Tuesday, 18 December 2007

Sejenak Bercerita Soal Solo

SEJENAK BERCERITA SOAL SOLO

Di Kompas ada laporan yang menarik tentang Masjid dan Gereka Kristen Jawa (GKJ) yang berdiri berdampingan. Saya bukan saja tahu letak masjid dan gereja itu tapi memang sering shalat di masjid Al Hikmah itu, waktu saya sekolah di Solo. Saya pernah sekolah di kota itu selama dua tahun (ini karena saya sering pindah sekolah karena nggak naik kelas), dan saya perhatikan memang orang Solo itu dipersatukan oleh kultur bukan kotak-kotak agama.

Bukan hal yang aneh satu keluarga di Solo, agamanya bisa berbeda-beda. Contohnya keluarga saya. Kakek saya Katolik (-walaupun menjelang wafatnya balik ke Islam lagi-), Nenek saya Islam, Paman saya ada yang Kristen, ada yang Katolik dan banyak pula yang Islam. Memang pernah ada benturan terhadap perbedaan agama ini karena salah seorang nenek (adik kandung kakek) saya jadi tokoh Muhammadiyah dari garis keras saat yang fight dengan PKI tatkala PKI masih jaya, sampai-sampai Paman (anak nenek saya) pernah dikeroyok Pemuda Rakyat-nya PKI, namun saat pembantaian PKI karena pancingan RPKAD masuk, paman saya dan beberapa temannya melindungi agar para pemuda rakyat yang pernah berseteru dengannya tidak dibantai oleh orang-orangnya RPKAD baik tentara maupun ormas sipil. Cerita pembantaian orang-orang PKI ini menjadi cerita paling mengerikan dalam sejarah orang-orang Solo, mereka berniat menguburkannya dalam-dalam dan enggan membahasnya dikemudian hari, karena peristiwa inilah saudara kandung bisa saling membantai, dan ini menyalahi harmonisasi Jawa, disitulah langit kelam tiba di Solo dan Batara Kala memakan matahari. Sungai-sungai penuh dengan mayat. Setelah banjir besar 1966 di Solo, saling serang dan kekejaman itu menghilang juga, pelan-pelan orang Solo membangun kembali susunan sosialnya yang rukun, jauh dari provokasi.

Salah seorang adik kakek saya pernah di penjara oleh pemerintahan Sukarno karena tersangkut politik Masyumi, sementara kakek saya adalah Sukarnois sejati dan pembenci Suharto tulen tapi pilihan politiknya Murba. Kekerasan garis agama yang dibuat salah seorang nenek saya yang Muhammadiyah tak lepas dari kondisi politik saat itu, jadi kebawa-bawa sampai masalah syari’at yang kaku, namun belakangan ya kendur juga karena toh, darah lebih kental dari air. Faktor saudara tidak terpisah karena agama. Yang justru sering bikin ribut masalah warisan hahahahaha......inilah mengapa landasan ekonomi sebenarnya jauh lebih penting dari bangunan atas yaitu : agama.

Orang Solo (-dalam hal ini juga Yogya) sangat bangga dengan kebudayaannya, Solo-Yogya disebut juga memiliki kebudayaan inti Jawa. Anak-anak Solo sejak dini, bahkan sampai detik ini masih diajari bahasa Jawa halus/Kromo Inggil, mereka masih bisa bicara dengan orang melalui strata bahasa yang lumayan rumit itu- menurut saya dari seluruh langgam bahasa Jawa, logat Solo-lah yang paling enak ayunannya – tapi dibalik kehalusan bahasa orang Solo paling lengkap perbendaharaan pisuhan (bahasa umpatan).

Orang Solo juga terbuka dengan kebudayaan luar, sekitar tahun 1990-an cara bergaul anak mudanya sudah ‘Jakarta’ dari bahasa radio yang digunakan (dulu jamannya radio swasta, bukan televisi swasta) tapi bicaranya ya tetep Jawa. Acara-acara pentas seni diadakan menurut kaidah acara yang ‘Jawa’ banget, seperti : Mocopatan, Ketoprak Lucu, Wayang Orang Mbeling, Lomba Ndalang, dan lagu-lagu campursari (dulu bukan jamannya Manthous atau Didi Kempot, tapi nyanyikan lagunya Ki Nartho Sabdo). Saat saya pernah ngurusin acara Band Sekolah, dulu yang beken lagu-lagunya Guns N’Roses, kayak knocking heaven door atau .............. trus lagunya Motley Crue, Skid Row dan banyak grup metal lainnya. Eh, vokalisnya setelah manggung nyanyi-nyanyi lagu Metal yang gagah itu, di lorong sekolah bersiul-siul sambil nyanyi “Dondong opo salak, duku ilik-ilik”.....

Teater-teater rakyat banyak hidup di Solo dan sekitarnya. Saya pernah menghadiri ulang tahun teman saya di sebuah daerah pinggiran Solo, kalau di Jakarta kan...ulang tahun biasanya ada acara nge-band, atawa disko, di kampung teman saya acara ulang tahun itu diisi lomba baca puisi dan mocopatan. Orang Solo juga dikenal menyukai sejarah, mereka bangga menjadi turunan Joko Tingkir, entah benar atau saya di ‘apusi’ (dibohongi) sama temen saya, waktu saya berjalan-jalan ke daerah Pajang (tenggara Solo) saya melihat sebuah perahu besar, kata teman saya itu perahu-nya Joko Tingkir yang digunakan untuk menyeberangi Bengawan Solo dan berkelahi dengan empat puluh buaya. Saya pernah mendatangi sebuah tobong (panggung ketoprak) Siswo Budhoyo di lapangan Mangkunegaran dan memperhatikan kehidupan disana, saya banyak bicara dengan ‘anak-anak panggung’ mereka tidak sekolah dan ikut berkeliling ketoprak dari Solo sampai Surabaya menyinggahi kota-kota kecil. Dari sinilah kemudian lahir ‘Basuki, Timbul atau Gogon’. Kehidupan anak-anak panggung itu sungguh menyedihkan namun mereka menikmati. Saya juga melihat seorang dewasa yang selalu menjadi Raja, tapi siangnya jualan keris di pinggir alun-alun utara. Kehidupan teater lekat dengan kota ini, saya rasa kalau kehidupan ini diangkat ke Film akan sungguh menarik. Budaya feodal hampir kikis, rumah-rumah Pangeran jaman lama, sudah lama dimakan rayap, para Pangeran yang tidak mampu mengikuti perkembangan jaman terpuruk dalam kemiskinan, sementara ada juga yang kerap berjudi.

Dengan masalah perbedaan agama, orang Solo juga terlihat santai dan tidak pernah menjadi gangguan dalam hubungannya dengan masyarakat. Memang secara sekilas kita melihat akhir-akhir ini ada kecenderungan di Jakarta saja, masalah homogenisasi satu kebenaran yang sifatnya subyektif dan seakan-akan meniadakan pluralitas. Begitu juga di Yogyakarta sudah banyak keluhan tentang berkembangnya anti pluralitas. Tapi saya rasa di Solo, pluralisme itu kuat sekali. Orang Solo itu lebih tertarik persoalan politik dan ideologi ketimbang kisruh agama atau masalah ekonomi, inilah sebabnya kenapa Sukarno selalu memenangkan hati orang Solo ketimbang Suharto. Lebih kuat PDIP ketimbang Golkar atau PPP.

Saya juga pernah Shalat Jum’at di Kepatihan, Solo tapi khotbahnya bahasa Arab. Pake cara kuno. Sementara di Gereja-Gereja khotbah –kata teman saya- banyak menggunakan bahasa Jawa. Namun ya biar khotbahnya pake bahasa Arab tapi yang datang jum’atan juga penuh. Kalau sudah terbiasa dengan gaya Jakarta yang cepat dan diburu waktu, di Solo seakan waktu berhenti, orang Solo tidak mau diburu waktu prinsip ‘alon-alon waton kelakon’ merupakan pegangan paling sakral orang Solo. Saling mencontoh juga sangat kentara, misalnya guru agama Islam saya pernah bilang ke anak muridnya : Lihat itu saudara-saudara kristiani kita, kalau bawa kitab suci selalu didekap di dada, sementara kalian membawa kitab Al Qur’an sembarangan saja, hormati kitab suci kita...dengan menghormati maka nilai-nilai baik pada awalnya langsung teresap...” sebuah sikap saling mencontoh yang baik. Sayang guru tua itu sudah lama meninggal.

ANTON

Friday, 7 December 2007

Kesaksian AM Hanafi

* A.M. HANAFI MENGGUGAT *

BAB XIX

Kenali kembali beberapa Peristiwa dan (3/7)
Tokoh Tentara yang Berperan dalam Komplotan GESTAPU

Keempat:
Tentang bagaimana Soeharto menunggangi "Dewan Jendral" dan "GESTAPU"

Sampai sekarang para cendekiawan, ilmuwan dan peneliti sejarah masih belum berhenti menyelidiki apa sesungguhnya yang terjadi di Indonesia pada 1 Oktober 1965, yang dikenal sebagai peristiwa GESTAPU itu? Di luar maupun di dalam negeri keluar buku-buku dan tulisan-tulisan mengenai peristiwa tersebut; peristiwa yang telah mengorbankan sejuta manusia dibantai tanpa proses hukum dan hancurnya satu republik nasionalis dan demokratik Presiden Sukarno. menjadi setalam adonan-tepung-roti yang dibakar dengan api anti komunis untuk menjadi santapan para penguasa baru: diktator Soeharto dengan regimnya Orde Baru.

Mereka hebat dalam banyak data dan fakta tetapi masih samar- samar tentang latar belakangnya, mereka kutip surat-surat kabar, dokumen-dokumen, tetapi belum sampai kepada apa yang tersirat di belakangnya itu yang sebenar-benarnya. Ini bisa dimaklumi. GESTAPU adalah peristiwa politik yang maha besar. Dan soal politik itu tempatnya adalah di atas segala soal di dalam masyarakat. Di antara buku-buku yang ditulis terdapat a.l.: 1. Nugroho Notosusanto & 6. Van den Heuvel. Ismail Saleh. 7. Manai Sophian. 2. B.Anderson & Ruth Mc.Vey. 8. A.C.A Dake 3. Harold Crouch. 9. M.R. Siregar 4. Peter Dale Scott. 10. Oel Tjoe Tat 5. W.F. Wertheim. 11. dan lain-lainnya Kita bisa terbantu pula oleh karya Goenawan Mohammad, yang berjudul: 'Bayang-bayang PKl' yang bagi saya menarik sekali. Kompilasi dan penyimpulannya saya anggap obyektif dan benar terhadap tanggapan berbagai pihak, termasuk para penulis yang saya sebut di atas. Saya sendiri bukan penulis, peneliti apalagi ahli sejarah. Saya tulis buku ini sebagai seorang ex pemuda peIopor revolusi 17 Agustus 45 yang dirampas Hak-Azasinya oleh Soeharto dan regimnya sekarang ini, demi kepentingan negeri dan bangsaku yang kucinta, angkatan sekarang maupun angkatan yang mendatang!. Saya tulis tanpa punya akses atas data dan dokumen, seperti yang cukup tuntas telah disajikan oleh Ex Dubes Manai Sophian dalam bukunya "Kehormatan Bagi yang Berhak". Saya menulis sepenuhnya berdasarkan pengalaman dan kesaksian langsung saya sendiri. Saya tulis sementara fosfor di kepalaku ini masih mau bekerja dalam umur lanjut 80 tahun ini dalam keadaan bertahan hidup sebagai refugee politik. Tidak untuk membela siapa-siapa, kecuali kebenaran sejarah yang saya alami dan saya saksikan langsung dari peristiwa GESTAPU itu.

Orang-orang nyinyir, asal saja ada daging yang bernama bibir di mulut dan lidah tidak bertulang bilang dengan latah berkokok: Itu Peristiwa G3OS/PKI, sebab pihak penguasa negara sekarang yang bilang begitu. Saya mengatakan secara bulat-bulat saja: Peristiwa GESTAPU atau GESTOK, tanpa ada embel-embel. Kalau mau dibilang GESTAPU/PKI wajarnya harus dibilang juga NEKOLIM dan oknum yang tidak benar, yaitu Letjen Soeharto cs!. Dus, GESTAPU/PKI/Nekolim/Soeharto cs. Dengan catatan bahwa yang dimaksud PKI itu ialah beberapa orang pimpinannya, di lain pihak oknum yang tidak benar itu bukanlah seluruh anggota ABRI, melainkan hanya Letjen Soeharto saja. Sebab Peristiwa GESTAPU itu adalah provokasi, provokasi yang tumpang tindih yang lebih kompleks dari peristiwa provokasi Madiun. Peristiwa GESTAPU adalah provokasi dari tiga pihak yang bersatu pada waktu tertentu: a.NEKOLIM b.Pernimpin-Pemimpin PKI yang keblinger c.Oknum-oknum yang tidak benar, yang ternyata ialah Letjen Soeharto cs. Supaya lebih jelas perkenankan saya kutip Manai Sophian "Kehormatan Bagi yang Berhak" halaman 172: "Dengan memperhatikan Pidato Bung Karno di depan rapat Panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia 28 Mei 1965, diperkuat oleh dokumen-dokumen State Department dan CIA yang diumumkan di Amerika serta proses di pengadaan yang mengadili tokoh-tokoh G3OS/ PKI, membantu kita memahami konstatasi Bung Karno tentang terjadinya G3OS/PKI dalam pidato "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikan kepada MPRS pada 10 Januari 1967 yang mengatakan bahwa berdasar penyelidikannya yang seksama, Peristiwa G3OS/PKI itu ditimbulkan oleh pertemuannya 3 sebab: 1. Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI. 2. Kelihaian subversi Nekolim 3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar. Mengapa ketiga-pihak itu bertemu pada satu waktu tertentu: pada 30 September 1965? Saya menanggapinya sebagai disebabkan oleh Tiga Faktor: a. Tancep gas-nya gerakan NEKOLIM sesudah menggagalkan Konferensi AA-ke II di Aljazair yang ditandai oleh Kudeta Kolonel Boumedienne terhadap Presiden Ben Bella. b. Meningkatnya Konfrontasi Malaysia dalam suasana paranoia pro dan kontra yang melahirkan isu "Dewan Jendral" di dalam Pimpinan PKI dan Pimpinan A.D. c. Menyabot rencana CONEFO yang sudah ditetapkan oleh Presiden Sukarno, akan dilangsungkan OKTOBEk 1966. Untuk lebih jelasnya itu provokasi, yang berpangkal pada issu "Dewan Jendral", perkenankan pula saya kutip dari bukunya M.R. Siregar "Tragedi Manusia dan Kemanusiaan" halaman 142. Sebab kebetulan saya kenal beberapa orang yang tersangkut, umpamanya Mayor Rudhito Kusnadi Herukusumo, Ketua CC-PNKRI (Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia), yang sejak semula saya sudah mulai curigai mengapa dia tidak masuk saja ke dalam salah satu partai politik kalau betul-betul mau turut mendukung Negara Kesatuan R.I., yang memberikan keterangan dalam "Pengadilan Untung di depan MAHMILUB II". Saya kutip: Rudhito pertama kali mendengar adanya "Dewan Jendral" dari rekannya dari CC-PNKRI (Comite Central Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia), Amir Achsan.

Tetapi cerita yang paling mencemaskan adalah yang disampaikan pada tanggal 26 September 1965 di ruangan P.B.Front Nasional oleh empat orang "sipil", yaitu: Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatupang. Menurut keempat orang itu diadakan rapat Dewan Jendral di gedung AHM (Akademi Hukum Militer) dan mengajak Rhudito, dalam kedudukannya sebagai Ketua CC-PNKRI, supaya membantu pelaksanaan rencana. Keempat orang itu menceritakan rencana Dewan Jendral lengkap dengan cara-caranya. Pertama, kalau toh bisa maka akan digunakan cara seperti matinya Singman Ree, Presiden Republik Korea Selatan, dan kalau tidak berhasil akan dibuat seperti Bao Dai dari Vietnam Selatan, kalau toh itu masih tidak bisa akan di "Ben-Bella"-kan. Rencana lainnya dari Dewan Jendral adalah mengenai susunan Kabinet Dewan Jendral. Ini diketahui oleh Rhudito dari catatan Muchlis Bratanata yang ditunjukkan kepadanya. Tapi itu saja belum cukup. Supaya Rhudito benar-benar percaya, keempat orang itu memutar rekaman dari Rapat Dewan Jendral, di mana Mayor Jendral Parman membacakan susunan Kabinet dimaksud. Nereka yang akan duduk dalam Kabinet apabila Kudeta Dewan Jendral itu berhasil, adalah: Jendral A.H.Nasution sebagai Perdana Menteri, Letnan Jendral Amhad Yani sebagai Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Pertahanan/Keamanan, Letnan Jendral (tituler) Dr. Ruslan Abdul Gani sebagai Wakil Perdana Menteri II merangkap Menteri Penerangan, Mayor Jendral Haryono Sebagai Menteri Luar Negeri, Mayor Jendral Suprapto sebagai Menteri Dalami Negeri, Mayor Jendral S. Parman sebagal Menteri Jaksa Agung, Brigadir Jendral Sutojo sebagai Menteri Kehakiman, Brigadir Jendral Drs. Sukendro sebagai Menteri Perdagangan, Dr. Sumarno sebagai Menteri Pembangunan, Mayor Jendral Dr. Ibnu Sutowo sebagai Menteri Pertambangan Dasar, dan Jendral Rusli sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat. Menurut Rhudito berdasarkan laporan dan rekannya Mohammad Amir Achsan, dokumen-dokumeen tersebut telah dimiliki Supardjo, Presiden, Jaksa Agung dan KOTRAR (Komando Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi. Note dari saya AMH: Yang dikatakan bahwa Dokumen atau kaset itu sudah ada di tangan Presiden, sudah dibantah oleb Bung Karno, ketika saya dan Brigjen Imam Syafi'i menghadap di Istana Bogor. Malah justru menanyakan hal itu kepada Brigjen M.I.Syafi'i. Menarik untuk diperhatikan, sekalipun Soeharto adalah anggota Dewan Jeudral, namun namanya tidak tercantum dalam susunan Kabinet Dewan Jendral. Ada udang di balik batu? Dua butir rencana Dewan Jendral - satu tentang cara-cara menyingkirkan Sukarno dan satu lagi mengenai susunan Kabinet Dewan Jendral, menurut sifatnya adalah rencana yang sangat peka dan gawat yang seharusnya dengan ketat dirahasiakan. Kalau bukan untuk maksud provokasi, mengapa rencana sepeka dan segawat itu justru sengaja dibocorkan? Bukankah CC-PNKRI yang diketuai oleh Rhudito suatu organisasi pemuja dan pendukung Sukarno? Mungkin dua butir rencana tersebut dibuat hanya "seolah-olah" , dan bukannya sungguh -sungguh". Tapi yang manapun gerangan yang benar, dan yang manapun yang akan menjadi kesan orang yang mendengarnya, namun "pembocoran" dari dua butir rencana tersebut mempunyai tujuan yang sama dan, pada kenyataannya, dengan efek yang sama: provokasi! Petunjuk yang tak meragukan lagi mengenai maksud ini dapat ditemukan pada identitas keempat orang"sipil" yang"membocorkan" itu dan para jendral yang berada di belakang mereka. Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution (keduanya dan Partai NU), serta Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatupang (keduanya dari Partai IP-KI, partainya Jendral Nasution) adalah penghubung langsung dari orang-orangnya Jendral S.Parman, Jendral Harjono dan Jendral Sutojo. Berdasarkan cerita dari keempat orang "sipil" ini, tiga Jendral yang disehut di atas adalah tokoh-tokoh puncak dari Dewan Jendral (anggota Pleno Dewan Jendral terdiri dari 40 orang.Yang aktif ada sebanvak 25 orang. Dari yang 25 ini ada 7 yang memegang peranan penting. Mereka adalah: 1. Jendral A.H. Nasution, 2. Letjen Ahmad Yani, 3. Mayjen Suprapto, 4. Mayjen S.Parman, 5. Mayjen. Harjono, 6. Brigjen Sutojo. 7. Brigjen Drs. Sukendro. Demikianlah saya kutip M.R. SIREGAR dari bukunya TRAGEDI MANUSIA DAN KEMANUSIAAN. Dari kutipan nama-nama saya merenungi nama seorang jendral, yang saya merasakan punya simpati terhadap saya. Namun diri saya tersembunyi teka-teki di sudut hatiku. Beliau itu ialah Brigjen Drs. Sukendro. Dia tinggal di Jalan Lembang di depan danau, saya di Jl. Madura 5, jadi tidak jauh, sama-sama di daerah Menteng. Adiknya, saudara Abijoso demikian pula malah menjadi anggota PARTINDO. Saat terakhir saya ketemu Brigjen Sukendro, ialah di hari Peristiwa bersejarah 11 Maret 1966 di dalam Sidang Kabinet di Istana Negara. Dia duduk di belakang saya, di samping Brigjen Achmadi. Saya kira pada umumnya, sudah mengetahui bahwa ketika sidang Kabinet sedang berlangsung di istana itu, dikepung oleh tentara-tentara yang tidak pakai tanda-pengenal (sebenarnya tentara RPKAD, anak- buahnya Brigjen Kemal Idris), sehingga Bung Karno, Subandrio dan Chaerul Saleh dinasihatkan oleh Dr.J.Leimena sebaiknya segera berangkat ke Bogor demi keselamatan. Semua yang tinggal mengira Presiden Sukarno hanya keluar ruangan dan akan segera kembali lagi untuk meneruskan sidang, sebab tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Sejenak kemudian setelah Dr. Leimena menutup sidang, dengan alasan bahwa Presiden ada urusan penting terpaksa harus pergi ke Bogor. Brigjen. Sukendro itu memegang bahu saya seraya mengatakan dengan mimiknya yang selalu senyum itu: "Pak Hanafi, sebaiknya harus cepat ikuti Presiden ke Bogor, ikuti dia ke mana dia pergi,jangan tinggalkan Bapak itu sendiri!" Cepat saya timbul berbagai tanda tanya dalam kepalaku. "Apakah Sukendro itu sudah tahu apa yang sedang terjadi dan yang akan terjadi dengan Bung Karno, apakah Subandrio dan kawan saya Chaerul Saleh itu dianggapnya kurang cukup bisa dipercaya untuk mendampingi (untuk membela) Bung Karno kalau terjadi apa-apa??" Namun, oke, saya terus berdiri, bergegas mengejar Bung Karno, saya loncat menuruni tangga, terus berlari, berlari sampai terasa nafas sengal-sengal, sampai di pintu gerbang Istana Merdeka, kulihat dengan rasa kecewa. helicopter Bung Karno sudah start mengangkat badannya ke udara, meninggi seperti rasa kecewa saya yang ketinggalan di bawah sendiri dan sendirian.

Inilah salah satu bagian drama permulaan di hari 11 MARET 1966, hari bersejarah yang penting, dan amat penting itu. Hari dimulainya penodongan langsung kepada Bung Karno, Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI, bukan oleh PKI AIDIT atau sebangsanya, tapi Letjen. Soeharto yang menunggangi dua-kuda sekaligus: Dewan Jendral (dengan Trionya Yoga Sugama dan Ali Murtopo) dan GESTAPU (dengan Trionya Syam dan Latief cs). Satu kakinya di Dewan Jendral, satu lagi di GESTAPU uutuk mengganti R.I. Proklamasi dengan Orde Baru. Tentang bagaimana kelanjutan penodongan tersebut yang menghasilkan SUPERSEMAR yang disalah-gunakan oleb Soeharto, sebagai seorang yang gila kekuasaan dan gila harta, kemudian bernafsu mau menjadi diktator seumur hidup, akan saya buka di bagian berikut ini nanti. Sebelum sampai ke bagian tersebut, saya anggap penting diketahui tentang bagaimana Soeharto bisa dan berhasil menunggangi GESTAPU, hingga sampai ke 30 September 1965. -------------------

----------------------------------------- LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA ------------------------------------------------------------ Merdeka!!! Tegakkan Pancasila, UUD'45, Demokrasi dan HAM!!! ------------------------------------------------------------ *** LSSPI - 38 (1998) lsspi@hotmail.com, lsspi@theoffice.net ************************************** * A.M.HANAFI MENGGUGAT *

BAB XIX

Kenali kembali beberapa Peristiwa dan (4/7)

Tokoh Tentara yang Beperan dalam

Komplotan GESTAPU Tentang Trio: Soeharto-Syam-Latief cs

Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. ditandatangani atas nama Bangsa Indonesia Sukarno-Hatta, dibacakan oleh Bung Karno, dengan didampingi oleh Bung Hatta, telab dikumandangkan ke udara dan ke seluruh Nusantara. Tanah Air Pusaka, warisan Sriwijaya, Gajah Mada dan Brawijaya. Dari Bukit Siguntang-guntang dan dari Gunung Mahameru (Semeru) Dewa-dewi naik ke angkasa mene- barkan harum mawar dan melati oleh sebab saking gembira bersuka ria mengetahui bahwa keturunan Dinasti Syailendra telah berani membebaskan dirinya sendiri dari penjajahan asing selama tiga- setengah abad. Radio transmisi di kantor Domei di bawab pimpinan Djawoto, setiap ada kesempatan digunakan untuk menyiarkan Proklamasi, dan Jusuf Ronodipuro begitu berani mencuri kesempatan menggunakan radio-transmisi luar negeri Radio Hosokiuku yang masih dikuasai Jepang. Siaran inilah yang sampai tertangkap di udara Singapura sehingga segera seperti epidemi dibawa angin ke seluruh negeri. Seluruh dunia menjadi tahu, juga pihak kaum kolonial. Tapi juga kaum pangrehpraja dan kaum pengikut Belanda yang terlalu banyak minum "cekokan" kolonial pada jadi kaget dan mengejek secara sinis sekali: "Huh mana bisa Sukarno. Yang bisa kasih merdeka itu hanya Sri Baginda Ratu, Hare Majesteit de Koningin".... Bom-bom waktu seperti itu banyak ditanam Belanda di daerah Pekalongan, Brebes, Pemalang dan di sepanjang pesisir Utara Jawa Tengah. Inilah pula salah satu sebabnya maka pecah apa yang disebut "revolusi sosial" lebih dikenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah, 1946. Apalagi di Jakarta, kota besar Ibu kota Proklamasi.

Namun para pemuda dan Rakyat yang dipelopori oleh Komite Van Aksi yang bermarkas di Menteng 31 menginsafi benar apa arti Proklamasi 17-8-45 itu sesungguhnya. Revolusi! Sekali Merdeka Tetap Merdeka! Itu meminta darah dan air mata. Pengorbanan jiwa dan harta benda.

Maka bermufakatlah kami, supaya sebaiknya anak-isteri yang sudah sejak persiapan dan dimulai revolusi tidak sempat kami perhatikan karena obsessie revolusi kemerdekaan, masing-masing kami carikan tempat pengungsiannya. Ada yang mengusulkan supaya disatukan pada satu tempat atau kota. Chaerul Saleh, Wikana dan Sukarni, mengusulkan di Sukabumi, agar tidak terlalu jauh. Tapi saya mengambil cara lain. Saya ungsikan isteriku Sukendah, dengan dua bayi di bawah umur 3 tahun, ke Jawa Tengah, ke desa Gondang di atas Blabak atau ke Jetis di lereng Gunung Merapi. Sebab ada banyak keluarga kakeknya berdiam di sana turun-temurun. Memang saya ini "sinting" seperti ditegor oleh mertua saya. Karena panggilan Proklamasi, sampai "segitu-gitunya". Sukendah, Ketua Lembaga Putri di zaman Jepang dan Ketua Putri Indonesia Muda di zaman Belanda, sebenarnya hatinya ingin turut serta bersama dengan saya dalam perjuangan, tapi saya mohon kepadanya berikan kesempatan pada saya, keinginan hatinya kubawa bersama saya, tapi demi kesayangan bersama pada anak, kita bagi sementara tugas mulia kita. Tetapi ketika di lereng Merapi di daerah Kedu berkecamuk Gerakan Herucokro (gerakan kebatinan ciptaan Van der Plas!), masih sempat saya pindahkan keluarga saya itu ke Yogyakarta. Gerakan Herocokro itu mengajarkan kepercayaan, bahwa semua orang yang sudah dewasa harus dimatikan semua, karena hidupnya mengandung dosa, bahwa bayi-bayi dan anak-anak di bawah umur saja boleh dibiarkan hidup. Gila! Nanti, katanya, Ratu-Agung akan turun ke Gunung TIDAR untuk menyelamatkan tanah Jawa. Setelah saya laporkan gerakan Van der Plas itu kepada Pemerintah R.I., malah Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, mengatakan bahwa Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakusuma mau mengangkat saya menjadi Residen Kedu. Ini gila'. Menandakan bahwa Kabinet Pcrtama R.I. itu belum siap dengan konsepsi Pemerintah Dalam Negeri di dalam pergolakan menegakkan Proklamasi. Tentu saja saya yang keberatan, sebab itu bukan bidang perjuangan saya. Apalagi bahasa Jawa saya, amat memalukan! Nah,di Yogya inilah saya mengenali beberapa ex Pemuda Pathok, yang markasnya tadinya berada di Jl. Pakuningratan arah ke Jalan Tugu Lor. Di sana masih berdiam saudara Sulistio bersaudara (adiknya Dr. Sulianti dan Sulendro Sulaiman, semua pangkal namanya pakai "Su").Arah ke rumah saya Pakuningratan no. 60 ada rumah saudara Sumantoro Tirtonegoro (biasa kami panggil Mas Mantoro Waterleiding!). Dia inilah yang mengenalkan saya kepada saudara Sundjojo, Ketua Pathok yang aktif di sekitar hari-hari Proklamasi. Pemuda Pathok adalah hasil kaderisasi saudara Djohan Sjahruzah yang sudah saya kenal. Dan para Pemuda Pathok inilah yang memprakarsai agar Sri Sultan Hamengku Buwono dan anggota BKR yang bernama Soeharto berdiplomasi dengan Militer Jepang di Markasnya di Kota Baru secara damai menyerahkan senjata-senjata kepada Sri Sultan, demi keamanan. Dan dari saudara Sumantoro Tirtonegoro ini juga saya pertama kali mendengar sebuah nama Pemuda Pathok: Syamsul Qamar Mubaidah (yang di zaman Peristiwa GESTAPU, berubah sedikit namanya menjadi Syam Kamaruzaman Bin Mubaidah). Jadi, bisa disimipulkan Syam Kamaruzaman itu sudah mengenal Letjen Soeharto, sejak dari zaman "penyerbuan" Markas Jepang pada hari-hari permulaan Revolusi di Yogyakarta. Ketika saudara Mantoro Waterleiding itu bicara dengan saya itu, Syam sudah tidak berada di Yogya lagi, tapi bergabung dengan AMKRI yang diketuai oleh saudara Ibnu Parna di Semarang, dan kabarnya bersama Ibnu Parna turut mengorganisasi Penyerbuan Kidobutai di Semarang. Kemudian jadi "informan-rahasia" dari Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan. Komisaris Polisi Mudigdo ini (masih punya hubungan Famili dengan Mukarto Notowidigdo). Dia di masa Provokasi Madiun mati ditembak tentara di Pati, oleh sebab ternyata bersimpati kepada Amir Syarifuddin. Anak Komisaris Mudigdo itu, Dr. Sutanti biasa dipanggil 'Bolle", kemudian kawin dengan D.N. Aidit. Dari riwayat ini agaknya mulai ada hubungan Syam dengan Aidit sampai ke Peristiwa GESTAPU. Tapi kabarnya D.N. Aidit baru mengenal Syam di Jakarta di tahun l950-an diTanjung Priok. Mengenai hal "cerita" di Tanjung Priok ini akan saya singgung lagi kemudian.

Saya sendiri mengenal langsung Syam Kamaruzaman Bin Mubaidah itu, barulah secara kebetulan di dalam penutupan Konferensi PESINDO di Solo, di akhir tahun 1946. Sebab sepanjang saya tahu, dia tidak ada fungsi apa-apa dalam PESINDO. Pada suatu malam setelah sidang selesai di malam itu (untuk diteruskani lagi besok hari), saya dan Wikana sedang duduk ngobrol ngopi dengan Fatkur, Tjugito, Krisubanu dan Ibnu Parna. Tiba-tiba datang dua orang menghampiri menyalami Wikana. Siapalah yang tidak kenal Wikana, selain Pemuda MENTENG 31, menjabat Menteri Negara dan menjabat Wakil Ketua PESINDO, di samping Krisubanu, Ketua Umum. Wikana mengenalkan pada saya dua orang itu: Syamsul Qamar, pemuda Laskar-PAI (Partai Arab Indonesia) asal Pekalongan, dan seorang lagi Polisi Sudjono Jemblung, asal Jawa Tiniur. "Syamsul Qamar boleh, Syam Kamaruzaman boleh juga, asal ada Syam-nya tapi yang penting pula bin Mubaidah," berseloroh Syam itu sambil ketawa mengoreksi Wikana.

Syam perawakannya sedang, kulitnya tidak putih bersih seperti beberapa keturunan Arab, anggota Laskar PAI yang saya pernah kenal di Jakarta. Kulitnya agak kehitam-hitaman dan pakai kumis sedikit. Saudara Fatkur mengatakan kedua orang itu adalah polisi. Syam itu dikatakannya adalah "restan" Peristiwa Tiga Daerah. Entah Fatkur itu berseloroh saja, ataukah betul saya tidak ada kesempatan untuk berkenalan lebih panjang. Kedua orang itu kemudian diajak Fatkur pergi. Yang kedua kalinya saya ketemu pada Syam itu, kebetulan lagi juga di gedung PESINDO Pusat di Solo itu juga, pada akhir Juli 1948 sebelum terjadi Peristiwa Provokasi Madiun. Barangkali dia datang untuk menyaksikan apakah PESINDO Pusat itu masih ada? Sebab pernah gedung PESINDO itu diduduki oleh Tentara Siliwangi. ketika keadaan di Solo sangat kacau dekat sebelum kejadian Peristiwa Madiun tersebut. "Mau apa lagi itu Arab, itu mata-mata polisi Komisaris Mudigdo datang ke mari", ucap saya sebel pada Krisubanu.

"Saya juga tidak suka kepadanya. barangkali dia mau menyaksikan kekalahan kita, tapi Fatkur yang mengurusi dia itu" kata Krisubanu. Itu kali Syam melaporkan tentang Konferensi Rahasia Sarangan, 21 Juli 1948, antara pihak Amerika (Gerald Hopkins dan Merle Cochran) dan dari pihak Indonesia Sukarno-Hatta-Sukiman- Moh.Natsir-Moh.Rum dan Sukamto. Tetapi Bung Karno pulang duluan, tidak menunggu sampai selesai begitulah dia melapor. Bahwa infonya Syam itu begitu penting mengenai Red Drive Proposal baru kemudian kami menginsafinya, setelah kejadian Provokasi Madiun. Dan bagaimana Syam bisa tahu itu Konferensi Rahasia Sarangan kalau tidak punya jalur hubungan dengan kalangan PSI? O, sebenarnya saya sudah dengar berita begitu dan akhirnya begitu banyak sudah orang-orang PESINDO yang menjadi korban dalam Peristiwa Provokasi Madiun itu. Seperti Kolonel Dahlan, suaminya Maasje Siwi anggota Dewan Penerangan PESINDO di mana saya menjabat sebagai Ketua. Dan lain-lain lagi. Sebenarnya mengenai saya, saya sudah lama ex-officio dan kedudukan saya sebagai Ketua Dewan Penerangan PESINDO, sejak kesibukan saya di Kementerian Pertahanan sebagai Opsir Staf PEPOLIT. Dan jabatan saya sebagai Komandan Laskar PESINDO Jawa Barat, sudah saya letakkan pada pertengahan Juli 1949 dan saya percayakan kepada saudara Wahidin Nasution dari Laskarr Rakyat Jakarta Raya. Sesudah dua kali saya ketemu, melihatnya bermuka-muka, itu informan, atau polisi mata-mata-gelap dari Komisaris Mudigdo, ex Pemuda Pathok, yang orang kata kadernya Djohan Sjahruzah yang saya sangsikan pantasnya disebut kader, tapi sebetulnya seorang insan yang memberi kesan seorang pengabdi perjuangan, tapi hanya seorang avonturir yang berpretensi bisa tahu semua, tapi akhirnya mendorong R.I. terjerembab ke bawah sepatu seorang diktator. Dua kali saya bertemu dengannya seperti tersebut di atas, tapi lama sekali kemudian saya melihat sekali lagi, yang terakhir, di tahun 1963, sebelum saya berangkat ke Kuba. Dari 11 orang Pemuda Pelopor Proklamasi dari MENTENG 31, hanya saya sendiri yang beruntung menyaksikan peristiwa Penyerahan Kedaulatan R.I., di mana dokumen serah-terima itu ditandatangani oleh Komisaris Lovink atas nama Kerajaan Belanda dan Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX atas nama Republik Indonesia, di Istana Merdeka, 27 Desember 1949. Saudara Wikana masih menghilang, akibat Provokasi Madiun, sedangkan Chaerul Saleh dengan Pasukan Bambu Runcingnya berada di Jampang Kulon (Banten), konsekwen menentang K.M.B. Sukarni saya tak tahu ada di mana, Adam Malik anggota DPR, tapi ogah-ogahan, Pandu kerja di ANTARA.

Saya pun menyaksikan peristiwa sejarah itu dengan perasaan kecewa pula, tapi saya menyadari sebab kami Pemuda Radikal itu tak berdaya apa-apa lagi. Maka itu, saya membangun Organisasi Angkatan 45 di tahun l953. Dengan hasil KMB itu kita harus membayar "retribusi" milyunan dollar, begitupun semua biaya pendudukan dan penyerbuan NICA ditimpakan kepada R.I. yang harus dibayar, dan lain-lain pil pahit. Semua itu terpaksa kita telan, demi bisa memiliki Republik Proklamasi, dengan Presidennya Bung Karno dan Wapresnya Bung Hatta. Tapi rasa sakit di hati itu bisa dilembutkan, ketika menyaksikan lautan gelombang massa yang menyambut kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta sejak dari lapangan terbang Kemayoran sampai ke Istana Merdeka. Itu saya sempat menyaksikan, dengan perasaan "masih beruntung Republik ini tidak tenggelam". Sekarang teruskan saja berdayung dengan segala daya dan cara, dengan segala piranti yang ada pada kita ke arah pulau tujuan: negeri adil sejahtera bagi seluruh rakyatnya, ber-Pancasila. Bulan Februari 1950, saya boyong keluarga kembali ke Jakarta. Naik kereta api dari stasiun Tugu via Magelang dan Semarang, sambil membawa segala suka-duka pengalaman perjuangan menegakkan Republik yang takkan cukup waktu untuk diceritakan sampai nafas terakhir sekalipun. Kalau saya pikir-pikir, Jakarta dan Yogyakarta adalah dua muka dari satu mata-wang Proklamasi 17 Agustus l945. Tergantung di tangan siapa dan untuk apa digunakannya.

Sukarno dan Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX telah menempa kekuatan persatuan nasional sedemikian rupa sehingga berhasil mencapai pengakuan internasional terhadap negara Republik In- donesia di atas nyala api Proklamasi 17 Agustus 45. Sukarno berperan di bidang nasional seluruh Nusantara. Hamengkubuwono dengan mcmpertaruhkan tanah pusaka warisan Kerajaan Mataram dan akhirnya memimpin perjuangan di bawab tanah, menyatukan semua kekuatan tenaga pejuang, baik yang Merah, yang Hijau maupun yang Kuning, untuk meledakkan 'bom-waktu' penyerbuan terhadap pendudukan Belanda 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dialah orang dan pahlawan sebenarnya penyerbuan 1 Maret 1949 di Yogya itu. Bukan Kolonel Soeharto! Kapten Latief dengan pasukannya tidak akan berani jibaku, kalau tidak ada kekuatan yang sudah siap menunggu, dan pasukan Pramudjilah yang memberikan sinyal kepadanya di Godean untuk mulai bergerak. Itu saya tahu. Sejarah yang benar harus dibuka, jangan diselimuti oleh kepentingan politik pribadi yang berbau duit dan harta itu.

Setelah Wikana sudah berani muncul kembali, sesudah D.N.Aidit mengadakan pembelaannya mengenai Provokasi Madiun di muka Pengadilan yang diketuai Jaksa Dali Mutiara, 2 Februari 1955, saya berkesempatan lagi jumpa lagi dengan Wikana. Dalam suatu percakapan secara iseng saya tanyakan, apakah dia masih ingat akan Syam Kamaruzaman, yang dia pernah kenalkan kepada saya di konferensi PESINDO dahulu itu, apa dan di mana kerjanya sekarang? Tapi lebih dulu siapa Wikana ini. Wikana ini adalah tokoh PKI-illegal sejak zaman Belanda dan di zaman Jepang yang punya sikap menentang Sukarno dan siapa saja yang sedia kerjasama dengan Jepang. Dr Adnan Kapau Gani Ketua P.B.GERINDO memberhentikannya dari Ketua Barisan Pemuda GERINDO di tahun 1939, lalu menunjuk saya A.M.Hanafi sebagai Sekretaris Jendral Barisan Pemuda GERINDO, administratif langsung di bawah Pengurus Besar GERINDO. Setelah Bung Karno kembali ke Jawa dari pembuangan inginnya Wikana, Bung Karno gabung 'ke bawah tanah" berjuang illegal bersama rakyat menentang pendudukan militer Fasis Jepang. Rupanya ada pengaruh pikiran Amir Sjarifuddin padanya. Tentu saja pikiran Wikana itu ditentang oleh Bung Karno. Bagaimana mungkin menjadikan singa podium menjadi tikus mencicit-cicit di bawah tanah. Buug Karno sudah waspada bahwa kaum komunis, dengan tidak menyebut Wikana, menghendaki dia jadi seperti itu. Saya dipanggil di kediamannya si Oranje Boulevard no.11 (abang saya Asmara Hadi yang sudah kawin dengan puteri angkatnya Ratna Djuami juga tinggal di situ). Satu malam penuh saya dikursus, di mana links radikalisme komunis Wikana itu dicabuti bulu-bulunya habis-habisan. Karena tidak ada orang lain yang bisa disuruhnya untuk meyakini kebenaran politik dan siasatnya "menunggangi kuda-kesempatan" untuk mencapai kemerdekaan melalui masa pendudukan Jepang itu, maka sayalah yang ditugasi untuk menyampaikan pandangan politik dan siasatnya kepada kaum komunis via Wikana.

Singkatnya kaum komunis jangan menyabotnya! Bung Karno sudah mengetahui sejak masih di Bengkulu, bahwa Wikana itu "jago" komunis di bawah tanah karena diberi tahu oleh utusan Wikana yaitu saudara Ismail Wijaya. Beliau juga memberikan sokongan untuk disampaikan kepada Wikana sebanyak 75 gulden. Maka, dari pcristiwa inilah orang-orang komunis kemudian menyalahgunakan nama saya dan Bung Karno. Kasarnya mencatut nama saya dan Bung Karno dan menganggap saya orang komunis. Hal-hal ini wajib saya uraikan, sebab saudara Sukisman suami Umi Sardjono menulis sebuah brosur yang tidak tepat mengenai saya. Tidak tepat isinya maupun waktu dikeluarkannya. Seorang Sukarnois harus bisa berhubungan dengan segala golongan tanpa pilih-pilih aliran partai, nasionalis, agama, ataukah marxis demi kepentingan strategi perjuangan sesuai dengan garis politik Bung Karno sebagai pemimpin nasional. Bung Karno rupa- rupanya dilahirkan Tuhan ke dunia untuk memenuhi sejarah hidupnya, dan dia punya panggilan untuk menjadi Bapak Nasion, El Padre y el Libertador de la nacion Indonesia, yang seyogyanya sesuai dengan budi-daya atau kebudayaan manusia Indonesia harus dijunjung selama hidupnya dan sampai wafatnya! Dengan segala hormat kepada beliau, di dalam hatiku berkata-kata, dia bukanlah orang seperti Lenin atau Mao. Karena itu saya tidak heran ketika B.M. Diah atas nama BPI (kebetulan saya hadir) mengusulkan supaya Bung Karno langsung memimpin PNI, beliau menolak. Panggilan hidupnya memimpin partai sudah masa lampau. Untuk itu mesti ada satu Partai Pelopor yang sesuai dengan harapannya dan punya kemampuan di zaman Indonesia Merdeka. Itulah yang justru tidak ada. PKI yang bisa menampung sebagian dari harapannya menjunjung cita-cita rakyat marhaen, berani turun ke bawah dan bersatu dengan rakyat marhaen. Tetapi kita tahu, PKI di samping berpenyakit kekiri-kirian, punya cacat (menurut Bung Karno) obsessi perjuangan klas. Sebaliknya Bung Karno berjiwa-seniman yang punya obsesi persatuan dan kesatuan Indonesia. Alle familieleden aan de eettafel en aan de werk tafel, yang sebenarnya tidak bisa diciptakan di atas sebuah kanvas warisan 3,5 abad kolonialisme, yang sudah sobek-sobek pula. PNI yang tadinya sangat diharapkannya untuk jadi Partai Pelopor ternyata sudah kejangkitan penyakit arrive. Maka dilahirkannya kembali PARTINDO yang sebenarnya lahir terlambat, sebab sebahagian besar massa marhaen sudah kesabet slogan- kerakyatan dari PKI. Salah siapa? Kekecewaan Bung Karno itulah akibat penyakit arrive PNI. Sebenarnya tidak ada yang salah. Proses perkembangan sosial masyarakat memang begitu. Semuanya hal ihwal berputar pada sumbu-pusarnya kerezekian, kebutuhan hidup. Saya dihadapkan pada masaalah itulah, ketika saya disuruh oleh Bung Karno turut PARTINDO itu sebagai Wakil-Ketua. Sedangkan saya ingin berkiprah menjadikan Angkatan 45 sebagai katalisator atau "bumper" sekalipun untuk menghindarkan tabrakan rebutan rezeki dan posisi di masyarakat agar semua keluarga bangsa rukun di belakang Bung Karno. Tapi itu pun rupanya satu cita-cita yang terlalu lugu! -------


----------------------------------------------------- LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA (LSSPI) ------------------------------------------------------------ Merdeka!!! Tegakkan Pancasila, UUD'45, Demokrasi dan HAM!!! ------------------------------------------------------------ *** LSSPI - No.39 (1998) lsspi@hotmail.com, lsspi@theoffice.net **************************************

* A.M.HANAFI MENGGUGAT *

BAB XIX

Kenali kembali beberapa Peristiwa dan (5/7)

Tokoh Tentara yang Beperan dalam Komplotan GESTAPU

Sekarang ini bulan Agustus 1977. Saya tidak mau hitung lagi berapa lama saya sekeluarga berada dalam pembuangan di luar negeri. Dan itu bangsaku yang turut kuangkat dan kujunjung kini berpesta pora dengan gercing dollar dalam keadaan lupa-daratan, bahwa di dalam dunia ini tak ada yang kekal abadi. Vandaag is toch geen morgen, morgen komt wel terech. Yang penting urus hari ini, urusan besok - besok lagi pikirkan dan selesaikan. Namun saya yakin, yakin betul, bahwa tidak semua insan bangsa ini yang lupa daratan seperti bangsa Sodom dan Gomora yang laknat dan terkutuk, karena itu dihancurkan Tuhan. Walaupun sebagian dari bangsa Indonesia ini sementara bisa hidup senang dan merasa terima kasih pada Soeharto dan Orde Baru, mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa Soeharto itulah jagonya GESTAPU. Mereka menjadi kaum profiteur yang harus dihentikan dari sikapnya yang berbohong pada diri sendiri dan menipu pada bangsanya. Pada bagian terdahulu, tentang bagaimana Soeharto menunggangi Dewan Jendral, telah saya uraikan bagaimana team Soeharto-Yoga Sugama-Ali Murtopo menyabot"Konfrontasi Malaysia". Maka para peneliti sejarah sudah bisa menunjukkan bagaimana team tersebut bekerja sama dengan Inggris dan Amerika untuk menjatuhkan Presiden Sukarno. Dokumen Provokasi Gilchrist mencapai hasil tujuannya. Menlu Subandrio dipandang "berjasa" menelan mentah- mentah provokasi yang disuguhkan para NEKOLIM itu, sehingga dia mengambil Ali Murtopo menjadi tangan-kanannya di dalam BPI (Biro Pusat Intelijen yang diketuai oleh Menlu Subandrio). Bersamaan denganTeam de drie musketier tersebut dikerjakan pula Team-nya yang lain secara full speed yang terdiri dari: Letjen. Soeharto-Suwarto (SESKOAD)-Amir Machmud-Basuki Rachmat- Andi Jusuf dan lain-lain jendral lagi. ltulah de club van vijf dari Soeharto yang menari-nari di atas bangkainya korban GESTAPU sesuai dengan manipulasi kotor dan tak bermoral dari Soeharto dan Suwarto (SESKOAD) untuk merampungkan secara tuntas rencana kudeta, mengganti Presiden Sukarno dengan Soeharto. Dan Jendral Nas? Ah, dia hanya figur tragis, sebagai wayang di tangan dalang Ki Soeharto. Dengan uraian di atas, saya telah tunjuk-hidung siapa dalang "DewanJendral" dan GESTAPU sekaligus. Selanjutnya dengan cara merayap laksana ular yang kelaparan sambil mendesiskan kata-kata "Presiden Sukarno/Panglima Tertinggi yang tercinta dan yang kita hormati" diterkamlah Presiden Sukarno itu menjadi mangsanya melalui secarik kertas Surat Perintah 1 Maret 1 966 yang dikenalkan sebagai SUPERSEMAR. Presiden Sukarno dijatuhkan mencium debu melalui Surat Perintah yang dia tanda tangani sendiri sebagai Presiden/Panglima Tertinggi ABRI. Masya Allah! Bukan main, alangkah "hebatnya" Jendral Soeharto ini.Tunggu dulu! Kerja kudeta bukan perbuatan Soeharto secara magic, secara ahli-sulap sim-salabim dalam satu hari, No!. Melainkan sejak Peristiwa 3 Juli di Yogya, sejak barter-Semarang sampai dia dicopot dari kedudukannya Panglima Divisi Diponegoro, sampai "distrap" dimasukkan ke SESKOAD, lalu kontak-komplotan dengan Kolonel Suwarto Direktur SESKOAD sebenarnya agen CIA (di mana Syam Kamaruzaman sudah lama menjadi "informan" di SESKOAD itu). "Hebatnya" Soeharto itu selaku abdi NEKOLIM! Kalau Jendral Yani tidak bakal mungkin mau begitu. Maka itu Jendral Yani dihabisi oleh orangnya Soeharto sendiri (GEST PU). Yang sebenarnya hebat itu, ialah Gilchrist dan Marshall Green, di mana Menlu Dr. Subandrio turut salah-main, sebentar center-kiri, sebentar center- kanan, akhirnya ditendangnya bola masuklah Marshall Green ke dalam goal-nya sendiri. Ya, toh? Tadinya Bung Karno sudah tidak mau politik konfrontasi, Subandrio mendesak. Sebagai diplomat kaliber tinggi, dia pikir sebaiknya lebih baik insiden diplomatik dari pada insiden fisik di dalam negeri. Masih bisa menang waktu rundingan dengan Washington. Sama Marshall Green tidak ada yang bisa dirunding, sebagai pejabat tinggi hanya melakukan tugas. Dan tugasnya ialah menjatuhkan Sukarno sekaligus dengan PKI. Amerika tidak menghendaki adanya komunis di Asia Tenggara. Ini jelas. Di atas saya telah menyinggung sambil lalu tentang Syam Kamaruzaman. Sekarang akan saya bereskan keterangan saya mengenai dia itu sampai selesai bagaimana dia sampai jadi informan Kolonel Suwarto di SESKOAD di Bandung, akhirnya kecantol pada Kolonel Soeharto di tahun 1959. Di zaman Jepang dia kerja jadi polisi mata-mata di bawah Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan (yang kemudian jadi mertua D.N.Aidit). Ini keterangan Fatkur dari Biro Khusus Dewan Pimpinan Pusat PESINDO. Tapi sebelum sampai di Semarang ketemu dengan Kompol Mudigdo, dia adalah salah seorang Pemuda Pathok di Yogyakarta dan termasuk dalam barisan kadernya Djohan Sjahruzah. Kalau di Jakarta yang jadi central aktivis pemuda ialah MENTENG 31, maka di Yogyakarta yang bangun memelopori aktivitas revolusioner dikenal kemudian ialah Pemuda Pathok ini. Atas desakan pemuda-pemuda yang dipelopori pemuda Pathok ini Sri Sultan Hamengkubuwono dan anggota BKR Soeharto didesak merebut senjata Jepang di Kota Baru. Dapat disimpulkan dari masa itulah kontak pertama Sjam Kamaruzaman dengan Soeharto. Ini sesuai dengan keterangan Sumantoro Tirtonegoro tetangga saya di Pakuningratan. Ia di zaman Belanda anggota PNI-Pendidikan (Hatta- Sjahrir). Di zaman mulainya revolusi bersenjata, Syam bergabung dengan pemuda di Semarang di bawah pimpinan Ibnu Parna (kemudian menjadi AKOMA). Kemudian Syam turut dalam apa yang disebut "revolusi sosial" di Peristiwa Tiga Daerah (Brebes-Tegal-Pemalang) yang pada mulanya dalam prinsip disetujui oleh Bung Sjahrir, tetapi kemudian setelah ia menjadi Perdana Menteri terpaksa distop sebab tidak terkendalikan lagi. Seorang di antara tokoh pimpinan Peristiwa Tiga Daerah ini bernama Widarta, seorang komunis, dihukum mati oleh PKI sendiri atas desakan Menteri Amir Sjarifuddin. (Baca Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah). Syam Kamaruzaman lari ke Pekalongan; di sini ia kembali menjadi polisi mata-mata (Informan) dari Komisaris Polisi Mudigdo yang Amir-minded. Oleh sebab itu dalam peristiwa Provokasi Madiun dia di tembak mati oleh tentara di Pati. Selama Peristiwa Madiun tersebut Syam menghilang, tidak ada yang tahu dia ada di mana. Juga saya tidak pernah dengar dia ada di mana selama Perang Kolonial ke II ketika Yogyakarta, Ibu Kota R.I. diduduki NICA (Tentara Belanda). Ketika saya ketemu dengan Wikana, di tahun 1955, ketika saya aktif memimpin Kongres Rakyat untuk Pembebasan Irian Barat dia menceritakan babwa Syam Kamaruzaman itu selama Peristiwa Madiun lari menyelundup ke Jakarta dan bersembunyi di Tanjung Priok. Di sana ditemukan oleh saudara Mr. Hadiono Kusumo Utoyo yang seperti Syam cenderung kepada Sjahrir, tapi banyak hubungan dengan orang-orangnya Amir Sjarifuddin (PKI). Hadiono menganjurkan Syam sebaiknya mendirikan organisasi Serikat Buruh. Maka berdirilah SBKP (Serikat Burub Kapal dan Pelabuhan). Mr. Hadiono Kusumo Utoyo ini asal dari anggota P.I. Belanda, dia hanya menganjurkan saja. Pimpinan SBKP itu terdiri dari Syam sebagai Ketua. Lainnya Munir, Hartojo. Sudio (guru Taman Siswa Ki Mohamad Said di Kemayoran). Mulai dari sejarah SBKP inilah, D.N.Aidit dan Lukman tahun 1950 mulai kenal dengan Syam Kamaruzaman . Sebab sebeIumnya Aidit dan Syam tidak pernah kenal ketika masih di pedalaman R.I. Sejak Peristiwa Madiun dan PKI babak belur, Aidit dan Lukman menyelamatkan diri ke Jakarta. Di sana oleh Munir yang memang sudah dikenal Aidit, di masa Munir mengorganisasi supir becak di Jakarta di hari-hari Proklarnasi, Aidit bersembunyi bersama Syam dan Munir di Tanjung Priok; kemudian pindah bersembunyi di rumahnya saudara Husein (ex-Ketua B.P. GERINDO cabang Sawah Besar). Ini diceritakan Husein langsung kepada saya yang tetap bersimpati kepada saya sebagai ex-sekjen B.P. GERINDO. Sehubungan dengan hal ini penting saya menunjuk pada "isapan jempol" Sugiarso Surojo "Siapa menabur angin ..." halaman 230, yang menyebut Aidit ke Peking 1950, tentang Tanti dokter keluaran Moskow, dan tentang Dokter Mudigdo, tentang D.N.Aidit, semua itu isapan jempol komunisto-phobi Sugiarso Surojo.
Ketika saya tanya kepada Husein "apa betul Aidit dan Lukman sempat pergi ke Vietnam dan ketemu dengan Ho Chi Minh dan ke Tiongkok ketemu Mao, seperti desas-desus yang saya dengar?" Husein senyum-senyum saja. Dia tidak bisa dan tidak berani bohong pada saya. Maka mulai dari masa itulah saya mulai bertambah khawatir terhadap Aidit. Apalagi kemudian saya ketahui dia jadi ketua PKI. Saya jadi tambah khawatir. Qua intelek dia oke, sebab rajin baca, tapi pengalaman politik kurang sekali, pengalaman revolusi bersenjata tak ada sama sekali (waktu pertempuran bergolak di Jakarta dan di Krawang-Bekasi, waktunya habis terbuang dalam tahanan Belanda di pulau Onrust. Ketika keluar dari Onrust tahun 1947 dia cari saya di Pakuningratan-Yogyakarta. Dia datang pamit mau masuk PKI.


Saya bilang: "Jangan,... saya sendiri, terus terang tidak berani, menurut saya, orang yang masuk PKI orang yang tidak akan kehilangan apa-apa dan tidak akan mendapat apa-apa, kecuali memberi, sekali lagi memberi kepada orang lain, kepada Rakyat. Turut saja sama saya ke Front Krawang!"


Dia minta waktu pikir-pikir. Aidit sejak zaman Belanda dan zaman Jepang di Barisan Pemuda GERINDO dan MENTENG 31 selalu turut sama saya, di masa permulaan zaman Jepang di mana kehidupan rakyat mulai jadi tambah sulit, saya dan Pardjono angkat dia dari itu "bedeng-liar" di daerah Pasar Senen, kerja-upahan sama Si Ali- Padang menjahitkan pakaian tua, pantalon satu bisa dijadikan dua celana-pendek dan sebagainya. Saya masukkan dia ke MENTENG 31, Asrama Angkatan Baru Indonesia bersama Pardjono dan lain- lain, untuk menjadi Pejuang Kemerdekaan yang tangguh. Dia memang betul jadi seorang pejuang betul-betul, tapi sejak dari mudanya wataknya suka keblacut karena semangat petualangannya dan ambisius. Saya ceritakan ini bersih dari penghinaan atau sanjungan, melainkan dengan rasa persaudaraan yang sewajarnya saja. Oleh sebab itulah saya tidak merasa segan untuk selalu menasihatinya, bahkan memarahinya kalau caranya saya pandang agak keterlaluan. Tetapi, sesudah dia menjadi Ketua PKI, saya tahu membatasi diri saya, dan diapun menjadi jarang ketemu saya lagi. Pernah dia mengatakan, "orang bilang Bung itu orang burjuis". Sebenarnya dia menyindir.Tapi saya tidak merasa maju atau mundur dengan sindiran demikian. Oleh karena itu saya tidak heran kalau orang bilang Aidit itu berspekulasi politik dengan Syamn Kamaruzaman, mulainya dari persembunyiannya di Tanjung Priok dalam SBKP yang diketuai oleh Syam di tahun 1948 itu. Menurut Sudio, sejak ketika razia Agustus 1951, Syam menghilang tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Tapi apa itu razia Agustus? Itu zaman Dr. Sukiman, Perdana Menteri. Katanya Kantor Polisi Tanjung kena serbu orang-orang PKI, buktinya ada ditemui bendera palu arit. Setelah dibuktikan bendera itu bukan palu arit PKI, sebab letak palu arit itu terbalik, jadi bendera itu palsu. Mestinya palunya di kanan dan aritnya di kiri. PKI sejarah romantiknya ialah tidak berhenti kena Provokasi, mulai Madiun, ketika itu Tanjung Priok, dan akhirnya yang ketiga dengan adanya Peristiwa GESTAPU, di mana Aidit dan Syam terpancing oleh "isu Dewan Jendral" dengan bersemangat individual bergerak "daripada didahului lebih baik mendahului". Di situlah apesnya. Aidit jalan "keluar-rel", mesti saja terbalik kereta api PKI. Artinya hanya pinter- pinteran persekongkolan berdua-duaan dengan Syam yang sebenarnya agen-informan tiga-rangkap: PSI-Tentara-Aidit. Dus, Aidit secara pribadi, bukan PKI'. Kalau Syam sungguh- sungguh komunis mengapa urusan kudeta ditangani sendirian tidak oleh Partai, PKI. Ini logika yang sederhana saja. Kalau urusan kudeta dihadapkan pada Partai, maka cara Aidit/Syam menghadapi "isu Dewan Jendral" itu, saya kira akan lebih banyak yang tidak setuju daripada yang acc. Lagi ini logika yang sederhana, demokratik saja. Itulah kenapa saya sebut "keluar-rel". Tapi buat apa lagi analisa ini. Tidak ada gunanya lagi sebab PKI sudah dilibas habis oleh Soeharto masuk ke alam neraka yang tersiksa menebus kesalahan ... yang bukan kesalahannya. Sebab Soeharto: Himmler-nya GESTAPU- Mbah Provokasi. Saya tidak akan nenjelaskan lagi. Biarlah para para penulis roman, cerpen,. politisi, peneliti sejarah mengadakan riset dan menggunakan daya imaginasi mereka, fantasi rasa demokrasi dan kepekaan manusiawinya bekerja, supaya dunia yang bundar ini bisa berputar pada sumbunya dengan kedamaian. Masa'le ... semua kang-mas dan diajeng di Indonesia mau disulap oleh Soeharto menjadi penjilat semua? Kita kembali pada Syam Kamaruzaman. Sesudah razia Agustus di mana SBKP jadi sasaran di tahun 1951. Syam lari menghilang akhirnya diketemukan sudah menjadi "tentara" katanya, menjadi infornan" SESKOAD, katanya orang lagi, berpangkat mayor. Ini ceritanya Wikana. "Katanya", atau "kata orang", itulah karena tidak ada orang tahu kepastiannya. Tapi kemudian, lama-kelamaan, bahwa kepergiannya Syam ke Bandung itu atas kemauannya, inisiatipnya, tapi dengan persetujuan Aidit Ketua PKI. oleh sebab dia (Syam) mengatakan bisa ber-camuflage berlindung menjadi informan" pada tentara. Kepada siapa dia berhubungan dengan Tentara yang dikatakannya itu tidak jelas, barulah kemudian, setelah kolonel Suwarto pulang dari Amerika membawa konsepsi membangun SESKOAD, Syam Kamaruzaman dengan sendirinya menginsafi bahwa dirinya atau missinya sebagai "informan" rangkap itu, mempunyai arti yang bertambah penting, berdiri kuat di antara dua rival : Tentara versus PKI. Sesudah PKI: PERMESTA berantakan dipukul oleh tentara di bawah pimpinan Jendral Yani, kolonel Suwarto sebagai Direktur SESKOAD Me-refomasi konsepsinya yang sesuai dengan garis kepentingan CIA untuk menghancurkan Sukarno dan PKI (komunis). Dengan kedatangan Soeharto ke SESKOAD sebagai "setrapan" dan Jendral Nas karena barter Semarang dan karena pembakaran "Gedung Papak" yang menggegerkan itu, kolonel Suwarto menemukan diri kolonel Soeharto itu satu kecocokan untuk dijadikan "ujung tombak" untuk digunakan kepada sasarannya. Salah satu sebab tentulah berdasar kekecewaan dan kejengkelan Soeharto dicopot dari kedudukannya sebagai Panglima Divisi Diponegoro yang telah dibangunnya dengan dua anggota trionya: Yoga Sugama dan Ali Murtopo dan tentulah juga karena ambisinya setelah Suwarto sendiri kontak dengan Guy Pauker di Amerika (baca Peter Dale Scott). Tampaklah jelas aktor-aktor utama di belakang layar GESTAPO dan Dewan Jendral yaitu: Soeharto-Suwarto-Syam Kamruzaman. Namun, setelah layar adegan GESTAPU diangkat/dibuka, yang tampak atau ditampakkan hanyalah Syam Kamaruzaman dengan Latief cs. Soeharto ganti peranannya jadi "dewa Semar palsu". Jadi kerja pengkhianatan Soeharto itu bukanlah tiba-tiba dalam satu hari, sudah jauh hari sebelumnya, bulan dan tahun sebelum GESTAPU, jadi bukan baru dimulai tanggal 1 Oktober l965 jam 6 pagi, ketika saudara Mashuri datang ke rumahnya memberi tahukan tentang pembunuhan jendral-jendral, seakan-akan dia tidak tahu sebelumnya akan kejadian mengerikan itu. Itulah yang kemudian dia gunakan sebagai "pretext" (dalih) sekaligus justifikasi untuk melibas PKI dan kemudian memenjarakan Presiden Sukarno di rumah Ibu Dewi sampai beliau meninggal. Tapi ketika Mashuri datang ke rumahnya itu, Soeharto sudah siap berpakaian uniform tempur. Alangkah tidak lucunya dimunculkannya Soeharto sebagai penyelamat Pancasila sehubungan dengan Peristiwa 1 Oktober 1966 itu. Sekalipun kodok-kodok yang biasa hidup di comberan, tidak akan mau "mengorek-ngorek" begitu. Sungguh saya malu melihat ulahnya jendral bangsa saya ini. Setelah penumpasan pemberontakan PRRI/PERMESTA di Sumatera Barat, dan ditariknya Letkol Latief ke Jakarta menjadi Komandan Brigade Infanteri pada Kodam JAYA, Syam Kamaru- zaman kerjanya bolak-balik antara Bandung-Jakarta. kemudian menetap di Jakarta setelah Jendral Soeharto diangkat menjadi Panglima KOSTRAD. Syam jadi bertambah kuat sandarannya dalam berhubungan dengan Aidit. Selain menempatkan dirinya sebagai informan di bawah lindungan Brigade Infanteri Kodam V Jaya (overste Latief), dia juga punya hubungan dengan KOSTRAD (Jendral Soeharto). Dapatlah kiranya disimpulkan hahwa mulai masa itu, ditambah lagi dengan datangnya masa "Konfrontasi Ganyang Malaysia", dan keadaan SOB oleh Tentara dipertahankan terus, avonturisme ke arah KUDETA yang di-isukan Dewan Jendral dan di-isukan juga oleb Biro Khusus Aidit dan Syam, sesuai dengan perkembangannya mencapai bentuk yang lebih kongkret. Sampai bulan Apustus, Dewan Jendral dan Biro Khusus masing-masing saling berhadapan dengan nyala api provokasinya sendiri-sendiri sampailah ke 30 September 1965, di mana Biro Khusus (Syam Kamaruzaman dan D.N.Aidit dengan Untung dan Latief keduanya terakhir orangnya Jendral Soeharto pula) bergerak menerjuni perangkap provokasi yang diciptakan Suwarto (SESKOAD) dan Jendral Soeharto (baca MAHMILUB II tentang Kolonel Latief). Ada sedikit peristiwa lagi mengenai Syam dan Aidit yang penting saya tambahkan di sini. Ketika saya sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan keberangkatan saya ke Kuba di bulan Desember 1963 pada suatu hari tiba-tiba datang D.N.Aidit ke rumah saya di jalan Madura No.5 dengan seorang temannya. Aidit lebih dulu turun dari mobil segera langsung naik ke tangga. Temannya itu menyusul dari jalan mulai masuk ke pekarangan. Setelah saya perhatikan siapa temannya itu, dengan suara keras saya membentak Aidit:
"Kenapa kau bawa itu polisi pada saya? Polisi dia itu ..." Orang itu ialah Syam Kamaruzaman yang pernah ketemu saya di Konperensi PESINDO dahulu dan yang sudah banyak saya dengar cerita yang mencurigakan mengenai dia: Badannya sudah agak gemukan, tidak seperti masih muda dahulu. Mendengar bentakan keras saya kepada Aidit itu, Syam jadi kaget terus mambalikkan badan kembali masuk ke mobil lagi tanpa mau melihat dan berkata apa-apa. Aidit pun tanpa berkata tanpa pamit pergi menyusul Syam masuk ke mobil. Begitulah. Saya betul-betul jengkel dan tidak mengerti apa maunya Aidit dengan orang Itu dan kenapa dia bawa orang itu mau dikenalkan pada saya? Dia kira dia bisa bikin surprise bagi saya, sedangkan saya sudah lebih dahulu dari dia kenal si Syam itu. Andaikata Aidit dari jauh-jauh hari mau menceritakan pada saya tentang kontaknya pada Syam itu, sudah pasti saya mau bilang: "jauhi itu penyakit''. Tapi Aidit bukan orang bodoh, apalagi dia Ketua PKI, buktinya dia punya kelebihan tertentu, tidak mungkin dia tidak mengetahui siapa dan apa yang ada di belakang Si Syam itu. Barangkali dia kira dia bisa menggunakan Syam. Bagaimana seorang Ketua Partai bisa begitu? Tidak ada yang bisa jamin apa kerjanya Syam itu. Ideologi tidak punya. Katanya orang PSI, katanya, kenapa tidak ditelusuri betul tidaknya, kan Aidit kenal L.M. Sitorus Sekjen PSI, dulu sama-sama anggota asrama MENTENG 31? Kalau bagi saya jelas siapa Syam, dia itu hantu - boleh saja ketemu di jalan tapijangan dibawa masuk ke dalam rumah. Tapi seperti sudah saya katakan di muka sejak D.N.Aidit, asal nama Ahmad, oleh Pemuda GERINDO Cabang Jakarta diganti menjadi Dipa Nusantara Aidit, menjadi orang penting, Ketua PKI, saya membatasi diri, tahu diri, dan dia pun sudah jarang datang ketemu. Namanya "Ahmaad" itu diganti oleh teman-temannya Barisan Pemuda GERINDO, sebab kata mereka sudah terlalu banyak yang bernama Amat atau Ahmad di situ. ------------------------------------------------------------

LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA (LSSPI) ------------------------------------------------------------ Merdeka!!! Tegakkan Pancasila, UUD'45, Demokrasi dan HAM!!! ------------------------------------------------------------ *** LSSPI - No. 40 (1998) lsspi@hotmail.com, lsspi@theoffice.net **************************************

* A.M. HANAFI MENGGUGAT *

BAB XIX

Kenali kembali beberapa Peristiwa dan (6/7) Tokoh Tentara yang Beperan dalam Komplotan GESTAPU Sekarang tentang Soeharto dan Abdul Latief Overste Soeharto kemudian naik menjadi kolonel Soeharto sejak dari zaman peristiwa Provokasi Madiun, dikenalkan di dalam kalangan kaum kiri dan di kalangan PESINDO pada umumnya sebagai "orang-baik - TNI yang baik", beda dari Kolonel A.H.Nasution Komandan Divisi SILIWANGI yang menggempur PKI-Madiun dan kolonel Gatot Subroto yang tampa proses pengadilan langsung tembak mati ex-Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dengan 10 orang pemimpin FDR di Ngalian. Sebelum saya melanjutkan tentang mengapa ada sentimentalisme di kalangan kaum kiri dan PESINDO terhadap Overste Soeharto, supaya tidak terlupa, saya mau tambahkan di sini satu peristiwa yang saya alami, sebelumnya Amir Sjarifuddin dkk. ditembak mati. Abang saya, Asmara hadi, yang tinggal di Padokan, di luar kota Yogyakarta di mana ia disuruh Bung Karno menyelesaikan buku SARINAH sebab percaya pada kemampuannya Asmara Hadi dab style menulisnya pun hampir sama dengan Bung Karno, datang mencari saya di Pakuningratan. Sambil berlinang air-niata dia berkata:"Fi, kalau kau bisa, tolong selamatkan Bung Amir, tolong dia Fi, dia bekas Ketua kita di GERINDO, ex Menteri Pertahanan dan ex Perdana Menteri. Untuk menyelamatkan Bung Amir kau sendiri coba ketemu Bung Karno. Saya nggak bisa , jij saja, jij bisa. Saya tidak bisa sebab hari sudah sore, saya mesti pulang ke rumah, ke Padokan kan jauh juga". Saya tambahi: "Juga bekas Menteri Penerangan Kabinet Pertama R.I." Sehabis sembahyang magrib saya tunggu Bung Karno keluar dari kamarnya di Istana (diYogya). Sementara itu saya duduk dengan Bu Fat. Saya minta bicara dengan Bung Karno sendirian, tapi Bu Fat (yang biasa saya panggil Zus Fat) maklum keperluan kedatangan saya, ia permisi masuk ke dalam. Saya bilang tanpa omong putar- putar: "Saya minta Bung Karno selamatkan Bung Amir, Hadi yang menyuruh saya ketemu Bung". Bung Karno bertanya, apakah saya tahu di mana Amir sekarang? Saya katakan: "Dia ada di depan kita ini, di dalam benteng di depan Istana ini, tadi siang dia dengan kawan-kawannya dibawa oleh sepasukan tentara di dalam truck terbuka ke dalam benteng itu." "Baiklah akan saya urus ... tapi kau tidak tahu persoalannya". Saya jawab saja: "Saya tahu soalnya, saya kan bukan pemuda seperti bengkulu dulu, saya sudah Bung angkat jadi letnan kolonel, kan, yang penting selamatkan Amir itu dulu, nanti bisa diurus perkaranya". Tetapi apa yang terjadi? Pada malam itu tanpa setahu Bung Karno sebagai presiden, Amirsjarifuddin dkk. diangkut dari benteng Vredesburg itu entah ke mana, ke Solo barangkali untuk ditembak mati cepat-cepat di Ngalian. Sampai sekarang tidak pernah ada orang yang tulis peristiwa itu. Biarlah orang zaman sekarang bisa berpikir-pikir lagi bahwa Bung Karno bukanlah orang The Number One yang bertanggungjawab atas terjadinya Provokasi Madiun di tahun 1948 itu. Walaupun dia berpidato: "Pilih SUKARNO-HATTA atau PKI MUSSO". Apalagi kalau diketahui, bahwa Bung Karno sebagai Presiden tidak menghadiri sampai selesai Konperensi Sarangan bulan Juli l948 itu, di mana pihak Amerika diwakili oleh Gerald Hopkins dan Merle Cochran yang mengusulkan pembasmian kaum komunis Indone- sia untuk bisa membantu R.I. yang membutuhkan keuangan dan sebagainya dalam menghadapi Belanda. (Terjadinya Konperensi Sarangan itu, Syam Kamaruzaman yang memberitahu pada kita ketika di Konperensi PESINDO di Solo, seperti telah saya ceritakan di bagian di muka). Yang melanjutkan perundingan itu sampai selesai ialah Bung Hatta-Dr.Sukiman-Moh. Roem-Moh.Natsir dan Sukamto (Kepala Kepolisian R.I.). Saya tahu bahwa Peristiwa Mediun itu adalah pelaksanaan Red Drive Proposal dari Amerika, walupun saya tidak perlu gembar-gembor seperti orang-orang komunis. Karena saya tahu pokok pangkal kesalahan, adalah karena kesalahan Amir Sjarifuddin yang menyerahkan kembali Mandat Perdana Menteri kepada Presiden secara sukarela. (Amir orang beragama Kristen-Protestan, karena didikan agama dia punya moral, dulu di Jakarta sama isterinya saban minggu ke Gereja, sampai pada suatu hari Minggu mestinya dia berpidato di rapat-umum di bioskop Rialto Tanah Abang terpaksa diganti oleh Asmara Hadi). Overste Soeharto sejak Affair Madiun oleh kalangan kiri dan PESINDO dipandang "orang baik" ("TNI yang baik"). Baiklah saya jelaskan sedikit apa yang dimaksud dengan istilah "orang baik". Istilah itu sebenarnya suatu "jargon" di kalangan golongan kiri/ komunis yang digunakan terhadap orang yang dianggap "jelas bukan komunis atau marxis, akan tetapi cukup progresif. Kira-kira sudah merah- jambu". Soeharto mendapat predikat itu, sebab sebelum meletusnya Peristiwa Madiun itu, dialah yang melaksanakan tugas-perintah Panglima Besar Sudirman untuk memeriksa dan menyaksikan keadaan di Madiun yang sebenarnya. Ada dua hal penting dapat dicatat sehubungan hal ini. Pertama, Panglima Besar Sudirman, orang jujur bijaksana dan menjunjung tanggungjawab kedudukannya sebagai Panglima Angkatan Perang di dalam zaman Revolusi. Kedua, dari sebab dan akibat Peristiwa Madiun itulah, maka seorang pemimpin pasukan PESINDO Kapten Abdul Latief dengan "Batalion-100" bergabung ke dalam Brigade Letkol. Soeharto. Dari masa itulah dimulainya tali perhubungan antara Soeharto dengan Latief yang mencuat sejak dari Peristiwa Enam Jam di Yogja, 1 Maret 1949, sampai berdua itu bersama-sama pula mencong ke Peristiwa GESTAPU sialan itu. Berdua bersama berjalan tapi antara satu sama lain saling siasat-mensiasati ditambah jadi bertiga dengan Syam yang punya dua-tiga muka: AD dan Biro Khusus (Aidit-Syam) dan sebuah-muka lagi mukanya dia sendiri, yang dia bisa jual kepada siapapun dia mau. Dari semula memang saya tidak percaya sama itu orang. Saya ambil kesimpulan tersebut dari bahan-bahan cerita Wikana, bahwa sejak Latief ditarik kembali ke Jakarta dan Operasi 17 Agustus di bawah Komando jendral A.Yani dalam menumpas PRRI/PERMESTA, dan di Jakarta menjadi Komandan Batalyon Infanteri Kodam V JAYA, Syam bekerja sebagai informan kepada Latief di Kodam V Jaya itu dan di samping itu juga menempatkan dirinya sebagai informan pada KOSTRAD yang dikepaiai oleh jendral Soeharto. Klop: Trio Soeharto-Latief-Syam! Di samping itu ada Trio: Soeharto- Yoga -AIi Murtopo.

Saya ketemu Wikana yang terakhir di rumahnya di simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan sengsara, di-isolasi oleh Aidit, tapi dia dapat ditarik oleh Chaerul Saleh menjadi anggota MPRS. Saya ketemu dengan Wikana Januari 1965, ketika saya datang konsultasi ke Jakarta dari Kuba. Saya sempatkan memberi sekadar sumbangan, jangan tidak, sebagai kawan lama di MENTENG 31. "Tolong saya, Fi", katanya. Saya terharu kalau saya mengenang dia. Dia hilang tak ketahuan ditelan gelombang GESTAPU, sepulangnya dari Peking bersama- sama dengan Chaerul Saleh Ketua MPRS, walaupun sudah dinasihatkan oleh Chaerul, sebaiknya dia jangan pulang dulu. Kalau saya kenangkan kembali hari bersejarah Proklamasi 17 Agustus 1945, saya kenangkan diriku di hari itu yang telah meriskir segalanya yang ada padaku, anak-isteriku yang tercinta, hatiku yang pedih jadi gembira. Karena bersatunya seluruh Rakyat kita menang. Dengan gegap gempita kita menyerukan: Sekali Merdeka Tetap Merdeka, merdeka atau mati letupan semangat semua pejuang. Tetapi kalau kuingat kembali Peristiwa Madiun, yang di muka telah kusebut dengan sadar yaitu Provokasi, adalah pelaksanaan Red Drive Proposal hasil Konperensi Sarangan, karena peduli akan perjuangan yang belum selesai, hati pedih bukan kepalang. Karena kita kaum pejuang jadi berpecah saling baku hantam. Saya tahu persoalannya. Kalau saja pemerintah Hatta mau mencegah pertumpahan darah itu, mestinya dia bisa. Keributan di Madiun itu pada mulanya adalah soal kecil dan sederhana sekali: seorang anggota SBKA dipukuli oleh seorang tentara. Diurus oleh SBKA, agar si prajurit itu mau berdamai, minta maaf, selesai. Tapi rasa kehormatan SBKA (yang merasa kaum-pejuang juga), merasa di-ece dan dihina. Maka SBKA mengadakan aksi-mogok. Overste Sumantri komandan Resimen TNI Madiun sedang tidak ada di kota. Pak Residen Samadikun sedang sakit. Walikota Madiun juga sedang bepergian. Wakil-Walikota Saudara Supardi mengambil inisiatif. Saya kenal orang ini. Sama sekali tidak punya karakter "jagoan". Saya pernah di Madiun atas perintah langsung Panglima Besar Sudirman, sebagai Opsir PEPOLIT mengepalai Biro Penerangan/Propaganda Markas Besar Pertempuran Jawa Timur (MBP) dalam rangka perjuangan yang bertugas merebut kembali Mojokerto. Staf saya terdiri dari Mayor Karnen, Sutomo Djauhar Arifin, Yetti Zain, Rusjati Suprio, Rudhito, dan Fransisca Fangidae yang lancar Belanda dan Inggerisnya; dan dapat bantuan Radio "Gelora Pemuda" yang diurus oleh saudara Supardi tersebut dengan staf "Gelora Pemuda". Jadi, kalau saja dicegah itu serbuan Tentara Siliwangi ke Madiun, pertempuran dan penyembelihan kaum komunis dan rakyat-rakyat lainnya tidak bakal terjadi. Apalagi di Madiun itu ada kekuatan PESINDO bersenjata pula. Sekali lagi, kalau saja, kekacauan di Solo bisa dilokalisir (di mana kolonel Sutarto ditembak mati oleh orang yang tak dikenal, hilangnya Dr. Muwardi Kepala Barisan Banteng, ditembak matinya Mayor Sutarno dengan pengawalnya di Markas Siliwangi di Srambatan ketika mau mengadakan perundingan supaya lima orang Perwira TNI anak buah Mayor Slamet Riyadi dibebaskan, dan lain-lain perbuatan provokatif, sampai Markas Pusat PESINDO diduduki beberapa hari oleh Pasukan Siliwangi), jika hal pengacauan itu dilokalisir hanya di Solo saja dan dicegahnya Long Mars Siliwangi ke Madiun, tidak mungkin pecah Peristiwa Madiun itu. Pembaca yang terhormat, Silahkan baca juga dan renungkan pula, apa yang dikatakan Jendral Presiden Soeharto dalam bukunya "Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya", istimewa halaman 53-54. Jadi ketika itu Madiun masih aman tentram. Bahkan kalau menurut keterangan saudara Sumarsono (Bekas Ketua B.P. BKPRI, sekarang berada dalam exile di Australia): "Dia jemput Letkol. Soeharto di desa Mantingan (perbatasan Solo-Madiun) dibawanya ke Madiun. Sesudahnya mengadakan pembicaraan dengan Pak Musso: dibuatlah oleh Soeharto satu keterangan-bersama yang ditulis dengan tangannya sendiri tentang situasi keadaan yang aman tentram dan kesediaan dari pihak Musso/PKI untuk berunding lagi dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Dokumen itu ditanda- tangani oleh Letkol Soeharto di satu pihak dan Pak Musso dan Sumarsono di pihak PKI, untuk dijadikan laporan kepada Panglima Sudirman dan Pemerintah Hatta. Tetapi sementara letkol Soeharto masih di dalam perjalanan pulang ke Yogva, pasukan Siliwangi sudah datang menyerbu Madiun. Bahkan Soeharto tertahan, ditangkap Siliwangi di jembatan Srambatan (Keterangan Pak Harto sendiri dalam bukunya itu). Saya tulis uraian ini dengan bahan pengetahuan saya sendiri yang saya cocokkan dengan keterangan Soeharto dalam bukunya tersebut. Kendatipun begitu, bahwa Peristiwa Madiun itu yang sebenarnya adalah Provokasi dan Pemerintah Hatta yang melaksanakan Red Drive Proposal Merle Cochran di Konperensi Sarangan yang men- janjikan bantuan senjata dan keuangan yang sangat dibutuhkan R.I. yang menurut hemat saya tak perlu dihangat-hangatkan dan dihebohkan lagi demi persatuan dan kesatuan R.I. dan pula karena menyangkut nama Dwi-Tunggal Sukarno-Hatta yang mesti dijaga, - masih saja sampai sekarang pun pihak-pihak phobi-komunis mengatakan bahwa Peristiwa Madiun itu pengkhianatan PKI. Sadarlah kalau masih bisa!

Dari uraian tersebut di atas karuan saja mudah dimengerti kenapa orang-orang PESINDO dan kaum kiri umumnya sejak masa itu menganggap Letkol Soeharto itu "orang baik", apalagi dikejar "hantu" Re-Ra (Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang) menggabungkan kekuatan pasukannya kepada letkol TNI Soeharto yang juga memang butuh untuk menambah kekuatan Brigadenya. Begitulah jadinya maka Kapten Latief masuk ke dalam TNI Brigade Soeharto, lainnya mencari saluran masing-masing dengan membawa anggota-anggotanya yang bersenjata satu/satu. Saya sendiri pun menganggap Pak Soeharto begitu juga; "TNI yang baik", walaupun saya sudah lebih dahulu resmi sudah menjadi TNI sejak tahun 1946 diangkat menjadi Letkol PEPOLIT berkedudukan di Jawa Barat dalam Divisi Siliwangi yang dikepalai oleh kolonel A.H.Nasution. Bertolak dari naluri saya demikian, saya masih menganggap pak Harto "orang baik", ketika Lebaran Februari (?) 1966, ketika halal bihalal kepadanya di rumahnya di Jalan H.Agus Salim, saya nyatakan sikap saya sungguh-sungguh untuk membantunya. Beliau menyambut sikap saya itu. "Baik, Pak Hanafi bersama kita". Meski segala kecurigaan saya yang sudah mulai timbul mengenai GESTAPU saya meriskir diri dengan harapan masih bisa menyelainatkan Bung Karno. Memang ada reaksinya, kemudian saya diminta oleh kolonel Sudarto, katanya atas nama Pak Harto, untuk meggantikan Menlu Subandrio. Tetapi saya tidak bisa memberikan jawab yang tegas, sebab Bung Karno sudah memerintahkan saya kembali ke pos saya di Kuba demi kepentingan rencana CONEFO, seperti telah saya singgung di bagian lain di muka. Juga lagi saya pikir secara administratif Soeharto harus mengusulkan kepada Sukarno. Berhubung dengan alasan tersebut, saya mengusulkan supaya Adam Malik ditunjuk kalau perlu menggantikan saya. Ternyata kemudian, memang Adam Malik yang dijadikan Menlu. Sehari sebelum saya berangkat kembali ke Kuba, Adam Malik sebagai Menlu, menilpon saya di Hotel Indonesia supaya saya mendampingi Presiden Sukarno yang diundang dubes Pakistan pada pesta Perayaan Hari Nasional Pakistan di Hotel Indonesia, tanggal 23 Maret. Ada dokumentasi fotonya dalam majalah New Times di mana tampak Dubes Pakistan, Bung Karno,Adam Malik dan Dubes A.M.Hanafi. Kalau saya mengenangkan hal ini, dalam keadaan saya menjadi korban "akibat-sampingan", ini istilah Wapres Adam Malik ketika saya jumpa beliau terakhir di Brussel 1979, sesudah 30-an tahun terbuang, saya kembali menyadari bahwa nasib di tangan Tuhan. Kalau Pak Soeharto bukan "nasib pemberian Tuhan" tapi pemberian Guy Pauker (CIA) dan lnggris-Amerika. Sebab saya percaya Tuhan melarang orang berbuat dosa, melarang membunuh orang yang tidak berdosa satu juta, melarang orang mengkhianati Bapaknya, Gurunya dan Pemimpinnya, dan melarang serakah menumpuk harta-benda secara tidak halal, dan menurut hukum Islam Zakat/Fitrah harus diamalkan, tidak untuk dikekepin sendiri. Bagaimana Ki Gus Dur dan Ki Idham Chalid, betul apa tidak keteranganku menyangkut hukum Islam ini? Kurang tepat? Haraplah dibetulkan. Terima kasih. ------------------------------------------------------------


LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA (LSSPI) ------------------------------------------------------------ Merdeka!!! Tegakkan Pancasila, UUD'45, Demokrasi dan HAM!!! ------------------------------------------------------------ *** LSSPI - No. 41 (1998) lsspi@hotmail.com, lsspi@theoffice.net ************************************** * A.M.HANAFI MENGGUGAT *

BAB XIX Kenali kembali beberapa Peristiwa dan (7/7)

Tokoh Tentara yang Beperan dalam Komplotan GESTAPU Yang terakhir: Mengenai Soeharto dan Latief Pembaca yang terhormat, Baiklah dibaca lagi pleidooi kolonel Latief di mana dia menjelaskan, balwa dua hari sebelum 1 Oktober 1965, dus tanggal 28 Septem- ber 1965 dia sudah berkunjung ke rumah Panglima KOSTRAD Letjen Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada kesempatan itu ia melaporkan kepada Soeharto mengenai "info" Dewan Jendral. Soeharto menjawab bahwa dia juga sebelumnya sudah diberi info oleh anak buahnya dari Yogyakarta, yang bernama Subagyo, tentang Dewan Jendral yang akan mengadakan kudeta. Kunjungan tersebut tampaknya saja pertemuan ramah-tamah kekeluargaan, bersama Latief turut Ibu kolonel Sujoto, di pihak Soeharto dan Ibu Tien ada Tommy puteranya yang masih berumur 3 tahun dan ada pula hadir orang-tuanya lbu Tien. Tapi yang penting dicatat dari adanya kunjungan ini, bahwa Latief telah melaporkan tentang rencana kudeta apa yang disebut Dewan Jendral itu, dua hari sebelum kejadian apa yang kemudian disebut GESTAPU. Pembaca yang terhormat, Dan sini harus dipertanyakan, mengapa Jendral Soeharto tidak tegas memperingatkan, artinya segera memperingatkan para anggota Dewan Jendral, yang nota bene kolega sendiri, supaya hati-hati dan siap-waspada untuk tidak dibikin kambing dan disate oleh konspirator-konspirator kudeta itu? Dua hari itu kesempatan waktu lebih dari cukup untuk mengambil tindakan preventief(pencegahan) supaya tidak kedahuluan. Itulah yang mesti dia kerjakan, tapi tidak dikerjakan. Inilah membuktikan bahwa Soeharto sudah berencana (voorbedacht) dengan sengaja membiarkan Jendral Ahmad Yani dan lain-lain itu menjadi korban kup yang dia sudah atur. Malah selanjutnya lebih terbukti lagi pengkhianatan itu terhadap Jendral Panglima A.Yani dengan lima jendral yang telah menjadi korban itu. Ketika Kolonel Latief datang ke RSPAD, katanya Soeharto untuk menengok anaknya Tommy yang ketumpahan sop panas, sebenarnya merupakan alasan yang konyol terbanding dengan pengorbanan Panglima A.Yani cs. Kenapa dia tidak langsung menangkap kolonel Abdul Latief itu, padahal Soeharto sudah tahu "kerja-komplot" Latief itu, tetapi dia malahan membiarkan kolonel Latief pulang ke sarang GESTAPU untuk memberi signal gerak kepada Kol.Untung cs menangkap atau di mana perlu membunuh A.Yani cs. Di sinilah terletak tanggung-jawab yang kedua dari Letnan Jendral Soeharto yang paling berat, paling kriminal dan paling khianat dengan sengaja membiarkan Panglima Yani dan jendral- jendral dibunuh.Jadi dialah yang harus diadili lebih dulu, lalu baru dideretkan itu anggota komplotan GESTAPU, termasuk Syam dan Aidit. Mestinya begitu, toh! Baca Lampiran: "Mengungkap sejarah yang sebenarnya". Dokumen tersebut saya terima dari saudara Karna Rajasa (alm.) ketika beliau berkesempatan di masa hidupnya mengunjungi saya di Paris. Soeharto boleh bilang apa yang dia mau bilang, lidah tidak bertulang, dia tidak mati bersama A.Yani cs., dia bangun, sekali bangun terus teriak "maling", menunjukkan jari ke GESTAPU/PKI. Tapi kalau kita waras, kita pakai logika dan dialektika, artinya tidak merancukan urutan fakta, maka jelaslah memang Soeharto punya gara-gara. Makanya saya gugat dia. Dan saya yakin sebagian besar Rakyat In- donesia sependapat dengan saya!!! Di dalam sidang MAHMILUB, rupanya Latief tidak berani bicara terus terang, seperti apa yang saya uraikan di atas ini. Walaupun fisiknya sudah dibikin invalid oleh petugas yang menangkapnya. Saya dapat memakluminya. Barangkali dia masih mengharap demi keselamatan nyawanya adanya seujung rambut rasa kemanusiaan pada ex komandannya Soeharto itu.Apakah ada rasa kemanusiaan,masih ada moral atau sedikit rasa kasihan sang komandan kepada bekas bawahannya, Latief, itu pejuang "Enam jam di Yogya 1 Maret 1949" yang mengangkat nama Overste Soeharto lebih dikenal? Saya tidak menemukan bayangan moralitas yang saya tanyakan itu pada Soeharto di dalam bukunya yang dibanggakannya mengenai "Enam Jam di Yogya" itu. Mengapa tidak ada satu patah kata pun menyebutkan nama Kapten Latief, apalagi peranan Latief yang memimpin pasukannya masuk menyerang ke dalam kota Yogvakarta di hari 1 Maret 1949 itu.Yang dikenalkannya cuma nama Letnan Marsudi dan Letnan Amir Murtono bekas pemuda PESINDO Madiun yang anti Sukarno. Marsudi tidak anti Sukarno karena itu tidak diberi kedudukan seperti Amir Murtono yang dijadikannya Ketua DPR yes man yang pertama. "Demokrasi" a'la DPR Orde Baru cuma merek doang, frasiologi demokrasi yang isinya tulang-sumsum autokrasi. Saya kasihan pada Latief, pada nasibnya. Dia pejuang yang turut berjasa banyak pada Republik.Tapi disalah gunakan oleh Soeharto untuk kepentingan pribadi Soeharto sendiri. Tapi Tuhan itu Besar, Tuhan belum mau panggil pulang Latief, tentulah ada maknanya rahasia Tuhan. Wallahu'alam. Semua harapanku yang terbaik untuk Nusa dan Bangsaku. Sekian, saya cukupkan sampai di sini seruanku kepada pembaca yang terhormat, agar Kenali Kembali Beberapa Peristiwa dan Tokoh- Tokoh Tentara yang Punya Peranan dalam Komplotan GESTAPU. Terima kasih. (BAB XIX, hal. 196-239) ------------------------------------------------------------ LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA (LSSPI) ------------------------------------------------------------ Merdeka!!! Tegakkan Pancasila, UUD'45, Demokrasi dan HAM!!! ------------------------------------------------------------ *** LSSPI - No.42(1998) lsspi@hotmail.com, lsspi@theoffice.net ************************************** * A.M.HANAFI MENGGUGAT * Bab XX Saat Bersejarah Jatuhnya (1/4) Presiden Sukarno Ketika umurku masih muda belia, belum dewasa, aku pernah belajar agama Islam pada seorang guru Muhammadiyah, namanya Mohamad Said asal dan Bintuhan. Bengkulu Selatan. Dia ini keluaran universitas Al Azhar di Cairo. Berkatalah dia, bahwa menurut filsuf Islam, perbedaan yang menentukan antara insan manusia dengan binatang adalah oleh karena seorang manusia itu mempunyai sifat-sifat yang mulia, berpengetahuan dan bercita-cita tinggi, oleh sebab itulah manusia itu selalu memikul penderitaan lahir dan batin selama hayatnya, memikul tanggungjawab pada kedua bahunya selama masih di kandung badan. Darah romantisme beregelora dalam kalbuku yang masih muda. Kubayangkan penderitaan-penderitaan yang diuraikannya itu sebagai bunga mawar merah yang indah dipandang mata, melambai-lambai di kejauhan. Oh, alangkah besar hikmatnya jiwa pemuda yang dilambai renungan cita-cita. Tapi, ketika usiaku sudah meningkat tinggi, laksana matahari menjelang sore sekali-sekali kurenungkan dengan rasa damba akan cara-cara ustadz Moh Said menguraikan persoalan perbedaan antara manusia dan binatang itu, tapi sekarang tidak lagi kulihat sebagai bayangan mawar merah yang melambai- lambai di kejauhan, tapi sebagai realita yang kurasakan sendiri keras- pedasnya, mawar cita-cita yang berduri-duri tajam pada tangkainya, yang telah menggores-gores dan melukai dan membekaskan bakatnya pada tangan-tanganku yang kubawa berlari selama hidup perjuangan cita-citaku. Namun, jika kuhubungkan dengan cerita-cerita kenangan dalam memoarku ini, saya tidak bisa lain hanya bersyukur kepada Tuhan, sebab saya telah dibuatnya sebagai pelaku-sejarah yang bersahaja, telah dibuatnya menjadi saksi yang terdekat atas peristiwa yang begitu penting, yaitu saat bersejarah jatuhnya Presiden Sukarno, yang besar. Jelas, saksi yang tidak berhasil dalam daya upaya membantunya mencegah kejatuhannya. Tangisku sepanjang jalan. SIDANG KABINET 11 MARET 1966 Hari itu adalah hari Juma't, 11 Maret 1966. Pada pagi-pagi hari sekali , kira-kira jam 7.OO Wakil Perdana Menteri (Waperdam) atau biasa juga disebut Deputy III, Chaeru1 Saleh, menilpon saya di Hotel Indonesia di mana saya selalu bertempat tinggal kalau saya datang ke Jakarta dari Kuba untuk berkonsultasi dengan Presiden, mengatakan bahwa mobilnya sudah dikirimnya untuk menjemput saya, untuk bersama-sama dengan dia, berangkat dari rumahnya ke Istana untuk menghadiri sidang Kabinet yang akan dipimpin Presiden pada jam 10.00. Anakku Adityo, biasa dipanggil Dito, terburu-buru menyiapkan sarapan pagi untukku. Dia adalah seorang pemuda umur 19 tahun, mahasiswa Universitas Respublica. Gedung universitas tersebut sudah terbakar dan dihancurkan oleh pemuda KAMI yang kena dihasut oleh segolongan kontra-revolusi, karena itu dia buat sementara masih menganggur. Agaknya dia itu dalam dirinya mempunyai suatu "gave", semacam bakat gaib, sebab dia mengingatkan padaku: "Pak, ... Bapak jangan tinggalkan Bung Karno, kasihan, dia itu sekarang sendirian, dia tentu memerlukan orang-orang seperti Bapak, seperti Pak Chaerul, ikuti saja ke mana dia pergi,jangan tinggalkan dia sendirian!" Kemudian dia berkata lagi, bahwa kalau dia dan mobilnya tidak diperlukan lagi, dia akan menengok rumah kami di jalan Madura no. 5 (ketika itu digunakan oleh Perwakilan FNPVS, Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan), dan kemudian akan mencari dan mengumpulkan pemuda-pemuda teman-temannya untuk bersiap-siap, menantikan komando. Sebelum saya berangkat aku menasihatkan kepadanya apa-apa yang patut dikerjakannya, tapi harus waspada dan hati-hati, oleh karena situasi begitu gentingnya dan keadaan kita sedang berada sementara di pihak yang defensif. Dan saya harus pergi cepat-cepat, sebelum pemuda-pemuda yang kena hasutan kaum kontra-revolusi keluar berdemonstrasi memblokade semua jalan yang menuju ke istana. Kita sudah mengetahui sejak dari kemarin, mereka akan beraksi untuk mencegah jangan sampai sidang kabinet dapat dilangsungkan. Saya mengenakan uniformku, Mayor Jendral TNI, karena kurasa dengan baju-hijau ini aku lebih aman dan bisa lebih leluasa. Dengan menyisipkan pistolku tanpa holster di pinggangku, aku cepat-cepat turun menuju ke mobil Pak Chaerul yang sedang menunggu. Kulihat mobil itu bukan sedan yang biasa dipakainya, tapi sebuah jeep Toyota, di samping supirnya, seorang bekas anggota Laskar Rakyat Bambu Runcing yang kukenal sejak masa revolusi bersenjata dahulu, di sampingnya menggeletak sebuah senapan otomatis AK. "Pak Chaerul bilang buruan, Pak," kata supir itu memberi salam, sambil menyengir kelihatan giginya, karena mengerti yang mataku tertukik ke senapan otomatis AK itu. Hotel Indonesia terletak tidak jauh dari rumah Chaerul Saleh dan jalan yang terdekat ke rumahnya itu kalau dari Hotel Indone- sia, adalah mengambil ujung Jalan Madura, kemudian sesudah meliwati Bioskop Menteng membelok ke kiri kejalan Tengku Umar. Tapi kami tidak mengambil jalan itu, sebab di pertemuan ujungnya Jalan Madura dengan Jalan H.Agus Salim terletak rumah Jendral Soeharto dengan banyak penjagaan militer. Lalu kami mengambil Jalan Thamrin , Jalan Jawa, Jalan Cemara terus ke Jalan Tengku Umar. Setibanya di rumah Chaerul Saleh, ia sudah siap beruniform Deputy III, sedang sarapan dihadapi istrinya Zus Jo. sambil mempersilahkan aku duduk dan menawarkan sarapan kalau aku mau. Chaerul kemudian berkata:"Sidang Kabinet hari ini penting sekali .... der op of der onder*) ... Babe‚ akan meminta kebulatan sikap dan tekad segenap anggota kabinetnya, bulat bersatu dengan dia untuk mengatasi krisis yang berlarut-larut ini. Kalau terpaksa show down' yah, apa boleh buat ... mungkin kau tidak akan bisa kembali ke Kuba lagi". "Kalau harus begitu, apa boleh buat", jawabku dengan tegas. Kulirik Zus Jo di sampingku, diam saja, namun tampak kekhawatiran di air mukanya. Lalu kataku lagi: "Ketegasan sikap itulah yang saya harap-harapkan, bukankah sejak saya datang pertama kali di bulan Desember '65, saya sudah mendesakkan usulku satu political solution, pegang itu corong radio, serukan seluruh rakyat bersatu di belakang Bung Karno, bubarkan itu semua partai politik, termasuk PKI, termasuk partaiku PARTINDO, kecuali Front Nasional, kemudian bentuk panitia-panitia yang ditunjuk oleh Bung Karno untuk re- dress dan pembangunan kembali partai-partai politik dan Front Nasional setelah mengadakan selfkoreksi total di atas landasan demokrasi terpimpin, dan stop buat sementara semua koran kecuali koran pemerintah, dan mutasi di kalangan Angkatan Bersenjata, bentuk Barisan Sukarno, etc., etc. "Ya, itu betul, tapi kau kan tahu sudah, dulu itu belum bisa", Chaerul menimpa. ... "Di kalangan kita ada zwakke broeders, Oom Jo (Deputy II, Dr.J.Leimena) takut, Bandrio (Deputy 1, Dr. Subandrio) plin-plan kagak berani, tapi bikin konsepsi sendiri yang noch vis noch vlees ... nah, nanti dalam sidang, sesudah saya bicara, saya akan minta supaya kau juga bicara, saya tidak mau lagi saya sendiri bicara seperti di sidang Kabinet di Bogor, 15 Januari yang lalu. Nanti kau harus bicara! ..." "Ya, tapi suasana sekarang sudah lain dari dulu", cetusku,"situasi harus diperiksa lagi, dulu Oom Jo tidak berani, takut PARKINDO- nya dibubarkan, soalnya siapa yang membubarkan, pembubaran partai bukan tujuan tapi hanya strategi sementara, cobalah nanti kalau kita jatuh dan tentara berkuasa potong kuping saya kalau semua partai politik tidak dibubarkannya, bagi saya partai bukan tujuan, partai hanya alat dan idee, idee harus mempunyai banyak alat, kalau Sukarno bisa sementara dijadikan alat untuk idee itu, saya tidak takut partai dibubarkan untuk sementara waktu. Partai bisa illegaal, di bawah tanah, Sukarno tidak, dan ini orang tidak akan mengkhianati cita-citanya, udah terlalu tue untuk gituan". "Fi,"jawab Chaerul,"sebenarnya dalam hati kecilnya itu orang tua, dia sendiri bimbang kalau harus membubarkan PKI, masa kau tidak tahu itu, kau bayangkan bagaimana kalau dia harus mencekik anaknya sendiri, NASAKOM. "Bukan begitu alasannya," aku segera menyela, "bagi saya dia itu bukan takut atau bimbang, selama ini dia itu ambil kesempatan orientasi, periksa-barisan, celakanya barisannya itu nyatanya kini masih kacau balau, pada ketakutan pada ngumpet. Seorang komandan-tempur memang tidak bisa maju ke front dengan barisan yang kacau, sampai sekarang tidak ada yang datang mel, melapor siap-tugas di belakang Presiden/Panglima Tertinggi, baik dari pihak massa maupun dari Angkatan Bersenjata, ini perbedaan pokok dengan ciri-ciri kita dulu ketika Agustus 1945 ... Dari Angkatan Laut, Laksamana Muljadi, dan dan KKO, Brigjen Hartono, dan Angkatan Kepolisian Jendral Sucipto dan sebagainya, tidak ada yang datang melapor minta tugas kepada Presiden/Panglima tertinggi, Front Nasional sudah lumpuh, dan massa tidak ada lagi yang berani keluar di jalanan berdemonstrasi untuk mengimbangi demonstrasi- demonstrasi kontra-revolusioner ini sebagaimana biasanya dilakukan untuk menempa dan kasih unjuk kebulatan tekadnya, ini pun logis sekali, sebab siapa yang sanggup menantang demonstrasi pemuda- pemuda KAMI/KAPPI yang dipersenjatai dan dibantu anak-buah Sarwo Eddhy dan Kemal Idris RPKAD itu? ... Baiklah, nanti saya akan turut bicara juga dalam sidang Kabinet". Zus Jo nyeletuk: "Sudahlah, berangkat sajalah, nanti kalian terlambat!" Di dalam jeep Toyota yang dikemudikan kencang, Chaerul mengatakan bahwa banyak menteri-menteri sudah diangkut kemarin sore dan tadi malam oleh Cakrabirawa atas perintah Presiden ke Istana, dan mereka itu disuruh menginap di Guest House Istana, sebab dikhawatirkan mereka tidak akan sampai di sidang kabinet kalau berangkat di pagi hari. Saya dan Chaerul Saleh sudah bulat hati, bagaimana pun kami harus sampai di istana dan sidang kabinet harus dilangsungkan. Kami mengambil jalan, yang walaupun agak jauh, tapi dapat menghindari stopan penjagaan yang berada di setiap pojok-pojok jalan sekitar lapangan Merdeka yang menuju ke istana. Kami mengambil Jalan Asem Lama, membelok ke Jalan Sunda melewati rumah Menteri Olah Raga Maladi, yang kulihat sepi saja semua jendela dan pintunya tertutup kemudian kami membelok ke kiri mengambil Jalan Tanah Abang Tanjakan, terus ke Jalan Tanah Abang Barat meliwati Asrama AURI dan Cakrabirawa, lalu tembus ke jalan Kesehatan dan Jalan Jaga Monyet, akhirnya memasuki gapura Istana Negara dengan selamat. Dari mobil yang dilarikan cepat itu, kami melihat juga dari kejauhan penjagaan-penjagaan di sekitar Bank Negara dan Air Mancur di ujung jalan Merdeka Barat, dan ketika melewati asrama tentara di Jaga Monyet kami lihat seakan-akan sepi saja, tetapi tampak juga beberapa orang tentara bersembunyi di belakang pintu dan di belakang pohon-pohon di sekitarnya berpakaian full-combat, bertopi baja dan beruniform macan loreng. Tapi aku pun sangat heran, sebab apa Cakrabirawa tidak pasang dia punya penjagaan keamanan untuk observasi di pojok dan di sekitar Istana itu. Kemudian ada kudengar bahwa dari kemarin ada larangan angkatan bersenjata ke luar di jalan tanpa tugas tertentu, alasannya untuk menghindari terjadinya sesuatu provokasi, dan larangan ini rupanya dikenakan juga pada Resimen Cakrabirawa pasukan pengawal Presiden. Memang di dalam ada banyak pasukan Cakrabirawa, kelihatan serius semuanya, sampai kami pun diperiksa sebelum diperbolehkan masuk. Saya lihat wajah baru yang belum kukenal. Yang pernah kukenal malah tidak kelihatan. Kami dikawal diantarkan ke Guest House yang berada di dalam pekarangan Istana itu juga. Hampir semua menteri-menteri sudah ada di sana sejak dari kemarin sore, sebagian sedang menyelesaikan sarapan pagi. Tidak lama kemudian baru datang juga Menteri Mardanus, dia menceritakan pengalamannya juga yaitu mengambil jalan putar-putar untuk menghindari stopan penjagaan, tapi tidak urung dia kena stopan juga, oleh karena mengambil Jalan Tanah Abang Barat menuju ke Jalan Mojopahit, dan di belakang gedung R.R.I. dia kena cegat. Tapi dia untung diberi lewat juga. Beberapa menteri datang menghampiri saya, di antaranya Ir. Setiadi, Menteri Urusan Listerik, dan Sutomo Menteri Perburuhan dan Armunanto Menteri Pertambangan, semuanya datang sejak dari kemarin. Menteri Keamanan Jendral Mursid datang pula menjabat tanganku sambil tersenyum lebar di bawah kumisnya a'la Clark Gable itu. Waktu tanganku sudah melepaskan jabatan-tangannya, kuteruskan tanganku menepok pinggangnya yang sudah mulai gendut itu. Jendral Mursid tersenyum lagi, karena rupanya mengerti maknanya tepokan belakang tanganku pada pinggangnya, sebab apa yang kucari ketemu, terasa padaku, bahwa tersembunyi dalam uniform itu ada tersisip pistol kaliber 38-special, dua buah, di kiri dan di kanan. Saya teringat jaman kami di tahun 1946 di front pertempuran di daerah Krawang-Bekasi, dia di front Krawang Timur, ketika itu dia berpangkat kapten, saya letnan kolonel, dia komandan Batalyon TNI, saya komandan Laskar Rakyat/PESINDO Jawa Barat, di samping Opsir Pendidikan Politik Tentara. Jendral Mursid: "Kalau Bung Hanafi pulang ke Kuba, kirimi saya pistol cowboy, yang besar, buat tanda mata...." "Seguro, mon general", kataku dalam bahasa Spanyol, sebagai bergurau dan untuk menghindari sejenak suasana yang ria artifisial itu. "Saya akan bawakan sendiri nanti, dua buah, dan kalau mau pistol tanda-mata dari Fidel Castro, ini pun dapat saya usahakan. Pokoknya beres, asal di sini kita bereskan dulu."Terasa dalam hatiku, keakraban dan solidaritas sesama pejuang revolusi dahulu datang kembali, melonjak-lonjak dalam kalbuku, rasanya mengharukan. Kemudian Chaerul Saleh dan saya pergi mencari Menteri Luar Negeri Subandrio, yang juga sejak dari kemarin sore datangnya, yang berada masih dalam kamar, satu kamar dengan Mayor Jendral Sumarno, Gubernur Daerah Jakarta Raya Pak Marno kami dapati sedang berpakaian, kebetulan dia sedang mengeluarkan pistolnya dari bawah bantalnya, rupanya FN-32, lalu disisipkannya di belakang kemejanya. "Apakah semua menteri-menteri bersenjata hari ini", tanyaku sambil lalu. "Habis, kalau kita tidak tahu akan berhadapan dengan siapa, Bung", jawabnya serius "Kalau dicomot oleh tentara resmi berpakaian seragam dan bawa surat perintah, ini jelas urusannya dan bisa diusut... tapi kalau bukan, gimana... kan banyak kejadian". "Itu namanya penculikan", sahutku. Bukan sekali itu saja aku mendengar ucapan-ucapan serupa itu, tentang penculikan penculikan yang dilakukan oleh orang-orang tentara berpakaian preman, atau "tentara gelap", atau apa lagi sebutannya, ada juga yang menyebutkannya "tentara malam". Chaerul Saleh, Subandrio dan Leimena sudah pergi menjemput Bung Karno di istana Merdeka. Sidang kabinet dibuka oleh Presiden di Istana Negara, jam 10.00 tepat. Saya tidak tahu presis lagi berapa jumlahnya menteri-menteri kabinet ini, tampaknya banyak sekali, rupanya semua menteri hadir lengkap duduk di sekitar meja besar dan panjang itu. Di sebelah kiri Bung Karno, duduk berjejer Deputy I Dr. Subandrio dan Deputy II Dr.J. Leimena. Di belakang kursi Presiden berdiri ajudan-ajudan: Komisaris Besar Polisi Sumirat dan Mayor Jendral TNI Moh.Sabur. Agak ke belakang kulihat Ajudan kolonel Maulwi Saelan, kolonel Mangil dari Cakrabirawa. Saya duduk di jejeran menghadapi Presiden, agak ke sebelah kanan, di samping saya presis duduk Brigjen Sukendro, Menteri Negara, dan Mayor Jendral Mursid, Menteri Keamanan dan Pertahanan. Dengan membaca Bismilah, palu diketok Presiden ke atas meja, dia mulai berbicara. Pidatonya tenang dan terang. Mula-mula menjelaskan dan meminta perhatian terhadap situasi yang amat gawat yang menimpa tanah air dan bangsa, kemudian menyinggung beberapa peristiwa dan adanya pikiran-pikiran yang salah, yaitu seperti "mau membunuh tikus tapi seluruh rengkiang padi itu mau dibakarnya", maka untuk dapat mengatasi situasi yang gawat itu Presiden meminta seluruh menteri, seluruh alat-alat negara, seluruh pemerintahan dan seluruh rakyat bersikap tegas dan bersatu berdiri di belakang Presiden/Panglima Tertinggi ABRI untuk membela negeri dan rakyat yang kini sedang terancam oleh Nekolim Baru kira-kira belum sepuluh menit Presiden Sukarno berpidato, kulihat Kolonel Saelan masuk ruangan mendekati Mayjen Sabur. Mereka berdua itu berbisik-bisik, barangkali ada dua menit. Kemudian Mayjen Sabur mendekati Kombes Sumirat yang berdiri di belakang Presiden yang sedang berpidato itu. Sabur dan Sumirat berbicara berbisik-bisik pula. Sabur memberi isyarat supaya Saelan mendekat. Kemudian mereka bertiga itu mundur ke belakang, rupanya berunding berbisik-bisik lagi. Kemudian kulihat Sabur menulis surat pada sepotong kertas kecil, dan oleh Kombes Sumirat diserahkan kepada Dr. Subandrio, lalu diperlihatkannya kepada Presiden yang sedang berpidato itu. Hatiku merasa jengkel melihat adegan bisik-bisikan itu, dan semua orang yang melihatnya tentulah merasa keheranan, ada apa- apaan itu, kenapa Sabur menulis surat sepotong itu, menganggu pidato Presiden saja. Begitulah anggapanku dan kejengkelan hatiku. Tiba-tiba Presiden Sukarno berbisik-bisik kepada Subandrio, Subandrio kepada Chaerul Saleh, lalu Presiden berbisik pula kepada Leimena, kemudian dia berdiri dan melangkah hendak pergi, diikuti oleh Subandrio, Chaerul Saleh dan Kombes Sumirat. Mereka itu pergi keluar meninggalkan ruangan sidang. Umumnya semua hadirin heran tercengang, satu sama ]ain bertanya-tanya. Sedangkan saya sendiri, saya mengira barangkali ada persoalan penting di Istana Merdeka, atau barangkali Perdana Menteri Ali Bhuto dari Pakistan menilpon Presiden lagi seperti terjadi bulan Januari yang lalu di mana kebetulan saja di saat itu ada bersama Presiden Sukarno, atau barangkali Jendral Soeharto mohon diterima Presiden menghadap di Istana Merdeka untuk sesuatu hal penting yang khusus ... pokoknya saya mengira, dan semua orang mengira begitu pula bahwa Presiden men-schors sidang sebentar saja, dan dia segera akan datang kembali. Apalagi melihat Leimena masih tetap ada, duduk menunggu. Tapi semua dugaan-dugaan itu meleset sama sekali. Dr. Leirnena kemudian berbicara, bahwa berhubung Presiden ada persoalan yang amat penting di Istana Bogor, maka sidang tidak bisa dilanjutkan dan sidang ditutup. Semua yang mendengarkan jadi lebih tercengang lagi, dan menggerutu, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Semua itu terjadi dalam tempo beberapa menit saja. Pada saat itu. saya dijawil oleh Brigjen Sukendro, dia berkata: "Sebaiknya Pak Hanafi, ikuti Bapak Presiden, jangan lepaskan beliau sendirian, pergilah Pak, pergilah sekarang juga ...! Suaranya itu bukan hanya menyarankan, rasanya suaranya itu seperti mendesak kepadaku. Saya terkejut, saya tersadar dari pesona akan kejadian yang begitu cepat. Dalam hati saya menduga, Sukendro mengetahui sesuatu yang akan terjadi atas diri Presiden, paling sedikit dia mempunyai dugaan tertentu bahwa barangkali Presiden akan menghadapi sesuatu soal yang berat, di mana orang amat setia kepadanya akan amat diperlukannya. Sukendro bukan tidak mengetahui hubungan pribadi saya dengan Bung Karno, dia juga bukan tidak mengetahui kesanggupan dan sikap saya yang selalu tegas di pihak Presiden Sukarno, dan hubungan saya yang selamanya baik dengan dia, Sukendro, walaupun tidak sering jumpa. Saya segera berdiri, keluar ruangan dan berlari mengejar rombongan Presiden tadi. Saya berlari mengejar sampai di pintu gerbang Istana Merdeka. Tapi rombongan itu sudah berada di dalam helicopter, mesinnya sudah menderu, baling-baling sudah berputar, kupandangi kemudian terbang di udara menuju Bogor.Aku kecewa hatiku kesal sekali, kenapa saya terlambat? Apa boleh buat, Tuhan menentukan, manusia hanya melaksanakan. Saya bertekad akan segera menyusul ke Bogor dengan mobil, hatiku memuji-muji kepada Tuhan moga-moga tidak akan terjadi malapetaka apa atas diri Presiden dan rombongannya. Di saat itu belum sedikit pun juga terbayang kepadaku, bahwa akan terjadi chantage politik yang amat kotor yang melahirkan apa yang sekarang disebut "Supersemar" itu. Sehabis termenung sejenak, memandangi helicopter yang telah jauh terbang tinggi, saya kembali ke dalam pekarangan Istana Merdeka, terus menuju ke pekarangan Istana Negara, di mana mobil-mobil di parkir, sebab maksudku akan segera pulang ke hotel Indonesia dan dari sana dengan mobil anakku Dito terus ke Bogor. Di sana masih saya dapat jumpai Mayjen Mursid, lainnya sudah pulang. Dia sedang menuju ke mobilnya. Saya tanyakan kepadanya, apa yang terjadi. Dia menjawab, baginya juga belum jelas apa yang sebenarnya terjadi, ada yang mengatakan bahwa ada pasukan yang tidak dikenal telah masuk ke dalam kota, itu tidak mungkin, dan saya sendiri telah pergi melihat-lihat di sekitar istana, tapi tidak saya dapati apa- apa yang mencurigakan, kecuali pasukan yang bertugas keamanan, berkumpul beberapa orang di beberapa tempat. Tapi saya akan pulang untuk mengadakan pemeriksaan lagi. Demikian Mayjen Mursid. Dia adalah Menteri Pertahanan dan Keamanan, jadi saya pikir dia bisa lebih mengetahui keadaan, maka saya menjadi agak tenang. Saya kembali lagi ke dalam pekarangan istana, saya mau menengok, ada siapa di Istana Merdeka. Di sana kudapati Kepala Rumah Tangga Istana, Letjen (purn.) Hardjowardoyo, dengan Mayjen Sarbini dan Mayjen Achmadi, masing-masing Menteri Ve- teran dan Menteri Penerangan. Saya mengambil tempat duduk di kursi rotan dekat mereka, di beranda belakang Istana Merdeka. Kutanyakan pada Pak Hardjowardoyo, apakah Presiden akan kembali hari itu ke Jakarta. Dia menyahut tidak mengetahui pasti, mungkin kembali mungkin tidak. Berceritalah Mayjen Sarbini, agaknya ceritanya itu tadi terputus melihat saya datang: "Saya tidak merasa ada hal-hal yang mencurigakan, yang membahayakan keamanan, apalagi keamanan Presiden. Orang-orang ada yang bicara bahwa ada tentara yang tak dikenal telah memasuki kota, itu kan desas-desus saja; saya sendiri kemarin malam bersama Mayjen Achmadi mengadakan pemeriksaan ke beberapa tempat, pergi ke Cijantung, tempat di mana anak buahnya Sarwo Eddhy diasramakan. Kami tidak menemukan hal- hal yang mencurigakan, bukankah begitu Pak Achmadi?" Tetapi Achmadi diam saja. Sarbini meneruskan: "Memang beberapa moncong meriam ada yang diarahkan ke Cililitan dan ke arah Jakarta, tapi itu kan tidak apa-apa bisa saja kejadian karena perbuatan anak buah yang iseng atau gatal-tangan. Tatkala kutanyakan kenapa moncong meriam itu diarahkan ke sana, tentara yang berjaga di sana itu menjawab: tidak tahu, pak". Dalam hatiku berkata-kata, ini Pak Sarbini apakah karena lugu atau bersiasat? Dan Mayjen Achmadi itu kenapa dia diam saja? Karena sudah lewat pukul 11.00 aku diajak turun pergi ke mesjid di dalam pekarangan Istana itu juga, untuk sembahyang Jum'at. Kami semua pergi sembahyang, sebagai khatib bertindak Menteri Agama Sjaifuddin Zuhri, dan sebagai Imam, menteri Wakil Ketua MPRS Idham Chalid. Sehabis sembahyang aku hendak pergi lagi ke tempat parkir mobil, barangkali saja supirnya Chaerul Saleh akan kembali menjemputku, kalau saja diketahuinya saya masih di istana, tidak turut pergi ke Bogor. Demikian harapanku. Aku berjalan bersama- sama dengan Menteri Sjaifuddin Zuhri dan Menteri Idham Chalid yang akan pergi pulang ke rumahnya masing-masing. Mereka ketawa-tawa bercakap-cakap berdua itu. Sjaifuddin Zuhri berkata sinis sambil tersenyum-senyum ke arahku:"Kalau orang sabar dikasihi Allah, sabar, sabar pasti berhasil..." Apa yang dimaksudkannya, tidak begitu jelas kepadaku. Tapi jika kuhubungkan dengan wajahnya yang gembira ria itu, dalam suasana yang bagiku begitu menegangkan urat saraf itu, kusimpulkan barangkali dia sudah mengetahui sesuatu yang akan terjadi. Tapi Idham Chalid diam saja, berjalan menundukkan kepala, sekali diangkatnya, hanya menanyakan kapan aku kembali ke Kuba. Kujawab pendek saja, terserah kepada Presiden. Jika kuingat kata- kata dan senyum Sjaifuddin Zuhri yang sinis itu, sekarang ini sesudah sepuluh tahun Jendral Soeharto berkuasa (uraian mengenai jatuhnya Presiden Sukarno ini saya tulis di tahun 1975), bertanyalah aku di dalam hati, apakah kesabaran yang dimaksudkannya itu dahulu sebagai pertanda untuk menyambut kejatuhan Sukarno dan kema- tiannya, dan kemudian pembubaran partai-partai politik termasuk partainya N.U. dan hancurnya demokrasi di bawah kekuasaan kediktatoran pemerintah militer Soeharto? Jika demikian, oh, Tuhan, moga Tuhan mengampuni dosanya Kiai ini!

------------ *) der op of der onder, sebuah ungkapan Belanda, cuma satu pilihan: menang atau kalah, tindakan harus diambil.