Anakku, Kamu selalu dipikiranku…
Sebentar lagi ibu menghadapi sesuatu yang amat mengerikan, yang membayangkannyapun ibu sudah tidak sanggup. Ibu akan dipancung, Nak….seperti yang sudah ibu kabarkan dalam surat-surat sebelumnya.
Coba kamu bayangkan, kepalamu tegak memandang sesuatu, disuruh menunduk dan kemudian pedang tajam dengan gerakan amat cepat secepat kilat menekak kepala Ibu, lalu kepala Ibu itu menggelundung sejauh beberapa meter, saking kerasnya tebasan pedang itu. Membayangkannya saja aku ngeri Nak,…….
Tapi itulah yang kini ibu hadapi, setiap pagi aku membayangkan kapan hari ini berakhir, sering ibu bertanya “kenapa ibu bisa menghadapi soal-soal ini” tapi sekarang pertanyaan ibu berhenti. Ibu pasrah kepada Allah swt sang pencipta ibu, bila kemudian ibu dimatikan tanpa keikhlasan dari diri ibu sendiri, itu juga akan Allah swt balas dalam batas-batas yang Ia mengerti. Hanya kepasrahan ini yang ibu punya, tidak lagi harapan…..
Yah, harapan. Dulu ibu masih punya itu. Ibu masih punya harapan agar engkau bisa makan yang layak, tidak makan nasi aking lagi, tidak makan beras murah, tidak meminta-minta tetangga seperti dulu. Aku ingin melihatmu sekolah, menaikkan derajat kita, agar kamu tidak menjadi orang bodoh seperti ibu. Kamu bekerja dengan amat terhormat, dipandang orang, tidak dihina kiri kanan. Itulah harapan Ibu berani untuk menantang lautan bekerja di tempat yang panas ini, dimana watak orang-orangnya Ibu tidak mengerti.
Ibu tau negeri kita kaya, Nak…saat Ibu melihat negeri dimana ibu bekerja semuanya padang pasir, tidak sesubur tanah kita. Tidak seindah tanah kita, orang-orangnya tidak seramah orang kita yang gemar menolong, yang bisa guyub dan murah senyum. Tapi Ibu harus hadapi ini Nak, sebuah negeri yang amat gelap, tidak ibu mengerti bagaimana mereka bersikap agar ibu bisa membayar uang sekolah yang semakin hari semakin mahal.
Tapi kejadian itu membuat Ibu berada disini, pada sebuah penjara yang gelap dan tiap hari menanti kapan Ibu akan ditebas kepalanya.
Sekarang Ibu baik-baik saja disini, entah esok, entah kemudian waktu. Semalam ibu berdo’a andai saja kepala Ibu ditebas, Allah swt akan membalas kebaikan, Allah swt akan membalasnya dengan memakmurkan Indonesia, jika makmur Nak, masa depan bangsa kita tidak akan lagi terhina seperti Ibu, menjadi Babu di negeri orang, dihinakan derajatnya, dihinakan rasa kemanusiaannya. Sekolah bisa gratis, kesehatan gratis tidak seperti waktu nenekmu meninggal kita tidak punya apa-apa lagi buat biaya kesehatan, makanan tidak mahal. Semoga Ibu adalah yang terakhir dikorbankan di negeri ini, dikorbankan karena Ibu miskin…………..
Sekarang sudah malam Nak, Ibu tidur dulu. Ada hal yang ibu sukai ketika akan tidur, ibu berdo’a akan mimpi senang, karena hanya tidur ibu merasa bisa keluar dari penjara berjeruji ini, melepaskan ketakutan ibu saat kepala ibu ditebas. Sudah ya, Nak…..semoga kau baik-baik saja disana, maafkan Ibu bila tidak lagi mampu mengirimkan uang untuk makan dan sekolahmu. Ibu doakan engkau akan bahagia.
Salam Ibumu…………
Sebentar lagi ibu menghadapi sesuatu yang amat mengerikan, yang membayangkannyapun ibu sudah tidak sanggup. Ibu akan dipancung, Nak….seperti yang sudah ibu kabarkan dalam surat-surat sebelumnya.
Coba kamu bayangkan, kepalamu tegak memandang sesuatu, disuruh menunduk dan kemudian pedang tajam dengan gerakan amat cepat secepat kilat menekak kepala Ibu, lalu kepala Ibu itu menggelundung sejauh beberapa meter, saking kerasnya tebasan pedang itu. Membayangkannya saja aku ngeri Nak,…….
Tapi itulah yang kini ibu hadapi, setiap pagi aku membayangkan kapan hari ini berakhir, sering ibu bertanya “kenapa ibu bisa menghadapi soal-soal ini” tapi sekarang pertanyaan ibu berhenti. Ibu pasrah kepada Allah swt sang pencipta ibu, bila kemudian ibu dimatikan tanpa keikhlasan dari diri ibu sendiri, itu juga akan Allah swt balas dalam batas-batas yang Ia mengerti. Hanya kepasrahan ini yang ibu punya, tidak lagi harapan…..
Yah, harapan. Dulu ibu masih punya itu. Ibu masih punya harapan agar engkau bisa makan yang layak, tidak makan nasi aking lagi, tidak makan beras murah, tidak meminta-minta tetangga seperti dulu. Aku ingin melihatmu sekolah, menaikkan derajat kita, agar kamu tidak menjadi orang bodoh seperti ibu. Kamu bekerja dengan amat terhormat, dipandang orang, tidak dihina kiri kanan. Itulah harapan Ibu berani untuk menantang lautan bekerja di tempat yang panas ini, dimana watak orang-orangnya Ibu tidak mengerti.
Ibu tau negeri kita kaya, Nak…saat Ibu melihat negeri dimana ibu bekerja semuanya padang pasir, tidak sesubur tanah kita. Tidak seindah tanah kita, orang-orangnya tidak seramah orang kita yang gemar menolong, yang bisa guyub dan murah senyum. Tapi Ibu harus hadapi ini Nak, sebuah negeri yang amat gelap, tidak ibu mengerti bagaimana mereka bersikap agar ibu bisa membayar uang sekolah yang semakin hari semakin mahal.
Tapi kejadian itu membuat Ibu berada disini, pada sebuah penjara yang gelap dan tiap hari menanti kapan Ibu akan ditebas kepalanya.
Sekarang Ibu baik-baik saja disini, entah esok, entah kemudian waktu. Semalam ibu berdo’a andai saja kepala Ibu ditebas, Allah swt akan membalas kebaikan, Allah swt akan membalasnya dengan memakmurkan Indonesia, jika makmur Nak, masa depan bangsa kita tidak akan lagi terhina seperti Ibu, menjadi Babu di negeri orang, dihinakan derajatnya, dihinakan rasa kemanusiaannya. Sekolah bisa gratis, kesehatan gratis tidak seperti waktu nenekmu meninggal kita tidak punya apa-apa lagi buat biaya kesehatan, makanan tidak mahal. Semoga Ibu adalah yang terakhir dikorbankan di negeri ini, dikorbankan karena Ibu miskin…………..
Sekarang sudah malam Nak, Ibu tidur dulu. Ada hal yang ibu sukai ketika akan tidur, ibu berdo’a akan mimpi senang, karena hanya tidur ibu merasa bisa keluar dari penjara berjeruji ini, melepaskan ketakutan ibu saat kepala ibu ditebas. Sudah ya, Nak…..semoga kau baik-baik saja disana, maafkan Ibu bila tidak lagi mampu mengirimkan uang untuk makan dan sekolahmu. Ibu doakan engkau akan bahagia.
Salam Ibumu…………