Menjadi Seorang Bintang
Definisi seorang bintang atau selebritis sekarang sudah benar-benar rancu, apakah mereka itu pekerja seni atau mereka adalah objek yang dikerjain atas nama seni?. Tadi siang setelah makan siang saya melihat salah satu shooting sinetron di depan sebuah gedung perkantoran. Saya melihat salah satu artis yang wajahnya nggak asing lagi. Lama saya perhatikan tingkah dia. Entah kenapa ingatan saya melayang ke 25 tahun yang lalu....tahun 1983-an. Saat itu usia saya nggak lebih dari 9 tahun. Di depan rumah saya di bilangan Buncit, Jakarta Selatan ada sebuah Madrasah, ya sebuah sekolah Islam yang banyak juga teman saya sekelas dari SD Inpres sekolah siang disana. Adalah kebiasaan saya setelah pulang sekolah mencari koran Pos Kota pada sebuah kios rokok di depan pagar Madrasah untuk bisa baca cerita Ali Oncom. Setelah selesai baca Cergam Poskota saya pergi ke tukang jajanan di dalam sekolah dengan mbrobos pager sekolahan nyari somay atau tahu isi setelah itu saya ke dalam sekolahan untuk godain teman-teman saya yang ikut sekolah siang atau ngeliat anak-anak Madrasah latihan drumband. Teman-teman saya biasanya belajar ngaji atau tajwid di Ibtidaiyah. Sementara mungkin karena basis pendidikan agama di keluarga nggak begitu ketat jadi saya nggak disekolahkan di Madrasah, sepulang sekolah kerjaan saya keluyuran biasanya pulang nyaris maghrib, padahal setelah pulang sekolah biasanya ada guru les privat Matematika yang dateng ke rumah...tapi saya lebih seneng maen ketimbang belajar. Ada satu kegiatan yang menarik di Madrasah itu yang sungguh saya suka. Dulu saya tidak tahu namanya apa? Kelak beberapa tahun kemudian saya ngeh...kegiatan itu bernama Teater.
Yang saya suka dari latihan teater itu adalah suasana disiplin yang dibentuk oleh sutradaranya. Pernah di suatu siang yang terik para pemain teater dijemur berjam-jam. Saya pikir ini latihan drama atau mau bentuk serdadu perang...? Kemudian setiap orang diajari caranya mimik menangis, tertawa terbahak-bahak, murka, melamun sedih dan menahan amarah, latihan itu juga berjam-jam bahkan sampai menjelang malam. Tapi ada satu hal yang saya paling suka adalah memperhatikan tingkah laku sutradaranya yang super galak...(Banpol Mampang kalah galak kale dibanding dia)...Biasanya sutradara itu memegang balok kayu seukuran lengan atau disampingnya ada batu bata....setiap ada adegan yang dianggap salah, sutradara itu melemparkan balok atau batu bata. Setiap bentakannya terdengar keras. Awalnya saya takut melihat gaya sutradara sinting itu. Tapi lama kelamaan saya suka, karena tindakan sutradara itu justru membentuk karakter pemain.
Dengan latihan yang sedemikian berat, setahu saya teater madrasah itu cuman manggung di panggung 17-agustusan dan kalah menarik ketimbang lawakan. Dulu Madrasah itu punya pelawak terkenal dan bukan maen lucunya. Saya suka tertawa terpingkal-pingkal kalo seorang pemain yang saya lupa namanya itu muncul. Lemparan joke-nya cepet dan ngumpannya bagus. Saya kerap membandingkan dia dengan pelawak Komar Tom Tam Grup, yang emang jaya di tahun 80-an selain pelawak favorit saya U’uk dari Jayakarta Grup. Kembali ke teater tadi, saya melihat ada kepuasan batin dari anak-anak yang belajar teater setelah memainkan peran seni mereka. Ada lagi teater di tahun 80-an yang saya suka, namanya teater Gandrik. Dua tokohnya yang terkenal saat itu adalah Butet Kartaredjasa dan Den Baguse Ngarso, pernah teater itu disiarkan di TVRI namun hanya beberapa kali setelah itu nggak ada siaran lagi. Yang masih menancap di kepala saya adalah pementasan teater Panembahan Reso, yang dimainkan teater-nya WS Rendra. Saya tahu bukan karena saya sempat menontonnya tapi saya suka karena saya pernah robekin poster iklannya di Aldiron Plasa, Blok M. Saat itu saya lagi nyari video “Pendekar Ulat Sutera” yang maen David Chiang. Nah, pas deket tangga jalan (eskalator), saya liat poster Panembahan Reso keren banget. Pas Satpam nggak ada, poster itu saya cabut pelan-pelan dan saya pajang di kamar. Gaya WS Rendra di poster itu keren banget dan figurnya selalu saya fantasikan sama dengan Panembahan Senopati wong agung soko Mataram.
Beberapa tahun kemudian saya kuliah. Ada dua teman kuliah saya yang emang cari makannya di dunia seni. Salah seorang kini kerap muncul di TV dan satu orangnya lagi entah kemana. Walaupun secara narsis sayalah pelawak sesungguhnya di kampus dan paling populer di lima angkatan/tahun kelas, namun karena saya nggak niat cari duit jadi kedua teman saya itu yang maju bener-bener menggeluti bidang seni. Saya tahu banget kerja keras mereka, tiap malam berusaha tampil di panggung seni Ancol. Mereka bikin skenario lawakan dan bagi saya lawakan mereka nggak ada lucu-lucunya. Tapi mereka sadar ketidaklucuan mereka ditutupi dengan kemahiran mereka bermain musik. Mereka juga sadar kalo kalah lucu dengan saya, jadi kalau mereka lagi ngelawak di depan temen-temen pas saya dateng mereka langsung ngacir. Bertahun-tahun mereka merintis karir dan itu bukan perkara mudah. Banyak hal dikorbankan.....
Dan mata saya kembali ke anak muda yang jagoan sinetron itu. Jujur saja saya tidak melihat watak seorang pekerja seni di wajahnya. Yang saya lihat adalah etalase, yang saya lihat adalah sebuah barang dagangan nggak lebih dari guci yang dijual di Rawasari sana, wajah tololnya menunjukkan ia tidak mengerti apa-apa tentang dunia akting, dan ia dimasukkan ke dalam sebuah industri dimana letak karakternya hanya sebuah baut yang tidak ada artinya. Ada pemain sinetron yang terkenal di era tahun 1970/80-an dan saya sangat suka sekali aktingnya, namanya Maruli Sitompul...orang Batak dia, tapi fasih berdialek dengan logat Jawa-Yogya. Kalau dia bermain sebagai seorang ayah yang keras kepala seperti di film “Dibalik Kelambu” atau seorang kepala desa yang berwajah tenteram, atau juga seorang dukun baik di film “Akibat Guna-Guna Isteri Muda” dia bisa saja....aktingnya jempolan dan bagi saya sekelas dengan Robert De Niro atau Al Pacino. Begitu juga Roy Marten dengan gaya bengalnya atau Slamet Rahardjo yang aktingnya bisa membuat dunia seakan berjalan perlahan. Ketika saya mengingat nama-nama mereka langsung dalam hati saya berkata “Betapa hebatnya pekerja seni”....
Namun kehebatan pekerja seni sejati jelas tidak akan menghasilkan gedung megah seperti milik seorang saudagar sinetron di Jalan Monginsidi, Kebayoran Baru sana. Karakter-karakter pekerja seni lahir dari sebuah kebersahajaan. Mungkin sebuah rumah pada sebuah gang di Kebon Pala I, Tanah Abang, rumah tua dimana Teguh Karya merenung bisa menjadi saksi bahwa mahakarya seni bisa dibuat disana...tapi yah, kebersahajaan pekerja seni hanya melahirkan kemurungan materialisme, sementara disana sebuah ketololan justru dibayar dengan harga berbinar-binar.
ANTON
No comments:
Post a Comment