaman itu sudah mengenal Letjen Soeharto, sejak dari zaman "penyerbuan" Markas Jepang pada hari-hari permulaan Revolusi di Yogyakarta. Ketika saudara Mantoro Waterleiding itu bicara dengan saya itu, Syam sudah tidak berada di Yogya lagi, tapi bergabung dengan AMKRI yang diketuai oleh saudara Ibnu Parna di Semarang, dan kabarnya bersama Ibnu Parna turut mengorganisasi Penyerbuan Kidobutai di Semarang. Kemudian jadi "informan-rahasia" dari Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan. Komisaris Polisi Mudigdo ini (masih punya hubungan Famili dengan Mukarto Notowidigdo). Dia di masa Provokasi Madiun mati ditembak tentara di Pati, oleh sebab ternyata bersimpati kepada Amir Syarifuddin. Anak Komisaris Mudigdo itu, Dr. Sutanti biasa dipanggil 'Bolle", kemudian kawin dengan D.N. Aidit. Dari riwayat ini agaknya mulai ada hubungan Syam dengan Aidit sampai ke Peristiwa GESTAPU. Tapi kabarnya D.N. Aidit baru mengenal Syam di Jakarta di tahun l950-an diTanjung Priok. Mengenai hal "cerita" di Tanjung Priok ini akan saya singgung lagi kemudian. Saya sendiri mengenal langsung Syam Kamaruzaman Bin Mubaidah itu, barulah secara kebetulan di dalam penutupan Konferensi PESINDO di Solo, di akhir tahun 1946. Sebab sepanjang saya tahu, dia tidak ada fungsi apa-apa dalam PESINDO. Pada suatu malam setelah sidang selesai di malam itu (untuk diteruskani lagi besok hari), saya dan Wikana sedang duduk ngobrol ngopi dengan Fatkur, Tjugito, Krisubanu dan Ibnu Parna. Tiba-tiba datang dua orang menghampiri menyalami Wikana. Siapalah yang tidak kenal Wikana, selain Pemuda MENTENG 31, menjabat Menteri Negara dan menjabat Wakil Ketua PESINDO, di samping Krisubanu, Ketua Umum. Wikana mengenalkan pada saya dua orang itu: Syamsul Qamar, pemuda Laskar-PAI (Partai Arab Indonesia) asal Pekalongan, dan seorang lagi Polisi Sudjono Jemblung, asal Jawa Tiniur. "Syamsul Qamar boleh, Syam Kamaruzaman boleh juga, asal ada Syam-nya tapi yang penting pula bin Mubaidah," berseloroh Syam itu sambil ketawa mengoreksi Wikana. Syam perawakannya sedang, kulitnya tidak putih bersih seperti beberapa keturunan Arab, anggota Laskar PAI yang saya pernah kenal di Jakarta. Kulitnya agak kehitam-hitaman dan pakai kumis sedikit. Saudara Fatkur mengatakan kedua orang itu adalah polisi. Syam itu dikatakannya adalah "restan" Peristiwa Tiga Daerah. Entah Fatkur itu berseloroh saja, ataukah betul saya tidak ada kesempatan untuk berkenalan lebih panjang. Kedua orang itu kemudian diajak Fatkur pergi. Yang kedua kalinya saya ketemu pada Syam itu, kebetulan lagi juga di gedung PESINDO Pusat di Solo itu juga, pada akhir Juli 1948 sebelum terjadi Peristiwa Provokasi Madiun. Barangkali dia datang untuk menyaksikan apakah PESINDO Pusat itu masih ada? Sebab pernah gedung PESINDO itu diduduki oleh Tentara Siliwangi. ketika keadaan di Solo sangat kacau dekat sebelum kejadian Peristiwa Madiun tersebut. "Mau apa lagi itu Arab, itu mata-mata polisi Komisaris Mudigdo datang ke mari", ucap saya sebel pada Krisubanu. "Saya juga tidak suka kepadanya. barangkali dia mau menyaksikan kekalahan kita, tapi Fatkur yang mengurusi dia itu" kata Krisubanu. Itu kali Syam melaporkan tentang Konferensi Rahasia Sarangan, 21 Juli 1948, antara pihak Amerika (Gerald Hopkins dan Merle Cochran) dan dari pihak Indonesia Sukarno-Hatta-Sukiman- Moh.Natsir-Moh.Rum dan Sukamto. Tetapi Bung Karno pulang duluan, tidak menunggu sampai selesai begitulah dia melapor. Bahwa infonya Syam itu begitu penting mengenai Red Drive Proposal baru kemudian kami menginsafinya, setelah kejadian Provokasi Madiun. Dan bagaimana Syam bisa tahu itu Konferensi Rahasia Sarangan kalau tidak punya jalur hubungan dengan kalangan PSI? O, sebenarnya saya sudah dengar berita begitu dan akhirnya begitu banyak sudah orang-orang PESINDO yang menjadi korban dalam Peristiwa Provokasi Madiun itu. Seperti Kolonel Dahlan, suaminya Maasje Siwi anggota Dewan Penerangan PESINDO di mana saya menjabat sebagai Ketua. Dan lain-lain lagi. Sebenarnya mengenai saya, saya sudah lama ex-officio dan kedudukan saya sebagai Ketua Dewan Penerangan PESINDO, sejak kesibukan saya di Kementerian Pertahanan sebagai Opsir Staf PEPOLIT. Dan jabatan saya sebagai Komandan Laskar PESINDO Jawa Barat, sudah saya letakkan pada pertengahan Juli 1949 dan saya percayakan kepada saudara Wahidin Nasution dari Laskarr Rakyat Jakarta Raya. Sesudah dua kali saya ketemu, melihatnya bermuka-muka, itu informan, atau polisi mata-mata-gelap dari Komisaris Mudigdo, ex Pemuda Pathok, yang orang kata kadernya Djohan Sjahruzah yang saya sangsikan pantasnya disebut kader, tapi sebetulnya seorang insan yang memberi kesan seorang pengabdi perjuangan, tapi hanya seorang avonturir yang berpretensi bisa tahu semua, tapi akhirnya mendorong R.I. terjerembab ke bawah sepatu seorang diktator.

Itu adalah kesaksian AM Hanafi mengenai Sjam secara pribadi. Lalu ada lagi kesaksian AM Hanafi yang mengungkapkan bagaimana kemudian Sjam bertemu dengan DN Aidit. Begini kesaksian dari eks Dubes Indonesia untuk Kuba itu :

Di atas saya telah menyinggung sambil lalu tentang Syam Kamaruzaman. Sekarang akan saya bereskan keterangan saya mengenai dia itu sampai selesai bagaimana dia sampai jadi informan Kolonel Suwarto di SESKOAD di Bandung, akhirnya kecantol pada Kolonel Soeharto di tahun 1959. Di zaman Jepang dia kerja jadi polisi mata-mata di bawah Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan (yang kemudian jadi mertua D.N.Aidit). Ini keterangan Fatkur dari Biro Khusus Dewan Pimpinan Pusat PESINDO. Tapi sebelum sampai di Semarang ketemu dengan Kompol Mudigdo, dia adalah salah seorang Pemuda Pathok di Yogyakarta dan termasuk dalam barisan kadernya Djohan Sjahruzah. Kalau di Jakarta yang jadi central aktivis pemuda ialah MENTENG 31, maka di Yogyakarta yang bangun memelopori aktivitas revolusioner dikenal kemudian ialah Pemuda Pathok ini. Atas desakan pemuda-pemuda yang dipelopori pemuda Pathok ini Sri Sultan Hamengkubuwono dan anggota BKR Soeharto didesak merebut senjata Jepang di Kota Baru. Dapat disimpulkan dari masa itulah kontak pertama Sjam Kamaruzaman dengan Soeharto. Ini sesuai dengan keterangan Sumantoro Tirtonegoro tetangga saya di Pakuningratan. Ia di zaman Belanda anggota PNI-Pendidikan (Hatta- Sjahrir). Di zaman mulainya revolusi bersenjata, Syam bergabung dengan pemuda di Semarang di bawah pimpinan Ibnu Parna (kemudian menjadi AKOMA). Kemudian Syam turut dalam apa yang disebut "revolusi sosial" di Peristiwa Tiga Daerah (Brebes-Tegal-Pemalang) yang pada mulanya dalam prinsip disetujui oleh Bung Sjahrir, tetapi kemudian setelah ia menjadi Perdana Menteri terpaksa distop sebab tidak terkendalikan lagi. Seorang di antara tokoh pimpinan Peristiwa Tiga Daerah ini bernama Widarta, seorang komunis, dihukum mati oleh PKI sendiri atas desakan Menteri Amir Sjarifuddin. (Baca Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah). Syam Kamaruzaman lari ke Pekalongan; di sini ia kembali menjadi polisi mata-mata (Informan) dari Komisaris Polisi Mudigdo yang Amir-minded. Oleh sebab itu dalam peristiwa Provokasi Madiun dia di tembak mati oleh tentara di Pati. Selama Peristiwa Madiun tersebut Syam menghilang, tidak ada yang tahu dia ada di mana. Juga saya tidak pernah dengar dia ada di mana selama Perang Kolonial ke II ketika Yogyakarta, Ibu Kota R.I. diduduki NICA (Tentara Belanda). Ketika saya ketemu dengan Wikana, di tahun 1955, ketika saya aktif memimpin Kongres Rakyat untuk Pembebasan Irian Barat dia menceritakan babwa Syam Kamaruzaman itu selama Peristiwa Madiun lari menyelundup ke Jakarta dan bersembunyi di Tanjung Priok. Di sana ditemukan oleh saudara Mr. Hadiono Kusumo Utoyo yang seperti Syam cenderung kepada Sjahrir, tapi banyak hubungan dengan orang-orangnya Amir Sjarifuddin (PKI). Hadiono menganjurkan Syam sebaiknya mendirikan organisasi Serikat Buruh. Maka berdirilah SBKP (Serikat Burub Kapal dan Pelabuhan). Mr. Hadiono Kusumo Utoyo ini asal dari anggota P.I. Belanda, dia hanya menganjurkan saja. Pimpinan SBKP itu terdiri dari Syam sebagai Ketua. Lainnya Munir, Hartojo. Sudio (guru Taman Siswa Ki Mohamad Said di Kemayoran). Mulai dari sejarah SBKP inilah, D.N.Aidit dan Lukman tahun 1950 mulai kenal dengan Syam Kamaruzaman . Sebab sebeIumnya Aidit dan Syam tidak pernah kenal ketika masih di pedalaman R.I. Sejak Peristiwa Madiun dan PKI babak belur, Aidit dan Lukman menyelamatkan diri ke Jakarta. Di sana oleh Munir yang memang sudah dikenal Aidit, di masa Munir mengorganisasi supir becak di Jakarta di hari-hari Proklarnasi, Aidit bersembunyi bersama Syam dan Munir di Tanjung Priok; kemudian pindah bersembunyi di rumahnya saudara Husein (ex-Ketua B.P. GERINDO cabang Sawah Besar). Ini diceritakan Husein langsung kepada saya yang tetap bersimpati kepada saya sebagai ex-sekjen B.P. GERINDO. Sehubungan dengan hal ini penting saya menunjuk pada "isapan jempol" Sugiarso Surojo "Siapa menabur angin ..." halaman 230, yang menyebut Aidit ke Peking 1950, tentang Tanti dokter keluaran Moskow, dan tentang Dokter Mudigdo, tentang D.N.Aidit, semua itu isapan jempol komunisto-phobi Sugiarso Surojo.
Ketika saya tanya kepada Husein "apa betul Aidit dan Lukman sempat pergi ke Vietnam dan ketemu dengan Ho Chi Minh dan ke Tiongkok ketemu Mao, seperti desas-desus yang saya dengar?" Husein senyum-senyum saja. Dia tidak bisa dan tidak berani bohong pada saya. Maka mulai dari masa itulah saya mulai bertambah khawatir terhadap Aidit. Apalagi kemudian saya ketahui dia jadi ketua PKI. Saya jadi tambah khawatir. Qua intelek dia oke, sebab rajin baca, tapi pengalaman politik kurang sekali, pengalaman revolusi bersenjata tak ada sama sekali (waktu pertempuran bergolak di Jakarta dan di Krawang-Bekasi, waktunya habis terbuang dalam tahanan Belanda di pulau Onrust. Ketika keluar dari Onrust tahun 1947 dia cari saya di Pakuningratan-Yogyakarta. Dia datang pamit mau masuk PKI.
Saya bilang: "Jangan,... saya sendiri, terus terang tidak berani, menurut saya, orang yang masuk PKI orang yang tidak akan kehilangan apa-apa dan tidak akan mendapat apa-apa, kecuali memberi, sekali lagi memberi kepada orang lain, kepada Rakyat. Turut saja sama saya ke Front Krawang!"
Dia minta waktu pikir-pikir. Aidit sejak zaman Belanda dan zaman Jepang di Barisan Pemuda GERINDO dan MENTENG 31 selalu turut sama saya, di masa permulaan zaman Jepang di mana kehidupan rakyat mulai jadi tambah sulit, saya dan Pardjono angkat dia dari itu "bedeng-liar" di daerah Pasar Senen, kerja-upahan sama Si Ali- Padang menjahitkan pakaian tua, pantalon satu bisa dijadikan dua celana-pendek dan sebagainya. Saya masukkan dia ke MENTENG 31, Asrama Angkatan Baru Indonesia bersama Pardjono dan lain- lain, untuk menjadi Pejuang Kemerdekaan yang tangguh. Dia memang betul jadi seorang pejuang betul-betul, tapi sejak dari mudanya wataknya suka keblacut karena semangat petualangannya dan ambisius. Saya ceritakan ini bersih dari penghinaan atau sanjungan, melainkan dengan rasa persaudaraan yang sewajarnya saja. Oleh sebab itulah saya tidak merasa segan untuk selalu menasihatinya, bahkan memarahinya kalau caranya saya pandang agak keterlaluan. Tetapi, sesudah dia menjadi Ketua PKI, saya tahu membatasi diri saya, dan diapun menjadi jarang ketemu saya lagi. Pernah dia mengatakan, "orang bilang Bung itu orang burjuis". Sebenarnya dia menyindir.Tapi saya tidak merasa maju atau mundur dengan sindiran demikian. Oleh karena itu saya tidak heran kalau orang bilang Aidit itu berspekulasi politik dengan Syamn Kamaruzaman, mulainya dari persembunyiannya di Tanjung Priok dalam SBKP yang diketuai oleh Syam di tahun 1948 itu. Menurut Sudio, sejak ketika razia Agustus 1951, Syam menghilang tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Tapi apa itu razia Agustus? Itu zaman Dr. Sukiman, Perdana Menteri. Katanya Kantor Polisi Tanjung kena serbu orang-orang PKI, buktinya ada ditemui bendera palu arit. Setelah dibuktikan bendera itu bukan palu arit PKI, sebab letak palu arit itu terbalik, jadi bendera itu palsu. Mestinya palunya di kanan dan aritnya di kiri. PKI sejarah romantiknya ialah tidak berhenti kena Provokasi, mulai Madiun, ketika itu Tanjung Priok, dan akhirnya yang ketiga dengan adanya Peristiwa GESTAPU, di mana Aidit dan Syam terpancing oleh "isu Dewan Jendral" dengan bersemangat individual bergerak "daripada didahului lebih baik mendahului". Di situlah apesnya. Aidit jalan "keluar-rel", mesti saja terbalik kereta api PKI. Artinya hanya pinter- pinteran persekongkolan berdua-duaan dengan Syam yang sebenarnya agen-informan tiga-rangkap: PSI-Tentara-Aidit. Dus, Aidit secara pribadi, bukan PKI'. Kalau Syam sungguh- sungguh komunis mengapa urusan kudeta ditangani sendirian tidak oleh Partai, PKI. Ini logika yang sederhana saja. Kalau urusan kudeta dihadapkan pada Partai, maka cara Aidit/Syam menghadapi "isu Dewan Jendral" itu, saya kira akan lebih banyak yang tidak setuju daripada yang acc. Lagi ini logika yang sederhana, demokratik saja. Itulah kenapa saya sebut "keluar-rel". Tapi buat apa lagi analisa ini. Tidak ada gunanya lagi sebab PKI sudah dilibas habis oleh Soeharto masuk ke alam neraka yang tersiksa menebus kesalahan ... yang bukan kesalahannya. Sebab Soeharto: Himmler-nya GESTAPU- Mbah Provokasi. Saya tidak akan nenjelaskan lagi. Biarlah para para penulis roman, cerpen,. politisi, peneliti sejarah mengadakan riset dan menggunakan daya imaginasi mereka, fantasi rasa demokrasi dan kepekaan manusiawinya bekerja, supaya dunia yang bundar ini bisa berputar pada sumbunya dengan kedamaian. Masa'le ... semua kang-mas dan diajeng di Indonesia mau disulap oleh Soeharto menjadi penjilat semua? Kita kembali pada Syam Kamaruzaman. Sesudah razia Agustus di mana SBKP jadi sasaran di tahun 1951. Syam lari menghilang akhirnya diketemukan sudah menjadi "tentara" katanya, menjadi infornan" SESKOAD, katanya orang lagi, berpangkat mayor. Ini ceritanya Wikana. "Katanya", atau "kata orang", itulah karena tidak ada orang tahu kepastiannya. Tapi kemudian, lama-kelamaan, bahwa kepergiannya Syam ke Bandung itu atas kemauannya, inisiatipnya, tapi dengan persetujuan Aidit Ketua PKI. oleh sebab dia (Syam) mengatakan bisa ber-camuflage berlindung menjadi informan" pada tentara. Kepada siapa dia berhubungan dengan Tentara yang dikatakannya itu tidak jelas, barulah kemudian, setelah kolonel Suwarto pulang dari Amerika membawa konsepsi membangun SESKOAD, Syam Kamaruzaman dengan sendirinya menginsafi bahwa dirinya atau missinya sebagai "informan" rangkap itu, mempunyai arti yang bertambah penting, berdiri kuat di antara dua rival : Tentara versus PKI. Sesudah PKI: PERMESTA berantakan dipukul oleh tentara di bawah pimpinan Jendral Yani, kolonel Suwarto sebagai Direktur SESKOAD Me-refomasi konsepsinya yang sesuai dengan garis kepentingan CIA untuk menghancurkan Sukarno dan PKI (komunis). Dengan kedatangan Soeharto ke SESKOAD sebagai "setrapan" dan Jendral Nas karena barter Semarang dan karena pembakaran "Gedung Papak" yang menggegerkan itu, kolonel Suwarto menemukan diri kolonel Soeharto itu satu kecocokan untuk dijadikan "ujung tombak" untuk digunakan kepada sasarannya. Salah satu sebab tentulah berdasar kekecewaan dan kejengkelan Soeharto dicopot dari kedudukannya sebagai Panglima Divisi Diponegoro yang telah dibangunnya dengan dua anggota trionya: Yoga Sugama dan Ali Murtopo dan tentulah juga karena ambisinya setelah Suwarto sendiri kontak dengan Guy Pauker di Amerika (baca Peter Dale Scott). Tampaklah jelas aktor-aktor utama di belakang layar GESTAPO dan Dewan Jendral yaitu: Soeharto-Suwarto-Syam Kamruzaman. Namun, setelah layar adegan GESTAPU diangkat/dibuka, yang tampak atau ditampakkan hanyalah Syam Kamaruzaman dengan Latief cs. Soeharto ganti peranannya jadi "dewa Semar palsu". Jadi kerja pengkhianatan Soeharto itu bukanlah tiba-tiba dalam satu hari, sudah jauh hari sebelumnya, bulan dan tahun sebelum GESTAPU, jadi bukan baru dimulai tanggal 1 Oktober l965 jam 6 pagi, ketika saudara Mashuri datang ke rumahnya memberi tahukan tentang pembunuhan jendral-jendral, seakan-akan dia tidak tahu sebelumnya akan kejadian mengerikan itu. Itulah yang kemudian dia gunakan sebagai "pretext" (dalih) sekaligus justifikasi untuk melibas PKI dan kemudian memenjarakan Presiden Sukarno di rumah Ibu Dewi sampai beliau meninggal. Tapi ketika Mashuri datang ke rumahnya itu, Soeharto sudah siap berpakaian uniform tempur. Alangkah tidak lucunya dimunculkannya Soeharto sebagai penyelamat Pancasila sehubungan dengan Peristiwa 1 Oktober 1966 itu. Sekalipun kodok-kodok yang biasa hidup di comberan, tidak akan mau "mengorek-ngorek" begitu. Sungguh saya malu melihat ulahnya jendral bangsa saya ini. Setelah penumpasan pemberontakan PRRI/PERMESTA di Sumatera Barat, dan ditariknya Letkol Latief ke Jakarta menjadi Komandan Brigade Infanteri pada Kodam JAYA, Syam Kamaru- zaman kerjanya bolak-balik antara Bandung-Jakarta. kemudian menetap di Jakarta setelah Jendral Soeharto diangkat menjadi Panglima KOSTRAD. Syam jadi bertambah kuat sandarannya dalam berhubungan dengan Aidit. Selain menempatkan dirinya sebagai informan di bawah lindungan Brigade Infanteri Kodam V Jaya (overste Latief), dia juga punya hubungan dengan KOSTRAD (Jendral Soeharto). Dapatlah kiranya disimpulkan hahwa mulai masa itu, ditambah lagi dengan datangnya masa "Konfrontasi Ganyang Malaysia", dan keadaan SOB oleh Tentara dipertahankan terus, avonturisme ke arah KUDETA yang di-isukan Dewan Jendral dan di-isukan juga oleb Biro Khusus Aidit dan Syam, sesuai dengan perkembangannya mencapai bentuk yang lebih kongkret. Sampai bulan Apustus, Dewan Jendral dan Biro Khusus masing-masing saling berhadapan dengan nyala api provokasinya sendiri-sendiri sampailah ke 30 September 1965, di mana Biro Khusus (Syam Kamaruzaman dan D.N.Aidit dengan Untung dan Latief keduanya terakhir orangnya Jendral Soeharto pula) bergerak menerjuni perangkap provokasi yang diciptakan Suwarto (SESKOAD) dan Jendral Soeharto (baca MAHMILUB II tentang Kolonel Latief). Ada sedikit peristiwa lagi mengenai Syam dan Aidit yang penting saya tambahkan di sini. Ketika saya sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan keberangkatan saya ke Kuba di bulan Desember 1963 pada suatu hari tiba-tiba datang D.N.Aidit ke rumah saya di jalan Madura No.5 dengan seorang temannya. Aidit lebih dulu turun dari mobil segera langsung naik ke tangga. Temannya itu menyusul dari jalan mulai masuk ke pekarangan. Setelah saya perhatikan siapa temannya itu, dengan suara keras saya membentak Aidit: "Kenapa kau bawa itu polisi pada saya? Polisi dia itu ..." Orang itu ialah Syam Kamaruzaman yang pernah ketemu saya di Konperensi PESINDO dahulu dan yang sudah banyak saya dengar cerita yang mencurigakan mengenai dia: Badannya sudah agak gemukan, tidak seperti masih muda dahulu. Mendengar bentakan keras saya kepada Aidit itu, Syam jadi kaget terus mambalikkan badan kembali masuk ke mobil lagi tanpa mau melihat dan berkata apa-apa. Aidit pun tanpa berkata tanpa pamit pergi menyusul Syam masuk ke mobil. Begitulah. Saya betul-betul jengkel dan tidak mengerti apa maunya Aidit dengan orang Itu dan kenapa dia bawa orang itu mau dikenalkan pada saya? Dia kira dia bisa bikin surprise bagi saya, sedangkan saya sudah lebih dahulu dari dia kenal si Syam itu. Andaikata Aidit dari jauh-jauh hari mau menceritakan pada saya tentang kontaknya pada Syam itu, sudah pasti saya mau bilang: "jauhi itu penyakit''. Tapi Aidit bukan orang bodoh, apalagi dia Ketua PKI, buktinya dia punya kelebihan tertentu, tidak mungkin dia tidak mengetahui siapa dan apa yang ada di belakang Si Syam itu. Barangkali dia kira dia bisa menggunakan Syam. Bagaimana seorang Ketua Partai bisa begitu? Tidak ada yang bisa jamin apa kerjanya Syam itu. Ideologi tidak punya. Katanya orang PSI, katanya, kenapa tidak ditelusuri betul tidaknya, kan Aidit kenal L.M. Sitorus Sekjen PSI, dulu sama-sama anggota asrama MENTENG 31? Kalau bagi saya jelas siapa Syam, dia itu hantu - boleh saja ketemu di jalan tapijangan dibawa masuk ke dalam rumah.

(Dicuplik dari Tulisan A.M. HANAFI MENGGUGAT)



Bila kita membaca tulisan diatas menjadi kentara antara hubungan antara Sjam dengan Soeharto. Saya sendiri belum pernah membaca hubungan antara Suharto dengan DN Aidit. Namun yang menarik adalah perlunya diperiksa apakah benar Sjam Kamaruzaman pernah menjadi agen intelijen pada Batalyon X dimana kemudian memainkan peranan yang sangat besar terhadap penangkapan Jenderal Soedarsono. Karena bila dilihat pola G30S sama persis dengan pola peristiwa 3 juli. Menurut buku-buku yang membahas gerakan 30 September 1965 Sjam dikenal sebagai otak yang membentuk Biro Chusus PKI. Keberadaan Biro Chusus ini tidak diketahui oleh banyak dari elite PKI dan ini juga merupakan misteri yang harus dipecahkan. Karena keberadaan Biro Chusus ini adalah awal dari kebangkrutan PKI di Indonesia. Dan menyeret jutaan nyawa manusia Indonesia yang tidak berdosa karena terbunuh yang disebabkan permainan politik kelas tinggi yang sampai saat ini tidak dimengerti. Kembali ke Sjam, bila memang benar Sjam adalah agen intelijen Soewarto bisa jadi Sjam ini disodori oleh Soeharto kepada Soewarto untuk sebuah rencana. Jadi bila dikaitkan antara Sjam dengan Soewarto hal yang paling logis adalah lewat rekomendasi Soeharto (karena Suwarto bertemu Suharto dan menjalin hubungan akrab saat mereka menjadi guru dan murid di SSKAD). Sampai saat ini keberadaan Sjam belum jelas dan kapan tanggal eksekusinya. Boleh jadi Sjam adalah missing link terbesar kedua setelah ‘pertanyaan dimana Soeharto pada malam G30S sejak jam 10.00 wib sampai jam 5.00 wib. ? Dimana keduanya menuju satu arah siapa yang sebenarnya memerintahkan bunuh para Djenderal? Sjam atau yang diatas Sjam. Versi Orde Baru yang memerintahkan bunuh para Djenderal adalah Sjam atas perintah DN Aidit yang dijemput paksa dari rumahnya oleh beberapa orang tidak dikenal. Namun ini tidak terbukti karena DN Aidit segera dieksekusi mati tanpa proses pengadilan atas perintah Suharto melalui Kolonel Yasir Hadibroto.

Sekarang kita beralih pada hubungan antara Kolonel Latief dengan Suharto. Dari sekian cerita-cerita hubungan gelap antara Suharto dengan rekan-rekannya yang menjadi pentolan G30S seperti : Sjam, Soepardjo dan Untung. Hubungan dengan Latief-lah yang dibahas secara luas dan kelak setelah mundurnya Soeharto pada tahun 1998 banyak diungkap oleh penulis sejarah. Sebenarnya hubungan antara Suharto-Latief ini bisa menjadi entry point bagaimana peran Suharto pada Gerakan penculikan para Jenderal itu. Karena secara resmi Latief sendiri sudah mengajukan peran Suharto ini pada pledoi-nya awal tahun 1978 namun karena kekuasaan Suharto terlalu kuat pada waktu itu maka kasus itu menjadi mengendap begitu saja. Kasus ini tidak menjadi sebuah berita menghebohkan dikalangan masyarakat umum karena berdekatan dengan kasus gerakan Mahasiswa 1978 dimana pada tanggal 21 Januari 1978 ada lima koran yang dibreidel karena terlalu bersemangat memberitakan gerakan mahasiswa, lima koran itu adalah : Kompas, Merdeka, Pelita, Sinar Harapan dan Indonesian Times. Selain itu memang aparat terlalu merapat erat-erat berita pledoi Latief ini agar jangan sampai keluar ke masyarakat umum. Barulah pada tahun 2000 saat Latief mengeluarkan bukunya yang berjudul : “Pledoi Kolonel Latief Suharto Terlibat G30S”. Sebelum masuk membahas hubungan antara Latief dengan Suharto saya ingin mengemukakan keheranan saya karena Latief ini tidak dieksekusi mati. Beda misalnya dengan yang terjadi pada pemimpin gerakan dari kalangan militer lainnya seperti : Letkol Untung Bin Sjamsuri dan Brigjen Soepardjo atau dari kalangan sipil yang terlibat dimana terjadi pembunuhan diluar proses pengadilan seperti yang terjadi pada pemimpin PKI, DN Aidit dan Njoto. Latief ditangkap pada 11 Oktober 1965 beberapa kali akan diseret menuju penembakan mati, namun gagal terus dan pada tanggal 6 Desember 1998 beberapa bulan setelah Suharto jatuh Latief dibebaskan oleh rezim Habibie. Sungguh aneh kenapa orang yang dinyatakan paling terlibat dalam gerakan tidak segera dieksekusi. Mungkin saja Latief memiliki informasi penting tentang G30S tapi kalau informasinya itu menyangkut dengan hubungan dia terhadap Suharto berarti langkah paling pragmatis adalah membunuh Latief tapi tidak dilakukan oleh Suharto. Penjelasan paling logis adalah memang Suharto sangat dekat sekali dengan Latief bahkan hubungannya adalah hubungan antara keluarga. Bagaimana kedekatan Latief dengan Suharto ini, prolognya bisa kita ambil dulu dari kesaksian AM Hanafi :

Yang terakhir: Mengenai Soeharto dan Latief Pembaca yang terhormat, Baiklah dibaca lagi pleidooi kolonel Latief di mana dia menjelaskan, balwa dua hari sebelum 1 Oktober 1965, dus tanggal 28 Septem- ber 1965 dia sudah berkunjung ke rumah Panglima KOSTRAD Letjen Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada kesempatan itu ia melaporkan kepada Soeharto mengenai "info" Dewan Jendral. Soeharto menjawab bahwa dia juga sebelumnya sudah diberi info oleh anak buahnya dari Yogyakarta, yang bernama Subagyo, tentang Dewan Jendral yang akan mengadakan kudeta. Kunjungan tersebut tampaknya saja pertemuan ramah-tamah kekeluargaan, bersama Latief turut Ibu kolonel Sujoto, di pihak Soeharto dan Ibu Tien ada Tommy puteranya yang masih berumur 3 tahun dan ada pula hadir orang-tuanya lbu Tien. Tapi yang penting dicatat dari adanya kunjungan ini, bahwa Latief telah melaporkan tentang rencana kudeta apa yang disebut Dewan Jendral itu, dua hari sebelum kejadian apa yang kemudian disebut GESTAPU. Pembaca yang terhormat, Dan sini harus dipertanyakan, mengapa Jendral Soeharto tidak tegas memperingatkan, artinya segera memperingatkan para anggota Dewan Jendral, yang nota bene kolega sendiri, supaya hati-hati dan siap-waspada untuk tidak dibikin kambing dan disate oleh konspirator-konspirator kudeta itu? Dua hari itu kesempatan waktu lebih dari cukup untuk mengambil tindakan preventief(pencegahan) supaya tidak kedahuluan. Itulah yang mesti dia kerjakan, tapi tidak dikerjakan. Inilah membuktikan bahwa Soeharto sudah berencana (voorbedacht) dengan sengaja membiarkan Jendral Ahmad Yani dan lain-lain itu menjadi korban kup yang dia sudah atur. Malah selanjutnya lebih terbukti lagi pengkhianatan itu terhadap Jendral Panglima A.Yani dengan lima jendral yang telah menjadi korban itu. Ketika Kolonel Latief datang ke RSPAD, katanya Soeharto untuk menengok anaknya Tommy yang ketumpahan sop panas, sebenarnya merupakan alasan yang konyol terbanding dengan pengorbanan Panglima A.Yani cs. Kenapa dia tidak langsung menangkap kolonel Abdul Latief itu, padahal Soeharto sudah tahu "kerja-komplot" Latief itu, tetapi dia malahan membiarkan kolonel Latief pulang ke sarang GESTAPU untuk memberi signal gerak kepada Kol.Untung cs menangkap atau di mana perlu membunuh A.Yani cs. Di sinilah terletak tanggung-jawab yang kedua dari Letnan Jendral Soeharto yang paling berat, paling kriminal dan paling khianat dengan sengaja membiarkan Panglima Yani dan jendral- jendral dibunuh.Jadi dialah yang harus diadili lebih dulu, lalu baru dideretkan itu anggota komplotan GESTAPU, termasuk Syam dan Aidit. Mestinya begitu, toh! Baca Lampiran: "Mengungkap sejarah yang sebenarnya". Dokumen tersebut saya terima dari saudara Karna Rajasa (alm.) ketika beliau berkesempatan di masa hidupnya mengunjungi saya di Paris. Soeharto boleh bilang apa yang dia mau bilang, lidah tidak bertulang, dia tidak mati bersama A.Yani cs., dia bangun, sekali bangun terus teriak "maling", menunjukkan jari ke GESTAPU/PKI. Tapi kalau kita waras, kita pakai logika dan dialektika, artinya tidak merancukan urutan fakta, maka jelaslah memang Soeharto punya gara-gara. Makanya saya gugat dia. Dan saya yakin sebagian besar Rakyat In- donesia sependapat dengan saya!!! Di dalam sidang MAHMILUB, rupanya Latief tidak berani bicara terus terang, seperti apa yang saya uraikan di atas ini. Walaupun fisiknya sudah dibikin invalid oleh petugas yang menangkapnya. Saya dapat memakluminya. Barangkali dia masih mengharap demi keselamatan nyawanya adanya seujung rambut rasa kemanusiaan pada ex komandannya Soeharto itu.Apakah ada rasa kemanusiaan,masih ada moral atau sedikit rasa kasihan sang komandan kepada bekas bawahannya, Latief, itu pejuang "Enam jam di Yogya 1 Maret 1949" yang mengangkat nama Overste Soeharto lebih dikenal? Saya tidak menemukan bayangan moralitas yang saya tanyakan itu pada Soeharto di dalam bukunya yang dibanggakannya mengenai "Enam Jam di Yogya" itu. Mengapa tidak ada satu patah kata pun menyebutkan nama Kapten Latief, apalagi peranan Latief yang memimpin pasukannya masuk menyerang ke dalam kota Yogvakarta di hari 1 Maret 1949 itu.Yang dikenalkannya cuma nama Letnan Marsudi dan Letnan Amir Murtono bekas pemuda PESINDO Madiun yang anti Sukarno. Marsudi tidak anti Sukarno karena itu tidak diberi kedudukan seperti Amir Murtono yang dijadikannya Ketua DPR yes man yang pertama. "Demokrasi" a'la DPR Orde Baru cuma merek doang, frasiologi demokrasi yang isinya tulang-sumsum autokrasi. Saya kasihan pada Latief, pada nasibnya. Dia pejuang yang turut berjasa banyak pada Republik.Tapi disalah gunakan oleh Soeharto untuk kepentingan pribadi Soeharto sendiri. Tapi Tuhan itu Besar, Tuhan belum mau panggil pulang Latief, tentulah ada maknanya rahasia Tuhan. Wallahu'alam.

(AM Hanafi Menggugat)


Dalam kesaksian Soebandrio yang kelak di dalam penjara LP Cipinang sangat mengenal Latief karena mereka dipenjara dalam satu zona. Sebelumnya mereka juga dipenjara di RTM Salemba dimana banyak petinggi militer yang juga dipenjara termasuk Jenderal Pranoto, Jenderal Rukman, Marsekal Omar Dhani, Brigjen Polisi Sutarto, Jenderal Soeharijo alias Hario Ketjik dan banyak lagi perwira yang Sukarnois ditahan oleh Suharto, bahkan ada yang dicurigai dibunuh seperti kasus bunuh dirinya Letjen Kko Hartono tahun 1971.

Berikut kesaksian Soebandrio terhadap Kolonel Latief :

Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati. Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran. Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di seantero Yogyakarta. Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang. Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka. Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja – menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang menang. Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto. Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana.

Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan persahabatan – di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro.

Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965. Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita Latief kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief. Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini Latief melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto. Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30 September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu saja yang menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo. Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan kepada teman-temannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka. Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka.Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal.

(Soebandrio : Kesaksianku tentang G30S)

Semua buku sejarah yang mengupas G30S pasti mengupas dua kali pertemuan antara Latief dan Soeharto. Dua pertemuan ini sesungguhnya penting karena bisa membongkar semua sejarah yang ditutup-tutupi. Informasi yang didapat Soeharto bisa jadi merupakan Insider Trading dari sebuah spekulasi politik untuk mencapai setidak-tidaknya kedudukan Menteri Panglima Angkatan Darat setelah Yani berhasil dibunuh. Hubungan Latief – Suharto sangatlah dekat namun ini tidak terungkap sepanjang peristiwa G30S meletus karena Suharto sangat cepat dalam bertindak termasuk melakukan teror pembunuhan dan penangkapan-penangkapan tokoh politik penting, termasuk pada orang yang ditugasi Bung Karno untuk menyelidiki fakta pembunuhan yang terjadi akibat peristiwa G30S di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Oei Tjoe Tat yang juga mengenal Soebagiyo nama yang disebut-sebut Soeharto yang memberikan informasi akan adanya gerakan yang membahayakan negara. Hal ini diungkap oleh Oei Tjoe Tat dalam bukunya : “Memoar Oei Tjoe Tat”.

Mengenai hubungan Suharto dengan Brigjen Supardjo adalah Pangkopur II yang berkedudukan di Kalimantan, sementara Suharto adalah atasannya langsung. Supardjo ini adalah Jenderal yang berasal dari Siliwangi dan terkenal dekat dengan Sukarno. Bagi ahli sejarah yang berada pada posisi menuduh Sukarno terlibat dengan G30S seperti ACA Dake atau yang berpihak pada Suharto seperti Victor M Fic, kedudukan Supardjo ini kerap dituding sebagai kunci untuk membuka keterlibatan Sukarno. Mereka mengatakan bahwa Sukarno memerintahkan Supardjo menghentikan gerakannya, seakan-akan Sukarno-lah pemimpin gerakan pasca penculikan. Padahal apa yang dilakukan Sukarno adalah memerintahkan Supardjo agar tidak ada pertumpahan darah antara AURI, AD pimpinan Suharto dan AD yang bergerak dibawah komando Untung. Tapi banyak juga yang menyebutkan bahwa Supardjo ini sesungguhnya kecewa setelah ia mendengar banyak dari perwira tinggi AD yang tidak serius dalam melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Dititik inilah kemudian Supardjo terlibat dalam gerakan Untung. Supardjo bukanlah perwira yang bersimpati pada PKI, tapi ia lebih dikenal sebagai perwira yang mendukung Sukarno seperti halnya : Omar Dhani, Pranoto, Suryosumpeno dan Ibrahim Adjie.

Jadi bisa anda saksikan rangkaiannya dalam gerakan G30S ini. Suharto telah mengambil manfaat banyak dari investasi politiknya, yaitu membangun hubungan lebih kepada bawahannya ketimbang dengan petinggi di Jakarta seperti halnya yang dilakukan Jenderal Yani. Jadi disini Suharto menerapkan Bottom Link dan memang kemudian yang paling menentukan dalam krisis 1965 adalah Gerakan setingkat Kolonel yang menghabisi para Jenderal dimana kemudian Suharto mendapat manfaatnya paling banyak bahkan kemungkinan diluar impiannya dengan menjatuhkan Sukarno.

Dimanakah Suharto pada jam-jam pembunuhan para Djenderal?

Misteri ini seperti yang saya katakan adalah missing link terbesar dalam misteri G30S. Dimanakah Suharto pada jam 23.00 wib – 5.00 wib.? Menurut pengakuan Suharto pada jam 23.00 wib ia meninggalkan RSPAD yang sebelumnya juga bertemu dengan Latief. Adakah kesaksian yang mengetahui bahwa Suharto langsung pulang ke rumahnya? Ataukah Suharto mampir ke Kostrad? Atau Suharto melakukan kungkum (bertapa dengan berendam di air) di Ancol seperti yang banyak diberitakan oleh orang. Antara jam 23.00 - 5.00 ada waktu enam jam yang menjadi misteri dan Suharto berujar bahwa pada jam segitu dia tidur. Keraguan terbesar bahwa Suharto ini tidur banyak dilontarkan oleh para sejarawan dan para pelaku sejarah.

DARI DETIK KE DETIKPagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju Istana. Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke Istana. Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas Parto mengusulkan Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat. Itu asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima laporan dari Brigjen Soepardjo. Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan AURI. Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan. Tetapi menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara yang sebenarnya. Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes. Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi bahwa beberapa jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal, meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh. Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah. Demikian antara lain isi instruksi Presiden. Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak didukung oleh Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto dengan memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan kawan-kawan. Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap. Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari daerah, katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar dieksekusi. Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden -–mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian – Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang berada di Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim. Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung. Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto. Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri-II Leimena mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor. Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana Bogor - menuruti nasihat Leimena - dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba di Istana Bogor. Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar. Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab – seperti saya sebutkan terdahulu – sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan tentara seperti saat itu. Sekitar pukul 14.00 WIB - masih pada 1 Oktober 1965 – kepada Kapten Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos dari target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta. Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3 Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi. Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan karena menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir. Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak menentu. Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal sudah diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak ada nama Soekarno. Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung. Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani diculik. Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan siapa, karena ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal beberapa jam sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker) Menpangad. Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku kesaksian pelaku sejarah. Bung Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain protes, Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S. Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan). Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama. Namun ini tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan para jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan memotong kewenangan Presiden? Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD. Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor, Soeharto menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto. Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali? Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan – yang paling hati-hati – ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu akan lain ceritanya. Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi menjerumuskan Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. Sarannya ke Istana Bogor memang langkah hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun) istana bogor memang tempatnya presiden atau termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana? Namun karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya Leimena mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya sendiri. Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur. Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti Waperdam-III Chaerul Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto. Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden. Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah.Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power untuk memimpin negara.Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan. Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa. Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan Kostrad. Di beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno malah menghentikan gerakan itu? Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal. Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden. Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto:1. Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupakan salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.2. Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang sebenarnya disokong oleh Soeharto).3. Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto.4. Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar terwujud.
(Soebandrio : Kesaksianku tentang G30S)

Lolosnya Nasution dari Pembunuhan
(Suharto Melipat Nasution)

Kegagalan G30S dalam membunuh Nasution dalam aksinya merupakan awal dari bangkrutnya gerakan itu. Dalam hal ini ketika jam menunjukkan pukul 6.00 pagi bisa dipastikan Suharto sudah memutuskan sebuah pilihan setelah sebelumnya ia berdiri diantara dua kaki : Panglima Kostrad yang pro Sukarno dan orang yang mengetahui Gerakan ini lebih dari yang lainnya. Jadi antara jam 4 pagi sampai jam 6 pagi pada 1 Oktober 1965 telah terjadi sebuah pergulatan panjang di alam pikiran Suharto, kepada siapa dia akan berpihak. Pada G30S yang telah gagal membunuh Nasution atau pada membela G30S yang notabene dia juga mengetahui gerakannya dan dilakukan oleh orang-orang dekatnya sendiri? Bila ia memihak pada G30S ia akan berhadapan dengan Nasution cs. Ia juga akan berhadapan dengan kelompok pro Yani yang akan sontak mendukung Nasution, perlu diingat bahwa memang hubungan Nasution-Yani adalah hubungan naik turun, namun menjelang meletusnya G30S hubungan mereka membaik karena dipersatukan oleh isu adanya Angkatan Ke V (lima) yang ditolak habis-habisan oleh Yani. Dan bila Suharto memihak pada Nasution, ia bisa saja langsung menjabat kedudukan Menpangad. Sementara Nasution dipastikan akan shock jadi dia langsung bisa mengisi kekuatan Nasution dibawah komando Suharto. Achirnya sejarah memperlihatkan Suharto melawan G30S ini artinya Suharto melawan orang-orang yang pernah menjadi bawahannya. Pilihan Suharto semakin sukses ketika ia mengetahui dari beberapa ajudan Sukarno yang chusus menemui Suharto bahwa Bung Karno menolak Gerakan Untung, ini artinya Bung Karno menjauh pada Gerakan Untung yang bukan main konyolnya itu. Mengenai dilipatnya posisi Nasution yang paling baik menjelaskan adalah Kesaksian Subandrio, sementara buku-buku sejarah lainnya baik asing maupun lokal gagal memperlihatkan tamatnya kedudukan Nasution di depan Suharto, begini menurut pendapat Soebandrio :

NASIB AH NASUTIONNasution meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin. Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia sudah menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di saat TNI AD terpecah (secara tidak transparan) dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya tewas) sehingga wajar menyandang gelar pahlawan. Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah. Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan Bung Karno (lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama besarnya. Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia – seperti halnya Yani – tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal. Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia benar-benar tidak tahu – bahkan tidak menduga – bahwa Soeharto yang pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam Dewan Jenderal. Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa. Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD tidak melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi momok bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang gagasan Bung Karno. Saya mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution, tentu ada contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi akurat yang saya terima - adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi itu – 1 Oktober 1965 – Soeharto memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution. Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga berhasil mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik ke Detik).Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri. (Pada bagian terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu dipatuhi.Setelah rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak-buahnya untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawanya ke Makostrad. Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena baru saja lolos dari pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai. Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam kondisi biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting. Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena, pertama, dengan dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkostrad Soeharto. Dari cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya. Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat. Dengan begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menimbulkan kesan: Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal anti-komunis. Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis – baik dari militer maupun sipil – ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad saat itu dijadikan momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno. Ada satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan diri Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib
(Soebandrio : Kesaksianku tentang G30S)

Supersemar Dan Kejatuhan Bung Karno

Terbunuhnya enam Jenderal Angkatan Darat dan kemudian ketidakberdayaan Nasution dalam situasi krisis karena jatuh mental-nya akibat anaknya terbunuh dan kebingungannya dalam menghadapi Sukarno, menjadi sebuah cerita kudeta paling menarik dalam sejarah Indonesia yang dilakukan oleh Suharto, bahkan bisa dikatakan sebuah konspirasi paling canggih, rumit dan misterius. Sebuah kerja yang sangat brilian untuk mendapatkan wilayah paling kaya sumber daya alam di dunia : Indonesia.

Awal sebuah kudeta 1 Oktober 1965 adalah pengangkatan secara sepihak Suharto sebagai Menpangad dalam situasi yang tidak biasa. Bila peristiwanya adalah biasa seperti Yani sedang berhalangan sakit atau ke luar negeri dan kondisi keamanan biasa-biasa saja itu bisa dimengerti karena memang Suharto adalah wakil fungsional Yani di Angkatan Darat. Namun peristiwa yang terjadi adalah sangat tidak biasa yaitu : Jenderal Yani diculik oleh pasukan yang mengatasnamakan Dewan Revolusi dibawah seorang perwira kelas menengah. Sementara Suharto kemudian mengetahui bahwa Sukarno berada di Halim Perdanakusuma, kenapa kemudian Suharto tidak ke Halim dan menyerahkan keputusan pada Sukarno? Bahkan Suharto bukan saja tidak melaporkan tindakan dirinya sebagai Menpangad tapi dia melarang Jenderal Umar Wirahadikusumah ke Halim dalam posisi ini sesungguhnya Suharto sudah berhadapan langsung dengan Sukarno. Seandainya tidak ada niat tersembunyi Suharto tentunya Suharto akan langsung ke Halim dan menemui Sukarno. Bila memang Suharto katakanlah teori naif-nya mencurigai Sukarno terlibat dalam gerakan Untung, bukankah kemudian sejarah akan lebih terbuka? Sesungguhnya hal yang paling penting dalam Gerakan Untung dalam posisinya pada sejarah Indonesia bukanlah pada Gerakannya tapi pada apa yang terjadi setelah Gerakan. Makanya sangat tepat bila Sukarno menamakan Gerakan itu adalah Gerakan 1 Oktober 1965, GESTOK. Karena Gestok merupakan satu paket : yaitu Gerakan Untung pada dini hari 1 Oktober 1965 dan Gerakan Suharto mulai pagi hari sampai malam pada 1 Oktober 1965.

Pengangkatan secara sepihak inilah yang kemudian menjadi awal dari peristiwa pembunuhan besar-besaran yang terjadi sepanjang akhir tahun 1965. Kelak saya berharap harus ada riset khusus mengenai peristiwa pembunuhan 1965 lengkap dengan studi sosiologisnya.


Ada tiga hal yang paling aneh dalam kasus SP 11 Maret 1966 ini, yaitu :
Hilangnya surat asli ini
Saling sengketa pendapat antara pelaku sejarah SP 11 Maret 1966 terutama antara Jenderal Yusuf dan Jenderal Amirmachmud, sementara Jenderal Basuki Rachmat tidak sempat lama menikmati Orde Baru karena keburu meninggal.
Kesaksian seorang prajurit pengawal Bung Karno, Wilardjito terhadap adanya penodongan pestol oleh Jenderal keempat ; yang tidak pernah disebut datang ke Istana Bogor yaitu : Jenderal M Panggabean. Menurut kesaksian Wilardjito inilah M Panggabean menodong Sukarno dengan pestol.

Dan yang paling terpenting dalam surat ini adalah : Penafsiran Semena-mena Suharto bahwa surat ini adalah surat pemindahan kekuasaan. Yang digambarkan dengan baik oleh sikap Amirmachmud yang mengaku setelah membaca surat ini dengan senter di dalam mobil pada gelapnya malam dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta, ia berujar : “Wah, ini surat pelimpahan kekuasaan”.

Walaupun ada SP 11 Maret 1966 yang diplintir Suharto, Sukarno tidak mau membubarkan PKI karena pembubaran ini akan merangsang sebuah gerakan yang meruntuhkan dirinya. Kebijakan Sukarno inilah yang kemudian ditonjok habis-habisan oleh kaum modernis yang sebenarnya hanya segelintir saja, tapi berkedudukan di pusat intelektual Indonesia (Jakarta dan Bandung) Bahkan kelak Yogya dan Surabaya adalah sarang dari pemikiran Sukarnois yang kemudian mempengaruhi Jakarta pada pertengahan tahun 1980-an ketika Orde Baru sedang kuat-kuatnya . Ingat dalam kasus penumbangan Sukarno intelektual Yogyakarta dan Surabaya sama sekali tidak terlibat. Hanya Jakarta dan Bandung yang bergerak, itupun mereka yang berasal dari extra onderbouw yang kemudian belakangan didukung oleh PMKRI (Onderbouw Partai Katolik) dimana pengaruh Pater Beek sangat kuat. HMI sendiri awalnya menolak bergabung dengan gerakan mahasiswa anti Sukarno, karena ketua HMI dekat dengan Sukarno dan berterima kasih atas lindungan Bung Karno yang pasang badan untuk tidak membubarkan HMI sesuai tuntutan CGMI onderbouw PKI. Melalui mesin intelektual dan media massa yang sudah pro Suharto pasca Gerakan Untung, Sukarno sedikit kesulitan melawan opini yang menghantam dirinya. Dan sejak bulan Februari 1966 tercatat dalam pemberitaan-pemberitaan isunya sudah mulai bergeser dari isu landasan Suharto : “PKI ada dibelakang Gerakan Untung 1965” menjadi isu : “Kepemimpinan Sukarno sudah unlegitimated” pergeseran isu inilah yang kemudian menambah mesiu kekuatan intelektual anti Sukarno. Puncaknya adalah perkataan Mashuri yang menyatakan : “Revolusi sudah selesai” dimana Sukarno gusar luar biasa.

Sejak peristiwa Supersemar inilah Suharto sudah menang mutlak atas Bung Karno. Dan Bung Karno berada di dalam tahanan Suharto, walaupun pada awalnya Bung Karno boleh berpidato di sana sini, namun akhirnya Suharto dengan kejam memerintahkan Bung Karno di tahan dalam rumah, tidak boleh baca koran dijauhkan dari teman-temannya bahkan tidak dirawat dengan layak sampai pada kematian Bung Karno. Catatan hidup akhir Bung Karno adalah rangkaian dari kekejian Suharto sejak tuduhan dia terhadap G30S bahwa itu gerakan PKI yang mengakibatkan terbunuhnya jutaan nyawa sampai pada penyiksaan terhadap Sukarno, orang yang paling berjasa dalam memerdekakan bangsa ini. Setelah sebelumnya Sukarno dihina dan dihujat habis-habisan oleh kelompok intelektual pendukung Suharto.

Praktis kepemimpinan Revolusi Sukarno dalam eksperimen Demokrasi Terpimpin dimana target eksperimennya itu adalah berdikari di bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Menjadi hancur total di tahun 1966 berkat peran intelektual modernis dan perwira militer. Dan kelompok pengganti Sukarno ini yang disebut sebagai Orde Baru.

Suharto dengan gayanya yang terkesan rendah hati, sederhana dan tidak banyak bicara menarik perhatian banyak orang. Apalagi banyak elite politik yang sudah harus menghindar dari Sukarno, atau pilihannya penjara atau kalau tidak kabur ke luar negeri. Banyak memang dari mereka yang setia pada Bung Karno, seperti : Letjen Kko Hartono yang kemudian dikabarkan mati bunuh diri setelah pulang ke Jakarta dari pos-nya sebagai dubes di Korea Utara dan dipanggil Kopkamtib untuk dimintai keterangan. Jutaan nyawa mati, ribuan orang baik wanita dan laki-laki dipenjara sementara para elite militer dan elite politik yang setia pada Bung Karno dibuat sengsara hidupnya. Dibawah landasan puing-puing pembantaian terhadap kemanusiaan inilah kemudian Suharto menyusun masyarakat baru. Apa yang dilakukan Suharto adalah eksperimen terbesar sejarah Nusantara yang dilakukan dengan cara pemaksaan dan kekejian. Apa yang dilakukan Suharto terhadap susunan masyarakat baru-nya ini yang disebutnya sebagai : Orde Baru?
Praktis kepemimpinan Revolusi Sukarno dalam eksperimen Demokrasi Terpimpin dimana target eksperimennya itu adalah berdikari di bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Menjadi hancur total di tahun 1966 berkat peran intelektual modernis dan perwira militer. Dan kelompok pengganti Sukarno ini yang disebut sebagai Orde Baru.




Orde Baru ditengah Konsep Tata Dunia Jangka Panjang

Bila kita menoleh lagi pada literatur-literatur yang mendasari Orde Baru maka kita akan memahami bahwa Orde Baru ini adalah sebuah tanggapan kaum intelektual agar Indonesia masuk ke dalam sistem tatanan dunia yang terbuka. Sesuai dengan gagasan Karl Popper ilmuwan Hongaria yang tinggal di Inggris dimana teori Open Society-nya menjadi landasan untuk menggerakkan dunia meninggalkan sistem tertutup pemerintahan diktatorial dan otoritarian. Indonesia diharapkan bisa masuk ke dalam alam Masyarakat Terbuka yang dinamis dan modern sesuai dengan kaidah-kaidah kebudayaan yang mengedepankan rasionalitas dan efektivitas.

Diantara sekian literatur yang menjelaskan konsepsi sistem dunia jangka panjang yang kemudian banyak muncul setelah boikot OPEC 1973 serta kesadaran akan habisnya sumber-sumber energi, maka gagasan Mihajlovic Mesarovic dan Eduard Pestel yang bisa kita baca dalam bukunya ‘Mankind at the Turning Point’ adalah sebuah uraian yang bagus untuk menjelaskan bagaimana dunia di tahun 2000. Buku itu sendiri ditulis pada tahun 1974. Kemudian menghebohkan para intelektual Indonesia termasuk Soedjatmoko yang kemudian menanggapinya dalam majalah Prisma dengan judul ‘Futurologi dan Kita’ . Gagasan Mesarovic-Pestel ini adalah sebuah studi yang juga menanggapi catatan pemikiran Dennis L Meadows yang menulis ramalan tentang sistem dunia yang dituangkan dalam bukunya ‘The Limits To Growth’.
Sebelum memasuki model sistem Mesarovic-Pestel sebagai tanggapan antisipasi perkembangan dunia, mari kita lihat dunia ini sebagai sistem yang interdependen satu sama lain. Kemudian untuk memahami gerak dunia diperlukan sebuah studi yang multidisiplin (Budaya, Sosial, Politik, Ekonomi, Lingkungan, Dan, Statistik dan Ilmu Alam) dimana kemudian ditemukan model-model yang bisa menggambarkan ke arah mana dunia bekerja. Model ini merupakan sebuah kelompok rangkaian deskripsi (Set of Description). Rangkaian deskripsi ini merangkum fenomena-fenomena yang dapat diulas bukan saja melalui angka-angka namun pada pola verbal. Sebagai tambahan model yang dikembangkan pada tahun 1970-an mengilhami Alvin Toffler yang mengembangkan model gelombang sebagai gambaran dunia di masa mendatang pada tahun 1990-an, hanya bedanya model yang dibangun Mesarovic-Pestel adalah khas tahun 1970-an dimana peran ekonomi makro masih menjadi gambaran dominan. Setelah anda membaca lingkar-lingkar permasalahan yang ditulis Mesarovic-Pestel di tahun 1974 akankah anda membantahnya pada tahun 2008 ini?

Untuk mengulas model Mesarovic-Pestel, saya akan memfokuskan pada konsep disagregatif dan level dimensional permasalahan. Mari kita bahas yang pertama konsep disagregatif, pada sistem dunia yang mengelompokkan negara-negara ke dalam sebuah lingkaran besar yang saling berkait dan dibagi menjadi 10 bagian : Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, Australia (Afsel dimasukkan ke dalam sini) – mereka ini disebut sebagai blok barat kemudian Eropa Timur, Amerika Latin, Afrika Utara dan Timur Tengah, Afrika Tropis, Asia Selatan (Asia Tenggara masuk ke dalam Asia Selatan) dan Cina. Perlu sedikit dikoreksi ekonomi Asia Tenggara sendiri sesungguhnya adalah seirama dengan dinamika Asia Timur (namun untuk budaya Indonesia lebih terpengaruh Indianisasi ketimbang kebudayaan Cina sebagaimana halnya negara-negara Indochina termasuk Thailand, Filipina dan Singapura) Kelompok-kelompok ini memiliki pola yang sama dalam perkembangan tradisi bersama, pola kebudayaan dan gaya hidup.

Setelah memasuki konsepsi disagregatif, mari masuk ke tingkatan permasalahan dunia yang dibaginya ke dalam level-level atau Stratum.

Enviromental Stratum
Tingkatan ini meramal dimensi alam lingkungan seperti Geofisika (tanah, air, ruang, iklim, sumber daya fisik dan lain sebagainya), Ekologis (flora dan fauna, yang menjadi bagian dari alam hidup manusia).

Technological Stratum
Ini merupakan tingkatan dimensi teknologi, mulai teknologi pertanian sampai teknologi satelit. Dimensi ini juga dipandang sebagai gerak arus pemindahan energi dan massa ke dalam Biologi, Kimia dan Fisika sehingga menghasilkan hal-hal yang mempermudah manusia.

Group Stratum
Pada dimensi ini perhatian dipusatkan pada ciri-ciri institusionil dan kelakuan manusia sebagai kolektivitas dalam proses kemasyarakatan.

Individual Stratum
Disini perhatian dilebihkan pada konstelasi biologis dan psikologis pada seorang manusia.

Penjelasan disagregatif dan Multilevel yang diuraikan diatas menjadi landasan Mesarovic-Pestel untuk meramalkan dunia 50 tahun ke depan (ingat mereka berdua meramalkannya pada tahun 1974) Jadi sudah ada 30 tahun lebih waktu untuk membuktikan ramalan itu. Mari kita lihat apa yang diramalkannya dalam kajian mereka.

Berikut ramalan Mesarovic-Pestel dalam bukunya ‘Mankind at the Turning Point’.

Ramalan Pertama, Dalam 50 tahun ke depan akan ada krisis dalam masalah pengadaan pangan dunia. Masalah-masalah pangan, penduduk, energi dan sumber daya alam. Solusinya menurut Mesarovic-Pestel adalah : bantuan yang cukup besar untuk produksi dan pengadaan pangan dan pengendalian penduduk secara efektif. Masalah ini bukan hanya masalah per negara tapi masalah global sehingga penyelesaiannya juga diserahkan pada global, global solution.

Ramalan Kedua, Jarak antara negara-negara industri (maju) dengan negara-negara akan menjadi semakin besar dan sangat timpang. Bila ini tidak segera diantisipasi (tahun : 1974) maka akan ada goncangan yang pada awalnya bermula pada masalah internal satu komunitas kemudian menyebar menjadi masalah global yang akan mengancam sistem dunia.

Ramalan Ketiga, Arah dunia menuju pada konflik karena berkurangnya sumber-sumber daya alam. Pemecahannya adalah harus ada kerjasama dunia Internasional. Dimana cakupannya adalah pengaturan alokasi (global allocation of resources), khususnya yang menyangkut sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.

Ramalan Keempat, adalah usaha-usaha dari sebagian negara maju untuk menggunakan teknologi nuklir sebagai sumber energi. Mesarovic-Pestel menolak keras penggunaan teknologi nuklir ini, khususnya mengenai fast breeder reactor. Kemudian Mesarovic-Pestel menggunakan skenario penggunaan energi : pertama adalah untuk jangka pendek bagaimanapun dunia bergantung pada minyak bumi sehingga masalahnya ialah pengaturan tingkat harga atas dasar dan syarat yang baru disertai dengan kepastian ketersediaan minyak bumi. Kedua, Jangka Menengah : Sumber energi harus dilengkapi oleh keberadaan energi alternatif seperti : Gas dan Batubara. Serta ketiga : Kesiapan teknologi sumber energi matahari harus sudah siap sebelum sumber-sumber energi yang tak terbarukan habis. Mesarovic-Pestel memang menolak Fast Breeder Reactor namun mereka menyetujui penggunaan nuclear fusion karena dianggap clean energy. Dalam jangka waktu 100 tahun, akan ada sebuah teknologi energi berbasis tenaga surya, bila itu terjadi pengembangan reaktor nuklir sebagai sumber energi bisa dihindari. Dan disadari atau tidak, sesungguhnya Orde Baru dibawah kendali Junta Militer mengarahkan Indonesia untuk bersiap menghadapi model-model sistem dunia di masa yang akan datang dengan berpihak pada negara barat yang terbuka.

Pada awalnya Orde Baru menciptakan ruang untuk Indonesia bersiap memasuki sebuah kebudayaan modern dunia dimana sistemnya pada awal tahun 1970-an diramalkan sedemikian rupa. Tapi hasilnya adalah kebalikan dari cita-cita Orde Baru. Kenapa bisa begini? Persoalan terpenting yang dilihat dari Orde Baru adalah persoalan pelanggaran kemanusiaan, titik!. Sebelum memasuki kenapa Orde Baru Suharto bisa memundurkan bangsa ini dan menjadi bangsa paling lemah pada abad 21 maka tak pelak kita harus menarik akar permasalahannya. Yang menurut saya adalah Pembangunan tidak diarahkan pada Pembebasan Manusia, tapi lebih pada pemenjaraan manusia. Ada baiknya untuk mengulas bagaimana kemudian Suharto mengkhianati Orde Barunya kemudian membawa Indonesia mundur jauh ke belakang dan tertinggal menjadi sebuah negara yang tersub-ordinat diantara negara-negara lain, kita buka dulu pemikiran-pemikiran Soedjatmoko yang sangat tepat untuk menggambarkan manusia sebagai pusat proyek pembangunan, yaitu : Pembebasan.

Pembangunan Sebagai Pembebasan Manusia

Saya memiliki pemahaman semua gerak sejarah mengarah pada pembebasan manusia. Dalam landasan Marxian pembebasan manusia adalah sebuah hasil dari kerja manusia yang tidak lagi terbelenggu dalam mistifikasi dan kebohongan kapital yang terbungkus dalam bangunan atasnya yang merupakan produksi dari kebudayaan manusia dimana ekonomi merupakan landasan bawahnya. Dan memang sepanjang sejarah ilmu sosial tidak ada yang lebih besar tentang teori pembebasan manusia selain dari gagasan yang keluar dari kepala Karl Marx. Namun pemikiran Marx ini mengalami ramifikasi (percabangan) ada yang ke Lenin, Stalin dimana etatisme menjadi senjata, Mao, Gramsci, Tan Malaka, Sjahrir, Soedjatmoko dan banyak lagi cabangnya sampai ke yang ada di jaman kita seperti : Konsepsi Alan Badiou. Di Indonesia penggagas pembebasan manusia adalah Soedjatmoko. Bilamana Tan Malaka selalu membicarakan konsepsi pemikiran manusia Indonesia ini artinya manusia dilihat sebagai bagian internal psikologis dari sebuah proses perubahan sejarah dengan gagasan khas abad 19 Madilog (materialisme-dialektika-logika), maka Soedjatmoko lebih melihat manusia sebagai bagian dari rangkaian hubungan. Dan ending dari rangkaian hubungan itu adalah : Kebebasan Manusia. Di titik inilah kemudian Soedjatmoko mencoba melihat konsepsi Pembangunan di Negara Dunia Ketiga sebagai wahana pembebasan manusia. Dan Orde Baru-lah yang memicu jargon pembangunan lalu kemudian menjadi sebuah penjara besar bagi sejarah kemanusiaan di Indonesia. Mari kita lihat pemikiran Soedjatmoko yang saya kutip dari buku ‘Pembangunan dan Kebebasan’ pada hal.108-113.

“Pada akhirnya, maksud pembangunan ialah membuat penduduk suatu negeri (terutama kaum lemah dan kaum miskin) tidak hanya lebih produktif tetapi secara sosial lebih efektif dan lebih sadar-diri.

Tetapi apabila pembangunan juga dimaksudkan untuk meningkatkan keterbukaan masyarakat dan untuk memperbesar ruang lingkup kebebasan, maka peningkatan keefektifan sosial dan kesadaran-diri hendaknya berlangsung dengan cara-cara yang tidak berbenturan dengan tujuan ini.

Telah ada beberapa contoh di negara-negara berkembang bahwa mereka yang semula memperoleh manfaat dari emansipasi ternyata setelah berkuasa bersikap tidak toleran terhadap orang lain yang menggunakan kebebasan yang sama. Para pemimpin itu telah mengarahkan negeri-negeri mereka menuju dengan otoritarianisme atau bahkan membuatnya lebih otoriter, dengan menolak kebebasan bagi lembaga-lembaga yang telah memungkinkan mereka tumbuh. Pembangunan hendaknya memungkinkan gerakan menjauhi tata sosial yang tetap dan pastyi dengan hirarki permanennya, dan bergerak menuju suatu masyarakat yang konstan bagi saling pertukaran peranan dianatara mereka yang memerintah dan mereka yang diperintah baik pada tingkat makro maupun tingkat muiro.

Tetapi sebagaimana sudah amat diketahui, tindaka-tibndakan dan kebijakasaan-kebijaksanaan yang bertujuan membebaskan rakyat dan struktur-struktur sosial yang mengukung, menindas dan eksploitatif dan bertujuan memungkinkan rakyat menjadi lebih efektif secara sosial melaluio perolehan kebutuhan-kebutuhan pokok, melalui swaorganisasi, melalui penyediaan pendidikan dan latihan serta saluran saluran kepada informasi, tidak dengan sendirinya memberikan motivasi kepada rakyat untuk benar-benar memanfaatkan kesempatan-kesempatan baru. Demikian pula persepsi tentang kebutuhan, kepentingan dan hak-hak seseorang tidak dengan sendirinya cukup untuk mengorganisasikan dan memobilisasikan penduduk.

Dalam banyak kasus kaum miskin dan kaum lemah akan perlu melepaskan diri dari mekanisme pertahanan diri otomatik mereka berupa sikap pasif dan penurut yang bungkam terhadap kehendak-kehendak penguasa yang lebih tinggi, serta mengatasi rasa ketidakberdayaan yang membiarkan mereka lumpuh. Jelaslah bahwa tindakan hanya dimungkinkan melalui pembangkitan kesadaran, yakni membuat kaum miskin sadar tentang keadaan mereka sendiri, tentang faktor-faktor yang membiarkan mereka miskin, selain kesempatan-kesempatan apa yang dapat terbuka bagi mereka melalui tindakan.

Tanpa menolak peranan konflik yang secara sosial kreatif dan menjadi pembawaan dalam percaturan manusia, maka peningkatan keefektifan sosial golongan-golongan marjinal dalam masyarakat akan sangat diperlukan jika dengan sengaja dikembangkan mekanisme baru atau tradisional dalam pemecahan dan perujukan konflik. Mekanisme ini bisa ada dalam konteks umum perundang-undangan emansipasi pada tingkat nasional, yang menopang penghampiran kebutuhan pokok pada pembangunan. Perbaikan kapasitas seperti itu tentu akan mudah mengatasi dengan damai ketegangan-ketegangan yang tak terelakkan itu.

Pada pihak lain, banyak aktivis dan ahli teori pembangunan yang percaya bahwa pembangkitan amarah pada ketidakadilan keadaan merujpakan satu-satunya cara untuk memberika motivasi yang cukup kuat dan dapat bertahan bagi kaum miskin untuk menyusun barisan dan bertindak. Walaupun demikian, apakah konflik kelas dan kebencian kelas efektif atau tidak sebagai motivasi bagi tindakan sosial sangat tergantung pada tingkat pelapisan sosial dan budaya politik masyarakat yang bersangkutan.

Pada banyak negara berkembang yang memiliki banyak etnik, banyak komunal, banyak budaya dan banyak agama, konflik-konflik ekonomi dan politik muncul pada garis komunal sebelum terjadi di sepanjang garis pembagian kelas. Karena itu anjuran pada perjuangan kelas mungkin hanya memiliki akibat pengaruh yang terbatas. Sementara di beberapa negeri perjuangan dengan mengikuti garis kelas mungkin bisa dilakukan, di negeri-negeri lain mungkin menimbulkan kekakuan yang bahkan lebih besar pada negara birokrasi modernis dan bisa jadi hanya akan menghancurkan kemungkinan suatu masyarakat yang semakin terbuka. Karena itu pilihan motivasi menuju mobilisasi sangat menentukan pilihan motivasi menuju mobilisasi sangat menentukan jenis masyarakat yang pada akhirnya akan muncul.

Pada masa awal perjuangan kemerdekaan nasional Mahatma Gandhi mengemukakan betapa sering si tertindas, melalui perjuangan melawan si penindas, dan sesudah merebut kemenangan bekas si tertindas pada gilirannya berubah menjadi penindas. Sebagian dari kita yang memandang perjuangan demi keadilan sosial juga sebagai cara bagi pembebasan manusia, akan mengingatkan pada diri kita betapa pernyataan Gandhi masih tetap berlaku sehubungan dengan pengalaman kita sejak masa itu.

Kesadaran akan keadaan, organisasi dan penyamaan kekuatan tawar-menawar merupakan prasyarat penting bagi perjuangan demi keadilan sosial. Tetapi jika hal-hal ini tidak menyangkut martabat manusia pada diri seseorang, yang merupakan ungkapan rasa harkat jati diri dalam konteks tata nilainya sendiri, serta ungkapan ketenteraman batin yang berasal dari nilai-nilai ini, maka seseorang tidak akan membebaskan pertimbangannya dari kebencian yang merusak sukma dan menghancurkan kemanusiaannya sendiri. Ia juga tidak akan dapat memilih metode-metode, yang menang atau kalah, akan mendekatkannya pada sasaran berupa masyarakat yang lebih terbuka dan lebih bebas.

Sampai pada tahap pembahasan sekarang ini hendaknya jelas sudah bahwa arah lintasan pembangunan dari bawah yang dituntut oleh keprihatinan pada kemiskinan, kesamarataan dan kebebasan, melibatkan transformasi sosial dari jenis yang agak unik yang berada jauh di luar apapun yang diharap bisa dilakukan sendiri oleh suatu pemerintah. Kita menaruh perhatian bukan saja pada desakan menuju arah proses transformasi yang berbeda, tetapi juga pada transformasi struktural secara serentak dalam berbagai tingkat masyarakat.

Melaksanakan transformasi serupa itu akan membutuhkan imajinasi, kreativitas, daya cipta sosial serta kapasitas penalaran moral bukan saja dari pemerintah melainkan dari seluruh masyarakat. Pembangunan dari bawah memerlukan tanggapan dari seluruh masyarakat. Pembangunan dari kelembagaan nasional dan demikian pula pada tingkat komunitas individual dan komunitas kecil. Pembaruan diri budaya dan masyarakat dari dalam dirinya sendiri yang ditimbulkan oleh pembangunan sedemikian pada umumnya tergantung pada kesediaan dan kapasitas masyatrakat untuk terus menerus mawas-diri. Dalam hubungan ini, pastilah menentukan peranan pers serta penerbitan-penerbitan intelektual dan kesusasteraan dalam mengutarakan citra dan pengertian masyarakat tentang dirinya sendiri ketika bergerak di sepanjang arah ini.

Kapasitas untuk membangkitkan kreativitas suatu bangsa dengan skala seperti itu jelas berada diluar jangkauan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Pada analisa terakhir, ini merupakan fungsi dari vitalitas dan kreativitas kebudayaan yang bersangkutan, dari kekuatan kemauan politiknya, dan dari kapasitas yang menjadi pembawaan pembaruan-diri. Juga hendaknya dipahami bahwa transformasi sosial yang begitu besar dan mendalam jauh melampaui persoalan bagaimana sudatu bangsa menanggulangi kaum miskinnya. Transformasi sosial seperti itu hanya mungkin berlangsung dalam konteks kesediaan suatu bangsa untuk merumuskan kembali kesediaan dirinya sendiri serta tujuan-tujuannya yang esensial, dan demikian mencakup perumusan kembali konsep manusia mengenai dirinya sendiri.
(Pembangunan dan Kebebasan, Soedjatmoko, LP3ES, cetakan pertama Mei 1984)

Penjelasan Soedjatmoko dalam hal manusia dan pembebasan menjadi puncak dari pemahaman esensi pembangunan sekaligus mencerahkan bahwa proses pembangunan tidak sekedar menanggulangi kaum miskin, mengurangi pengangguran atau menekan inflasi, menyediakan ketersediaan pangan tapi lebih jauh lagi adalah sebuah proses transformasi menuju suatu masyarakat yang lebih baik, membebaskan dan tidak lagi menjadi terasingkan oleh peradaban yang berkembang di dunia.

Sengaja saya uraikan dua hal yang melandasi dasar perkembangan kebudayaan dunia dalam tulisan Mesarovic-Pestel dan Soedjatmoko dimana di tahun 1968 sampai tahun 1970 menjadi sebuah zeitgeist (jiwa jaman) sebuah gairah untuk menjadikan Indonesia masyarakat terbuka yang menghargai kemanusiaan. Lalu dari sini coba kita perhatikan apakah kemudian Orde Baru menjadi sebuah sistem susunan masyarakat yang dikehendaki? Sebuah susunan masyarakat yang modern, liberal, kapitalistik modern, berlandaskan hukum dan memakmurkan bangsanya? Dan kita menyaksikan dengan cermat dua hal adalah : Indonesia dibawa oleh Suharto menjadi bukan saja bangsa yang tidak terhormat tapi menjadi bangsa yang bangkrut dan kedua Pembangunan yang digadang-gadang Suharto adalah sebuah proses pemenjaraan manusia pada lingkungannya, sebuah bentuk pengasingan manusia pada akarnya yang kemudian berlanjut pada sebuah titik temu : Pelanggaran HAM paling besar setelah apa yang dilakukan Hitler pada tahun 1936-1945.

Susunan Masyarakat Orde Baru

Hal yang paling baik dalam melihat sebuah sistem pemerintahan bekerja efektif adalah ketika kita melihat bagaimana susunan dialektis antara masyarakat dan kekuasaan bekerja. Banyak sejarawan dan kaum intelektual yang mendukung apa yang dilakukan Orde Baru dalam mengamputasi peran masyarakat dalam akses kekuasaan adalah karena begitu semrawutnya pertarungan gagasan yang dianggap menghambat perkembangan negara. Dan diakui atau tidak ini terjadi pada jaman reformasi yang sampai saat ini (2008) sudah berlangsung selama sepuluh tahun. Jaman Reformasi ini adalah pengulangan dari pertarungan politik (bukan gagasan ideologis) seperti selama masa sebelum tahun 1960. Orde Baru membohongi bahwa demokrasi liberal di tahun 1950-an menghambat pembangunan bangsa. Dan Orde Baru sama sekali tidak pernah menyebut bahwa Demokrasi Terpimpin adalah bukan bagian dari demokrasi liberal. Orde Baru justru membawa Indonesia pada Demokrasi Terpimpin dalam versi yang jeleknya. Dan berhasil membangkrutkan Indonesia di pergantian abad 20 ke abad 21. Salah satu kunci bangkrutnya Indonesia adalah diamputasinya peran masyarakat, pengabaian hak hukum individu dan pemberian kekuasaan total pada militer dimana kemudian muncul “Demokrasi dengan acungan senjata”. Pada hal-hal inilah kemudian Indonesia menyerahkan nasibnya.

Amputasi peran masyarakat dalam kekuasaan gagal menumbuhkan sebuah masyarakat yang mandiri. Semua roda ekonomi dan kekuasaan berputar dibawah kendali Suharto. Dan ini kemudian meledak menjadi sebuah revolusi sosial yang tak jelas arahnya kemana seperti yang kita saksikan pada tahun 1998 dan tidak selesai-selesai sampai sekarang. Untuk memahami bagaimana awal mula susunan masyarakat Orde Baru yang membingungkan bekerja mari kita piknik sejarah kembali apa yang diperbuat Suharto dalam menyusun masyarakat Indonesia dan apa akibatnya.

Antara Lipset, Daniel Bell dan Huntington

Untuk menjelaskan bagaimana pilihan teori masyarakat Orde Baru terbentuk marilah kita lihat teori-teori yang dikembangkan oleh Lipset, Daniel Bell dan Huntington dimana teori mereka memiliki pengaruh yang besar pada susunan masyarakat Orde Baru yang secara gamblang dijelaskan dalam buku Ali Moertopo : “Akselerasi Pembangunan 25 tahun” dan melahirkan sebuah kuasi-ideologi ‘Pembangunanisme’.

Pada dekade 1960-an muncul tiga buku yang membawa pengaruh besar bagi pemikir-pemikir sosial yang lebih berpihak pada pemikiran sosial aliran Amerika. Ketiga buku tersebut adalah :

The End of Ideology (New York ; Collier, 1960) karangan Daniel Bell
Political Man (New York, Anchor 1963) karangan Seymour M. Lipset
Political Order in Changing Societies (New Haven, Yale University Press 1968)

Dua buku yang terbit di awal 1960-an kemungkinan besar sudah dibaca oleh Suwarto dan beberapa pemikir sosial Indonesia yang menghendaki adanya sebuah usaha eliminasi pertarungan ideologis demi terciptanya sebuah masyarakat efektif untuk membangun dan menjadi makmur. Lipset menyatakan dalam bukunya itu bahwa pembangunan ekonomi akan mendorong tumbuhnya demokratisasi politik. Sementara Daniel Bell menyoroti apa yang sesungguhnya dibutuhkan dalam masyarakat modern. Dalam perkembangan masyarakat modern telah menciptakan kebijaksanaan pemerintahan yang begitu kompleks dan hal itu akan sangat sulit bila kebijakan-kebijakan itu harus dihadapkan pada medan pertempuran ideologis. Karena itu para ahli ekonomi dan teknokrat harus diberi peran utama dalam proses kebijakan itu. Dan yang terakhir adalah amatan Huntington tentang peta politik sosial kemasyarakatan dunia yang sedang berubah. Dalam hal ini Huntington menekankan harus adanya tertib masyarakat agar tidak terjadi mobilisasi di dalam masyarakat yang tidak terkendali sehingga akan memunculkan bahaya-bahaya.

Tiga teori yang dikemukakan ilmuwan sosial beraliran Amerika inilah yang menjadi landasan teoritis dasar-dasar pengembangan masyarakat Orde Baru. Coba kita lihat apa yang dilakukan Orde Baru dengan melandaskan dirinya pada terciptanya masyarakat modern yang tidak terbebani gagasan-gagasan ideologis. Bila dilihat secara rasional memang gagasan a-ideolois ini terlihat jenial dan merupakan sinyal dari kebudayaan modern di masa depan. Namun sesungguhnya gagasan a-ideologis ini merupakan sebuah pesan untuk masuk ke dalam ideologi kapitalis yang memang tidak pernah memasang rambu-rambu baik moralitas maupun etika kecuali hanya pada kepentingan nilai tambah (keuntungan bagi pemodal). Ideologi kapitalis-lah yang pertama kali mengobarkan gagasan pemusnahan ideologi karena dengan gagasan pemusnahan ideologi maka yang menang hanyalah ideologi kapitalis. Di tahun 1967 ketika Suharto membawa masuk segerombolan ekonom jebolan Amerika ke dalam Istana, di saat itulah Suharto menghancurkan landasan ekonomi Indonesia yang berdikari ala Sukarno dan secara terencana membawa Indonesia ke dalam sistem ideologi kapitalistik. Apa yang dilakukan Gerombolan Berkeley ini dibawah pimpinan Wijoyo adalah melakukan sebuah kerangka dasar dimana inti dari kerangka dibangun dengan dasar empat pilar yang berdiri di antara reruntuhan puing poin ketiga politik Trisakti-nya Sukarno Berdikari dalam Ekonomi. Keempat pilar itu adalah :

kebijakan anggaran yang ketat dan penghapusan subsidi
meliberalisasi keuangan
meliberalisasi Industri dan Perdagangan
Melakukan Privatisasi

Keempat hal ini akan saya bicarakan secara rinci pada telaah pola landasan bangunan bawah ekonomi Orde Baru, dimana keempat pola inilah yang kemudian menjadi entry poin dari kejatuhan Suharto.

Negara Orde Baru : Diktator Elitisme, Pelacuran Intelektual dan Neo Fasisme

Untuk masuk ke dalam ideologi kapitalis dengan selubung a-ideologis itu Suharto menggunakan pepunden-pepunden sistem masyarakat usang yang sudah sukses dihancurkan oleh Sukarno yaitu : Feodalisme dan Kolonialisme. Tata susunan masyarakat Orde Baru adalah tata susunan yang berpihak pada neo feodalisme dengan landasan ekonomi, sosial, politik dan hukum berdasarkan sistem masyarakat kolonial yang sempurna di keluarkan pada era Van Heutz. Inilah yang kemudian menjadikan Indonesia gagal menjadi negara kapitalistik tapi menemui kebangkrutannya dengan menggunakan sistem Feodalis-Neo Fasis dalam sebuah negara bernama “Negara Orde Baru”.

Dalam sejarah kepemimpinan masyarakat selalu dibagi dua pola kepemimpinan yaitu : Elite dan Vanguard. Yang dimaksud elite adalah : suatu lapisan terbatas yang berada dalam kedudukan top di dalam masyarakat (faktor terkemuka mereka bisa disebabkan pada : keturunan, kekuatan militer, mitos, spiritualitas dan faktor-faktor khas lainnya) mereka ini selalu menunjukkan keistimewaan baik dari gaya hidup ataupun intelektualitasnya. Ciri pokoknya dalam kelompok elite adalah sikap dan pandangan hidup yang seakan-akan berpegang pada (secara sadar atau tidak sadar) penegakkan kelangsungan kedudukannya yang terkemuka dan istimewa itu, dengan hanya memberi ruang gerak yang terbatas pada golongan lain untuk ikut mencapai kemajuan. Sedangkan apa yang dinamakan Vanguard adalah golongan pelopor atau perintis yang memang mencapai kemajuan atau merebut kedudukan karena jasa-jasanya, berkat teladan tabiat, ketrampilan dan sebagainya. Perbedaan yang mendasar antara elite dan vanguard adalah : kepemimpinan vanguard justru menciptkan suatu konstelasi dan suasana keadaan dimana tahap berikutnya golongan-golongan masyarakat lainnya mempunyai kesempatan yang lapang untuk ikut maju dan berkembang sampai dapat mendekati kedudukan vanguard. Lain halnya mengenai cara memimpin kaum elitis, jarak antara elite dan massa cukup besar, sebab terjadinya kelangsungan perimbangan keadaan. Bahkan jarak perbedaan antara elite dan massa semakin waktu semakin besar. Ujung dari kepemimpinan elite adalah sakralitas jajaran pemimpin di depan massanya. Kepemimpinan adalah hal yang angker, suci dan berwibawa sementara rakyat jelata adalah profan dan harus bisa diatur.

Revolusi Kemerdekaan 1945 melahirkan struktur kepemimpinan Vanguard, jarak antara pemimpin dan rakyat tidaklah jauh. Revolusi inilah yang menghasilkan anak gembala desa dan kurang pendidikan bisa menjadi Letnan Kolonel seperti Suharto, dan bisa juga membuat sengsaranya golongan ningrat bahkan sampai terbunuh seperti apa yang dialami Amir Hamzah pada peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur awal kemerdekaan. Namun sejak pembantaian enam Jenderal dan pembunuhan besar-besaran 1965-1966 terjadi sebuah pembongkaran sistem kepemimpinan. Sistem kepemimpinan dibangun dengan dasar : elitis, kekerasan bersenjata dan a-intelektual. Inilah struktur kepemimpinan yang menggabungkan ciri khas anak tangsi KNIL dengan preman pasar. Struktur kepemimpinan ala preman tangsi KNIL ini kemudian dilapisi oleh selubung-selubung aristokrat untuk menutupi kekasaran mereka. Beludru ungu penuh darah inilah kemudian disambungkan pada pelacur intelektual yang pengecut, doyan duit dan tidak menegakkan martabat yang kemudian kita kenal sebagai : kaum teknokrat.

(Bersambung......)


ANTON

Ketua Ikatan Cendikiawan Penikmat Mie Ayam (ICPMI)