Friday 31 December 2010

Refleksi Tahun 2011 bagi Drama Perkembangan Bangsa Indonesia



Hari ini adalah hari pertama tahun baru 2011. Tahun 2010 menyisakan PR terpenting bagi bangsa kita yaitu : Apakah negara berfungsi sebagai pengarah pertumbuhan masyarakat di Indonesia ataukah Negara berfungsi sebagai entitas penipu? Entitas dimana negara merupakan rumah besar yang melindungi kaum elite untuk berhadapan dengan rumah besar bernama Rakyat Indonesia.

Negara tidak lagi paralel tumbuh bersama dengan perkembangan masyarakat. Negara memang sudah tidak menjadi organ penindas seperti masa Orde Baru, tapi kini negara tumbuh menjadi ruang yang mendemarkasi elite-pemodal dengan rakyat banyak. Negara tumbuh menjadi tanggul pemisah, tanggul pemisah ini bila tidak diwaspadai akan menjadi organ penindas bagi perkembangan masyarakat. Ada empat catatan besar disini yang bisa dikenakan atas sinyalemen negara yang menjadi tanggul pemisah : Penyelesaian Kasus Bank Century di Parlemen, Drama Gayus, Kasus Yogyakarta dan Kontroversi PSSI.

Pertama, Penyelesaian Kasus Bank Century yang kemudian dilempar kepada kaum politisi di Parlemen sesungguhnya merupakan penghinaan terhadap Hukum dan Akal Sehat. Setelah kasus ini berada di parlemen dan diselimuti eforia demokrasi-demokrasian dengan skenario Opsi, lalu kasus ini berkembang hanya pada : Bargain Politics, Tawar Menawar Politik antara dua partai besar : Demokrat dan Golkar membuat rakyat yang tadinya bersorak-sorai melihat kasus ini di Pansus dan Beramai-ramai menonton soal opsi seperti : Kambing Yang Tolol. - Kaum elite yang bermain disini menyuguhkan sinetron tak bermutu yang menipu persepsi masyarakat. Kasus ini seharusnya dibawa ke ruang hukum yang steril dari kepentingan politik, ke ruang KPK tanpa melibatkan parlemen karena kasus Century dan dugaan-dugaannya adalah murni perbuatan kriminal.

Kedua, adalah drama Gayus. Lagi-lagi rakyat dibodohi dengan ulah seorang Pejabat Pajak tapi semua menyorot kepada Gayus, kaum intelektual dan pendebat-pendebat di TV tidak menyoroti akumulasi perampokan pajak secara keseluruhan, bahkan melupakan ruang dialektik dimana sejak Revolusi Kemerdekaan 1945 ekonomi negara ini dibangun dengan wajah Malaikat berjiwa bandit. Jiwa bandit dalam ekonomi kita belum mampu dibongkar, inilah kenapa banyak penjahat berhubungan dengan penguasa dalam situasi yang tidak masuk akal. Pertumbuhan masyarakat terancam dengan spirit bandit dalam ekonomi kita, sejarah bandit dalam Perekonomian Indonesia seharusnya ditelusuri, dianatomi kemudian diklasifikasi sehingga kelak ada regulasi yang melarang : Otoritas Negara berhubungan dengan Bandit-Bandit Ekonomi.

Ketiga, Kasus Yogyakarta yang memang tidak berdampak pada persoalan integrasi nasional karena saat ini tidak mungkin kita berpikir orang Jawa berpisah dari suatu gagasan besarnya bernama : Indonesia. Tapi yang perlu menjadi catatan besar adalah Kedunguan negara terhadap persoalan sejarah dan kedua ada persoalan dalam hubungan negara-daerah dimana ketidakserasiannya itu adalah persoalan pembagian kekayaan. Dalam kasus Yogyakarta negara gagal memahami jiwa perkembangan masyarakat dimana masyarakat berfungsi sebagai agen kultural yang terpenting dalam perkembangan sejarah perkembangan bangsa, sebagai agen kultural ini, negara atau penguasa tidak memiliki hegemoninya karena kultural tumbuh dalam pemikiran-pemikiran yang bebas sementara negara tumbuh dalam pengaturan. Namun negara harus melindungi perkembangan kultural ini. Perkembangan kultural yang baik adalah menyatunya secara homogen seluruh variabel perkembangan masyarakat dengan landasan besarnya : EKONOMI. Sementara negara gagal dalam akumulasi modal, sehingga apa yang terjadi dalam protes di Yogya serupa dengan di Papua, negara sebagai akumulator modal gagal menjalankan tugasnya dan justru mengintervensi hal yang tidak ia mengerti : Perkembangan Kultural.

Kontroversi di PSSI ini juga merupakan arogansi negara terhadap pertumbuhan masyarakat dibidang olahraga. Sekelompok orang memanfaatkan anggaran dana negara melalui APBD untuk sepakbola. Padahal sepakbola bagian dari kultural, bagian dari pengembangan pembebasan yang ada di masyarakat bukan bagian dari tanggung jawab negara. Masyarakatlah yang bertanggung jawab terhadap pengembangan sepakbola secara profesional, sekaligus mengarahkan sepakbola sebagai sebuah industri bebas yang dibentuk persaingan kompetitif bukan sebagai alat penindas penguasa-penguasa politik yang menindas pertumbuhan sepakbola dengan modal yang ia rampok dari negara. Kejadian final AFF menunjukkan pada kita begitu kuatnya jaringan mafia yang menguasai dunia sepakbola kita, sehingga hal paling sederhanapun seperti persoalan manajemen ticketing menjadi tontonan memalukan. Kejadian kemarin memamerkan kepada kita betapa bobroknya sistem yang dikelola berbasis non profesional. Dalam kasus dunia sepakbola kita masyarakat sendirilah yang harus merebutnya dari tangan penguasa anggaran negara yang berkongsi dengan cukong-cukong politik pelindung mereka.

Empat catatan besar diatas adalah kasus yang sangat membumi dan bisa dijadikan notifikasi bahwa ada yang salah dalam pengurusan negara kita. Demokrasi yang hidup sekarang ini tidak akan tumbuh baik apabila masyarakat sendiri malas untuk merebut hak-hak mereka sehingga kaum pemodal saat inilah yang merampok kenyamanan demokrasi dan menghegemoni hidup kita demi keuntungan dirinya, bila ini didiamkan maka tak lama lagi REPUBLIK INDONESIA hanyalah sebuah Perusahaan Multinasional yang sahamnya dipegang sekitar 300-an pemilik modal. Sementara Masyarakat hanya menjadi babu bagi mereka, babu tanpa otak.


1 Januari 2011


ANTON

Sunday 28 November 2010

Mengapa Yogyakarta Disebut Daerah Istimewa?


Gambar atas : Tampak Sri Sultan dan Hamengkubuwono IX
Menyambut delegasi asing untuk keperluan perundingan di Yogyakarta


Mengapa Yogyakarta Disebut Daerah Istimewa?

Pernyataan SBY yang kelewat dungu dan tidak memahami sejarah serta perasaan orang Yogya membuat banyak pihak meradang, begitu juga dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kenapa SBY bisa tidak mengerti sejarah Yogyakarta dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada waktu itu mempertaruhkan kedudukan politiknya, tidak mempedulikan tawaran Ratu Juliana yang akan memberikan kedudukan Sri Sultan HB X sebagai Pemimpin Koalisi Indonesia-Belanda dan Menggadaikan kekayaannya untuk berlangsungnya Pemerintahan Republik Indonesia. Generasi muda ada baiknya mengetahui asal usul kenapa Yogyakarta diberikan status wilayah Istimewa sebagai konsesi politik dan penghargaan Pemerintahan Republik Indonesia terhadap peranan rakyat Yogya yang gantung leher mempertaruhkan eksistensi Republik Indonesia.

Tak lama setelah Proklamasi 1945, pemimpin pusat macam Sukarno, Hatta, Subardjo dan Amir Sjarifudin menyatakan bahwa "Eksistensi pengakuan pernyataan Pegangsaan harus didukung kekuatan riil di daerah, Belanda atau pihak asing hanya akan mengakui kemerdekaan itu bila kekuatan-kekuatan daerah mendukung" memang pada hari-hari pertama Jawara Banten sudah mendukung pernyataan kemerdekaan RI dengan mengirimkan pendekar-pendekarnya mengamankan Jakarta. Kekuasaan Jepang di seluruh wilayah Banten direbut oleh para pendekar. Tapi kekuasaan pendekar itu bukan jenis kekuasaan formal yang teratur rapi. Begitu juga dengan dukungan jago-jago silat Djakarta dan Bekasi yang kemudian membentuk laskar bersendjata untuk langsung tarung di jalan-jalan Cikini sampai Kerawang. Kekuasaan Informal langsung mendukung Sukarno. Tapi bagaimana dengan kekuasaan formal yang telah didukung administrasi rapi dan memiliki massa pengikut jutaan. Kekuasaan formal itu terletak di Solo dan Yogyakarta.

Solo dan Yogyakarta disebut dengan daerah Voorstenlanden, atau daerah yang diberi kekuasaan khusus oleh Hindia Belanda sebagai buntut perjanjian Giyanti 1755. Setiap terjadi suksesi Belanda sebagai pemerintah pusat bernegosiasi terus menerus dengan raja baru untuk menambah konsesi wilayah dan peraturan-peraturan baru. Lama kelamaan daerah Voorstenlanden hanya sebatas wilayah Yogyakarta dan Surakarta seluruh wilayah Mataram asli semuanya masuk ke dalam pemerintahan Hindia Belanda. Namun wilayah boleh direbut tapi pada hakikatnya rakyat Jawa Tengah dan Sebagian Jawa Timur menganggap raja mereka berada di Solo dan Yogya. Seperti orang Madiun yang lebih berorientasi pada Mangkunegaran atau Blitar yang menganggap Yogya lebih representatif ketimbang Solo. Namun terlepas dari itu semua raja-raja Yogya dan Solo dianggap bagian dari trah resmi raja-raja Jawa.

Pengumuman kemerdekaan Indonesia dilakukan pada sebuah rumah di Pegangsaan ini artinya : Kemerdekaan itu lahir bukan dalam situasi formal. Pemerintahan pendudukan Jepang tidak lagi pegang kuasa di Indonesia setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom dan Hirohito dipaksa menandatangani surat pernyataan kalah tanpa syarat dihadapan Jenderal MacArthur dan sebarisan perwira AS bercelana pendek. -Pemerintahan Jepang dipaksa oleh pihak sekutu sebagai pemenang perang untuk mengamankan seluruh aset-aset di wilayah Asia yang diduduki Jepang termasuk Indonesia. Namun perwira-perwira samurai itu juga sudah pernah berjanji pada sebarisan kaum Nasionalis untuk memerdekakan Indonesia, tapi tujuan kemerdekaan itu adalah membentuk : Persekutuan bersama Asia Timur Raya. Kemerdekaan itu ditunda beberapa kali sehingga sempat membuat berang Sukarno. Namun pada malam 16 Agustus 1945 Laksamana Maeda dengan garansi dirinya pribadi membantu kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk pemenuhan janji. Hanya saja statement kemerdekaan dikesankan bukan dari Jepang.

Dan Sukarno butuh formalitas. Ia butuh rakyat Jawa, hatinya orang Jawa untuk berdiri dibelakang dia setelah pengumuman kemerdekaan. Sementara Tan Malaka sendiri yang belakangan muncul meragukan kemampuan Sukarno menggalang dukungan rakyat secara utuh, Tan Malaka bilang pada Subardjo "Suruh Sukarno cepat cari dukungan di tingkat daerah, dia jangan bermain di wilayah elite melulu". Apabila tidak mendapat dukungan formal minimal di Jawa maka sekutu dengan cepat bisa melikuidir Indonesia.

Barulah pada pagi hari saat Sukarno sedang rapat dengan beberapa menteri datang sebuah surat kawat (telegram) dari Yogyakarta. Sukarno membuka telegram itu dan langsung melonjak dari tempat duduknya. Mukanya yang sedari awal kusut kurang tidur sontak gembira. Di depan menterinya Sukarno berkata "Surat ini adalah langkah awal eksistensi secara de facto bangsa Indonesia, sebuah functie yang bisa mendobrak functie-functie selanjutnya. De Jure kita sudah dapatkan secara aklamasi pada Proklamasi Pegangsaan tapi De Facto surat ini menjadi pedoman kita semua". Surat 5 September 1945 yang berisi maklumat itu berasal dari Sri Sultan yang berisi bahwa :

Pertama : Bahwa daerah istimewa Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah Istimewa dari negara Republik Indonesia.

Kedua, bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan oleh kerna itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan Ngayogyokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan lainnya kami yang pegang.

Ketiga : Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat dengan pemerintahan pusat negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Tiga poin dalam isi surat itu sesungguhnya adalah sebuah negosiasi politik kepada Pemerintahan Republik Indonesia dari kekuasaan Yogya. Bahwa Raja Yogya bersedia masuk ke dalam struktur Indonesia apabila kekuasaan di Yogyakarta terjamin oleh Pemerintahan RI. Sesungguhnya Sri Sultan membuat statement ini adalah kecerdasan Sri Sultan karena ia tidak mau kelak Yogya akan banjir darah oleh revolusi sosial kemudian Yogya dipimpin oleh kelompok-kelompok revolusioner yang tidak bertanggung jawab. Pandangan visioner Sri Sultan ini terbukti jitu : Beberapa waktu kemudian, Kesultanan Deli di Sumatera Timur dan Surakarta terjadi revolusi sosial. Seluruh bangsawan Deli dibantai oleh pasukan yang mendukung terjadinya gerakan anti kerajaan sementara di Surakarta yang sebelumnya diberikan status juga oleh Jakarta sebagai DIS : Daerah Istimewa Surakarta, terkena serbuan pasukan Tan Malaka yang menolak adanya pemerintahan Swapradja, akibatnya status DIS dihapus karena para penguasa Solo tidak bisa mengendalikan keadaan yang take over Solo malah anak-anak muda yang tergabung dalam Tentara Pelajar. Saat itu Sunan Pakubuwono XII dan Sri Mangkunagoro VIII masih bimbang mau berpihak pada Republik atau menunggu Belanda datang. Pada tahun 1940-an seluruh penguasa Kasunanan Solo, Mangkunegaran, Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta adalah raja-raja baru yang terdiri dari anak muda berusia 30-an tahun. Rupanya Sunan PB XII dan Mangkunegoro VIII tidak memiliki kejelian politik seperti Hamengkubuwono IX yang masuk langsung ke dalam struktur pemerintahan RI dan mengendalikan Angkatan Bersenjata serta mengamankan rakyat Yogya dari "Kekacauan-Kekacauan Revolusi".

Tindakan Sultan yang cepat ini justru menguntungkan jalannya sejarah Republik Indonesia di kemudian waktu, karena Sultan dengan kekuasaannya menciptakan suatu daerah kantong yang terkendali. Daerah kantong inilah yang kemudian dijadikan basis perjuangan menegakkan pemerintahan Republik setelah sekutu masuk ke Tanjung Priok. Saat sekutu masuk yang kemudian diboncengi NICA membuat penggede-penggede Republik terancam nyawanya. Sjahrir sendiri pernah merasakan mobilnya diberondong peluru. Hampir tiap malam Sukarno berpindah-pindah tempat karena diburu pasukan intel Belanda, bahkan sering Sukarno tidur di kolong tempat tidur. Hal ini jelas membuat pemerintahan tidak berjalan efektif. Adalah Tan Malaka sendiri yang menganjurkan agar Jakarta segera dikosongkan dari pemerintahan Republik dan Pemerintahan menyingkir ke pedalaman sembari mengefektifkan pemerintahan. Tapi pedalaman mana yang bisa dikendalikan.

Dan Hatta menjawab : "Yogyakarta adalah tempat yang tepat, karena di wilayah sana semua rakyatnya dikendalikan oleh Sultan hanya saja apakah Sultan akan menjamin kita" mendengar ucapan Hatta, Sukarno memerintahkan stafnya menghubungi Sri Sultan. Dalam pembicaraan tidak resmi ditelepon, Sri Sultan berkata :"Saya Sultan Yogya, Sabdo Pendhito Ratu. Menjamin bahwa Pemerintahan Republik Indonesia aman di Yogyakarta" Jaminan Sri Sultan inilah yang dijadikan titik paling penting keberadaan Republik Indonesia ditengah ancaman serbuan pasukan bersenjata Belanda.

Akhirnya dicapai kesepakatan bahwa untuk menghadapi sekutu dan melobi penggede-penggede sekutu adalah Sutan Sjahrir yang ditinggalkan di Jakarta sementara Presiden dan Wakil Presiden sebagai lambang kekuasaan negara dibawa ke Yogyakarta dengan Kereta Luar Biasa (KLB) yang sekaligus memboyong seluruh keluarga mereka. Keberangkatan KLB itu juga menandai perpindahan Ibukota. Peristiwa itu terjadi pada 4 Januari 1946.

Di Yogyakarta, Sri Sultan bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan seluruh penggede Yogya. Seluruh pejabat ditempatkan dilingkungan Keraton. Sukarno ditempatkan di Gedong Agung dan Sri Sultan menghormati kekuasaan Republik Indonesia walaupun sesungguhnya Republik ini baru berdiri. Pejabat-pejabat RI itu rata-rata dalam kondisi miskin. Sultan sendiri yang kerap mengambil emas simpanannya untuk membiayai seluruh operasional pemerintahan. Sri Sultan memberikan tanpa dihitung bahkan pernah gaji pegawai Republiek belum terbayar Sri Sultan dengan dana kekayaan pribadi sendiri membiayai gaji-gaji pegawai republiek.

Tahu bahwa Yogyakarta menjadi pusat kendali Republik. Tentara Belanda tidak berani langsung mengebom Yogya. Hal ini terjadi karena Ratu Juliana dulu adalah teman sekolah Sri Sultan di Belanda. Mereka berdua dari SD sampai Kuliah berada dalam lingkungan yang sama. Sri Sultan dipanggil Juliana sebagai Hengky. Bahkan ada gosip Ratu Juliana memiliki cinta sejatinya pada Sri Sultan. Sebelum Yogya digempur pesan dari Kerajaan Belanda bahwa nyawa Sri Sultan tidak boleh dikutak-kutik. Karena sikap keras Juliana yang tidak memperbolehkan kekuatan militernya menyenggol Sri Sultan maka staff militer di Belanda mengambil kebijakan untuk mempengaruhi Sri Sultan agar berpihak pada Belanda.

Sri Sultan ditawari menjadi pemimpin pemerintahan bersama Indonesia-Belanda tapi Sultan menolak. Baginya Indonesia adalah tujuan hidupnya. Karena tidak sabar atas sikap keras Sri Sultan yang berdiri dibelakang pemerintahan Republik maka Belanda mau tidak mau harus menguasai Yogyakarta.

Pada tahun 1948 setelah terjadinya geger Madiun, Belanda punya taktik yang khas dengan caranya yang licik menikam pemerintahan Republik di Yogya. Belanda awalnya mengadakan perjanjian kerjasama latihan militer dengan TNI sebagai wujud gencatan senjata tapi kemudian malah dari Semarang pasukan Van Langen menerobos Yogya dengan Operasi Kraai. Sepuluh ribu penerjun payung menghujani udara Maguwo, Yogyakarta diserbu tanpa persiapan.

Saat itu yang jadi komandan keamanan Kota Yogya adalah Suharto (kelak jadi Presiden RI kedua).Tapi entah pasukan Suharto ada dimana. Letkol Latif Hendraningrat sendiri langsung mencari-cari Suharto tapi tidak ketemu. Sudirman masih terbaring sakit karena paru-parunya menghitam. Sedangkan Bung Karno cs sedang rapat di Gedong Agung.

Pasukan Van Langen dengan cepat masuk ke Gedong Agung. Tapi sebelumnya terjadi perdebatan keras. Sukarno menyerah atau melawan sekutu. Sukarno berpendapat bahwa dengan ia menyerah maka dunia internasional akan meributkan agresi militer Belanda dan memberikan dukungan bagi Indonesia. Tapi pihak Sudirman menghendaki diadakannya perlawanan total, Sukarno dan Hatta harus ikut berperang di pedalaman. Sukarno memilih tidak ikut cara Sudirman.

Sebelum ditangkap pasukan Van Langen Sukarno berpesan pada Sri Sultan agar keutuhan Republik Indonesia dijaga. Sultan hanya mengangguk namun sebagai Raja Jawa ia selalu memenuhi janji.

Sri Sultan berpikir keras dengan apa Yogyakarta harus mendapatkan kemenangan politiknya. Suatu sore Sri Sultan mendengar perdebatan melalui BBC bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Delegasi Belanda di PBB menyatakan "Pemerintahan Illegal Republik Indonesia sudah Hilang secara de facto yang berkuasa adalah Belanda kota Yogya sepenuhnya dibawah kendali Pemerintahan Belanda". Mendengar hal itu Sultan mendapat ide untuk mengejutkan dunia Internasional. Dipanggilnya Suharto sebagai Komandan Wehrkreise X untuk membangun serangan kejutan. Lalu terjadilah Serangan Umum 1949 yang kemudian mengubah jalannya sejarah. Setelah serangan umum Pemerintahan Belanda di PBB kalah suara dan dukungan Internasional mendukung Pemerintah Republik Indonesia sehingga pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan RI. Karena Juliana sangat membenci Sukarno maka yang datang menandatangani adalah Hatta sementara di dalam negeri yang menandatangani adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX di depan AJ Lovink.

Penandatangan Pengakuan Kedaulatan adalah pengakuan de facto. Dan Republik Indonesia yang masih bayi benar-benar diselamatkan oleh Sri Sultan sebagai pengasuh yang benar-benar menjamin keselamatannya. Lalu setelah puluhan tahun sejarah hendak dilupakan. Masuknya kelompok-kelompok dogol di Jakarta dan menguasai Politik Indonesia. Hanya karena ingin menggusur kedudukan Sri Sultan sebagai kekuatan politik pada pertarungan 2014 maka mereka ingin menghapuskan status daerah istimewa Yogya sekaligus ingin menghilangkan kekuasaan de facto Raja Jawa yang berada dalam lingkungan bangsa Indonesia.

Benar kata Pram : "Sebuah bangsa yang tidak mengerti sejarahnya sendiri hanya akan melahirkan ketololan-ketololan".


ANTON

Saturday 20 November 2010

Sikap-sikap sufistik

Dosa terbesar adalah Ketakutan
Rekreasi terbaik adalah Bekerja
Musibah terbesar adalah Putus asa
Keberanian terbesar adalah kesabaran
Guru terbaik adalah pengalaman
Misteri terbesar adalah kematian
Kehormatan terbesar adalah kesetiaan
Karunia terbesar adalah anak-anak yang shalih
Sumbangan terbesar adalah partisipasi
Modal terbesar adalah kemandirian

(Pesan Ali Bin Abi Thalib)

Sunday 17 October 2010

Tan Malaka, Hidup Kesepian Mati Kesepian.


Gambar Atas : Tan Malaka di rumah Achmad Soebardjo September, 1945. Perhatikan jam tangannya yang diikat di separuh lengannya.


Tan Malaka, Hidup Kesepian Mati Kesepian


Tan Malaka adalah anak dari wilayah yang selalu gelisah, wilayah yang membutuhkan intelektualitas sekaligus pencerahan spiritual. Ia tumbuh di Alam Minangkabau dimana adatnya memberikan tempat pada akal sekaligus hidup dalam alam agama. Tan Malaka berdiri di dua tempat ini.

Ia adalah pelajar yang cerdas bahkan teramat cerdas. Ia sekolah di Kweekschool, sekolah Raja untuk menjadi guru. Tan Malaka kecil menjadi murid yang paling cerdas di sekolahnya atas rekomendasi Tuan Fabius ke Nederlaand dan sekolah di Rijkskweekschool, disana Tan Malaka hidup dengan beberapa orang Belanda dari kalangan sosial rendah. Saat Tan Malaka sekolah di Belanda, Eropa sedang dicekam suasana gelisah karena pertarungan wilayah antara Jerman, Prusia, Perancis dan Rusia. Gerak gerik awal Revolusi Rusia sudah menjalari banyak intelektual di eropa, di Belanda sendiri berkembang aliran besar Sosialis Demokrat atau dikenal Sosdem, Tan Malaka banyak bergaul dengan orang-orang Sosdem bahkan teman indekost-nya sendiri seorang Belgia penganut Sosdem banyak bertukar pikiran bahkan dari teman Belgia-nya ini Tan Malaka mendapat surat kabar Sosdem.

Tan Malaka orang yang sangat kritis dan rasional, dan ia memilih jalur Lenin untuk mendapatkan titik hidup teori Marxisme. Ia membacai tulisan-tulisan Lenin tentang revolusi, percepatan sejarah dan segala macam aplikasi dari sebuah revolusi. Tan Malaka terpikat. Ia memutuskan untuk membebaskan bangsanya. Tan Malaka adalah orang pertama dari Hindia Belanda yang secara berkesadaran penuh bahwa suatu saat Hindia Belanda akan membentuk peradaban baru, ia sendiri menamai peradaban itu sebagai Peradaban Aslia (Asia-Australia Raya) dan pusatnya di Indonesia.

Tan Malaka pulang ke Indonesia dan ia diarahkan untuk bekerja di sebuah perkebunan di Deli bernama Senembah. Saat itu di Deli banyak perkebunan jumlahnya berkisar sampai 500 buah, seluruh perkebunan berjalan lancar dibawah integrasi pengaturan pemerintahan Hindia Belanda yang rapi, sistem pengangkutan ada dibawah Maskapai Deli-Spoor. Jaringan ini membuat Deli sebagai pusat perkebunan di dunia. Disinilah Tan Malaka menganatomi kehidupan dilihat dari kelas-kelas sosial. Tan Malaka mencatat bahwa untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah maka ada satu hal yang harus dijadikan bargain : "Daya Tawar Kebodohan" Pemerintah Hindia Belanda harus menjadikan kuli-kuli kontrak sebagai manusia bodoh, terikat dan berwawasan sempit. Mereka harus memeras keringat untuk hidup, sehingga mereka tidak lagi bisa memahami makna kehidupan dan pembebasan pada manusia. Oleh pihak perkebunan Tan Malaka diperintah untuk mendirikan satu pendidikan yang hanya artifisial sebagai 'desa Potemkin' desa Potemkin adalah julukan bagi sebuah desa yang diatur bagus supaya Raja yang melihatnya senang, desa jenis ini banyak dibikin pada masa Tsar Katharina dan hanya digunakan untuk menyenangkan Tsarina.

Namun Tan Malaka selalu menolak segala hal yang artifisial ia orang hakikat, ia selalu bekerja pada situasi-situasi penuh esensi. Tan Malaka memberontak dan diusir dari perkebunan Deli. Ia ke Batavia (Jakarta), di Batavia ia bertemu dengan kelompok kiri yang baru tumbuh di lingkaran Sneevliet. Nasib membawanya sebagai pemimpin PKI, bahkan Tan Malaka diakui sebagai salah satu pemimpin Komunis terbesar di Asia. Ia bertemu dengan Stalin dan banyak pejabat di Komunis Moskow, tapi ia melihat ada sesuatu yang salah di Stalin, ia melihat begitu banyak penyimpangan. Ia berpikir : "Teori Marx adalah teori yang menjauhkan manusia pada keterasingan, keterasingan dirinya pada lingkungan, keterasingan manusia pada pikirannya dan keterasingan manusia pada gerak sejarah. Tapi kenapa Stalin justru memenjarakan manusia hanya demi sebuah gerak sejarah' Tan Malaka berpikir tapi ia belum mendapat jawab.

Ia pulang ke Jawa disana ia langsung berkantor di Semarang, saat itu sedang ramai perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI), suatu malam Tan Malaka dibawa ke Prambanan oleh sekelompok orang. Para pemimpin PKI berteriak pada pertemuan sangat rahasia " Kita Memberontak sekarang juga sebagai katalisator, sebagai pemicu pemberontakan besar di Asia Tenggara" tandas salah satu pemimpin Komunis. Tapi Tan Malaka justru berdiri "Saya menolak" Tan Malaka kontan dibenci dan dia dijauhi oleh kelompok Moskow. Namun nama Tan Malaka sudah terlanjur menjadi ikon PKI.

Adalah sebuah takdir sejarah di negeri ini PKI selalu saja mengalami jebakan gerakan konyol dan gerakan 1926/27 di Silungkang, Banten, Semarang dan Prambanan adalah rangkaian gerakan paling kacau yang justru merugikan gerakan yang sudah dibangun banyak elemen. Polisi Belanda punya kesempatan mengacau gerakan dengan main keras. Dan Tan Malaka menjadi buronan nomor satu Agen Polisi Belanda.

Agen Polisi Rahasia Hindia Belanda di Bogor mengontak Pemerintahan Inggris di Singapura dan Perwakilan Amerika Serikat di untuk memburu Tan Malaka setelah Tan Malaka berhasil lari dari penjara Belanda. Maka dimulailah episode perburuan paling mencekam sepanjang sejarah Indonesia modern.

Tan Malaka dihadapkan situas hidup-mati, temannya Soebakat ditembak mati di Singapura, ia sendiri dikejar dimana-mana. Penolong Tan Malaka yang paling utama justru media massa. Di Manila nama Tan Malaka menjadi headline surat kabar, pemerintahan Manila mendesak agar Tan Malaka dibebaskan dari buruan perwakilan Amerika Serikat di wilayah Manila. Lalu Tan Malaka melarikan diri ke Hongkong disana Tan Malaka berhasil ditangkap lalu media massa Hongkong, media Inggris bersimpati pada Tan Malaka dan mengirimkan surat ke pemerintahan London untuk membebaskan Tan Malaka. Kesal dengan situasi formal yang diserang Media akhirnya Polisi Belanda dan Inggris ingin menghabisi Tan Malaka diluar jalur hukum, keputusan inilah yang kemudian menjadi efek terbesar gangguan jiwa Tan Malaka yang terlalu paranoid. Setiap pagi palu kematian sudah di depan matanya, dan kita sendiri tak mungkin membayangkan bisa hidup dengan situasi kepribadian seperti itu.

Tan Malaka banyak mengalami kisah hidup yang naik turun, ia terjebak pada perang Shanghai-Jepang, ia terjebak pada perang Dunia dan akhirnya ia balik ke Jawa. Baliknya Tan Malaka ke Jawa ini mirip perjalanan Lenin dari Bern ke Moskow dengan kereta api yang kerap diingat dalam sejarah sebagai 'perjalanan revolusi' Tan Malaka balik dari Singapura ke Jawa dengan hanya perahu kecil ditengah badai, taruhannya adalah kematian. Tan Malaka menghadapi itu demi sebuah pembebasan, pembebasan bangsanya.

