Sobron AiditSobron Aidit dilahirkan 2 Juni 1934 di Belitung, Sumatera Selatan, dan meninggalkan Indonesia pada 1963 untuk bekerja di Tiongkok. Pada tahun 1965 terjadi peristiwa besar apa yang disebut G30S. Orang-orang yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia ditangkapi dan yang tinggal di luar negeri terhalang pulang. Adik kandung DN Aidit itu termasuk di antaranya. Berikut bagian pertama rangkuman wawancara dengan sastrawan yang sampai sekarang masih aktif menulis. Wawancara ini sudah disiarkan dalam acara masyarakat multikultural.Ke TiongkokSebelum berangkat ke luar negeri adik Ketua CC PKI ini bekerja sebagai guru/dosen dan wartawan. Dia antara lain mengajar di sekolah SMA THHK (Tiong Hoa Hwee Kwan) dan di Akademi Sastra Multatuli, yang didirikannya bersama Prof. Bakri Siregar. Sebagai jurnalis dia bekerja antara lain untuk Harian Rakyat dan Bintang Timur. Pada 1963 Sobron berangkat ke Tiongkok. Di sana dia tetap bekerja di bidang pengajaran bahasa dan sebagai jurnalis antara lain di Peking Review. Pada saat Gerakan RBKP (Revolusi Besar Kebudayaan Proletar) dia berhenti bekerja dan disuruh turba (turun ke bawah). Seusai RBKP tahun 1979 Sobron bekerja di Radio Peking sebagai penyiar dan redaktur.Pindah ke ParisSetelah habis kontrak pada tahun 1980 Sobron mau pergi dari Tiongkok tapi belum tahu mau ke mana. Dia ingat pesan alhmarhumah istrinya yang mengatakan: "Pergilah dari sini!." Semula di terpikir mau ke negara yang berbahasa Inggris seperti Kanada. Sempat juga terpikir mau ke Hongkong, tapi takut diekstradisi ke Indonesia. Terus ada yang mengusulkan agar ke Paris saja karena di sana belum banyak orang Indonesia. Akhirnya dia berangkat ke Paris padahal sangat buta soal Prancis. "Kami nggak tahu dunia Paris itu. Satu patah bahasa pun ndak tahu," tandas Sobron. Begitu tiba di negeri itu, dia dikursuskan bahasa Prancis di semacam pusat penampungan para pengungsi. Setelah itu mereka dilepas untuk berdikari.
Membuka Restoran IndonesiaLalu muncul beberapa ide antara lain untuk membuka toko buku, toko rempah-rempah atau warung keliling. Tapi semua ini tidak bisa menyuplai lowongan kerja yang banyak, karena mereka berjumlah 11 orang. Akhirnya diputuskan untuk mendirikan restoran Indonesia secara kolektif. Alasannya karena restoran banyak menyerap tenaga kerja dan dinilai bisa menguntungkan. Selama enam bulan tiap hari pak Sobron bersama sesepunya pak Umar Said mencari lokasi untuk dijadikan restoran. Untuk mengerti soal menu mereka mendatangi restoran-restoran yang ada. Menunya kadang-kadang mereka bawa untuk dianalisa. Selain itu mereka juga mempelajari strategi letak restoran. "Apakah di sekitar itu banyak pegawai, buruh, mahasiswa dan lain-lain." jelas pria kelahiran Belitung ini.Kebanyakan dari mereka tidak ada yang berpengalaman membeli dan mengelola restoran. Tapi untungnya mereka dibantu oleh teman-teman orang Prancis. Beberapa kali mereka hampir mengambil alih beberapa restoran tapi dibatalkan, karena berbagai alasan. Misalnya, karena tempatnya dekat lokasi pelacuran atau karena gedungnya akan digusur. Sobron: "Jadi, yang nggak jadi ini beberapa kali." Akhirnya mereka menemukan sebuah restoran yang cocok lokasinya. Namanya restoran Madras. 'Orangnya sudah tua-tua, nggak mau lagi mengurusnya," tutur Sobron. Lokasi restoran ini sangat strategis dan menguntungkan, karena tempat itu ramai dilewati orang dan di kawasan tempat orang makan. "Itu 'bubu' yang baik sekali telaknya. Kalau bahasa Belitung kami, sebuah 'sero' yang letaknya sangat strategis untuk ikan masuk." tegas sastrawan ini. Maka pada 14 Desember 1982 berdirilah sebuah restoran "Indonesia" di pusat keramaian kota Paris.KolektifRestoran ini adalah restoran kolektif yang dananya dipinjam dari bermacam-macam sumber, terutama dari Belanda. Tapi ada juga sumbangan misalnya dari gereja Katolik. Selain itu para pendiri restoran, yang tediri dari enam orang, juga menggunakan uang tunjangan selama dua tahun yang diterima dari pemerintah Prancis. "Jadi kami beberapa orang, enam orang pada waktu itu, disatukan menjadi uang kami punya hak dua tahun itu ditumpukkan." tandas Sobron dengan semangat. Di samping itu mereka juga mendapat bantuan dari teman-teman termasuk teman-teman orang Prancis. Mereka mendapat simpati dan bantuan dari orang Prancis karena mereka menciptakan kerja untuk para pelarian politik. Ini berarti mengurangi beban pemerintah Prancis. Ini semua berkat kesungguhan dan kejujuran, sehingga rakyat dan pemerintah Prancis sangat simpati. Sobron: "Bung barangkali sudah tahu bahwa presiden Mitterand sangat bersimpati. Sampai istri presiden enam atau tujuh kali makan di situ." tandas Sobron dengan semangat yang sama. Diboikot dan DiprovokasiSebelum lengsernya Soeharto sangat jarang orang dari Kedutaan Republik Republik Indonesia (KBRI) makan di restoran itu. Malah ada semacam seruan dari menlu Mochtar Kusumaatmaja agar para diplomat tidak makan di restoran "orang-orang PKI" itu. Tapi menurut Sobron ada saja diplomat yang diam-diam makan di sana. Sobron: "Orang yang mau makan itu tidak berpolitik. Pokoknya enak. Mereka tetap mau makan ke restoran kami, "ujar Sobron. Pihak restoran tentu saja menyambut mereka dengan baik. Namun ada juga di antara para diplomat itu yang sinis. Pernah seorang diplomat menanyakan kenapa bahan makanannya dibeli di Belanda, bukan di Indonesia. Ketika dijawab: "Karena itu tidak praktis", mereka berkata bernada provokatif: "Ah bilang aja kalo takut pulang, " cerita Sobron. Tapi para pemilik restoran berusaha agar jangan terpancing.Pasca Soeharto, Hubungan MembaikNamun setelah Soeharto tumbang, hubungan antara para pemilik restoran itu dengan KBRI sangat baik. Sobron: "Pernah baru-baru ini dua dubes sekaligus, dari Belanda sama dari Prancis, dua-dua datang," tutur Sobron. Jadi hubungannya sangat baik. Karena apa? "Karena kami tidak pernah memusuhi mereka. Yang memusuhi kami mereka," jawabnya. Lagi pula sifat ramah tamah dan baik hati harus dimiliki oleh orang restoran. "Itulah yang diajarkan kepada kami selama puluhan tahun ini," tegas Sobron.
No comments:
Post a Comment