Wednesday 11 March 2009

MALIOBORO


Satu Garis, Serangkaian Cerita di Malioboro


Oleh Anton Djakarta



Sebuah kota bukan hanya tempat, tapi juga kumpulan kenangan yang dicantumkan dalam kepala kita

(Anton, Maret 2009)


Malioboro adalah sejarah,.... adalah serpihan kenangan masa muda kita ketika mengenang Kota Yogya. Sebuah jalan pada satu kota adalah kumpulan kenangan yang tergabung secara kolektif bagi penghuninya. Malioboro bukan saja hanya menyimpan kisah Umbu, cucu raja Sumba yang menjadi penguasa Sastrawan di kota Yogya era 1970-an yang dengan hatinya memupuk sastrawan-sastrawan berkaliber raksasa macam Linus Suryadi, Korie Layun Rampan, Emha Ainun Nadjib atau ratusan anak muda yang memuja Umbu. Sosok misterius Umbu dan keinginannya mengalahkan kata-kata adalah bagian tersendiri dari kisah Malioboro sebagai sebuah jalan.


Tata kota dalam kebudayaan Jawa bukan saja berarti fungsi tapi juga bermakna berbagai macam struktur pola pikir orang Jawa : Kekuasaan, Harmoni dan Kepekaan terhadap alam. Jalan lurus Malioboro merupakan gambaran bagaimana seorang raja Jawa memiliki hubungan horisontal kepada rakyatnya sekaligus penanda ada garis imajiner antara Keraton dan Gunung Merapi. Gunung sebagai pusat kebijakan menjadi akhir dari penanda jalan lurus ini yang berhenti di Stasiun Kereta Api Tugu. Dulu di tengah Malioboro terbiasa orang melakukan 'laku pepe' untuk mengadukan nasibnya pada Sultan. Laku ini bisa dijalani berhari-hari sampai Sultan memanggil kawulanya dan bertanya apa masalah yang sedang dihadapinya. Disinilah kemudian jalan Malioboro bertransformasi dari fungsi ruang tata kota menjadi fungsi ruang komunikasi politik.


Malioboro adalah kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa yang dimasa lalu memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Di Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena memang sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok pedagang Santri-Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadijah. Di tengah kota kelompok Tionghoa ini menjadikan Malioboro sebagai daerah modal untuk mengembangkan bisnisnya. Perang Jawa tidak akan bisa lepas dari percaturan politik Tionghoa. Tokoh seperti Tumenggung Secodiningrat. Sejarah Secodiningrat adalah sejarah percampuran juga sejarah politik dan kebencian rasial. Politik Cinta-Benci yang selalu menandai sejarah kekuasaan Jawa-Mataram ini ternyata mendapatkan tempat dalam cerita jalan Malioboro. Di jaman Secodiningrat inilah jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton yang kemudian juga melibatkan ketidaksenangan Paku Alam terhadap peran Secodiningrat. Jauh setelah itu di tahun 1948, Jalan Malioboro juga menjadi saksi pertempuran besar antara Pasukan Republik yang kalang kabut menghadapi serangan Belanda yang mendadak menjadi pintar bermain agresi dan belajar dari gaya agresi Jerman ke Nederland 14 Mei 1941, dengan menerjunkan ribuan pasukan terjun payung dan terlihat bak jamur berjatuhan.


Malioboro adalah sejarah dagang, sejarah intrik, sejarah kekerasan dan sejarah perundingan. Peristiwa penyerbuan Yogya oleh balatentara Van Langen adalah cerita tersendiri bagaimana Malioboro bisa dijadikan jalan lancar pasukan Belanda menguasai Ibukota Republik dan langsung mengepung Gedung Agung, tempat Sukarno, Hatta dan kabinetnya berunding untuk mengambil tindakan yang tepat atas penyebuan Yogya. Sukarno sendiri akhirnya memutuskan untuk bersedia ditangkap dengan pertimbangan agar Agresi Militer ini dijadikan masalah Internasional oleh kaum Asian Lobbying yang ada di PBB termasuk Perdana Menteri India, Jawarhalal Nehru. Pada saat serangan terjadi, pasukan pengamanan kota pimpinan Letkol Suharto (kelak jadi Presiden RI) sedang tidak berada di dalam kota. Entah kenapa pasukan dalam kota menjadi kosong, hal ini juga menjadi pertanyaan penting kelak dikemudian hari ketika Suharto tidak lagi menjadi Presiden dan pernah juga digugat oleh Walikota Yogyakarta Pangeran Soedarisman Poerwokusumo, yang juga pernah menjadi korban intrik Orde Baru karena lamban menanggapi kasus 1 Oktober 1965. Pangeran Soedarisman berkata : “Dimana pasukan Suharto, saat serangan terjadi?” Soedarisman sendiri pada tahun 1948 adalah pejabat Walikota Yogyakarta dan mengeritik bahwa “Serangan Umum 1949 yang dilakukan satu tahun setelah agresi militer bukanlah permainan Suharto tapi buah dari otak Sri Sultan Hamengkubuwono IX”


Disinilah kemudian pada tahun-tahun Orde Baru, Malioboro menjadi konflik sejarah. Lantas siapakah yang berkuasa atas daulat Yogya dalam ruang sejarah 1949? Sultan atau Suharto?....Dan tugu Monumen Jogja kembali didirikan 6 Juli 1986 di dusun Jongkan, Kecamatan Ngaglik, Sleman sebagai lambang superioritas Suharto atas Sultan dalam kemenangan sejarah. Dan sejarah adalah urusan kekuasaan bukan fakta atau kekeliruan peristiwa. Malioboro menjadi medan ganas pertempuran serangan Umum 1949. Perang dari pintu ke pintu, pembunuhan dengan menggunakan sangkur dan perkelahian satu persatu menjadi cerita rakyat ketika mengenang Malioboro sebagai ruang pertempuran Belanda-Republik, sebuah buntut dari permainan judi perundingan yang tidak tegas pada Belanda. Setidak-tidaknya itulah yang dikatakan kelompok Tan Malaka, yang disetujui oleh Jenderal Sudirman.


Lain 1949, Lain 1965. Malioboro juga menyimpan kenangan kepahitan atas serbuan pasukan-pasukan RPKAD yang juga menggerakkan pemuda-pemuda anti kominis untuk mengetuki pintu rumah-rumah yang ditengarai terlibat Partai Komunis Indonesia. Apakah Malioboro juga menjadi saksi bagaimana DN Aidit melarikan diri dan berusaha bertemu dengan ketua partai Yogya sebelum akhirnya menyusup ke Solo dan ditangkap oleh militer. Apakah DN Aidit juga memandang jalan Malioboro, seperti halnya Umbu memandang jalan Malioboro? Entah Aidit, entah Umbu Jalan Malioboro adalah jalanan yang dipenuhi kenangan......
Itulah juga yang membuat Katon Bagaskara bercerita tentang suasana Yogyakarta. Ia melamun tentang pengamen jalanan, tentang kerinduan dalam bait-baitnya yang paling dikenal oleh anak muda yang tumbuh di tahun 1990-an :


Di persimpangan langkahku terhenti

Ramai kaki lima

Menjajakan sajian khas berselera

Orang duduk bersila

Musisi jalanan mulai beraksi

Seiring laraku kehilanganmu

Merintih sendiri

Ditelan deru kotamu ...


Bukan saja Umbu yang akan tergetar bila mendengar lagu ini, jutaan orang yang pernah menghabiskan masa mudanya di Yogya..terkenang Maliobo. Karena Toh Yogya menyimpan jutaan kenangan di banyak kepala kita. Dan Malioboro seperti bahasa Sansekerta yang berarti rangkaian bunga, adalah rangkaian cerita yang melantun di kepala orang bila mengingat Kota Yogyakarta.


Seperti satu bait yang ditulis Umbu Landu Paranggi dalam sajak Melodia....Cintalah yang membuat diriku betah untuk sesekali bertahan......Begitulah kenangan banyak orang pada Yogya dan bujur jalan Malioboro.


ANTON DJAKARTA