Tan Malaka sampai di Djakarta tanpa memiliki apa-apa, namun ia punya kepandaian, ia pandai menjadi guru, ia seorang poliglot, bisa banyak bahasa ia mengajar bahasa Inggris, Belanda kepada orang-orang yang membutuhkan. Ia mengontrak rumah separuh kandang kambing di bilangan Rawajati, Kalibata (belakang pabrik sepatu bata) ia sering merenung di danau dekat Rawajati (sekarang danau pemakaman Kalibata) disana ia merenung tentang hakikat pembebasan. Ia menulis Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Ia merinci hakikat gerak alam, ia mengarahkan seluruh situasi pada soal-soal rasional ia menghantam tahayul dan tanpa referensi apapun ia sudah mencantumkan segala ingatannya di kepala pada dasarnya ia bukan saja seorang jenius, otaknya fotografis.

Suatu saat Tan Malaka membaca buku di perpustakaan nasional (sekarang Musium Gadjah). Profesor Purbacaraka berteriak di depan ruang baca "Apakah ada yang bisa menjadi penerjemah bagi pekerjaan saya" Tan Malaka menunjukkan tangannya. Ia bekerja menjadi penerjemah dari bahasa Belanda ke Bahasa Inggris untuk pekerjaan Prof. Purbacakaraka, ahli bahasa Jawa Kuno pertama di Indonesia.

Dari Purbacaraka, Tan Malaka direkomendasikan ke Bayah, Banten disana Tan Malaka berkarier sangat cepat ia menjadi kepala di wilayah tambang batubara Bayah, ia menjadi penolong banyak Romusha yang tersiksa. Ia membangun sistem masyarakat disana, dan yang terpenting ia membangun jaringan. Jaringan inilah yang kemudian menjadi senjata bagi dirinya untuk menyusun perjuangannya. Suatu saat datanglah Bung Karno dan Bung Hatta. Tan Malaka yang dikenal di Bayah dengan nama Ilyas Husein berdebat dengan Bung Karno disana, dan Bung Karno tak tau siapa itu Ilyas Husein sebenarnya, dalam perdebatan itu Bung Karno dikalahkan oleh Tan Malaka. Dan pertanyaan yang gagal dijawab oleh Bung Karno dari Tan Malaka : "Apakah sebuah kemerdekaan akan menjamin kemenangan terakhir?" Bila Bung Karno berpikir kemenangan awal, maka Tan Malaka berpikir kemenangan akhir. Dan bagi Tan Malaka kemenangan akhir itu adalah 'Beralihnya secara total hak Indonesia ke tangan rakyat Indonesia bukan ke tangan elite atau tangan yang separuh terjajah' kemenangan akhir itu adalah 'Revolusi Sosial'.

Kemerdekaan Indonesia berkumandang. Nama Tan Malaka melegenda, penulis cerita Matu Mona seorang wartawan dari Medan menuliskan beberapa buku yang teramat laris 'Patjar Merah'. Nama Tan Malaka melegenda. Para pemuda yang menjadi agen-agen revolusi kemerdekaan mulai tidak puas dengan Bung Karno, Bung Karno memenangkan hati rakyat bukan hati Pemuda. Kaum Radikal bertarung di jalan-jalan. Dibawah kepemimpinan Pandu Kartawiguna, Maruto, Chaerul Saleh, Adam Malik, Sidik Kertapati dan banyak juga preman-preman Jakarta macam Nurali, Haji Amat Geblek dan Sjafei . Jakarta berlumur darah. Kaum pemuda Radikal dimarahi Bung Karno agar jangan maen kokang senjata, tapi pemuda malah menertawai Bung Karno. Disini kaum muda menemui idola baru, dan idola itu adalah Tan Malaka. Diam-diam Tan Malaka datang ke Djakarta ke rumah sahabatnya Achmad Soebardjo, disana Tan Malaka juga ditengarai menjalin cinta dengan Jo Paramitha Soebardjo - kemenakan Achmad Soebardjo-. Jaringan Banten adalah titik awal Tan Malaka bergerak : Jalur Achmad Soebardjo-Tjeq Mamad.

Bila Bung Karno mencari jalur resmi, maka Tan Malaka memilih jalur perang abadi. Bagi Bung Karno semua hal adalah gertak dan diplomasi tapi bagi Tan Malaka semua soal adalah perang betulan. Dan sepanjang masa revolusi ini Tan Malaka serta Sukarno seperti dua matahari kembar yang meledak di banyak tempat. Revolusi Sosial di Solo, Penculikan Perdana Menteri Sjahrir, Penangkapan Jenderal Dharsono, Perang Srambatan sampai pada konflik Amir-Sjahrir di Madiun dimana Tan Malaka digunakan Hatta untuk hantam Amir di Solo. Tapi sekali lagi Tan Malaka tetaplah pejuang yang selalu ditinggal sendirian. Ia ditinggal PKI, ia ditinggal Sukarno, ia ditinggal Sjahrir dan terakhir ia sendirian lalu ditembak mati oleh pasukan Djawa Timur.

Tan Malaka pemimpi yang kesepian, hidup dalam kesepian dan penulis cerita yang sunyi.

ANTON

Saturday 16 October 2010

Ketika Tuhan Menciptakan Wanita


Ketika Tuhan menciptakan WANITA,
malaikat datang dan bertanya..."Mengapa begitu lama menciptakan WANITA Tuhan???"

Tuhan
menjawab, "Sudahkah engkau melihat setiap detail yang saya ciptakan
untuk WANITA?"... " Lihatlah dua tangannya mampu menjaga banyak anak pada saat
bersamaan, punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan
keterpurukan, dan semua itu hanya dengan dua tangan".

Malaikat menjawab dan takjub," hanya dengan dua tangan ???????? tidak mungkin!!!!!!!"

Tuhan menjawab "tidak kah kau tau,,,dia juga mampu menyembuhkan dirinya sendiri dan bisa bekerja 18 jam sehari ".

Malaikat
mendekat dan mengamati WANITA tersebut, dan bertanya, " Tuhan,,,kenapa
wanita terlihat begitu lelah dan rapuh ??????,,, seolah-olah terlalu banyak
beban baginya...."

Tuhan menjawab " itu tidak seperti yang kau bayangkan,,, itu adalah air mata...."

"untuk apa??????" tanya malaikat....

Tuhan
melanjutkan " air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan
kegembiraan,, kegalauan,, cinta,,, kesepian,,, penderitaan,,, dan
kebanggaan....
serta wanita ini mempunyai kekuatan mempesona laki-laki...ini hanya beberapa kemampuan yang dimiliki WANITA....."
"dia dapat mengatasi beban lebih dari laki-laki,,,, dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri....."
"dia
mampu tersenyum saat hatinya menjerit,,, mampu menyanyi saat
menangis,,,menangis saat terharu,,,bahkan tertawa saat ketakutan...."
" dia berkorban demi orang yang dicintainya.."
" dia mampu berdiri melawan ketidakadilan..."
" dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang...."
" dia girang dan bersorak saat kawanya tertawa bahagia..."
" dia begitu bahagia mendengar suara kelahiran...."
"
dia begitu bersedih mendengar berita kesakitan dan kematian,,, tapi dia
mampu mengatasinya...dia tau bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat
menyembuhkan luka...."

"CINTANYA TANPA SYARAT,,,,"


" HANYA ADA SATU YANG KURANG DARI WANITA,,, DIA SERING LUPA BETAPA BERHARGANYA DIA....."

Michael Douglas, Wall Street dan Kapitalisme


Gambar atas : Gordon Gekko (diperankan Michael Douglas) berbicara di Kereta Api dengan
Jake Moore (Shia Lebouf). Film ini mungkin film terakhir Michael Douglas ditengah pertarungannya melawan kanker tenggorokan.


Hari-hari ini Michael Douglas sedang melawan kanker tenggorokan yang kemungkinan bisa menghilangkan nyawanya. Mungkin inilah yang mendorong Oliver Stone membuat film terusan Wall Street 1987, film yang melambungkan nama Michael Douglas sebagai aktor yang diakui bakatnya oleh Academy Award dengan meraih piala Oscar untuk Aktor Terbaik yang memerankan Gordon Gekko, seorang ahli investasi senior yang mampu mengintimidasi segala soal dalam dunia Pasar Modal.

"Greedy is good" adalah kalimat paling terkenal dari Gordon Gekko yang kemudian menjadi perlambang dari jiwa zaman (zeitgeist) tahun 1980-an yang amat liberal. Tahun 1980-an adalah tahun kemenangan Thatcherian dan menjadikan Amerika Serikat bukan hanya jago perang tapi membangun dunia keuangan paling raksasa sepanjang sejarahnya dibawah kepemimpinan Ronald Reagan. Anak-anak muda Amerika Serikat yang tadinya bertarung di jalan-jalan melawan polisi anti huru hara, mencemooh tentara karena keterlibatan negara dalam perang Vietnam, belajar dengan giat tentang 'New Left' sebuah impian sosial sontak berubah total di tahun 1980-an menjadi anak muda Yuppies, dari bergaya Hippie menjadi Yuppie (Young Urban Profesional). Mereka berbondong-bondong ke gedung-gedung kapitalis untuk mengakumulir modal.

Di masa inilah Gordon Gekko hidup. Dalam sebuah acara ia bertemu dengan Bud (Charlie Sheen) yang bercerita tentang karirnya di Pasar Modal yang mandeg. Tapi Gekko tidak menggubrisnya sampai pada suatu saat Gekko mencium peluang untuk melakukan insider trading. Insider Trading adalah istilah di dalam Pasar Modal untuk menggerakkan harga dengan mengetahui informasi dari orang dalam, informasi-informasi yang didapatkan haruslah signifikan terhadap nilai perusahaan dan dalam etika pasar modal ini berarti kejahatan karena 'melakukan pengelabuan informasi sehingga orang lain terjebak pada harga yang mereka tidak mengetahuinya'. Gekko mengarahkan Bud pada jenis kejahatan ini kemudian sampai pada suatu saat, Gekko mengarahkan Bud untuk membeli Blue Line Airlines sebuah maskapai penerbangan yang bisa diatur untuk harga sahamnya dijatuhkan dan bila berhasil Gekko akan menaruh Bud disana sebagai Direktur. Namun setelah harga dijatuhkan Gekko ingkar janji dan malah menginginkan maskapai itu dichopping untuk dijual kembali lalu memecat ribuan karyawan, inilah yang kemudian membuka pertengkaran antara Bud dan Gekko sehingga berujung di Pengadilan.

Itu cerita tahun 1987, pada tahun 2010 nampaknya Oliver Stone ingin mengesankan Michael Douglas sebagai orang baik dalam pengejawantahan Gordon Gekko yang menjalani hukuman penjara, sekeluarnya dari penjara Gordon Gekko malah menulis buku, namun namanya begitu melegenda di kalangan mahasiswa bisnis dan pasar modal. Ia berbicara di depan seminar dan membuka sebuah quote baru : "The Mother of all evil is Speculation" dia merevisi kata Greedy is Good dengan mengucapkan :"Was greed good, Today greed is legal" Kerakusan dalam makna Gekko dibawa ke dalam unsur filosofisnya, unsur meloncati pemahaman-pemahaman umum. "Kerakusan adalah ketika kita tahu apa yang kita kerjakan dan kita memanfaatkannya secara maksimal". Tapi kita tahu toh Gekko membawa soal kita pada satu titik bahwa Pasar Modal sekedar 'Game' dimana hanya sekelompok orang yang mengerti bagaimana arus dana bekerja.

Adalah Jack Moore (diperankan dengan bagus oleh Shia le Bouf), tokoh yang kemudian muncul dalam Wall Street 2010 ia memacari anak Gekko, Winnie Gekko (diperankan dengan amat buruk oleh Carrey Mulligan). Jake Moore menemui mentornya Louis Zabel untuk waspada terhadap pergerakan salah satu saham yang sudah dipancing turun oleh kekuatan modal besar. Zabel dipaksa untuk melepas kepemilikan sahamnya dalam Investments Banking Keller Zabel sebesar $3 oleh Bretton James salah seorang pemain besar di Wall Street namun Zabel menolak dan bertahan diangka yang ia mau, tapi James mengintimidasinya dengan tusukan ke sudut dan Louis Zabel memutuskan untuk bunuh diri di subway, tubuhnya tergiling kereta.

Jake Moore marah besar Zabel dihabisi oleh Bretton James. Namun ia mengetahui semua jalan untuk menghancurkan Bretton James lewat jalur calon mertuanya Gordon Gekko yang baru saja keluar dari penjara dan menjadi bahan tertawaan para Manajer Investasi senior. Gekko membuka adegan ini dengan sangat dramatis, ia seolah melanjutkan kuliah dari Bud di tahun 1987 ke para mahasiswa di tahun 2010. Ia membuka perkataan bahwa dirinya menjadi dewasa dan dirinya berjarak dengan pasar. Ia membangun pengertian-pengertian baru tentang dunia pasar modal dan kesimpulan besar bisa diambil untuk menjadi kaya melalui pasar modal lewat tiga suku kata : "Buy My Book".

Tapi Gordon Gekko tidak keluar penjara dengan miskin ia masih menyimpan uang 100 juta dollar US di Swiss namun uang tersebut hanya bisa dikeluarkan lewat tanda tangan Winnie. Bagi Gekko "Kenikmatan dalam permainan industri keuangan ini bukanlah uang, tapi ia permainan dan kamu tau hakikat kenikmatan besar permainan?, .......Kemenangan" Bisnis bagi kaum kapitalis sudah masuk ke dalam fase spiritual, mereka tidak lagi bersoal pada hakikat kebendaan tapi hakikat terbesar dalam spirit mereka adalah "Kebahagiaan" yang diwujudkan dari kepuasan melakukan manifestasi atas pemikirannya.

Gordon Gekko mengajari anak plonco dalam dunia Pasar Modal Jake Moore bahwa etika pasar modal bukan lagi persoalan-persoalan kasar seperti yang dilakukannya dulu di tahun 1987 semacam Insider Trading, tapi etika sudah menyangkut sejauh mana Pasar bisa bekerja dengan adil dan apa yang dilakukan Bretton James dengan menggiring pasar lewat permainan-permainan legalnya namun memanipulasi pasar sudah menjebol etika dan kapitalisme selalu saja memberi ruang untuk berlaku fair, bukan karena desakan moral tapi karena pada hakikatnya dunia ini bekerja selalu ke arah rasionalitas.

Dan toh dunia ini memang tidak sekedar diisi soal Kantata Moral atau Pamflet, dunia ini soal tindakan.........

ANTON

Saturday 25 September 2010

Analisa Film Pengkhianatan G 30 S/PKI ala Arifin C Noer

Analisa Film G 30 S/PKI

Sepanjang hidup saya hanya ada dua film yang paling saya suka, Forrest Gump dan G 30 S/PKI ala Arifin C Noer. Forrest Gump saya suka karena kedalaman makna filosofinya dalam persoalan bakti kepada negara. 'Orang yang tulus berbakti pada negara tanpa imbal balik apapun hanya bisa dilakukan oleh orang dungu' sementara dalam film G 30 S/PKI yang paling saya suka sinematika-nya, inilah film terbaik sejarah yang saya pernah tonton bila dilihat dari sisi filmis-nya. Mulai dari pemeran-pemerannya yang sangat natural, mirip, penempatan dan setting dalam memulai narasi.

Nah persoalan narasi ini setelah dewasa saya baru memahami bahwa memang film ini adalah film yang tidak jujur, tapi pengarah film ini sangat baik dalam mengelola jalan cerita termasuk unsur pemaknaan yang ada dalam film tersebut. Ada beberapa hal yang saya catat dalam film ini yang kemudian menggiring bahwa G 30 S/PKI adalah sebuah peristiwa kekejaman yang 'seakan-akan terjadi hanya disebabkan dari "Pihak Sana" bukan sebagai rangkaian cerita dialektis saling mempengaruhi antara "Pihak Sana" dan "Pihak Sini". Narasi itu tergambar sebagai berikut :

1. Penggambaran Bung Karno sakit keras :

Sukarno adalah pribadi yang hidup, jiwanya bergelora tapi dalam film itu ia digambarkan sedang sakit keras, semangat hidupnya nyaris tak ada. Di dalam cerita ini pemeran Bung Karno, Umar Khayam kerjanya hanya di tempat tidur atau berjalan seperti orang bingung. Bahkan adegan pertama dimulai dengan penggambaran sakitnya Bung Karno.

Pesan dari tampilnya Bung Karno yang sakit ini adalah "Raja Sedang Sakit" dalam negara yang demokrasinya gagal, sakitnya raja akan selalu melahirkan suasana kalut, takut, dan mencekam karena akan terjadi bayangan perang suksesi. Disini yang siap dalam perang suksesi adalah PKI yang selalu digambarkan rapat terus menerus. Padahal di masa terjadinya Penculikan Untung sebelum dan sesudah Bung Karno dalam kondisi bugar, ia bagai banteng ketaton jadi penggambaran Bung Karno di dalam ranjang yang kusam adalah sebuah pesan sesuai dengan jalan cerita yang diinginkan oleh pembuat film dan penyokong fim itu.

2. Setelah adanya tampilan raja sakit itu, kemudian digambarkan dua sisi masyarakat, satu kelompok kelas menengah yang isinya seorang laki-laki pensiunan bicara terus menerus dengan isteri dan anaknya yang sedang latihan drumband dengan mengetuk-ngetukkan meja. Dan penggambaran kedua adalah orang Miskin, gelandangan yang baru tiba di Jakarta. Pesan dari film ini adalah masyarakat terdidik resah dengan kondisi negara yang kacau balau sementara rakyat gelandangan ada dimana-mana. Kontras semakin bisu setelah penggambaran Istana Sukarno dengan tampilan gelandangan, secara tersembunyi film itu ingin mengesankan bahwa Sukarno yang hidup bagai raja, sementara rakyatnya tidur di pinggir jalan dan kelaparan. Padahal realitasnya di jaman itu Sukarno begitu dielu-elukan rakyatnya, walaupun rakyatnya miskin tapi jiwa rakyat masih mendukung Bung Karno sebagai pemimpin mereka, bahkan di saat itu Bung Karno berdiri di pihak rakyat jelata berhadap-hadapan vis a vis dengan kelompok elite yang secara status quo menolak revolusi Bung Karno yang mengganggu kenyamanan mereka.

3. Rapat-rapat PKI dan asap rokok terus menerus. Digambarkan dalam rangkaian sebelum kejadian penculikan rapat-rapat PKI terjadi, dan asap mengepul dimana-mana. Pesan dari adegan ini adalah seluruh gerakan dari semua proses dialektis politik seakan-akan terjadi karena PKI, PKI dianggap sebagai pusat penyadaran dari aktivitas Pra Penculikan para Jenderal. Padahal sebelum terjadinya gerakan Untung, kegiatan intelijen tidak hanya dilakukan PKI, bahkan PKI sendiri masih bagian kecil dari gerakan itu. Gerakan intel ada yang dari kelompok Bandrio melalui BPI, gerakan Angkatan Darat lewat segala macam move politiknya, gerakan Partai-Partai Politik baik yang sudah disortir macam PSI lewat Gemsos-nya dan pelarian di luar negeri yang membangun jaringan politik internasional, Masyumi yang habis gara-gara PRRI kemudian digantikan posisinya oleh NU, HMI yang bertahan dari ancaman DN Aidit untuk dibubarkan, Gerakan Ganjang Malaysia yang lagi seru-serunya, Sosialisasi Angkatan Ke V yang ditolak Yani, Gerakan diam-diam Nasution yang juga menggunakan agen intel bernama Oejeng Suwargana (banyak diceritakan baik oleh Rosihan Anwar ataupun AM Hanafi), Ditemukannya rekaman rencana Dewan Djenderal oleh beberapa orang Partai yang memuat nama S Parman, dipersiapkan sebagai Jaksa Agung dan banyak lagi selentingan-selentingan yang memang wajar di masa semuanya bersiap dalam pertarungan politik di masa revolusi Sukarno. Tapi yang jelas PKI bukanlah satu-satunya pusat dari pertarungan itu.

4. DN Aidit dan asap rokok. Digambarkan DN Aidit sebagai seorang perokok, padahal yang perokok bukanlah DN Aidit tapi pemeran DN Aidit dalam film itu : Syu'bah Asa. Hanya saja sebagai penguatan karakter orang yang sedang membangun rencana maka asap rokok diperlukan untuk menjadi sebuah arahan bagaimana orang sedang berpikir keras untuk membangun rencana jahatnya sesuai dengan keinginan pembuat film. Dalam peran antagonis di film ini, rokok menjadi salah satu blocking yang menarik.

3. Hadirnya Suharto yang tiba-tiba. Dalam film itu setelah penculikan Untung Suharto ada secara tiba-tiba. Di awal-awal sebelum penculikan seakan-akan Suharto tidak ada dan tidak berperanan. Film ini ingin memesankan : Suharto tidak tahu menahu soal perencanaan dan tidak bermain di prolog Gestapu dan film ini berakhir dalam adegan penggalian lobang buaya dan ditambahi suara rekaman AH Nasution. Film ini hanya menekankan pada aksi penculikan, makanya setelah film G 30 S/PKI sebenarnya ada film lanjutan judulnya 'Supersemar' tapi entah kenapa film lanjutan itu tidak jadi dipertunjukkan, oleh sebab memang penyimpangan Suharto yang paling utama terjadi setelah pasca penculikan seperti penafsiran masalah Supersemar. Padahal dalam kejadian sebenarnya Suharto juga berperanan dalam prolog kejadian Untung seperti : Suharto memerintahkan dengan mengeluarkan radiogram no. T 220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan radiogram lanjutan T 230/9 Yon 530 Brawijaya dan Yon 454 'Banteng Raiders' Diponegoro untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan penuh. Sementara pada tanggal 29 September 1965 Suharto melakukan inspeksi ke Pasukan tersebut. Dua Batalyon yang datang inilah yang kemudian terlibat dalam peristiwa penculikan Untung. Selain Resimen Cakrabirawa yang juga digunakan oleh Letnan Kolonel Untung untuk melakukan pekerjaan gilanya. Jadi hadirnya Suharto dalam peristiwa G 30 S/PKI bukanlah tiba-tiba apalagi pada tahun 1978 pada Pledoi Kolonel Latif dinyatakan Suharto dua kali dilapori oleh Latif tentang rencana operasi Latif ini dan Suharto sudah mendapatkan kabar, tapi ini sama sekali tidak pernah ada adegan dalam film itu.

5. Film ini tidak secara jelas siapa yang memerintahkan membunuh para Jenderal itu.

Artinya film G 30 S/PKI yang sangat indah dalam filmis dan wajib tonton lebih menekankan pada histeria massa. Ketakutan-ketakutan yang ditimbulkan seperti peristiwa penginjakan Al Qur'an dan segala macam bentuk kemuraman yang mengelilinginya. Film itu berakhir dengan datangnya fajar dimana gelandangan tadi melihat Jakarta yang cerah seakan-akan hadir sebuah jaman baru. Dari sisi filmis inilah film sejarah terbaik sepanjang masa karena mampu menyodorkan semua pesan dari pembuat film kepada massa. Hanya saja dikemudian waktu manusia Indonesia semakin cerdas tapi sebagai rujukan membuat film sejarah maka film inilah yang harus kita perhatikan sebagai referensi penting.

ANTON

Friday 24 September 2010

Hatta dan Dunianya yang Jujur


Belajar kejujuran bernegara dari Hatta

"Hatta itu orangnya kering" begitu Bung Karno selalu mengenang Hatta. "Andai ada wanita di sampingnya dalam perjalanan ia tidak akan bicara pada wanita itu, ia tidak pandai menghidupkan suasana, itulah Hatta". Bung Karno adalah pribadi yang hidup, ia menyenangi pembicaraan dan selalu menyenangkan lawan bicaranya. Beda dengan Hatta yang walaupun ramah ia cenderung pendiam dan tekun. Dunia Hatta adalah dunia buku. Tapi diluar itu dunia Hatta adalah dunia kejujuran.

Bila sekarang kita mendengar pejabat berfoya-foya dari dana anggaran negara, mereka tanpa merasa berdosa menggunakan dana anggaran untuk citra dirinya : Naik mobil mewah, dan keluarganya juga ikut-ikutan nikmatin dana anggaran negara ditengah rakyat yang lapar dan naiknya harga-harga. Maka Hatta adalah contoh bagaimana seorang pejabat menjalankan kehidupan yang jujur, bagaimana seorang manusia membaktikan hidup pada negara yang dicintainya. Hatta teliti sekali dalam menggunakan uang, ia hanya menggunakan uang yang memang hak-nya. Ia tidak mau menggunakan mobil dinasnya untuk keluarga, ia tidak mau menggunakan uang negara untuk kepentingan keluarganya dan pribadinya. Uang Negara yang dianggarkan untuknya ya untuk kelancaran pekerjaannya.

Di suatu malam yang tenang pertengahan tahun 1950-an, Hatta membaca koran ia melihat iklan sepatu kulit Bally. Ia ingin memilikinya dan dengan rapi ia menggunting iklan itu dan menyimpannya untuk memotivasi dirinya menabung uang untuk beli sepatu tersebut, tapi ia tidak pernah bisa mewujudkan mimpinya baik semasa menjadi Wakil Presiden ataupun saat ia pensiun. Ketika pensiun Hatta memang kerap mendapat honor dari tulisan-tulisannya di media massa dan sedikit uang pensiun jabatan Wakil Presiden RI, tapi dengan uang sebegitu kecil ia harus membayar listrik dan menghidupi keluarganya dengan cara yang jujur. Mendengar Hatta kesulitan membayar listrik, Gubernur DKI Ali Sadikin langsung membantu Hatta untuk membayar listrik.

Di tahun 1980 Hatta meninggal dengan tenang, Jakarta berduka. Indonesia menangis dan di laci Hatta masih tersimpan guntingan iklan sepatu Bally yang tidak sempat dibeli Hatta karena kurang uang.

Hatta meninggalkan warisan yang luar biasa terhadap negeri ini, terhadap bangsa kita, bersama Sukarno ia menjaminkan kepalanya untuk kemerdekaan bangsanya, ia meninggalkan Warisan Konstitusi UUD 1945, warisan pemikiran-pemikiran tentang demokrasi dan negara yang dibangun pada rasionalitas. Tapi untuk membeli sepatu pun ia tidak mampu.

Maka pejabat yang dengan bermewah-mewah pada anggaran negara untuk kepentingan pribadinya, milyaran uang dianggarkan hanya untuk pakaian dinas, maka pejabat yang berombongan kunjungan ke daerah hanya untuk makan-makan dan senang-senang, ke luar negeri berpergian tanpa arah dan sebab dengan menggunakan uang rakyat, lihatlah pada sehelai kertas iklan Hatta tentang sepatu Bally..............

ANTON

Ali Sadikin, Djakarta dan Mimpi Sukarno


Ali Sadikin, Djakarta dan Mimpi Sukarno

Suatu waktu di tengah kemelut akibat Gestapu 1965, Bung Karno duduk di depan Istana Negara. Pikirannya menerawang, ada satu soal yang belum ia selesaikan. "Membangun Djakarta". Dulu pemerintahan Hindia Belanda sudah membangun sebuah kota model kolonial yang terbaik sedunia, Bandung namanya. Kota Bandung pernah dipamerkan dalam Pameran Kota-Kota Kolonial di Paris sekitar tahun 1920-an sebagai kota paling cantik yang dibangun pada permulaan abad 20. Bung Karno berpikir, ia ingin Djakarta menjadi Jiwa dari bangsa Indonesia, kota yang teratur tapi dinamis. Kota yang menjadi poros revolusi struktur masyarakat Indonesia. Inti dari Revolusi Sukarno adalah kemandirian, Mandiri total sebagai bangsa. Dengan mandiri maka sebuah bangsa akan membangun kebudayaaannya sendiri, membangun ekonomi kerakyatannya sendiri dan membangun karakter yang kuat.

Bung Karno memang terpukau dengan kota-kota di Negara Komunis yang disana sini banyak monumen, tapi Bung Karno juga sedari muda jatuh cinta dengan kota-kota di Amerika Serikat, saat ia berkunjung ke AS ia minta diantar untuk melihat taman-taman kota, pusat-pusat seni dan yang paling favorit bagi Bung besar ini adalah 'mengunjungi museum'. Bung Karno melihat ada dua fungsi dalam sebuah kota. Jiwa yaitu Monumen yang merupakan petilasan akan kenangan perjalanan hidup sebuah bangsa dan Gedung yang merupakan fungsi ruang bagi sebuah warga kota bergerak. Monumen dan Gedung akan selalu menjadi paralel dalam pembangunan kota impian bagi Bung Karno. "Djakarta ini sebuah kampung besar, sebuah big village dan Djakarta dalam cepat harus dibangun sebagai kota Internasional...untuk itu aku harus mencari orang yang bisa memimpin sebuah kota besar. Seorang pemimpin yang paham Accynering, City Planning, Architectuur, dia harus tau soal sampah, tau bagaimana mengatur selokan dan keras kepala. Seorang pemimpin yang bisa melihat jauh ke depan tanpa mengeluhkan kekurangan. Bung Karno berpikir keras......

Esok paginya, Bung Karno memanggil beberapa stafnya termasuk Waperdam Leimena. "Coba sodorkan aku beberapa nama untuk pimpin ini kota Djakarta..!" perintah Bung Karno. Salah seorang menyebut Henk Ngantung, Bung Karno terdiam 'Henk itu susah, dia dijepit posisinya...dan dia sudah memimpin kota Djakarta. lalu Leimena bilang "Bagaimana kalau Ali Sadikin?" Bung Karno menoleh pada Leimena "Pak Lei, bukankah Ali sekarang sudah jadi menteri?"...Leimena bilang, orang yang paling keras di Djakarta ya Ali Sadikin. Kemudian salah seorang dari pertemuan itu nyeletuk :"Mayor Sjafei kalah gahar ketimbang Jenderal Ali"....Bung Karno tertawa. Coba siapkan pelantikan untuk Ali Sadikin.

Pada tanggal 28 April 1966, di Istana Negara Bung Karno melantik Ali Sadikin. Bung Karno berpidato dalam pelantikan Ali ini dengan penuh semangat, matanya menyala-nyala, ia gembira melihat salah satu pemuda Indonesia akan memimpin sebuah kota. Ali Sadikin tampak seolah-olah bayangan kecil Bung Karno. "Ali kamu akan memimpin kota, itu bukan pekerjaan gampang, tetapi Insya Allah doe je best, agar engkau dalam memegang kegubernuran Djakarta Raya sekian tahun lagi orang masih mengingat, die heeft Ali Sadikin Gedaan - Inilah perbuatan Ali Sadikin. Bismillah, mulailah engkau punya pekerjaan" Tutup Pidato Bung Karno. Dan Bung Karno pun maju menyematkan tanda jabatan kegubernuran, tinggal Ali Sadikin yang pusing bukan maen.

Bagaimana tidak, ia mewarisi satu sistem pemerintahan daerah yang tidak teratur. Administrasinya berantakannya, dan yang paling sinting lagi ia hanya memiliki anggaran sangat terbatas. Sekitar 66 juta per tahun. Bagi Ali Sadikin ini proyek mustahil. Tapi Ali Sadikin agak tertolong oleh kasus carut marutnya take over kekuasaan sehingga ia ada waktu untuk berpikir tentang arah kebijakan umum kota. Ali Sadikin di satu sisi sangat loyal pada Bung Karno tapi realitas kekuasaan sudah pelan-pelan bergeser ke Suharto, dan pilihan Bung Karno benar adanya, Suharto nggak bakalan berani ciduk Ali Sadikin karena bekingan KKO-nya sangat kuat, disamping itu memang Ali terkenal keras dengan Komunis jauh sebelum Suharto belagak anti Komunis. Pak Harto tidak berani secara frontal berhadapan dengan Ali.

Suatu waktu di tahun 1969, Ali pernah melihat Bung Karno secara sepintas dan Ali menangis. Ia melihat Bung Karno yang dirusak kesehatannya oleh tentara-tentara Orde Baru duduk tak berdaya disiksa sakit, kepala Bung Karno yang botak dan badannya lemah. Bung Karno agak sedikit mengenali Ali ditengah ingatannya yang dulu terkenal kuat itu melemah akibat penyakit ginjal yang merusak kondisi mental psikisnya Bung Karno berkata lirih. "Ali...Djakarta..Ali...Djakarta" kata Bung Karno terbata-bata. Dan Ali dalam hati membatin, "aku harus jaga amanat Bung Karno ini, bagaimanapun ini kota kecintaan bangsa Indonesia, kota kesayangan Bung Karno...". Setahun setelah pertemuan itu Bung Karno meninggal.

Suatu waktu Ali Sadikin menyetir sendiri mobilnya ke kantor Gubernuran. Ali biasa berangkat jam 5.30 pagi, ia sengaja melihat seisi kota. Ali senang incognito jalan-jalan ke pasar untuk melihat stok sayuran di Djakarta, mengontrol selokan dan sudetan kali. Di satu tempat dekat Pasar Santa Kebayoran Baru ia melihat segerombolan orang bermain gaple. .."Teng" ia mendapat ilham. Ia berputar-putar sejenak di dalam kota Djakarta dan berpikiran tentang judi ini. Sesampainya di kantor ia berteriak dan memanggil staf-nya. "Hai, coba kau cari peraturan tentang judi". Setelah stafnya mengambil data peraturan Ali baru tau ternyata Pemda bisa mengambil pajak dari judi lewat peraturan daerah no.11 tahun 1957. "Kamu, panggil Pak Djumatidjin, ke ruangan saya" Djumatidjin adalah pegawai senior di Pemda DKI. "Pak Djum, apa bisa Pemda DKI narik itu uang judi buat pajek?" kata Ali sambil tangannya mendekap dada, matanya melebar."Bisa Pak, dasar aturannya ada". Lalu Ali berkata singkat "Saya perintahkan adakan judi legal dan dipajekin. Hasilnya buat saya bikin ini Djakarta baik..laksanakan". Pak Djumatidjin dan beberapa orang staff Ali menyahut bersamaan 'Siap Pak'.

Dan dengan cepat tindakan Ali ini mendapat sambutan para jago judi se Djakarta terutama Cina-cina yang suka sekali dengan judi. Kasino banyak dibentuk, pajak judi terus mengalir ke Kas Pemda. Ledakan kas luar biasa. Tapi Ali bukanlah jenis pejabat korup, ia berbakti pada tugasnya. Uang Judi itu ia arahkan ke pos-pos pembangunan infrastruktur, sekolah-sekolah rakyat, pusat-pusat kesenian, taman hiburan rakyat macam Ragunan, gelanggang olahraga dan Pasar-pasar rakyat. Ali sudah menaburkan benih bahwa pada sebuah kota itu keteraturan, dinamika yang terpisah dan kebudayaan menjadi satu kesatuan. Suatu kota yang harus punya iramanya sendiri. Ia harus punya jiwa, ia punya badan, janganlah satu kota hanya menempatkan manusia menjadi besi-besi tua yang berjalan. Ali menjadikan Djakarta sebagai kota dimana manusia menemui kemanusiaannya.

Di satu waktu Ali disidang oleh anggota DPRD terhadap dana judi. Dengan lantang Ali berkata pada mereka :"Oke Saudara-saudara sekalian, ini memang dana judi. Tapi kalau kalian mengharam dana judi, itu hak saudara-saudara, silahken Saudara naik helikopter karena jalan-jalan yang mulus itu saya bangun dari dana judi!"......Ali memang pemarah tapi tegas. Ia tiap pagi kerjanya mengontrol saluran selokan, kali-kali besar di Djakarta ia perintahkan untuk dibersihkan bantarannya, Ia kumpulkan seniman dan menanyakan problem-problem masyarakat pada seniman dan sastrawan. Ali sadar bahwa jiwa sebuah bangsa, teriakan sebuah bangsa itu yang bisa menangkap seniman dan sastrawan. Ali melindungi kesenimanan dan kepengarangan dengan mengadakan kompetisi, pemda sendiri yang membiayai.

Tahun 1974 kepopuleran Ali sudah mencapai puncak. Ada dua rivaal Suharto saat itu, Jenderal KKO Ali Sadikin dan Jenderal Mitro Gendut, Jenderal Mitro sempat menegur Ali "Pak Ali, saya tidak mau ambil pusing berita soal bapak digadang-gadang jadi Presiden RI, tapi tolong kalau bapak bicara ke mahasiswa jangan memanas-manasi situasi" ditegur begitu Ali diam saja. Tak lama setelah Malari meletus Mitro tersingkirkan.

Ali Sadikin maju terus, proyek Taman Mini ali oke..Ali juga memanggil Ciputra dan berkata "Pak Tji, saya mau itu Ancol jadi pantai mirip Ipanema atau Copacabana.." Ciputra tertawa dan berkata "segera pak" PT Jaya yang merupakan pelaksana proyek dari proyek2 Pemda melaksanakan dengan cepat.

Ali Sadikin sudah mengajarkan pada kita tentang makna sebuah kota. Kota harus menjadi ruang gerak yang dinamis bagi penduduknya, ia menjadi pusat ekonomi tapi juga harus punya jiwa. Kota adalah ruang terbuka, ia ruang publik dan disitulah nafas harus dihirup sepuas-puasnya. Kota yang dikurung gedung hanya untuk kepentingan Kebendaaan akan mejadi kota yang bisu, kota yang beku tidak ada dinamika. Kota sudah selayaknya sebagai tempat sarang seniman, sastrawan dan budayawan. Tempat berkumpulnya atlet-atlet membina tubuhnya. Kota harus memiliki museum, dari museum sebuah masyarakat bisa banyak mengerti bagaimana kekikinia dibentuk. Kota harus memberikan akses ekonomi pada seluruh rakyat, bukan satu lapisan elite saja, kota mustinya tempat produktif sebuah pemikiran bangsa dibentuk bukannya malah tempat konsumtif yang berlebihan dan mendangkalkan daya pikir.

Kini Djakarta tumbuh tanpa konsep, setelah Ali disingkirkan dan dijadikan warga negara kelas dua karena keterlibatannya dalam Petisi 50, Djakarta gagal berkembang secara teratur. Gubernur-Gubernur Djakarta setelah Ali Sadikin bukanlah orang berpikiran ke depan, mereka sibuk menangkapi becak tapi mobil impor terus banjir tanpa mau peduli membangun sarana transportasi massal. Padahal Ali sudah membuatkan rencana pembangunan subway dan beberapa sarana angkut transportasi massal tahun 1976 tapi sudah keburu digusur Suharto.

Bahkan ada seorang Gubernur Jakarta yang berkata "Kita kekurangan Mall" Pusat-pusat perbelanjaan macam Mall mewah harus dibangun seribu lokasi lagi.

Padahal Ali Sadikin membangun pasar tanah abang, yang dibangun adalah ekonomi rakyat, bukan ekonomi elite. Yang dibangun adalah infrastruktur untuk rakyat bukan kepuasan elite, ruang terbuka mustinya dibangun untuk kecerdasan bukan melatih ketumpulan warga kota. Kini warga kota Djakarta seakan dikelilingi tembok kapitalis, tidak ada ruang yang nyaman yang bisa dimasuki tanpa harus membayar. Kota kita adalah kota dimana uang menjadi Tuhan dan manusia terbudaki karenanya...Kota yang tidak lagi mengantarkan manusia menemui kemanusiaannya.

ANTON

Wednesday 22 September 2010

Intelektualitas Sukarno





Intelektualitas Sukarno

Tidak seperti SBY yang menggunakan intelektualitas hanya sebagai alat pencitraan seperti kelulusannya dari IPB dan menggondol gelar S3 bertepatan dengan Pemilu 2004 yang seolah-olah mencitrakan dirinya adalah calon Presiden RI yang lebih intelek dibandingkan Megawati yang tidak pernah lulus kuliah. - Maka intelektualitas Presiden Sukarno adalah intelektualitas sejati, bukan intelektualitas artifisial model SBY yang penuh dengan pencitraan, Intelektualitas Sukarno adalah kecerdasan yang dibangun lewat proses yang panjang, ia bukan saja pembaca buku yang rakus tapi ia juga berkelahi langsung dalam kehidupan.

Intelektualitas Sukarno kerap mencengangkan banyak pemimpin dunia. Sampai-sampai Perdana Menteri Nehru berkata kepada anaknya Indira Gandhi "Bila kamu ada permasalahan yang tidak kamu mengerti tanyalah pada Pamanmu, Sukarno". De Gaulle yang awalnya tidak menyukai Sukarno karena ia mengesankan Sukarno hanyalah pemimpin Asia yang doyan perempuan, tapi setelah bertemu dengan Sukarno, De Gaulle mengatakan "Saya baru saja bertemu dengan orang paling cerdas di muka bumi ini dan dia adalah Sukarno" De Gaulle mengagumi wawasan Sukarno yang sedemikian luas dan kepandaian Sukarno berbicara bahasa Perancis.

Dalam dunia akademis Sukarno diganjar 26 Gelar Doktoral Honoris Causa. Dan ini merupakan gelar pengakuan akademik terbanyak yang dimiliki seorang Presiden dimanapun di dunia ini.

Sukarno adalah seorang pembelajar, semasa kecil ia membacai buku ditengah gulita malam dengan lilin, ia terus membaca buku. Saat dia menjadi Presiden Istana Negara dan semua tempat yang ditinggali Bung Karno dipenuhi dengan buku. Ia juga sangat informatif dan memiliki kepandaian yang tinggi dalam merangkai sesuatu. Ia membangun kultur bangsanya sebagai bangsa yang cerdas. Kepemimpinan Sukarno membuat kita belajar terhadap banyak hal, termasuk memahami bahwa kepemimpinan yang buruk rupa adalah kepemimpinan yang mengandalkan Pencitraan semu.

Saturday 21 August 2010

Hukum-Hukum Revolusi Menurut Bung Karno.

Gambar Atas : Bung Karno ditengah-tengah rakyat Indonesia

Bung Karno menjelaskan pada rakyat tentang Hukum-Hukum Revolusi. Inilah pemimpin otentik, bukan jenis pemimpin yang nggak mutu dan senang curhat.

Apa hukum-hukum Revolusi itu? Hukum-hukum Revolusi itu, kecuali garis-besar romantika, dinamika, dialektika yang sudah kupaparkan tadi, pada pokoknya adalah :

Pertama, Revolusi mesti punya kawan dan punya lawan, dan kekuatan-kekuatan Revolusi harus tahu siapa lawan dan siapa kawan; maka harus ditarik garis pemisah yang terang dan harus diambil sikap yang tepat terhadap kawan dan terhadap lawan Revolusi;

Kedua, Revolusi yang benar-benar Revolusi bukanlah “revolusi istana” atau “revolusi pemimpin”, melainkan Revolusi Rakyat; oleh sebab itu, maka Revolusi tidak boleh “main atas” saja, tetapi harus dijalankan dari atas dan dari bawah;

Ketiga, Revolusi adalah simfoninya destruksi dan konstruksi, simfoninya penjebolan dan pembangunan, karena destruksi atau penjebolan saja tanpa konstruksi atau pembangunan adalah sama dengan anarki, dan sebaliknya; konstruksi atau pembangunan saja tanpa destruksi atau penjebolan berarti kompromi, reformisme;

Keempat, Revolusi selalu punya tahap-tahapnya; dalam hal Revolusi kita : tahap nasional-demokratis dan tahap Sosialis, tahap yang pertama meretas jalan buat yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu, tetapi sesudah rampung harus ditingkatkan kepada tahap yang kedua; - inilah dialektik Revolusi;

Kelima, Revolusi harus punya Program yang jelas dan tepat, seperti dalam Manipol kita merumuskan dengan jelas dan tepat : (A) Dasar/Tujuan dan Kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia; (B) Kekuatan-kekuatan Revolusi Indonesia; (C) Sifat Revolusi Indonesia; (D) Hari-depan Revolusi Indonesia dan (E) Musuh-musuh Revolusi Indonesia. Dan seluruh kebijaksanaan Revolusi harus setia kepada Program itu;

Keenam, Revolusi harus punya soko-guru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat, yang berpandangan jauh kemuka, yang konsekwen, yang sanggup melaksanakan tugas-tugas Revolusi sampai pada akhirnya, dan Revolusi juga harus punya kader-kadernya yang tepat pengertiannya dan tinggi semangatnya.

PIDATO BUNG KARNO (TAHUN “VIVERE PERICOLOSO”–17 Agustus 1964)

Malari 1974, Titik Balik Indonesia Paling Radikal


Gambar Atas : Kebakaran di Sekitar Senen 15 Januari 1974 dimana banyak kelompok Preman digunakan untuk memperkeruh keadaan, kekacauan di tengah kota inilah yang digunakan sebagai alasan penindasan terhadap kelompok Mahasiswa dan Intelektual Kritis. Untuk mengelabui penindasan ini kelompok Islam digunakan sebagai alat kamuflase pembersihan politik.

Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang ...dari sejumlah toko perhiasan.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan, suasana Kota Jakarta masih mencekam.

PERISTIWA Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.

Ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general).

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono “didubeskan”, diganti Yoga Sugama.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.

Selanjutnya, ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden”. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.

Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.

Malari sebagai wacana

Dalam buku Otobiografi Soeharto (terbit tahun 1989), kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung. Padahal, mengenai “petrus” (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang di situ.

Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak 1973. Yoga Sugama ada di New York saat kerusuhan 15 Januari 1974. Lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta, menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.

Menurut Yoga, ceramah dan demonstrasi di kampus-kampus mematangkan situasi, bermuara pada penentangan kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya, diskusi di UI Jakarta (13-16/8/1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”.

Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Dalam buku-buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Soemitro mengungkapkan, Ali Moertopo dan Soedjono Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru.

Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).

Sebaliknya, “dokumen Ramadi” mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus, “Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam “dokumen” itu tentu mengacu Jenderal Soemitro.

Keterangan Soemitro dan Ali Moertopo masing-masing berbeda, bahkan bertentangan. Mana yang benar, Soemitro atau Ali Moertopo?

Kita melihat pelaku kerusuhan di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan meninggal secara misterius dalam status tahanan.

Sebagian sejarah Orde Baru, termasuk peristiwa Malari 1974, memang masih gelap.

Bunda Teresa dan Alam Pikirannya.....

Bila engkau baik hati, bisa saja orang lain menuduhmu punya pamrih; tapi bagaimanapun, berbaik hatilah.

Bila engkau jujur dan terbuka, mungkin saja orang lain akan menipumu; tapi bagaimanapun, jujur dan terbukalah.

Bila engkau mendapat ketenangan dan kebahagiaan, mungkin saja orang lain jadi iri; tapi bagaimanapun, berbahagialah.

Bila engkau sukses, engkau akan mendapat beberapa teman palsu, dan beberapa sahabat sejati; tapi bagaimanapun, jadilah sukses.

Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun mungkin saja dihancurkan orang lain hanya dalam semalam; tapi bagaimanapun, bangunlah.

Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, mungkin saja besok sudah dilupakan orang; tapi bagaimanapun, berbuat baiklah. Bagaimanapun, berikan yang terbaik
dari dirimu.

Pada akhirnya, engkau akan tahu bahwa ini adalah urusan antara engkau dan Tuhanmu,
Bukan urusan antara engkau dan mereka.

Bauhaus dan Kita....


Di bidang musik Beatles adalah revolusionernya yang mengubah warna
musik dunia. Di bidang Arsitektur aliran Bauhaus mengubah secara
revolusioner bentuk arsitektur. Di Bandung banyak sekali bangunan
bergaya bauhaus.

Di Bandung banyak sekali bangunan bergaya Bauhaus, contoh yang paling ekstrim adalah bangunan Hotel Savoy Homann yang dibangun seturut bentuk jenjang-jenjang sawah di pegunungan. Lihat saja bentuk jajaran balkonnya mirip persawahan di Bali dan Jawa.

Apa itu Bauhaus :

Bauhaus, adalah sebuah aliran (gaya) arsitektur yang didirikan oleh Walter Gropius pada tahun 1919. Pelopor International Style dan mengenalkan konsep "form follows function", yaitu bentuk bangunan mengikuti fungsi yang ada pada bangunan tersebut. Bauhaus memiliki pengaruh besar terhadap arsitektur dunia.

Aliran Bauhaus juga dikenal dengan faham-fahamnya yang bersifat revolusioner dan universal.

Kelahiran Bauhaus didahului dengan terbentuknya Deutscher Werkbund pada 9 October 1907 di Munchen, Jerman yang digagas oleh dua arsitek,yaitu Theodor Fischer dan Hermann Mutheseus. Deutscher Werkbund merupakan nama kelompok diskusi yang terdiri dari seniman muda, arsitek muda , penulis muda, pengrajin muda, dan kelangan industri.
Pada awalnya,kelompok ini beranggotakan 12 seniman dan 12 pemilik industri dan dianggap kelompok kelas menengah waktu itu.

Tujuan didirikan kelompok ini untuk mencari solusi dalam meningkatkan kualitas produk-produk desain Jerman. Selan itu, diskusi ini juga mengarah pada usaha melepaskan diri dari idiom-idiom desain konservatif yang telah berkembang di daratan Eropa, termasuk Jerman selama berabad-abad. Karena hal itu, Deutscher Werkbund dikenal sebagai pionir Modernism dalam bidang arsitektur.

Deutscher Werkbund dikenal sebagai The International Style berkat Henry Russel Hitchcock dan Philip Johnson pada pameran Arsitektur Modern di The Museum of Modern Art-New York pada tahun 1932.

Deutscher Werkbund terpecah menjadi dua karena perbedaan ideologi, yaitu :
1. Typisierung yang dipimpin oleh Peter Behrens dan Mutheseus
2. Kunstwollen yang dipimpin oleh Henry van de Velde, Hugo Hearing, Hans Poelzig, Walter Gropius dan Bruno Taut.

Walter Gropius kelak mendirikan Bauhaus di kota Wiemar (yang merupakan kota Acropolis (negara kota) berbentuk republik yang baru saja berdiri) di Jerman pada tahun 1919.

Peran Bauhaus dalam Desain

Bauhaus berasal dari kata Bauen yang artinya to built dan Haus yang artinya house. Bauhaus merupakan seolah yang didirikan oleh Walter Gropius Pada awalnya, Bauhaus ini merupakan pengembangan pendidikan seni dan kerajinan yang dikelola oleh Henry van de Velde yang menekankan praktek ketrampilan di berbagai industri.

Menjelang Perang Dunia pertama, 1914, Henry van de Velde (tokoh Art Nouveau) yang mempimpin sekolah seni dan kerajinan Weimar, mengundurkan diri dan kembali ke negara asalnya-Belgia. Hal ini disebabkan karena sikap radikal warga Jerman terhadap warga asing. Selama perang dunia, sekolah ini ditutup. Warga Jerman yang pada awalnya menyambut gembira perang dunia pertama, pada akhirnya muncul keraguan dan sikap anti perang mulai bermunculan, yaitu pada tahun 1916 dan 1917. Para seniman dan arsitek menerbitkan manifesto dan petisi anti perang.

Pada tahun 1971 Walter Gropius,seorang arsitek menyatakan bahwa para intelektual harus melakukan perpindahan atau pergantian front, dari medan pertempuran fisik menuju medan pertempuran budaya. Ia menganggap sistem Werkbund Jerman ketinggalan zaman sehingga perlu reformasi pendidikan seni rupa. Saat perang usai, Walter mengirimkan proposal sebuah perombakan pendidikan dan sekolah seni rupa yang disetujui oleh pemerintah pada saat itu. Bauhaus berdiri saat Jerman masih mengalami keresahan sosial ekonomi akibat perang dunia pertama.

1919,Walter ditunjuk sebagai direktur sekolah yang baru didirikan, yaitu : ” Staatliches Bauhaus-Weimar “

Tujuan dari sekolah ini, yaitu seniman dan kriyawan bekerja sama untuk menciptakan bangunan masa depan.

Bruno Taut adalah seorang yang sangat berpengaruh pada Gropius. Ia yang mengajak pertama kali membangun rumah untuk rakyat dan meminta keterlibatan setiap cabang seni dalam arsitektur.

Dalam manifesto, Gropius menulis, ” Mari kita bersama-sama menciptakan bangunan masa depan, di mana segala sesuatunya menyatu dalam sebuah bentuk, arsitektur, patung , dan lukisan.” (Droste,1990 :18)

Perkembangan dan perhatian Gropius terhadap modernisme dan indutrialisasi tampak dari perubahan motto sekolah Bauhaus dari ” A unity of art and hadicraft “ menjadi ” Art and Technology, a new unity “. Romantisme dan ekspresionisme digantikan oleh desain terapan yang sangat rasional dan dapat diproduksi secara massal menggunakan mesin.

Pada dasarnya, Bauhaus berupaya meningkatkan mutu desain di era industri.

Karya seni lukis Bauhaus kebanyakan berbentuk kubisme dan ekspresionisme yang merupakan pengaruh dari pelukis modern Rusia bergaya konstruktivisme.

Revolusi desain oleh Bauhaus berintikan penolakan secara formal terhadap sejarah seni yang disebut anti historism padam asyarakat yang sangat konservatif antitesis dari lembaga yang sama di Paris,Prancis,Ecole des Beaux Arts yang mengutamakan pendidikan sejarah seni dan hal inilah yang memberi pengaruh sangat besar terhadap perkembangan desain dan industri di dunia sampi saat ini.

Sekolah Bauhaus

Sekolah Bauhaus berdiri pada tahun 1919,di mana sekolah ini merupakan penggabungan dari 2 sekolah seni, yaitu Kunstgewerbeschule (Grand Ducal Saxon School of Art and Crafts) dan Hochschule fuer Bildendekunst ( Grand Ducal Saxon Academy of Fine Arts).

Misi Bauhaus adalah mengajarkan pendidikan arsitektur ,seni,desain dan creft sebagai sebuah kesatuan bersama teknologi.

Dengan sistem pendidikan Bauhaus pada awalnya menyerupai sistem yang terdapat pada kuil-kuil Budha Shaolin dengan tema sentralnya di bidang desain.

Para mahasiswa diberi pendidikan desain dengan metoda kerja praktek yang di selingi ritual latihan pernafasan, latihan disik, meditasi dan begetarian serta memanfaatkan bengkel praktek dan kantin sebagai pusat interaksi sosial antar warga Bauhaus, terutama antara master dan murid.

Sistem pengajaran ini diperkenalkan oleh Johannes Itten.

Pada tahun 1925, Bauhaus pindah ke Dessau dengan identitas yang lebih jelas sebagai Institute of Design, dengan pengajarnya Joseph Albers, Marcel Breuer dan Gunta Stolzl. Antara tahun 1928- 1930 ,dibawah pengelolaan Meyer, desain-desain yang dihasilkan Bauhaus mencapai sukses secara komersial.

Namun pada bulan April 1933, Bauhaus ditutup oleh pemerintah Nazi Jerman . Sebagian staf pengajar dan pengelolanya pindah ke Amerika dan thun 1937, Moholy Nagy membangun New Bauhaus di Chicago, sedangkan Gropius menjadi guru besar arsitektur di Universitas Harvard.

Dalam perkembangan sejarah sekolah Bauhaus di bagi menjadi 2 periode ,yaitu Periode Weimar ,1919-1924 dan Periode Dessau , 1925-1932.

Perpindahan sekolah Bauhaus ke Weimar disebabkan tekanan politis dari pemerintah Weimar yang menganggap Bauhaus dengan prinsip universalisme nya tidak punya rasa nasionalisme.

Secara singkat,dapat disebutkan beberapa prinsip yang berlaku dalam pengajaran Bauhaus :

- dipengaruhi seni ekspresionisme

- menggunakan garis Bauhutte

- menggabungkan seniman dan kriyawan

- pendekatan rasionalisme dan desain untuk mesin

Bauhaus memiliki cita-cita utopia membangun masyarakat spiritual baru. Bengkel kaca patri, kayu dan metal diajarkan oleh para seniman dan kriyawan, menggunakan metode kerja dari Bauhutte: master (guru) – journeyman (pengembara) – apprentice (murid magang).

Para pe-desain yang pernah menjadi Direktur Bauhaus :

- Walter Gropius ( memimpin hingga 1928)

- Johannes Itten

- L.Mies Van der Rohe (1886-1969)

Van der Rohe adalah seorang arsitek terkemuka yang menjadi direktur terakhir. Terkenal dengan ungkapannya ” Less is more “ Ide-ide baru diajarkan ketika Paul Klee dan Vassilly Kandinsky mengajar di Bauhaus tahun 1920 dan 1922. Klee menggabungkan seni rupa modern dengan seni primitif dan gambar anak dalam menciptakan gambar dna lukisan yang memperngaruhi komunikasi visual. Menurut Kandinsky, warna dan bentuk memiliki nilai-nilai spiritual dan makna tersendiri.

Rabindranath Tagore, Manusia Berpikiran Raksasa dari India

Gambar Atas : Rabindranath Tagore dan Pengaruhnya dalam Peradaban Pemikiran dunia (Polemik antara Pane dan Sutan Takdir berkisar pada pertarungan antara Tagore dengan Filsafat Praksis John Dewey ala Amerika Serikat).

Rabindranath Tagore (bahasa Bengali: Rabindranath Thakur; lahir di Jorasanko, Kolkata, India, 7 Mei 1861 – wafat 7 Agustus 1941 pada umur 80 tahun) juga dikenal dengan nama Gurudev, adalah seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali. Ia terlahir dalam keluarga Brahmana Bengali, yaitu Brahmana yang tinggal di wilayah Bengali, daerah di anakbenua India antara India dan Bangladesh. Tagore merupakan orang Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra (1913).

Tagore mulai menulis puisi sejak usia delapan tahun, ia menggunakan nama samaran “Bhanushingho” (Singa Matahari) untuk penerbitan karya puisinya yang pertama pada tahun 1877, dan menulis cerita pendek pertamanya pada usia enam belas tahun. Ia mengenyam pendidikan dasar di rumah (Home Schooling), dan tinggal di Shilaidaha, serta sering melakukan perjalanan panjang yang menjadikan ia seorang yang pragmatis dan tidak suka/patuh pada norma sosial dan adat. Rasa kecewa kepada British Raj membuat Tagore memberikan dukungan pada Gerakan Kemerdekaan India dan berteman dengan Mahatma Gandhi. Dan juga dikarenakan rasa kehilangan hampir segenap keluarganya, serta kurangnya penghargaan dari Benggala atas karya besarnya, Universitas Visva-Bharati.

Beberapa karya besarnya antara lain Gitanjali (Song Offerings), Gora (Fair-Faced), dan Ghare-Baire (The Home and the World), serta karya puisi, cerita pendek dan novel dikenal dan dikagumi dunia luas. Ia juga seorang reformis kebudayaan dan polymath yang memodernisasikan seni budaya di Benggala. Dua buah lagu dari aliran Rabindrasangeet (sebuah aliran lagu yang ia ciptakan) kini menjadi lagu kebangsaan Bangladesh (Amar Shonar Bangla) dan India (Jana Maha Gana).

MASA-MASA AWAL (1861 - 1901)

Tagore memiliki nama kecil "Rabi", lahir di Jasanko Mansion, adalah putra dari Debendranath Tagore dan Sarada Devi, anak bungsu dari empat belas bersaudara. Setelah menjalani upacara Upanayanam di usia sebelas tahun, (suatu prosesi upacara yang menandai bagi seorang anak laki-laki untuk memasuki masa Brahmacari, masa menuntut ilmu.) Tagore bersama ayahnya meninggalkan Kolkata pada tanggal 14 Februari 1873 untuk melakukan perjalanan panjang di India selama beberapa bulan, mengunjungi Shantiniketan dan Amritsar sebelum mencapai Dalhousie, sebuah bukit peristirahatan di kaki Himalaya. Di sini, Tagore belajar sejarah, ilmu perbintangan (astronomi), ilmu pengetahuan modern dan Bahasa Sansekerta dan mempelajari serta mendalami karya sastra klasik dari Kālidāsa. Pada 1877, ia menjadi orang terkemuka ketika menghasilkan beberapa karya, termasuk puisi panjang dalam gaya Maithili, yang dirintis oleh Vidyapati. Sebagai sekedar lelucon, ia menyatakan bahwa ini merupakan karya yang hilang dari Bhānusimha, sebuah sastra dari aliran Vaishnava. Ia juga menulis "Bhikharini" (1877; "Wanita Pengemis" — cerita pendek pertama dalam Bahasa Bengali) dan juga “Sandya Sangit” (1882) — termasuk di dalamnya puisi yang sangat terkenal "Nirjharer Swapnabhanga" (The Rousing of the Waterfall).

Karena ingin menjadi seorang pengacara, Tagore mendaftar di sekolah umum di kota Brighton, Inggris pada tahun 1878; kemudian melanjutkan di University College London, tapi pada tahun 1880 ia kembali ke Bengali tanpa gelar sarjana, dikarenakan ayahnya telah menjodohkan ia dengan seorang gadis, bernama Mrinalini Devi, yang kemudian dinikahi pada 9 Desember 1883; mereka memiliki lima orang anak, empat di antaranya meninggal sebelum menginjak usia dewasa. Pada tahun 1890, Tagore mulai mengelola usaha keluarganya di Shelidah, sebuah wilayah yang sekarang masuk bagian negara Bangladesh. Dikenal sebagai "Zamindar Babu" Tagore melakukan perjalanan melintasi perkebunan yang sangat luas, untuk mengumpulkan uang sewa, serta memberi berkat pada para penduduk desa. Dalam periode ini, periode Sadhana (1891 — 1895, diambil dari salah satu majalah yang diterbitkannya) ia berada dalam masa-masa yang sangat produktif, di mana lebih dari setengah dari tiga volume dan delapan puluh empat karya "Galpaguchchha" ditulis. Dengan gaya ironi dan emosional yang kental, ia menggambarkan kehidupan di Benggala, kebanyakan adalah kehidupan di pedesaan.

SHANTINIKETAN (1901—1932)

Pada tahun 1901, Tagore meninggalkan Shelidah dan pindah ke Shantiniketan (Benggala Barat) tinggal di Ashram yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1863, di sini mendirikan sebuah sekolah percobaan, sekolah di ruang terbuka, dengan pohon rindang, taman yang indah dan perpustakaan. Dan di sini pula, istri ia serta dua orang anaknya meninggal. Ayah ia juga meninggal pada 19 Januari 1905. Setelah kepergian ayahnya, ia mulai menerima pendapatan bulanan sebagai bagian dari warisan orang tuanya; ia juga menerima pendapatan dari Maharaja Tripura, hasil dari penjualan perhiasan keluarga, dari rumah sewa di daerah Puri serta hak royalti atas karya-karyanya. Melalui karya-karya ia memiliki banyak pengikut baik masyarakat Bengali, maupun pembaca di luar, dan ia mempublikasikan beberapa karya seperti "Naivedya" (1901) dan "Kheya" (1906) dan karya-karya puisi ia digubah menjadi puisi bebas, yang tidak lagi mengikuti pakem dan irama, tanpa menghilangkan ciri sebagai sebuah karya puisi. Pada tanggal 14 November 1913 Tagore memenangkan Penghargaan Nobel di Bidang Sastra. Menurut pihak Akademi Swedia sebagai penyelenggara, Tagore memenangkan Penghargaan Nobel berkat idealisme dalam berkarya dan karya-karyanya yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris mudah diterima bagi pembaca di barat, termasuk diantaranya adalah: Gitanjali: Song Offerings (1912). Sebagai tambahan, Kerajaan Inggris menawarkan gelar kebangsawanan pada tahun 1915; yang diterimanya, namun belakangan dilepaskan sebagai bentuk protes terhadap pembantaian massal di Amritsar, di mana tentara kolonial melakukan penembakan terhadap rakyat sipil tanpa senjata, membunuh sekitar 379 orang.

Pada 1921, Tagore bersama Leonard Elmhirst, seorang pakar ekonomi pertanian, mendirikan sekolah yang belakangan diberi nama Shriniketan di Surul, sebuah kampung dekat Asrama di Shantiniketan. Melalui ini ia sendiri bermaksud menyediakan tempat alternatif, bagi gerakan Swaraj, yang digalang Mahatma Gandhi yang mana sebelumnya gerakan ini sempat ia kritik. Ia merekrut para sarjana, penyumbang dana serta pekerja dari berbagai negara untuk menjalankan sekolah ini. Membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan dengan cara memperkuat diri di sektor pendidikan. Pada tahun 1930an ia juga memberikan perhatian lebih terhadap kaum Dalit (kelompok kasta rendahan).

MASA SENJA (1932—1941)

Dalam dasawarsanya yang terakhir, Tagore tetap mendapat sorotan publik, secara terbuka mengkritik Gandhi karena mengatakan bahwa gempa bumi yang hebat pada 15 Januari 1934 di Bihar merupakan pembalasan ilahi karena menindas kaum Dalit. Ia juga meratapi kemerosotan sosial-ekonomi yang mulai terjadi di Bengali dan kemiskinan yang merajalelal di Kolkata. Ia mengungkapkannya secara terinci dalam sebuah puisi tak berirama seratus baris dengan teknik visi ganda yang kering kelak digunakan oleh Satyajit Ray dalam filmnya Apur Sansar. Tagore juga menyusun 15 jilid tulisan, termasuk karya-karya prosa liris Punashcha (1932), Shes Saptak (1935), dan Patraput (1936). Ia terus bereksperimen denagn mengembangkna lagu-lagu prosa dan sendratari, termasuk Chitrangada (1914), Shyama (1939), dan Chandalika (1938), dan menulis novel-novel Dui Bon (1933), Malancha (1934), dan Char Adhyay (1934). Tagore mengembangkan minatnya terhadap sains dalam tahun-tahun terakhirnya, dan menulis Visva-Parichay (kumpulan esai) pada 1937. Ia menjelajahi biologi, fisika, dan astronomi; sementara itu, puisinya — yang mengandung naturalisme yang luas — menggarisbawahi rasa hormatnya terhadap hukum-hukum ilmiah. Ia juga menjalin proses sains (termasuk naratif para ilmuwan) ke dalam banyak cerita yang terkandung dalam buku-buku seperti Se (1937), Tin Sangi (1940), dan Galpasalpa (1941).

SEBUAH PETUALANGAN

Tagore memiliki jiwa petualangan yang sangat besar. Antara tahun 1878 dan 1932, ia mengunjungi lebih dari tigapuluh negara di lima benua, perjalanan ini sangat penting artinya dalam mengenalkan karya-karyanya, serta memapa...rkan ide-ide politiknya kepada kalangan non-Bengali. Sebagai contoh, pada tahun 1912, ia mengirimkan karya-karya yang telah diterjemahkan ke Inggris, yang mengesankan para misionaris, dan anak didik Gandhi; Charles F. Andrews, William Butler Yeats; seorang sastrawan dari Irlandia, Ezra Pound, Robert Bridges, Ernest Rhys, Thomas Sturge Moore, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dan kemudian, Yeats menulis kata pengantar untuk Gitanjali yang diterjemahkan dalam bahasa inggris, sementara Andrews bergabung dengan Tagore di Santiniketan. Pada 10 November 1912, Tagore melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dan Inggris Raya, tinggal di Butterton, Staffordshire. Dari tanggal 3 Mei 1916 sampai April 1917, Tagore ceramah dan kuliah keliling Jepang dan Amerika Serikat. Ia juga menulis esai "Nasionalisme di India", yang menerima kritikan dan juga menuai pujian, (termasuk para pasifis termasuk dari Romain Rolland). Setelah kembali ke India, Tagore, 63 tahun, mengunjungi Peru atas undangan pemerintahan Peru Tagore, dan dilanjutkan dengan mengunjungi Meksiko setelahnya. Kedua negara mengucurkan sumbangan senilai $100,000 bagi sekolah Shantiniketan (Visva-Bharati) sebagai penghargaan atas kunjungaannya ke kedua negara tersebut. Setelah itu, ia mengadakan kunjungan ke Buenos Aires, Argentina pada 6 November 1924, dan tinggal di Villa Miralrío dan menjadi tamu dari Victoria Ocampo; seorang intelektual dari Argentina. Selanjutnya ia pulang ke Bengali pada Januari 1925. Pada 30 Mei 1926, Tagore menginjakkan kakinya di Napoli, Italia; ia bertemu dengan diktator berkuasa Benito Mussolini di Roma pada hari berikutnya. Pada awalnya mereka memiliki hubungan yang hangat, dan berakhir saat Tagore dengan terang-terangan berbicara menentang Mussolini pada 20 Juli 1926.

Pada 14 Juli 1927, Tagore beserta dua sahabatnya berangkat menuju Asia Tenggara selama empat bulan — mengunjungi Bali, Jawa, Kuala Lumpur, Malaka, Penang, Siam dan Singapura. Catatan perjalanan ini terkumpul dalam karya yang berjudul "Jatri". Pada awal 1936, ia meninggalkan Bengala untuk sebuah perjalanan panjang menuju Eropa dan Amerika Serikat. Dalam kunjungan kembali ke Inggris, dimana saat itu lukisannya sedang dipamerkan di London dan Paris, ia tinggal di Birmingham. Di sana ia menulis materi kuliah untuk kelas yang dikenal sebagai "Kuliah Hibbert" di Universitas Oxford dan menjadi pembicara di pertemuan tahunan Perkumpulan Kristen London. Disini, (dialamatkan pada hubungan antara Inggris dengan India, sebuah topik yang ia terus perjuangkan dan pertahankan selama lebih dari dua tahun kedepan) ia berbicara mengenai "dark chasm of aloofness". Kemudian ia mengunjungi Aga Khan III, tinggal di Dartington Hall, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Denmark, Swiss, dan Jerman dari bulan Juni hingga pertengahan September 1930, lalu berlanjut hingga Uni Soviet. Terakhir, pada bulan April 1932, Tagore — yang sebelumnya telah mengenal mistikus Persia terkenal, Hafez — diundang secara pribadi sebagai tamu kehormatan Shah Reza Pahlevi untuk mengunjungi Iran. Sebagaimana seorang petualang, Tagore bisa bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang orang penting dan kenamaan, termasuk di antaranya Henri Bergson, Albert Einstein, Robert Frost, Thomas Mann, George Bernard Shaw, H.G. Wells and Romain Rolland. Perjalanan terakhir Tagore tersiar dengan luas, termasuk saat mengunjungi Persia, Irak (di tahun 1932) dan Sri Lanka pada tahun 1933, menajamkan opini-opininya berkenaan dengan nasionalisme dan kemanusian.

KARYA SANG MAESTRO

Reputasi Tagore di dunia sastra sangat menonjol terutama pada karya-karya puisinya, meskipun ia juga menulis novel, esai, cerita pendek, catatan perjalanan, cerita drama, dan ribuan lagu. Mengenai karya-karya prosa yang dihasilkan, cerita pendek adalah yang paling mendapatkan perhatian; tentu saja, ia tercatat sebagai orang yang merintis karya cerita pendek dalam Bahasa Bengali. Karya-karyanya sering menjadi perhatian karena irama yang unik, lirik-lirik yang mengandung pujian bagi alam semesta, serta lirik-lirik yang bernada optimis. Dan juga, banyak dari cerita yang ditulisnya diambil dari kehidupan sehari-hari yang sederhana — kehidupan manusia biasa.

NOVEL DAN NON FIKSI

Tagore menulis delapan novel dan empat novela, termasuk Chaturanga, Shesher Kobita, Char Odhay dan Noukadubi. Ghare Baire (The Home and the World) — melalui kacamata Nikhil seorang zamindar idealis — bercerita tentang kebangkitan nasionalisme di India, terorisme dan semangat keagamaan dalam gerakan Swadeshi; sebuah ungkapan jujur dari seorang Tagore atas apa yang berkecamuk dalam hatinya. Dan tentu saja, karya novel ini ditutup dengan kesuraman, pertentangan dan kekerasan antara sektarian Hindu-Islam, dan Nikhil terluka parah. Gora mengambil tema yang sama, yang akhirnya menjadi sebuah kontroversi berkenaan dengan "Identitas India". Sebagaimana hal-nya dengan Ghare Baire, permasalahan tentang identitas diri (Jāti), kebebasan pribadi dan agama dikemas dalam sebuah cerita keluarga dengan bumbu cinta segitiga. Karya lain yang tak kalah hebatnya adalah Yogayog (Nexus), dimana Kumudini sang pahlawan wanita terkoyak diantara konflik dalam diri maupun dari luar. Disini Tagore mencoba mencurahkan sisi feminin dalam dirinya, melalui kesedihan ia menggambarkan kesengsaraan dan kematian seorang wanita bengali yang terperangkap dalam kehamilan, kewajiban sebagai wanita serta kehormatan wanita; secara simultan ia mengungkapkan penolakan atas sistem oligarki di tanah Bengala.

Karya-karya novel yang lainnya, menggambarkan suasana yang lebih menggembirakan: Shesher Kobita (diterjemahkan dua kali — Puisi Terakhir dan Lagu Perpisahan) banyak mengandung puisi dan rangkaian irama yang ditulis oleh karakter utamanya. Juga mengandung elemen satir — sindiran — bergaya post-modern yang kontroversial, dimana karakter pembantu dengan senang hati menyerang nilai-nilai lama, ketinggalan zaman, yang secara kebetulan, atas nama Rabindranath Tagore. Walaupun karya novel-nya adalah karya yang paling sedikit mendapat apresiasi diantara karya yang lainnya pada masa itu, pada masa kini malah mendapat perhatian untuk diangkat dan diadaptasi ke dalam karya film, oleh para sutradara seperti: Satyajit Ray. Diantara karya novel yang diangkat ke film, adalah Choker Bali dan Ghare Baire; banyak soundtrack yang dipakai dari film ini merupakan lagu-lagu yang diciptakan olehnya yang juga menciptakan aliran dalam berlagu yang dikenal dengan: rabindrasangit. Tagore juga banyak menghasilkan karya-karya non-fiksi, yang dalam penulisannya banyak mengambil topik dari Sejarah India hingga ilmu bahasa (Linguistik), dan juga termasuk karya otobiografi, catatan perjalanan, esai dan materi kuliah dan ceramah di berbagai belahan dunia yang kumpulkan dalam beberapa bagian, ikut didalamnya adalah Iurop Jatrir Patro (Surat dari Eropa) dan Manusher Dhormo (Agama Manusia).

MUSIK DAN SENI RUPA

Tagore juga seorang musisi dan pelukis yang berbakat, yang telah mencipta dan menulis sekitar 2.230 lagu. Termasuk diantaranya rabindrasangit (Inggris: "Tagore Song"), yang mana kini telah menjadi bagian dalam kebudayaaan bangsa Bengali. Karya-karya musik Tagore, tidak dapat dipisahkan begitu saja dari karya sastranya, kebanyakan dari karya sastra tersebut menjadi lirik untuk lagu ciptaannya. Utamanya terpengaruh oleh gaya thumri, musik klasik dari Hindustani, mereka memainkan seluruh tangga nada dari emosi jiwa manusia, dimulai dari lagu-lagu pujian yang bergaya Brahmo, hingga komposisi yang bergaya erotis. Karya musiknya mengemulasi gaya warna musik klasik india, raga; dimana pada saat yang bersamaan, lagu-lagunya cenderung menirukan melodi dan irama raga secara tepat, dia juga memasukkan berbagai unsur 'musik raga' dalam karya musiknya dalam mencipta karyanya.

CERITA PENDEK

Karya Nandalall Bose yang merupakan ilustrasi dari karya cerpen Tagore yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris berjudul "The Hero", diterbitkan pada 1913 oleh Macmillan.
Masa empat tahun dari 1891 hingga 1895, dikenal s...ebagai periode "Sadhana" (salah satu nama majalah yang diterbitkan oleh Tagore). Pada masa ini merupakan masa paling produktif dalam berkarya, menghasilkan lebih dari setengah karya yang dikemas dalam tiga volume Galpaguchchha, yang merupakan kumpulan karya cerita, memuat delapan puluh empat karya. Sebagaimana biasa ceritanya merupakan cerminan Tagore atas kehidupan dan lingkungannya, dituangkan dalam ide-ide modern dan potongan potongan cerita yang dirajut dalam pikiran sebagai sebuah cerita utuh dan mengesankan. Tagore umumnya menghubungkan satu cerita dengan cerita sebelumnya dengan kekuatan dari kegembiraan dan keriangan yang spontanitas; karakteristik ini terkoneksi dengan sangat baik sekali dengan kehidupan sehari hari Tagore di Patisar, Shajadpur dan Shilaidaha saat dia mengelola tanah milik keluarganya yang sangat luas. Disana, ia melindungi kehidupan masyarakat miskin; dengan cara ini Tagore menganalisa kehidupan mereka dengan memasuki kehidupan mereka lebih dalam. Dalam karya "The Fruitseller from Kabul", Tagore berbicara sebagai penduduk kota dan novelis yang juga menjadi pedagang dari Afganistan. Ia mencoba untuk menyelami rasa-memiliki oleh para penduduk urban di India yang lama terjebak dalam keduniawian dan dibatasi oleh kemelaratan, memberi impian dalam kehidupan yang lain di batasi oleh jarak dan kejamnya alam pegunungan: "Di suatu pagi di musim gugur, pada tahun ketika raja tua datang dan pergi untuk menaklukan; dan aku, yang tak pernah beranjak dari pojokan di Kolkata, membiarkan pikiranku mengembara ke seluruh dunia. Dalam setiap persinggahan di negara lain, hatiku tak pernah berubah... takkan jatuh tuk merajut jaringan mimpi: pegunungan, celah, hutan...". Banyak cerita Galpaguchchha yang lainnya ditulis pada periode "Sabuj Patra" (1914-1917; juga merupakan nama majalah Tagore yang lainnya).

Golpoguchchho (Kumpulan cerita) merupakan kesusastraan fiksi Bengali yang paling populer, dijadikan sebagai subyek dalam banyak karya film dan seni teater yang meraih sukses. Film Charulata garapan Satyajit Ray, diangkat dari karya novela yang penuh kontroversi, Nastanirh (The Broken Nest). Dalam Atithi (yang juga diangkat ke film), seorang Brahmana muda belia, Tarapada, berbagi tumpangan perahu dengan seorang zamindar. Anak muda ini menyatakan bahwa dia dulu kabur dari rumah, dan kemudian mengembara berkeliling. Merasa kasihan zamindar tersebut kemudian mengadopsi secara mngejutkan, menjodohkan dengan anak gadisnya sendiri. Yang mana, pada malam sebelum acara pernikahan, Tarapada kabur dari rumah zamindar. Strir Patra ("The Letter from the Wife") mngisahkan akan emansipasi wanita, yang pada masa itu sangat jarang diangkat dalam kesusastraan Bengali. Sang tokoh wanita, Mrinal, istri dari seorang pria kalangan menengah yang menganut pola patriarki — ayah memiliki kekuasaan penuh dalam keluarga) menulis surat ketika ia melakukan perjalanan (bagian dari keseluruhan cerita). Yang menceritakan kekurangan dalam hidup dan perjuangannya; dia akhirnya mengambil keputusan untuk tidak kembali kepada suaminya, dengan sebuah pernyataan "Amio bachbo. Ei bachlum" ("And I shall live. Here, I live"). Dalam karya Haimanti, menggambarkan tentang perkawinan dalam Hindu yang penuh dengan kemalangan dan penderitaan dalam perkawinan wanita Bengali, "penyakit" bermuka dua dalam kehidupan kelas menengah di India, dan bagaimana Haimanti, seorang wanita muda yang sensitif, harus mengorbankan hidupnya. Di bangian akhir, Tagore menyerang secara langsung adat Hindu yang mengagungkan Sita melakukan pengorbanan diri sebagai menentramkan keraguan dari suaminya, Rama. Tagore juga mengungkap ketegangan Hindu-Muslim dalam karya Musalmani Didi, yang dalam beragam cara pandang adalah pewujudan dari sari pati sisi kemanusian Tagore. Dalam karya yang lainnya, Darpaharan memamerkan kesadaran diri, bercerita tentang anak muda yang punya kemauan dan ambisi dalam dunia kesusastraan. Yang meskipun dia mencintai istrinya, ia berharap bisa meniti karir kesusastraannya.

PUISI

Penyanyi lagu-lagu tradisional Bāul di Santiniketan dalam acara festival tahunan
Sajak dan puisi karya Tagore — sangat bervariasi dalam gaya, dari gaya klasik formal hingga gaya jenaka, penuh khayalan maupun riang gembira — meneruskan aliran yang didirikan pujangga Vaishnava (|Bujangga Waisnawa) pada abad 15-16. Tagore juga mendapat pengaruh unsur kebatinan dari para Rsi-Pujangga — termasuk dari Vyasa — yang menulis Upanisad, Bhakta-Sufi mistik Kabir dan Pamprasad. Malahan karya puisinya menjadi penuh inovasi dan dewasa setelah ia membongkar musik tradisional Bengali, termasuk lagu balada yang dinyanyikan oleh para penyanyi tradisional dari Bāul — khususnya penyair Lālan Śāh. Ini — yang digali kembali dan kemudian dipopulerkan oleh Tagore — menyerupai kidung pujian Kartābhajā (populer di abad 19) yang menekankan pada Ketuhanan dan berontak pada keyakinan dan kehidupan sosial ortodok. Pada masa menetap di Shelidah, karya puisinya menekankan pada kekuatan lirik, berbicara lewat maner manus (man within the heart) atau meditasi dalam jivan devata (Tuhan didalam jiwa). Figur ini kemudian membentuk hubungan dengan ketuhanan melalui permohonan kepada semesta alam dan keadaan emosional yang saling mempengaruhi dalam drama kehidupan umat manusia. Tagore menggunakan beberapa teknik dalam puisi Bhānusimha (yang menguraikan rentetan romantisme antara Radha dan Krishna), dimana ia berulangkali melakukan perbaikan-perbaikan melalui pembelajaran selama kurun waktu tujuh puluh tahun. Belakangan, Tagore memberi respon atas kemunculan dari modernisasi dan realisme dalam kesusastraan Bengali dengan menulis karya eksperimental pada tahun 1930-an. Contoh karyanya seperti: Africa and Camalia. Ia juga kadang menulis puisi memakai Shadu Bhasha (salah satu dialek bahasa sansekerta di Bengala); kemudian belakangan ia mulai menggunakan Cholti Bhasha (dialek yang lebih populer). Karya lain yang patut dicatat adalah Manasi, Sonar Tori (Golden Boat), Balaka (Wild Geese —judulnya merupakan metafora untuk perpindahan jiwa), dan Purobi. Sonar Tori merupakan karya puisi yang paling terkenal. "Shunno nodir tire rohinu poŗi / Jaha chhilo loe gêlo shonar tori" — semua yang telah kucapai, telah dibawa keatas perahu emas — tinggal aku yang berada di belakang). Bagaimanapun juga, Gitanjali merupakan karya yang paling dikenal, membawa Tagore meraih Penghargaan Nobel dalam Sastra. Song VII of Gitanjali:

Amar e gan chheŗechhe tar shôkol ôlongkar
Tomar kachhe rakhe ni ar shajer ôhongkar
Ôlongkar je majhe pôŗe milônete aŗal kôre,
Tomar kôtha đhake je tar mukhôro jhôngkar.

Tomar kachhe khaţe na mor kobir gôrbo kôra,
Môhakobi, tomar paee dite chai je dhôra.
Jibon loe jôton kori jodi shôrol bãshi goŗi,
Apon shure dibe bhori sôkol chhidro tar.

Terjemahan bebas oleh Tagore (Gitanjali, verse VII):

"My song has put off her adornments. She has no pride of dress and decoration. Ornaments would mar our union; they would come between thee and me; their jingling would drown thy whispers."

"My poet's vanity dies in shame before thy sight. O master poet, I have sat down at thy feet. Only let me make my life simple and straight, like a flute of reed for thee to fill with music."

PANDANGAN POLITIK

Pandangan politik Tagore sangat kompleks, dimana ia mengkritik penjajahan bangsa-bangsa eropa, serta mendukung kaum nasionalis India. Namun, ia juga mengkritik gerakan Swadeshi yang dilakukan oleh para pemimpin gerakan nasionalis. Dilain pihak ia memberikan tekanan atas peningkatan taraf pendidikan masyarakat dan bantuan atas diri sendiri bagi bangsa India. Ia juga menghimbau bagi rakyat India untuk menerima bahwa "tidak ada yang perlu dipertanyakan atas revolusi, tetapi pendidikan yang kokoh dan penuh tujuan".

PANDANGAN POLITIK

Pandangan politik Tagore sangat kompleks, dimana ia mengkritik penjajahan bangsa-bangsa eropa, serta mendukung kaum nasionalis India. Namun, ia juga mengkritik gerakan Swadeshi yang dilakukan oleh para pemimpin gerakan nasi...onalis. Dilain pihak ia memberikan tekanan atas peningkatan taraf pendidikan masyarakat dan bantuan atas diri sendiri bagi bangsa India. Ia juga menghimbau bagi rakyat India untuk menerima bahwa "tidak ada yang perlu dipertanyakan atas revolusi, tetapi pendidikan yang kokoh dan penuh tujuan". Namun banyak orang yang tidak menyukai pemikirannya ini. Pada 1916, beberapa orang India mencoba melakukan pembunuhan atas dirinya saat ia berada di sebuah hotel di San Francisco, Amerika Serikat. Namun mereka urung melakukan pembunuhan, setelah mereka mendengarkan dan adu argumentasi dengan Tagore. Tagore juga membuat banyak lagu-lagu perjuangan dan pujian atas gerakan kemerdekaan India. Tagore juga mengembalikan gelar kehormatan yang diberikan oleh Kerajaan Inggris, sebagai bentuk protes atas pembantaian massal di Amritsar pada 1919 yang dikenal dengan Jallianwala Bagh Massacre. Dua buah komposisi musik Tagore yang berbau politik adalah Chitto Jetha Bhayshunyo ("Where the Mind is Without Fear") dan Ekla Chalo Re (If They Answer Not to Thy Call, Walk Alone), mendapatkan perhatian dari masyarakat luas, yang mana belakangan disukai dan dipuji oleh Gandhi. Walaupun hubungannya dengan Gandhi mengalami pasang surut, Tagore merupakan kunci keberhasilan dalam memperbaiki hubungan Gandhi-Ambedkar yang berselisih, bersangkutan dengan pemilahan bagi kaum kasta rendahan dalam pemilihan umum.
Tagore juga mengkritik pendidikan ortodok, menyerang dalam karya cerpen "The Parrot's Training", dimana seekor burung — yang akhirnya mati — dikurung dalam sangkar oleh pengajarnya dan dijejali dengan pelajaran dari buku. Pandangan ini membawa Tagore — saat ia mengunjungi Santa Barbara, California pada 11 Oktober 1917 —: untuk memikirkan sebuah pola universitas baru, berhasrat untuk "menjadikan ashram miliknya di Shantiniketan sebagai benang penghubung antara India dengan dunia ... dan pusat pendidikan umat manusia ... yang melintasi batas bangsa dan geografis. Sekolah — yang kemudian ia namakan Visva-Bharati —; dilakukan peletakan batu pertama pada 22 Desember 1918; dan pembukaannya pada 22 Desember 1921. Disini ia menerapkan stuktur pedagogi brahmacharya dengan menyediakan para guru guna memberikan bimbingan individu bagi para siswa. Tagore bekerja keras untuk mendapatkan dana dan staf pengajar bagi sekolah ini, termasuk mengkontribusikan semua hadiah yang didapatkan dari Penghargaan Nobel yang ia menangkan. Tugasnya sebagai mentor dan pembantu di Shantiniketan membuat ia sibuk; di pagi hari, ia mengajar di kelas dan menyusun buku pelajaran bagi para siswa di siang dan malam harinya. Tagore juga menggalang dana dari Eropa dan Amerika Serikat, antara tahun 1919 hingga 1921

WARISAN SANG MAESTRO

Dampak yang dapat dirasakan pasca kematian Tagore adalah dilaksanakan berbagai festival diseluruh dunia sebagai bentuk penghormatan terhadapnya — sebagai contoh adalah festival tahunan Kabipranam (Ulang Tahun Tagore) di Benggala, Festival Tagore yang digelar setiap tahun di Urbana, Illinois, Amerika Serikat, Rabindra Path Parikrama yaitu sebuah acara napak tilas perjalanan suci dari Kolkatta menuju Shantiniketan, dan acara pembacaan kembali karya-karya sastra Tagore dalam perayaan-perayaan tahunan. Warisan budaya ini terlihat begitu gamblang dalam kehidupan bangsa Bengali, yang menyentuh dalam segenap aspek kehidupan, dari bahasa dan seni hingga sejarah dan kehidupan politik; tentunya juga Amartya Sen, penerima Nobel Sastra, memberikan catatan, bahkan bagi masyarakat Bengali modern, Tagore adalah tokoh besar, seorang pemikir kontemporer yang amat sangat relevan. Tagore mengumpulkan tulisan berbahasa Bengali — Rabīndra Racanāvalī, 1939 — merupakan salah satu harta kekayaan budaya Bengali yang amat berharga, dimana Tagore sendiri diproklamirkan sebagai "pujangga terhebat yang dilahirkan India". Ia juga sangat dikenal di Eropa, Amerika Utara dan Asia Timur. Ia adalah kunci dalam pendirian Dartington Hall School, sebuah institusi pendidikan progresif; di Jepang, ia memberi pengaruh pada Yasunari Kawabata, seorang penerima penghargaan Nobel juga. Karya-karya Tagore diterjemahkan kedalam banyak bahasa-bahasa di Eropa — sebuah proses yang diawali oleh pakar indologi berkebangsaan Ceko, Vincent Slesny dan penerima penghargaan Nobel Sastra dari Perancis, André Gide — termasuk juga dalam bahasa Rusia, Inggris, Belanda, Jerman, Spanyol dan yang lainnya. Di Amerika Serikat, Tagore populer saat memberikan kuliah (khususnya pada masa 1916-1917) yang banyak dihadiri pengunjung.
Karya Tagore yang diterjemahkan kedalam bahasa Spanyol membawa pengaruh bagi figur-figur sastra Spanyol, termasuk diantaranya Chileans Pablo Neruda dan Gabriela Mistral, sastrawan Meksiko, Octavio Paz dan sastrawan berkebangsaan Spanyol José Ortega y Gasset, Zenobia Camprubí dan Juan Ramón Jiménez. Antara tahun 1914 dan 1922, pasangan suami istri Jiménez-Camprubí menterjemahkan tidak kurang dari duapuluh dua buah karya Tagore dari bahasa Inggris ke bahasa Spanyol.

Pengaruh Tagore, tidak hanya berkisar di Eropa dan Amerika, di Indonesia pun Tagore dikenal dan di kota Surakarta, salah satu ruas jalan diberi nama sang maestro. Pengaruh-pengaruh Tagore dalam dunia pendidikan, banyak diadopsi oleh para pejuang kemanusiaan, termasuk salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Shantiniketan menjadi sumber inspirasi beliau dalam mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Selain itu, beranjak dari karya besarnya pula, taman pendidikan Shantiniketan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam sistem pelaksanaan pendidikan di Pondok Gontor selain Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, Pondok Syanggit di Afrika Utara, Universitas Aligarh di India.

Tagore meninggalkan warisan yang teramat besar pada dunia, tidak hanya dengan karya-karya sastra, seni dan budaya, namun pemikiran, filsafat dan kehidupannya terus berkembang dan menjadi sumber inspirasi bagi dunia dan umat manusia.