Sunday, 1 November 2009

Sajak Panembahan Senopati Menjelang Ajal



Sajak Panembahan Senopati Menjelang Ajal

By.Anton Djakarta

Dengung gung, wanita selir mondar mandir
di luar kamar sang panembahan sepuluh penembang menyanyikan bait-bait
tentang ruh yang akan pisah dari raga, tentang Megatruh yang berlarian
dalam langit senja, petani-petani mengosongkan ladang dan padi-padi baru saja mekar
seribu kyai menderaskan langit dengan doa
tentang panjangnya umur sang Panembahan, Pasar-pasar sepi seperti mati
Macan hitam berulang kali melompati cungkup-cungkup pemakaman
tanda kematian sebentar lagi mengetuk pintu jati
dan sungai-sungai mengeringkan air, rumput tumbuh dan angin mendesai dalam sore yang pasrah

Malam datang
Sang Panembahan menjelang ajal

Mata kuyu berkeliaran memutar-mutar dalam gelap
kehidupan ditandai pada bintang-bintang yang menjadi pedoman petani membalik-balikkan tanah sawah
pada nelayan yang mengatur jarak untuk melaut
pada para resi dan kyai yang mencoba menghitung tanggal berpuasa
bintang terang yang ada diatas tinggi kepala penguasa Mataram, bintang terang para Raja

Bupati-bupati berkumpul di balai sewaka
Para senopati mengatur kuda-kuda upacara
dan dayang-dayang memijati para pangeran yang datang dari utara
Sang Panembahan sebentar lagi menemui Tuhan Kuasa
Mataram bergelut dengan maut pada Raja yang berhati sepi

Sang Panembahan berdiri dalam sakit yang melayukan badan, dan tulang gemeretak dengan gigi separuh ompong ia melirih :

O, malam penuh bintang aku mohon maaf bila menyakiti kehidupan
aku salah dalam kediaman, aku rasai hidup bagaikan menaklukan kebohongan dan menciptakan penipuan demi Jawa ..........Demi Jawa.
Akulah yang diwarisi untuk menaklukan Jawa, dalam laut dalam darat, semua pelabuhan dan Pasar-Pasar, semua kapal-kapal, pedagang-pedagang dari Cina, Cempa, Kalingga, Haryya, Kmir dan Arab...aku ingin menaklukan semua pesisir utara Jawa agar menjadi benteng kuat diselatan dunia.
Aku taklukkan semua bupati pedalaman, para kanjeng pangeran dan semua wilayah di timur Jawa.
Inilah aku penerus kebesaran tanah Jawa
akulah sang Panembahan yang hidup dengan dupa-dupa dan dianugerahi kekuatan seribu dewa

Pasar Lor sudah menjadi perkabaran pertama dari perjuangan menundukkan Jawa
selaksa serdadu kuda menjaga batas-batas penaklukkan
dan mimpi belum berhenti dari terusan demi terusan
satu layang mati dan seribu layang diterbangkan untuk mengabarkan bahwa di Jawa sudah ada kekuatan.

Keris sakti ini sudah kutaruh di atas meja duka.

Tapi aku sakit, diriku sakit bukan badan ini yang hanya meriang
tapi jiwaku kosong, hidupku hampa
terbayang wajah seratus kematian yang telah aku sebabkan
wajah janda-janda dan anak kecil yang kehilangan bapaknya
muka-muka tanah kurus diterpa kelaparan kerna serdadu menghanguskan lumbung-lumbung dan membunuhi petani
aku layu mengenangkan, sebagai pembawa kematian

Dupa ini kuhirup pada mata yang mati

Karenaku,
Kapal-kapal dihancurkan, perdagangan mati tanpa kuasa
saudagar-saudagar ditelan dan perdagangan pindah ke bumi utara
Jawa....Jawa
demi dirimu aku menyiksa kehidupan
ladang-ladang dan pelabuhan
sudah aku buat seperti macan tua yang hanya makan belalang
tak ada kemampuan untuk melawan
karena akulah Sang Panembahan

Kematian datang, dentaman gamelan dan jiwa sebentar lagi pisah badan
biarlah aku sendiri
mengenangkan sepi, membayangkan wajah Mangir yang pecah kuinjak diatas watu gilang
dengkok sudah tahtaku terhantam wajah kuat sang penguasa macan
tapi akulah Raja Jawa
yang menjalani hidup dengan takdir
seperti aku mampu menghabisi Bendoro Pangeran Penangsang
kudanya gagak rimang menyembah padaku, dan sang Pangeran tersungkur memegangi usus
ia mati dan Jawa menjadi hidup kembali

Jawa...Jawa
demi dirimu aku menyiksa kehidupan

1 comment:

Mohamad Kholil said...

Pada gambar di atas, ada tulisan di kiri bawah.
Tulisan apa itu?