Wednesday, 20 April 2011

Membongkar apa yang terjadi di balik surat Kartini





Saat itu tahun 1880-an menjelang pergantian abad 20. Pemikiran Multatuli menjadi dentuman rasa berdosa orang Belanda bahwa mereka bisa kaya raya diatas bangkai orang-orang Hindia yang dipaksa kerja rodi untuk membangun infrastruktur jalan dan perkebunan-perkebunan swasta di seluruh tanah Sumatera dan Jawa. Yang menjadi perhatian disini adalah program akumulasi modal perkebunan adalah kerjaan kelompok liberal, kemudian setelah kaum liberal kehilangan suara pada tahun 1880-an mereka malah seakan-akan menyalahkan kelompok konservatif terhadap kekejiannya sendiri di masa lalu. Kaum liberal kemudian menggunakan tangan kelompok Sosialis yang sedang naik daun.

Pertarungan di Parlemen Belanda yang kemudian melahirkan banyak nama di harian-harian Belanda macam Van Dedem, Van Kol ataupun Van Deventer menjadikan sebuah sodoran baru perlawanan politik kelompok liberal untuk membangun benteng baru yaitu : "Akumulasi Budaya". Kaum liberal menganggap kelompok konservatif secara perlahan memenangkan akumulasi modal setelah mendapat dukungan angkatan bersenjata dan keluarga kerajaan, sementara kelompok liberal mendapatkan penghinaan atas suara Multatuli dari sinilah kemudian Kartini menjadi besar karena pertarungan politik di parlemen Belanda antara kelompok liberal garis keras yang didukung kelompok sosialis dengan kelompok konservatif.

Kegelisahan Kartini adalah kegelisahan penasaran ingin tau, bukan kegelisahan perlawanan. Ia hanya bertanya dalam surat-suratnya tentang diskriminasi-diskriminasi yang terjadi. Pemikiran Kartini belum sampai pada pemahaman bahwa yang terjadi atas diskriminasi seksual wanita adalah persoalan diskriminasi modal yang menggunakan kekerasan rasial sebagai program politik kolonial. Kartini tanpa sadar merindukan peradaban kolonial tersebut, bahwa wanita Indonesia harus masuk ke dalam sistem pendidikan barat agar mengerti bagaimana dunia bekerja tanpa sedikitpun ia mengeritik soal modal yang menjadi landasan peradaban masyarakat. Di titik persoalan lama, Kartini menggugat tentang kekolotan agama, kekerasan struktur feodal Jawa terhadap penindasan elite dengan bawahan dan segala bentuk diskriminasi sosial yang menghancurkan perempuan dan perasaan alam bawah sadar anak-anak, tapi Kartini belum sadar bahwa yang membuat semua itu adalah sistem permodalan asing bernama Kolonialisme.

Di satu pihak kegelisahan Kartini dimanfaatkan kelompok liberal untuk menghardik kelompok konservatif dan ini menghasilkan kemenangan luar biasa, modal budaya bisa diraih kelompok liberal untuk memperluas akumulasi modal mereka, dengan masuknya sistem pendidikan barat maka kelompok liberal akan mendapatkan sebarisan tenaga terdidik yang bisa dibayar murah dan kelak dalam pemikiran mereka akan diciptakan cendikiawan creol yang status sosialnya disamakan dengan orang Belanda sehingga ketika Hindia disatu masa berdiri sendiri maka kaum creol terdidik inilah yang akan memegang Hindia.

Di tahun 1920-an ketika nama Kartini naik daun setelah kematiannya yang tragis dan Pane menerjemahkan surat-suratnya, nama Kartini kemudian digunakan oleh kaum pergerakan untuk membangun saluran suara perempuan. Disini surat-surat kartini tidak lagi ditafsirkan sekedar gugatan wanita Jawa terhadap diskriminasi seksual tetapi oleh kaum pergerakan dikonversi menjadi gugatan modal. Dan Sukarno-lah yang menguasai ini dengan baik, Sukarno selalu mendengung-dengungkan apa yang ditulis dalam surat Kartini adalah sebuah perlawanan perempuan terhadap sistem, sebuah pembongkaran sistematis. Konversi pemikiran Kartini yang penasaran ingin tau saja, menjadi Kartini yang menggugat peradaban sepenuhnya adalah hasil kerja politik Sukarno. Disini Sukarno mampu membangun imajinasi seorang Ibu yang berpikiran maha raksasa mampu menandingi pejuang-pejuang emansipasi Amerika atau Eropa yang sedang naik daun di tahun 20-an.

Sampai pada masa Sukarno berkuasa citra Kartini yang Rebel menjadi semakin sosialistik, apalagi saat anak Kartini. Kolonel Susalit terlibat dalam peristiwa Madiun 1948 adalah Sukarno yang menyelamatkannya sendiri demi sebuah citra Ibu Bangsa. Sukarno menggambarkan wanita Indonesia adalah seorang Kartini bertangan Sarinah, seorang berpikiran bangsawan tapi bertindak sebagai wanita yang mau masuk ke dalam lumpur masyarakat seperti Sarinah. Citra Kartini Rebel inilah yang kemudian dipatahkan oleh Suharto.

Di jaman Suharto surat Kartini tidak lagi menjadi penting, tapi Baju Kartini menjadi sebuah simbol modal luar biasa untuk menjadikan wanita Indonesia masuk ke dalam sistem Suhartorian. Semua lini harus terkooptasi ke dalam Sistem Suhartorian termasuk Kartini itu sendiri, citra Kartini yang rebel menurut imajinasi Sukarno menjadi Kartini yang bangsawan Jawa, bercitra anggun dan berbakti kepada suami, Kartini yang enggan berpikiran memberontak, yang tak paham persoalan-persoalan buruh, yang tak sensitif terhadap ketidakadilan. Kartini dalam konteks Suhartorian menjadi Kartini dengan alam kenyamanan, citra Kartini dikembalikan ke Keraton Kadipaten Mayong Jepara, menjadi sebuah figur yang lembut, selembut ibu-ibu dharma wanita.


ANTON, 21 April 2011.