Friday 2 December 2011

Kita dibesarkan dalam sejarah kekerasan yang sama


Bangsa ini sudah mengalami kekerasan politik paling biadab di muka bumi, demi kelangsungan ekonomi Amerika Serikat dan Inggris. Orang-orang Jawa mengalami luka batin paling dalam terhadap kekerasan tentara ketika Gestapu 65, mereka digebuki oleh pemuda-pemuda pro tentara menyeret orang-orang yang dianggap pro PKI atau pendukung Sukarno, mereka diikat dan dibuang ke jurang atau kali-kali, seluruh sungai-sungai dari Klaten sampai Surabaya banjir darah. Keluarga-keluarga terpecah, lapangan-lapangan jadi eksekusi pembunuhan yang mengerikan, Ribuan intelektual kita dihina kemanusiaannya dibuang ke Pulau Buru. Demi apa? demi hegemoni AS.

The Moment of Truth Sukarno, puncak dari totalitas kebenaran Sukarno juga berada pada titik Gestapu 65 ini, ketika seorang wartawan Belanda bernama Willem Oltmans berucap pada Sukarno "Sudahlah Bapak bubarkan saja PKI" Sukarno menatap Willem Oltmans, dan memegang tangannya "Wim, kamu kira aku tak tau yang terjadi sekarang, aku belum ucapkan PKI dibubarkan saja sudah ribuan dibunuh, apalagi kalau aku keluarkan ucapan bubarkan PKI". Inilah kebesaran Sukarno, ia membiarkan dirinya dikutuk oleh banyak orang tapi ia tahu jikalau PKI dibubarkan pembantaian akan menjadi-jadi, ini akan mengorbankan kepentingan nasional, apa itu : PERSATUAN..... Sukarno akhirnya tahu ia harus mati untuk itu. Tapi ia mati dengan totalitas kebenaran yang dipegangnya sejak ia mulai memasuki gelanggang politik sebagai panggung idealismenya : PERSATUAN NASIONAL sebagai modal untuk membentuk KeIndonesiaan yang tidak menindas. Di tangan Sukarno kesatuan bisa terbentuk tanpa keluar darah, seluruh pemberontakan ia maafkan bila kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Pembantaian-pembantaian demi kekuasaan investasi asing bukan saja dialami orang Papua sekarang, tapi juga dialami orang Aceh, dialami orang Sulawesi, di Bali ribuan orang dibunuh atas nama konflik PKI-PNI. Hak-hak tanah adat jadi rebutan, beberapa keturunan Cina-Bali masih merasakan perih itu. Kita sebagai anak bangsa dibesarkan oleh tragedi seperti apa yang dialami Papua.

Jadi tidak benar apabila dikatakan Jawa menjajah Papua, Jakarta menjajah Papua. Kondisi sekarang ini setelah kematian Sukarno kita memang dijajah. Jangan sampai nanti Papua lepas generasi muda sudah kehilangan modal utamanya. Amerika Serikat sudah melihat kecenderungan anak-anak muda Indonesia sekarang lebih ke arah Sosialisme, mereka gandrung dengan Hugo Chavez, Evo Moralez, atau Ahmadinedjad. Anak-anak muda sekarang sudah bebas membaca buku-buku Tan Malaka, sudah bebas mendengarkan pidato-pidato Sukarno, mereka tidak lagi dibutakan sejarah. Mereka membuat film-film tentang kekayaan freeport, mereka menggugat ketidakadilan.

Mereka inilah yang akan tumbuh pada lima atau sepuluh tahun mendatang, mengancam keamanan investasi Amerika Serikat, anak-anak muda sekarang beda dengan kelompok muda dididikan Orde Baru, mereka lahir dari situasi kritis dan penuh akses informasi. -AS mengantisipasi bila tidak ada gerakan politik yang bisa mengamankan investasi AS di Papua, maka Nasionalisasi perusahaan asing dan tambang-tambang asing tinggal tunggu waktu. -Kekerasan di Papua, bukanlah kekerasan Jawa, bukanlah kekerasan rakyat Indonesia terhadap orang Papua. Tapi kekerasan diluar daya jangkau kekuasaan rakyat ini yang dikebiri pemerintahan boneka.

Papua adalah bagian dari Indonesia, rakyat merasa satu seperti berteriak saat Rully Nere menggocek bola sampai Okto, mereka adalah satu. Tapi Pemerintahan yang sekarang membuktikan dirinya tidak berani, memamerkan diri seolah jadi pemerintahan satelit Amerika. Bila memang mau referendum itu harus mengikuti seluruh rakyat Indonesia, karena rakyat inilah pemilik sah tanah air Indonesia, dari Sabang Sampai Merakuke.

Kita dibesarkan dalam sejarah kekerasan yang sama, dan sudah jadi jalan hidup anak muda untuk membebaskan sejarah penjajahan ekonomi. Demi masa depan Indonesia ditengah kekerasan yang terjadi sekarang, tetap usahakan batin orang-orang Irian Barat menjadi satu batin dengan rakyat Indonesia.

No comments: