Tuesday, 9 September 2008

Dari Pojok Sejarah

dikutip Dari Mesias (Masjarakat Indonesia Sadar Sedjarah).


Douwes Dekker Tetap Republikein

Dokter Douwes Dekker yang punya nama Indonesia Setiabudi Danudirja dimasukkan penjara Wirogunan, Yogyakarta. Lagi-lagi Vosveld yang kejam bertindak sebagai interogator di atas jip yang membawa mereka menuju penjara. Interogasi penuh sumpah serapah itu ditanggapi dengan tenang oleh Setiabudi dengan mengatakan, selama PD II ia ada di kamp interniran di Amerika Selatan. Karena kesetiaannya kepada Republik, Bung Karno mengiriminya ucapan selamat pada ulang tahunnya yang ke-70.


Bung Karno Kutu Buku

Semasa diasingkan ke Bengkulu, Bung Karno adalah kolektor buku ilmiah terbesar di sana. Hooijkas Jr., anak Residen Bengkulu, kagum akan koleksi mutakhir buku-buku ilmiah berbagai bidang. Ia betah duduk berjam-jam di perpustakaan itu. Ia bertanya, mengapa BK serius belajar. Jawab Bung Karno, "Orang muda, saya harus belajar giat sekali. Insya Allah, saya akan menjadi presiden negeri ini." Kala itu kisah ini menjadi bahan ejekan orang Belanda di Bengkulu. Tapi belakangan mereka terkejut, cita-cita Bung Besar tercapai.


Bung Hatta, Mahatma Gandhi IndonesiaTahun 1933

Bung Hatta ke Jepang menyertai pamannya, Mak Etek Ayub Rais, sebagai penasihat bidang niaga. Kedatangan yang juga disertai mitra bisnis Jepang bernama Ando itu tercium pers Jepang. Wartawan menyambut Bung Hatta dengan sebutan "Gandhi dari Indonesia". Di Tokyo Bung Hatta diundang wakil ketua parlemen Jepang. Pihak Jepang mengundang Bung Hatta berkunjung ke Manchuria, tapi secara halus ia menolak. Bung Hatta tidak suka baik militerisme Jepang maupun imperialisme Belanda. Beberapa orang kuat membujuk, termasuk Menteri Pertahanan Jenderal Araki. Menurut Araki, kalau Bung Hatta bersedia, kapal Johore Maru siap berangkat dari Kobe. Bung Hatta tetap menolak, gagal totallah keinginan Jepang untuk memperalat Bung Hatta.

Bung Sjahrir yang Cerdas dan Lihai

Salah seorang pemimpin bawah tanah di zaman pendudukan Jepang yang berani mendengarkan siaran radio Sekutu adalah Sutan Sjahrir. Padahal, nyawa bisa jadi taruhan karena ada larangan keras mendengarkan siaran radio. Dalam lemari di kamarnya tersimpan radio yang memantau berita kemenangan Sekutu, termasuk penyerahan Jepang. Berita itu biasanya diteruskan Sjahrir kepada Bung Hatta. Suatu ketika Sjahrir dan anak-anak angkatnya pergi ke Cipanas untuk menyimpan radio di rumah iparnya, karena ia mendapat radio pengganti. Beberapa bulan kemudian si Oom, panggilan anak-anak angkat kepada Sjahrir, bermaksud mengambil radio yang dititipkan pada iparnya. Tetapi ia amat kecewa karena radionya rusak. Rupanya, karena takut tertangkap, si ipar menyembunyikannya dalam tanah alias ditanam.

Sam Ratulangi, Tokoh Ilmu Pengetahuan Alam Indonesia

Ia dikenal amat cerdas dan lulusan pendidikan tinggi di universitas bergengsi di Zurich yang menghasilkan pemenang hadiah Nobel seperti Einstein, Max Plank, dan suami-istri Curie. Sam meraih gelar doktor di usia masih sangat muda, 28 tahun. Ia pernah bekerja pada dinas kereta api S.S. di zaman kolonial, tetapi karena sering tidak cocok dengan atasannya yang berpendidikan lebih rendah, ia keluar. Ia pernah menjadi anggota Volksraad, dan bersama-sama Thamrin mempecundangi kebijakan politik kolonial Belanda. Ia juga mendirikan majalah berbahasa Belanda Nationale Commentaren yang berisi artikel karya tokoh nasional, di antaranya Bung Hatta.


Ainsyah Yahya, Orator Ulung Ranah Minang

Gadis ini tampil saat para pemuda mengadakan rapat untuk mendirikan Jong Sumatranen Bond di Padang. Dalam pidatonya Ainsyah menanyakan, kapan mereka akan punya tokoh seperti Kartini. Di akhir pidato ia mengatakan, pemuda Sumatra harus bekerja keras melaksanakan cita-cita Jong Sumatranen Bond, dan para perempuan harus mengambil peran mengikuti jejak Kartini dalam memajukan kaumnya. Hadirin pun bertepuk tangan meriah.

Hamid Algadri dan Transpor Tawanan Tengah Malam

Hamid Algadri bukanlah Sultan Hamid, tetapi tokoh keturunan Arab yang berjasa besar dan pada 1978 ditetapkan pemerintah sebagai perintis kemerdekaan. Ia ditangkap bersama para pembesar Republik saat Agresi Militer II di Yogyakarta (1949), dan dimasukkan ke Penjara Wirogunan. Tengah malam para tahanan politik diberi tahu, mereka akan ditranspor alias dihabisi di tengah jalan. Namun yang dipanggil hanya seorang, yakni Hamid Algadri. Hamid menghadap Kapten Vosveld, kepala intel yang terkenal ganas, yang saat itu agak mabok. Hamid didesak mengajukan permintaan terakhir. Ternyata ia meminta koran bekas yang sudah dibaca serdadu penjaga penjara. Jawaban itu tidak memuaskan Vosveld, tapi dengan cerdik dan sopan Hamid berhasil melunakkan hati Pak Kapten. "Saya lihat Kapten Vosveld sangat letih. Lebih baik acara kita dilanjutkan besok pagi saja," katanya. Maka bebaslah ia dari ancaman maut. Orang-orang yang berjasa menolong Hamid dalam perjuangan antara lain George M.T. Kahin yang sedang mempersiapkan disertasi tentang perjuangan rakyat Indonesia, dan seorang Indo-Belanda yang dijuluki Buck, yang pernah ditolong keluarga Algadri hingga lepas dari cengkeraman Kenpeitai Jepang.

Kartini Kecil yang Usil

Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi perempuan, putri Bupati Jepara, waktu kecilnya seperti anak-anak lainnya: nakal, nakalnya anak-anak. Ia menggoda Bu Sosro, pengasuh anak-anak, yang berwatak keras, dengan membubuhkan merica di lumpang kinangnya. Akibatnya, Bu Sosro megap-megap kepanasan. Kartini pun dimarahi ayahnya.

Dr. Cipto Mangunkusumo sang Penantang Bahaya

Di Solo dr. Cipto dikenal sebagai dokter berbendi atau biasa naik bendi. Suatu petang di depan alun-alun keraton yang ramai, ia memacu kereta buggy atau bendi dengan kencang. Esoknya ia dipanggil polisi. Tapi ia bebas dari tuduhan karena tidak mengenakan selop maupun topi waktu mengendarai bendi. Istrinya seorang Belanda vegetarian dan pandai memasak. Bung Hatta punya kenangan betapa lezatnya masakan Bu Cip, terutama gudegnya. Pasangan Pak dan Bu Cip punya anak angkat perempuan yang dipungut setelah orang tua si anak meninggal akibat penyakit menular pes di Malang. Anak itu diberi nama Pesyati.

H. Agus Salim dan Pangeran Muda Inggris

Ketika Putri Elizabeth dinobatkan menjadi Ratu Inggris menggantikan ayahandanya yang mangkat, pemerintah RI mengutus Haji Agus Salim dan Sri Pakualam VIII. Pangeran Philip yang masih muda tampak canggung menghadapi para tamu yang kebanyakan lebih tua. Menyadari situasi itu, H. Agus Salim, sang diplomat yang menguasai delapan bahasa asing, mendekati Pangeran Philip seraya mengayun-ayunkan rokok kretek. "Apakah Paduka mengenal bau rokok ini?" ia bertanya. Pangeran Philip menjawab ragu. Ia tak mengenal aroma rokok itu. Sambil tersenyum H. Agus Salim berkata, "Inilah yang menyebabkan bangsa Paduka beramai-ramai mendatangi negeri saya." Sang Pangeran tertawa, suasana pun menjadi cair. Ia jadi bergerak luwes menghadapi para tamu.


M. Hoesni Thamrin, Dikagumi Teman, Disegani Lawan

Putra Jakarta ini anggota Volksraad, jago pidato yang dikagumi teman dan disegani lawan. Ketika debat di Volksraad mengenai anggaran belanja Hindia Belanda tahun 1940, Thamrin berani menuduh pemerintah kolonial secara culas mengambil kedudukan istimewa. Pemerintah tidak tunduk pada rakyat, tapi rakyat dipaksa tunduk pada pemerintah jajahan. Drossaers yang mewakili pemerintah jajahan menolak usaha ke arah Indonesia merdeka. Rupanya ia "kuwalat". Setelah Jepang menduduki Indonesia dan Drossaers pulang ke negerinya setelah perang usai, ia dipecat dari kedudukannya selaku direktur Binnenland Bestuur. Thamrin meninggal setelah ditahan polisi selama lima hari, yang menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik. Deretan pengantar jenazahnya menuju pemakaman sangat panjang.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang Dermawan

Sri Sultan HB IX adalah raja yang tak hanya dicintai rakyat DIY, tetapi juga oleh rakyat Indonesia. Saat Agresi Militer II (1949), Sultan memberi bantuan dari pundi-pundi pribadinya. Mata uang Belanda yang seharusnya dimusnahkan, disimpannya sebagai kas kasultanan. Itulah yang secara diam-diam dibagikan pada para pegawai pusat maupun daerah. Istri para petinggi yang suaminya ditahan pun mendapat bagian, antara lain Ny. Fatmawati dan Ny. Rahmi Hatta. Ibu Hatta masih menyimpan kenang-kenangan beberapa rupiah logam perak pemberian Sultan yang demokratis itu. Mungkin kedermawanan itu dapat ditiru para petinggi yang kaya raya di masa kini.

Mr. Wilopo dan Mikrofon Proklamasi

Wilopo yang bergelar Meester in de Rechten, jarang memakai gelar kesarjanaannya. Ia pun terkenal sederhana, jujur, dan teliti. Ketelitiannya muncul ketika Proklamasi Kemerdekaan akan dikumandangkan. Bersama seorang teman ia pergi ke toko radio di Gang Tengah, Jakarta Pusat, sebelum pukul 08.00, untuk meminjam mikrofon. Waktu itu mikrofon termasuk langka, untunglah pemilik toko yang bernama Gunawan mengizinkan. Bahkan ia juga meminjamkan perlengkapan lain dan mengutus anggota keluarganya untuk memasang perangkat itu. Saat Wilopo menjabat Perdana Menteri dan Soemitro Djojohadikusumo menjabat Menteri Keuangan, keduanya memberlakukan kebijakan agar dalam sidang kabinet tidak disediakan makanan guna menghemat pengeluaran negara. Peserta sidang harus membeli dan membayar sendiri makanannya. Alangkah bagusnya kalau keteladanan itu ditiru. Termasuk kebiasaan Ny. Wilopo yang selalu naik becak bila berbelanja. Adakah istri tokoh pemerintahan sekarang yang sesederhana dia?

Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Ide tentang Pendidikan

Dokter Wahidin, penggagas perkumpulan Budi Utomo, ingin mengentas bangsa Indonesia dari keterbelakangan dan kemelaratan melalui pendidikan. Di samping itu, kesadaran nasional adalah sesuatu yang wajib. Kepada sahabatnya ia berkata, "Apabila bangsa kita meludah bersama-sama, akan menenggelamkan semua penjajah Belanda di negeri kita."

Ki Hajar Dewantoro dan Kritik yang Menggegerkan PenjajahTahun 1913

Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantoro dengan tajam menyerang Belanda melalui tulisan "Als Ik Nederlander was" yang dimuat di De Express. Dalam tulisan yang dimaksudkan bagi peringatan seabad Nederland merdeka itu Ki Hajar berandai-andai, misalnya dia orang Belanda, dia akan memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahannya. Tulisan itu menggegerkan Belanda. Di dalam negeri, gayung pun bersambut. Komite Bumiputera yang dibentuk kaum terpelajar Indonesia minta kepada Ratu Belanda untuk selekas mungkin merealisasikan "Indisch Parlement" di Hindia, nama Indonesia waktu dijajah Belanda. Akibatnya, Ki Hajar harus menghadap Parket (Kejaksaan) Belanda dan menempuh segala risiko.

Dr Soetomo, Lemah-lembut, Cerdas, dan Menghargai Sesama

Pendiri Budi Utomo ini amat dihormati rakyat di zamannya. Dalam bergaul ia tak memandang derajat seseorang. Ia juga sangat cerdas, karenanya diangkat sebagai penguji di Sekolah Kedokteran Tinggi, setara dengan dokter-dokter penguji bangsa Belanda. Istrinya yang keturunan Belanda sangat setia mendampingi. Ketika ada yang mengusulkan agar memohon kembali status persamaan (gelijkgesteld), Ny. Soetomo menolak. Ia tetap ingin mendampingi suaminya dalam suka dan duka bersama rakyat Indonesia yang dicintainya.

Mr. Tan Po Goan Ogah Bersumpah Setia Kepada Ratu Belanda

Saat Aksi Militer I (1947), Menteri Negara Tan Po Goan sedang dirawat di RS Cipto Mangunkusumo setelah kendaraannya menabrak truk militer Belanda. Sekeluar dari rumah sakit ia segera mencari pekerjaan. Tapi tak mau menjadi advokat karena harus mengucapkan sumpah setia kepada Ratu Belanda. Akhirnya, ia menjadi wiraswastawan dengan memiliki dua truk angkutan. Truknya menyusuri trayek Tegal - Purwokerto untuk mengangkut garam dan kemenyan, lalu sekembalinya membawa gula jawa. Dari Jakarta - Bandung membawa muatan, diteruskan ke Cirebon membawa muatan lain, selanjutnya ke Tegal dan Purwokerto. Konon jalur paling berbahaya ialah antara Cirebon dan Bandung di Desa Prapatan. Anehnya, ia dan dua truknya tidak pernah diganggu, padahal konvoi dengan kawalan panzer sering diberondong hingga jatuh korban jiwa.

No comments: