Thursday, 24 April 2008

Calon Arang

Calon Arang, Kartini, Djamilah dan Kekuasaan

Ketika wanita menjadi janda
Mulailah sudah prasangka
Melucuti kemurnian rahim
Rumah-rumah menanam pandan di pintu-pintu
Anak-anak menutup lubang pusar
Lelaki menggosok-gosok kumisnya....

(Cok Savitri, Narasi Pembelaan Dirah)

Begitulah narasi yang kerap digumuli Cok Savitri dalam pentas Dirah tujuh tahun silam, Cok Savitri yang memiliki darah keturunan langsung dari Calon Arang membela nenek moyangnya itu sebagai perempuan yang berani memberontak pada kekuasaan. Oleh Cok Savitri, Calon Arang bukan lagi digambarkan sebagai pemuja Btari Durga yang jahat, penganut aliran Siwa Tantri yang doyan sembahyang di kuburan sambil nari nengkleng...namun Calon Arang digambarkan sebagai perempuan yang berani menantang dominasi kaum lelaki terhadap penafsiran susunan masyarakat. Calon Arang berani menantang intervensi negara terhadap keyakinan anggota masyarakat. Namun dalam sejarah cerita-cerita itu noda Calon Arang dilebur menjadi warna hitam sebuah dongeng...seperti Djamilah.

Alkisah, setelah aksi penculikan beberapa Jenderal di akhir tahun 1965. Santer kemudian disebut nama Djamilah dalam koran-koran milik Angkatan Darat. Djamilah mencoba bertahan hidup sebagai pelacur di sebuah kawasan dekat Halim. Entah kenapa perempuan muda berwajah manis ini kemudian tertangkap oleh tentara, setelah disiksa dan ditelanjangi ia kemudian dibebaskan setelah sebelumnya dipaksa menandatangani sebuah pernyataan bahwa dia adalah pemimpin cabang Gerwani, sebuah organisasi gerakan perempuan yang sejalan dengan PKI. Djamilah dan Gerwani adalah dua sisi mata uang yang sama setelah ‘Gerakan’ Tiga Puluh September mengalami transformasi menjadi ‘Peristiwa’ G 30 S. Makna pergeseran kata Gerakan dan Peristiwa ini mengalami perluasan merusak, dan salah satunya adalah Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia dimana ikon Gerwani hancur lebur. Gerwani diresidu sejarah hanyalah sebuah organisasi yang memproduksi penari genjer-genjer ditengah pesta seksual Pemuda Rakyar saat para Jenderal merenggang nyawa. Dan film garapan Arifin C. Noer serta buku sejarah resmi Orde Baru menulisnya demikian. Walaupun kemudian terbukti bahwa penyiksaan dengan silet dan kata-kata ‘darah itu merah...djenderal’ dengan latar belakang lagu ‘Genjer-genjer ono Jenderal Pathing Keleler’ hanyalah lakon carangan yang digarap para penulis naskah yang dibayar oleh junta militer Orde Baru. Seandainya RUU APP gol, maka penulis porno kisah dongeng penyiksaan para Jenderal bisa dikenakan pasal pidana, namun toch sejarah bukan pengandaian....

Sejarah tentang kisah perempuan selalu berkaitan erat dengan kekuasaan lelaki yang menyelubunginya. Suatu sore seorang bangsawan anak bupati Jepara berkata pada ayahnya yang bertubuh tambun. “Romo, saya mau sekolah di Belanda” sang Bapak dengan kumis lantang berkata pelan ‘Sudahlah Kartini, kamu dirumah saja...biarlah kakang mas mu yang bersekolah di Belanda...” dan memang Raden Mas Sosrokartono, kakak Raden Adjeng Kartini menimba ilmu di Belanda, walaupun kemudian dunia mengenalnya sebagai tokoh kejawen tiada tanding di jamannya, Kyai yang berfilsafat Bambu Kuning, yang senang memberi pengobatan di tengah alun-alun Bandung dengan gelas bertuliskan aksara arab pertama ‘Alif’. Lalu dimana Kartini yang gandrung dengan budaya barat dan ingin bersekolah. Ia melahirkan seorang bayi dengan bertarung nyawa dan kalah ketika melahirkan Soesalit, Kartini menjadi madu seorang Bupati, menjadi perlambang objek nafsu lelaki dan kekuasaan, namun ia melahirkan Soesalit yang kelak anaknya ini menjadi seorang Jenderal kesayangan Bung Karno di tahun-tahun Revolusi 1945-1949.

Kisah perempuan seringkali adalah kisah perlawanan atas nama kesadaran persamaan...tapi seringkali kisah itu berujung pada kekalahan. Karena jangankan memiliki kesadaran atas persamaan hak-nya, memiliki tubuhnya sendiri kadang perempuan tidak diperbolehkan. Seperti yang diucapkan seorang perempuan pemberani Indonesia, Gadis Arivia dalam kuliah-kuliahnya “Jangan-jangan perempuan tak lagi memiliki tubuhnya sendiri karena kepemilikannya sudah diambil oleh hukum”

......Entahlah toch lelaki sering menafsirkan perempuan sebagai bangunan porno dalam pikirannya, atau memang lelaki sesungguhnya tak sanggup memiliki daya tahan perlawanan seperti perempuan?


ANTON

No comments: