Thursday, 24 April 2008

PARTAI PARLEMEN INDONESIA (PPI)

PARTAI PARLEMEN INDONESIA (PPI)

Alkisah sebagai sebuah bentuk kompromi antara pemerintah Hindia Belanda dan kaum pergerakan nasional maka berdirilah Volksraad atau Dewan Rakyat di tahun 1916. Dewan Rakyat ini merupakan kelanjutan politik logis dari Dewan Haminte alias Dewan Daerah yang berdiri tahun 1903 dimana Dewan Daerah ini tidak mencerminkan suara rakyat karena hanya merupakan perwakilan boneka-boneka kolonialis semata. Tidak jauh beda dengan Dewan Daerah, Volksraad sendiri juga hanyalah tempat cari duit beberapa gelintir ‘de functionaires’ dari Istana Gambir. Hanya secuil yang bekerja untuk suara rakyat, dan kita mengenalnya dua nama : MH Thamrin dan Soetardjo. Masuknya politisi-politisi dalam Dewan Rakyat itu tak lepas dari perubahan besar politik Hindia Belanda yang agak kendur terhadap gerakan rakyat tahun 1922. Namun kemudian mengeras ketika Colijn menjadi Menteri Urusan Jajahan, maka konsepsi kesatuan dalam Dewan Rakyat serta merta hilang dengan ucapannya yang terkenal dalam ‘Konsepsi Colijn’ yang sangat dihapal luar kepala oleh orang pergerakan dan dijadikan antitesis dari perjuangan orang Pergerakan “Bahwa Indonesia sebagai satu kesatuan itu tidak ada, kesatuan-kesatuan yang konkrit adalah ‘propinsi-propinsi kepulauan’ (eiland provincies) seperti di Jawa dan Sumatera. (Konsepsi devide et impera ini bisa anda baca pada karangan Colijn, Koloniale Vragstukken van heden en morgen).

Ucapan Colijn inilah yang memperkuat perlawanan terhadap kolonialisme, dimana setelah hancurnya gerakan PKI kemudian Sukarno mengisi tempat setelah ia bergulat pikiran dengan orang-orang pergerakan di Bandung, dimana semuanya menandatangani pendirian PNI dan hanya dokter Tjipto yang menolak dengan alasan PNI bisa dijadikan alasan untuk penghancuran kaum pergerakan. Kemudian sejarah bercerita pada kita bahwa Sukarno ditangkap di Yogyakarta pada suatu malam buta oleh Polisi Hindia Belanda dan ditahan di Banceuy yang kemudian berkelana dari satu tempat tahanan lain ke tempat tahanan lain, dari Flores sampai Bengkulu. MH Thamrin kemudian menjadi macan podium yang menuntut pembebasan Sukarno, dan MH Thamrin menjadi incaran, konon MH Thamrin kemudian dibunuh oleh intel Hindia Belanda, dimana anak angkat MH Thamrin, (yang kelak menjadi isteri Pramoedya Ananta Toer- pernah bersaksi). Di tahun 1936 ketika kekuasaan Hindia Belanda mencapai puncaknya dan ada aroma fasisme dalam tubuh Hindia Belanda, Soetardjo mencari jalan kompromi. Dengan mengeluarkan Petisi Soetardjo yang menghendaki adanya suatu ‘otonomi diperluas’ dengan tetap mengakui Hindia Belanda. Petisi yang ditandatangani oleh I.J Kasimo, Ratulangi, Datuk Temanggoeng, dan Kwo Kwat Tiong akhirnya menjadi bahan guyonan bagi kaum pergerakan non kooperatif. Petisi Soetardjo dinilai sebagai pernyataan tidak jantan terhadap situasi pergerakan. Jelas Sukarno di tanah pembuangannya menolak.

Ketika Indonesia merdeka tahun 1945. Sjahrir langsung bergerak cepat, ia tahu bahwa ia tidak mungkin menjadi orang nomor satu dalam pemerintahan Republik, tapi ia bisa menjadi otaknya. Maka dengan taktik politiknya yang cerdas ia memelintir negara dengan dasar Presidensial menjadi berbasis Parlementer dan dia menjadi Perdana Menteri. Oleh kaum PNI gerakan Sjahrir ini diduga merupakan ‘Silent Coup’ terhadap Sukarno. Terlepas dari silent coup Sjahrir, namun pembentukan Parlemen darurat bernama KNIP menjadi sebuah lembaga yang solid dan bisa menjatuhkan pemerintahan, setidak-tidaknya Indonesia tidak terjerumus menjadi negara yang dipimpin diktator dan menjadi penyeimbang irama politik Indonesia yang naik turun.

Ketika Belanda menyatakan kalah, gara-gara ancaman Amerika akan menutup dompet Marshall Plan-nya kalau Belanda tidak menarik pasukannya di Indonesia, maka usai sudah masa Parlemen darurat. Indonesia berusaha membentuk parlemen yang mencerminkan kekuatan rakyat. Sebelum Pemilu 1955, koalisi Masjumi-PSI-PNI menjadi segitiga besi yang sangat kuat di tubuh parlemen, kemudian Masjumi pecah karena NU menyatakan keluar dari barisan Masjumi dan membentuk partai sendiri. Tahun 1955 Pemilu diadakan, dalam Pemilu kali ini PSI dipermalukan namun jelas PSI memiliki mutunya karena dengan tidak menguasai massa-rakyat PSI justru menguasai alam pemikiran elite, bahkan kejatuhan Sukarno kelak di tahun 1965 tak lepas dari rencana besar orang-orang eks PSI dari fraksi yang sangat anti Sukarno. Pada tahun 1955-1959 ada masanya rapat-rapat Parlemen berlangsung keras, namun bersuasana intelektual. DN Aidit menyerang Masjumi karena masalah PRRI/Permesta dan mengangkat kembali kasus Madiun, hingga perseteruan ini dibawa sampai ke Pengadilan. Tugas besar Parlemen setelah Pemilu 1955 adalah menyempurnakan UUD 1945 yang diakui merupakan UUD yang dibuat dalam kondisi darurat dan terburu-buru, namun penyusunannya deadlock pada dasar negara. Satu kubu dibawah komando Natsir menghendaki berdirinya sebuah negara berdasarkan negara Islam, lain pihak menghendaki dasar negara Pancasila. Gong dari perumusan ini justru bukan dari voting anggota parlemen tapi dari mulut Sukarno, yang menyatakan parlemen dibubarkan. Pembubaran parlemen ini mengakhiri kisah-kisah perseteruan Natsir-Aidit, yang berlangsung dalam suasana intelektualitas dan bersikap dewasa. Konon setelah mereka berdebat sampai berbusa-busa mereka berdua selalu tertawa di ruang makan dan makan soto bersama-sama, ini beda ceritanya dengan politisi-politisi di parlemen jaman sekarang.

Era Suharto parlemen hanyalah sebuah gudang besar berisi orang-orang yang kerjanya sebagai ‘tukang stempel’ jelas tukang stempel beneran di Jalan Bendungan Hilir, Jakarta sana jauh lebih terhormat kapasitas daya hidupnya ketimbang tukang stempel parlemen jaman Suharto. Di jaman inilah keputusan politik selalu mengenal ‘keputusan bulat’ tidak lonjong, tidak pula jajaran genjang.

Suharto minggir dalam sejarah, muncullah Parlemen yang agak sedikit berkuasa. Bermula dari Parlemen bergaya Taman Kanak-Kanak di era Gus Dur, sampai Parlemen doyan duit seperti yang terungkap dari banyak kasus mulai dari percaloan Haji model Azzidin sampai calo keputusan tanah hutan lindung gaya Al Amin. Parlemen bukan lagi sebuah model sempurna perwakilan suara rakyat, tapi mirip Bursa Efek yang dagangannya regulasi-regulasi dimana kepentingan rakyat hanya bernasib tergantung segepok kantong berwarna coklat berisi duit mulai dari puluhan juta sampai milyaran. Parlemen dalam dimensi politik sekarang bukan lagi merupakan sebuah idee dari intervensi rakyat terhadap negara, tapi lebih mirip sebuah Partai Politik tersendiri. Komunitas Parlemen yang berasal dari partai-partai miskin ideologi, bergabung menjadi satu di Senayan dan membentuk Partainya sendiri, namanya Partai Parlemen Indonesia. Tujuannya satu : Bagaimana menyejahterakan keluarga anggota parlemen masing-masing, selamat menilai sendiri kapasitas parlemen kita.


ANTON

No comments: