Monday, 8 September 2008

Kehormatan Bagi Yang Berhak

BAB I
AWAL SEBUAH TRAGEDI
UNGKAPAN berbagai peneliti mengenai "Gerakan 30 September 1965" di Indonesia, berbeda-beda.
Antonie C.A. Dake dalam bukunya "In the Spirit of the Red Banteng", mengungkapkan tragedi ini dengan banyak mengacu kepada keterlibatan PKI sebagai perencana, Bung Karno mengetahui dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai pensuplai senjata untuk persiapan apa yang disebut Angkatan ke-V, yang dituduhkan akan menjadi kekuatan bersenjata PKI.
Ada 22 juta sukarelawan yang sudah mendaftarkan diri di Front Nasional, memenuhi seruan Bung Karno mobilisasi kekuatan rakyat untuk mengganyang Malaysia. Mereka inilah katanya yang akan disaring untuk dimasukkan ke dalam Angkatan ke-V.
Pembentukan Federasi Malaysia dirancang oleh Perdana Menteri Inggeris, Harold McMillan, dan Perdana Menteri Malaya, Tungku Abdul Rahman, dalam perundingan di London pada bulan Oktober 1961 dan dilanjutkan bulan Juli 1962, itulah yang mengawali provokasi politik dan militer meng-contain Indonesia.
Ganis Harsono, jurubicara Departemen Luar Negeri R.l. selama 8 tahun di era Sukarno, menulis dalam bukunya "Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era" yang diterbitkan oleh University of Queensland Press, Australia, tahun 1977 dan kemudian pada tahun 1985 diterbitkan edisi Indonesianya oleh Inti Idayu Press Jakarta dengan judul "Cakrawala Politik Era Sukarno", menulis bahwa Inggris memberitahukan kepada Indonesia mengenai rencananya membentuk Federasi Malaysia. Indonesia tidak menentang, karena dipahami bahwa ide pembentukkannya ialah untuk memberikan kemerdekaan kepada wilayah-wilayah jajahan Inggeris di Kalimantan Utara.
Tetapi setelah Presiden Macapagal dari Filipina mengajukan tuntutan supaya dalam proses pemberian kemerdekaan tersebut, wilayah Sabah dikembalikan kepada Filipina, karena memang tadinya adalah wilayah kekuasaan Kasultanan Sulu di Filipina Selatan yang dicaplok oleh Inggeris ketika menjajah Kalimantan Utara, justru timbul reaksi keras dari Kuala Lumpur, yang disampaikan oleh Duta Besarnya di Manila, Zaiton Ibrahim, dengan mengatakan kepada Presiden Macapagal bahwa situasi akan menjadi gawat, apabila Filipina menuntut wilayah Sabah. Malahan Menteri Pertahanan Malaya, Najib Tun Razak, memberikan reaksi yang lebih keras lagi: "Kami siap pergi berperang mempertahankan Sabah dalam naungan Malaysia".
Tadinya Sabah hanya disewa oleh Inggeris dari Sultan Sulu, Jamal Alam, yang akhirnya jatuh ke bawah penguasaan The British North Borneo Company.
Waktu itu Indonesia tidak memberikan reaksi apa-apa, diam saja. Tapi pada tanggal 8 Desember 1962, setelah Azhari yang dituduh memberontak di Brunai dan memproklamasikan kemerdekaan Kalimantan Utara yang terdiri dari Brunai, Serawak dan Sabah di Manila, di tempat mana ia melarikan diri bersama teman- temannya, dan menyatakan dirinya sebagai Perdana Menteri Negara Kalimantan Utara, cepat sekali Tungku Abdul Rahman menuding Indonesia sebagai biang keladinya.
Padahal duduk persoalannya, Azhari yang memimpin Partai Rakyat Brunai, dalam Pemilihan Umum Agustus 1962, memenangkan 54 dari 55 kursi di Dewan Distrik dan 16 dari 33 kursi di Dewan Legislatif. 1)
1) JAC Mackie, Konfrontasi, The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966 Oxford University Press, Kuala Lumpur -London, hal. 37
Apa yang dilakukan oleh Azhari setelah partainya ditumpas dan dia dikejar--kejar sebagai pemberontak, ialah selalu mengadakan kontak dengan Wakil Presiden merangkap Menteri Luar Negeri Filipina, Immanuel Pelaez, dan sama sekali bukan dengan Indonesia.
Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI), Ali Sastroamidjojo, memberikan reaksi menolak tudingan Tungku.
Tungku pun menjadi marah oleh adanya reaksi dari Ali Sastroamidjojo dan langsung menyerang secara pribadi kepada Bung Karno dengan mengatakan: "Jangan campuri urusan Kalimantan Utara!"
Serangan ini sebenarnya datang dari Inggeris, tapi Tungku yang menjadi jurubicaranya.
Oleh karena itu, pada bulan April 1963, Bung Karno di hadapan Konperensi Wartawan Asia Afrika di Jakarta menjawab ancaman Tungku dengan mengatakan: "Perjuangan rakyat Serawak, Brunai dan Sabah, adalah bagian dari perjuangan negara-negara "the new emerging forces" yang membenci penghisapan manusia oleh manusia.
Karena Jepang melihat bahwa proses pembentukan Federasi Malaysia sudah menjurus pada kecurigaan Indonesia sebagai proyek neokolonialisme Inggeris, maka pada tanggal 3 1 Mei sampai 1 Juni 1963, Tokyo menyediakan tempat pertemuan antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, untuk mengusahakan pendekatan. Tujuannya ialah untuk menghilangkan kecurigaan mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia, yang terdiri dari Federasi Malaya sebagai induknya digabungkan dengan Singapura dan tiga wilayah lainnya di Kalimantan Utara.
Pertemuan Tokyo menyepakati sebuah prinsip, yaitu tetap memelihara Semangat Perjanjian Persahabatan Indonesia- Malaya tahun 1959.
Untuk merumuskan lebih lanjut hasil pertemuan Tokyo, diadakan lagi pertemuan para Menteri Luar Negeri tiga negara, yaitu: Indonesia, Malaya dan Filipina, di Manila dari tanggal 7 sampai 11 Juni 1963.
Ketiga Menteri Luar Negeri itu, semuanya mempunyai jabatan rangkap, yaitu: Subandrio di samping Menteri Luar Negeri, juga Wakil Perdana Menteri I, Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri dan Deputy Perdana Menteri dan Immanuel Pelaez, Menteri Luar Negeri dan sekaligus Wakil Presiden.
Dalam pertemuan Manila, Indonesia dan Filipina menyatakan tidak keberatan dibentuknya Federasi Malaysia, asal hal itu dilakukan atas dasar Hak Menentakan Nasib Sendiri bagi rakyat di wilayah- wilayah yang hendak digabungkan, dan ditentukan oleh otoritas yang bebas dan tidak berpihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB.
Pertemuan itu juga mengembangkan pemikiran Presiden Filipina, Macapagal, yaitu pembentukan Konfederasi tiga negara serumpun Melayu yang disebut MAPHILINDO (Malaysia-Philipina-lndonesia), gagasan yang langsung ditentang oleh Amerika dan Inggeris. Ironisnya, dari Peking, Menteri Luar Negeri Chen Yi menuduh MAPHILINDO sebagai proyek Nekolim.
Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri ini, diperkuat dengan diadakannya Konperensi Tingkat Tinggi antara Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, Presiden Macapagal dan Presiden Sukarno yang dilangsungkan di Manila dari tanggal 31 Juli sampai 1 Agustus 1963, yang hakekatnya hanya mengesahkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri sebelumnya.
Dalam perundingan tersendiri antara Presiden Sukarno dan Presiden Macapagal, disetujui apa yang dikenal dengan Doktrin Sukarno - Macapagal yang menegaskan bahwa Masalah Asia supaya diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri.
Doktrin ini dengan serta merta ditolak oleh Amerika Serikat dan Inggeris, karena dinilai dapat menggagalkan tujuan pembentukan Federasi Malaysia yang dirancang di London yang sebenarnya untuk meng-contain Indonesia.
Hasil KTT Manila ternyata menggelisahkan London dan Kuala Lumpur.
Dengan adanya gagasan Presiden Macapagal yang mengusulkan pembentukan Konfederasi MAPHILINDO dan doktrin Sukarno- Macapagal yang menghendaki supaya masalah Asia diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri, maka anasir Inteligen Inggeris dan Malaysia melansir satu berita bahwa Federasi Malaysia akan dibentuk pada tanggal 31 Agustus 1963, 2) mendahului pelaksanaan Persetujuan Manila yang menghendaki supaya pembentukan itu dilakukan atas dasar Hak Penentuan Nasib Sendiri dari rakyat bersangkutan, yang akan diatur oleh Sekretaris Jenderal PBB, waktu itu U Thant.
2) Dr. Hidayat Mukmin, TNI dalam politik luar negeri Studi kasus penyelesaian konfrontasi Indonesia - Malaysia, hal. 95.
Dilansirnya berita itu, makin meyakinkan Indonesia bahwa memang ada udang di balik batu dengan pembentukan Federasi Malaysia yang dirasakan sebagai sangat tergesa-gesa.
Oleh karenanya, Sekjen PBB segera mengirimkan Misi PBB ke Serawak dan Sabah untuk meneliti sejauh mana rakyat Kalimantan Utara bersedia bergabung dalam Federasi Malaysia, seperti yang dituntut oleh KTT Manila. Tapi Misi sudah distel demikian rupa, dengan ketuanya diambilkan dari Amerika yaitu Laurence Michaelmore, dibantu oleh delapan anggota yang diambilkan dari berbagai negara. Indonesia, Malaya dan Filipina menyertakan juga wakil-wakilnya sebagai peninjau.
Karena Misi sedang bekerja, maka Kuala Lumpur berusaha meredakan kemarahan Indonesia dan mengumumkan penundaan pembentukan Federasi Malaysia sampai tanggal 16 September 1963, yaitu tanggal yang diperkirakan Misi PBB sudah menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang menguntungkan London dan Kuala Lumpur. Penundaan tanggal, dianggap oleh Indonesia sebagai proforma belaka, karena hasilnya sudah ditentukan sesuai dengan keinginan Kuala Lumpur dan London.
Memang sebelum itu, Inggeris sudah mengadakan penjajagan di Kalimantan Utara dengan sebuah komisi yang diketuai oleh Lord Cobbold dan anggotanya terdiri dari: Sir Anthony Abell, Sir David Watherston, Dato Wong Po Nee dan Enche Gazali bin Sofie.
Hasil penjajagan ini diumumkan dalam Report of the Commission of Inquiry North Borneo and Serawak 1962 yang menyebutkan:
1. Sepertiga penduduk menyetujui tanpa syarat, merdeka dalam Federasi Malaysia.
2. Sepertiga menyetujui dengan syarat supaya kepentingan daerah mereka terjamin.
3. Sisa yang lain, ingin mendapatkan kemerdekaannya dulu, sebelum bergabung dalam Federasi Malaysia.
Tapi ini semua adalah versi Komisi Cobbold. Sebelum itu sudah ditentukan supaya diadakan Pakta Pertahanan antara Inggeris dan Federasi Malaysia.
Dengan demikian, dari segi pertahanan, Federasi Malaysia dianggap oleh Inggeris lebih sederhana, karena Federasi dapat dikelola bersama sebagai satu unit strategik. Karena Federasi berada dalam lingkungan Persemakmuran Inggeris, maka Inggeris berkewajiban tetap memberikan perlindungan militer. Ketika Malaya baru merdeka, di sana hanya ada 2000 tentara Inggeris dan Australia. Tapi setelah Federasi Malaysia dibentuk, kekuatan Militer itu cepat ditambah menjadi 50.000. 3)
3) Ibid haL 115.
Strategi pertahanan ini mencemaskan Indonesia, karena perlindungan militer Inggeris yang begitu besar, merupakan ancaman serius bagi keamanan Indonesia. Apalagi dalam mempertahankan Malaysia, sudah tersiar berita bahwa Inggeris akan mendapat dukungan dari Pakta Pertahanan ANZUS (Australia - New Zealand - United States), untuk menghadapi Sukarno yang sudah lama dicap sebagai "trouble maker" di Asia, yang kegiatannya harus dicegah jangan sampai merembet mempengaruhi negara-negara Afrika dan Amerika Latin.
Sebenarnya di Malaysia, Singapura dan British North Borneo (Kalimantan Utara), terdapat kekuatan-kekuatan politik yang menentang pembentukan Federasi Malaysia menurut konsep McMillan - Tungku Abdul Rahman, tapi mereka ditindas sehingga tidak bisa berbuat banyak.
Kekuatan menentang pembentukan Federasi Malaysia di Malaya ialah: Front Sosialis Malaya yang terdiri dari Partai Rakyat Malaya dan Partai Buruh, serta Partai Islam se-Malaya. Di Singapura: Barisan Sosialis, Partai Pekerja dan Partai Rakyat. Di Kalimantan Utara: Partai Rakyat Brunai dan Serawak United People's Party. Partai Rakyat Brunai sejak 1956 di bawah pimpinan Azhari, sudah mempunyai program hendak mengusir Inggeris dari Kalimantan Utara. 4)
4) Ibid hal. 115.
Dan apa yang terjadi kemudian?
Misi PBB yang dipimpin oleh Michaelmore, tanpa penyelidikan seksama, langsung menyatakan bahwa rakyat Kalimantan Utara (Serawak dan Sabah) menyetujui merdeka dalam Federasi Malaysia. Hasil Kerja Misi PBB ini segera disahkan oleh Sekjen PBB.
Sebaliknya Indonesia, setelah mendengarkan laporan dari peninjau- peninjaunya yang menyertai penyelidikan Misi PBB, menuduh adanya kecurangan-kecurangan yang menyolok, sehingga laporan Misi PBB itu tidak bisa dianggap sah.
Akibatnya, mudah dipahami. Karena Indonesia menolak hasil penyelidikan Misi PBB yang disahkan oleh Sekjen PBB, ditambah lagi tersiar berita bahwa sesudah Federasi Malaysia diresmikan pada tanggal 16 September 1963, negara federasi baru itu segera akan diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, maka Jakarta langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur.
Oleh perkembangan yang sangat cepat, dan usaha diplomatik untuk mencoba meredamnya mengalami kegagalan, maka konfrontasi Indonesia - Malaysia tidak terhindarkan lagi. Dr. Subandrio dalam kedudukannya sebagai Wakil Panglima Besar KOTI (Komando Tertinggi Indonesia) dan Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI), mulai menerjunkan gerilyawan di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara, untuk memberikan tekanan kepada Kuala Lumpur supaya mau merubah sikapnya dengan mengemukakan aproach baru yang bisa mengatasi deadlock.
Malaysia didirikan tanpa ikut sertanya Brunai, sedang Singapura yang tadinya. ikut bergabung, kemudian memisahkan diri dan menyatakan dirinya merdeka sendiri.
Tapi tindakan Dr. Subandrio itu, justru memberikan alasan kepada Inggeris dan sekutunya Pakta ANZUS untuk bersiap - siap menyerang Indonesia, kemungkinan yang sebenarnya sudah lebih awal disinyalir oleh Bung Karno.
Sebelum itu, dalam bulan Oktober 1963, Presiden Kennedy dari Amerika, mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno yang menganggap sikap Indonesia terhadap Malaysia, menempatkannya pada posisi yang amat sulit untuk mewujudkan keinginannya membantu usaha-usaha Indonesia ke arah pembangunan dan pemulihan ekonominya.
Setelah menerima surat tersebut, Presiden Sukarno langsung mengadakan pertemuan dengan 10 orang menteri seniornya, yaitu: Ir. Djuanda, Dr. Subandrio, Chaerul Saleh, Dr. J. Leimena, Sudibyo, disertai dengan menteri-menteri militer yaitu: A.H. Nasution, A. Yani, E. Martadinata, Omar Dhani dan Sucipto. Pertemuan merumuskan jawaban yang paling tepat untuk Surat Presiden Kennedy dengan sebuah kalimat yang tegas: "Go to hell with American aid". 5)
5) Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, hal. 160 -161
Dengan surat Presiden Kennedy tersebut, makin menjadi jelas bahwa bukan saja Inggeris, melainkan juga Amerika ikut ambil bagian dalam merekayasa pembentukan Federasi Malaysia.
Tapi cara mengelola ketegangan akibat pembentukan Federasi Malaysia, akhirnya menggiring Indonesia terjaring masuk perangkap konfrontasi militer yang sudah dipasang oleh Inggeris dan Amerika. Bung Karno segera melihat bahaya akan makin meningkatnya eskalasi konfrontasi, maka berusaha mencari upaya mengendorkannya dengan mengusulkan segera diselenggarakannya KTT 3 negara yang terkait.
Upaya Bung Karno terlambat, karena segera sesudah itu, bom waktu yang sudah lama dipasang oleh persekutuan Nekolim di Indonesia, tidak bisa ditangkal lagi.
Meletuslah "Gerakan 30 September 1965", yang mengundang Amerika makin terang-terangan berkiprah melaksanakan rencana menghancurkan revolusi Indonesia dan kepemimpinan Bung Karno yang dijuluki oleh Barat sebagai "Hitler Baru" seusai Perang Dunia II.
Itulah lihainya Nekolim yang tidak secara dini bisa diantisipasi.
Meski pun demikian, pada bulan Februari 1966 Presiden Sukarno masih menugaskan Duta Besar Keliling R.l., Supeni, pergi ke Manila membicarakan dengan Presiden Ferdinand Marcos yang sudah menggantikan Macapagal, mengenai perlunya segera diadakan KTT MAPHILINDO dan minta supaya Filipina jangan dulu memberikan pengakuan kepada Federasi Malaysia. Tujuan Bung Karno untuk segera menyelenggarakan KTT MAPHILINDO, ialah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan menyelesaikan dispute Sabah yang di claim oleh Filipina, atas dasar semangat MAPHILINDO.
Tapi rencana Bung Karno ini, sebelum bisa dilaksanakan, sudah kedahuluan dicegat oleh keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR), yang berakibat kekuasaan berpindah ke tangan Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban SUPERSEMAR yang segera saja melakukan penahanan terhadap menteri-menteri yang penting, sehingga Presiden Sukarno kehilangan pembantu- pembantunya dan Kabinet Baru harus dibentuk bersama Pengemban SUPERSEMAR. Praktis Bung Karno sudah kehilangan kekuasaannya.
Dr. Suharto, dokter pribadi Bung Karno, dalam bukunya "Saksi Sejarah" memastikan bahwa konfrontasi dengan Malaysia tidak termasuk dalam calender of event Bung Karno 6). Barangkali Komando Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia) adalah imposed (desakan) pihak lain, mungkin musuh dalam selimut yang mengetahui psycho emosional Bung Karno. Dengan menggunakan metode psycho analisa, dilakukan berbagai tipu muslihat, yang bertujuan mempengaruhi Bung Karno dalam mengambil keputusan melakukan suatu tindakan.7)
6) Dr. Suharto, SaksiSejarah, hal. 135. 7) Ibid, hal. 189
Setelah Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia memberikan reaksi yang sangat keras dan langsung menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, meski pun disadari bahwa putusan ini adalah satu imbalan yang sangat mahal. Putusan ini diumumkan oleh Bung Karno pada 7 Januari 1965 dalam rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing, di ISTORA Jakarta.
Pada awal Bab ini, sudah disinggung adanya 22 juta sukarelawan yang mendaftarkan diri untuk melawan serbuan Inggeris dan sekutunya ke Indonesia, jika konfrontasi mencapai puncaknya. Tujuan seruan Bung Karno mengadakan mobilisasi kekuatan rakyat, sangat jelas yaitu untuk apa yang dirumuskan secara populer: Ganyang Malaysia!. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan tuduhan sebagai persiapan untuk pembentukan Angkatan ke V. Prosedur yang harus dipenuhi untuk pembentukan Lembaga semacam itu, bukan saja belum pernah ditempuh, bahkan dibicarakan saja dalam sidang Kabinet sebagai Lembaga kekuasaan eksekutif, DPRGR sebagai Lembaga kekuasaan Legislatif, maupun dimintakan pertimbangan dari Dewan Pertimbangan Agung, sebagai Lembaga Tinggi Negara, belum pernah.
Untuk membentuk Angkatan ke-V yang begitu prinsipil, tidak mungkin dilakukan tanpa disetujui oleh ketiga Lembaga Tinggi Negara seperti yang disebutkan di atas.
Gagasan Angkatan ke-V sebenarnya hanya move politik yang dilontarkan oleh Bung Karno, yang ide pokoknya bertolak dari ketentuan UUD 1945 pasal 30 tentang bela negara, dikaitkan dengan gerakan "ganyang Malaysia". Hanya pihak pers tertentu yang membesarbesarkannya dan meminta reaksi dari Menteri/ Panglima Angkatan Darat yang tentu saja menentangnya. Dengan demikian, move politik ini segera di ekspos seolah-olah Bung Karno sudah memerintahkan pembentukan Angkatan ke-V, yang kemudian dituding sebagai salah satu alasan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI.
Rekayasa lain untuk mencoba membuktikan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI, ialah keterangan Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi, (ajudan Presiden 19481962) yang memberikan pengakuan kepada Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU) di bawah sumpah, bahwa ia telah berbicara langsung dengan ketua CC PKI, D.N. Aidit, dan sekretaris CC, Sudisman, pada tanggal 27 September 1965, di mana kedua tokoh PKI itu katanya memberitahukan kepadanya bahwa PKI akan melakukan coup d'état atau tindakan untuk membenahi revolusi Indonesia yang dirongrong oleh "Dewan Jenderal". Rencana itu hendak dilaksanakan dalam tempo satu- duatiga hari lagi. Sugandhi diajak ikut bergabung, karena kata Aidit, rencana ini sudah diberitahukan kepada Bung Karno. Sugandhi, katanya menolak ajakan itu.
Dalam pengakuannya, ia mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, yakni sesudah tiga hari pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, dilaporkannyalah berita ini kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Menurut pengakuan Sugandhi, Bung Karno tidak mau percaya pada laporan itu, bahkan Bung Karno menuduhnya "PKI-phobi".
Dikatakan dalam pengakuan itu, pada tanggal yang sama, ia melaporkan juga pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal A. Yani. Namun tidak dijelaskan bagaimana jawaban atau perintah A. Yani sebagai reaksi atas laporan tersebut.
Menurut Sugandhi, pada tanggal 1 Oktober 1965, ia melaporkan juga kepada Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal A.H. Nasution. Juga tidak dijelaskan apa reaksi Jenderal Nasution.
Bila diteliti dengan seksama, pengakuan di bawah sumpah Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi tersebut, terasa sangat aneh dan mengandung tanda tanya. Dia diketahui sebagai seorang prajurit pilihan sehingga diangkat menjadi Jenderal, di samping juga ia orang terhormat sebagai anggota MPRS/DPRGR.
Mengapa dikatakan sangat aneh dan mengandung tanda tanya, karena pertama, menurut akal sehat, tidak mungkin seseorang, apalagi seorang ketua CC PKI dan sekretaris CC, begitu saja membicarakan suatu rencana yang kadar kerahasiaannya paling tinggi, kepada seseorang, apalagi dari jajaran pihak lawannya. Kedua, sudah begitu rapuhkah semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dalam diri seorang prajurit pilihan, sehingga suatu informasi yang kadar nilainya sangat tinggi, serta diperoleh secara langsung dari pimpinan PKI yang paling kompeten, harus disimpan sendiri selama tiga kali 24 jam baru disampaikan kepada atasannya, di mana suhu politik dalam negeri waktu itu sedang panas? Apakah ini suatu kelalaian atau suatu kesengajaan? Ketiga, makna apa yang tersirat dalam sentuhan hubungan antara Brigjen Sugandhi dengan Aidit dan Sudisman, yang masing-masing sebagai ketua CC PKI dan Sekretaris Jenderal CC?
Dapat dimengerti bahwa pada tahun-tahun awal sesudah terjadinya G30S/PKI, suasana masih dalam serba emosional, sehingga pertimbangan kelayakan satu informasi kadang-kadang subyektivitasnya lebih menonjol. Apa lagi tidak dibentuk satu Komisi yang ditugaskan untuk memeriksa benar tidaknya pengakuan Sugandhi tersebut, yang akhirnya pengakuan ini digunakan untuk memvonis Sukarno terlibat G30S/PKI. Sebaliknya, Sugandhi mendapat nama baik.
Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967 yang anggota-anggotanya banyak dipecat dan diganti serta ditambah dengan orang-orang yang menguntungkan, termasuk pimpinan lama diganti dengan Jenderal A.H. Nasution sebagai ketua baru, itulah yang mencabut mandat Ir. Sukarno sebagai Presiden, serta melarangnya melakukan kegiatan politik.
Dan apa yang terbukti kemudian?
Sesudah nasi menjadi bubur, komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden Sukarno, Letnan kolonel polisi H. Mangil Martowidjojo, baru mengungkapkan dengan mengemukakan bukti-bukti bahwa keterangan Sugandhi di bawah sumpah itu, sepenuhnya kebohongan dan fitnah. 8)
8 ) Majalah PETA, edisi September/Oktober 1992, Jakarta, hal. 3-6. Baca juga: Soegiarso Soerojo, Siapa menabur angin akan menuai badai, hal. 236-237, yang mengutip dialog antara Sugandhi dengan Aidit-Sudisman dan dialog antara Bung Kamo dengan Sugandhi menurut versi yang diceritakan oleh Sugandhi.
Memang sayang sekali Mangil tidak segera menyampaikan kebohongan Sugandhi kepada Bung Karno, padahal ia sudah mendengar "Geruchten" (desas-desus)nya, jauh sebelum Sukarno dijatuhkan oleh MPRS.
Mangil mengatakan, karena ia penasaran, maka tanggal yang disebutkan oleh Sugandhi melaporkan hasil pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman kepada Presiden, yaitu tanggal 30 September 1965, diperiksanya kembali buku catatan tamu Istana, apakah betul waktu itu Sugandhi datang. Ternyata tidak ada nama Sugandhi masuk Istana pada hari itu. Bukan saja Mangil yang selalu mengawal Bung Karno tidak melihat Sugandhi menemui Presiden hari itu, juga di buku catatan tamu yang harus diisi oleh setiap tamu yang masuk Istana, baik ia tamu dipanggil atau tamu yang mendadak datang, nama Sugandhi tidak ada. Di "wachtrooster" (buku jaga) yang harus diisi oleh setiap tamu sesuai dengan peraturan yang ditentukan oleh ajudan, mau pun dalam buku Detasemen Kawal Pribadi yang selalu memasukkan dalam catatan semua tamu yang masuk Istana, tidak ada nama Sugandhi pada 30 September 1965 masuk Istana.
Beberapa hari sesudah meletusnya Gerakan 30 September, melalui Menteri Penerangan Ahmadi, Bung Karno berpesan supaya Sugandhi datang ke Istana Bogor, karena Bung Karno memerlukan masukan mengenai gerakan tersebut, tapi ia tidak mau datang. Bahkan berkata kepada Ahmadi supaya menyampaikan kepada Bung Karno kalau ia tidak berhasil menemuinya.
Sesudah penolakan Sugandhi atas panggilan Bung Karno, pada suatu hari ia datang ke Istana Jakarta, saat Bung Karno sedang berolahraga pagi jalan kaki mengelilingi Istana diikuti oleh beberapa anggota staf Istana dan para pengawal. Sugandhi terus bergabung dengan rombongan dan dari belakang Bung Karno, ia melaporkan kehadirannya. Tapi mengetahui kedatangan Sugandhi ini, Bung Karno malah langsung memerintahkannya supaya keluar. "Deruit, deruit" perintah Bung Karno. Karena Sugandhi belum juga keluar dan masih terus mengikuti dari belakang, sekali lagi Bung Karno memerintahkannya supaya keluar. Barulah Sugandhi keluar.
Kata Mangil: Rasanya koq tidak masuk akal dan tidak logis Aidit dan Sudisman sembarangan begitu saja memberitahukan rencananya yang begitu rahasia kepada orang yang tidak sepaham. Kecuali kalau Sugandhi itu memang orang PKI".
Meski pun Mangil terlambat mengungkapkan fitnah terhadap Bung Karno ini, tapi ungkapan itu sama sekali tidak berkurang arti pentingnya, karena ia menambah satu bukti lagi dari sekian banyak bukti yang sudah ada, bahwa Bung Karno digulingkan melalui rakayasa yang skenarionya sudah dirancang demikian rupa.
Keterangan lain yang menarik, dikemukakan oleh Prof. Peter Dale Scott, seorang diplomat Kanada, Guru Besar dan Doctor dalam ilmu politik, ketika ia diundang pada bulan Desember 1984 untuk mengemukakan makalahnya dalam sebuah forum di "University of California", Berkeley, yang dihadiri juga oleh tokoh-tokoh terkemuka antaranya terdapat bekas direktur CIA periode 1962- 1966 untuk bagian Timur Jauh, di mana ia membahas sebuah judul "The United States and the Overthrow of Sukarno, 19651967" - Amerika Serikat dan penggulingan Sukarno, 19651 967.
la memulai uraiannya dengan mengatakan bahwa subjek yang akan dibahasnya, adalah subjek besar tapi menjengkelkan, karena kisah yang lengkap mengenai periode yang rumit dan kurang dimengerti ini, akan tetap berada di luar jangkauan analisis tertulis yang paling lengkap sekali pun. Banyak yang telah terjadi, tidak mungkin bisa didokumentasi, sedang catatan-catatan yang bisa diselamatkan, banyak hal yang bersifat kontroversial yang tak mungkin diverifikasi.
Namun demikian, setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut dikemukakan, maka intisari kisah yang rumit dan bermakna ganda itu, mengenai suatu tragedi yang berdarah. Setelah mempelajari referensi-referensi yang ada, sebenarnya bersifat sederhana saja dan lebih mudah dimengerti ketimbang keterangan-keterangan akademis dari sumber-sumber Indonesia mau pun Amerika Serikat. Kesimpulan dari keterangan-keterangan mereka yang bersifat problematis itu, hanya mengatakan bahwa pada musim gugur 1965, golongan kiri di Indonesia telah menyerang pihak kanan yang menyebabkan diadakannya restorasi kekuasaan dan pembantaian golongan kiri oleh golongan tengah.
Peter Dale Scott memberikan catatan betapa sukarnya melakukan analisis yang pada pokoknya hanya bersandar pada apa yang dinamakan bukti-bukti yang disajikan dalam sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) yang bertentangan dengan studi CIA 1968, yang agak kurang bersifat khayalan. 9)
9) Termuat dalam "Pacific Affair': Summer 1985, hal. 239.
Juga H. W. Brands menulis dalam "Journal of American History" bahwa waktu pengaruhnya tengah memuncak di Asia Tenggara, Amerika telah ambil bagian dalam kup yang gagal terhadap Sukarno di tahun 1958. Pemerintah Johnson tidak menyembunyi- kan kecemasannya bahwa Sukarno dapat mengantar Indonesia pada suatu posisi yang penting, sementara Amerika Serikat sendiri sedang berusaha menyelamatkan Vietnam Selatan.
Maka pada waktu Amerika Serikat di tahun 1966 telah memperoleh keyakinan bahwa Soeharto telah berhasil mengesampingkan Sukarno dan menghancurkan PKI, pemerintah Amerika secara mencolok memberi selamat kepada penguasa baru, karena telah melakukan suatu tugas dengan baik sekali.
Meski pun demikian, Brands mengatakan bahwa penggulingan Sukarno, tidak ada hubungannya dengan Amerika Serikat, padahal diakuinya bahwa selama beberapa bulan, pejabat-pejabat Amerika Serikat telah mendesak pihak Tentara di Indonesia supaya bertindak, tapi tidak berhasil. Pada musim panas 1965 (sebelum G30S), kelihatan Pemerintah Johnson sudah putus asa.
Selama satu dekade lebih, Sukarno dapat mengatasi beberapa tantangan, termasuk affair 17 Oktober 1952, satu kup yang tidak langsung, di mana A.H. Nasution hendak memaksa Sukarno mem- bubarkan kekuasaan Eksekutif dengan jalan membubarkan kekuatan- nya di Parlemen, untuk memberikan peluang bagi Tentara supaya bisa tampil. Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang dibantu oleh CIA dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok Nasionalis, lengkap dengan pesawat udara transport dan Bomber B-26. 10)
10) Baca: H. W. Brands dalam "Journal of American History", The Organization of Historians, vol. 76, No. 3, Desember 1989.
Geoffrey Robinson (Boston, Massuchusetts) dalam makalahnya (1990) yang berjudul "Some Arguments Concerning U. S. Influence and Complicity in the Indonesian Coup of October 1, 1965 - Beberapa argumen mengenai keterlibatan A.S. dalam kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia--, mengatakan bahwa sejak dari awal, "Gerakan 30 September" itu kelihatannya seperti sebuah kup yang direncanakan untuk gagal, kudeta itu di disain sedemikian rupa sehingga mampu menyimpan sebuah dalih untak mengadakan suatu pameran kekuatan dan meraih kekuasaan.
Kata Geoffrey Robinson, laporan CIA yang menyatakan PKI lah penanggungjawab tunggal atas kup, adalah hal yang sukar didukung. Tapi logika argumentasi yang dikemukakannya, tidak membuang sama sekali kemungkinan adanya peran PKI. Dikatakan, baik strategi yang digunakan maupun bukti dorongan yang membawa PKI ke dalam peristiwa tersebut, semuanya menunjukkan kecenderungan bahwa keikut-sertaan PKI, tidak lebih dari sesuatu yang marginal, lebih banyak didorong oleh kesalahan informasi mengenai rencana coup d'état "Dewan Jenderal". Dengan mengutip Mortimer, ia menyimpulkan bahwa asal-usul Gerakan 30 September hendaklah dicari dalam kegiatan kelompok perwira dissident (berpendapat lain) Divisi Diponegoro. Bukan suatu koinsidensi (kebetulan) bahwa hasil kudeta itu ialah kehancuran PKI, jatuhnya Sukarno dan tampilnya Angkaran Darat sebagai pelaku politik kunci, pembukaan kembali pintu Indonesia bagi investasi modal asing dan reorientasi politik luar negeri Indonesia persis seperti apa yang selama beberapa tahun direncanakan dalam berbagai macam skenario kebijaksanaan, berbagai prospektus politik dan berbagai laporan situasi yang disiapkan oleh National Security Council, State Department dan "country team" Kedutaan Besar Amerika di Jakarta.
Kekurang-jelian PKI menilai kebenaran informasi yang diterimanya sekitar rencana coup d'etat "Dewan Jenderal" sehingga langsung mempercayainya dan bertindak mendahului, itulah yang menghantarkan partai ini ke liang kehancurannya.
Argumentasi yang dikemukakan oleh Geofrey Robinson untuk mendukung kesimpulan di atas, ialah kenyataan bahwa coup d'etat tampil pada saat titik kritis polarisasi antara Angkatan Darat di satu pihak dan apa yang disebutnya aliansi Sukarno-PKI di pihak lain.
Sedang faktor-faktor lain yang dimanipulasi, antaranya intervensi Amerika Serikat di Vietnam Utara dengan memulai pemboman, dukungan Amerika Serikat kepada Inggris mengenai konfrontasi Malaysia, serangan terhadap Sukarno oleh anggota-anggota Kongres dan tulisan-tulisan pers Amerika yang provokatif untuk memancing kemarahan Sukarno dan PKI agar menyerang balik. Dalam keadaan demikian, tidak banyak lagi apa yang harus dilakukan oleh Amerika, karena semuanya sudah dikerjakan dengan terjadinya polarisasi "kanan" dan "kiri" yang telah ditingkatkan oleh kedua belah pihak.
Pola umum yang tampil dari studi atas periode ini, mempunyai dua dimensi yang saling berhubungan.
Pertama, kegiatan agen-agen Amerika yang sengaja mengembangkan sejenis politik tertentu terhadap Indonesia yang sedang berada dalam polarisasi politik yang sudah serius. Jenis politik itu ialah merupakan tekanan-tekanan ekonomi dan tekanan- tekanan lainnya secara selektif dengan tujuan melemahkan yang "kiri" dan memperkuat yang "kanan" -- yang disebut sebagai sahabat kita".
Kedua, bulan-bulan terakhir menjelang kudeta, para penasehat Amerika Serikat, sudah sampai pada titik mem- pertimbangkan pembalasan militer langsung terhadap pemerintah Sukarno, karena cara lain dianggap sudah gagal secara essensial, termasuk perebutan kekuasaan oleh Tentara, sebuah rencana yang diharap-harap dan lama direnungkan oleh Amerika; sebagai jawaban atas ancaman "kiri" yang menghantui.
Ralph McGehee, seorang pensiunan CIA, dalam hubungan ini menyarankan supaya metode yang dipakai CIA di Indonesia, yang dinilai penuh kepiawaian, dapat digunakan sebagai satu tipe atau denah untuk operasioperasi terselubung lainnya di masa yang akan datang. Secara khusus metode ini memang sudah dipraktekkan dalam kasus keterlibatan CIA menggulingkan Presiden Alende dari Chili. Terbukti dipakainya rancangan atau denah tipe Jakarta ini, mencapai hasil yang baik. 11)
11) "The CIA and the White Paper on El-Salvador", The Nation April 11, 1981, hal. 423.
Dengan pengakuan-pengakuan yang diuraikan di atas, jelas menunjukkan bahwa keterlibatan Amerika Serikat dengan ClA-nya dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, dengan sasaran pokoknya menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno, tidak terbantah lagi.
Bagi kita di Indonesia, tentu lebih mudah memahami peristiwa itu karena ikut mengalaminya, meski pun pengalaman-pengalaman itu tidak semua bisa dikemukakan secara terbuka.
Sebagai pelengkap, berbagai referensi berupa bukubuku atau tulisan-tulisan, telah diterbitkan. Misalnya, buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Kepala Pusat Sejarah Militer AD), Soegiarso Soerojo (Seorang Intel), Memoir Jenderal Yoga Sugomo, seorang yang sangat berpengalaman di bidang Intel dan mantan kepala BAKIN serta banyak buku lainnya yang umumnya menunjuk biang keladi G30S: PKI, Bung Karno dan RRT. Tidak satu pun yang menyebutkan keterlibatan Amerika Serikat.
Bahkan sudah di-release film "Pengkhiatan G30S/PKI" yang setiap tanggal 30 September ditayangkan ulang di TVRI, meski pun efeknya seperti angin ribut yang lekas berlalu.
Sayangnya di Indonesia sendiri, meski pun sudah 30 tahun kejadiannya, belum pernah diselenggarakan SEMINAR yang dapat mengungkapkan peristiwa itu secara utuh dan objektif, bahkan terasa masih tabu.
Sebuah analisis yang tajam dikemukakan oleh Bung Karno dalam "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikannya kepada MPRS 10 Januari 1967, sebagai Pelengkap "Amanat Nawaksara" mengenai terjadinya G30S sebagai berikut:
"Berdasarkan penyelidikanku yang seksama, menunjukkan bahwa peristiwa Gerakan 30 September itu, ditimbulkan oleh pertemuannya tiga sebab, yaitu:
1. Kebelingeran pimpinan PKI 2. Kelihaian subversi Nekolim 3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar".
Ketiga sebab yang disebutkan oleh Bung Karno itu meski pun tidak diperinci, tapi dari hasil penelitian yang luas di kemudian hari, membuktikan kebenarannya.
Kebelingeran pemimpin-pemipin PKI, diakui oleh tokoh-tokoh PKI sendiri, yang akan diuraikan pada bab berikut.
Kelihaian subversi Nekolim, dibenarkan oleh begitu banyak pengakuan tokoh-tokoh Barat dan Amerika, dan dokumen- dokumen resmi yang terungkap mengenai keterlibatan Amerika Serikat dan CIA di Indonesia.
Terakhir, dalam bulan Desember 1992 di Monash University Melburne, Australia, telah diseminarkan topik yang bertema "Indonesian Democracy 1950's and 1990's". Prof. George McT. Kahin dari Cornell University (AS), adalah salah seorang dari 300 pakar tentang Indonesia yang ambil bagian dalam Seminar itu, mengemukakan terus terang dalam makalahnya "Impact of US Policy on Indonesian Politics" (Dampak kebijaksanaan politik Amerika Serikat terhadap Indonesia), betapa jelas campur tangan pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena kekhawatiran Washington tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis.
Dengan mengutip catatan mantan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Hugh S. Cumming Jr, yang tersimpan di Arsip Nasional Amerika, Prof. Kahin mengatakan bahwa Presiden Dwight Eisenhower meminta Cumming supaya waspada atas kenyataan sebuah negara seperti Indonesia yang katanya merupakan masalah besar karena tidak mempunyai tradisi memerintah sendiri, sehingga bisa jatuh ketangan komunis atau terpecah-pecah menjadi bagian lebih kecil.
Dalam konteks perang dingin, Eisenhower lebih suka memilih Indonesia terpecah-pecah ketimbang jatuh ke tangan komunis. Maka setelah Cumming bertugas di Indonesia, Presiden Eisenhower memerintahkan supaya merealisasikan keinginannya meredam kemajuan komunis dengan memperhatikan dua perkembangan di lapangan.
Pertama, sikap Sukarno yang dinilai lebih dekat dengan Beijing, lebih-lebih setelah mengunjungi RRT di tahun 1956, ia mengagumi dan ingin meniru kemajuan Cina dalam membangun ekonominya.
Kedua, PKI dalam PEMILU 1955 meraih 20,6% suara di Jawa dan malah 27,4% dalam pemilihan tingkat propinsi bulan Juli dan Agustus 1957.
Perkembangan ini meningkatkan kecemasan Washington tentang kemungkinan Jawa jatuh ke tangan komunis. Malahan Kahin mengakui, masih banyak arsip Amerika Serikat mengenai keterlibatan CIA di Indonesia yang sampai sekarang masih dirahasiakan, meski pun sudah melewati batas waktu kerahasiaan 30 tahun.`
Dengan premis bahwa komunis di Jawa sudah menjadi suatu mayoritas absolut, maka Badan Keamanan Nasional mendorong CIA membantu memperkuat gerakan pemberontakan di daerah- daerah. Menurut perhitungan Washington, sekiranya pemberontak kuat karena mendapat bantuan Amerika Serikat, maka bisa terjadi perang saudara dan Amerika Serikat pasti memihak kekuatan anti komunis.
Dalam makalahnya sepanjang 31 halaman itu, Kahin mengungkap- kan, CIA kemudian segera beraksi dengan menghubungi tokoh- tokoh militer pembangkang di daerah. Hanya dalam tempo 1 minggu, seorang agen CIA tiba di Padang untuk menyerahkan dana kepada Kolonel Simbolon sebagai bantuan bagi pasukannya yang digulingkan di Sumatera Utara.
Kolonel Simbolon dan beberapa perwira staf Letnan Kolonel Ahmad Husein, komandan tentara di Sumatera Barat, diundang oleh CIA ke pangkalannya di Singapura, kemudian diikuti dengan pengiriman senjata dan dana dalam jumiah besar ke Padang.
Lima bulan kemudian, Amerika Serikat memberikan alat komunikasi dan persenjataan modern kepada 8000 pemberontak di Sumatera. Bantuan itu diserahkan secara sembunyi-sembunyi dan pemberontak mengambilnya sendiri dari kapal selam yang nongkrong di lepas pantai Padang.
CIA juga membawa sejumlah anak buah letnan kolonel Ahmad Husein untuk dilatih komunikasi dan penguasaan menggunakan senjata- senjata modern di berbagai fasilitas militer Amerika Serikat di Pasifik Barat.
Amerika Serikat juga memberikan bantuan serupa kepada pem- berontak PERMESTA di Sulawesi. Tapi bantuan dana dan senjata Amerika Serikat kepada gerakan pemberontak di Sumatera dan Sulawesi, ternyata tidak cukup kuat untuk memaksa Sukarno dan Pemerintah Jakarta memenuhi keinginan Washington. 12)
12) Laporan wartawan "KOMPAS' Ratih Hardjono dan Rikard Bagun yang meliput jalannya Seminar di Australia, "KOMPAS" 21 Desember 1992, Jakarta.
Uraian Prof. George McT. Kahin sangat menarik para peserta seminar. Campur tangan Amerika Serikat di Indonesia tidak bisa dibantah lagi, karena yang mengemukakan tokoh Amerika sendiri dan klimaksnya ialah keterlibatan negara Uncle Sam ini dalam perencanaan dan pencetusan Gerakan 30 September 1965 yang berhasil mengguling- kan Sukarno dan menghancurkan PKI.
Amerika Serikat yang menjadikan dirinya Polisi Dunia, fungsi yang seharusnya hanya menjadi milik PBB, di manamana terus mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
Kenyataan bahwa 20 Januari 1993, hanya beberapa jam sebelum Presiden George Bush melepaskan jabatannya dan menyerahkan tongkat kepresidenan kepada penggantinya yang menang dalam Pemilihan Umum, Bill Clinton, ia masih melancarkan aktifitasnya yang terakhir, mendesak pemerintah-pemerintah di seluruh dunia supaya mendukung usaha yang dirintisnya yaitu menggulingkan Presiden Irak, Saddam Hussein, membuktikan betapa tradisi Amerika Serikat campur tangan urusan dalam negeri negara lain, makin melembaga dan tidak lagi dijalankan secara diam-diam. Pembantu Pusat Keamanan Presiden Bush, Brent Scowcraft, dengan terang-terangan mengakui bahwa Washington memang telah mendukung usaha coup d'etat terhadap Saddam Hussein.13)
13) Disiarkan oleh Kantor Berita "Reuter" dan "AFP" pada tanggal 21 Januari 1993
Apa yang dilakukan oleh Bush terhadap Saddam Hussein, itu pula yang telah dilakukan Amerika Serikat terhadap Sukarno sejak 1956 dan akhirnya sukses pada tahun 1966



















DUNIA dikejutkan oleh siaran Radio Aljir 19 Juni 1965 yang mengumumkan bahwa telah terjadi pengambil-alihan kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella oleh kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair. Dunia gempar, terutama negara-negara Asia-Afrika, karena ketika itu di Aljir, ibukota Aljazair, sedang disiapkan Konperensi Asia-Afrika II, dengan gedung konperensinya yang baru dan megah dibangun atas bantuan Uni Soviet.
Timbul kekhawatiran kalau-kalau penyelenggaraan konperensi akan gagal. Oleh perkembangan di Aljazair yang mendadak itu, Jakarta pun terlibat dalam kesibukan. Penentuan Konperensi AA-II diputuskan di Indonesia sewaktu Peringatan Dasawarsa Konperensi Asia-Afrika (KAA) April 1965.
Dari Duta Besar Rl di Aljir, Assa Bafagih, segera diterima laporan mengenai perkembangan politik di Aljazair. Duta Besar melaporkan bahwa perubahan pemerintahan di Aljazair, dinilainya tidak negatif bagi penyelenggaraan KAA-II. Tanggal 19 Juni 1965 dinihari, Presiden Ben Bella yang sedang tidur nyenyak di Istananya, tiba-tiba diserbu sepasukan tentara bersenjata lengkap dan Presiden itu diambil dari tempat tidurnya. Gerakan militer ini hanya berlangsung 10 menit, tanpa ada perlawanan dari pasukan pengawal Istana.
Sejak saat itu berakhirlah kekuasaan Ben Bella dan ia digantikan oleh kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair yang merencakan semua gerakan pengambilalihan kekuasaan. Suasana waktu subuh dinihari yang sepi, sebentar diramaikan oleh suara brondongan senapan mesin serta deru beberapa panser yang bergerak sepanjang jalan membawa prajurit-prajurit yang bertugas memutuskan semua kawat telepon yang ada hubungannya ke Istana.
Terasa aneh, karena tidak ada perlawanan sedikit pun, baik dari pasukan Pengawal Istana mau pun pasukan lainnya. Sesudah semua terjadi, juga tidak ada perlawanan. Hal ini membuktikan bahwa semua pasukan tentara dikuasai oleh Kolonel Houari Boumedienne.
Manyadari kekhawatiran negara-negara Asia-Afrika akan nasib Konperensi AA-II di Aljir, pemimpin coup d‘état Kolonel Houari Boumedienne segera mengeluarkan pengumuman bahwa penyelenggaraan konperensi dijamin bisa berjalan terus sesuai dengan jadwal.
Presiden Ben Bella digulingkan menurut tuduhan resminya seperti yang disiarkan oleh Radio Aljir, karena ia selalu bertindak sewenang- wenang selama masa kekuasaannya 641 hari. Ia dinilai mau kuasa sendiri, seorang diktator yang meninggalkan dasar musyawarah. Menteri-menteri yang dianggap beroposisi, akan digeser dan pertama- tama hendak disingkirkan ialah Menteri Luar Negeri Bouteflika.
Rencana tersebut dicegah oleh Kolonel Houari Boumedienne dengan mengemukakan pertimbangan, supaya jangan mengambil tindakan yang bisa berakibat luas, mengingat waktu itu Aljir akan menjadi tuan rumah KAA-II, di mana Menteri Luar Negeri sangat penting perannya. Pertimbangan yang diajukan oleh Boumedienne ditolak, bahkan ia diancam akan disingkirkan juga. Tapi di luar dugaan Ben Bella, keadaan justru membalik.
Komandan pasukan yang ditugaskan Ben Bella menangkap Kolonel Houari Boumedienne malah melapor kepadanya. Kemudian perwira itu ditugaskan oleh Boumedienne menangkap Ben Bella. Tentu Ben Bella tidak pernah memperhitungkan bahwa orang yang begitu dipercayainya, dengan mudah bisa berbalik haluan. Dengan berpedoman pada laporan Duta Besar Rl di Aljazair, Kabinet segera bersidang membicarakan perkembangan yang dilaporkan dan kemudian memutuskan: Rezim Kolonel Houari Boumedienne diakui.
Pengakuan ini dinilai tepat, karena juga didukung oleh ber- bagai informasi lainnya yang masuk. Indonesia adalah negara kedua yang mengakui rezim Kolonel Houari Boumedienne. Yang pertama memberikan pangakuan ialah Syria dan beberapa jam sesudah pengakuan Indonesia, menyusul Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara ketiga. Laporan yang diterima dari Duta Besar Rl di Aljazair mengatakan bahwa politik yang dianut oleh Boumedienne mengenai gerakan Asia-Afrika, pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang dianut oleh Ben Bella.
Bagi Indonesia, soal terjadinya coup d‘état, tidak terlalu merisaukan, apalagi setelah diterima laporan bahwa tidak ada keributan yang terjadi dan juga tidak ada perlawanan. Semua tenang dan terkendali, pemerintahan berjalan normal dan demontrasi yang terjadi justru mendukung Boumedienne.
Kontra demontrasi, sama sekali tidak ada.
Oleh karena itu, Kabinet memutuskan, delegasi Indonesia ke KAA-II, segera berangkat menuju Aljir, yang dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Rombongan bertolak dari Bandar Udara Kemayoran 23 Juni 1965 pukul 06.00 pagi dengan pesawat Garuda Convair Jet 990-A, diterbangkan oleh Kapten Pilot Sumedi. Penerbangan dari Jakarta langsung ke Dacca, yang waktu itu masih masuk wilayah Pakistan (Timur). Dari sana menuju Karachi. Ketika rombongan Bung Karno singgah di Karachi untuk mengisi bahan bakar, pejabat- pejabat tinggi Pakistan yang menyambut di airport, segera melaporkan kepada Presiden Sukarno bahwa baru saja diterima berita dari Aljir, Gedung Konperensi diledakkan dengan bom dan belum diketahui siapa pelakunya. Presiden Pakisatan Jenderal Ayyub Khan dan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Buttho, waktu itu sedang ke London menghadiri konperensi negara-negara Persemakmuran. Meski pun terjadi malapetaka di Aljir, Presiden Sukarno memutuskan, perjalanan diteruskan ke Kairo. Di sana telah menunggu Presiden Gamal Abdul Nasser dari Republik Persatuan Arab (Mesir) dan Perdana Menteri Chou En lai dari RRT. Ada pun Presiden Ayyub Khan akan dicegat di Kairo dalam perjalanannya kembali dari London, supaya ikut merundingkan dengan Presiden Sukarno, Presiden Gamal Abdul Nasser dan Perdana Menteri Chou Enlay, mengenai sikap bersama yang harus diambil menanggapi kejadian di Aljir. Tapi ternyata Presiden Ayyub Khan tidak bisa ikut dalam perundingan itu, karena ia sudah ditunggu oleh tugas yang tidak bisa ditunda di tanah airnya dan sebagai gantinya, menugaskan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Buttho mewakilinya dalam pertemuan Kairo.
Pertemuan Kairo yang disebut “Konperensi Tingkat Tinggi Kecil” , menyetujui keputusan yang telah diambil oleh beberapa delegasi yang sudah berada di Aljir (termasuk delegasi Aljazair), supaya penyelenggaraan KAA-II ditunda. KTT kecil di Kairo memutuskan menundanya untuk kurang lebih 6 bulan dengan memutuskan juga supaya tempatnya tetap di Aljir.
Setelah terjadi ledakan bom, Menteri Luar Negeri RRT, Chen Yi, yang memimpin delegasi Cina dan lengkap sudah berada di Aljir, adalah orang pertama yang mengusulkan supaya konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair bukan untuk dibunuh.
Persiapan akhir KAA-II sendiri sebetulnya belum begitu tuntas. Masalah mengundang atau tidak Malaysia dan Uni Soviet, belum ada kesepakatan bulat. Indonesia menolak mengundang Malaysia karena alasan “konfrontasi” , sedang Cina menolak kehadiran Uni Sovyet dengan alasan bahwa meski pun Uni Sovyet mempunyai wilayah di Asia, tapi pusat pemerintahannya berada di Eropa. Jadi, Uni Sovyet tidak bisa dianggap “Asia”, Mesir dan India mendukung kehadiran Malaysia, sedang Aljazair sebagai tuan rumah, akan mengundang Uni Sovyet, apalagi Sovyetlah yang membangun gedung konperensi atas permintaan Aljazair.
Dalam kedudukan saya sebagai Duta Besar Rl di Moskow, mengalami Lobbying yang sulit mengenai undangan kepada Uni Sovyet, karena Indonesia berat menolak usul RRT yang tidak menghendaki Uni Sovyet diundang, sebagai imbalan dukungan RRT terhadap Indonesia yang menolak Malaysia.
Kalau KAA-II jadi diselenggarakan, Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Subandrio, sudah siap dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, yaitu bahwa Amerika dan Inggris sudah membuat satu komplot (persekongkolan) akan mengadakan serangan militer terhadap Indonesia dan mengakhiri kekuasaan Sukarno. Bukti-bukti tentang persekongkolan ini, ada di tangan Subandrio, katanya. Karena konperensi tidak jadi diadakan, Subandrio hanya memberikan interview kepada wartawan harian terbesar d Kairo “Al-Ahram”, mengenai rencana Amerika-lnggris tersebut. Setelah adanya putusan penundaan, Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio ditugaskan oleh Presiden Sukarno mengunjungi berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika yang dikenal dengan sebutan “Safari Berdikari” untuk menjelaskan mengenai penundaan KAA-II serta berkampanye tentang akan diselenggarakannya “Conference of the New Emerging Forces” (CONEFO) di Jakarta, sesudah KAA-II usai. Gedung konperensinya sedang dibangun atas bantuan RRT.
Presiden Sukarno sendiri setelah urusan di Kairo selesai, bersama rombongannya menuju Paris. Di sana dikumpulkannya semua Duta Besar Rl yang berada di Eropa dan Amerika Serikat, untuk mendapatkan Briefing mengenai penundaan KAA-II serta persiapan penyelenggaraan CONEFO.
Dalam delegasi Indonesia yang berunsurkan NASAKOM, ikut juga ketua PKI, D. N. Aidit. Selama berada di Paris, Aidit diketahui menggunakan kesempatan mengadakan kontak dengan pimpinan Partai Komunis Perancis. Juga ia berkunjung ke kantor harian “Le Humanité” (organ Partai Komunis Perancis), di tempat mana ia berjumpa dengan enam orang tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris, karena takut ditangkap Boumedienne.
Sekembalinya dari kunjungan ini, Aidit dicegat oleh wartawan A. Karim D.P., Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ikut rombongan Presiden, menanyakan apa yang dibicarakannya dengan kamerad-kameradnya di Paris. Aidit menerangkan bahwa ia memberitahukan kepada enam orang tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris, supaya segera kembali ke negerinya dan memobilisasi massa rakyat untuk memberikan dukungan kepada Boumedienne. Tindakan yang diambil oleh Boumedienne, adalah benar dan progresif. “Jika satu coup d‘etat didukung sedikitnya 30% rakyat, maka coup yang demikian, bisa bermutasi menjadi revolusi, kata Aidit”. 14}
Ternyata kemudian, teori Aidit ini telah memberikan inspirasi dan merangsang terjadinya malapetaka nasional G30S/PKI, yang disebut oleh Bung Karno salah satu penyebabnya ialah karena keblingerannya pemimpin-pemimpin PKI. Aidit sejak di Paris, sudah memisahkan diri dari rombongan Bung Karno, tapi tidak memberitahukan kepada saya bahwa ia akan ke Moskow.
Padalah waktu itu saya juga hadir di Paris dan ia mengetahui. 14) A. Karim DP, Safari Berdikari, Surya Prabha Jakarta, 1965. Sebelum itu, sudah juga diceritakannya kepada saya ketika kami bertemu di Paris, Juli 1965
Setelah saya tiba kembali di Moskow dari Paris, datang telegram dari Jakarta yang memerintahkan supaya Aidit dan Nyoto, segera disuruh kembali ke Indonesia. Saya terkejut, karena tidak mengetahui kalau Aidit dan Nyoto ada di Moskow. Kedutaan besar tidak menerima laporan tentang kedatangan kedua tokoh PKI itu, padahal keduanya adalah Menteri. Nyoto kemudian tiba-tiba saja muncul di rumah kediaman Duta Besar, namun tidak memberitahukan kalau Aidit juga ada di Moskow. Oleh karena itu saya berusaha menemukannya dan ternyata Aidit ada di Kremlin. Saya sampaikan kepadanya, bahwa ada telegram dari Jakarta yang memerintahkan supaya ia dan Nyoto segera kembali ke Indonesia. Mengenai kunjungan Aidit ke Kremlin, saya diberitahu oleh Duta Besar Korea di Moskow, katanya menurut informasi yang diterimanya, antara Aidit dengan orang-orang Kremlin, terjadi semacam “perang besar”. Apa persisnya yang terjadi, tidak jelas. Hanya diperkira- kan Aidit mengemukakan teorinya tentang coup d’état yang bisa dirubah menjadi revolusi, jika didukung 30% rakyat.
Teori ini bisa dipastikan ditolak oleh Kremlin, karena menurut keterangan, tidak ada dalam ajaran Marxisme, kemungkinan semacam itu. Revolusi harus selalu bersumber dari kemauan rakyat dengan dukungan syarat-syarat objektif yang ada di dalam masyarakat, bukan dipaksakan dari atas dengan satu rekayasa coup d‘etat. Tapi ada keterangan lain bahwa kedatangan Aidit ke Moskow, untuk mengurus kasus cinta antara Nyoto dengan seorang gadis Rusia yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Uni Sovyet. Aidit menghendaki supaya hubungan cinta itu diputuskan, mengingat Nyoto sudah mempunyai isteri. Jika diteruskan, akan merusak citra seorang komunis, apa lagi Nyoto sebagai seorang tokoh komunis Internasional, harus menjunjung tinggi moralitas.
Nyoto sendiri dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia yang orientasi ideologinya lebih condong ke Sovyet ketimbang ke RRT. Karena mayoritas pimpinan PKI condong ke RRT dan menganggap Sovyet sebagai ‘revisionist’ gara-gara politik ko-eksistensinya dengan Amerika Serikat dianggap sudah terlalu jauh, maka kabarnya Nyoto sudah dipersiapkan untuk dicopot dari kedudukannya sebagai wakil ketua II, bahkan sudah dicopot dari jabatannya sebagai kepala Departemen AGITPROP (Agitasi Propaganda) dan digantikan oleh Bismark Oloan Hutapea, direktur Akademi llmu Sosial Ali Archam (AISA), yang tewas di Blitar Selatan dalam Operasi Trisula, pada tahun 1968.
BAB III PUTUSAN DEWAN HARIAN POLITBIRO 30 SEPTEMBER 1965 dipilih oleh Dipa Nusantara Aidit sebagai moment yang tepat untuk menguji kebenaran teorinya yang bersumber dari keberhasilan coup d‘état Boumedienne di Aljazair. Teori ini didukung oleh Syam Kamaruzzaman dan anggota-anggota Biro Ketentaraan Departemen Organisasi PKI lainnya, yang menjadi arsitek Gerakan 30 September 1965. Departemen Organisasi PKI yang membawahi Biro Kententaraan, diketuai oleh Aidit. Anggota-anggota Biro Ketentaraan ialah: Sudisman, Oloan Hutapea, Munir dan Syam sebagai ketuanya.
Dalam meniru keberhasilan Boumedienne di Aljazair, rupanya Aidit lupa mempertimbangkan bahwa Boumedienne bukanlah seorang komunis, meski pun ia dianggap progresif. Partai Komunis Aljazair sendiri tidak mempunyai peran menentukan dalam revolusi kemerdekaan Aljazair. Revolusi Kemerdekaan Aljazair dipimpin oleh satu Front Nasional. Biro Ketentaraan inilah yang kemudian dikenal sebagai “Biro Khusus” yang mempunyai jaringan luas dalam Angkatan Bersenjata di bawah koordinasi trio Syam, Pono dan Bono. Pembentukkannya tidak pernah diumumkan, sehingga eksistensinya pun tidak diketahui oleh organ-organ PKI yang lain, apalagi anggota. Berbagai bekas tokoh PKI lepasan pulau Buru yang diwawancarai, mengatakan bahwa Biro ini ilegal. Pembentukkannya tidak pernah diputuskan dalam rapat-rapat CC PKI, yaitu badan formal dalam PKI yang menjalankan kebijaksanaan tertinggi antara 2 kongres. Bahkan adanya Biro Ketentaraan, tidak pernah dilaporkan dalam sidang-sidang CC PKI. Kedudukan Syam dalam partai sangat strategis, justru karena jabatannya sebagai ketua Biro Ketentaraan. Kata teman-temannya, dialah satu-satunya tokoh PKI yang apabila kehendaknya ditentang, dengan mudah mengeluarkan pistol dan meletakkan di meja untuk menggertak.
Ada pun Syam Kamaruzzaman, menurut seorang mantan anggota CC PKI yang diwawancarai, ayahnya adalah seorang Naib (penghulu pengganti) di Tuban. Waktu pendudukan Jepang, ia masuk Sekolah Dagang di Yogyakarta dan sejak itu ia sudah belajar politik dari Djohan Syahroesyah dan Wijono (kedua-duanya kemudian menjadi tokoh Partai Sosialis Indonesia).
Di awal revolusi, Syam bergabung dengan apa yang dikenal “Kelompok Pathuk”. di Yogya. Kelompok inilah yang memilih Soeharto (sekarang Presiden) memimpin penyerbuan tangsi Jepang di Kota Baru (Yogya) dan berhasil melucuti serdadu-serdadu Jepang dalam tangsi itu dan menawannya. Ketika terjadi perpecahan dalam tubuh Partai Sosialis (1948) antara Sutan Syahrir dengan Amir Syarifuddin, Syam memihak Amir Syarifuddin. Sesudah pemberontakan PKI di Madiun ditumpas oleh TNI, Syam bersama dua orang temannya masuk Jakarta. Di Jakarta ia ikut memimpin Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPP) di Tanjung Priok. D. N. Aidit dan Moh. Lukman, meski pun keduanya tokoh Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berontak di Madiun, tidak tertangkap. Keduanya berusaha masuk Jakarta, tapi harus diusahakan supaya juga bersih dari tuduhan sebagai pemberontak di Madiun. Rencana ini direkayasa dengan sempurna oleh Syam, di mana Aidit dan Lukman dinaikkan kapal dari salah satu pelabuhan dan diturunkan di Tanjung Priok. Keduannya mengaku datang dari Vietnam sebagai penumpang gelap karena tidak punya paspor. Setelah mendarat di Priok, keduannya ditangkap, tapi dengan kecerdikan Syam, bisa dibebaskan. Setelah Aidit berhasil merebut jabatan, ketua PKI dari tangan tokoh-tokoh tua seperti Alimin dan Tan Ling Djie, ia tidak melupakan Syam. Syam dinaikkan kedudukannya dari SBPP, ditugaskan memimpin di SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Lalu ia dikirim ke RRT untuk mempelajari soal-soal kemiliteran. Sekembalinya dari RRT tidak diketahui persisnya kapan), ia ditempatkan oleh Aidit memimpin Komite Militer dalam organisasi PKI, menggantikan pimpinan lama, Soehadi, yang meninggal dunia. Dalam Komite Militer inilah ia berkiprah yang berakhir dengan terjadinya G30S/PKI.
Pengalaman Syam dalam kemiliteran ialah dalam “Lasykar Tani” pada awal revolusi. Dengan pengalaman itu, ia berangkat ke RRT memperdalam soal-soal kemiliteran. Untuk menggambarkan sampai di mana kekuasaan Biro Khusus, ada sebuah cerita yang disampaikan oleh seorang bekas anggota CC sebagai berikut:
Pada suatu hari, seorang anggota CC PKI dari Jakarta,ditugaskan ke Padang untuk urusan partai. Ketika datang di kantor CDB (Comite Daerah Besar) Sumatera Barat di Padang, ia heran karena tidak bisa menemukan seorang pun fungsionaris partai yang berada di tempat. Setelah diusutnya, ketahuan bahwa semua fungsionaris partai diperintahkan supaya mengungsi, karena ada berita bahwa kantor CDB akan diserbu oleh lawan-lawan PKI. Dengan cekatan sekali, semua dokumen diamankan, bahkan mesin-mesin tulis semua dibawa pergi. Setelah ditelusuri lebih lanjut duduk persoalannya, ternyata yang memerintahkan pengungsian ialah orang-orang Biro Khusus. Karena kemudian terbukti tidak ada apa-apa yang terjadi, maka yang mengungsi diperintahkan supaya kembali bekerja seperti biasa. Katanya, perintah mengungsi datang dari petugas-petugas keamanan partai (yang tidak lain dari Biro Khusus), ialah untuk menguji sampai di mana kecekatan para fungsionaris dan kader menyelamatkan partainya jika ada bahaya. Anggota CC dari Jakarta itu jadi bengong, karena tindakan tersebut sama sekali tidak di koordinasikan dengan CC di Jakarta.
Inilah Biro Khusus yang dibentuk oleh Aidit dengan kekuasaan yang begitu luas. Seluruh kegiatannya terselubung dan hanya boleh berhubungan dengan ketua Aidit. Issue “Dewan Jenderal” sudah berbulan-buian beredar sebelum meletusnya G30S/PKI. PKI katanya mengetahui kalau Angkatan Darat sudah siap memukulnya, dengan mengeksploitasi makin buruknya kesehatan Bung Karno. PKI sudah lama menyadari bahwa Angkatan Darat makin tidak suka kepadanya dan terus berusaha menghancurkannya. Oleh karena itu PKI makin giat juga bekerja di kalangan Angkatan Darat dan Aidit membanggakan bahwa pendukungnya di Angkatan Darat kuat, sambil menunjuk hasil Pemilihan Umum 1955, pencoblos tanda gambar palu arit dalam lingkungan Angkatan Darat tercatat 25 %. Di asrama CPM Guntur, Jakarta, banyak sekali pemilih Palu-Arit, katanya.
Karena rencana penghancuran PKI -menurut PKI-dirumuskan oleh sekelompok jenderal AD, maka kelompok inilah yang didesas-desuskan sebagai “Dewan Jendral”. Kelompok Jenderal ini pula—menurut PKI—yang selalu merumuskan sikap politik Angkatan Darat yang menjadi garis menteri-rnenteri dari AD dan wakil-wakil mereka yang duduk dalam berbagai Lembaga Negara. Tapi kalau ditanya, bagaimana susunan organisasinya, mereka tidak bisa menjelaskan selain menduga-duga bahwa dewan ini dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution dan Jenderal A. Yani.
Setelah Aidit memperkenalkan teorinya tentang kemungkinan coup d‘etat bermutasi menjadi revolusi, maka sikapnya yang selama ini nampak loyal kepada Pemerintah dan Bung Karno, tiba-tiba saja berubah. Sudah mulai kedengaran suara-suara supaya Bung Karno dikritik. Biro Khusus yang menjalin kerjasama dengan apa yang disebut “Kelompok Perwira Muda yang Maju”, sepakat melaksanakan putusan Dewan Harian Politbiro, mendahului mengadakan gerakan memukul Angkatan Darat sebelum PKI dihancurkan.
Gerakan ini finalnya diputuskan dalam rapat Dewan Harian Politbiro tanggal 28 September 1965, yang menurut keterangan seorang yang ikut hadir, sidang dihadiri juga oleh eriskre
aris CD[1]arisg kbetulan akardi Jakarta yaitu: CDB Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Barat. Adapun anggota Politbiro ialah: Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman, B.O. Hutapea, Ir. Sakirman, Nyono, Munir, Ruslan Wijayasastra dan Rewang. Ada keterangan bahwa tidak semua anggota Politbiro hadir dalam rapat penentuan itu. Menurut sebuah keterangan, dalam rapat Politbiro ini, ada beberapa peserta yang menyatakan tidak setuju dengan rencana gerakan yang disampaikan olen Aidit, tapi cara mereka menentangnya, hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai keraguan mereka tentang efektifnya diadakan satu gerakan mendahului. Tapi setelah Aidit menjawab dengan mengajukan alasan-alasan yang mematahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, perdebatan tidak berkepanjangan lagi, karena segala persiapan sudah diadakan. Diantara mereka yang jelas menentang ialah Sekretaris CDB Jawa Barat dan Sekretaris CDB Kalimantan Barat. Kedua CDB itu kemudian mengeluarkan pernyataan mengenai sikap mereka yang menentang Gerakan 30 September.
Menurut pleidooi anggota Politbiro Rewang yang ditangkap di Blitar, di muka sidang pengadilan militer yang mengadilinya, 18 Desember 1971, mengatakan bahwa dalam bulan Agustus 1965, telah dilangsungkan rapat Politbiro CC PKI yang membicarakan masalah gerakan. Dalam rapat itu tidak diambil putusan mengenai akan dibentuknya Dewan Revolusi sebagai pengganti Kabinet Dwikora. Sesudah rapat Politbiro, Aidit memanggil anggota-anggota CC PKI yang ada di Jakarta (tidak disebutkan waktunya), dalam satu pertemuan yang bersifat briefing. Dalam pertemuan itu, tidak ada diambil keputusan apa pun, apalagi keputusan mendahului mengadakan gerakan. Terdakwa mengatakan bahwa ia menyetujui kebijaksanaan mendukung sikap golongan “Perwira Muda yang Maju” hendak menentang kudeta segolongan Jenderal. Sesudah itu, pimpinan partai menugaskan kepada sementara anggota CC pergi ke daerah-daerah guna membantu CDB-CDB menjelaskan situasi politik dalam negeri dan sikap politik pimpinan partai menghadapi situasi itu.
Pada tanggal 30 September malam, terdakwa menerima pemberitahuan dari pimpinan atasannya mengenai akan diadakannya gerakan oleh perwira-perwira muda yang maju. Terdakwa menyangkal kalau gerakan itu diputuskan oleh Politbiro. Tapi dikatakan, pada lazimnya, pelaksanaan keputusan Politbiro dilakukan oleh Dewan Harian Politbiro atau ketua partai. Meski pun demikian, sampai terjadinya Gerakan 30 September 1965, Politbiro tidak lagi dipanggil bersidang untuk menerima laporan dari Dewan Harian dan ketua partai, mengenai pelaksanaan keputusan Politbiro menilai kebijaksanaan ketua, atau Dewan Harian Politbiro dalam melaksanakan keputusan Politbiro. Terdakwa mengakui bahwa ditinjau dari kejadian gerakan mendemisionerkan Kabinet Dwikora, memang dapat diartikan pengambil-alihan kekuasaan mengenai pemerintahan yang ada pada Presiden Sukarno. Tapi gerakan itu sendiri menyatakan tetap setia kepada Presiden Sukarno dan garis politiknya. Bahkan pada tanggal 1 Oktober 1965, kata terdakwa, tokoh-tokoh gerakan berusaha beraudiensi kepada Presiden Sukarno dan mentaati segala perintahnya. Terdakwa mengatakan, ia setuju dengan Kritik Oto Kritik (KOK) Politbiro CC PKI yang mengakui bahwa pimpinan PKI telah menjalankan avonturisme di bidang ideologi, teori, politik dan organisasi, sehubungan dengan terjadinya Gerakan 30 September. Gerakan itu tidak bisa dibenarkan ditinjau dari perjuangan revolusioner, secara teknis mau er, secara teknis mau pun prinsip.
Terdakwa membenarkan pernyataan Presiden Sukarno dalam Pelengkap Nawaksara bahwa Gerakan 30 September ditimbulkan oleh 3 faktor: 1. Keblingeran pemimpin-pemimpin PKI 2. Lihainya Nekolim 3. Memang ada oknum-oknum yang tidak benar
Menurut terdakwa, penilaian Bung Karno diberikan atas dasar pandangan seorang non komunis, sebagai landasan untuk mengambil tindakan sesuai dengan dasar-pandang dan politiknya. 15}
Yang banyak juga dibicarakan, ialah keterlibatan RRT dalam gerakan. Tapi pembuktiannya yang konkrit tidak ada, selain dari analisa politik. Salah satu bukti yang ditunjuk. Ialah bahwa Perdana Menteri Chou En lai sudah mengetahui kejadian di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi dan menyampaikannya kepada wakil ketua MPRS, Ali Sastroamidjojo, yang sedang berada di Peking, sebelum sumber resmi di Jakarta mengetahui duduk persoalannya secara jelas.
Sebenarnya hal ini mudah dimengerti, karena di Jakarta ada cabang Kantor Berita Xinhua yang mempunyai hubungan telex langsung Jakarta-Peking. Segala kejadian di Jakarta sudah disiarkan oleh Xinhua yang diterima secara lengkap di Peking pagi tanggal 1 Oktober itu, yang bersumber dari pimpinan Gerakan 30 September. 15) Pleidooi Rewang, dicuplik dan naskah aslinya(tulisan tangan), hal.28, 31, 32, 33 dan 34
Sepanjang yang diketahui, RRT tidak penah mengeluarkan pernyataan mendukung gerakan itu. Apa yang dilakukan oleh RRT ialah Radio Peking menyiarkan secara lengkap KOK Politbiro CC PKI dan menyatakan persetujuannya dengan KOK itu. KOK menyalahkan Gerakan 30 September dan menyatakan sebagai avonturisme di bidang ideologi, politik, teori dan organisasi. Dari analogi ini, bisa disimpulkan bahwa RRT tidak mendukung Gerakan 30 September 1965. Kesimpulan ini bisa dimengerti apabila dikaji bahwa Rl dan RRT kemudian bisa menormalisasi kembali hubungan diplomatiknya yang sejak terjadinya G30S, dibekukan. Sementera persoalan G30S sendiri di Indonesia belum ditutup. Bahkan selanjutnya RRT menyatakan tidak lagi mengakui eksistensi PKI yang di Indonesia memang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang. Mengapa Dewan Harian Politbiro CC PKI memutuskan mendahului mengadakan gerakan?
Menurut keterangan, karena mereka memanfaatkan momentum kehadiran 2 batalyon pasukan yang pro “Kelompok Perwira Muda yang Maju” yang didatangkan oleh KOSTRAD dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk ambil bagian dalam peringatan Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965. Momentum semacam ini dianggap tidak akan berulang lagi, oleh karena itu kesempatan yang ada harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Tapi justru yang tidak diantisipasi, kekuatan induk yang ada di Jakarta, dianggap sudah beres begitu saja. Padahal dalam kenyataannya, kekuatan rieel yang berhasil digerakkan dari Tjakrabirawa, hanya 1 kompi, Brigade Infantri I dibawah kolonel A. Latief hanya 1 pleton, dari AURI hanya bertugas menjaga lapangan Udara Halim Perdana Kusumah, sedang 1 batalyon Infantri dari Tangerang di bawah komandan mayor Sigit, dan satu Batery Artileri Pertahanan Udara di Jakarta di bawah komandan Kapten Wahyudi, yang semula sanggup ikut bergerak, sama sekali tidak muncul.
Sukarelawan yang hanya menerima latihan kemiliteran secara kilat, meski pun jumlahnya 4 batalyon bersenjata lengkap, tapi tidak bisa diandalkan. Betul di antara mereka ada 1 kompi yang sudah menerima latihan menggunakan peluncur roket yang berlaras banyak, senjata yang mempunyai daya penghancur besar, tapi pada tanggal 2 Oktober, setelah acla perintah cease fire dari Panglima Tertinggi, semua senjata diperintahkan oleh AURI supaya dikumpulkan di gudang, termasuk roket. Tindakan ini untuk mentaati perintah Presiden/Panglima Tertinggi supaya menghindarkan pertempuran. Adapun cerita 1 juta massa PKI yang dijanjikan oleh Syam akan menguasai kota Jakarta begitu gerakan dimulai, ternyata hanya omong kosong. Juga bantuan yang diperhitungkan akan datang dari Bandung dan Cirebon, tidak terbukti.
Tanggal 2 Oktober pagi, di Jakarta, praktis Gerakan 30 September sudah lumpuh. Penanggungjawab gerakan di Jakarta, dipercayakan kepada 3 orang yaitu: Nyono sebagai orang pertama Komite Daerah Besar Jakarta Raya, Sukatno ketua Pemuda Rakyat dan Cugito anggota CC PKI. Analisa tokoh-tokoh PKI setelah melihat gerakan mereka gagal, menyimpulkan bahwa Aidit sebetulnya terjebak dalam perangkap yang dipasang oleh Syam, tokoh yang misterius itu, tapi yang paling dipercayainya dalam rangka memenuhi ambisinya hendak berkuasa. Hal ini terungkap ketika Mayor (U) Soejono ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo (sebelum menjalani eksekusi) menceritakan kepada teman-temannya sesama tahanan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam, ia ditugaskan menjemput D.N. Aidit dari rumahnya dibawa ke Pangkalan Udara Halim, dimana G30S menempatkan Sentral Komandonya. Dalam perjalanan di dalam mobil, Soejono menanyakan kepada Aidit mengenai beberapa hal penting menyangkut “gerakan” yang disampaikan melalui Syam untuk di teruskan kepadanya. Syam membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan disampaikan kepada Aidit, tidak boleh disampaikan langsung, melainkan harus lewat dirinya. Syamlah yang akan menyampaikan kepada Aidit. Ternyata berbagai pertimbangan militer yang harus disampaikan kepada Aidit, tidak disampaikan oleh Syam, sehingga banyak hal yang tidak bisa dikoordinasi dengan baik. Semua pertimbangan, hanya Syam sendiri yang menampung dengan akibatnya, setelah gerakan dimulai, terjadi kesimpang-siuran.
Disinilah Syam menjalankan peran sesuai dengan misinya yang misterius dan ia berhasil. Bagi Angkatan Darat, sikap PKI mendahului mengadakan gerakan, malah dianggap kebetulan, karena malah dianggap kebetulan, karena sudah diperhitungkan, PKI tidak mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD sudah diperhitungkan, PKI tidak mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD mendapatkan alasan yang sah untuk menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya. Demikian analisa tokoh-tokoh PKI setelah mereka meringkuk dalam penjara.
Menurut pengakuan tokoh-tokoh PKI yang pernah ditahan atau diadili tapi kemudian dikembalikan ke masyarakat, mereka tidak mempunyai rencana hendak membunuh para Jenderal. Tugas gerakan yang dikendalikan oleh Biro Khusus, hanya bertindak sebagai polisi, menangkap perwira-perwira tinggi yang dituduh anggota “Dewan Jenderal”, sesudah itu menyerahkannya kepada Presiden/Panglima Tertinggi untuk menentukan tindakan apa yang harus diambil terhadap mereka.
Ternyata dalam pelaksanaan terjadi penyimpangan, yang diperkirakan karena akibat rencana terselubung yang memanfaatkan gerakan ini. Tadinya diharapkan supaya pengambilan para Jenderal berjalan mulus saja. Akan tetapi didalam pelaksanaan, bukan saja para Jenderal dibunuh dengan kejam atas perintah Syam, dimasukkan ke dalam sumur tua, bahkan berkelanjutan dengan mengambil tindakan politik yang memberikan warna bahwa tindakan ini betul-betul suatu tindakan coup d‘état. Dewan Revolusi dibentuk untuk menjeiaskan bahwa yang terjadi adalah sebuah revolusi dan Kabinet Dwikora di-demisioner-kan, dengan catatan boleh bekerja terus menjalankan tugas rutin yang tidak bertentangan dengan garis yang ditetapkan oleh Dewan Revolusi. Kemudian mengumumkan program utuk segera menyiapkan penyelenggaraan Pemilihan Umum dan dari hasil Pemilu, akan dibentuk Kabinet Front Nasional yang adil, di mana PKI tentu harus menjadi bagian yang penting didalamnya.
Sebetulnya semua itu hanya angan-angan yang dicoba untuk dimaterialisasikan, tapi pelaksanaannya amburadul. Penyusunan Dewan Revolusi dilakukan sembarangan saja, tanpa konsultasi dengan orang-orang yang namanya dicantumkan dalam susunan Dewan. Dengan demikian, maka susunan Dewan hanya fiktif belaka, sekedar nama-namanya diumumkan lewat RRI yang waktu itu mereka kuasai, tapi tidak pernah efektif walau sejenak. Walau pun Kabinet sudah dinyatakan demisioner, tetap saja menjalankan kekuasaan eksekutifnya tanpa campur tangan Dewan Revolusi.
Memang politik tidak sesederhana seperti apa yang sering dipikirkan orang naif. Untuk mendapatkan sedikit gambaran awal mengenai tanda-tanda akan terjadinya peristiwa G30S, ada baiknya kita menengok ke belakang dengan memperhatikan beberapa keterangan berikut: 1. Pada suatu hari di bulan Agustus 1965, Ny. Umi Sarjono, ketua umum GERWANI, dan anggota DPRGR, minta tolong kepada Menteri/Wakil ketua DPRGR Mursalin Daeng Mamanggung untuk menyampaikan kepada Menko/Ketua MPRS Chaerul Saleh supaya mencegah Aidit (Menko/Wakil ketua MPRS) melaksanakan satu rencana yang tidak disebutkan apa bentuknya. Setelah pesan itu disampaikan oleh Mursalin kepada Chaerul, reaksinya tidak serius, sehingga tidak terkesan adanya sesuatu yang penting. Dikira hal itu urusan pribadi saja.
2. Dalam rangka peringatan Hari ABRI, 5 Oktober 1965, atas prakarsa Men/Pangad Letnan Jenderal A. Yani, Presiden Sukarno dimohon bersedia menerima satu pawai SEKBERGOLKAR (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Bung Karno menjawab, bersedia saja menerima, asal panjangnya barisan lima Km. Yani menyanggupinya. Tentu saja untuk menghimpun massa SEKBERGOLKAR dalam barisan yang begitu panjang, diperlukan satu pengorganisasian yang luas. Mursalin terlibat dalam kegiatan ini, karena ia adalah seorang anggota pimpinan SEKBERGOLKAR.
Lukman, wakil ketua PKI yang juga Menteri/Wakil ketua DPRGR, mendengar keterlibatan Mursalin dalam rencana itu, minta kepadanya supaya tidak usah ikut-ikut campur tangan. Tapi Mursalin menjawab bahwa keikut-sertaannya, karena statusnya sebagai anggota pimpinan SEKBERGOLKAR. 3. Ceramah Prof. Dr. Wertheim dalam satu pertemuan 23 September 1990 di Amsterdam, di mana diuraikannya bahwa ketika ia dan istrinya pada tahun 1957 mengajar sebagai Guru Besar Tamu di Bogor, ia sempat bertemu dengan Aidit dan beberapa tokoh PKI lainnya. Aidit memberitahukan kepadanya tentang kunjungannya ke RRT. Dari sumber lain Wertheim mendengar bahwa ketika Aidit di Peking dan menemui Mao Zedong, Aidit ditanya: “Kapan ia akan mundur ke daerah pedesaan” 16) 16) Majalah „Arah „ Suplemen, No, 1, 1990, Amsterdam.
Tentang pembicaraan Aidit dengan Mao Zedong ini, seorang bekas mahasiswa Indonesia yang pernah belajar di Peking dan berhasil menyelesaikan studinya dalam jurusan Sinologi, menceritakan bahwa rumor yang tersiar dikalangan mahasiswa Indonesia di Peking waktu itu, pertama-tama Mao Zedong menanyakan kepada Aidit, apakah ia sudah pernah mencopot dasinya dan terjun ke desa memimpin gerakan tani, mengingat Indonesia adalah negara agraris yang 80% rakyatnya terdiri dari petani? Menurut cerita ini, Aidit merasa agak dipermalukan oleh Mao Zedong, karena ia tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan mengenai gerakan tani di Indonesia. Mungkin karena pengalaman buruk ini, maka pada tahun 1964, Aidit memimpin satu gerakan riset besar-besaran untuk meneliti gerakan tani di Jawa dengan melibatkan kurang lebih 3300 kader PKI, yaitu 3000 kader tingkat kecamatan dan desa, 250 kader tingkat propinsi dan 50 kader tingkat pusat. Proyek ini diselesaikan dalam 4 bulan, yaitu Pebruari sampai Mei 1964. Menurut perkiraan waktu itu di Jawa ada 45 juta kaum tani. Yang diriset ialah desa-desa di 124 kecamatan. Masing-masing kader melakukan riset 45 hari, kemudian menyusun kesimpulan. Aidit sendiri mengatakan bahwa ia melakukan perjalanan dengan mobil sepanjang 6000 Km selama memimpin pekerjaan riset itu. Laporan hasil risetnya, disampaikan dalam ceramahnya dihadapan para dosen, mahasiswa dan undangan Akademi llmu Politik “Bachtaruddin” (milik PKI) tanggal 28 Juli 1964 di Balai Prajurit “Diponegoro”, Jakarta.
Dari hasil riset ini, kata aidit, telah bisa dipusatkan sasaran gerakan tani di seluruh tanah air melawan apa yang disebutnya “7 setan desa”: tuan tanah jahat, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, penguasa jahat, kapitalis birokrat di desa dan bandit desa. Hasil riset tersebut telah memperkuat kesimpulan PKI bahwa di Indonesia terdapat 4 ciri sisa-sisa feodalisme, yaitu: 1. Monopoli tuan tanah atas tanah. 2. Sewa tanah dalam wujud hasil bumi. 3. Sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan tanah. 4. Utang-utang yang mencekek leher kaum tani. 17) Maka mulailah diatur supaya Barisan Tani di Indonesia (BTI) melakukan latihan revolusioner di desa, yang dikenal dengan Aksi Sepihak, untuk menguji sampai dimana militansi kaum tani yang diorganisasi oleh BTI. Di daerah Klaten, Jawa Tengah, misalnya. Yang menjadi sasaran ialah kaum tani yang sawahnya luas, melebihi 5 ha. Menurut Aidit, Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang- Undang Pokok Bagi Hasil, sesuai ketentuan Menteri Pertanian dan Agraria, tahun 1963 adalah tahun terakhir pelaksanaannya di Jawa, yaitu tanah tuan tanah dinasionalisasi dan seorang petani tidak boleh mempunyai tanah lebih dari 5 ha. Itulah alasannya mengapa Aksi Sepihak dilancarkan, karena sampai tahun 1964, ketentuan UU tersebut tidak dilaksanakan oleh Pemerintah. 17) Majalah „llmu Marxis‘, triwulan ketiga, tahun ke-VII, No. 3 Jakarta, 1964
Tapi apa yang terjadi di Jawa Tengah, BTI melakukan Aksi Sepihak tanpa persetujuan Pemerintah. Kebetulan yang menjadi sasaran ialah petani-petani anggota PNI. Tentu saja orang-orang PNI melakukan perlawanan dan akibatnya jatuh korban. Dalam ceramah Wertheim yang disinggung di atas, ia juga mengatakan bahwa pada tahun 1964, menerima kunjungan wakil ketua PKI Nyoto di Amsterdam. Nyoto bersama tokoh-tokoh PKI lainnya, waktu itu sedang berada di Eropa, menghadiri satu konperensi di Helsinki. Sewaktu bertemu dengan Nyoto, kata Wertheim, ia teringat kembali pertanyaan Mao Zedong kepada Aidit “Kapan akan mengundurkan diri ke daerah pedesaan?”, sambil mengingatkan kepadanya bahwa situasi Indonesia sekarang, mirip dengan keadaan di Tiongkok sebelum coup d‘état Generalisimo Chiang Kaisyek. Menurut Wertheim, di Indonesia juga akan ada bahaya besar seperti di Tiongkok tahun 1927, di mana PKI akan dihancurkan. Oleh karena itu dianjurkannya dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk menyusun perlawanan di bawah tanah dan mundur ke pedesaan.
Jawaban Nyoto, menurut Wertheim, untuk menghancurkan PKI sekarang sudah terlambat, karena PKI sudah terlalu kuat dan juga mempunyai kekuatan di lingkungan ABRI”. Wertheim mengatakan, ia tidak berhasil meyakinkan Nyoto. 18) 18) Ceramah Prof. Dr. W.F. Wertheim, seperti yang dimuat dalam rnayalah “Arah”, Supplement, No. 1, 1990, Amsterdam.
Biro Ketentaraan Departemen Organisasi PKI atau yang dikenal dengan “Biro Khusus” bersama sekutunya “Perwira Muda yang Maju”, sebelum 30 September 1965, sudah berkali- kali mengadakan pertemuan, tempatnya berganti-ganti, di rumah kapten Wahyudi dari ARHANUD (Artileri Pertahanan Udara), di rumah kolonel Latief (komandan Brigade Infantri I KODAM V Jaya) dan rumah Syam, untuk mengkonsolidasi kekuatan sampai pada tahap persiapan akhir.
Seorang komandan batalyon yang ikut dalam rapat-rapat itu dan akhirnya ditahan di Rumah Tahanan Khusus Salemba, yang kemudian berganti nama menjadi INREHAB (Instalalasi Rehabilitasi) Salemba, sudah mengemukakan keraguannya mengenai kemungkinan keber- hasilan gerakan. Secara perhitungan militer, gerakan yang dipersiapkan hendak mendahului itu, tidak bisa menjamin kemenangan mutlak, karena pasukan yang hendak digerakkan, tidak konkrit, baru perhitungan di atas kertas. Diperkirakan, akan lebih banyak yang meng- gabung, jika gerakan sudah dimulai. Tapi Syam berkata: „masa tidak percaya kepada kekuatan massa PKI yang sudah teruji militansinya, siap rnenguasai ibukota begitu gerakan dimulai“.
Ketika gerakan siap dimulai dengan menjadikan desa Lubang Buaya sebagai pangkalan, perwira yang ragu tadi tidak muncul dan juga tidak menyiapkan pasukannya untuk bergerak, seperti yang diputuskan dalam rapat. Ia seorang militer profesional yang merasa bertanggung jawab penuh atas nasib prajurit. Ia tidak mau mengorbankan anak buah, karena yakin persiapan tidak matang.
Senada dengan apa yang diakui oleh anggota Politbiro Rewang dalam pleidooinya dimuka sidang pengadilan, sebelum semua persiapan kegiatan itu, ada sidang CC PKI yang dihadiri anggota-anggota CC yang berada di Jakarta dengan menghadirkan juga Sekretaris-Sekretaris tingkat Propinsi di Jawa, pada bulan Agustus 1965. Dalam rapat itu Aidit menguraikan situasi politik dalam negeri yang dinilainya sudah semakin kritis, karena katanya, sudah diketahui akan ada rencana coup d‘etat “Dewan Jenderal” yang dini terhadap Bung Karno dan sekaligus menghancurkan PKI.
Gerakan ini akan dilancarkan oleh “Dewan Jenderal”, sehubungan dengan kesehatan Bung Karno yang makin buruk, yang diketahui dari laporan team dokter RRT yang merawatnya. PKI, kata Aidit, harus bersiap menghadapi bahaya itu, karena bagaimana pun, PKI pasti terancam.
Mengenai gerakan, mantan ketua Mahkamah Agung Rl, Ali Said, SH., dalam ceramahnya di depan mahasiswa Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer Jakarta 23 Nopember 1992 mengatakan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter RRT yang pernah mengobati Bung Karno, menyimpulkan bahwa apabila datang serangan lagi, akan berakibat fatal bagi Bung Karno, yaitu lumpuh atau meninggal dunia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter RRT ini, Aidit menyelenggarakan pertemuan berturut-turut dengan Politbironya untuk membahas: 1. Keadaan Presiden/PBR (Pemimpin Besar Revolusi) yang makin memburuk.
2. Adanya suatu Dewan Jenderal di lingkungan AD yang siap mengambil alih kekuasaan setelah Presiden tidak berdaya lagi, bahkan kemudian menginformasikan Politbironya bahwa Dewan Jenderal akan lebih dulu bertindak sebelum Presiden wafat, dan tindakan itu akan dilancarkan sekitar Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965.
3. Adanya kelompok perwira progresif di lingkungan Angkatan Darat yang akan mencegah serangan/ menggagalkan upaya coup Dewan Jenderal.
4. Kepada rekan-rekannya ditanyakan oleh Aidit, bagaimana seyogianya sikap yang harus diambil PKI. Membiarkan Dewan Jenderal bergerak dulu untuk kemudian dilawan, ataukah lebih tepat apabila PKI menyerang terlebih dahulu. Aidit sendiri lebih berat meletakkan pilihannya “Mendahului” gerakan Dewan Jenderal. 19) 19) Berita Buana, 25 Nopember 1992, Jakarta.
Ali Said, SH., tidak menjelaskan sumber keterangan butir-butir yang diuraikannya, terutama mengenai butir 2 sampai 4. Butir 1 sudah umum diketahui. Tapi menurut keterangan seorang yang hadir dalam pertemuan CC yang diperluas, dan kemudian ditahan, Aidit tidak menjelaskan apa bentuk gerakan yang akan ditempuhnya untuk menyelamatkan PKI. Ia hanya minta persetujuan sidang supaya memberikan kepercayaan kepadanya mengambil langkah-langkah yang diperlukan, permintaan mana diluluskan. Berdasarkan kepercayaan inilah, Dewan Harian Politbiro dalam sidangnya tanggal 24 September 1965, menyusun rencana hendak mendahului gerakan apa yang mereka tuduhkan sebagai rencana coup d‘etat yang hendak dilancarkan oleh “Dewan Jenderal”.
Dewan Harian yang dimaksud ialah para ketua Partai Kepala Sekretariat dan tentu saja ditambah dengan Syam Kamaruzzaman. Pada hari itu juga Komite Jakarta Raya mengadakan rapat yang dipimpin oleh sekretarisnya, Nyono, dihadiri oleh seluruh pimpinan Seksi Komite di seluruh Daeral Jakarta Raya, untuk membagi tugas masing-masing.
Jakarta Raya dibagi dalam beberapa Sektor dan Komandan Sektor sudah diangkat begitu selesai latihan kemiliteran di Lubang Buaya. Pembagian wilayah sudah ditentukan. Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang berafiliasi dengan PKI, ditugaskan menyediakan konsumsi dengan membuka dapur umum. Pada saat gerakan dimulai, nasi bungkus dengan lauk pauknya supaya disediakan untuk melayani prajurit yang bergerak. Beras dan uang lauk pauk sudah didrop.
Tapi pada saat gerakan dimulai, tidak satu pun dapur umum yang berfungsi. Akibatnya, semua prajurit dari sukarelawan yang sudah menerima latihan kemiliteran di Lubang Buaya dan siap disektornya masing-masing, jac kelaparan. Ini membuktikan bahwa pengorganisasian gerakan itu tidak beres dan tidak cukup dipahami oleh massa bawahan.
Menurut keterangan seorang perwira Batalyon Infantri 454/Diponegoro yang ikut bergerak pada 1 Oktober 1 965 itu, uang Batalyon yang dibawa dari Semarang, terpaksa dikeluarkan membeli makanan, karena prajurit-prajurit sudah kelaparan. Begitulah gambaran betapa kacaunya pengaturan gerakan itu. Seorang mantan anggota CC PKI yang pernah ke pulau Buru, menceritakan bahwa 2 hari sebelum gerakan dicetuskan, ia sudah mendengar akan adanya gerakan. Maka ia pun segera menemui Nyono, orang pertama PKI Jakarta Raya, minta dengan sangat supaya gerakan dibatalkan. Tapi Nyono menjawab bahwa itu sudah menjadi putusan yang tidak mungkin dirubah lagi.
Karena orang itu merasa dirinya mempunyai kedudukan yang penting dan seharusnya ikut menentukan dalam Partai, yeitu sebagai anggota CC, maka ia bertanya: Putusan siapa? Karena ia sebagai anggota CC PKI tidak pernah merasa ikut merundingkan apalagi menyetujuinya.
Ketika Nyono akhirnya ditangkap dalam satu operasi pembersihan di sekitar percetakan Negara Jakarta, ia diadili sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) dan dijatuhi hukuman mati.
Sebelum dieksekusi, Nyono ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) jalan Budi Utomo Jakarta dan kebetulan mantan anggota CC yang pernah memperingatkannya supaya membatalkan pelaksanaan „Gerakan 30 September“ itu, juga ditahan di tempat yang sama. Karena ia mendengar bahwa eksekusi terhadap Nyono akan dilaksanakan besoknya, maka diperlukannya menemui Nyono dengan cara sembunyi-sembunyi, untuk menyampaikan berita sedih itu.
Nyono hanya menjawab bahwa ia belum lupa nasehat temannya ini, tapi sekarang nasi sudah menjadi bubur. Risikonya adalah yang terpahit:
Menghadapi regu tembak, sesuai dengan vonnis yang dijatuhkan oleh MAHMILLUB. Gerakan ini berakibat fatal bukan saja tidak mendapat dukungan rakyat, tapi juga pelaksanaannya tidak lewat perencanaan yang akurat, sehingga yang tampil ke permukaan hanyalah ketakaburan dengan menganggap bahwa gerakan pasti berhasil. Sama sekali tidak diperhitungkan kemungkinan gagal. Dengan demikian, gerakan ini secara militer sepenuhnya avonturisme, menyimpang dari teori revolusi seperti yang dimaksudkan oleh pencetusnya.
Itulah sebabnya, setelah Letnan Jenderal Soeharto menumpas gerakan ini, hanya dalam tempo 5 hari seluruh kekutan inti gerakan, telah dihancurkan. PKI mundur dan hanya berusaha menolong situasi dengan mengeluarkan pernyataan seolah-olah mereka tidak terlibat dan apa yang terjadi semata-mata persoalan intern Angkatan Darat.
PKI mengeluarkan seruan kepada seluruh anggota dan simpatisannya supaya memper- tahankan legalitas sambil waspada. Untuk mendukung prinsip ini, PKI menyerukan kepada anggota-anggotanya supaya mendaftarkan diri di Front Nasional, satu seruan yang sebenarnya bunuh diri. Karena ternyata, semua yang datang mendaftarkan diri, tak seorang pun lagi yang bisa kembali, mereka langsung ditahan.
Dalam waktu yang relatif singkat, beribu-ribu pengikut PKI sudah berada dalam tahanan dan gerakan perlawanan yang berarti, sudah tidak ada lagi. Di Yogyakarta dan Solo ada sedikit perlawanan karena D.N. Aidit berada di sana setelah diterbangkan oleh pesawat AURI dari Halim atas perintah Menteri/Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani.

BAB IV APEL LEWAT TENGAH MALAM 28 SEPTEMBER1965, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), melangsungkan resepsi penutupan kongresnya di Istana Olahraga (ISTORA) Senayan, dengan mengundang Bung Karno dan beberapa Menteri untuk memberikan amanat.
Gedung yang bisa menampung 10.000 audience itu, penuh sesak oleh mahasiwa anggota CGMI dan anggotaanggota pemuda seazas. Yel-yel yang mereka teriakkan: “Bubarkan HMI (Himpunan Mahasiwa Islam) yang dikenal sebagai organisasi mahasiswa yang mendukung MASYUMI, partai Islam yang sudah dibubarkan karena dituduh terlibat pemberontakkan PRRI di Sumatera Barat (1958). Itulah sebabnya CGMI menuntut pula supaya HMI dibubarkan. Seolah- olah kongres ini diselenggarakan, terutama untuk menuntut pembubaran HMI.
Biasa, kalau Bung Karno diminta memberikan amanat, selalu didahului dengan sambutan seorang atau dua orang menteri. Sebagai gongnya, barulah Bung Karno tampil. Pertama-tama tampil Menteri Penerangan Ahmadi. Tapi ternyata suaranya tenggelam dalam gemuruhnya yel-yel yang menuntut pembubaran HMI. Audience tidak sabar dan minta Ahmadi cepat- cepat saja menyatakan mendukung pembubaran HMI. Karena pidatonya terus diganggu oleh gemuruh yang berlebih-lebihan, akhirnya ia hentikan setelah diam 10 menit menantikan redanya suara yang gemuruh, tapi tidak juga berhenti.
Suasana terasa sekali sangat menekan. Sesuai dengan acara, tampillah pembicara berikutnya, Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, berbicara menurut gayanya yang tidak agitatif. Ia dengan tenang dan jelas menyampaikan sikap Pemerintah berkenaan dengan tuntutan pembubaran HMI. Inilah kata-kata Dr. Leimena:
“Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI. HMI adalah organisasi yang nasionalistis, patriotik dan loyal kepada Pemerintah. Pemerintah banyak mendapat sokongan dari HMI dalam perjuangan melawan NEKOLIM” . Mendengar pernyataan Dr. Leimena yang sangat jelas itu, meski pun diucapkan dalam gaya seorang pendeta, tapi cukup mengejutkan. Suasana di seluruh tanah air waktu itu yang diciptakan oleh PKI dan para pendukungnya, sepertinya memastikan bahwa HMI malam itu dibubarkan.
Tibalah giliran Bung Karno menyampaikan amanatnya. Massa CGMI - mengharapkan Bung Karno berbicara lain. Bung Karno memulai pidatonya dengan mengatakan: “Sebelum memulai pidato saya, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijaksanaan Pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena sebagai wakil Perdana Menteri II, mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan. Karena saudara-saudara sudah mendengar kebijaksanaan Pemerintah, mungkin saudara-saudara ingin pula mengetahui sikap ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walau pun ia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya, sebelum saya melanjutkan dengan pidato saya. Setuju ?” Tentu saja di jawab “setuju”.
Maka Aidit pun berdiri mendampingi Bung Karno. Suaranya menggemuruh melalui pengeras suara. Katanya: “Kalau Pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri saja. Dan kalau kalian tidak mampu melakukan itu, lebih baik kalian jangan pakai celana, tapi tukar saja dengan sarung”.
Aidit meneruskan pidatonya dengan berkobar-kobar dan akhirnya berkata kepada mahasiswa-mahasiswa komunis itu tentang adanya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang rakyat dan memelihara isteri empat sampai lima. 20) 20) Cuplikan pidato Wakil Perdana Menteri 11 Dr Leimena, pidato Bung Karno dan pidato Aidit, dikutip dari rekaman Ganis Harsono yang dimuat dalam bukunya Cakrawala Politik Era Sukarno, hal.202
Pidato Aidit ini betul-betul satu tantangan dan juga satu komando yang menentang kebijaksanaan Pemerintah. Pada waktu itu, PKI sudah memutuskan siap bertindak, tapi rencana itu tidak segera bisa diantisipasi oleh aparat keamanan Negara. Dua hari kemudian, terjadilah apa yang harus terjadi, seperti yang memang sudah direncanakan oleh PKI. Peristiwa 28 September 1965 malam di ISTORA, adalah klimaks dari akumulasi ketegangan politik yang sejak berbulan-bulan sudah dirasakan dan akhirnya meletus lewat cara antagonis dengan “Gerakan 30 September 1965“. Alasan mencetuskan G30S difokuskan pada melawan apa yang disebut “rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno”. Bukan mustahil bahwa kebijaksanaan untuk tidak membubarkan HMI seperti yang dituntut oleh CGMI, juga dianggap sebagai satu rangkaian dari rencana keberhasilan “Dewan Jenderal”, padahal sikap itu sangat jelas adalah sikap Bung Karno dan Kabinet
Memang PKI sudah dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang G30S, makin agresif dalam sikap dan tindakannya. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut “kapitalis birokrat” terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan „Aksi Sepihak“ dan istilah “7 setan desa”, serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada “kepemimpinan”-nya dan mengabaikan “demokrasi”-nya, adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI, sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi. Dilupakannya bahwa seumpama benar dibidang politik partai ini sudah berdominasi, tapi dalam kenyataan sama sekali tidak berhegemoni, sehingga anggapan berdominasi, tidak lebih dari satu ilusi.
Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah letkol. Untung Samsuri.
Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya. Kolonel A. Latief yang juga gagal menemukannya, terpaksa mencari jalan penyelamatan sendiri.
Wishnu Djajeng Minardo, komandan pangkalan Halim sewaktu meletusnya G30S dalam percakapan dengan saya mengatakan, ketika Bung Karno pada tanggal 1 Oktober 1965 berada di Halim, ia melihat Suparjo duduk di ubin sambil termenung. Wishnu memang mengenalnya. Supardjo mengatakan kepadanya: „Kita sudah kalah“. Ucapan Supardjo membuktikan dengan jelas bagaimana perintah cease fire dari Bung Karno, tidak bisa berarti lain kecuali bahwa G30S memang tidak diketahui oleh Bung Kamo sebelum terjadi, oleh karena itu ia menolak memberikan dukungan, ketika diminta oleh Supardjo. Gerakan dimulai dengan sebuah apel lewat tengah malam, sudah masuk tanggal 1 Oktober 1965, karena jarum jam menunjukkan pukul 02.00 pagi dengan berpangkalan di desa Lubang Buaya, di luar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Apel diikuti oleh semua pasukan yang sudah disiapkan akan bergerak pagi buta itu menuju sasaran. Tugas pokoknya menangkap para Jenderal yang dituduh tidak loyal kepada Presiden/ Panglima Tertinggi. Ternyata satu regu tidak hadir, yaitu yang ditentukan untuk sasaran Jenderal A. H. Nasution, kabarnya dari AURI. Tapi ketidak hadiran regu itu, bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi, karena kemungkinan yang demikian dalam gerakan militer, selalu diperhitungkan. Regu cadangan selalu siap untuk setiap saat mengambil alih tugas pihak yang berhalangan. Regu cadangan yang dipimpin oleh letnanDjahurup dari „Tjakrabirawa“ mempunyai kelemahan, yang berhalangan. Regu cadangan yang dipimpin oleh letnan Djahurup dari „Tjakrabirawa“ mempunyai kelemahan, yaitu belum pernah melakukan survey medan yang akan menjadi sasaran. Untuk sasaran lain, sudah disurvey oleh masing-masing regu yang bersangkutan. Ternyata ketidak-hadiran regu untuk sasaran Jenderal A.H. Nasution dan digantikan regu cadangan yang tidak menguasai medan, berakibat fatal.
Sebelum regu-regu sasaran bergerak dengan bantuan pasukan pendukungnya masing-masing, komandan memberikan pengarahan dan instruksi mengenai tugas yang harus dilaksanakan, serta menjelaskan alasan-alasannya. „Tugas ini adalah tugas mulia“, kata komandan, sebagaimana ditirukan oleh seorang prajurit yang ikut dalam apel itu. Perintahnya, supaya para Jenderal yang sudah ditentukan dan fotonya dibagikan kepada para komandan regu, harus dibawa untuk dihadapkan kepada Presiden/Panglima Tertinggi, dalam keadaan hidup atau mati. Karena ternyata 3 Jenderal dibawa dalam keadaan tidak bernyawa, maka diberikanlah alasan: Mereka melakukan perlawanan!
Kolonel A. Latief di muka sidang MAHMILTI (Mahkamah Militer Tinggi) II Jawa Bagian Barat yang mengadilinya, memberikan keterangan bahwa Letnan Kolonel Untung memberitahukan kepadanya, para Jenderal diambil untuk kemudian diserahkan kepada Presiden/Panglima tertinggi. Tapi setelah tiba dalam pelaksanaan, tidaklah seperti rencana semula, karena tiga Jenderal lainnya yang dibawa dalam keadaan hidup, kemudian juga dibunuh. Ketika Latief minta penjelasan mengenai hal ini kepada Untung, dijawab bahwa itu semua menjadi tanggung jawabnya. Kolonel Latief juga mengatakan bahwa Syam mengakui di muka sidang MAHMILTI yang mengadilinya, bahwa dialah yang memerintahkan membunuh semua Jenderal yang dibawa masih dalam keadaan hidup di Lobang Buaya. 21) 21) Dikutip dari pembelaan kolonel A. Latief, hal. 94.
Pelaksanaan operasi seperti yang diuraikan di atas, sesuai dengan perintah komandan, semua dilaksanakan tanpa ragu-ragu. Menurut ketentuan, Perintah Militer, baik tertulis mau pun lisan, nilainya sama. Jika ada yang belum jelas, harus ditanyakan pada saat perintah itu diberikan. Sesudah itu, semua dianggap sudah jelas dan dipahami untuk langsung dilaksanakan. Jika ada sesuatu keberatan, perintah harus dilaksanakan dulu, baru alasan keberatannya diajukan kepada komandan atasannya. Menyimpang dari prosedur ini, berarti pembangkangan yang bersanksi Hukuman Militer. Oleh karena itu dikemudian hari timbul masalah hukum, yaitu setelah kasus G30S/PKI dinyatakan sebagai tindak makar yang diajukan ke sidang Pengadilan Militer, timbul pertanyaan: Apakah prajurit yang bertindak menjalankan perintah komandan atasan yang tidak bisa dibantah, harus ikut bertanggungjawab atas akibat tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan perintah komandan atasan itu? Bukankah jika perintah ini diingkari, berarti pelanggaran Sumpah Prajurit, yang juga akan mendapat hukuman berat? Bukankah dalam hal ini, seharusnya yang bertanggungjawab hanyalah komandan yang memerintahkan tindakan itu?
Ada pula pendapat lain yaitu bahwa sesudah kejadian, semua prajurit yang terlibat, langsung dipecat dari dinas tentara, karena dinyatakan sebagai pemberontak melawan kekuasaan yang sah. Oleh karena itu, semua anggota yang terlibat, tidak terbatas pada komandan yang memerintahkan saja, semua anak buah harus dianggap sebagai hoofddader (pelaku utama). Argumentasi ini disangkal lagi dengan mengatakan bahwa perbuatan itu dilakukan masih dalam status mereka sebagai tentara resmi dan karenanya semua dilakukan atas dasar tugas. Mereka bergerak ber- dasarkan Perintah Militer, bagaimana mereka bisa disebut hoofddader?
Akhirnya, semua prajurit anggota regu sasaran divonnis, umumnya hukuman mati. Waktu menyerbu rumah Jenderal A. H. Nasution, komandan regu (cadangan), tidak mengetahui di mana persisnya letak rumah itu. Oleh karenanya, rumah yang diserbu justru yang tidak ada hubungan apa-apa dengan tugas yang harus dilaksanakan, yaitu rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, yang kebetulan diselingi rumah lain dari rumah Jenderal A. H. Nasution.
Setelah menyadari terjadi kekeliruan, mereka segera menuju ke rumah Jenderal Nasution. Karena setelah pintu diketuk tidak dibuka, maka kunci pintu ditembak sehingga terbuka. Sebelum pintu terbuka, ibu Nasution sudah menyuruh suaminya meninggalkan rumah, lewat lubang angin terjun ke pekarangan Kedutaan Besar Irak yang berdampingan dengan rumahnya. Meski pun kakinya terkilir sewaktu melompat ke tanah, ia masih dapat berjalan dan menyelamatkan diri mencari perlindungan. Suara tembakan masih terdengar dan sebuah peluru nyasar mengenai putrinya, Ade Irma, yang sedang digendong ibunya. Kemudian Ade Irma meninggal akibat tembakan itu.
Menjelang Maghrib, Jenderal A. H. Nasution berhasil mencapai Markas KOSTRAD di jalan Merdeka Timur dan bergabung dengan Panglima KOSTRAD, Jenderal Soeharto, yang sementara itu sudah mengambil langkah penumpasan terhadap Gerakan 30 September.
Adapun Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letkol Untung Samsuri, komandan batalyon I Resimen Tjakrabirawa, setelah berhasil mengambil para Jenderal, kecuali Jenderal A.H. Nasution yang lolos, maka Brigadir Jenderal Suparjo dengan ditemani oleh Letnan Kolonel (U) Heroe Atmodjo (deputy direktur bagian operasi khusus AURI), keduanya termasuk anggota Presidium G30SlPKI, pada tanggal 1 Oktober pagi itu pergi ke Istama Merdeka, hendak melaporkan kepada Presiden/Panglima Tertinggi apa yang telah terjadi. Ternyata Presiden tidak ada di Istana, dan keduanya pergi ke Halim, setelah mengetahui Presiden ada di sana. Menurut keterangan kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, pada tanggal 30 September 1965 pukul 19.00, Presiden menghadiri resepsi penutupan Musyawarah Nasional Kaum Teknisi Indonesia di ISTORA Senayan sampai pukul 21.00. Saelan ma!am itu memegang tanggungjawab seluruh pengamanan Presiden, karena komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur pergi ke Bandung dan tidak diketahui apa urusannya. Yang ditugaskan oleh Saelan mengamankan sekitar ISTORA ialah batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang dipimpin langsung oleh komandannya, letkol Untung Samsuri. Saelan mengatakan bahwa malam itu ia sempat memarahi Untung karena salah satu pintu ISTORA yang seharusnya ditutup, tidak diperintahkannya supaya ditutup. Saelan memastikan bahwa pada malam itu, ia selalu berada di dekat Bung Karno, sehingga tidak ada gerakgerik Presiden yang lepas dari pengamatannya. Menurut ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang S. Widjarnako yang memberikan kesaksian didepan petugas pemeriksa, pada tanggal 30 September 1965 malam pukul 22.00, Presiden menerima surat dari letkol Untung diserahkan oleh Sogol atau Nitri (anggota Detasemen Kawal Pribadi) lewat kolonel Bambang yang langsung diserahkannya kepada Bung Karno. Setelah menerima surat itu, Bung Karno berdiri dan pergi ke toilet yang diiringi oleh Saelan, AKBP Mangil (Komandan Detasemen Kawal Pribadi) dan Bambang Widjarnako. Diberanda muka, Bung Karno membaca surat itu, kemudian memasukan ke dalam sakunya. 22) 22) Memori Jenderal Yoga, PT Bina Rena Pariwara, Jakarta 1990, hal. 173
Keterangan Bambang Widjarnako ini dibantah keras oleh kolonel Maulwi Saelan. Ia memastikan, pada malam itu sama sekali tidak ada adegan seperti yang diceriterakan oleh Bambang Widjarnako, karena Saelan sendiri sebagai penanggungjawab keamanan Presiden malam itu, tidak pernah jauh dari Presiden selama berada di Senayan sampai kembali ke Istana.
Kesaksian Bambang Widjanarko dianggapnya sangat aneh dan direkayasa. Keterangan yang direkayasa ini mendapat imbalan, Bambang Widjarnako tidak ditahan dan Saelan yang di depan pemeriksa membantah dengan tegas keterangan Bambang Widjarnako, ditahan. Kolonel Maulwi Saelan menceritakan bahwa setelah selesai acara di Senayan, Presiden kembali ke Istana Merdeka. Karena tak ada lagi sesuatu yang perlu mendapat perhatian dan Presiden sendiri tidak memerintahkan supaya Saelan tetap berada di Istana, maka pukul 24.00 ia pamit kembali ke rumahnya di jalan Birah II, Kebayoran Baru. Pukul 01.00 ia tidur.
Pukul 05.15 Subuh, ia dibangunkan oleh deringan telepon dari Komisaris Besar Polisi Sumirat, salah seorang ajudan Presiden, yang menyampaikan bahwa barusan diterima berita dari Komisaris Besar Polisi Anwas:
Tanumiharja dari KOMDAK Jaya, tentang terjadinya penembakan di rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena dan di rumah Jenderal A.H. Nasution, dua duanya di jalan Teuku Umar.
Saelan menjawab, berita itu segera akan diceknya. Lima belas menit kemudian, ia terima telepon lagi dari Sumirat yang memberitahukan bahwa disekitar Istana kelihatan banyak tentara yang tidak diketahui kesatuannya, disamping menyampaikan bahwa penembakan juga terjadi di rumah Brigadir Jenderal Panjaitan. Menerima laporan yang bertubi-tubi ini, Saelan mengatakan kepada Sumirat bahwa ia segera berangkat ke Istana. Sumirat minta supaya mampir di rumahnya, agar bersama-sama kesana. Selagi Saelan bersiap-siap berangkat, tiba-tiba datang Kapten Suwarno, komandan Kompi I Batalyon I Tjakrabirawa; yang saat itu kompinya sedang giliran tugas menjaga Istana. Kapten Suwarno langsung menanyakan: Presiden ada di mana?
Dilaporkan- nya bahwa di sekitar Istana, banyak kesatuan tentara yang tidak dikenalnya. Saelan sendiri menjawab bahwa ia tidak tahu persis dimana Presiden bermalam, karena semalam ketika ia meninggalkan Istana, Bung Karno ada di Istana. Oleh karena itu ia perintahkan Kapten Suwarno supaya mengikutinya bersama-sama mencari dimana Bung Karno berada.
Menurut Saelan, kebiasaan Bung Karno, kalau tidak berada di Istana pada malam hari, berarti ia bermalam di rumah salah seorang isterinya, di Grogol atau di Slipi. Atas dasar keterangan inilah, maka Saelan ber- sama Kapten Suwarno dan asisten-asistennya menuju Grogol, ke rumah Haryati. Ternyata Bung Karno malam itu, tidak bermalam di situ.
Lalu rombongan ini akan pergi ke Slipi, ke rumah isteri Bung Karno, Ratnasari Dewi, tapi baru sampai di jalan besar menuju Slipi (sekarang: jalan S. Parman), rombongan bertemu dengan jeep Detasemen Kawal Pribadi yang dilengkapi dengan radio transmitter & receiver „Lorenz“. Saelan segera menanyakan, di mana posisi Presiden sekarang? Dijawab: Presiden beserta pengawal sedang menuju Istana dari Slipi. Segera Kolonel Saelan mengadakan kontak dengan Mangil, Komandan Detasemen Kawal Pribadi melalui pembicaraan radio „Lorenz“, yang menanyakan posisinya sekarang berada di mana. Dijawab, sudah membelok ke jalan Budi Kemuliaan, tidak jauh lagi dari Istana.
Saelan memerintahkan supaya jangan masuk Istana, karena di sekitar Istana ada pasukan tentara yang tidak dikenal, agar iring- iringan memutar di air mancur, kemudian dibavva ke Grogol dulu, di mana Saelan mengatakan, ia tetap menunggu ditempat itu. Pukul 07.00 Presiden sampai di Grogol dan Saelan langsung melaporkan semua berita yang diterima dari Komisaris Besar Sumirat. Bung Karno lalu bertanya dalam bahasa Belanda: „wat wil je met me doen?“ saya mau dikemanakan? Dijawab oleh Saelan:„Sementara kita tunggu di sini saja dulu, Pak! Kami segera mencari keterangan ke luar, mengenai berita-berita tersebut dan menanyakan tentang situasi“.
Pertanyaan Bung Karno: „wat wil je met me doen?“, menunjukkan bahwa Bung Karno sama sekali belum tahu apa yang telah terjadi.
Kemudian Presiden berkata: „Kita tidak boleh lama berada di sini“ Jawab Saelan: „Memang betul, kami segera akan mencari tempat lain yang lebih aman“. Setelah merundingkan dengan AKBP Mangil dan letnan kolonel Suparto (seorang staf ajudan Presiden), bagaimana sebaiknya menyelamatkan Presiden dalam situasi yang belum jelas ini, maka diputuskanlah tempat penyelamatan sementara, di rumah seorang kenalan Mangil di jalan Wijaya, Kebayoran Baru. Saelan langsung memerintahkan kepada Mangil supaya segera mengirimkan beberapa anggota Detasemen Kawal Pribadi ke tempat tersebut, mengadakan persiapan. Di samping itu kolonel Saelan memerintahkan juga kepada letnan kolonel Suparto untuk mencari hubungan ke luar, dengan menghubungi PanglimaPanglima Angkatan bersenjata.
Semua hubungan ini harus dikerjakan langsung, tidak bisa melalui telepon, karena hubungan telepon dari Grogol putus. Sementara itu, Jaksa Agung Muda Brigadir Jenderal Sunaryo dan Komisaris Besar Polisi Sumirat (ajudan), datang juga ke Grogol, diantar oleh Inspektur polisi Djoko Suwarno. Presiden Soeharto dalam Otobiografinya mengatakan bahwa pukul 06.00 pagi (1 Oktober 1965),- letkol Sadjiman atas perintah Panglima Kodam V Jaya, Umar Wirahadikusumah, melaporkan bahwa di sekitar MONAS dan Istana, banyak pasukan yang tidak dikenalnya. „Saya percepat merapihkan pakaian yang sudah kenakan, loreng lengkap, tapi belum mengenakan pistol, pet dan sepatu. Kepada letkol Sadjiman saya berkata bahwa saya sudah mendengar tentang adanya penculikan terhadap Pak Nasution dan Jenderal A. Yani serta PATI (Perwira Tinggi)
Angkatan Darat lainnya. Segera kembali saja dan laporkan kepada Pak Umar, saya akan cepat datang ke KOSTRAD dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat. Dengan segala yang sudah siap pada diri saya, saya siap menghadapi keadaan“. Demikian tulis Pak Harto. 23)
Ketika Pak Harto masuk Markas KOSTRAD, segera medapat laporan dari Piket bahwa orang terpenting, Bung Karno, tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim Perdana Kusumah. Disebutkan, Bung Karno menggunakan kendaraan kombi putih, berputar di Prapatan Pacoran, di depan Markas Besar AURI. Piket menerima laporan telepon dari Intel yang sedang bertugas“ 24) 23) Soeharto,Otobiografi, hal. 11&119. 24) Ibid, hal. 119
Jadi, Panglima KOSTRAD yang mengambil sendiri untuk sementara pimpinan Angkatan Darat, sudah mengetahui apa yang terjadi sejak pukul 06.00 pagi, tapi tidak disebutkan bahwa ia berusaha menghubungi Presiden. Laporan yang disampaikan kepada Pak Harto mengenai perjalanan Presiden, berbeda dengan keterangan Kolonel Siaelan yang mengikuti terus perjalanan itu sampai di Halim. Pukul 08.30 Letkol Suparto datang melaporkan bahwa ia hanya mendapatkan kontak dengan MEN/PANGAU Omar Dhanidi Pangkalan Halim Perdana Kusumah. Panglima yang lain tidak berhasil ditemui. Karena dipertimbangkan bahwa di Halim terdapat pesawat Kepresidenan „Jet Star“ yang selalu standby dan setiap saat siap membawa Presiden untuk penyelamatan jika dianggap perlu, maka diputuskan sebaiknya Presiden dibawa ke Halim saja. Hal ini sesuai dengan „Operating Standing Procedure“ (OSP) Resimen Tjakrabirawa yang menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menyelamatkan Kepala Negara bila situasi memerlukan, adalah dengan pesawat „Jet Star“ yang ada di Halim, disamping bisa juga dengan kapal laut Kepresidenan „R.l. Varuna“ (Admiral Sloep) yang ada di Tanjung Priok atau kalau darat dinaikkan pantser berlapis baja anti peluru.
Kemungkinan-kemungkinan itu dilaporkan oleh Saelan kepada Presiden dan Presiden memutuskan: Pergi ke Halim saja. Saelan langsung memerintahkan kepada letkol Suparto supaya mengadakan persiapan di Halim.
Pukul 09.00 Presiden meninggalkan Grogol menuju Halim dan sampai disana pukul 09.30, di sambut oleh Omar Dhani dan Leo Wattimena yang langsung membawanya ke ruangan Komando Operasi. Kurang lebih pukul 10.00, datang Brigadir Jenderal Suparjo yang tadinya berusaha menemui Presiden di Istana Merdeka. Ia memberikan laporan kepada Presiden, tapi Saelan tidak bisa mendengarkan dengan jelas pembicaraan antara Presiden dengan Brigjen Supardjo. Yang kedengaran, hanya menyebut-nyebut „Dewan Jenderal“ dan terjadinya korban ketika menangkap beberapa Jenderal.
Presiden kemudian memerintahkan kepada ajudan, Komisaris Besar Sumirat, untuk memanggil MEN/PANGAK (Menteri Panglima Angkatan Kepolisian), MEN/PANGAL (Menteri Penglima Angkatan Laut) dan Panglima KODAM V Jaya, Umar Wirahadikusumah. Sekitar pukul 11.30 komandan Resimen Tjakbirawa brigadir Jenderal Sabur, baru muncul di Halim dari Bandung. Ia minta laporan kepada kolonel Saelan, apa yang telah terjadi dan disampaikan seperti apa yang diuraikan di atas.
Presiden juga memerintahkan memanggil Wakil Perdana Menteri II Dr J. Leimena beserta Jaksa Agung Brigadir Jenderal Sutardio. Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio sedang tourney ke Sumatera, dan Wakil Perdana Menteri III Dr. Chaerul Saleh selaku ketua MPRS belum kembali dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), memimpin delegasi MPRS ke negara itu.
Apa yang dibicarakan oleh Presiden dengan semua pembesar yang dipanggil itu, tidak bisa didengar oleh Saelan, karena ia tidak boleh berada di ruangan pertemuan. Presiden kemudian beristirahat di rumah Komodor Udara Susanto (pilot Jet Star) dan kolonel Saelan ikut ke rumah itu. Tidak lama kemudian, datanglah Wakl Perdana Menteri II Dr. J. Leimena dan Jaksa Agung Sutardio, yang kemudian mengadakan pembicaraan dengan Presiden. Apa yang dibicarakan, tidak bisa didengar oleh Saelan.
Pukul 12.00 siang, Saelan mendengarkan siaran RRI dari radio transistor yang dipinjamkan oleh Komodor Udara Susanto, di mana diumumkan pengumuman letkol Untung selaku ketua Gerakan 30 September, tentang pembentukan Dewan Revolusi dan pendemisioneran Kabinet. Pengumuman lewat RRI ini segera dilaporkan oleh ajudan senior dan komandan Resimen Tjakrabirawa Brigadir Jenderal Moh. Sabur kepada Presiden.
Tidak lama kemudian, Sabur memberitahukan kepada Saelan bahwa Presiden/Panglima Tertinggi ABRI mengangkat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai Care-Taker MEN/PANGAD (Menteri Panglima Angakatan Darat). Ajudan Presiden, Kolonel (KKO) Bambang Widjarnako, saat itu juga diperintahkan oleh Presiden memanggil Pranoto menghadap ke Halim. Tapi sampai pukul 17.00, Pranoto belum juga muncul, karena tidak diizinkan oleh Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto yang telah mengambil alih pimpinan Komando Angkatan Darat.
Berdasarkan laporan-laporan yang makin banyak masuk mengenai situasi, dan setelah yakin bahwa justru Presiden berada di sarang Gerakan 30 September, maka diusulkan supaya Presiden segera meninggalkan Halim menuju Istana Bogor. Tapi Presiden ingin menunggu sampai kolonel - (KKO) Bambang Widjarnako yang diperintahkan mernanggi Pranoto datang dan menyampaikan juga hasil pembicaraannya dengan Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto, yang atas kehendaknya sendiri sudah lebih dulu mengambil alih pimpinan Komando Angkatan Darat.
Setelah Bambang Widjarnako datang, ia melaporkan bahwa Mayor Jenderal Soeharto telah memberikan ultimatum kepada pasukan-pusukan yang berada di sekitar Istana dan MONAS untuk menyerahkan diri dan masuk KOSTRAD sebelum puku119.00. Setelah menerima laporan itu, Presiden didesak supaya segera saja berangkat ke Istana Bogor. Sebelum itu puteriputeri Presiden yang masih berada di Istana Merdeka, dijemput dengan mobil dibawa ke Halim. Mereka tiba pukul 17.30 dan segera diterbangkan oleh kolonel Udara Kardjono dengan helikopter ke Bogor.
Pukul 22.30, Presiden keluar dari Halim menuju Istana Bogor, tapi tidak lewat jalan raya biasa Jakarta - Bogor, melainkan melalui jalan tikus, yaitu lewat sela-sela pohon karet. Mobil Presiden Rl-1 dengan pengawalan seperti biasa keluar dari Halim melalui jalan raya, sehingga umum mengira Bung Karno berada dalam mobil itu menuju ke salah satu tempat. Yang mengetahui kalau Bung Karno dengan kendaraan lain mengambil jalan belakang pergi ke Bogor, hanyalah para pengawal yang ditugaskan khusus untuk keperluan itu. Sementara itu kolonel Saelan memerintahkan seorang anggota Detasemen Kawal Pribadi melaporkan kepada Mayor Jenderal Soeharto bahwa Presiden sudah menuju Bogor.
Pukul 23.45 iring-iringan Presiden tiba di Istana Bogor dengan selamat. Pukul 24.00 Kolonel Saelan menerima telepon dari Mayor Jenderal Soeharto yang menanyakan perjalanan Presiden dan segera saja dilaporkan bahwa Presiden sekarang telah berada di Istana Bogor dalam keadaan selamat. Sesudah itu kolonel Saelan menghubungi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, Panglima KODAM Vl/Siliwangi dengan telepon, melaporkan bahwa Presiden sekarang berada di Istana Bogor, yang masuk wilayah kekuasaan KODAM Vl/Sillwangi.
Sementara itu Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra yang diangkat oleh Presiden menjadi Care-Tàker MEN/PANGAD, tidak berhasil memenuhi panggilan Presiden supaya datang ke Halim, karena ada yang mencegah. Di kemudian hari ia mengeluarkan pernyataan tertulis dan ditandatanganinya, sekitar peristiwa yang dialaminya, mau pun yang diketahuinya, mengenai Gerakan 30 September 1965 yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Urut-urutannya sebagai berikut:
1. Pada tanggal 1 Oktober 1965, kurang lebih pada pukul 06.00, pada saat Pranoto sedang mandi, datanglah Brigadir Jenderal dr.Amino (Kepala Departemen Psychiatri Rumah Sakit Gatot Soebroto) yang memberitahukan diculiknya Letnan Jenderal A. Yani beserta beberapa Jenderal lainnya, oleh sepasukan bersenjata yang belum , dikenal, sedang nasib para Jenderal itu belum diketahui. Sesudah mandi, Pranoto segera berangkat ke MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) dengan mengenakan pakaian dinas lapangan.
2. Setibanya di MBAD dan setelah menampung berita dari beberapa sumber, maka oleh karena saat itu hanya dia dari antara perwira-perwira tinggi lainnya (yang ada di MBAD) yang berpangkat senior, maka ia segera memprakarsai mengadakan rapat darurat dengan para Asisten MEN/PANGAD atau wakilnya yang pada saat itu hadir di MBAD, yaitu para pejabat teras Staf Umum Angkatan Darat, mulai dari Asisten I MEN/PANGAD sampai Asisten Vll termasuk Irjen P.U. dan pejabat Sekretariat. Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan:
Secara positif Letnan Jenderal A. Yani beserta 5 Jenderal lainnya, telah diculik oleh sepasukan penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata. Oleh karena itu rapat memutuskan menunjuk Mayor Jenderal Soeharto, Panglima KOSTRAD, agar bersedia mengisi pimpinan Angkatan Darat yang vacuum. Melalui kurir khusus, keputusan rapat disampaikan; kepada Mayor Jenderal Soeharto di MAKOSTRAD pagi Itu juga. 3. Kemudian Pranoto menerima laporan dari seorang perwira Menengah MBAD (namanya lupa) yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI, 25) dirinya ditunjuk oleh Presiden/ PANGTI untuk menjabat sebagai Care-Taker MEN/PANGAD. Oleh karena hal itu baru merupakann berita, maka Pranoto tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut. 25) Menurut keterangan lain, bukan RRI yang menyiarkan berita itu, tapi Radio AURI
4. Sesudah Pranoto menerima berita tentang penunjukannya menjabat Care-Taker MEN/PANGAD, maka berturur-turut datang utusan dari Presiden/PANGTI yang memanggilnya supaya datang menghadap ke Halim, yaitu: Pertama: Letnan Kolonel Infantri Ali Ebram, Kepala Seksi I Staf Resimen Tjakrabirawa. Kedua: Brigadir Jenderal Sutardio, Jaksa Agung, bersama Brigadir Jenderal Soenarjo, Kepala Reserse Pusat Kejaksaan Agung. Ketiga: Kolonel (KKO) Bambang Widjarnako, Ajudan Presiden/ PANGTI.
Semuanya menyampaikan perintah Presiden/PANGTI supaya menghadap ke Halim. Oleh karena Pranoto merasa sudah terlanjur masuk dalam hubungan Komando Taktis di bawah Mayor Jenderal Soeharto, maka ia tidak bisa secara langsung menghadap Presidenl PANGTI tanpa izin Mayor Jenderal Soeharto sebagai pengganti pimpinan Angkatan Darat saat itu. Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/PANGTI, Pranoto pun berusaha mendapatkan izin dari Mayor Jenderal Soeharto. Akan tetapi Mayor Jenderal Soeharto melarangnya menghadap, dengan alasan bahwa Mayor Jenderal Soeharto tidak berani meriskir kemungkinan tambahnya korban Jenderal lagi, jika dalan keadaan sekalut itu pergi menghadap Presiden/PANGTI Pranoto mentaati perintah itu dan tetap tinggal di MBAD.
5. Pada malam harinya sekira pukul 19.00 Pranoto dipanggil oleh Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, supaya datang ke Markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat. Selain Jenderal A. H. Nasution hadir juga Mayor Jenderal Soeharto, Mayor Jenderal Mursyid, Mayor Jenderal Satari dan Brigadir Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima KODAM V/Jaya. Jenderal A.H. Nasution secara resmi menjelaskan bahwa mulai hari ini (1 Oktober 1965) Mayor Jendera Pranoto Reksosamodra ditunjuk oleh Presiden/PANGT sebagai Care-Taker MEN/PANGAD dan menanyakar bagaimana pendapat Pranoto secara pribadi. Pranoto menjawab bahwa ia belum menerima pengangkatannya secara resmi, hitam di atas putih. Oleh karena itu berpendapat, sebelum ada pengangkatan resmi yang tertulis entah nantinya siapa di antara kita yang akar diangkat, lebih baik kita menaruh perhatian dalam usaha menertibkan kembali keadaan darurat waktu itu, yang ditangani langsung oleh Panglima KOSTRAD, Mayor Jenderal Soeharto, yang juga kita percayakan untul sementara menggantikan Pimpinan Angkatan Darat.
Akan tetapi mengingat saat itu ada suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-berita adanya usaha menentang keputusan Presiden/PANGTI tentang penunjukkan Pranoto sebagai Care-Taker MEN/PANGAD, maka oleh Jenderal A.H. Nasution ia diminta agar pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi, mengadakan wawancara pers, yang direncanakan tempatnya di Senayan. Pranoto bersedia.
6. Tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu Pranoto akan mengadakan wawancara pers, tiba-tiba Mayor Jenderal Soeharto dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra mendapat penggilan dari Presiden/PANGTI yang saat itu sudah meninggalkan Pangkalan Udara Halim dan menempati Istana Bogor. Oleh karena itu, wawancara pers terpaksa ditunda. Mayor Jenderal Soeharto bersama Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra ditemani Brigadir Jenderal Soedirgo (Direktur Polisi Militer) segera berangkat ke Bogor menghadap Presiden/PANGTI. Di Istana Bogor diadakan rapat, di mana hadir juga wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, MEN/KASAL Martadinata, MEN/PANGAU Omar Dhani, MEN/PANGAK Soetjipto Yudodihardjo, Mayor Jenderal Mursyid, Menteri M. Yusuf dan beberapa Menteri lagi. Hasil rapat, Presiden/PANGTI memutuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung dipegang oleh PANGTI, sedangkan Mayor Jenderal Soeharto diperintahkan untuk menjalankan tugas operasi militer dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra ditugaskan sebagai Care-Taker MEN/PANGAD dalam urusan sehari-hari (dayly duty).
7. Tanggal 14 Oktober, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka Mayor Jenderal Soeharto diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan membentuk susunan stafnya yang baru.
Pranoto menjadi Perwira Tinggi yang diperbantukan pada KSAD.
8. Tanggal 16 Februari 1966, atas perintah KSAD Mayor Jenderal Soeharto, Pranoto ditahan di Blok F Kabayoran Baru, dengan tuduhan terlibat dalam G30S/PKI Penahanan itu berdasarkan Surat Perintah Penangkapan, Penahanan No. 37/2/1966, tanggal 16 Pebruari 1966.
9. Kemudian terjadi perubahan status penahanan dari Ketua Team Pemeriksa Pusat, dalam Surat Perintahnya No. Print. 018/TP/3/1966, ia mendapatkan penahanar rumah mulai tanggal 7 Maret 1966.
10. Dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP/I/1969, Pranoto ditahan di INREHAB Nirbaya, tetap dalam tuduhan yang sama. 11. Dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM Panglima ABRI yang termuat dalam keputusan No Kep./E/645/ll/1970 tertanggal 20 Nopember 1970 yang ditandatangani oleh Jenderal M.Panggabean, Pranoto mulai dikenakan schorsing dalam statusnya sebaga anggota Angkatan Darat yang diikuti pada bulan Januar 1975, tidak lagi menerima gaji schorsing dan penerimaar lainnya. Sedang Surat Pemberhentian atau pun Pemecatan secara resmi dari keanggotaan Angkatan Darat, tidak pernah diterimanya.
Setelah mengalami semua perlakuan di atas, akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) No. SKEP /04/KOPKAM/I/1981, dalam pelaksanaannya oleh Kepala TEPERPU dengan Surat Perintah No. SPRIN/481 /II/1981 /TEPERPU, Pranoto Reksosamodra dibebaskan dari tahanan terhitung mulai tanggal 16 Pebruari 1981. Jadi masa penahanannya berlangsung selama 15 tahun, yaitu dari 16 Pebruari 1966 sampai 16 Pebruari 1981.
Selama dalam masa penahanan, Pranoto mengatakan tidak pernah mengalami pemeriksaan melalui proses dan pembuatan Berita Acara yang resmi. Ia hanya mengalami interogasi secara lisan yang dilakukan oleh Team Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun 1970 dan sesudah itu tidak pernah diinterogasi lagi, sampai akhirnya dibebaskan. Ketika saya menemui dia di rumahnya yang sangat sederhana di daerah Kramatjati, dengan mantap ia mengatakan:
“Ya, saya harus berani menelan pil yang sepahit ini dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup yang sudah menjadi suratan Takdir”. la tidak direhabilitasi dan tidak juga menerima pensiun sampai wafatnya.

BAB V BUNG KARNO MENOLAK MEMBERIKAN DUKUNGAN ADA PUN pimpinan Gerakan 30 September setelah mengetahui tidak ada dukungan massanya sendiri seperti yang dijanjikan oleh Syam dalam rapat dengan kelompok “Perwira Maju” terhadap gerakan mereka, menjadi panik dan kocar-kacir. Desas-desus bahwa PKI akan mengerahkan 1 juta massanya menguasai jalan- jalan di Jakarta, setelah gerakan dimulai, sama sekali tidak terbukti. Massa PKI malah ketakutan setelah melihat reaksi ABRI dan massa rakyat lainnya, yang sangat cepat mengutuk gerakan tersebut dan mulai dengan pembakaran gedung-gedung PKI dan organisasi- organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Usaha G30S untuk mendapat dukungan dari Presiden Sukarno lewat Brigadir Jenderal Supardjo yang menghadap ke Halim, tidak berhasil. Presiden malah memerintahkan kepada Supardjo supaya menghentikan semua operasi militer dan mencegah terjadinya pertempuran. Ultimatum Panglima KOSTRAD kepada pasukan yang mengepung Istana dan yang berada di sekitar Taman MONAS supaya menyerah sebelum pukul 19.00, ditaati. Mereka segera masuk komplek KOSTRAD sebelum batas waktunya berakhir, kecuali sebagian anggota batalyon 454/Diponegoro dengan membawa senjata berat, terlanjur menuju Pangkalan Udara Halim, karena ada permintaan dari SENKO untuk membantu AURI menahan kemungkinan serangan RPKAD. Tapi kemudian juga mereka mentaati perintah PANGKOSTRAD supaya menyerah. Pasukan-pasukan yang menyerah itu terdiri dari Batalyon 530/Brawijaya dan Batalyon 454/Diponegoro, Kedua Batalyon didatangkan ke Jakarta masing-masing berdasarkan perintah dengan radiogram tanggal 19 September 1965 No.T.220/9 dan 21 September 1 965 No.T.239 oleh PANGKOSTRAD yang memerintahkarn pemberangkatan dengan seluruhnya membawa, perlengkapan tempur garis I dan sudah harus berada di Jakarta pada tanggal 28 September 1965. Setelah Untung mengumumkan lewat RRI tujuan gerakannya, serta mengumumkan pula susunan Dewan Revolusi dan men- demisionerkan Kabinet Dwikora, tapi kemudian mengetahui juga bahwa pengangkatan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai Care-Taker MEN/PANGAD tidak bisa direalisasi, padahal dialah satusatunya harapan setelah Bung Karno menolak mem-berikan dukungan kepada G30S/PKI, maka ia pun menghilang dan tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang sudah berantakan dalam keadaan tanpa pimpinan. Terpaksa mereka melakukan„longmarch“ ke Jawa Tengah di bawah pimpinan letnan Dul Arip. Tapi Dul Arip sendiri dengan beberapa pengawalnya, memisahkan diri dari pasukan, namun kabarnya disergap oleh ABRI di daerah Cilacap dan tewas dalam penyergapan itu. Ada pun anggota-anggota „Tjakrabirawa“ lainnya, berusaha melanjutkan perjalanan ke Semarang untuk bergabung dengan teman-teman mereka di sana, tapi baru sampai di daerah Brebes, sudah dihadang oleh pasukan yang setia kepada Pak Harto dan digiring kembali ke Jakarta untuk dimasukkan tahanan di Rumah Tahanan Khusus Salemba. Akhirnya Gerakan 30 September 1965 hanya bisa dinilai tidak lebih dari suatu avonturisme militer yang menculik 6 Jenderal lalu membunuhnya. Sedang pendukung politik di belakangnya, PKI, tidak lebih dari pelaku petualangan politik yang berakibat runtuhnya struktur kenegaraan yang ada dan sekaligus kepemimpinan Bung Karno. Letkol. Untung sendiri menurut laporan pers, berusaha menyelamatkan diri ke Jawa Tengah, dengan berpakaian preman naik bus dari Jatinegara, untuk bergabung dengan teman-temannya di sana. G30S Jawa Tengah, terutama Yogyakarta dan Solo, masih sempat berkuasa beberapa hari, bahkan di Yogyakarta berhasil menculik kolonel Katamso, komandan KOREM di sana dan membunuhnya. Tapi sial, dalam perjalanan dengan bus itu, ia melihat dalam bus ada beberapa anggota tentara yang menurut perasaannya, selalu memperhatikan dia dan dikiranya hendak menangkapnya. Maka sebelum terjadi apa-apa, ia pun meloncat dari bus yang sedang melaju ke jurusan Tegal, dan sekali lagi sial menimpanya, ia menghantam tiang telepon sehingga kesakitan. Rakyat yang melihat kejadian ini, mengira ada copet meloncat dari bus, oleh karena itu mereka -ramai-ramai hendak mengeroyok- nya. Terpaksalah Untung berterus terang bahwa ia bukan pencopet melainkan Letnan Kolonel Untung dari „Tjakrabirawa“. Rakyat curiga, lalu menyerahkannya kepada petugas keamanan untuk mengurusnya lebih lanjut. Ia segera diserahkan kepada CPM setempat dan setelah mengusut seperlunya, langsung membawanya ke Jakarta dengan panser yang akhirnya dimasukkan blok isolasi di Rumah Tahanan Khusus Salemba (Blok N), dalam keadaan tangannya diborgol dan kakinya dirantai. Presiden Soeharto dalam Otobiografinya mengatakan bahwa Gerakan 30 September 1965 yang dipimpin oleh Letkol. Untung Samsuri, bukan sekedar gerakan yang menghadapi Angkatan Darat dengan alasan untuk menyelamatkan Presiden Sukarno, tapi mempunyai tujuan yang lebih jauh, yaitu ingin menguasai Negara secara paksa atau kup. Pasukan RPKAD segera disiapkan untuk menguasai kembali RRI yang digunakan oleh G30S menyiarkan pengumumannya dan Pusat Telkom (Kantor Telepon) yang juga mereka kuasai. Pukul 15.00 sore 1 Oktober 1965, di ruangan KOSTRAD dibuatkan rekaman pidato Pak Harto untuk siaran di RRI, jika pemancar itu sudah dikuasai kembali. Rekaman menggunakan tape recorder besar. Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat dan Brigadir Jenderal Sucipto, SH., dari KOTI menyaksikannya. Menjelang senja, kira-kira pukul setengah enam, muncullah Jenderal A.H. Nasution di KOSTRAD, setelah ia lolos dari penculikan pasukan G30S. Ia dalam keadaan pincang dan memakai tongkat. Sejurus lewat Magrib, satuan RPKAD berangkat menyerang RRI dan Telkom, masing-masing dipimpin kapten Heru dan kapten Urip. Kolonel Sarwo Edhie, Komandan RPKAD menunggu di halaman KOSTRAD. Setengah jam kemudian diterima laporan kalau kedua sasaran itu sudah dikuasai kembali sepenuhnya tanpa perlawanan dan tak sebutir peluru pun dilepaskan. Anak buah Untung telah melarikan diri. (Menurut keterangan lain, mereka sebelumnya memang sudah menarik pasukannya dari RRI).
Lalu Brigjen Ibnu Subroto dengan beberapa pengawal menuju RRI membawa rekaman pidato Pak Harto. Sebelum berangkat, Ibnu Subroto mengucapkan „Bismillah“ dengan agak keras. Maka pukul 19.0 tepat (malam), siaran pidato Pak Harto dikumandangkan lewat RRI. Bunyinya sebagai berikut: „Para pendengar sekalian di seluruh tanahair, dari Sabang sampai Merauke.
Sebagaimana telah diumumkan, maka pada tanggal 1 Oktober 1965 yang baru lalu, telah terjadi di Jakarta suatu peristiwa yang dilakukan oleh suatu gerakan kontra revolusioner, yang menamakan dirinya „Gerakan 30 September“. Pada tanggal 1 Oktober 1965, mereka telah menculik beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat, ialah :
1. Letnan Jenderal A. Yani, 2. Mayor Jenderal Soeprapto, 3. Mayor Jenderal S Parman, 4. Mayor Jenderal Haryono M.T., 5. Brigadir Jenderal D.l. Panjaitan, 6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo.
Mereka telah dapat memaksa dan menggunakan studio RRI Jakarta untuk keperluan penteroran mereka. Dalam pada itu perlu kami umumkan kepada seluruh rakyat Indonesia, baik di dalam mau pun di luar negeri bahwa P.Y.M. Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata R.l./Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan Yang Mulia MENKO HANKAM/KASAB, dalam keadaan aman dan sehat wal‘afiat.
Para pendengar sekalian. Kini situasi telah dapat kita kuasai, baik di pusat mau pun di daerah- daerah. Dan seluruh slagorde Angkatan Darat ada dalam keadaan kompak bersatu.
Untuk sementara pimpinan Angkatan Darat kandii pegang. Antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian Rl, telah terdapat saling pengertian, bekerjasama dan kebulatan tekad penuh, untuk menumpas perbuatan kontra revolusioner yang dilakukan oleh apa yang menamakan dirinya „Gerakan 30 September“.
Para pendengar sebangsa dan setanahair yang budiman, Apa yang menamakan dirinya „Gerakan 30 September“ telah membentuk apa yang mereka sebut „ Dewan Revolusi Indonesia“. Mereka telah mengambil alih kekuasaan Negara atau lazimnya disebut coup dari tangan Paduka Yang Mulia Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan melemparkan Kabinet Dwikora ke kedudukan demisioner, di samping mereka telah menculik beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat.
Para pendengar sekalian, Dengan demikian jelaslah bahwa tindakan-tindakan mereka itu kontra revolusioner yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Kami yakin, dengan bantuan penuh dari massa rakyat yang progresif- revolusioner, gerakan kontra revolusioner 30 September, pasti dapat kita hancurleburkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pasti tetap jaya dibawah pimpinan PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi kita yang tercinta Bung Karno. Diharap masyarakat tetap tenang dan tetap waspada, siap siaga serta terus memanjatkan do´a ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, semoga PYM Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno terus ada dalam lindunganNya. Kita pasti menang karena kita tetap berjuang atas dasar Pancasila dan diridoi Tuhan Yang Maha Esa. 26) 26) Ibid,hal. 127-128.
Demikian Pak Harto yang mengemukakan juga dalam Otobiografinya bahwa tengah malam 1 Oktober 1965, ia perintahkan RPKAD dengan kekuatan 5 kompi kurang lebih 600 personil, bergerak menuju Halim Perdanakusumah lewat Klender, dan menguasai lapangan terbang itu dengan sedikit pertempuran. Dari RPKAD seorang yang gugur dan AURI 2 orang.
Sebetulnya secara rasional tidak terdapat kondisi yang memaksa PKI melakukan coup d‘etat, karena partai ini sendiri sudah duduk dalam Pemerintahan, mulai dari Kabinet sampai ke tingkat daerah. Malahan M.H. Lukman, seorang wakil ketua PKI, dalam sebuah bukunya menulis bahwa PKI secara politik sudah berdominasi. Mudah dipahami mengapa Bung Karno mengatakan bahwa PKI dengan tingkahnya ini, benar-benar keblinger. Bahkan berbagai pengamat luar negeri yang tidak bisa memahami mengapa PKI bersikap sebodoh itu, menganggap bahwa bukan mustahil pimpinan partai ini kesusupan agen-agen provocateurs yang berhasil menciptakan sesuatu yang „ready made“ dan bekerja dengan kecerdikan yang prima Prof. Dr. W.F. Wertheim dalam interviunya dengan mingguan Belanda „De Nieuwe Linie“ 8 April 1976 mencatat beberapa kecurigaan termasuk kecurigaannya terhadap peran Letkol Untung dan Brigjen Supardjo, dua tokoh penting dalam peristiwa coup d‘etat tersebut.
PKI duduk dalam Kabinet dengan 4 Menterinya, yaitu Aidit, Lukman, Nyoto dan Ir. Setiadi. Kalau memang akan ada usaha coup d‘etat dari „Dewan Jenderal“ seperti yang dituduhkan oleh G30S/PKI, dapat dipastikan bahwa kewibawaan Bung Karno dan kekuasaan Pemerintah, di tambah dengan bantuan massa PKI yang militan dan massa PNI yang setia kepada Bung Karno, akan mampu mengatasinya. Apalagi sudah dapat dipastikan bahwa dalam usaha coup seperti yang terjadi pada 17 Oktober 1952, pihak ABRI tidak akan kompak. Pengalaman sepanjang sejarah kemerdekaan kita, mulai dari peristiwa 3 Juli 1946 (Persatuan Perjuangan) sampai peristiwa PRRI/PERMESTA, siapa saja yang mendahului mengadakan gerakan semacam itu, pasti dapat di tumpas.
Sebelum G30S, memang PKI sudah memperlihatkan sikap-sikap yang ekstra agresip, namun sikap politiknya secara umum tetap menunjukkan komitmen yang kuat mendukung Pemerintah dan politik Bung Karno sebagai pemimpin bangsa. Sejak 1954 PKI memperlihatkan sikap yang positip dengan menurunkan semua gerombolan bersenjatanya yang selama ini beroperasi dari gunung-gunung dan hutanhutan, seperti MMC (Merapa Merbabu Complex) di Jawa Tengah, BSA (Barisan Sakit Ati) dan Pasukan Siluman di Jawa Barat dan di beberapa daerah lainnya lagi di luar Jawa. Dengan demikian, PKI sebetulnya sudah menempuh langkah untuk melucuti dirinya sendiri. Penurunan gerombolan bersenjata ini, didahului dengan satu per-nyataan dari D.N. Aidit bahwa tidak mungkin mengkombinasikan perjuangan bersenjeta di satu pihak dengan perjuangan legal- parlementer di pihak lain. PKI sudah menentukan sikap, hanya menempuh perjuangan secara legal-parlementer.
Juga Aidit sudah minta kepada SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang berafiliasi dengan PKI, supaya sedapat mungkin mencegah terjadinya pemogokan kaum buruh, senjata yang biasanya digunakan oleh PKI sebagai alat politik untuk menekan Pemerinah.
Dengan demikian, PKI telah diarahkan menempuh perjuangan legal-parlementer seperti partai-partai komunis di India dan Eropa Barat.
Ini semua adalah keberhasilan taktik yang diterapkan oleh Bung Karno dalam upayanya menjinakkan PKI untuk menggalang persatuan dan menciptakan stabilitas nasional, meski pun cara yang ditempuh oleh Bung Karno itu tidak bisa diterima oleh pihak lain yang a priori anti komunis. Tapi PKI terus berkembang.
Ada pun cepat berkembangnya PKI tidak semata-mata seperti apa yang dikemukakan oleh Jenderal Yoga Sugomo dalam memorinya, yaitu karena militansi pendukungnya dan tidak sempatnya dituntaskan peberontakkan PKI di Madiun, karena 3 bulan kemudian (19 Desember 1948), kita sudah harus meng- hadapi agresi militer Belanda ll, sehingga situasi kacau itu di- manfaatkan oleh PKI dengan cepat sekali melakukan konsolidasi. 27) Secara objektif perlu dicatat, Amerika dan sekutu Baratnya, juga turut membesarkan PKI, karena sikap mereka yang memihak Belanda dalam sengketa Irian Barat dengan Indonesia. Amerika dan negara-negara Barat menolak menjual senjata kepada Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, menyebabkan Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpaling kepada Uni Sovyet yang komunis. 27) Memori Jenderal Yoga, hal. 74.
Kompensasinya, sangat masuk akal bahwa Bung Karno menolak tuntutan Konperensi Palembang 4 September 1957 yang diseleng-garakan oleh Dewan Gajah dari Sumatera Utara, Dewan Banteng dari Sumatera Barat, Dewan Lambung Mangkurat dari Kalimantan Selatan, PERMESTA dari Sulawesi, Front Pemuda Sunda dari Jawa Barat serta beberapa Panglima, yang menghendaki supaya PKI dilarang dengan undang-undang. 28) 28) H. Ahmad Muhsin, Perang Tipu Daya antara Bung Karno dengan, tokoh-tokoh komunis. Golden Troyan Press, Jakarta 1969, hal. 28. Mana mungkin negara-negara sosialis yang dipimpin oleh Uni Sovyet mau memberikan bantuan senjata, jika PKI dilarang. Tapi dalam Pelengkap Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Sukarno di muka sidang MPRS 10 Januari 1967, dikatakan bahwa salah satu sebab terjadinya G30S, ialah karena keblingeran pemimpin- pemimpin PKI. Presiden tidak merinci bentuk keblingeran PKI itu, tapi kemudian jelas dari beberapa hasil penelitian bahwa sebenarnya D.N. Aidit terperangkap dalam strategi „Biro Ketentaraan“ yang dibentuk oleh Politbiro PKI yang dipimpinnya sendiri, tapi sehari-hari oleh Kamaruzzaman alias Syam, tokoh yang berperan double agent 29) yang mempunyai jaringan luas. Mingguan „TEMPO“ yang terbit di Jakarta misalnya, mengutip studi yang dilakukan oleh pakar Indonesia di Cornell University, seperti Benedict R. Anderson dan Ruth McVey yang dikenal dengan nama Cornell Paper (1966) mengatakan bahwa Gerakan 30 September itu, tadinya adalah persoalan dalam tubuh Angkatan Darat, tapi pada saat- saat terakhir ada upaya memancing supaya PKI ikut terseret. Berbagai tulisan lain yang dikutip, misalnya dari Prof. Dr. W.F. Wertheim yang berjudul „Soeharto and Untung Coup - The Missing Link“ (1970) dan Prof. Dale Scott dari California University (1984), menunjuk peran CIA dalam gerakan ini. Sebaliknya Dr. Anthonie C.A. Dake dalam bukunya In The Spirit of The Red Banteng, justru; menuduh Bung Karno sebagai dalang Gerakan 3Q September, berdasarkan pengakuan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) KOPKAMTIB terhadap ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang S. Widjarnako. Juga John Hughes dalam bukunya The End of Sukarno (1967) menyimpulkan demikian.30)
Yang mengejutkan, justru ada seorang pengacara di. Jakarta Sunardi, SH., tanggal 10 desember 1981 mengirimkan surat kepada 500 alamat pejabat tinggi termasuk Presiden Soeharto, menuduh Presiden Soeharto terlibat G30S/PKI, satu tuduhan yang dinilai tidak logis, karena Pak Hartolah orang pertama yang bertindak dalam kedudukannya sebagai Panglima KOSTRAD mengambil alih untuk sementara pimpinan Angkatan Darat, menumpas Gerakan 30 September. Oleh karena itu tuduhan Sunardi, SH. dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang mengadilinya dalam sidang 7 Oktober 1982, sebagai penghinaan terhadap Presiden dan ia dituntut hukuman 4 tahun 6 bulan penjara potong masa tahanan. 31) 29) Harian „Sinar Harapan“ Jakarta, 13Maret 1967. Menuut Prof Dr. Wertheim, istilah ini hanya digunakan sekali dan sesudah itu tidak pemah lagi diulangi. 30) Mingguan „Tempo“ Jakarta, 8 Oktober 1980. 31) Harian „Pos Kota“ Jakarta, 8 Oktober 1982.
Dalam pembelaannya, Sunardi mengatakan bahwa coup d‘etat Gerakan 30 September 1965 yang dikatakan gagal, justru berhasil dengan baik sesuai dengan rencana yang lebih dulu telah diatur dan diperhitungkan dengan cermat, yaitu menjatuhkan kekuasaan Presiden Sukarno sebagai pemegang Pemerintahan yang sah. Menurut Sunardi yang mengutip pembelaan Kolonel A. Latief, Komandan Brigade Infantri I KODAM V Jaya, 2 hari sebelum kejadian, ia sudah datang kepada Pak Harto melaporkan akan adanya gerakan. Tapi laporan itu dianggap tidak serius. Tanggal 30 September 1965 sekitar pukul 10 malam kolonel A. Latief datang lagi menemui Pak Harto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat„Gatot Subroto“ yang sedang menunggui putranya, Tommy yang dirawat disana karena tersiram sup panas dan melaporkan tentang akan dicetuskannya gerakan pada malam itu juga. Karena Pak Harto diam saja, Latief menganggap sebagai menyetujuinya.
Tapi keterangan Latief ini dibantah oleh Pak Harto dalam Otobiografinya dan mengatakan bahwa kedatangan Latief ke Rumah Sakit „Gatot Subroto“, ialah untuk mencek apakah Pak Harto benar berada di sana malam itu. Kolonel Latief saja yang sangat naif menarik kesimpulan bahwa Pak Harto tidak akan mengadakan kontra aksi atas gerakan yang hendak dilakukannya.
Dikemudian hari masih muncul lagi orang lain yang menuduh Pak Harto seperti apa yang dituduhkan oleh Sunardi, SH., yaitu dari Drs. Wimanjaya K. Liotohe, pada awal September 1993 di umumkannya di Amsterdam ketika ia berkunjung ke Nederland.
Menanggapi tuduhan ini, direktur BAKIN, Letnan Jenderal TNI Sudibyo, dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR 7 Pebruari 1994 mengatakan:
„Hanya orang gila yang menuduh Pak Harto yang mendalangi G30S/PKl.“ Sebuah pertanyaan muncul: „Mengapa PKI begitu dungu menentukan jalan perjuangannya dengan menempuh jalur coup d‘etat yang berakibat kehancurannya?
PKI tidak mampu menilai dengan tepat kondisi masyarakat Indonesia“. Sambil mengintrospeksi diri dengan pernyataan „Kritik; dan Otokritik“ yang disusun segera setelah kekalahan PKI, tokoh-tokoh bekas PKI yang masih hidup, dan bisa saya temui, mengatakan bahwa gerakan mereka kesusupan unsur provokasi, sebagai akibat masih lemahnya organisasi. PKI sebenarnya hanya terbuai oleh puas diri dengan anggapan sudah berdominasi secara politik. Padahal anggapan itu tidak mengandung kebenaran, karena kualitas dan status masyarakat Indonesia, tidak pernah berubah sesuai dengan keinginan PKI. Syaratsyarat yang dapat mendukung berdominasinya PKI di bidang politik, ternyata tidak konkrit.
CAMPUR TANGAN CIA DAN KGB
SEORANG Peneliti tentang Indonesia, Gabriel Kolko, mengungkapkan dalam laporannya dengan mengutip dokumen-dokumen State Department (Kementerian Luar Negeri A.S.) dan CIA (Central Intelligence Agency) mengenai debat tentang peran Amerika Serikat dalam kasus Gerakan 30 September 1965 di Indonesia, mengemukakan keterlibatan A.S. yang isinya sangat mengejutkan dan berbeda sekali dengan apa yang kita ketahui melalui sumber resmi. Dokumen yang digunakannya antara lain mengutip arsip dari perpustakaan mantan Presiden A.S., Lindon B. Johnson yang sudah diumumkan Tuduhan letnan kolonel Untung tentang keterlibatan CIA di Indonesia, dibenarkan oleh dokumendokumen yang terungkap di A.S.
Ke-tidak-senangan Amerika terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia yang dipimpinnya, sudah muncul ketika kunjungannya yang pertama ke negara Uncle Sam pada bulan Mei 1956 Waktu itu Bung Karno menjelaskan kepada Menteri Luar Negeri A.S., John Foster Dulles, dasar politik Indonesia "Kami tidak mempunyai hasrat untuk meniru Uni Sovyet, juga tidak mau mengikuti dengan membabi buta jalan yang direntangkan oleh Amerika untuk kami. Kami tidak akan menjadi satelit dari salah satu blok, kata Bung Karno kepada Menlu Dulles.
Tapi politik seperti ini mudah sekali disalah-artikan oleh Amerika. Amerika hanya menyukai apabila kita memilih pihak seperti yang dikehendakinya. Kalau tidak sependirian dengan dia, secara otomatis dianggapnya tergolong dalam blok Uni Sovyet.
Jawaban yang tajam datang dari John Foster Dulles: "Politik Amerika Serikat bersifat global. Suatu negara harus memilih salah satu pihak. Aliran yang netral adalah immoral (tidak bermoral)," katanya.
Ini dialog antara Bung Karno dengan Dulles :
Kemudian Bung Karno menyampaikan isi hatinya kepada Presiden Eisenhower yang mengaku kesenangannya nonton film koboi, yang dilakukannya tiap malam.
Lebih dulu Bung Karno mengatakan bahwa ia menonton film hanya 3 kali seminggu dan yang disukainya ialah film-film yang menceriterakan pengalaman sejarah dan biografi.
Di antara adegan-adegan dalam film Amerika, menunjukkan bahwa A.S. tidak dapat memahami masalah Asia. Benua Asia sekarang sedang "dimabuk" kemerdekaan. Seluruh benua itu merasakan kemerdekaan dengan kegembiraan yang amat sangat. Jadi, tolonglah sampaikan kepada rakyat Amerika agar memahami, bahwa jikalau suatu bangsa selama hidupnya menderita kepahitan hidup; kutukan, laknatan dan penindasan terhadap hasrat untuk merdeka, maka ia tidak akan melepaskan kemerdekaan itu lagi, apabila sekali telah berhasil merebutnya.
"Sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, jika Amerika memberi kami nasehat, itu bisa! Akan tetapi mencampuri persoalan kami, jangan! Kami telah menyaksikan kapitalisme dan demokrasi Barat pada orang Belanda. Kami tidak mempunyai keinginan untuk memakai sistim itu. Kami akan menumbuhkan suatu cara baru yang hanya cocok dengan kepribadian kami. Ia bukanlah barang yang bisa diekspor ke luar, akan tetapi sebaliknya juga kami tidak bisa menerima barang impor berupa ajaran yang mengikat". 32) Demikian Bung Karno.
32) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 409-410
Lama sebelum itu kekhawatiran Amerika terhadap kepemimpinan Sukarno di Indonesia, sudah nampak. Mula-mula Amerika terkejut, begitu cepat persetujuan KMB yang arsiteknya Amerika, dibatalkan begitu saja oleh Indonesia secara sepihak.
Peter Dale Scott mengatakan, nampaknya sudah sejak 1953, Amerika berkepentingan untuk membantu mencetuskan krisis regional di Indonesia, yang telah diakui sebagai penyebab langsung yang merangsang Sukarno untuk pada tanggal 14 Maret 1957 meniadakan sistem Parlementer di Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan darurat militer, serta memasukkan korps perwira secara legal ke dalam kehidupan politik.
Pada tahun 1953, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sudah mengatakan kepada Duta Besar Amerika di Jakarta, Hugh S. Cumming Jr, supayà dia jangan berbicara tidak bisa menarik kembali politik keterikatan Amerika memelihara persatuan Indonesia. Dipeliharanya persatuan sesuatu bangsa bisa menimbulkan bahaya, sebagai contohnya: Cina. 33)
Program aksi politik khusus yang mendukung pemberontakan regional, secara resmi telah disetujui di Washington pada bulan Nopember 1957. Tapi perwiraperwira dan agen-agen CIA sudah melakukan kegiatan di kalangan kaum pembangkang, jauh sebelum itu. 34)
Keputusan NSC (National Scurity Counsil) 171/1 20 Nopember 1953, sudah mempertimbangkan latihan-latihan militer sebagai suatu cara meningkatkan pengaruh Amerika Serikat, walau pun usaha-usaha utama CIA ditujukan kepada partai-partai politik moderat sayap kanan, khususnya MASYUMI dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Jutaan dollar yang telah dituangkan oleh CIA kepada kedua partai itu dalam pertengahan 1950, merupakan faktor yang berpengaruh atas peristiwa 1965, di mana seorang bekas kader PSI, Syam (Kamaruzzaman) didalihkan sebagai otaknya G30S/PKI. 35)
Slanjutnya Peter Dale Scott mengatakan bahwa di tahun 1957-1958, CIA telah menginfiltrasikan senjata-senjata dan personil dalarn mendukung pemberontakan regional PRRI/PERMESTA melawan Sukarno. Sebuah pesawat terbang militer A.S. (B25) ditembak jatuh oleh APRI di Ambon dan pilotnya seorang penerbang Amerika, Allan Pope, ditangkap. Usaha-usaha CIA ini didukung oleh sebuah task force lepas pantai dari Armada ke-VII (AL A.S.)
33) Peter Dale Scott mengutip Mosley (1978) hal. 437.
34) Memorandum 7 April 1961 dari Direktur CIA, Allen W. Dulles, Hal. 1: Indonesia 22 (Oktober 1976) hal. 168.
35) Peter Dale Scott mengutip studi CIA hal. 107 dan Wertheim (1979) hal. 203.
Dalam tahun 1957, suatu Komisi Khusus Senat yang mempelajari kegiatan CIA, telah menemukan apa yang dinamakanya "beberapa bukti tentang keterlibatan CIA dalam rencana hendak membunuh Presiden Sukarno". Tapi setelah melakukan suatu pemeriksaan awal atas usaha pembunuhan itu, komisi memilih sikap untuk menghentikan pemeriksaanya. 36)
Sebenarnya Bung Karno mengetahui semua rencana ini meski pun tidak terperinci dari laporan-laporan Intelligen dan membacanya dari surat-surat kabar Amerika yang sering membocorkan rahasia, misalnya majalah "US World and News Report" sering disebut oleh Bung Karno sebagai salah satu sumber informasinya.
Memang Bung Karno sering mendapat pertanyaan, apakah sikapnya anti Amerika? Bung Karno menjawab: "Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan tetapi sia-sia". 37)
36) Dokumen-dokumen yang di-deklasifikasi, 1982, 002386, seperti yang dikutip oleh Peter Dale Scott
37) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 430.
Puncak penghinaan Amerika terhadap Bung Karno terjadi pada tahun 1960, ketika ia diundang mengunjungi Washington oleh Presiden Dwight Eisenhower. Pertama sudah terasa, ketika Bung Karno mendarat di lapangan terbang Washington, Presiden Eisenhower tidak datang menyambutnya seperti yang menjadi kelaziman protokol kenegaraan yang berlakù waktu itu. Dengan kejadian ini, Bung Karno belum berkata apa-apa. Kemudian ia menuju Gedung Putih dan mengira bahwa Eisenhower akan menyambutnya di pintu Gedung Putih. Tapi ternyata tidak juga. Terhadap perlakuan ini pun Bung Karno masih sabar, karena mungkin Eisenhower terlalu sibuk dan tidak bisa meninggalkan tempatnya.
Tapi ketika Eisenhower membiarkan Bung Karno menunggu di luar, di ruang tunggu, Bung Karno merasa, ini sudah keterlaluan. Setelah menunggu hampir satu jam, dengan tajam ia menyampaikan kepada protokol: "Apakah saya harus menunggu lebih lama lagi? Kalau harus begitu, saya akan berangkat sekarang juga". Orang itu pucat mukanya dan berkata: "Saya mohon dengan sangat kiranya tuan dapat menunggu barang satu menit", dan dengan gugup ia berlari ke dalam. Kemudian keluarlah Eisenhower, dia tidak minta maaf.
Bung Karno menceritakan kemudian bahwa hanya Presiden Kennedy pada tahun 1961 yang berjanji akan datang ke Indonesia di musim semi 1964. "Aku begitu gembira", kata Bung Karno, "sehingga aku membentuk satu team arsitek dan insinyur untuk membangun Gedung Tamu Agung, siap menyambut kedatangannya, terletak dalam lingkungan pekarangan Istana".
Tapi, kata Bung Karno, secara umum memang Amerika memperhatikan negara-negara Asia yang terbelakang, karena dua alasan. Pertama, negara-negara itu merupakan pasar yang baik untuk melemparkan barang- barang hasil industrinya. Kedua, Amerika takut negara-negara itu menjadi komunis. Oleh karena itu, ia mencoba membeli kesetiaan negara-negara tersebut kepadanya, dengan membagi-bagikan pinjaman disertai peringatan bahwa pinjaman tidak akan diteruskan lagi, kecuali si penerima pinjaman tetap "berkelakuan baik".
Menanggapi sikap Amerika yang demikian itu, Bung Karno mengutip ucapan Manuel Quezon dari Filipina yang mengatakan: "Lebih baik pergi ke neraka tanpa Amerika, dari pada pergi ke sorga bersama dia".
Anthonie A.C. Dake yang anti Sukarno, mengatakan bahwa pertemuan 4 mata antara Sukarno dengan Perdana Menteri RRT, Chou Enlay, bulan Nopember 1964, setelah RRT meledakkan bom atomnya yang pertama, Indonesia dijanjikan akan mendapat Atom Device dalam tahun 1965. Kunjungan Menteri Luar Negeri Chen Yi ke Indonesia sesudah pertemuan Nopember antara Sukarno dan Chou Enlay (di Shanghai, dalam perjalanan dari Korea Utara), juga membicarakan soal ini. Brigjen Hartono, Kepala Logistik Angkatan Darat, dikutip oleh Dake, mengatakan bahwa semuanya tergantung dari Sukarno, karena Indonesia sudah mempunyai ahli- ahli untuk membuat atom. 33)
Bahkan dikatakannya dengan mengutip sumber kantor berita "Antara" bahwa 200 ahli Indonesia bekerja untuk memproduksi bom atom dan akan terjadi surprise pada 5 Oktober 1965 (Hari Angkatan Perang).
38) Dake mengatakan mengutip dari "Indonesian Observer" 23 Desember 1964.
Dikatakannya sebuah delegasi di bawah pimpinan Wu Heng, wakil ketua Komisi Atom RRT, tiba di Jakarta berunding dengan Prof. Soedjono Djuned Pusponegoro sebagai Menteri Riset Nasional. 39)
Menurut pendapat saya, cerita tentang bom atom dari RRT ini, bertentangan dengan kenyataan lain, di mana saya waktu itu sebagai Duta Besar Indonesia di Moskow, ditugaskan menandatangani atas nama Pemerintah Rl, Perjanjian Sedunia tentang Non Proliferation Nuclear (tidak mengembang-biakkan senjata nuklir).
Jadi tuduhan Dake bahwa Indonesia akan mengadakan percobaan bom atom di pulau Mentawai, 40) tidak benar, meski pun katanya persetujuan itu telah ikut ditandatangani oleh Prof. Soedjono.
39) In the Spirit of the Red Benteng, hal. 335. 40) Ibid, hal. 328.
Ini semua tujuannya untuk dijadikan dalih supaya Amerika Serikat segera bertindak terhadap Sukarno, karena rencana-rencananya dianggap sudah terlalu berbahaya.
Rencana penyelenggaraan Konperensi Asia Afrika kedua di Aljazair, bulan Juni 1965, juga dikacau oleh CIA, dimana bertepatan dengan saat-saat persiapan akhir, tibatiba terjadi ledakan di gedung konperensi.
Guy Pauker, yang dipercaya sebagai tokoh CIA, adalah orang Amerika yang di setiap peristiwa internasional penting selalu muncul, tepat waktu itu berada di Aljir dan memerlukan mengunjungi Ny Supeni, Duta Besar Keliling Rl yang waktu itu sudah berada di Aljir untuk ambil bagian dalam konperensi sebagai anggota delegasi Rl. Pauker mengatakan, keberadaannya di Aljir untuk memantau KAA-II secara langsung, karena peristiwa ini penting bagi Amerika.41)
41) Supeni Wanita Utusan Negara, hal. 220.
Setelah terjadi ledakan bom di gedung konperensi, Menteri Luar Negeri RRT, Chen Yi, yang memimpin delegasi negaranya dan sudah lebih awal tiba di Aljir, langsung mengusulkan supaya konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair bukan untuk dibunuh. Usul ini disetujui oleh Aljazair dan negara- negara peserta lainnya, yang kemudian disetujui pula oleh 3 kepala Negara/Pemerintahan yang sedang menunggu di Kairo, yaitu Presiden Sukarno, Perdana Menteri Chou Enlay dan Presiden Gamal Abdel Nasser.
Kalau KAA-II jadi dilangsungkan, Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio, sudah siap dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, bahwa Indonesia mempunyai bukti adanya satu plot Amerika-lnggeris akan mengadakan serangan militer terhadap Indonesia. Karena konperensi tidak jadi diadakan, oleh Subandrio hanya diberikan interview kepada wartawan harian terbesar di Kairo, Al-Ahram (dipimpin Heykal), mengenai rencana Amerika- lnggeris tersebut. Semenjak itu ketegangan makin terasa mencekam.
Presiden Sukarno dalam pidatonya di depan rapat Panglima TNI Angkatan Darat seluruh Indonesia bertempat di Markas Besar GANEFO Senayan 28 Mei 1965, sudah memperingatkan kemungkinan yang bakal terjadi.
la menunjuk kepada makin meningkatnya kegiatan Nekolim (Neo kolonialisme/imperialisme) untuk memukul revolusi Indonesia, sambil memperingatkan bahwa dalam negeri pun sudah ada kaki- tangan yang mereka tanam. Beberapa bagian pidato itu kutipannya sebagai berikut:
Kaum imperialis sejak mereka bisa mengadakan peacefull coexistence dengan Moskow, mereka mempunyai anggapan bahwa yang menjadi musuh bukan lagi Moskow, melainkan kita: Indonesian Revolution, Sesudah the Indonesian Revolution naik aktivitas dan gengsinya, bahkan sesudah revolusi Indonesia benar-benar universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa- bangsa lain.
Sesudah mereka melihat bahwa Indonesia adalah salah satu pokok dalam kesatuan Asia-Afrika, sesudah mereka melihat bahwa di dalam Dasa Warsa AA. (18 april 1965) Indonesia tidak tenggelam kedudukannya di dunia AA, malahan naik, malahan Indonesia oleh beberapa negara AA dianggap sebagai mercu suarnya, sesudah Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi AA-II di Aljazair lekas diadakan, sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk mengadakan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) dan ternyata inisiatif Indonesia ini mendapat sambutan yang hebat dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-negara komunis, sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka matanya dan mengatakan: Here in Indonesia lies the danger. Revolusi Indonesia ini harus di-contain.
Dulu mereka mencoba menghancurkan revolusi komunis di Rusia, karena Sovyetlah yang pertama memberontak terhadap sistim kapitalisme dan sistim kolonial. Pada waktu itu segala usaha diadakan oleh mereka untuk menghancurkan Sovyet Uni.
Ini in geuren en kleuren (panjang lebar) diceritakan oleh Leon Trotzky dalam bukunya "Mein Leben". Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap gempuran dari lima jurusan. Trotzky sebagai Panglima Besar tentara Sovyet mondar-mandir ke lima front itu dalam Markas Besarnya di gerbong Kereta Api.
Sejak usaha itu gagal untuk menghancur-lemburkan Sovyet Uni, mulailah mereka mengadakan international campaign terhadap komunis. Maka tiap usaha dari bangsa apa pun yang anti imperialis, dicap komunis.
Bahkan Petrus Bloemberger dalam bukunya "De Communistische Beweging In Nederlandsch Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ir. Sukarno juga dikatakan: Ze Zijn communisten - mereka komunis. Dan sampai sekarang masih saja "the communist danger in Indonesia "
Baca bukunya Arnold Brackman, wartawan Amerika dulu tinggal di Jakarta dan kawin dengan noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism in Indonesia", kita semua dikatakannya komunis, di samping PKI.
Sebutan komunis itu bagi kita sudah oude koek (basi). Kita sebenarnya sekedar mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan kita dan mempertahankan revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti imperialisme, ; mereka sebut komunis. Dijual oleh mereka omongan bahwa Indonesia yang paling berbahaya, oleh karena Indonesia is going communist. Padahal tidak. Indonesia hanya ingin mempertahankan kemerdekaannya, hanya ingin menggabungkan semua tenaga anti imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang berhasrat menentang imperialisme.
Karena revolusi kita dianggap sebagai yang paling berbahaya, enemy number one - musuh nomor satu, -. maka segala usaha mereka sebenarnya ditumpahkan kepada menghancurkan kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita pahami. We are in the centre -kita berada di pusat aktivitas mereka untuk menghancurkan. Kita yang akan dihancurkan, dengan macam-macam jalan.
Panglima Angkatan Darat sudah disclose (menyingkap) bahwa ada plan yang nyata bisa dibuktikan zwart op wit dari mereka untok menghantam kita. Ada plan yang nyata en jullie moet het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar plan yang nyata ada untuk mengadakan propaganda per radio dan surat kabar anti kita, tidak! Dan Jenderal Yani pun sudah berkata: Kita tidak gentar! Kalau; mereka serang kita, sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang karena Singapura adalah pokok, mile stone di dalam life line of imperialism.
Sebetulnya selain plan-plan itu, kita mengetahui juga macam-macam plan dari mereka untuk menghancurkan revolusi Indonesia, Salah satu plan itu untuk membunuh beberapa pemimpin Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio. Itu yang pertama-tama harus dibunuh, malah kalau bisa, sebelum Konperensi AA - II di Alzajair (April 1965).
Kalau tidak bisa, sesudah Konperensi di Aljazair, diadakan limited attack on Indonesia-gempuran terbatas terhadap Indonesia. Dan pada waktu itu sedang ada limited attack, maka seperti disebutkan dalam mereka punya plan, kawan-kawan mereka (di dalam negeri) akan bertindak membantu menggulingkan Sukarno, Yani dan Subandrio.
Kalau ini gagal juga, mereka akan berikhtiar lain untuk menggulingkan Sukarno, Yani dan Subandrio, yaitu membuka segala rahasia mereka terutama yang mengenai personal life (rahasia hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak terhadap Sukarno, Yani dan Subandrio.
Kita mengetahui: "They are preparing an attack of Indonesia. They are going to try to kill Sukarno, Yani and Subandrio. They are going to make a limited attack on Indonesia. They have the* friends here" - mereka mempersiapkan serangan terhadap Indonesia. Mereka mencoba hendak membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio. Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka mempunyai teman-teman di sini "
Demikian kutipan sebagian dari isi pidato Bung Karno yang rekamannya setelah ditranskrip terdiri dari 14 halaman folio tik-tikan (2 spasi).
Apa yang diuraikan oleh Bung Karno, ada kemiripannya dengan dokumen-dokumen State Department dan CIA yang diumumkan di Amerika dan dikutip oleh berbagai peneliti sejarah seperti Prof. Peter Dale Scott dan Gabriel Kolko yang sudah dicatat di atas.
Dengan memperhatikan pidato Bung Karno di depan rapat Panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia 28 Mei 1965, dipérkuat oleh dokumen-dokumen State Department dan CIA yang diumumkan di Amerika serta proses di pengadilan yang mengadili tokoh-tokoh G30S/PKI, membantu kita memahami konstatasi Bung Karno tentang terjadinya G30S/PKI dalam pidato "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikan kepada MPRS pada 10 Januari 1967 yang mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikannya yang seksama, peristiwa G30S/PKI itu ditimbulkan oleh pertemuannya 3 sebab:
1. Kebelingernya pemimpin-pemimpin PKI.
2. Kelihaian subversi Nekolim.
3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar.
Namun jauh sebelum Bung Karno mengucapkan pidatonya itu, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio yang juga Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI) dan karenanya tentu lebih banyak mengetahui detail situasi dari laporan-laporan Intel, pada tanggai 3 Januari 1965 dalam resepsi peringatan harian "Duta Masyarakat" sudah menyatakan bahwa tahun 1965, memang merupakan tahun gawat. Gawat bukan saja karena kaum Nekolim terus menambah gencarnya sorangan dan rongrongan terhadap revolusi Indonesia tapi juga berbagai macam hal lainnya, sebagai akibat keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, karena PBB menjadikan "Malaysia" anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang ditentang keras oleh Indonesia.
Tahun 1965 juga gawat karena kita dalam tahun ini akan berusaha memperbaiki perekonomian kita, sedangkan kaum Nekolim sudah. pasti tidak senang terhadap perbaikan ekonomi Indonesia itu dan akan terus menghalang-halanginya.
Dikatakannya juga bahwa tahun 1965 adalah tahun kristalisasi dari kekuatan-kekuatan dalam revolusi Indonesia. "Jangan terkejut apabila saya katakan bahwa mungkin dalam tahun 1965 ini kawan-kawan seperjuangan kita terpaksa ada yang rontok dan kita tinggalkan, karena tidak lagi dapat mengikuti jalannya revolusi. Untuk meninggalkan kawan-kawan yang tadinya merupakan kawan-kawan seperjuangan itu, memang hati kita menangis, tapi hal itu terpaksa kita lakukan, demi keselamatan revolusi kita", kata Subandrio.
Mengenai usaha Pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi dikatakannya selain usaha kaum Nekolim merongrong, juga dari kalangan bangsa kita sendiri ada tanda-tanda ke arah itu. Pada saat ini tidak saja ada multimilyuner, tapi sudah terdengar pula adanya multi-milyarder yang hanya menggunakan ludah, lidah dan dengkul sebagai modalnya.
Dr Subandrio di kemudian hari divonis hukuman mati oleh MAHMILLUB, tapi kemudian dirubah menjadi hukuman seumur hidup.
Juga Menteri Penerangan Achmadi dalam sambutannya mengatakan bahwa bagi revolusi Indonesia, tahun 1965 adalah tahun to be or not to be, sebab Indonesia berhadapan dengan kaum Nekolim yang merongrong kita. Rongrongan itu tidak saja dari luar, tapi sudah di dalam tubuh kita sendiri, sebab sadar atau tidak, di tengah- tengah kita ada saudara-saudara yang ikut serta membantu rongrongan kaum Nekolim itu.42)
42) "Berita Indonesia", Jakarta, 5 Januari 1965.
Juga Achmadi divonis 10 tahun penjara.
Kecurigaan Bung Karno atas keterlibatan CIA di Indonesia, memuncak pada bulan Juni 1965, setelah menerima pemberitahuan dari Washington bahwa Marshall Green diangkat menjadi Duta Besar AS yang baru untu k Indonesia, menggantikan Howard Jones yang sudah 7 tahun bertugas.
Pers Indonesia diinstruksikannya melalui ketua umum PWI Pusat, A. Karim DP, supaya menggerakkan public opinion untuk menolak kehadiran Marshall Green. Bung Karno mengatakan, sudah mempelajari riwayat hidup ; Marshall Green yang berperan dalam penggulingan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh dari Iran yang menasionalisasi perusahaan minyak Abadan pada tahun 1956 Juga ia yang berperan dalam penggulingan Presiden Syngman Rhee di Korea Selatan pada tahun 1960.
Tapi instruksi Bung Karno ini ditentang oleh Subandrio dan berusaha membujuk Bung Karno supaya melunakkan sikapnya dan jangan menolak Marshall Green, karena ia khawatir akibatnya yang tidak bisa terduga, misalnya Armada ke-VII AS tiba-tiba menampakkan diri di Teluk Jakarta.
Akhirnya Bung Karno mengalah, tapi sikapnya tetap tidak sreg dengan kehadiran Marshall Green di Indonesia. Howard Jones juga ikut mendesak Bung Karno supaya tidak menolak Marshall Green.
Gabriel Kolko mengungkapkan adanya sebuah laporan dari Duta Besar Howard Jones di Jakarta kepada Gedung Putih yang diterima tanggal 3 Juni 1964 pukul 09.20 waktu Washington,43) menjelaskan adanya pembicaraan antara Duta Besar Jones dengan Jendral A.H. Nasution selama 1 jam 10 menit. Jones mula-mula mengatakan bahwa ia datang membawa semangat yang bersahabat dengan Indonesia, tapi katanya, ia melihat badai sedang nampak di cakrawala dan oleh karenanya baik diperhatikan peribahasa lama: Secercah persiapan pencegahan lebih baik dari mengharapkan sekali penyembuhan.
43) Gabriel Kolko: Dokumen-dokumen State Department dan CIA mengenai debat tentang peranan Amerika Serikat di lndonesia 1965, 13 Agustus 1990 - mengutip dari copy Lyndon B. Johnson Library.
Nasution mendengarkan dengan sabar selama setengah jam uraian Jones tentang situasi ekonomi Indonesia yang sangat kritis. Situasi akan menjadi lebih serius kalaupembicaraan Bangkok (mengenai sengketa Rl dengan Malaysia), gagal. Keadaan yang demikian- akan berkembang menguntungkan PKI dengan me- ngambil langkah-langkah yang bisa berakibat putusnya hubungan Indonesia dengan "Dunia Bebas", tèrutama Amerika.
Jones mengingatkan kepada Nasution bahwa bantuan kepada Indonesia akan terpaksa dihentikan dan kewajiban- kewajiban Amerika terhadap Pakta ANZUS {Australia, New Zealand dan Amerika Serikat) akan diberlakukan, kalau Australia dan Selandia Baru terlibat di dalamnya.
Nasution menjawab bahwa ia membenarkan analisis itu karena ia juga menilai keadaan dalam dan luar negeri sangat gawat. Ia ingatkan bahwa beberapa bulan lalu ia telah menyatakan pandangannya yang sangat pesimistis tentang masalah Malaysia dan kemungkinan bahwa pembicaraan di Manila dan Tokyo tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Ia mengakui dengan jujur bahwa konfrontasi dengan Malaysia, menyakitkan.
Jones mengatakan bahwa ia sampai kepada satu kesimpulan: "Karena tidak ada penyelesaian politik (mengenai Malaysia), militer Indonesia bertekad melanjutkan konfrontasi, tapi dengan hati-hati akan mencegah eskalasi menjadi sengketa besar. Bagaimana pun akan diusahakan lewat penyelesaian politik. Nasution setidaknya sadar akan bahaya komunis dan karenanya mementingkan pembinaan ke dalam, agar militer Indonesia sudah siap kalau tantangan datang. Tentara Indonesia dipercaya, masih anti kominis. Meski pun demikian, ia menghindari dengan keras tentang kemungkinan tentara ambil alih kekuasaan, sekali pun masalah ini sudah menjadi issue".
Jones menganggap pembicaraan ini konstruktif dan tidak pernah sekali pun Nasution menyatakan permintaan bantuan, kalau krisis datang.
"Saya rencanakan", kata Jones, "untuk menghubungi lain-lain Jenderal dan yang pertama dengan Jenderal Yani"
Jones melaporkan bahwa, Nasution menyatakan kepada saya, kata laporan Jones, "secara rahasia Angkatan Darat sedang mengembangkan suatu rencana istimewa untuk mengambil alih kekuasasn, yaitu pada saat Sukarno turun".
Catatan lain dari H. W. Brands (The Journal of American History) mengatakan, 2 minggu kemudian Jones bertemu lagi dengan Nasution yang meyakinkan kepadanya bahwa militer Indonesia tetap pro Amerika dan anti PKI.
Jones melaporkan juga bahwa dalam satu pertemuan seorang stafnya dengan Jenderal Parman, ia telah mendiskusikan suatu rencana dengannya. Dikatakan, sekali pun sudah ada rencana sehubungan dengan era post Sukarno, sentimen kuat memang tumbuh di antara golongan penting pimpinan puncak tentara, untuk ambil alih kekuasaan sebelum Sukarno meninggal. Kapan hal ini terjadi, tergantung dari perkembangan beberapa minggu mendatang. Tekanan-tekanan yang saling bertentangan tumbuh dengan cepat dan menurut pendapat Parman, Angkatan Darat mungkin akan mengambil tindakan dalam waktu 30 sampai 60 hari, untuk menghalangi kegiatan PKI.
Kaum komunis sedang membangun kekuatan para militer dan mulai mempersenjatai kekuatan itu. Inte I tentara telah mengetahui lokasinya dan merencanakan sesuatu untuk menjalankan isolasi segera terhadap pusat kekuatan itu, kalau detik-detik bertindak sudah tiba.
Tapi dikatakan, tidak ada sentimen di antara kepemimpinan militer untuk bergerak terhadap Sukarno. Kalau tentara bergerak, mungkin melakukan fait a acompli, coup akan dilakukan sedemikian rupa untuk mempertahankan kepemimpinan Sukarno. Mereka yang mengeritik kepemimpinan Sukarno sekali pun,- berpendapat bahwa tidak ada kemungkinan akan berhasilnya sesuatu coup terhadap Sukarno. Ia masih dicintai oleh rakyat.
Demikian laporan Jones yang disampaikan ke Gedung Putih di Washington pada tanggal 3 Juni 1964.
Jones menyatakan kesannya: "Dalam pembicaraan itu Nasution menyadari, bahwa ia tidak perlu terkejut, oleh pandangan yang saya kemukakan kepadanya".
Menurut buku "Indonesia Crisis and Transformation 1965- 1868" yang ditulis oleh Marshall Green sesudah ia bertugas sebagai Duta Besar AS di Jakarta,44) rasa anti Amerika yang dikobarkan oleh Sukarno mencapai puncaknya pada bulan Mei 1965. Sebelumnya, pada awal tahun 1965, Rl menyatakan keluar dari keanggotaan PBB. Selain itu Indonesia juga makin dekat dengan RRT, Korea Utara dan Vietnam Utara. Di luar negeri Sukarno juga sedang hebat hebatnya meng- galang persatuan negaranegara berkembang Asia dan Afrika guna menentang kaum imperialis.
44) Ringkasan dan resensi buku itu dimuat dalam harian "Suara Pembaruan" Jakarta berturut-turut tanggal 15, 16, 17 dan 18 Juni 1991 yang ditulis oleh wartawannya di Amerika Albert Kuhon. Kemudian terjemahan buku itu dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh "Grafiti". Jakarta, 1992.
Di dalam negeri, Sukarno menolak bantuan Amerika yang disalurkan lewat program USAID (United State Aid), serta mengisyaratkan kemungkinan pengambil-alihan perusahaan Amerika Serikat seperti Calltex, Stanvac, Good Year dan Union Carbide. Pada saat-saat seperti itulah Marshall Green ditawari jabatan Duta Besar di Indonesia, menggantikan Howard Jones yang pensiun. Waktu itu ia menjabat Deputy Asisten Menteri luar negeri AS untuk Wilayah Timur Jauh, mendampingi sahabatnya sejak kecil, William Bundy, yang menjabat Asisten Menteri Luar Negeri untuk wilayah Tirnur Jauh. .
Waktu itu Presiden Amerika Serikat dijabat oleh Lyndon Johnson. Dalam banyak hal langkah Duta Besar Howard Jones dinilai terlalu membela Sukarno. Bahkan hubungan Jones dengan Sukarno dianggap terlalu dekat, sehingga menutupi buruknya hubungan antara Rl dengan Pemerintah AS. Jones pula yang membujuk Sukarno agar bersedia menerima Marshall Green sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia. Walau pun ketika itu Sukarno tegas- tegas mengatakan kepada pers bahwa Green yang dicalonkan menggantikan Jones, bukan NEFOS (New Emerging Forces), bahkan disebutnya Green adalah tokoh yang amat dekat dengan CIA.
Setelah ada isyarat bisa diterima oleh Jakarta, maka Marshall Green diambil sumpahnya di Gedung Putih sebagai Duta Besar, pada tanggal 11 Juni 1965.
Marshall Green dan Lisa, istrinya, serta putera bungsu mereka Grampton (14), berangkat ke Jakarta 13 Juli 1965. Mereka terbang melalui Honolulu dan Hongkong.
Wakil Dubes AS di Jakarta, Frank Gilbraith, ketika itu mengirim kabar ke Washington, agar keberangkatan Green ditunda. Situasi agak keruh karena di Jakarta sedang berlangsung demonstrasi besar- besaran menentang kehadiran Marshall Green. Kabar itu diterima oleh Green di perjalanan. Akibatnya, Green rnenunggu sekitar seminggu di Hongkong, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Mereka beruntung karena pesawatnya tertunda lagi di Singapura selama 2 jam. Pesawat tersebut baru tiba di Jakarta larut malam dan para demonstran yang menunggunya sudah menghilang. Bandar Udara ketika itu dijaga ketat, rombongan Marshall Green dikawal sampai kediaman Duta Besar AS di daerah Menteng. Poster-poster, menentang kehadiran Green masih tampak di berbagai tempat dalam perjalanan dari Bandar Udara Kemayoran ke tempat kediamannya di Jakarta Pusat kediamannya di Jakarta Pusat.
Sebagai layaknya pendatang baru, Green mengunjungi 3 Menteri untuk berkenalan, yaitu Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan Jenderal A.H. Nasution dan Menteri Negara Adam Malik.
Green menilai Subandrio sebagai pelaksana politik yang cerdik dan merasa berpeluang besar menggantikan Presiden Sukarno. Jenderal Nasution dicatatnya sebagai pejuang yang menentang komunisme. Sedang Adam Malik merupakan politisi dan diplomat pendukung Sukarno, namun melihat betapa PKI menyelewengkan semua keputusan dan pendapat Sukarno.
Marshall Green menuturkan betapa Duta Besar Jepang di Jakarta, Shizo Saito mempunyai jalur khusus ke Istana Merdeka, berkat bantuan Dewi, istri (wanita Jepang) ketiga Sukarno, Saito sempat membantu Green pada awal penugasannya sebagai Duta Besar AS di Indonesia.
Tulis Green: Setidaknya ada beberapa kesan yang menggores sangat dalam ke hatinya. Pertama, waktu ia membacakan dan menyerahkan Surat Kepercayaan dari Presiden AS kepada Presiden Sukarno dalam upacara resmi di Istana Merdeka 26 Juli 1965, lima hari setelah rombongannya tiba di Jakarta. Sukarno dalam pidato sambutannya menyerang kebijaksanaan politik luar negeri Pemerintah
AS, sehingga ia merasa amat tersinggung. Sebenarnya ia ingin meninggalkan begitu saja upacara itu, tapi tak berani melakukannya, karena takut dikenai persona non grata.
Green secara diplomatis membalas dengan menggoda Ny. Supeni, seorang pejabat tinggi Departemen Luar Negeri Rl yang hadir dalam upacara itu. Dubes Green mengatakan betapa Ny. Supeni yang mengenakan kebaya hijau itu (green) memiliki daya tarik yang sangat hebat, sehingga ia tak sempat menangkap kalimat-kalimat terakhir yang diucapkan oleh Sukarno. Maksudnya, bagian yang menyerang kebijaksanaan luar negeri AS. Godaan itu diucapkan dengan suara yang sangat keras, sehingga tertangkap oleh mikrofon dan terdengar oleh seluruh hadirin. Tentu saja suasana jadi tegang.
Tindakan Green ini ternyata berbuntut. Beberapa jam kemudian, ribuan demonstran berkumpul di dekat kediaman Duta Besar Green. Wakil demonstran yang diterima oleh Green mengemukakan banyak hal mengenai imperialisme Amerika Serikat, CIA dan berbagai hal lainnya yang mengecam Amerika Serikat.
Kesan kedua yang diterima oleh Green dari Sukarno adalah betapa seringnya ia dikata-katai sebagai orang yang menolak sebutan sebagai Marshall of Air Force (Marsekal Udara). Karenanya Sukarno di hadapan orang banyak beberapa kali menyebut Green sebagai Marshall of CIA (Marsekal Intelligen AS).
Bulan September 1965, hubungan Rl dengan beberapa negara tertentu memburuk, terutama dengan AS. Green segera mengirim telegram kepada Menteri Luar Negeri Dean Rusk di Washington meminta, supaya menyampaikan ultimatum kepada Indonesia. Isi ultimatum dirancang oleh Green sendiri. Bunyinya: Segala bentuk pengrusakan terhadap harta diplomatik dan konsuler AS, akan mengakibatkan ditutupnya Konsulat Jenderal Rl di New York serta tempat-tempat lainnya di Amerika Serikat. Green sengaja menekankan penutupan Konsulat Jenderal Rl di New York, karena ia tahu, Menlu Subandrio dan sebagian besar anggota Kabinet Indonesia ketika itu, mengharapkan peran khusus Konjen Rl di New York dalam bidang keuangan. Ultimatum yang diharapkan, didapat dari Washington dalam waktu kurang dari 24 jam. Green menyampaikannya kepada Dr. Subandrio tanggal 13 September 1965.
Ternyata Subandrio tidak marah menerima ultimatum itu. Bahkan menanyakan hal-hal apa yang bisa dibantu oleh Pemerintah Indonesia.
Sejak itu tidak pernah ada lagi demonstrasi terhadap Kedutaan AS sampai akhir 1965.
Menyinggung peristiwa G30S/PKI, analisis pertama dari Kedutaan Besar AS di Jakarta mengatakan, gerakan itu dilakukan oleh PKI karena khawatir mengenai kesehatan Sukarno yang memburuk. Karenanya, PKI buru-buru bertindak menghabisi lawan-lawannya di lingkungan Angkatan Darat, selama Sukarno masih bisa melindungi PKI. Jika Sukarno harus turun dari kepemimpinan negara, PKI berasumsi bahwa Angkatan Darat tak punya lagi kesempatan untuk menyaingi komunis.
Analisis kedua dari pihak Kedutaan Besar, adalah kecurigaan mereka terhadap peran Sukarno dalam coup d'état. Green menyatakan, kecurigaan itu antara lain disebabkan oleh munculnya Sukarno di Halim Perdanakusumah, di mana berada para perencana coup d'état. Green menambahkan, keterlibatan Sukarno dalam pembunuhan para perwira tinggi AD, dimungkinkan karena merekalah yang sejauh ini menghalangi Sukarno mencapai tujuan NASAKOM.
Analisis ke tiga, menurut Green, yang lebih dicurigai lagi adalah pihak Cina Komunis. Pihak Cina tahu daftar nama para Jenderal yang terbunuh pada pukul 11 siang 1 Oktober 1965, satu jam sebelum daftar itu diumumkan di Jakarta. Dalam daftar yang diperoleh Cina, terdapat nama Jenderal A.H. Nasution sebagai yang terbunuh, sehingga muncul dugaan daftar Jenderal yang akan dijadikan sasaran, sebenarnya sudah ada di tangan pihak Cina sebelum G30S/PKI meletus.
Dua hari setelah Marshall Green kembali dari Washington berkonsultasi dengan Presiden Lyndon Johnson, wakil Presiden Hubert Humprey serta Menlu Dean Rusk, tepatnya 7 Maret 1966, Presiden Sukarno berpidato di muka umum yang menyatakan Marshall Green akan di usir dari Indonesia. Tanggal 8 Maret 1966, kedutaan Besar AS di jalan Merdeka Selatan diserbu demonstran yang pro Sukarno.
Dikatakan oleh Green, International Governmental Group on Indonesia (IGGI) merupakan realisasi dari rencana Deputy Asisten Menteri Luar Negeri AS, Robert Barnett pada awal tahun 1966.
Dalam resepsi memperkenalkan bukunya "Indonesia Crisis and Transformation 1965-1968" di Gedung Asia Society Washington awal Juni 1991, Marshall Green mengatakan bahwa tujuannya menulis buku itu, terang-terangan ia sebutkan untuk membantah tuduhan sebagian pihak mengenai keterlibatan AS dalam pembantaian kaum komunis di Indonesia. "Amerika sama sekali tidak ikut campur dalam soal itu. Indonesia menyelesaikan kemelutnya dengan kemampuannya sendiri", kata Green.
Marshall Green menunjukkan ketersinggungannya karena dituduh sebagai pihak yang bekerja untuk CIA. Tapi sebaliknya dalam kata sambutan di bagian awal buku karya Green itu, seorang rekan sejak kecilnya yang kemudian menjadi atasan Green, Asisten Menlu AS, William P. Bundy, mengakui bahwa Green pernah bekerja di lingkungan CIA.
Wartawan "Suara Pembaruan " menutup resensinya sehubungan dengan apa yang dituliskan dalam buku itu, Green sama sekali tidak menyebut nama George Benson. Disekitar meletusnya G30S/PKI tahun 1965, Benson adalah seorang atase di lingkungan Kedutaan Besar AS yang mempunyai hubungan khusus dengan beberapa tokoh militer Indonesia. Green cuma mengatakan, salah seorang atasenya yang bernama Willis Ethel, mempunyai hubungan istimewa dengan ajudan Jenderal A.H. Nasution.
Buku Green ini bisa menjadi pelengkap khazanah sejarah Indonesia, tapi tentu saja diperlukan kepastian akan kebenaran dan keruntutan urainnya, kata Albert Kuhon (Wartawan "Suara Pembaruan"), menutup tulisannya.
Apa yang dikutip di sini hanya bagian-bagian yang terpenting saja.
Pengakuan Marshall Green di atas, membuktikan betapa beralasannya kecurigaan Bung Karno bahwa Amerika memang campur tangan mengenai persoalan dalam negeri Indonesia dengan tujuan akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno yang terlalu anti imperialisme dan kapitalisme yang justru menjadi strategi dasar politik global Amerika Serikat.
Bung Karno yang tadinya sudah bulat sikapnya menolak kehadiran Marshall Green, kemudian merubah sendiri sikap itu setelah dicairkan oleh Subandrio. Memang dikemudian hari menimbulkan pertanyaan juga, apa yang tersembunyi di balik peran Subandrio itu, yang sangat kuat mendesak Bung Karno supaya jangan menolak Marshall Green?
Kelemahan Bung Karno, karena ia sendiri ambivalent (mendua) dalam sikapnya, sebagaimana umumnya orang-orang yang bernaung di bawah bintang Gemini, dan masih berpikir dapat merubah sikap agresif Amerika Serikat, jika saja ia memberikan konsesi. Padahal konsesi itu terbukti tidak menolong apa-apa.
Cerita tentang penerbang Amerika, Allan Pope yang disewa oleh kaum pemberontak PRRI/PERMESTA dan dalam satu kali serangan saja sudah mernbunuh 700 rakyat di Ambon, akhirnya di ampuni oleh Bung Karno dengan menggunakan hak prerogatipnya sebagai Presiden, meski pun dengan imbalan yang tidak seimbang dengan subversi AS di Indonesia, adalah sebuah contoh. Juga kemurahan hati Bung Karno ini, sama sekali tidak merubah politik Amerika Serikat terhadap Indonesia. Tentu maksud Bung Karno hendak menunjukkan bahwa ia ingin nunjukkan bahwa ia ingin bersahabat dengan Amerika, tanpa memahami lebih jauh strategi politik Amerika yang justru hendak meruntuhkan kepemimpinannya.
Ada baiknya kita kaji kembali kisah kebaikan hati Bung Karno menyelesaikan kasus Allan Pope.
"Di satu pagi hari Minggu bulan April 1958" kata Bung Karno, penerbang Amerika, Allan Pope, yang disewa oleh kaum pemberontak PRRI/PERMESTA, melakukan serangan terhadap pulau Ambon, menyerang sebuah Gereja dan gedung itu hancur, yang di dalamnya jama'at sedang melakukan kebaktian dan terbunuh semua. Juga ditenggelamkannya sebuah kapal Republik dan semua awak kapal mengalami nasib yang malang. Serangan pagi itu telah membunuh 700 rakyat yang tak berdosa.
Prajurit-prajurit kita yang menggunakan meriam penangkis serangan udara yang sudah tua menembak jatuh pesawat B-25 dan penerbangnya, Allan Pope, jatuh di pohon kelapa. Sebelah kaki dan tulang pahanya patah. Ia harus bersyukur karena jiwanya diselamatkan oleh Republik, ia diangkut ke rumah sakit.
Bung Karno menanyakan kepada Duta Besar Amerika Serikat, mengapa penerbang itu memerangi kami?
Jawab sang Duta Besar: "Oleh karena dia dengar tuan komunis dan dia hendak menyumbangkan tenaga dalam perjuangan melawan komunisme".
Surat-surat Pope yang ditemukan di tempat dia jatuh, menyatakan bahwa ia seorang penerbang yang diberi ijin untuk angkutan udara sipil dengan menjelaskan haknya untuk menggunakan lapangan terbang Clark di pangkalan Amerika dekat Manila.
Bung karno yakin, Allan Pope seorang agen CIA, meski pun tidak ditemukan bukti yang tertulis. Tentu ia tidak ; sebodoh itu untuk membawa bukti-bukti yang dapat memberatkan dirinya.
Di setiap negara yang baru berkembang, orang akan melihat agen-agen Amerika banyak berkeliaran. Kami pun melihat mereka berkeliaran di Jakarta, kata Bung Karno.
Isteri Allan Pope, bekas pramugari pada perusahaan penerbangan PAN American Airways datang kepada Bung Karno dan menerimanya Dia menangis mencurahkan, seluruh kesedihannya dan memohon supaya suaminya diampuni. Bung karno tidak dapat memandangi air mata seorang perempuan, sekali pun dia seorang asing. Kemudian ibu dan saudara perempuannya juga datang dengan sedu-sedan yang melebihi dari perasaan yang dapat ditahankan oleh Bung Karno.
Saat itu Allan Pope sudah keluar dari rumah sakit setelah dokter- dokter Indonesia menyelamatkan jiwanya tanpa memotong kakinya. Ia sedang berada dalam tahanan rumah menunggu pemindahannya ke penjara tentara untuk dihukum mati.
Tapi Bung Karno menyampaikan kepadanya: "Atas kemurahan hati Presiden Republik Indonesia, engkau diberi ampun. Putusan ini dilakukan secara diam-diam. Saya tidak menghendaki propaganda mengenai hal ini. Pergilah dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat dengan diamdiam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat dengan diam-diam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat kabar. Jangan buat pernyataan-pernyataan. Pulanglah, sembunyikan dirimu, kami akan melupakan semua yang telah terjadi".45)
45) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 400-402
Begitu besar kemurahan hati Bung Karno, sampai-sampai ia menggunakan hak prerogatipnya mengampuni agen CIA yang telah membunuh ratusan mungkin ribuan rakyat Indonesia dan menenggelamkan banyak kapal Republik.
Tergerakkah hati Pemerintah Amerika Serikat untuk membalas budi baik Bung Karno dengan menghentikan subversinya di Indonesia? Tidak! Justru Amerika meningkatkan kegiatannya hendak menggulingkan Bung Karno.
Namun cukup mengejutkan pengakuan Ladislav Bittman, bekas kepala Departemen VIII Dinas Intelligen Cekoslowakia dalam bukunya "The Deception Game" -permainan curang-yang kemudian disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Oejeng Soewargana. 46) Digambarkannya bahwa Dinas Intelligen Cekoslowakia dan KGB (Dinas Intelligen Uni Sovyet), pada saat- saat pengganyangan Amerika di Indonesia, nimbrung memancing di air keruh.
46) Diterbitkan oleh PT. Tjandramerta, Jakarta, 1973.
Pengakuan itu mengatakan, Mayor Louda seorang perwira senior intel Ceko yang beroperasi di Indonesia, menyampaikan dokumen-dokumen palsu kepada pejabatpejabat Indonesia, pimpinan partai-partai politik dan pers, yang langsung memper- cayainya. Adegan dimulai dengan menyampaikan informasi palsu kepada Duta Besar Rl di Praha (yang tidak disebut namanya), mengenai apa yang dinamakannya "Operasi Palmer". Sang Duta Besar yang katanya juga seorang perwira intelligen BPI (Badan Pusat Intelligen), percaya kepada informasi itu dan meneruskannya ke Jakarta, karena memang pesan Mayor Louda, harus diketahui oleh Subandrio dan Bung Karno.
Akibatnya, bukan Bill Palmer saja yang menghadapi kesulitan, juga "Peace Corps" Amerika yang banyak melatih di bidang olah raga, dituduh menjadi mata-mata CIA, diusir dàri Indonesia.
Pada akhir bulan Maret 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mengirim wakil khusus ke Indonesia, Ellsworth Bunker, untuk mengusahakan peredaan ketegangan antara Amerika dengan Indonesia. Misi Bunker gagal dan sesudah ia pulang, permusuhan terhadap AS makin menjadi-jadi.
Pada bulan April 1965 datang di Jakarta seorang Armenia yang tinggi langsing, dengan rambut dan kumis yang sudah mulai ubanan, sikapnya aristokratis dan tidak banyak menarik perhatian orang. Padahal dia sebenarnya Jenderal Agayant, kepala Departemen Berita berita Palsu KGB yang bekerja sama dengan Dinas Rahasia Cekoslowakia. Dia merasa puas melihat hasil- hasil yang dicapai oleh "Operasi Palmer". Hasilnya, hubungan Indonesia-Amerika telah mencapai taraf yang sangat kritis.
Tanpa takut kemungkinan akan diketahui bahwa sumber kampanye anti Amerika didapat dari Dinas Berita Palsu Blok Sovyet, Jenderal Agayant memerintahkan siaran luar negeri Radio Moskow yang ditujukan ke Indonesia, meningkatkan siaran-siarannya dengan komentar-komentar yang sebelumnya sudah terbukti sangat berhasil. Salah satu komentar yang disiarkan 3 Juni 1965, merupakan contoh yang dinilai baik.
Kutipannya sebagai berikut:
"Pendengar-pendengar yang terhormat! Anda tentu banyak mengetahui tentang kegiatan-keg atan subversif yang dilakukan oleh United States Intelligence Agency (Dinas Intelligen AS). Sejumlah besar agen-agen rahasianya ditempatkan di seluruh dunia Dalam mempekerjakan agen-agen yang dapat dilukiskan sebagai "pembunuh-pembunuh tersembunyi" (the knights of cloak and dagger), ahli-ahli subversi Amerika Serikat mengarahkan perhatian khusus mereka ke negara-negara Asia dan Afrika. Mereka sedang berusaha keras untuk mengubah suasana politik di negara-negara tersebut dengan subversi.
Sebagai biasa, agen-agen rahasia CIA mendapat dukungan pasukan-pasukan AS di seluruh dunia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejahatan-kejahatan AS di Vietnam, Laos dan Konggo.
Telah diketahui, bahwa sejak lama CIA merencanakan kejahatan- kejahatan yang sama di Indonesia. Belum lama berselang seorang agen rahasia CIA yang kerkemuka, Bill Palmer, telah tertangkap basah. Ia mengatur sebuah jaringan komplotan baru Palmer adalah seorang agen rahasia kawakan la menyamar sebagai wakil dari AMPAI (American Motion Picture Association in Indonesia). Selama 19 tahun ia melakukan kegiatan-kegiatan subversi di Indonesia. Menurut berita-berita pers, Palmer memelihara hubungan-hubungan yang luas di Indonesia la menggunakan dana yang di sediakan oleh CIA dan iuran yang dikumpulkan dari pemutaran film-film Amerika di Indonesia, yaitu film-film yang mempropagandakan imperialisme dan aspek-aspek penghidupan Amerika, untok menyogok agen-agen rahasia Indonesia dan Amerika dan untuk membiayai unsur-unsur anti revolusioner yang merencanakan komplotan-komplotan.
Tugas Palmer yang paling penting ialah merencanakan pemberontakan- pemberontakan di Indonesia antara tabun 1957 dan 1959, yang mengakibatkan hilangnya banyak harta benda dan ribuan jiwa orang Indonesia
Palmer telah mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin pemberontak seperti Simbolon, Kawilarang dan lain-lain di Bungalawnya di Puncak Palmer telah menyerahkan uang kepada mereka dan memberi nasehat Palmer di Bungalawnya juga telah mengatur sebuah pertemuan antara pimpinan CIA, Allen Dulles, dan pemimpin-pemimpin jaringan spionase, di mana mereka merencanakan komplotan untuk membunuh Presiden Sukarno dalam tabun 1957.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Palmer giat sekali mengumpulkan orang-orang kontra-revolisioner di Indonesia untuk merencanakan petualangan-petualangan baru. Disamping itu ia merongrong perkembangan ekonomi Indonesia dengan gerakan subversi dan sabotase. Memang tepat, jika Indonesia menuduh CIA dan Palmer sebagai Indonesia dengan gerakan subversi dan sabotase. Memang tepat, jika Indonesia menuduh CIA dan Palmer sebagai otak subversi pada kedudukan-kedudukan militer di Jawa dan Sumatera akhir bulan Maret dan awal bulan April yang baru lalu, yang mengakibatkan banyak korban jiwa.
Kegiatan-kegiatan subversi di Jawa dan Sumatera dilaksanakan pada saat utusan Gedung Putih, Michael Forrestal, berada di Indonesia. Kantor berita Perancis AFP (Agency France Press) menghubung- hubungkan subversi di Jawa dan Sumatera itu dengan kunjungan Forrestal. Sangat besar kemungkinannya, Forrestal mengharapkan akan dapat menggunakan subversi itu sebagai alasan untuk melakukan tekanan-tekanan pada Pemerintah Indonesia dan memaksa Presiden Sukarrio supaya membatalkan maksudnya menasionalisasi perusahaan- perusahaan asing, termasuk perusahaan-perusahaan AS di Indonesia.
Pembukaan kedok Palmer mengungkapkan pula kegiatan-kegiatan yang tidak pantas, yang di lakukan oleh Duta Besar Howard Jones di Indonesia. Seperti diketahui, Howard Jones telah dipanggil pulang beberapa waktu yang Ialu untuk menghapus kegiatan-kegiatannya yang ilegal Jones telah menterapkan kolonialisme AS di Indonesia selama kira-kira 7 tahun la sendiri telah ikut serta mengorganisasi pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia dan memelihara kontak dengan agen-agen CIA serta memimpin kegiatan-kegiatan subversif mereka
Seperti ditulis oleh wartawan-wartawan Ross dan Wise dalam buku mereka "The Invisible Government" (Pemerintahan yang tidak nampak), Jones telah mengambil bagian dalam komplotan-komplotan CIA di Indonesia. Ia mengetahui perincian siasat C/A untuk memberikan senjata kepada kaum pemberontak di Sumatera dan Jawa. Ia sendiri juga terlibat dalam pemberian senjata itu. Sejumlah besar kegiatan subversif yang dilakukan agenagen C/A di bawah pimpinan Palmer, yang berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini, telah mendapat persetujuan Jones Pers International telah memuat artikel-artikel mengenai keterlibatan Jones dalam komplotan untuk membunuh Presiden Sukarno di Teluk Sulawesi
Duta Besar Amerika, Howard Jones, menyerahkan jabatannya kepada Marshall Green. Jones akan mengepalai apa yang dinamakan " East-West Center" di Hawai. Palmer telah meninggalkan Indonesia karena takut akan pembalasan. Jones juga akan meninggalkan Indonesia, tetapi jaringan CIA tetap tinggal di Indonesia. Rakyat Indonesia selalu menuntut, agar pengaruh modal AS dan kegiatan-kegiatan CIA di Indonesia di hentikan "
Demikian siaran radio Moskow.
Buku "The deception game" juga mengatakan bahwa dokumen Gillchrist, Duta Besar Inggris di Jakarta, yang terkenal itu, katanya diproduksi oleh Dinas Rahasia Blok Sovyet, berupa sebuah surat kepada Kementerian Luar Negeri di London, yang dialamatkan kepada Sir Harold Cassia, Sekertaris Muda Kementrian Luar Negeri di London bertanggal 24 Maret 1965.
Dokumen itu katanya, diteruskan kepada Wakil Perdana Menteri/ Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio dan Presiden Sukarno. Antara lain isinya seperti yang dikutip oleh Ladislav Bittman sebagai berikut:
Saya telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Duta Besar Jones mengenai masalah yang tersebut dalam surat No. 67785/65. Duta Besar Jones pada pokoknya sepakat dengan pendirian kita. Akan tetapi ia meminta lebih banyak waktu untuk mempelajari persoalan itu dari berbagai segi.
Menjawab sebuah pertanyaan, pengaruh apa yang akan timbul dari kunjungan Bunker, utusan istimewa Presiden Johnson ke Jakarta untuk membicarakan masalah perbaikan hubungan Amerika-lndonesia, Duta Besar Jones mengatakan, bahwa ia tidak melihat suatu kemungkinan untuk memperbaiki keadaan, dan bahwa hal itu akan memberikan waktu kepada kita untuk membuat persiapanpersiapan yang lebih mantap. Duta Besar Jones juga mengingatkan perlunya mengambil langkah-langkah baru untuk menciptakan koordinasi yang lebih baik dan ia mengatakan, tidak perlu menekankan keharusan membuat rencana itu menjadi sukses. Saya telah berjanji akan membuat persiapan- persiapan yang diperlukan dan saya akan melaporkan pendapat saya mengenai masalah ini dalam waktu yang tidak begitu lama. 47)
Yang dimaksud ialah serangan bersama terhadap Indonesia dari pangkalan-pangkalan di Malaysia.
Surat itu disangkal oleh Inggris.
47) Baca: Ladislav Bittman, Permainan Curang, bab: Bumerang Indonesia, hal. 123-141. 197
Dari pengakuan Ladislav Bittman, menunjukkan bahwa Dinas Rahasia Cekoslowakia dan KGB (Sovyet) juga ikut terlibat mendorong meletusnya G30S/PKI, meski pun diakui kemudian bahwa tindakan itu menjadi bumerang, karena akibatnya melampaui apa yang direncanakan. Rencana mereka hanyalah hendak menunggangi situasi anti Amerika yang meningkat di Indonesia untuk menghancurkan sama sekali pengaruh AS di negara tersebut.
Akibat yang tidak mereka perhitungkan, justru yang hancur Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tapi seorang cendekiawan Inggris, Neville Haxwell, menemukan sepucuk surat dari seorang Duta Besar Pakistan di Paris yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Pakistan waktu itu, Zulfikar Ali Bhuttho, yang melaporkan ucapan seorang pejabat Belanda di Nato pada bulan Desember 1964 yang mengatakan bahwa Indonesia akan jatuh ke tangan Barat seperti apel busuk. Agen- agen intelligen Barat punya rencana untuk mengorganisasi "premature communist coup" (kup komunis pradini), untuk memberi peluang kepada Angkatan Darat menumpas PKI dan menjadikan Sukarno sebagai sandera.48)
48) New York Review of Books, Juni 1978
Seorang peneliti, Geofrey Robinson (Boston, AS) dalam makalahnya "Some Arguments Concerning S. Influence and Complicity in Indonesia coup of October 1, 1965" (1990) mencatat bahwa surat Gillchrist yang kesohor itu terlihat sebagai dokumen yang tidak mengherankan dan akibat-akibatnya sama sekali bukan tak masuk akal. Apa yang dinamakan surat Duta Besar Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gillchrist kepada Departemen Luar Negerinya, dilaporkan berisi alinea:
.........Akan baik untuk menekankan sekali lagi kepada para sahabat kita di dalam Angkatan Darat, (our local army friends, pen.) bahwa kehati-hatian yang paling seksama, disiplin dan koordinasi, adalah esensial dari suksesnya usaha. 49)
49) New York Review of Books, Mei 1978
Orang-orang Inggris dan Amerika menyatakan bahwa surat ini palsu dan memang barangkali begitu. Tapi siapa yang memalsunya? Pada umumnya diperkirakan bahwa surat ini dimasak oleh jaringan Intelligen Subandrio yang akan digunakan dalam pertarungan politik di dalam negeri menghadapi Angkatan Darat dan sudah tentu juga menghadapi Inggris (dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia). Tapi surat itu juga berguna (meski pun dikatakan palsu) untuk mempolarisasi politik Indonesia dan membuat PKI waspada terhadap desas-desus kemungkinan kudeta tentara. Sampai sejauh itu, ia juga agak berguna bagi tujuan-tujuan politik AS dalam menenangkan krisis politik ke arah yang tak terhindarkannya bentrokan antara Angkatan Darat dan PKI.
Tapi jika dokumen Gillchrist itu di balik menjadi pemalsuan CIA dan sengaja diedarkan untuk menghasut PKI dan Sukarno, kita akan punya bukti yang meyakinkan bahwa usul-usul pemerintah AS dan CIA, telah benar-benar dilaksanakan dengan atau melalui dokumen itu.
Nyatanya, kita tidak punya bukti bahwa dokumen Gillchrist adalah produk CIA. Yang ada hanya bukti-bukti lingkungan keadaan dari upaya-upaya intelligen luar negeri untuk menggerakkan polarisasi dan saling curigamencurigai di kalangan pengomplot-pengomplot kudeta, bulan dimana surat Duta Besar Pakistan beredar, Chaerul Saleh dianggap taruhan anti komunis yang baik oleh CIA, karena ia membongkar dokumen adanya rencana kudeta PKI 50)
50) Ruth McVey, Korespondensi pribadi dengan George Kahin, Benedict Anderson dan Prederick Bunnel. Namun "Harian Rakyat" (harian PKI 2 Januari 1965, mengatakan bahwa dokumen yang dimaksud adalah palsu.
Ini dapat dimengerti karena kerjaan Chaerul Saleh itu, dianggap sebagai gerak awal dari Intelligen Barat untuk mengembangkan suasana curiga-mencurigai sehubungan dengan tanda-tanda bahaya dari "kiri" yang direncanakan untuk membangkitkan dan mempercepat reaksi Angkatan Darat. Surat Gillchrist dan kemudian desas-desus tentang akan adanya kup "Dewan Jenderal", kedua- duanya telah sengaja diedarkan untuk menghasut PKI masuk ke dalam komplotan mengadakan "kup pradini" atau apa yang dikenal dengan "kup Untung". Apa pun nilainya, suratsurat ini bersama- sama dengan bukti-bukti yang menyangkut CIA dan usul-usul pemerintah AS mengenai ancaman komunis, telah memberikan sejumlah kepercayaan kepada interpretasi yang memasukkan kegiatan AS dan asing lainnya, sebagai kegiatan sengaja menghasut atau memprovokasi suatu pertarungan terbuka antara "kiri" dan "kanan" dengan asumsi bahwa yang "kanan" dapat menang. Ralp McGehee mengatakan, strategi ini telah menjadi semacam trade mark dari CIA semenjak 1965.5l)
51) Ralp McGehee, wawancara pribadi dengan Geofrey Robinson, Nop. 1983
Namun perlu dicatat bahwa bertahun-tahun sebelum itu, AS dengan ClA-nya sudah bekerja keras untuk menggulingkan Sukarno, seperti secara terperinci diuraikan di atas.
Amerika Serikat memang sudah lama menghendaki supaya Indonesia mengikuti petunjuknya, jangan anti imperialis mau pun kapitalis. Bahkan pemberontakkan PRRI/ PERMESTA yang dibantu oleh Amerika Serikat, adalah untuk menggulingkan Pemerintah Pusat di Jakarta yang dianggap radikal bersama dengan Sukarno yang anti imperialis dan anti kapitalis.
Sesudah itu masih bertahun-tahun lagi Amerika Serikat memamerkan dukungannya terhadap Belanda di PBB, dengan menolak Irian Barat dikembalikan kepada Indonesia.
Setelah Indonesia mulai menerjunkan gerilyawannya di daratan Irian Barat, dibantu kapal-kapal selam yang bertebaran diperairan sekitarnya dan bomber-bomber jarak jauh menyerang sasaran tertentu di Irian Barat, barulah Amerika Serikat mendesak Belanda supaya menyerahkan saja Irian Barat kepada Indonesia, karena khawatir sengketa itu akan meluas menjadi konflik internasional.
Karena terlampau kasarnya campur tangan Amerika Serikat terhadap persoalan dalam negeri Indonesia, maka Pemerintah Indonesia merasa perlu membalas dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak dan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya.
Alasan Amerika Serikat bahwa "Sosialisme Indonesia" yang dicanangkan oleh Bung Karno, dikhawatirkan akan merubah Indonesia menjadi komunis, sangat tidak realistis. Syarat-syarat untuk menjadi negara sosialis, sama sekali tidak tersedia. Disamping itu meski pun PKI dikatakan makin kuat dan makin agresif, tapi kekuatan yang anti PKI jauh lebih besar dan lebih kuat, termasuk ABRI.
Seperti yang ditulis oleh Gabriel Kolko, kontroversi mengenai peran CIA dalam pergolakan politik di Indonesia Oktober 1965, telah menimbulkan perhatian yang lebih mendalam oleh adanya dokumen- dokumen rahasia yang terungkap di Amerika yang memastikan bahwa memang Amerika campur tangan dalam persoalan dalam negeri Indonesia.
Hanya tuduhan Letnan Kolonel Untung tentang adanya "Dewan Jenderal" yang disponsori oleh CIA yang akan meng-kup Presiden Sukarno, adalah tuduhan yang tidak bisa dibuktikan di muka persidangan MAHMILLUB. Juga PKI yang menuduh seperti itu, tidak bisa membuktikan kebenaran tuduhannya.
Tapi 20 Januari 1965, CIA sudah menyampaikan sebuah memorandum kepada Pemerintahannya, yang menyatakan bahwa "kita sekarang menghadapi bukan saja bahaya dari Sukarno, tapi juga ketidak-pastian suatu kemungkinan Indonesia tanpa Sukarno".
Apa yang dicatat diatas, hanyalah untuk membuktikan bahwa Amerika Serikat dengan ClA-nya memang selalu terlibat dalam setiap pergolakan dan mencampuri persoalan dalam negeri Indonesia.
Namun yang cukup menarik bahwa di luar negeri, terus saja terbit banyak buku atau makalah mengenai G30S/PKI dan hubungannya dengan gerakan menggulingkan Sukarno, bahkan sesudah seperempat abad peristiwa itu, pembahasannya masih berjalan terus. Sementara di Indonesia sendiri hal ini malah menjadi tabu, kecuali jika sekedar mencaci maki PKI dan mendiskreditkan Bung Karno tanpa me- ngaitkannya dengan ulasan yang berpandangan lain.
Terakhir ada lagi makalah yang terbit di luar negeri (1990) mengenai G30S/PKI dan Keterlibatan Amerika dalam kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia, sebagian besarnya memuat pembahasan seberapa jauh keterlibatan PKI dalam apa yang dinamakan kudeta Untung. Masalah ini tetap penting, karena adanya pembenaran yang bersandar pada penerimaan kalangan politik yang menganggap PKI sebagai partai terlibat, dan anggapan keterlibatan PKI ini digunakan sebagai dalih membasmi kaum komunis, bahkan pendukung Sukarno, dan semua anggota organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Dalam waktu kurang lebih 6 bulan sesudah kudeta Untung, antara 500.000 sampai 1.000.000 orang dibunuh dan mendekati 75.000 yang ditangkap dan ditahan.52)
52) Angka yang dikutip di sini berasal dari Amnesti Internasional Report, The New York Review of Books, 24 Nopember 1977.
Isu keterlibatan PKI ternyata mempunyai arti lebih luas, karena tampaknya dijadikan tameng agar orang tidak melihat keterlibatan pelaku lain yang lebih penting, yaitu Pemerintah A.S. dan berbagai agennya.
Makalah ini dimaksudkan untuk membuka dengan sebuah gambaran singkat mengenai bukti-bukti "domestik" dan "internal" yang mendukung berbagai penjelasan alternatif dari kudeta itu. Dengan bahan-bahan tersebut akan tampak lebih terang pengaruh dari pasang surutnya hubungan AS - RI. Pendekatan yang demikian diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih lengkap, karena akan menarik perhatian kita kepada akibat-akibat komplementer dari sejumlah faktor dalam negeri dan internasional, yang memungkinkan kita lebih baik menilai watak dan seberapa jauh keterlibatan AS dalam peristiwa itu. Lebih-lebih jika hal ini dihubungkan dengan bantuan militer dan ekonomi dari CIA dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA 1958, telah lama ada upaya AS menggulingkan Pemerintahan Sukarno.
Pemberontakan daerah-daerah di luar Jawa merupakan hal yang penting bagi Amerika untuk menetapkan kembali politik dan strateginya terhadap komunisme di Indonesia. Beberapa Departemen melihat dalam pemberontakan itu, terbuka kesempatan baik untuk menjatuhkan Pemerintahan Sukarno dan dengan begitu, menghancurkan komunisme di Indonesia.
Satu catatan lain yang dimuat dalam "The Journal of American History", tulisan H.W. Brands, dikatakan bahwa dalam pemberontakan di Sumatera (maksudnya: PRRI/PERMESTA, PEN.), CIA membantu sekitar 300 serdadu yang terdiri dari orang-orang Amerika, Filipina dan Cina Taiwan, serta beberapa pesawat terbang transport dan beberapa bomber B-26. 53)
53) H.W. Brands, The Limits of Manipulation: How the United States Didn't Topple Sukarno, The Journal of American History, published by The Organisation of Historians, Vol. 76 No.3, Des. 1989, hal. 790.
Tahun berbahaya, menurut Geofrey Robinson, ialah tahun terakhir sebelum kudeta Untung ditandai oleh mengentalnya tiga kecenderungan politik Indonesia yang kait-mengait. Pertama, politik luar negeri Sukarno yang makin bergeser ke kiri ini mencerminkan pertumbuhan polarisasi kekuatan politik di negeri itu.54) Kedua, perjuangan politik yang semakin berlangsung di luar lembaga dan jalur politik "normal". Ini sebagian besar karena reaksi atas kegiatan Sukarno dan PKI. Ketiga, selaku musuh utama, Sukarno dan PKI telah semakin menjadi titik peradikalan dan polarisasi pertarungan politik dalam negeri. AS disini menjadi semacam wakil dari negara asing lainnya, termasuk Inggris. Ia juga menjadi sasaran ancaman kekerasan politik yang serius dari kaum kiri.
54) Suasana ini dilukiskan oleh Mortimer sebagai satu "krisis dan histeria" serta sikap kekerasan yang sudah dipolarisasi dari segmen penduduk yang sudah dipolarisasikan, hal. 387.
Serangan langsung terhadap Amerika, dimulai oleh Sukarno ketika mengeritik politik Amerika di Vietnam dan Malaysia dalam pidato 17 Agustus 1964. Kritik-kritik Sukarno ini telah membuka tutup bendungan banjir dan sikap anti Amerika menjadi pusat logika politik dalam negeri Indonesia. Misalnya AS dituduh terlibat dalam komplotan hendak membunuh Sukarno.
Nasehat yang disampaikan oleh Washington kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta sehubungan dengan tuduhan itu berbunyi:
"Hasil yang baik mungkin akan tumbuh dengan sangkalan formal terhadap keterlibatan AS dalam komplotan pembunuhan. Bagaimana pun juga, kita ingin menghindar dari tuduhan berat yang tak pantas diucapkan oleh seorang Presiden".
Duta Besar Howard Palfrey Jones diinstruksikan supaya mengemukakan kepada Sukarno reaksi Presiden Johnson dengan mengatakan bahwa Presiden Johnson merasa terganggu oleh tuduhan itu dan bahwa ada unsur-unsur jahat yang sengaja berupaya meracuni suasana kemajuan hubungan antara Indonesia- Amerika yang telah ditegakkan oleh Kominike Bersama Sukarno dengan Duta Besar Keliling, Bunker.55)
Dalam konteks pertarungan politik yang demikian, harus dinilai arti penting berbagai macam desas-desus akan adanya kudeta militer yang didukung AS, CIA dan Inggris dengan dibantu intervensi militer langsung terhadap Indonesia.
55) Departement of State: Telegram kepada Kedutaan Besar AS . di Jakarta, 3 Juni 1965, National Security Files, Indonesia, jilid III.
Politik anti Amerika yang langsung dan keras telah memaksa pembuat politik di Amerika mempertimbangkan atau menilai kembali tujuan dan caranya Arnerika bertindak. Sebuah dokumen CIA bertanggal 26 Januari 1965, terang-terangan mengatakan bahwa kepentingan Amerika dan Sukarno bertabrakan di hampir setiap lapangan.56)
56) ClA-Office of National Estimates Special Memorandum No. 4-65 Principle Problems and Prospects in Indonesia", 26 Januari 1965 (Jones File)
Walau pun ada perbedaan mengenai usul berbagai Departemen dan agen-agen, terdapat pengakuan yang meningkat sepanjang tahun 1965, mengenai sudah waktunya untuk mengurangi kepercayaan mengenai kemungkinan mempengaruhi Sukarno dan supaya memulai perencanaan yang serius bagi pemecahan krisis untuk keuntungan kekuatan-kekuatan anti komunis dan anti konfrontasi.
Tapi sebuah telaah CIA yang lain (Office of National Estimates, 26 Januari 1965), memberikan perhatian yang lebih besar pada kurangnya persatuan di kalangan kekuatan non komunis yang diharapkan bisa menjadi sekutu Amerika.
Sedang dokumen CIA lainnya menyimpulkan satu perkiraan yang suram terhadap alternatif dari krisis yang ada bahwa momentum dan arah yang telah ditanam Sukarno pada kecenderungan- kecenderungan yang- ada sekarang, telah membawanya ke arah kemungkinan perang dengan Inggris dan Amerika Serikat di mana Sukarno mengharapkan bantuan Cina (RRT) atau pengambil-alihan kekuasaan oleh PKI.
Geofrey Robinson mengatakan bahwa fakta intervensi AS sesudah kudeta 1 Oktober 1965, dapat dibenarkan menjadi subjek studi yang terpisah dan berjilid-jilid, sambil menyimpulkan, ia di sini hanya membuat sketsa kasar, mengenai kemungkinan keterlibatan AS.
Dikatakannya, tindakan AS mengambil tiga bentuk. Pertama, pengakuan politik langsung kepada pihak yang menumpas kudeta Untung, tanpa intervensi langsung. Kedua, memberikan bantuan militer dan ekonomi terselubung, sesuai dengan kebutuhan mendesak, untuk menghindari penampilan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. 57) Ketiga, bantuan propaganda tentang perkembangan Indonesia, di luar negeri.
57) Mengutip: Van Langenberg (1967) hal 8
Jadi, Amerika Serikat berkepentingan menjauhkan diri dari setiap campur tangan terang-terangan atas peristiwa yang terjadi di Indonesia. Segala bantuan harus disalurkan melalui saluran tertutup.
Bulan-bulan sesudah kudeta Untung, walau pun Sukarno masih tetap Presiden, Amerika secara efektif menggeser pangakuan politiknya dari de jure Kepala Negara, kepada yang de facto berkuasa, politik yang memberikan keuntungan luar biasa bagi penentang Presiden Sukarno di tengah-tengah satu perubahan politik yang terus menerus.
Secara publik, Administrasi Johnson jarang menyatakan kegirangannya atas "perubahan" di Indonesia, bahkan ia membentuk satu citra toleran non-intervensi, terhadap masalah "dalam negeri" negeri itu.
Sebuah dokumen DOS (Department of State) menyatakan: "Sampai akhir Maret 1966, politik kita atas perkembangan di Indonesia, adalah diam 58)
58) Department of State: Post Mortem dari Kudeta, 1966, (D.D.1981).
Tapi sambil melanjutkan posisi ini di hadapan umum, seluruhnya telah jelas bahwa pada waktu yang tepat, Amerika Serikat siap memberikan sumbangan materi untuk membantu tegaknya kepemimpinan baru.59). Inilah satu penyamaran yang mulia, liberal dan efektif, kata Geofrey Robinson.
59) Ibid hal. 4
Para pejabat Kedutaan Besat AS tampil menyerupai tokoh-tokoh dalam lukisan goa-goa Romawi, di mana mereka mengamati pertarungan di pinggir ring sambil mencatat "menjadijadinya perkembangan" sebagai berikut:
1) PKI sekarang sudah melarikan diri untuk pertama kalinya dan Aidit bersembunyi, organisasi Partai rontok, dokumen-dokumen bertebaran dan Markas Besar-nya dibakar.
2) Angkatan Darat telah memegang momentum pembasmiannya terhadap PKI dan menangkap beberapa ribu aktivis Partai.60)
60) Department of State: Laporan Situasi Kelompok Kerja Indonesia, 9 Oktober 1965.
Geofrey Robinson menutup makalahnya dengan mengatakan bahwa atas dasar fakta yang dikemukakan, kita sungguh dapat memastikan bahwa Amerika Serikat telah berbuat apa yang dapat dilakukannya untuk memiliki kekuatan-kekuatan disertai peluang yang menguntungkan untuk bertindak (di Indonesia) dengan jaminan bahwa mereka dapat berbuat begitu dengan bebas dari hukuman.

BAB VII
SURAT PERINTAH MUKJIZAT DAN ADANYA OKNUM YANG "TlDAK BENAR"
SEPULUH tahun lamanya Amerika mengupayakan penggulingan Sukarno. Hitung saja sejak suksesnya Konperensi Asia-Afrika April 1955 di Bandung, yang berhasil rnenjadikan Bung Karno pemimpin dunia, setidaktidaknya dunia Asia-Afrika, hal yang mengkhawatirkan Amerika.
Kerja keras Amerika ini akhirnya menjadi sempurna setelah ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution menandatangani Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS11967, yang mencabut semua kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden Sukarno, bahkan melarangnya melakukan kegiatan politik untuk akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan. Bung Karno dituduh terlibat G30S/PKI.
Penyelesaian hukum menurut ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana tercantum dalam pasal 6 dari Ketetapan MPRS XXXIII, tidak diindahkan lagi, karena kalau prosedur hukum ini ditempuh, dikhawatirkan akan mencairkan kembali sasaran pokok Ketetapan tersebut, yaitu membenarkan pencabutan semua kekuasaan pemerintahan negara dan larangan melakukan kegiatan politik terhadap diri Bung Karno.
Belakangan timbul pendapat yang meragukan mengenai prosedur yang ditempuh oleh MPRS menggulingkan Sukarno dengan alasan terlibat Gerakan 30 September 1965, karena alasan-alasan yang dikemukakan tidak didukung oleh pembuktian yang sah di muka sidang pengadilan.
Sebagai contoh, keberadaan Presiden Sukarno di Kompleks Halim Perdana Kusumah misalnya, daerah yang dinyatakan sebagai sarang G30S/PKI, dianggap sebagai salah satu bukti keterlibatannya.
Tentang tuduhan ini, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang membawa Bung Karno ke Halim, memberikan kesaksiannya bahwa tindakan itu diambil sesuai dengan ketentuan "Operating Standing Procedure" (OSP) Tjakrabirawa, yaitu dalam keadaan darurat, Presiden harus diselamatkan melalui cara yang paling mungkin. Dalam kasus ini setelah dipertimbangkan dengan seksama, diputuskan Presiden dibawa ke Halim, karena di sana selalu standby pesawat terbang Kepresidenan "Jet Star" yang setiap saat dapat menerbangkan Presiden ke tempat lain yang lebih aman.
Tuduhan lain di samping keterangan Brigjen Sugandhi, mantan Ajudan Presiden, seperti yang sudah diuraikan di Bab I, juga ada keterangan dalam 14 Berita Acara Pemeriksaan (BAP) setebal 90 halaman, hasil interrogasi Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU) atas diri mantan Ajudan Presiden Sukarno yang lain, letnan kolonel (KKO) Bambang Setyono Widjanarko yang menerangkan bahwa Presiden Sukarno pada malam 30 September menerima surat dari letnan kolonel Untung Samsuri, komandan batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September, di tengah- tengah penyelenggaraan acara penutupan Musyawarah Besar Teknik yang dihadiri oleh Presiden di ISTORA Senayan.
Keterangan Widjanarko ini dibantah keras oleh Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang malam itu bertanggungjawab atas pengawalan dan keselamatan Presiden, yang memastikan bahwa sama sekali tidak ada adegan seperti yang dikatakan oleh Widjanarko. Maulwi Saelan selama acara berlangsung di ISTORA Senayan, selalu berada di dekat Presiden.
Di kemudian hari, keterangar-keterangan yang dinyatakan sebagai bukti keterlibatan Bung Karno dalam Gerakan 30 September, dinilai oleh Jaksa Agung Singgih, SH., bersifat audita, artinya sekedar didengar atau diketahui dari orang lain, tanpa dikonfimmasikan atau dikuatkan oleh alat bukti lain, sehingga pembuktiannya mengambang.61)
61) Manai Sophiaan, Apa yang masih teringat, hal 454
Bisa dimengerti bahwa penilaian Bung Kamo dalam Pelengkap Nawaksara tentang "adanya oknum-oknum yang tidak benar" bisa saja dirasakan oleh Jenderal A.H. Nasution sebagai sindiran atas dirinya, mengingat adanya desas-desus negatif mengenai sikapnya. Hubungan Bung Karno dengan Nasution waktu itu memang kurang baik, sehingga dalam menentukan sikap, emosi masing-masing dimungkinkan sekali ikut berperan.
Ini terbukti setelah keadaan menjadi lebih tenang, 25 tahun kemudian Nasution memberikan keterangan sambil mengutip pengakuan ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang Widjanarko, yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno telah memerintahkan supaya Jenderal A. Yani datang menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965, memberi petunjuk bahwa Presiden Sukarno tidak mengetahui sebelumnya akan terjadi Gerakan 30 September, dan dengan demikian tidak mengetahui juga akan terjadinya pembunuhan atas 6 Jenderal di Lubang Buaya.62)
62) Ibid, hal. 455.
Bahkan Presiden Sukarno mempertanyakan dalam Pelengkap Nawaksara, mengapa dia saja yang diminta pertanggungjawaban atas peristiwa G30S/PKI dan justru bukan Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan yang waktu itu dijabat oleh Jenderal A.H. Nasution?
Lalu Presiden Sukarno bertanya:
"Siapa yang bertanggungjawab atas usaha hendak membunuhnya dalam peristiwa Idul Adha di halaman Istana Jakarta?"
"Siapakah yang bertanggungjawab atas pemberondongan dari pesawat udara atas dirinya (di Istana Jakarta) oleh Maukar?"
"Siapakah yang bertanggungjawab atas pericegatan bersenjata atas dirinya di dekat gedung Stanvac (Jakarta) ?"
"Siapakah yang bertanggungjawab atas pencegatan bersenjata atas dirinya di Selatan Cisalak (antara Jakarta-Bogor) ?"
Presiden Sukarno menyebut 7 peristiwa usaha hendak membunuhnya dan siapa yang harus dimintai tanggungjawab atas semua kejadian itu? Tapi masih ada bukti lain mengenai "adanya oknumoknum yang tidak benar".
Geofrey Robinson yang sudah banyak dikutip dalam Bab terdahulu, mengutip sebuah telegram dari Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, 21 Januari 1965, kepada Department of State (DOS) di Washington, di mana dilaporkan pertemuan yang baru saja diadakan antara seorang pejabat Kedutaan Besar dengan Jenderal S. Parman, yang mengungkapkan kuatnya "perasaan dalam Angkatan Darat" terhadap pengambilan alih kekuasaan sebelum meninggalnya Sukarno.
Angkatan Darat, menurut telegram itu, sangat prihatin terhadap gerakan PKI untuk membangun Angkatan ke-V, karena itu merasa perlu mengambil tindakan langsung untuk "mengimbangi gerakan PKI". Angkatan Darat menyadari bahwa bagaimana pun, tidak ada kup terhadap Sukarno yang akan berhasil. Oleh karena itu dianjurkan supaya kup dilakukan demikian rupa, seakan-akan menjaga kepemimpinan Sukarno tetap utuh.63)
63) Geofrey Robinson mengutip Departmenr of Defence, telegram dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, 21 Januari 1965 (dari Jones File).
Seperti diuraikan dalam Bab Vl, Gabriel Kolko yang menulis tentang Indonesia dengan mengutip dokumendokumen Kementerian Luar Negeri AS dan CIA yang tidak dirahasiakan lagi mengenai debat tentang peran Amerika Serikat di Indonesia 1965, mengatakan tentang adanya telegram dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Howard Jones 22 Januari 1965. Dengan menghilangkan nama orangnya dalam telegram, orang itu menerangkan kepada saya (Duta Besar) berita yang sangat rahasia, bahwa tentara mengembangkan rencana spesifik untuk mengambil alih kekuasaan pada saat Sukarno akan turun tahta. Orang itu baru datang dari pertemuan dengan Jenderal Parman yang mendiskusikan rencana itu dengannya. Ia berkata, sekali pun telah ada rencanarencana tentang contingency (kemungkinan) basis dengan perhatian kepada post Sukarno era, terdapat satu sentimen kuat di antara segment top military command untuk mengambil kekuasaan sebelum Sukarno turun.
Dapat dipercaya, bagaimana pun dirahasiakannya, Presiden Sukarno menerima laporan mengenai kegiatankegiatan ini melalui jalur khusus, sehingga cukup alasan baginya untuk mengatakan bahwa salah satu sebab terjadinya Gerakan 30 September, karena "adanya oknum- oknum yang tidak benar".
Pada tahun 1957 sewaktu seorang wartawan Belanda Willem Oltmans, beraudiensi ke Istana (dikatakannya sudah diulas dalam 2 bukunya, pen.), ia mengatakan kepada Bung Karno supaya tidak sepenuhnya mem- percayai Dr. Subandrio, tapi Bung Karno meneruskan saja percaya kepadanya. William Oltmans mengatakan bahwa Subandrio lah yang membakar-bakar Bung Karno mengenai konfrontasi terhadap Malaysia.
William Oltmans menceritakan juga bahwa di dalam Tentara ada Jenderal-Jenderal yang menyuruh orang-orang seperti Oejeng Soewargana pergi ke Den Haag dan Washington untuk meyakinkan orang-orang Belanda dan Washington supaya menaruhkan kartunya pada Tentara, karena Jenderal A.H. Nasution siap menjadi Presiden dan Bung Karno akan diturunkan. Dikatakan, gerakan internasional dari Panjaitan dan Parman, telah dimulai sejak 1961. "Permainan ini berjalan terus dan Jenderal Parman pernah menjumpai saya di New York. Kolonel Sutikno yang mengatur pertemuan itu. Ia menghubungi saya dan seorang bekas agen CIA bernama Werner Verrips. Ternyata maksudnya, kami berdua harus dilenyapkan. Saya tetap hidup dan Verrips terbunuh".64)
64) Resensi Willem Oltmans atas buku "Otobiografi Soeharto", edisi bahasa Belanda. Amsterdam 24 Maret 1991.
Demikian tulis Willem Oltmans, yang Mei 1994 kembali berkunjung ke Indonesia dalam rombongan Perdana Menteri Belanda, Lubbers.
Mengapa Willem Oltmans dan Warner Verrips harus dilenyapkan? Karena keduanya sudah mengetahui adanya kegiatan mencari dukungan dari Belanda dan Washington atas rencana hendak menggulingkan Sukarno, rencana yang mereka tidak setujui dan dikhawatirkan akan melaporkannya kepada Sukarno.
Mudah untuk dimengerti bahwa rencana ini akhirnya disampaikan oleh Willem Oltmans kepada Bung Karno. Dengan demikian, Bung Karno tidak asal menuduh begitu saja tanpa alasan yang kuat tentang "adanya oknumoknum yang tidak benar".
Ada pun tentang Dr. Subandrio, ketika ia sebagai Menteri Luar Negeri menyelesaikan sengketa Irian Barat dengan Belanda lewat Dewan Keamanan PBB dengan bantuan wakil Amerika di PBB, E. Buncker, pada 16 Agustus 1962, sehingga Indonesia tidak perlu lagi membebaskan Irian Barat dengan kekuatan militer, secara serius ia berbicara dengan seseorang yang dipercayainya, bahwa dengan prestasinya itu, pantaslah membuat dirinya diangkat menjadi Wakil Presiden, yang waktu itu memang lowong.
Analisa CIA juga mengatakan bahwa jika Sukarno tidak lagi mampu menjalankan tugasnya, maka Dr. Subandriolah yang berambisi menggantikannya.
Tapi Gerakan 30 September 1965 yang gagal, menyebabkan harapan Dr. Subandrio manjadi buyar.
Dokumen Amerika mengungkapkan bahwa sebelum keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menyebabkan banyak Menteri dari Kabinet 103 Menteri yang ditahan, ABRI sudah merencanakan hendak menangkap Dr. Subandrio, karena menganggap dia termasuk biang keladi peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Sebuah telegram dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta tanggal 26 Pebruari (1966) ditujukan kepada Menteri Luar Negeri di Washington menyatakan sebagai berikut:
1. Minta perhatian Departemen Luar Negeri dan Duta Besar Green untuk .... (tidak dikutip, pen.) sedang kita sudah tentu tidak dalam kedudukan untuk mengatakan apakah kegiatan kita sebenarnya harus di ambil terhadap Subandrio. Sumber laporan ini dapat dipercaya dan saya anggap harus diperhatikan dengan sungguh- sungguh.
2. Sudah ada laporan terdahulu, paling sedikit tanggal 10 Nopember yang lalu (1965) bahwa Tentara akan "mengambil" Subandrio. Ini ternyata palsu. Akan tetapi Tentara sekarang merasa lebih putus asa. Kelompok berhaluan keras memperbesar tekanan mereka untuk sesuatu bentuk tindakan dan Tentara mempunyai risiko untuk mendapat nama buruk, kalau gagal melakukan tindakan lanjut dengan kesempatan baik yang sudah diciptakan mahasiwa. Tambahan pula laporan menunjukkan bahwa pimpinan tertinggi Tentara jauh lebih bersatu dari pada sebelumnya dalam keputusan untuk menyingkirkan Subandrio. Ia menempel bagai lem pada Istana. Akan tetapi Tentara pasti mempunyai kekuatan untuk mendapatkan dengan salah satu cara, kalau memang mempunyai kemauan untuk melakukannya.
3. Penyingkiran Subandrio tidak akan seluruhnya mengubah kecenderungan sekarang di Indonesia. Tentara masih harus menghadapi Sukarno dan tujuannya tidak akan berubah. Akan tetapi, tanpa Subandrio sebagai wakilnya, Sukarno akan mempunyai jauh lebih banyak kesulitan untuk memaksakan rencananya (CONEFO, Poros Peking, kebangkitan neo-PKI). Lagi pula fakta tentara bertindak terhadap anteknya, akan mempunyai pengaruh yang menenangkan kepadanya dan dia mungkin akan lebih mudah dikendalikan. Bahkan kalau ia akan mencoba menyerang tentara sebagai pembalasan, kenyataan bahwa tentara sudah melakukan langkah pertama, akan memudahkan langkah kedua terhadap Sukarno sendiri.
4. Kami tidak tahu sifat atau penentuan waktu untuk bergerak, akan tetapi menurut perkiraan pendahuluan kami, Tentara mempunyai kemampuan untuk melakukannya tanpa me- nimbulkan perang saudara atau kerusuhan lokal yang serius. Gerakan cepat dan efektif terhadap Subandrio, mungkin tidak akan berulang, tidak akan ditentang oleh unit-unit militer yang lain, teristimewa kalau Sukarno tidak cedera. Akan tetapi selalu ada kemungkinan perkembangan yang tidak diduga atau ceroboh. Oleh karena itu kami mengulangi peringatan kepada orang- orang Amerika untuk sedapat mungkin berdiam diri dan kami akan mengambil tindakan selanjutnya untuk memperketat keamanan perwakilan. Kami merasa tidak perlu mengulang, tidak perlu ada tindakan lebih lanjut pada waktu ini.
CP-1
Lydman
BT
Catatan:
Advance copy ke S/S-o pukul 1:27 pagi, 26/2/66 melewati Gedung Putih pukul 1:37 pagi, 2612166. Gedung Putih menasehatkan staf Kedutaan Besar Amerika "untuk berdiam diri" kalau Tentara Indonesia "mengambil" Subandrio, 65)
65) The Declassified Documents Respective Collection, 1977, # 129 D, 26 Pebruari 1966. Disunting oleh William L Bradley dan Mochtar Lubis dalam "Dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika Serikat di Asia", hal. 177-179.
Pada tanggal 4 Maret 1966, Pak Harto minta izin kepada Presiden Sukarno hendak menangkap sejumlah Menteri yang dianggap terlibat G30S/PKI, tapi Presiden menolaknya. Menurut Jenderal Soemitro dalam bukunya (disunting oleh Ramadhan K.H.) "Soemitro, Dari PANGDAM Mulawarman Sampai PANGKOPKAMTIB" (terbit April 1994), Sebelum 11 Maret 1966, ada rapat staf SUAD yang dipimpin oleh Pak Harto. Rapat itu mendengarkan briefing dari Pak Harto, dan sampai pada keputusan hendak memisahkan Bung Karno dari apa yang disebut " Durno- durno"-nya. Diputuskan, sejumlah Menteri akan ditangkap, yang harus dilakukan oleh RPKAD pada saat ada sidang Kabinet di Istana Merdeka, 11 Maret 1966.
Yang ditugaskan membuat Surat Penangkapan, Jenderal Soemitro selaku Asisten Operasi MEN/PANGAD, kemudian meneruskan kepada KOSTRAD dan RPKAD untuk pelaksanaannya.
Namun sebelum penangkapan dilaksanakan, tiba-tiba datang perintah lagi dari Pak Harto kepada Jenderal Soemitro melalui Asisten Vll, Alamsyah, supaya Surat Perintah Penangkapan dicabut kembali. Jenderal Soemitro menyatakan, pencabutan tidak mungkin dilaksanakan, karena pasukan sudah bergerak.
Sebelum itu, Panglima KOSTRAD Umar Wirahadikusumah sudah memerintahkan Kepala Stafnya, Kemal Idris, supaya membatalkan perintah menangkap Subandrio, tapi ditolaknya, dengan alasan perintah sudah jalan dan Istana sudah dikepung sehari sebelum sidang Kabinet.
Meski pun demikian penangkapan Subandrio tidak berhasil dilaksanakan hari itu.
Sesudah keluarnya Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966, Subandrio baru ditangkap di Wisma Negara dalam komplek Istana Jakarta, yang dilakukan setelah Presiden Sukarno lebih dulu disingkirkan oleh "Tjakrabirawa", dibawa ke Istana Bogor. Tjakrabirawa menolak penangkapan Subandrio dilakukan, selagi Presiden berada di Istana Jakarta. Ternyata Presiden Sukarno sendiri tidak berusaha menyelamatkan Subandrio dari penangkapan.
Tentang usaha hendak menangkap Subandrio, dikemudian hari diceritakan oleh Letnan Jederal (purn.) Achmad Kemal Idris kepada mingguan "Tempo" (20 Oktober 1990) bahwa sehari sebelum sidang Kabinet 103 Menteri di Istana Merdeka, ia dalam statusnya sebagai Kepala Staf KOSTRAD, menempatkan pasukan RPKAD tanpa inisial mengelilingi Istana, dengan tugas untuk menangkap Subandrio yang dianggap salah satu tokoh G30S. Dikatakannya bahwa Pak Harto-lah yang memerintahkan penangkapan itu, bagaimana caranya, terserah.
Tapi ketika sidang Kabinet sedang berjalan (11 Maret 1966) Ajudan Senior Presiden, Brigadir Jenderal Moh. Sabur, melapor kepada Presiden bahwa ada pasukan yang tidak dikenal me- ngelilingi Istana dan ada kekhawatiran pasukan ini akan menyerbu. Oleh karena itu Presiden Sukarno segera diamankan ke Istana Bogor dengan Helicopter yang tersedia di halaman depan Istana. Subandrio yang menjadi sasaran hendak ditangkap, ikut dengan Bung Karno ke Bogor. Hari itu usaha menangkap Subandrio, gagal.
Pada tahun 1993, Kemal Idris menceritakan lagi kepada wartawan "Forum Keadilan" 66) bahwa Amirmachmud sebagai Panglima KODAM V/Jaya mengetahui dialah yang menempatkan pasukan tanpa tanda-tanda pengenal di sekeliling Istana. Tapi kata Kemal Idris, dia memang yang bertanggungjawab mengenai penggerakan pasukan, sedang Amirmachmud sebagai Panglima KODAM, hanya melaksanakan tugas teritorialnya.
66) "Forum Keadilan", 22 Juni 1993
Waktu berkumpul di KOSTRAD, Kemal Idris dapat perintah supaya menarik pasukan itu. Yang memerintahkan penarikan pasukan, ialah Letnen Jenderal Maraden Panggabean (Pejabat Panglima Angkatan Darat) melalui Amirmachmud, Panglima KODAM V/jaya. Kemal Idris tidak mau melaksanakannya. " Kalau pasukan saya tarik, apa SUPERSEMAR akan jadi?", kata Kemal Idris.
Menurut Kemal Idris, karena pasukan tetap berada di sekitar Istana, maka Bung Karno kabur ke Bogor. Setelah Bung Karno pergi, Pak Harto menulis surat kepada Bung Karno yang dibawa oleh 3 Jenderal (Basuki Rachmat, M. Yusuf dan Amirmachmud), isinya kira-kira menyatakan tidak bisa bertanggungjawab mengenai keamanan, kalau tidak diberikan lebih banyak kekuasaan untuk menumpas G30S/PKI dan mempertanggung-jawabkan keamanan.
Ketika ditanya, setelah keamanan pulih, haruskah kewenangan itu dikembalikan kepada Bung Karno?, Kemal Idris menjawab: "Iya, cuma sampai di situ saja, tidak berarti dia (Soeharto) me- ngambil alih kekuasaan. Jadi, setelah keamanan bisa dipulihkan, kekuasaan itu harus dikembalikan kepada Bung Karno. Tapi MPRS menghendaki lain".
Sebelum sidang Kabinet dimulai, Presiden Sukarno bertanya kepada Amirmachmud, apakah situasi keamanan memungkinkan Sidang Kabinet diadakan?, yang dijawab "bisa", sambil memberikan jaminan: AMAN!
Itulah sebabnya ketika 3 Jenderal yang diutus oleh Pak Harto menemui Bung Karno di Bogor, sekali lagi Bung Karno bertanya kepada Amirmachmud, bagaimana situasi sebenarnya, yang dijawab oleh Amirmachmud bahwa keadaan AMAN. Waktu itu ia dibentak oleh Bung Karno sambil mengatakan "Kau bilang aman, aman, tapi demonstrasi jalan terus".67)
67) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 56.
Kedatangan 3 Jenderal ke Bogor yang menurut Kemal Idris membawa surat Pak Harto menyebabkan lahirnya Surat Perintah 11 Maret. Tapi mantan Asisten Operasi MEN/ PANGAD Jenderal Soemitro mengatakan, bukan 3 Jenderal yang menyebabkan SUPERSEMAR keluar, melainkan karena RPKAD mengepung Istana.
Ketika membaca teks SUPERSEMAR dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta untuk disampaikan kepada Pak Harto, Amirmachmud mengatakan: "Koq ini penyerahan kekuasaan".68)
Oleh karena itu dikatakannya, Surat Perintah tersebut adalah MUKJIZAT dari Allah SWT kepada rakyat dan bangsa Indonesia. 69)
68) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 59.
69) Ibid, hal. 59. Istilah MUKJIZAT yang digunakan oleh Amirmachmud di sini, adalah istilah agama yang berarti: Kejadian yang menyimpang dari hukum-hukum alam (menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang diolah oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa). Mukjizat hanya diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi dan Rasul.
Akhirnya setelah pemegang SUPERSEMAR melaksanakan perintah itu, pertama-tama dilakukannya membubarkan PKI, disusul dengan penahanan 15 Menteri. Tindakan ini sangat mengejutkan Bung Karno, karena tidak dikonsultasikan dulu dengan Prèsiden/Panglima Tertinggi ABRI, seperti yang dimaksud dalam Surat Perintah tersebut. Langkah pun dipercepat dengan memanggil Sidang Umum IV MPRS 25 Juli 1966, lalu membubarkan Kabinet Dwikora yang menteri- menterinya sudah ditangkap lebih dulu 15 orang, sesudah mana Jenderal Soeharto lalu membentuk Kabinet AMPERA dengan ia sendiri sebagai ketua Presidium Kabinet itu. Klimaksnya, diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 s/d 12 Maret 1967, yang mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden, karena Presiden Sukarno sudah divonis oleh Sidang Istimewa MPRS dengan Ketetapan No.XXXIII/1967 yang mencabut semua kekuasaannya dari Pemerintahan Negara. Semua itu kata Amirmachmud, berhulu dari SUPERSEMAR.70)
70) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 61.
Sejak SUPERSEMAR diluncurkan, sebenarnya Bung Karno tidak mampu lagi mengantisipasi situasi secara tepat.
Berikut ini kutipan penilaian Bung Karno yang meleset mengenai perkembangan situasi yang diucapkannya dalam Amanat Proklamasi 17 Agustus 1966. Bung Karno berkata:
" .......Tahun 1966 ini, - kata mereka -, ha, eindelijk, eindelijk at long last, Presiden Sukarno telah dijambret oleh rakyatnya sendiri; Presiden Sukarno telah dikup; Presiden Sukarno telah dipreteli segala kekuasannya; Presiden Sukarno telah ditelikung oleh satu "triumvirat" yang terdiri dari Jenderal Soeharto, Sultan Hamengku Buwono dan Adam Malik. Dan " Perintah 11 Maret" kata mereka: "Bukankah itu penyerahan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto?"
Dan tidakkah pada waktu sidang MPRS yang lalu, mereka - reaksi musuh-musuh kita - mengharapkan, bahkan menghasut-hasut, bahkan menujumkan, bahwa sidang MPRS itu sedikitnya akan menjinakkan Sukarno, atau akan mencukur Sukarno sampai gundul sama sekali, atau akan mengdongkel Presiden Sukarno dari kedudukannya semula?
Kata mereka dalam bahasa mereka, "The MPRS session will be the final setlement with Sukarno", artinya sidang MPRS ini akan menjadi perhitungan terakhir - laatste afrekening - terhadap Sukarno. Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya Surat Perintah 11 Maret adalah satu penyerahan pemerintahan. Dikiranya Surat Perintah 11 Maret itu satu "transfer of authority". Padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah satu perintah pengamanan .......bukan penyerahan pemerintahan. Bukan transfer of authority.
Mereka, musuh, sekarang kecele sama sekali, dan sekarang pun, pada hari Proklamasi sekarang ini, mereka kecele lagi: Lho, Sukarno masih Presiden, masih Pemimpin Besar Revolusi, masih Mandataris MPRS, masih Perdana Menteri: Lho, Sukarno masih berdiri lagi di mimbar ini! 71)
71) Presiden Sukarno, Amanat Proklamasi IV 1961-1966, Inti Idayu Press bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan Soekarno, hal. 199-200.
Demikian Cuplikan pidato Bung Karno yang mengevaluasi situasi waktu itu, penilaian mana meleset sama sekali. Yang benar justru penilaian musuh, yang diejek oleh Bung Karno.
Urut-urutan kejadian yang mengikuti Surat Perintah 11 Maret, sama sekali tidak membuktikan kecelenya musuh, seperti yang digambarkan oleh Bung Karno.
Baru belakangan, 10 Januari 1967, Bung Karno memberikan penilaian yang benar mengenai sebab musabab terjadinya Gerakan 30 September 1965, antara lain karena ada oknum- oknum yang tidak benar dalam tubuh kita sendiri.



BAB VIII
LANDASAN YANG RAPUH
PADA bulan Mei 1978, KOPKAMTIB di bawah Panglima Sudomo, pernah menerbitkan semacam BUKU PUTIH tentang G30S/PKI, yang isinya memastikan PKI sebagai dalang, juga menuduh Bung Karno sebagai pihak yang terlibat. Satu tuduhan yang sungguh mengandung risiko tinggi. Karena seperti sudah diuraikan pada bagian lain, tidak ada pengadilan yang pernah memastikan Bung Karno terlibat, padahal pengadilanlah satu-satunya instansi yang kompeten untuk pemastian itu. Apa lagi persyaratan ini dicantumkan dalam Ketetapan MPRS No. XXXIII 1967, menyebutkan bahwa "penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut diri Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan".
Mantan Jasa Agung dan Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, S.H., dalam wawancara dengan mingguan "Detik" 16 Pebruari 1994 menanggapi tuduhan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI menyatakan bahwa kita harus membedakan antara sekedar memihak PKI dengan memihak dalam arti pemberontakan. Kalau memihak PKI sebagai Presiden untuk tujuan mempersatukan, dapat dipahami, karena semuanya harus dirangkul. Dan merangkul seperti itu, memang biasa dilakukan oleh pimpinan dan ini tidak berarti terlibat. Orang ingin mengatakan bahwa Bung Karno memihak (PKI). Ini sesuatu yang simplistik. Tidak demikian! Kita kan sudah bisa menilai peran Bung Karno dalam sejarah kita. Tidak patut serta merta turut menghakimi bakwa beliau terlibat, kata Ismail Saleh.
Juga Mantan Panglima KOPKAMTIB Soemitro, menyatakan kepada wartawan "Amanah" 21 Maret 1994, bahwa meski pun ABRI kecewa atas sikap Bung Karno yang tidak mau membubarkan PKI, tapi tidak terlintas sedikit pun menuduh Bung Karno terlibat G30S/PKI. Sama sekali tidak!
Jadi, penyidik hukum mana yang sudah memastikan bahwa Bung Karno terlibat G30S/PKI, sehingga ketua MPRS waktu itu Jenderal A.H. Nasution berupaya keras menggiring MPRS supaya mengadakan Sidang Istimewa yang dibuka pada 7 Maret 1967 untuk menggulingkan Presiden Sukarno dengan alasan keterlibatan itu?
Banyak yang berpendapat bahwa Jenderal A. H. Nasution meng- harapkan, sesudah Presiden Sukarno digulingkan, dialah yang berpeluang dipilih menggantikannya, sesuai dengan apa yang ditulis oleh wartawan Belanda, William Oltmans, bahwa rencana ini jauh hari sebélumnya, sudah dipolakan dan dikampanyekan di luar negeri.
Tapi pada saat-saat yang menentukan, justru ia tidak berani mengambil inisiatif untuk tampil, sedang waktu itu yang diperlukan, di samping kemampuan, juga keberanian. Syarat ini dinilai ada pada Pak Harto. Itulah sebabnya yang diusulkan dan dipilih oleh MPRS untuk menggantikan Presiden Sukarno yang digulingkan, Jenderal Soeharto dan bukan Jenderal A.H. Nasution.
Dengan tangkas Jenderal Soeharto pada 13 Maret 1967 mengucapkan pidato dalam rangka mengamankan pelaksanaan proses penggantian Presiden, dengan mengatakan:
Kedudukan Presiden Sukarno telah ditegaskan oleh MPRS, oleh pemegang kekuasaan tertinggi, oleh pemegang kedaulatan rakyat yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang akan kami laksanakan sebaik-baiknya dengan bantuan dan kepercayaan dari seluruh rakyat.
Marilah kita semua tidak lagi mempersoalkan kedudukan Bung Karno!
Tidak terduga, sesudah Bung Karno terguling, Jenderal A. H. Nasution tidak lagi bisa melanjutkan kiprahnya, karena ia pun segera tersingkir dan di hari tuanya sakit-sakitan.
Ada pun bekas tahanan politik (Tapol) G30S/PKI, sesudah melalui masa seperempat abad, tetap saja dinyatakan sebagai bahaya laten dan komunisme meski pun sudah dilarang masih saja dinyatakan sebagai ancaman di Indonesia. Sebuah buku berjudul "Sekitar Padnas, Bahaya Laten & Tapol G30S/PKI" diterbitkan oleh Lembaga Pertahanan Nasional, memuat 16 tulisan yang menyoroti bahaya laten komunis dan sisa-sisa kekuatannya.
Buku ini menjelaskan bahwa keruntuhan komunisme, tidaklah dengan sendirinya membawa kelumpuhan pada kekuatan sosial yang berorientasi kepada Marxisme, karena adanya 4 faktor pendukung:
1. Masalah sosial-ekonomi yang diidentifikasi dan dideskripsikan oleh analis Marxis sebagai kritik sosial, tetap menarik, seperti kesenjangan sosial, kemiskinan dan eksploitasi tenaga manusia.
2. Janji kesanggupan Marxisme untuk mengubah nasib hidup menuju emansipasi.
3. Perangkat teori Marxisme sebagai disiplin ilmu serta metodologi yang mendukungnya, telah berkembang dan menjadi daya tarik tersendiri, terutama di Barat.
4. Komunisme sebagai sistim, ajaran, metode dan gerakan, tetap menarik dan dapat saja dimanfaatkan oleh siapa pun dalam mencapai tujuannya, tanpa yang bersangkutan menjadi komunis.
Marxisme sebagai filsafat dan teori sosial, tidak menghilang dengan runtuhnya sistim komunisme.
Itulah sebabnya mengapa G30S/PKI tetap bahaya laten dan berbagai hak azasi ratusan ribu orang yang pernah ditahan karena kasus itu, direnggut dengan " Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981", dimana ditetapkan banyak ketentuan yang harus ditaati. Untuk menyebutkan sebagian kecil saja dari padanya, antara lain:
1. Keharusan mencantumkan kode ET (Eks Tapol) pada Kartu Tanda Penduduk. Pencantuman kode ET ini mengakibatkan dihambatnya yang bersangkutan mencari pekerjaan dan semua pasar kerja akan takut menerimanya.
2. Melakukan pembatasan pekerjaan bagi mereka untuk menjadi dosen/guru, wartawan, lembaga bantuan hukum, pendeta dan sebagainya yang tidak diperinci, sehingga sangat elastis.
3. Mencegah mereka memasuki kegiatan kemasyarakatan yang dianggap mungkin menimbulkan kerawanan di bidang sosial- politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan KAMTIBMAS.
4. Untuk bepergian dalam negeri meninggalkan kelurahan/desa tempat domisilinya lebih dari 7 hari, harus dengan izin khusus. Warganegara biasa, tidak memerlukan izin itu.
5. Untuk bepergian ke luar negeri atau melakukan ibadah Haji, harus mempunyai konduite baik dan ada jaminan tertulis dari seseorang/instansi yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa yang bersangkutan akan kembali ke daerah domisili semula, serta telah mendapat santiaji dari pejabat atau petugas setempat.
Meski pun Panglima ABRI Jenderal Faisal Tanjung dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR 13 Desember 1993 telah menyatakan tidak keberatan atas penghapusan kode ET yang terkesan tidak manusiawi itu, mengingat tidak ada lagi masalah dari segi keamanan, tapi Departemen Dalam Negeri tetap mempertahankan sistim hukuman tanpa putusan pengadilan itu, berlaku bagi orang-orang bekas tahanan politik.
Berbagai lembaga yang bergerak di bidang Hak Azasi Manusia telah mengajukan persoalan ini kepada Komisi Nasioanal Hak Azasi Manusia untuk diperhatikan. Hukuman kolektif semacam ini, tidak mempunyai dasar hukum dalam sistim UUD 1945 dan bertentangan dengan Deklarasi Sedunia Tentang Hak Azasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB 10 Desember 1948.
Dalam Mukaddimah Deklarasi itu antara lain dikatakan:
Bahwa sikap tidak memperdulikan dan sikap menghina hak-hak azasi manusia, mengakibatkan tindakan biadab yang mendatangkan amarah pada hati nurani manusia.
Bahwa penting sekali hak-hak azasi manusia dilindungi oleh hukum, supaya manusia tidak mengambil jalan lain yang terakhir, dengan pemberontakan terhadap tirani dan penindasan.
Pasal 13:
Setiap orang berhak untuk bergerak dan memilih tempat tinggalnya secara bebas dalam batas wilayah setiap negara.
Pasal 23:
Setiap orang berhak untuk bekerja, untuk memilih pekerjaan yang bebas, untuk mendapat syarat bekerja yang menguntungkan dan perlindungan terhadap pengangguran.
Oleh karena itu apa yang diterapkan dengan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981, tidak lain dari upaya untuk mempertahankan supaya G30S/PKI tetap menjadi issue bahaya laten.
Bahwa PKI yang menggerakkan coup d'état yang gagal itu, tidak terbantahkan lagi. Hanya masalahnya tidak sederhana dan selesai sampai di situ, karena ternyata banyak juga jaringan lain yang disebut-sebut ikut terkait di dalamnya. Jika kasus ini tidak segera ditutup, akan makin merebak saja dan makin banyak lubang- lubang yang selama ini seolah-olah tertutup, potensial berpeluang terbuka.
Yang jelas makin terungkap: Bahwa Bung Karno ternyata tidak terlibat kasus G30S/PKI, seperti tuduhan bertubi-tubi sebelumnya.
Kasus G30S/PKI sendiri seperti yang disimpulkan MPRS dan dituduhkan kepada Bung Karno, tidak pernah dimasukkan dalam GBHN yang disampaikan kepada Mandataris supaya dipertanggung- jawabkan. Yang disampaikan kepada Presiden/ Mandataris, hanya NOTA PIMPINAN MPRS No. 2/1966 yang minta melengkapi Laporan Pertanggungjawaban Presiden yang dikenal dengan "Pelengkap Nawaksara", yang isinya dengan mudah saja ditolak oleh MPRS. Waktu menyampaikan " Pelengkap Nawaksara" itu, Presiden Sukarno sudah menegaskan bahwa sesuai dengan bunyi pasal 3 UUD 1945 dan penjelasannya, hanyalah Keputusan MPR mengenai GBHN yang harus dipertanggungjawabkan dan bukan tentang hal-hal yang lain. Sedang kasus G30S/PKI tidak masuk GBHN.
Alasan bahwa Presiden sebagai Mandataris MPRS tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban Konstitusionalnya (mengenai kasus G30S/PKI), menjadi tidak jelas, bahkan absurd.
Apa lagi alasan yang dicantumkan dalam TAP MPRS No. XXXIII 1967 yang menuduh Presiden/Mandataris tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban Konstitusionalnya, sangat sumir, tidak dijelaskan apa bentuk konkrit pelanggaran yang dilakukan, padahal Ketetapan itu menyangkut perubahan ke-tata-negaraan yang sangat fundamental, yaitu menjatuhkan seorang Presiden Konstitusional.
Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 itu, lebih dirasakan sebagai ketetapan emosional atau balas dendam.
Oleh karena itu alasan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI yang diangkat oleh MPRS untuk menggulingkannya sebagai Presiden dan mencabut semua hak politiknya, dengan mengatas- namakan wewenang Konstitusi, landasannya sangat rapuh.
Ketetapan MPRS No. XXXIII 1967, mengandung kekurang-cermatan Konstitusional yang memerlukan koreksi.
BAB IX
"SUKARNOISME" DAN "DE-SUKARNOISASI"
SEGERA setelah Presiden Sukarno diturunkan dari tahta kekuasaan dan mencabut semua hak politiknya, ia pun dikenakan tahanan, resminya diumumkan .1968 tapi sebelumnya sudah dilakukan sampai wafatnya, 21 Juli 1970. Begitu ketatnya penahanan ini, sehingga jenazahnya pun tidak boleh dibawa ke rumah keluarganya (Ibu Fatmawati), tapi harus dibawa kembali ke tempat tahanannya di Wisma Yaso, sebelum dimakamkan.
Banyak waktu untuk mengusut dan menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bagi Bung Karno sebelum wafatnya, jika ia memang dianggap bersalah, untuk memenuhi ketentuan pasal 6 Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 yang berbunyi:
Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan- ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pj. Presiden.
Tapi ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan, sedang vonnis sudah jatuh mendahului penyidikan hukum yang seharusnya dilakukan. Azas "praduga tak bersalah" yang dianut dalam sistim hukuom Republik Indonesia, tidak berlaku untuk kasus Bung Karno.
Sesudah Bung Karno digulingkan, histeria atas semua yang berbau Sukarno, dikobarkan. Juli 1967 lahir apa yang dikenal dengan "Tekad Yogya", yaitu tekad para Panglima KODAM se-Jawa tentang "de-Sukarnoisasi".
Jenderal A. H. Nasution dalam bukunya " Dari Kup 1 Oktober 1965 ke Sidang Istimewa MPRS 1967", menyambut "Tekad Yogya" dengan mengatakan bahwa sikap TNI dalam persoalan ini, dapat dimengerti (hal. 69).
De-Sukarnoisasi cepat sekali merebak seperti epidemic yang menyerang ke mana-mana. Semua ajaran Bung Karno dinyatakan: Dilarang! Sampai-sampai Dasar Negara, "Pancasila" yang dirumuskan oleh Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, harus diperlakukan sebagai bukan hasil pemikiran Bung Karno.
Ketika jajaran Pembina Politik di Departemen Dalam Negeri berusaha menahan desakan arus bawah yang murni, bukan direkayasa, (di lingkungan GOLKAR katanya ada arus bawah yang direkayasa, Pen.), yang mendukung tampilnya Megawati Sukarnoputri memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sedang mengalami krisis kepemimpinan dalam kongres ke-V (Kongres Luar Biasa) di Surabaya (2-6 Desember 1993), ditudinglah Mega sebagai pewaris "Sukarnoisme" akan menghidupkan kembali ajaran Sukarno yang selama ini tabu. Terutama yang paling ditakuti, dihidupkannya kembali NASAKOM.
Ketakutan terhadap NASAKOM yang dianggap masih gentayangan, sangat tidak logis, karena KOM (komunis) dalam kenyataan telah dibasmi dan tidak ada lagi. Bukan saja Pemerintah telah membasminya, tapi juga golongan Agama dan Nasionalis sudah menolaknya, sehingga persekutuan itu tidak lagi terkondisi untuk direalisasi dan oleh karenanya tidak mungkin juga dimaterialisasikan.
NASAKOM bukan suatu pandangan hidup yang mempunyai perangkat teori. Di masa hidupnya, hanya digunakan oleh masyarakat Indonesia waktu itu untuk satu tujuan tertentu: bersatu. Ketika kebutuhan itu sudah lewat dan kondisinya berubah, maka dasar hidupnya pun menjadi absurd.
Istilah "Sukarnoisme" juga mempunyai sejarah yang berada di luar keinginan Bung Karno, bahkan ditolaknya.
Rupanya orang pura-pura melupakan siapa yang merekayasa lahirnya istilah "Sukarnoisme' sebagai penamuan atas ajaran Bung Karno. Kalau para pembenci ajaran Sukarno waspada, mereka tidak akan menggunakan "Sukarnoisme" sebagai senjata mengintimidasi Megawati, karena bisa menampar muka sendiri.
Mengapa?
Karena bukan saja sejak diperkenalkannya istilah "Sukarnoisme", sudah mendapat dukungan dari Angkatan Darat, juga " Sukarnoisme" adalah satu ajaran yang dimanfaatkan oleh satu gerakan yang bernama "Badan Pendukung Sukarnoisme" (BPS), menjelang kelahiran "Orde Baru". Organisasi ini bergerak di lingkungan pers, radio dan televisi. Tokoh-tokohnya antara lain B.M. Diah, Adam Malik, Sayuti Melik, J.K. Tumakaka, Harmoko, Sukowati, Djoehartono dan beberapa tokoh Angkatan Darat lainnya.
Yang diterima menjadi anggota: surat kabar, majalah, wartawan profesional, orang-orang yang mengaku wartawan, atau yang baru diangkat menjadi wartawan dengan memenuhi syarat: Anti PKI. Mereka memperkenalkan diri sebagai organisasi persurat-kabaran, sama dengan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Ini untuk menghindarkan supaya tidak dituduh sebagai organisasi tandingan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Tapi SPS sama sekali tidak menerima keanggotaan wartawan atau orang yang baru diangkat menjadi wartawan seperti yang dilakukan oleh BPS. Anggota SPS hanyalah perusahaan suratkabar, bukan perorangan. Organisasi ini bergerak di bidang bisnis.
BPS didirikan pada 1 September 1964, setahun mendahului G30S dengan mempopulerkan "Sukarnoisme" sebagai senjata untuk mendukung penyelesaian revolusi dan terbentuknya masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila dan berpedoman MANIPOL/ USDEK.
Menurut siaran BPS, simpati langsung diperolehnya dari Jenderal A.H. Nasution, di samping sejak awal juga sudah menerima dukungan dari Amerika Serikat. Tapi dukungan Washington dikritik oleh pers Amerika sendiri sebagai satu kekeliruan, karena terlalu cepat memberikan dukungan, sehingga menimbulkan kecurigaan rakyat Indonesia.
Presiden Sukarno dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1965 mengatakan, tujuan BPS yang sebenarnya ialah memecah persatuan nasional dengan mengacau-balaukan pengertian NASAKOM. BPS malah dikatakan terlibat satu . BPS malah dikatakan terlibat satu rencana jahat. Organisasi ini melakukan kriminalitas politik dan kriminalitas biasa.
Sebelum pidato ini, pada 17 Desember 1964 Presiden sudah membubarkan BPS dan pada 23 Pebruari 1965 memerintahkan supaya semua atribut BPS ditutup dan dihentikan kegiatannya. "Sukarnoisme" yang dimaksudkan sebagai ajaran Bung Karno, di tangan BPS menjadi lain artinya, yaitu menunggu momentum untuk menghancurkan ajaran itu.
Tugas BPS sebenarnya, dinyatakan dalam program perjuangannya yaitu berperan sebagai champion social dengan melakukan economic reform dan political reform, satu tatanan baru yang menolak tatanan ekonomi dan politik yang sedang operasional, seperti yang digariskan oleh Bung Karno dan sudah disahkan menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh MPRS.
Oleh tindakan Bung Karno di atas, BPS merasa dirinya telah menjadi martir dari satu perjuangan. Maka pada 13 Nopember 1982, bertempat di kantor PWI (waktu itu beralamat jalan Veteran 7-C), diadakan pertemuan sehari yang dipimpin oleh ketua PWI (tokoh BPS) Harmoko (kemudian Menteri Penerangan 3 periode berturut-turut), dihadiri kurang lebih 50 wartawan bekas anggota BPS.
Pertemuan ini mengangkat sejarah kepahlawanan orang-orang BPS melawan komunis dan sekutu-sekutunya, yang berhasil meruntuhkan PKI dan lahirlah ORDE BARU.
Sepuluh tokoh BPS yaitu: 1. Sumantoro, 2. Asnawi Idris, 3. Suhartono, 4. Sutomo Sutiman, 5. Sumantri Martodipuro, 6. Tengku Sjahril, 7. H.A. Dahlan, 8. Arif Lubis, 9. Sayuti Melik dan 10. Zein Efendi, dianugerahi Piagam Penghargaan "Satya Penegak Pers".
Di samping itu pada 1983, diterbitkan buku yang berjudul "Perlawanan Pers Indonesia BPS terhadap gerakan PKI", ditulis oleh Tribuana Said dan D.S. Muljanto. Buku ini sangat menarik, karena membuka baju penyamaran BPS dan memakai baju aslinya sambil mengakui adanya hubungan BPS dengan unsur-unsur Angkatan Darat dan beberapa partai politik MURBA, NU, IPKI dan PSII.
Tipu muslihat lain yang menyesatkan, ditampilkannya program ikut membantu, membela, memberikan penerangan dan mendukung kebijaksanaan Pemerintah Pusat (Orde Lama) sebagai konsekwensi berdirinya BPS di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, untuk menyelesaikan revolusi serta sebagai pengemban "Sukarnoisme".
Untuk mencapai semua ini, dijanjikan langkah menjaga pelaksanaan "Sukarnoisme" dengan seksama, berusaha mengumpulkan buku- buku ajaran Bung Karno sejak zaman perjuangan di masa penjajahan, sampai pada zaman kemerdekaan, guna disebar-luaskan dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Berusaha mengumpulkan ucapan-ucapan Bung Karno, baik yang tertulis mau pun tidak, dulu dan sekarang sampai pidato TAVIP dan ajaran-ajaran pada waktu-waktu selanjutnya
Tapi dalam kenyataan, semua itu hanyalah jargon. Terbukti sesudah Bung Karno ditumbangkan, semua ajaran Bung Karno disapu bersih.
Oleh karena itu Bung Karno tidak keliru menilai BPS sebagai gerakan "to kill Sukarnoisme" - hendak mematikan ajaran Sukarno.
Ketika memerintahkan pelarangan seluruh atribut BPS dalam rapat umum PWI "Maju Tak Gentar", Bung Karno menegaskan lagi, BPS itu anti NASAKOM. NASAKOM adalah wadah yang diciptakan oleh Bung Karno untuk mempersatukan kekuatan nasional melawan neokolonialisme/imperialisme dan membangun tanah air. NASAKOM disetujui oleh 10 partai politik yang ada di Indonesia dalam pertemuan di Istana Bogor 12 Desember 1964: PNI, NU, PKI, PERTI, PARTINDO, PSII, MURBA, IPKI, Partai Kristen dan Partai Katolik yang melahirkan Ikrar 4 pasal:
1. Mendukung politik konfrontasi dengan Malaysia.
2. Memelihara persatuan nasional yang progresif revolusioner berporoskan NASAKOM.
3. Menempuh musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah.
4. Membantah issue bahwa Bung Karno akan meletakkan jabatan.
Tinggal seorang B.M. Diah dengan suratkabarnya "Merdeka", mantan pemimpin tertinggi BPS, sesudah ia tidak lagi menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet I Orde Baru, tampil membela Bung Karno dan ajarannya dari gilasan bekas kawan-kawan seperjuangannya yang - dulu berjuang bersama-sama dalam BPS. Ia dulu menjadikan BPS sebagai senjata untuk melawan komunis dan bukan rnelawan Sukarno, seperti yang dilakukan teman-temannya yang lain.
Sementara BPS sendiri semakin berterus terang membuka rahasia, dengan mengakui bahwa organisasinya memang gerakan kewartawanan dan bukan semacam SPS yang hanya mengurus masalah bisnis persurat-kabaran.
Hal ini sudah diantisipasi oleh PWI sejak semula dan mengambil langkah-langkah untuk ditaatinya ketentuan Peraturan Dasar PWI, yang tidak membenarkan anggotanya merangkap menjadi anggota organisasi kewartawanan nasional selain PWI.
Itulah sebabnya, pada waktu itu PWI menjatuhkan skorsing terhadap semua anggotanya yang menjadi anggota BPS.
Untuk selanjutnya BPS tidak perlu lagi berbicara banyak, karena tinggal menggaris-bawahi apa yang ditulis pendukung mereka di luar negeri, seperti Ricklefs yang menyambut bahwa BPS dibentuk oleh sekelompok wartawan yang anti PKI, Van der Kroef mencatatnya sebagai organisasi anti PKI yang dilarang. Sedang Legge mengatakan, BPS adalah salah satu langkah dalam membangun tirai asap ideologis dari mana suatu kampanye anti PKI dapat diluncurkan. Semua pengakuan ini dapat dibaca dalam buku "Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKI".
BPS-lah yang menciptakan "Sukarnoisme" dan sekarang menjelma menjadi hantu untuk menakut-nakuti orang.
BAB X
PNI YANG MALANG
SEBUAH film dokumenter yang diproduksi oleh ABC melukiskan kegiatan CIA di berbagai negara, dengan sasaran pokoknya menghancurkan komunis, bukan saja di negara-negara sosialis Eropa Timur dan Cina, tapi juga dinegara-negara bukan komunis yang kuat partai komunisnya, seperti Italia dan Indonesia.
Mengenai Indonesia, film ini merekam ulang kunjungan Bung Karno ke Uni Sovyet dan Cina pada tahun 1956, di mana dilukiskan Bung Karno bermesraan dengan komunis. Tentu saja gerak-gerik Bung Karno dibayangi terus oleh CIA, bahkan merupakan obsesi yang makin lama makin memuncak dan akhirnya bermuara pada Gerakan 30 September yang membawa CIA kepada kemenangan sempurna di Indonesia. Untuk kemenangan itu, Presiden Richard Nixon (AS) menilai bahwa perubahan politik di Indonesia tahun 1966, merupakan kemenangan terbesar bagi Amerika di Asia Tenggara, sesudah sebelumnya mengalami kekalahan yang memalukan di Vietnam.
Tampil sebagai salah satu narrator pada bagian mengenai Indonesia, Dewi Ratnasari (istri Bung Karno wanita Jepang) yang berpindah-pindah tinggal di Amerika, Perancis dan Jepang. Ia mengemukakan bagaimana kegiatan CIA menggulingkan Sukarno sambil mengemukakan pula bahwa dalam penumpasan Gerakan 30 September 1965, dua juta rakyat Indonesia dibantai. Mengenai pembantaian ini, pers atau penulis-penulis Barat hanya mencatat angka 500.000, meski pun angka yang lebih kecil ini, sudah lebih dari cukup untuk mendirikan bulu roma, namun tidak terlalu diributkan.
Hardi, SH., salah satu ketua PNI dalam periode 1963-1966, bercerita bahwa pada bulan Mei 1965 ia merasa sangat gelisah melihat pesta peringatan 45 tahun berdirinya PKI. Waktu itu sinarnya sang surya mulai galak menggarang warga ibukota. Tapi sekali-sekali tampak langit kelabu sebagai tanda peralihan ke musim kemarau. Dalam pikirannya, suatu kekeringan dalam politik pun akan datang, kegersangan politik akan muncul, di mana PKI akan melancarkan perebutan kekuasaan. Ia berpikir dan berpikir terus. Satu firasat semakin merasuk pikirannya, apakah ini sekedar bayangan atau impian tanpa sadar.
Tapi yang mendorong timbulnya firasat itu, ialah keinginannya memperoleh kesempatan bertemu muka dengan Bung Karno.
Pada 18 Mei 1965, ia diterima oleh Bung Karno, katanya di kamar tidurnya di Istana Merdeka. Maka disampaikanlah perhitungan politiknya bahwa PKI akan merebut kekuasaan dengan mengemukakan sebagai alasan, terjadinya peristiwa Bandar Betsi di mana seorang Pembantu Letnan dibunuh oleh BTI karena sengketa tanah, aksi sepihak yang dilancarkan oleh BTI di Klaten (Jawa Tengah) dan Banyuwangi (Jawa Timur) melawan pemilik tanah anggota-anggota PNI. Semua itu adalah senamsenam revolusioner yang merupakan persiapan menuju perebutan kekuasaan. "Kita semua khawatir negara Rl atir negara Rl yang Pancasila, mau dirubah menjadi negara komunis, maka kita pasti akan yang Pancasila, mau dirubah menjadi negara komunis, maka kita pasti akan mengalami malapetaka dan perang saudara", kata Hardi kepada Bung Karno.
Lalu Bung Karno minta, supaya ia berjuang terus dan "baik juga sekali-sekali datang ke mari berbicara dengan saya". kata Bung Karno kepadanya menurut Hardi.
Hardi mengatakan, Bung Karno tidak mengoreksi atau menyanggah pendapat ini. Malah kata Bung Karno - Menurut Hardi -, "Ya, jika begitu, saya dapat mengikuti dan mengerti perasaanmu".
"Dengan terjadinya peristiwa G30S/PKI sebagai perwujudan nyata firasat yang dikemukakan dalam pembicaraan dengan Bung Karno pada tanggal 18 Mei 1965, sering menimbulkan rasa penyesalan yang tidak habis-habisnya, karena Bung Karno ternyata melupakan warning voice yang tersirat dalam firasat seorang muridnya". Hardi mengatakan bahwa ia adalah murid Bung Karno.
Pada tahun 1968, sewaktu Bung Karno sudah dikenakan karantina politik di Istana Bogor, Hardi bersama istrinya diundang nonton wayang kulit di Istana Bogor dan kebetulan mendapat tempat duduk persis di kursi belakang Bung Karno. Bung Karno berbisik kepadanya, "Mas Hardi, achteraf heb je gelijk"(Mas Hardi, ternyata engkau benar). Hardi mengatakan, andaikata pikirannya diperhatikan oleh Bung Karno, G30S/PKI dapat dicegah.72)
Dalam kasus ini, Hardi juga perlu disesali, mengapa "perhitungan politiknya yang begitu penting tidak disampaikan kepada aparat keamanan, padahal aparat keamananlah yang harus bertindak jika ada sesuatu yang membahayakan negara".
Tapi berbeda dengan Hardi, Mayor Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara, mantan Sekretaris Negara dan pernah Menteri Agama Rl, justru mempunyai penilaian, G30S/PKI tidak mungkin terjadi jika PNI tidak menjalankan politik yang mendekatkan diri kepada PKI.73)
72) Hardi, Bung Karno Dalam Kenangan, hal. 32-38, disajikan dalam peringatan Hari Wafat Bung Kamo 21 Juni 1991 yang diselenggarakan oleh Yayasan MARINDA Jakarta.
73) Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, hal. 142
Kedua penilaian yang berbeda itu, hakekatnya penilaian hitam- putih yang sederhana tanpa mempertimbangkan relasinya dengan aspek lain seperti peran Amerika, terutama CIA, yang berprespektif terjadinya tragedi nasional dan berakhir dengan digulingkannya Presiden Sukarno, yang bagi Amerika Serikat menjadi tujuan pokok.
PNI yang mempunyai keterkaitan historis-ideologis dengan Bung Karno, yang seharusnya tampil melindungi pada saat-saat yang paling kritis dalam sejarah kepemimpinannya, justru bersikap munafik. Ketika Bung Karno dinista oleh komponen Orde Baru dan menuntutnya supaya di-MAHMILLUBKAN, PNI tidak membelanya. Pemimpin- pemimpin PNI yang bekerja sama dengan Orde Baru, dengan cara kasar mengambil alih kepemimpinan Partai dalam Kongres Pemersatuan yang dipenuhi intrig dan ancaman, dengan melibatkan unsur luar partai. Kongres Pemersatuan di Bandung dari tanggal 24 sampai 28 April 1966 itu, mengingkari komitmen PNI terhadap Bung Karno sebagai pendiri PNI dan Bapak Marhaenisme yang disahkan dalam 2 kali kongres, dengan klimaksnya mengeluarkan Pernyataan Kebulatan Tekad 21 Desember 1967.
Pernyaratan kebulatan Tekad menegaskan bahwa di bidang ideologi, Marhaenisme bukan lagi ditafsirkan seperti rumusan penciptanya, yaitu sebagai Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia dan alat persatuan anti imperialisme, kapitalisme dan feodalisme, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Sedangkan di bidang politik dengan tegas PNI menyatakan melaksanakan ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 yang tidak menghendaki lagi kembalinya kepemimpinan politik Sukarno dan menyatakan PNI tidak terikat pada pemikiran-pemikiran politik Sukarno Prediksi "Bapak Marhaenisme" yang selama ini melekat pada diri Bung Karno, ditiadakan.74)
74) Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, hal. 197.
Sebelum Pernyataan Kebulatan Tekad diambil, pada tanggal 11 Desember 1967, Dewan Pimpinan PNI yang diwakili oleh Hardi, SH., Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa, SH., menghadap Soeharto. Mereka minta supaya Pak Harto membantu PNI mempercepat proses konsolidasi dan kristalisasi Partai. Soeharto mengatakan bahwa sikapnya terhadap PNI, akan tergantung bagaimana sikap Angkatan Darat.
Oleh karena itu pada tangal 14 Desember 1967, Osa Maliki, Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa menemui pejabat Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Maraden Panggabean, untuk menanyakan bagaimana sikap Angkatan Darat terhadap PNI. Jika PNI memang tidak diperlukan, maka partai ini segera dibubarkan. Panggabean menjawab bahwa dengan segala kejujuran dan keikhlasan, Angkatan Darat ingin memberikan bantuan kepada PNI dalam usahanya melakukan konsolidasi dan kristalisasi.
Penegasan Panggabean ini, oleh PNI disampaikan lagi kepada Pak Harto dan pada tanggal 21 Desember 1967, datanglah Osa Maliki, Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa menghadap Pak Harto dan menyerahkan Pernyataan Kebulatan Tekad.
Sejak itu, Bung Karno sudah ditempatkan oleh PNI pada satu posisi yang tidak lagi didukung.
Tapi sejak itu pula PNI mencatat bagaimana massanya berbondong- bondong meninggalkan partainya dan dalam Pemilihan Umum I yang diselenggarakan~oleh Orde Baru 1971, partai yang bertanda gambar "Banteng dalam segi tiga" ini mangalami kekalahan tragis dengan hanya kebagian 8% suara, untuk kemudian mengumumkan kematiannya dengan memasuki fusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tanpa melalui putusan Kongres, bergabung dengan partai-partai kecil: MURBA, IPKI, Partai Katolik dan Partai Kristen. PNI mengakhiri eksis- tensinya sebagai partai terbesar simbul nasionalisme Indonesia yang pernah menjadi partai nomor I dalam Pemilihan Umum I 1955.
Sebetulnya PNI dibangun oleh Bung Karno bersama teman-teman sepahamnya, untuk mewadahi berbagai aliran politik yang ada di Indonesia, dipersatukan dalam satu ideologi baru yaitu MARHAENISME. Marhaenisme dirumuskan sebagai satu ajaran yang mempunyai konsep dasar perjuangan baru melawan penjajahan, kapitalisme dan feodalisme, setelah Bung Karno melihat terpecah belahnya tiga aliran politik besar yang ada, yaitu: Budi Utomo yang nasionalistis tapi Jawa sentris, Serikat Dagang Islam yang menekankan kesetiaan kepada agama, dan Partai Komunis Indonesia yang kebarat-baratan karena menganut paham sosialisme Barat dan Marxisme. Usaha Bung Karno mempersatukan aliran-aliran politik dalam Permufakatan Perhimpunan- Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), mengalami kegagalan. PNI dengan Marhaenismenya diharapkan bisa menjadi Partai Pelopor mepersatukan semua kekuatan politik yang ada. Tiga aliran besar yang merupakan realitas kekuatan politik di Indonesia, diperhitungkan akan mampu menumbangkan penjajahan, apabila berjuang bersama-sama dalam satu koordinasi yang baik.
Program ini mendapatkan rumusan yang lebih sempurna dalam Pidato 1 Juni 1945 yang dikenal dengan Pidato "Lahirnya Pancasila", yang kembali menekankan mutlaknya persatuan seluruh kekuatan rakyat untuk menopang kemerdekaan.
29 Mei sampai 1 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau yang dalam bahasa Jepangnya disebut "Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai", bersidang di Jakarta di bawah pimpinan ketuanya, dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat. Sidang diminta oleh ketua supaya mengemukakan dasar bagi Negara Indonesia Merdeka.
Bung Karno sebagai pembicara terakhir, mengemukakan secara terperinci mengenai dasar yang dimaksud, diucapkan tanpa teks dan isi pidatonya dicatat dalam suatu "stenografische verslag" secara lengkap.
Radjiman Wediodiningrat ketika memberikan Kata Pengantar untuk penerbitan buku pidato yang bersejarah itu tertanggal Walikukun 1 Juli 1947 menulis:
".........Selama fasisme Jepang berkuasa di negeri kita, Democratische Idee tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno, selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya jalan untuk mewujudkannya. 75)
75) Sukamo, Pancasila sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press Yayasan Pendidikan Sukamo, Jakarta, 1986.
Democratische Idee yang dimaksud ialah Pidato Lahirnya Pancasila yang dikatakan oleh Bung Karno sebagai Philosofische grondslag daripada Indonesia Merdeka atau satu Weltanschauung di atas mana kita mendirikan negara Indonesia.
Weltanschauung ini, Kata Bung Karno, harus kita bulatkan di dalam hati dan pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Kita bersama-sama mencari persatuan Philosofische grondslag, mencari Weltanschauung yang kita semua setujui.
Ini berarti kita harus mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan mau pun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat semua".
Pendek kata, bangsa Indonesia, natie Indonesia bukanlah satu golongan yang hidup dengan "le desir d'etre ensemble" seperti yang dikatakan oleh Ernest Renan, di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, Madura, Jawa, Sunda atau Bugis, tapi bangsa Indonesia yaitu seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai Irian. Seluruhnya, karena antara manusia 70.000.000 (waktu itu, pen) sudah ada "le desir d'etre ensemble": sudah jadi "Karakter- gemeinschaft", Natie Indonesia, bangsa Indonesia jumiah orangnya 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang menjadi satu. 76)
76) Sukarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press. Yayasan Pendidikan Sukarno, Jakarta 1986.
Pidato ini diterima oleh sidang dengan aklamasi dan kemudian dirumuskan menjadi Pancasila yaitu 5 dasar Negara Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dasar negaranya dulu yang dirumuskan, barulah di atas dasar itu didirikan Negara Republik Indonesia.
Itulah sebabnya 1 Juni disebut sebagai hari lahirnya Pancasila yang menjadi dasar lahirnya Republik Indonesia.
Namun Bung Karno ditentang oleh kekuatan besar dan dengan dibantu G30S/PKI yang sayap militernya dipimpin oleh kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infantri I Kodam V Jaya) dan letnan kolonel Untung Samsuri (Komandan Batalyon I Resimen Tjakrabirawa) serta seorang tokoh sipil misterius yang bernama Kamaruzzaman, berhasil menciptakan momentum yang menentukan bagi terjungkirnya kekuasaan Sukarno.
Ide besar yang diperjuangkan oleh Bung Karno, dipaksa mengubah nilai seperti dirumuskan oleh PNI gaya baru, dan kali ini Bung Karno tidak mampu lagi banting stir.
Tragisnya, dengan sikap pimpinan PNI yang ikut mendiskreditkan Bung Karno, tokh tidak berhasil tampil sebagai juru selamat bagi PNI, meski pun sudah begitu banyak memberikan konsesi politik. Sikap Orde Baru terhadap PNI, tetap mencurigainya mempunyai keterkaitan ideologis dengan Sukarno. Oleh karena itu, untuk memastikan kehancuran Sukarno, PNI juga harus dihancurkan, karena bagaimana pun tetap ada kekhawatiran bahwa dalam tubuh PNI masih mengendap kekuatan Sukarno yang pada saatnya yang tepat, berusaha bangkit kembali.
Dr. Elisio Rocamora dari University of Phylippines dalam thesisnya untuk meraih gelar Doctor di Cornell Univesity (AS), menulis bahwa pada tahun 1966 dan 1967 Angkatan Darat melakukan pembersihan terhadap PNI dengan alasan yang dicari-cari bahwa PKI telah melakukan penyusupan ke dalam pimpinan PNI. Kalangan pimpinan Orde Baru yang melihat Sukarno sebagai bajingan besar, membayangkan PNI sebagai salah satu alat utamanya. Menurut tema propaganda ini, pimpinan PNI membiarkan dirinya diperalat Presiden Sukarno dan PKI, agar dapat memetik keuntungan dari dominasi keduanya, dalam politik Demokrasi Terpimpin setelah 1963.
Memang mudah menangkis tuduhan ini dengan menyebutnya sebagai propaganda pemerintah yang seenaknya sendiri. Tapi sampai taraf tertentu, hal ini mencerminkan ke-tidak-percayaan yang mendalam terhadap PNI dan ke-tidak-sediaan untuk mempercayai bahwa partai ini sudah banyak berubah dan bukan lagi PNI yang terombang- ambing dan oportunistik.77)
77) J. Elisio Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi. Grafiti, 1991, hal. 436.
Bukan saja terus menerus dipompakan kepada masyarakat dengan sangat melebih-lebihkan kekuatan PKI sebagai bahaya laten dan potensial, tapi sejak kembali ke UUD 1945 dan diberlakukannya UU Darurat (SOB), kegiatan partai-partai dibatasi dengan sangat ketat. Tokohtokoh partai yang duduk dalam Kabinet, harus menyatakan keluar dari partainya masing-masing, sehingga menutup kemungkinan bagi partai-partai membuat keputusan besar di tingkat nasional. Dalam sistim Demokrasi Terpimpin, yang mengendalikan kegiatan politik adalah Presiden. Dan karena berlakunya UU SOB, maka dalam prakteknya Angkatan Darat yang menjalankan kekuasaan, berperan membatasi kegiatan partai-partai politik.
Dengan menggunakan UU SOB itu juga, Konstituante yang memang macet, terus dibubarkan dan diganti dengan MPRS yang anggota- anggotanya diangkat oleh Presiden. DPR hasil Pemilihan Umum 1955, diganti dengan DPR Gotong Royong yang anggota-anggotanya meski pun sebagian besar masih terdiri dari hasil PEMILU (1955), tapi semuanya diangkat oleh Presiden. Anggota-anggota MASYUMI dan PSI tidak dimasukkan lagi baik dalam DPR mau pun MPRS karena kedua partai itu dianggap terlibat pemberontakan PRRI/PERMESTA, maka kedudukan mereka digantikan oleh wakil-wakil golongan fungsional, misalnya fungsional politik, fungsional sarjana, fungsional Angkatan Bersenjata, fungsional buruh, fungsional tani, fungsional pemuda, fungsional wanita, fungsional wartawan dan sebagainya.
Meski pun peran partai kemudian berangsur-angsur dilonggarkan, tapi PNI sudah cukup menjadi lemah, terutama karena adanya Peraturan Presiden No. 2/1959 yang melarang semua pegawai negeri golongan F- 1 ke atas menjadi anggota sesuatu partai. Di sini PNI sangat dirugikan, karena anggota-anggotanya banyak yang menduduki jabatan tinggi di jajaran birokrasi.
Ada pun PKI tidak terlalu dirugikan, karena anggotaanggota mereka tidak banyak yang menduduki jabatan atas di birokrasi.
Dengan pelonggaran itu, PNI bisa bangkit. Di samping bisa menduduki jabatan Gubernur di Jawa Tengah. (Mochtar), juga berhasil merebut 23 dari 34 Kepala Daerah.
Dalam keadaan SOB, memang terasa pihak militer berusaha merebut pengaruh politik, karena wakil-wakil mereka duduk di DPRGR dan MPRS. Usaha ini dilakukan lewat Badan Kerjasama dengan militer dan Front Nasional. Namun kedua-duanya gagal, karena baik Bung Karno mau pun partai-partai enggan bekerja sama.78)
78) Ibid, hal. 345.
Dalam laporan DPP PNI pada sidang Badan Pekerja Kongres (1961 ) dikatakan bahwa selama periode 1960-1961 , kegiatan anti partai Angkatan Darat merupakan satu-satunya rintangan paling penting bagi upaya PNI membangun kembali dirinya untuk memperoleh pengaruhnya yang dulu, terutama di daerah-daerah.
Larangan kegiatan politik yang mula-mula diumumkan Juni 1959, diperpanjang masa berlakunya pada bulan September 1960 dan sekali lagi diperpanjang Januari 1961. Dengan kewenangan peraturan ini, Panglima Daerah Militer menghalangi PNI dan partai-partai lainnya menggelar rapat raksasa dan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk memperoleh dukungan masyarakat. Malahan simbul semua partai pernah dilarang pemasangannya.79)
79) Suluh Indonesia, 8 September 1960 dan 18 Januari 1961.
Pada waktu itu PNI berusaha memperkecil kekuasaan politik militer yang terasa makin besar. Pada 16 September 1960 DPP PNI mengirimkan telegram kepada Presiden/Panglima Tertinggi, memprotes Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (PEPERTI), yang melarang kegiatan politik. Dan pada bulan Agustus 1961, PNI mendesak diakhirinya undang-undang SOB. Juga PNI mempersoalkan lemahnya sikap Angkatan Darat terhadap sisa- sisa pemberontakan PRRI/PERMESTA.80)
80) Putusan Sidang BPK PNl, Agustus 1961.
Mungkin karena sikap-sikap yang sedemikian itu, menyebabkan Angkatan Darat sangat mencurigai PNI setelah Orde Baru.
Pukulan berat yang dirasakan oleh PNI ialah ketika DPP pada bulan April 1961 harus menyerahkan daftar anggotanya kepada Pemerintah memenuhi ketentuan Peraturan Presiden No.13/1960 untuk memastikan apakah sesuatu partai mempunyai hak hidup atau tidak. PNI hanya mampu menyampaikan daftar yang memuat 198.554 nama yang harus dilengkapi dengan tanda-tangan dari masing-masing nama.
Jumiah ini dianggap memalukan, karena PNI dalam PEMILU 1955 keluar sebagai partai terbesar nomor satu dengan mengumpulkan 8.434.653 pemilih, mengungguli MASYUMI yang hanya mengumpulkan 7.903.886 pemilih.
Baru dalam Kongres di Purwokerto (1963), DPP memberikan laporan, telah menyampaikan kepada Pemerintah 1.855.119 nama anggota PNI, Jumiah ini tetap masih kecil, tapi dianggap sudah ada kemajuan. Hal ini menimbulkan persoalan di kalangan partai-partai kecil, yang menuntut supaya PNI tidak lagi dianggap- sebagai partai besar dan dengan demikian jumiah kursi yang diberikan kepadanya di DPRGR dan MPRS harus dikurangi. Kursi yang diduduki PNI dalam DPRGR misalnya, bertambah jika dibandingkan dengan jumiah kursi yang diraihnya dalam PEMILU 1955 dari 57 menjadi 80 kursi. Ini dimungkinkan karena banyak anggota baru yang formalnya mewakili golongan fungsional, tapi mereka berasal dari organisasi kemasyarakatan PNI.
Kemerosotan PNI juga dikarenakan pengaruh pembentukan Kabinet Kerja 9 Juli 1959 setelah Dekrit kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959); di mana semua Menteri Kabinet meski pun berasal dari sesuatu partai, diharuskan keluar dari keanggotaan partainya. D.engan ketentuan ini ditambah dengan dilarangnya semua pegawai negeri golongan F - 1 ke atas menjadi anggota partai, aktifitas PNI terpengaruh menjadi kendor. Ini memang harus diakui juga sebagai akibat satu kelemahan di bidang managemen organisasi partai.
Ditambah lagi dengan persoalan intern yang memperlemah posisi partai, yaitu beberapa tokoh tertentu dari PNI ikut dalam gerakan "Liga Demokrasi" bersarna dengan MASYUMI, PSI, IPKI dan Partai Kristen menentang pembubaran DPR hasil PEMILU 1955. Sikap ini tentu saja merugikan PNI ke dalam, karena partai sudah menentukan sikap tidak menolak pembentukan DPRGR sebagai pengganti DPR hasil PEMILU.
Liga Demokrasi dibubarkan oleh Pemerintah. Kemudian palam merumuskan manifesto Dasar-dasar Pokok Marhaenisme, timbul lagi kesulitan, kali ini dengan Bung Karno sebagai Bapak Marhaenisme. Rumusan pertama yang disusun oleh Sayuti Melik, ditolak oleh Bung Karno. Kemudian dibentuk panitia Perancang yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo (ketua umum PNI) dengan anggotaanggota intinya Roeslan Abdulgani, Sayuti Melik dan Osa Maliki. Memahami apa keberatan Bung Karno mengenai rumusan yang disusun oleh Sayuti Melik, maka panitia Ali memberikan konsesi identitas ke kiri dengan menyetujui dasar Marhaenisme ialah Pancasila, Demokrasi Terpimpin, Manipol (Manifesto Politik) dan Sosialisme Indonesia. Tapi Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia yang diinginkan oleh Bung Karno supaya masuk sebagai identitas Marhaenisme, tidak masuk dalam rumusan.
Yang keras menolaknya ialah Sayuti Melik dan Osa Maliki, sedang Ali Sastroamidjojo dan Roeslan Abdulgani bersedia memahami keinginan Bung Karno.
Rumusan tersebut kembali tidak disetujui oleh Bung Karno. Dalam pidatonya pada peringatan ulang tahun ke36 lahirnya PNI (7 Juli 1963) di Stadion Utama Senayan, Ali Sastroamidjojo menegaskan bahwa Marhaenisme adalah doktrin dan program perjuangan berdasarkan sosialisme ilmiah yang dikembangkan di Indonesia.81)
81) Ali Sastroamidjojo, Mari Terus Menunaikan Kewajiban Kita, hal. 18
Akhirmya dasar-dasar pokok Marhaenisme dirumuskan dalam sidang Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang pada bulan Nopember1964 yang dikenal sebagai "Deklarasi Marhaenis" dan diterima oleh Bung Karno, di mana ditegaskan antara lain:
Bahwa perjuangan untuk membela kaum Marhaen menentang musuh-musuhnya, yaitu kapitalisme, Nekolim dan feodealisme adalah suatu perjuangan yang paling terhormat, suci dan mulia.
Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalah alat bagi kaum Marhaen untuk memperjuangkan dan merealisasikan cita-citanya yaitu kemerdekaan penuh dan Dunia Baru.
Oleh karena itu setiap Marhaenis harus senantiasa membajakan diri dan mendidik dirinya di dalam teori dan praktek perjuangan rakyat untuk menjadi Marhaenis yang lebih baik lagi sebagai murid-murid yang terbaik dan terpercaya dari Bapak Marhaenisme Bung Karno.
Marhaenisme ajaran Bung Karno yang dicetuskan pada tahun 1927 bersamasn dengan berdirinya PNI yaitu sebagai hasil penarikan pelajaran yang tepat dari praktek perjuangan rakyat Indonesia dan rakyat-rakyat lainnya di muka bumi, yang ditindas dan dimelaratkan oleh sistim kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, merupakan senjata ampuh di tangan kaum Marhaen sebagai azas dan cara perjuangan serta memberikan semua landasan yang kokoh kuat, yang menjamin kemenangan kaum Marhaen dengan menggalang semoa kekuatan nasional.
Untuk mendatangkan kemenangannya kaum Marhaen, mereka harus diorganisir dalam satu barisan Front Marhaenis yang teratur, dinamis dan berdisiplin yang di dalam segala haloya menyelamatkan kaum Marhaen.
Disebutkan dalam Deklarasi, pada 1 Januari 1966 sampai dengan 31 Desember 1968 diselenggarakan kongres-kongres atau konperensi- konperensi di segala tingkat untuk melaksanakan retooling atas dasar penggeseran pimpinan partai ke tangan unsur-unsur yang membela kepentingan Marhaen.
Bisa dimengerti bahwa "Deklarasi Marhaenis" menjadi masalah besar, terutama bagi pimpinan yang merasa terancam akan digeser, karena tidak memenuhi syarat bagi menegakkan PNI/Front Marhaenis sebagai Partai Pelopor.
Menurut Dr. J. Eliseo Rocamora, para pemimpin konservatif PNI sangat sadar akan arti penerapan Deklarasi Marhaenis. Mereka berusaha sekuat tenaga menentangnya. PNI Jawa Tengah yang menjadi benteng kekuatan konservatif partai, menolak orientasi kegiatan partai harus sejalan dengan rencana kerja Deklarasi Marhaenis. Tapi perlawanan seperti itu, hanya mempercepat jatuhnya para pemimpin konservatif tersebut.82)
82) J. Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi, hal. 383
Perbedaan pendapat dalam tubuh PNI, sebetulnya bukanlah sesuatu yang perlu menjadi sensasi, jika saja hal itu dipahami sebagai kewajaran dalam sistim demokrasi. Tapi kalau perbedaan pendapat tidak lagi dapat dianggap sebagai kewajaran, maka sangat mudah dimanfaatkan oleh pihak ke tiga dan dimungkinkanlah terjadinya perubahan nilai.
Golongan oposisi dalam PNI mengundang pihak ke tiga untuk membantunya dan tanpa disadari justru pihak ke tiga inilah yang memetik keuntungan.
Dalam mengelola konflik intern partai, agaknya ke dua belah pihak yang berbeda pendapat, lalai mengantisipasi rekayasa dari luar yang sudah lama berusaha melemahkan PNI.
Itulah yang menyebabkan Kongres Pemersatuan di Bandung dari tanggal 24 sampai dengan 28 April 1966, terjerumus dalam kekusutan, tidak berhasil menemukan solusi yang tepat dan arif untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Kongres digiring untuk melakukan "balas dendam" dengan bantuan rekayasa pihak ke tiga. Akibatnya, kepemimpinan PNI hasil Kongres Pemersatuan, tidak bisa bersikap mandiri lagi, hanyut terbawa arus. Terbukti dalam PEMILU pertama yang diselenggarakan oleh Orde Baru (1971), PNI yang ikut sebagai kontestan, terhempas habis-habisan, hanya kebagian 8% suara. Sebagian besar massanya berpaling memilih tanda gambar lain yang bukan "Kepala Banteng Dalam Segitiga", mereka memilih GOLKAR, kontestan baru dengan tanda gambar "Beringin", yang berhasil mengumpulkan 64.5% suara.
Kepemimpinan PNI gaya baru, kehilangan pamor dan sekaligus menyebabkan:
1. Hancurnya PNI sebagai partai besar yang pernah menjadi simbol Nasionalisme Indonesia yang berjuang untuk demokrasi, anti kapitalisme, imperialisme dan feodalisme.
2. Ikut berperan menjatuhkan Bung Karno, Bapak Marhaenisme, dari tampuk kepemimpinan nasional.
Alangkah malang nasib PNI
Tapi penyesalan selalu datangnya terlambat. Bukankah Yudas Iskariot, murid Yesus yang mengkhianat, menebus penyesalannya dengan menggantung diri di pohon? Ia tewas bersama pengkhianatannya ....... Kongres Pemersatuan PNI yang ternyata tidak mempersatukan di Bandung akhir April 1966, disusul Nopember tahun itu juga dengan sidang Majelis Permusyawaratan Partai,yang tugas pokoknya mencabut " Deklarasi Marhaenis" rumusan Marhaenisme yang disahkan oleh sidang Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang, Nopember 1964. Rumusan itu dinyatakan sebagai penyelewengan, oleh karenanya harus dicabut. Deklarasi ini disetujui oleh Bung Karno, dan dianggap sebagai rumusan Marhaenisme yang benar, sesuai dengan pemikiran Bung Karno ketika menciptakan paham Marhaenisme. Sidang MPP PNI gaya baru, tidak memperdulikan rekomendasi dari Bung Karno dan tetap menganggap "Deklarasi Marhaenis" satu penyelewengan.
Sidang membuat rumusan baru yang menyatakan bahwa Marhaenisme sebagai ideologi dan paham politik, hanya mengandung tiga unsur:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Sosio-Nasionalisme 3. Sosio-Demokrasi.
lewat lembaga-lembaga Legislatip dan Eksekutip, di mana PNI dan Gerakan Massa Marhaen diwakili; Meningkatkan aktifitas-aktifitas di dalam masyarakat sebagai sumbangan yang kongkrit berupa amalan yang nyata dalam rangka mengadakan perbaikan-perbaikan di bidang-bidang termaksud di atas.
E. MENGENAI KERJA SAMA DENGAN KEKUATAN- KEKUATAN PANCASILA-IS LAINNYA.
1. PNI dengan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa penunaian tugas nasional yang berat sebagaimana digambarkan di atas, tidak dapat dilaksanakan sendirian oleh satu kekuatan sosial politik dan atau oleh pemerintah saja.
2. Berhubung dengan hal-hal termaksud di atas, maka PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya tidak akan berhenti-henti untuk berusaha bekerja sama dengan pemerintah beserta segenap aparaturnya, dengan segenap kehuatan sosial politik Pancasilais lainnya yang menunjuLkan itikad baik dan kesediaan untuk diajak bekerja sama dan memupuk partnership dengan ABRI.
F. BIDANG ORGANISASI
1. Di dalam usaha mengisi dan membina Orde Baru ini, maka PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya meyakini bahwa semua kekuatan sosial politik harus melaksanakan kristalisasi dan konsolidasi daiam tubuhnya masing-masing.
2. PNI dan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa dalam tubuh PNI dan Organisasi Massanya harus juga diadakan kristalisasi dan konsolidasi, agar supaya tubuh sehat, dewasa, militant dan trampil untuk dapat menunaikan tugas perjuangan yang berarti itu.
3. Konsolidasi dan kristalisasi yang dimaksud di atas meliputi:
a. Menghilangkan mental Orde Lama dan menumbuhkan serta mengembangkan mental Orde Baru dalam arti kata yang sebenar-benarnya.
b. Meningkatkan tenaga-tenaga pimpinan Partai/ Organisasi Massa PNI hingga terdiri dari pemimpinpemimpin yang memenuhi syarat- syarat dan mampu melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas.
c. Terus menerus mengadakan penyempurnaan di bidang Organisasi Partai/Organisasi Massanya.
d. Membersihkan diri dari unsur-unsur negatip di dalam tubuh PNI/Organisasi Partai/Organisasi Massanya, dan yang mengganggu pelaksanaan tugas suci sebagaimana digambarkan di atas.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi perjuangan kita sekalian.
Jakarta, 20 Desember 1967
Desember 1967 Pada bulan September 1966, Panitia Peneliti Ajaran Pemimpin Besar Revolusi yang dibentuk oleh MPRS, diketuai Osa Maliki, datang kepada Bung Karno. Ada Roelan Abdulgani, Sanusi Hardjadinata dan bersamaan itu kebetulan hadir juga Pak Harto dan Ibu Wachid Hasyim. Sebelum itu, Bung Karno baru saja mengatakan di depan pertemuan Angkatan 45, bahwa ia seorang Marxis. Oleh karena itu, dalam pertemuan ini, Ibu Wachid Hasyim minta: "mbok Bung Karno tidak usah menyatakan sebagai seorang Marxis, kami kan .tidak percaya kalau Bung Karno itu seorang Marxis"
Menurut cerita Osa Maliki, menjelang penyelenggaraan sidang MPP, pimpinan PNI menghadap ke Istana dan Bung Karno berpesan, hendaknya Deklarasi Marhaenis terus berlaku. Tapi kata Osa, DPP PNI tidak dapat menerimanya.
Namun Osa Maliki sebagai ketua umum PNI dalam ceramahnya yang berjudul "Marhaenisme berlawanan dengan Marxisme" yang dimuat dalam brosur "Keterangan Azas PNI" (1968), mengatakan bahwa Marxisme Bung Karno adalah Marxismenya Bung Karno sendiri, bukan Marxisme dari abad ke-19, bukan Dogmatic Marxis. Bung Karno adalah seorang Marxis Revisionis.
Sepanjang ingatan saya, memang Bung Karno berulang-kali mengatakan bahwa ia seorang Marxis Revisionis, karena menolak filsafatnya yang atheis (mengingkari Tuhan). Bung Karno menyetujui Marxisme mengenai hukum dialektikanya, yaitu metode berpikir dalam memecahkan soal-soal masyarakat.
Dalam uraiannya yang disampaikan di hadapan peserta kursus kaum ibu di Gedung Agung Yogyakarta pada tahun 1 946 (yang kemudian dibukukan menjadi "Sarinah")' Bung Karno sudah mengatakan - bahkan diulanginya dalam berbagai kesempatan -, bahwa dalam cita-cita politiknya, ia seorang nasionalis, dalam cita- cita sosialnya, ia seorang sosialis dan dalam cita-cita sukmanya, ia seorang theis yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Osa Maliki Sendiri mengakui bahwa Bung Karno sebagai seorang Marxis, menggunakan Marxisme untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme. Dengan hancurnya kedua sistim ini, akan menguntungkan dan memberikan kebahagiaan kepada kaum Marhaen.
Bung Karno menyesuaikan Marxisme dengan kondisi Indonesia. Meski pun Marx mengajarkan bahwa imperialisme dan kapitalisme harus dilawan oleh proletar, tapi Bung Karno berkata: Apakah di Indonesia hanya proletar saja yang ada dan berjuang?
Ajaran Marx dianalisa oleh Bung Karno dengan melihat sejarah bermacam-macam revolusi di dunia.
Revolusi Amerika ( 1776), bukan revolusi rakyat, tapi revolusi militer. Angkatan Perang Amerika dengan kekuatan senjatanya melawan kolonialisme Inggris.
Revolusi Perancis (1789), juga bukan revolusi rakyat, tapi revolusi kaum middenstand (golongan menengah) yaitu kaum borjuasi yang menggunakan kekuatan rakyat.
Revolusi India juga revolusi kaum middenstand atau revolusi swadesi yang tidak berhasil.
Revolusi Indonesia menurut analisa Bung Karno, bukan revolusi militer yang waktu itu tidak ada, bukan revolusi middenstand atau borjuasi, karena golongan ini di Indonesia sangat lemah. Yang ada ialah rakyat yang ditindas oleh penjajahan.
Tapi tanya Bung Karno: Rakyat itu siapa? Apakah proletar atau bukan? Akhirnya ia sampai kepada studi bahwa yakyat Indonesia sebagian terbesar bukan proletar. Memang ada proletarnya sedikit yang hidupnya dengan menjual tenaga kepada pemilik modal, tapi lebih banyak petani kecil yang memiliki alat-alat produksi seperti tanah yang sempit, punya pacul dan cangkul, tapi hidupnya melarat dan sengsara. Banyak lagi golongan masyarakat lainnya seperti kaum kromo yang mempunyai rumah gubuk dan alat-alat pertanian, tapi hidupnya melarat. Mereka itulah yang terlibat dan mendukung revolusi.
Golongan ini dinamakan oleh Bung Karno sebagai kaum Marhaen yang menjadi tulang punggung perjuangan nasional. Beda sekali dengan pengertian Marxisme yang menunjuk kepada proletar untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme. Mereka dirugikan oleh imperialisme dan dihisap oleh kapitalisme/feodalisme, tapi mereka bukan proletar.
Bung Karno menolak diktatur proletariat dan perjuangan klasnya, jadi bagaimana ia bisa dikatakan seorang Marxis.
Inilah alasannya mengapa banyak orang keberatan, terutama tokoh-tokoh PNI gaya baru, jika Bung Karno mengaku seorang Marxis. Artinya, Bung Karno tidak tepat mengaku seorang Marxis, karena beberapa prinsip Marxisme ditolaknya. Mereka tidak memahami bahwa pengakuan "seorang Marxis" yang digunakan oleh Bung Karno itu, digunakan dalam pengertian metafora, pengakuan politis untuk kebutuhan politik, bukan dalam arti hakiki. Bahkan Bung Karno mengakui, dia seorang Marxis Revisionis.
Padahal Amerika selalu berupaya membendung kegiatan politik Bung Karno, bukan semata-mata karena masalah "Marxis" atau "komunis", tapi terutama sekali karena Bung Karno tidak mau tunduk pada keinginan Amerika. Sampai sekarang pun Amerika tidak menolak bermesraan dengan komunis Cina dan Vietnam, karena kedua negara itu membuka pintu bagi penanaman modal Amerika dan pasarnya dibuka bagi pemasaran hasil industri Amerika.
PNI gaya baru yang menyesuaikan diri dengan trend politik baru di Indonesia, dengan sikap pragmatis yang kaku dan dirayu ilusi, merasa tertarik untuk menyatakan bahwa Bung Karno BUKAN BAPAK MARHAENISME, sehingga dengan demikian, Marhaenisme yang menjadi asas PNI, rumusannya bisa direvisi, disesuaikan dengan selera baru, dengan tidak perlu lagi memperhitungkan sikap Bung Karno.
Sejak 1927 ketika Marhaenisme pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno sampai 1965, paham ini diterima penuh dan tidak pernah diributkan. Setiap warga PNI dengan bangga meneriakkan: Marhaen Jaya dan Hidup Bung Karno Bapak Marhaenisme!
Setelah era Orde Baru, segalanya menjadi terbalik. Tokoh-tokoh PNI gaya baru, mengingkari Bapaknya, untuk sekedar mengharapkan "pengakuan".
Tapi malangnya, semua itu tidak menolong. Sebaliknya yang terjadi ialah keruntuhan total PNI, sebuah partai besar simbol nasionalisme Indonesia.
PNI tersungkur dalam posisi pimpinannya berkolaborasi dengan kekuatan yang justru hendak menghancurkannya.
Berikut ini Pernyataan Kebulatan Tekad pemimpinpemimpin PNI gaya baru yang ikut menggulingkan Presiden Sukarno. Akibatnya, setelah Bung Karno di gulingkan, di luar perhitungan pemimpin- pemimpin PNI,PNI sendiri yang dihancurkan.
PERNYATAAN KEBULATAN TEKAD DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI NASIONAL INDONESIA Beserta SEGENAP DPP/PRESIDIUM ORGANISASI MASSA P.N.I.
SETELAH menyadari sedalam-dalamnya bahwa:
1. Negara Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara hingga kini masih mendapatkan tantangan dan rongrongan baik dari sisa-sisa kekuatan G30S/PKI atau pun dari kekuatan-kekuatan anti Pancasila lainnya.
2. Keadaan politik, ekonomi - kebudayaan - keagamaan dalam masyarakat Indonesia masih jauh dari apa yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia.
KEMUDIAN dari pada itu, setelah meyakini, bahwa untuk menanggulangi masalah-masalah termaksud di atas, segenap potensi PNI - Organisasi Massanya:
berlandaskan azas partai yaitu Marhaenisme dengan tatsiran dan perumusan yang asli/murni dan bebas dari pengaruh- pengaruh Marxisme; yang terkonsolidasi dan telah mengalami Kristalisasi secara positip;
harus ditingkatkan perjuangannya untuk mengamankan dan mengamalkan Pancasila, untuk menyumbangkan amal dan dharma baktinya kepada negara, bangsa dan masyarakat Indonesia guna mensukseskan Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet Ampera bersama-sama dengan kekuatan Pancasilais lainnya dalam keadaan rukun dan damai dengan semangat gotong royong sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila.
Dengan menegaskan kembali pendirian dan sikap sebagaimana telah diputuskan oleh kongres Persatuan/Kesatuan PNI tanggal 24 - 28 April 1966 di Bandung, Keputusan Sidang M.P.P. ke I dan Sidang MPP ke 11 dan sekaligus MENYATAKAN KEBULATAN TEKAD, sebagai berikut:
A. BIDANG IDEOLOGI
1. Azas PNI adalah "MARHAENISME" yang rumusannya sebagaimana telah ditegaskan dalam Yudya Pratidina Marhaenis ialah: Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
2. Rumusan termaksud di atas, sebagaimana telah ditegaskan dalam "Yudya Pratidina Marhaenis" sebagai pengganti "Demokrasi Marhaenis" adalah rumusan dan tafsiran asli/murni sejak tabun 1927 dan sama sekali bebas dari pengaruh-pengaruh Marxisme.
3. Dengan azas Marhaenisme yang arti, sifat dan rumusannya sebagai dimaksud di atas itulah, maka PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya secara konsekoen akan melanjutkan perjuangan untuk menegakkan, mengamalkan dan melaksanakan Pancasila serta melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen dalam rangka mengisi dan membina Orde Baru.
B. BIDANG POLITIK
1. Dengan melempar jauhjauh mental Orde Lama, PNI dengan Organisasi Massa-nya bertekad bulat untuk mengisi dan membina Orde Baru, yang tidak bisa lain dari pada Orde Pancasila.
2. P.N.I. dengan segenap Organisasi Massa-nya bertekad bulat untuk bersama-sama dengan kekoatan Pancasilais lainnya - mengikis habis sisa-sisa G.30.S./PKI dan kekuatan-kekuatan lainnya yang hendak merongrong/ meniadakan Pancasila.
3. PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya berketetapan hati untuk melaksanakan Ketetapan MPRS No: XXXIII/MPRS/1967, secara konsekuen, halmana berarti tidak menghendaki kembalinya Dr. Ir. Soekarno dalam Kepemimpinan Negara/Pemerintah Nasional.
4. Mengingat hal-hal di atas, maka di dalam melaksanakan garis politiknya - PNI dan Organisasi Massanya sebagai Partai/Ormas bersikap bebas halmana berarti tidak terikat pada pola pemikiran politik Dr. Ir. Soekarno.
C. MENGENAI MASALAH DR. IR. SOEKARNO
1. PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya akan tetap menjauhkan diri dari sikap Kultus individu terhadap siapa pun juga termasuk ter- hadap Dr. Ir. Soekarno.
2. Sebagai konsekuensi dari pada pendirian termaksud di atas, dan untuk mencegah pen-salah tafsiran terhadap gelar "Bapak Marhaenisme" sebagaimana diputuskan oleh Sidang MPP ke II dari PNI pada tanggal 20 - 25 Juli 1967, maka gelar "Bapak Marhaenisme" ditiadakan.
D. BIDANG EKONOMI-SOSIAL-KEBUDAYAAN DAN KEAGAMAAN
Dengan berpedoman kepada Yudya Pratidina Marhaenis dan Bina Dharma (Program Partai), PNI dengan segenap Gerakan Massa Marhaen akan terus berjuang sekuat tenaga memberikan amal dan dharma bakti kepada negara, bangsa dan masyarakat dalam bentuk:
Konsepsi-konsepsi yang positip di bidang ekonomi-sosial- kebudayaan dan keagamaan, yang disalurkan
Sosio-Nasionalisme yang dianut, ialah nasionalisme kemasyarakatan yang menolak chauvinisme. Yang dikembangkan, ialah paham kebangsaan gotong-royong yang berdasarkan hidup kemasyarakatan dan berperikemanusiaan. Paham ini anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, menolak segala macam bentuk kapitalisme, termasuk kapitalisme negara.
Sosio-Demokrasi ditafsirkan sebagai demokrasi lengkap meliputi: demokrasi politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Demokrasi politik, mengakui hak setiap warganegara dan orang, hidup sama makmur, sama mengatur penghidupan dan kehidupan.
Demokrasi ekonomi, mengakui hak setiap warganegara dan orang secara luas dan baik, dalam bidang perekonomian.
Demokrasf sosial, mengakui hak setiap warganegara dan orang mendapat penghargaan yang sama sebagai makhluk sosial, mengakui hak setiap orang mencapai tingkat kemajuan dan kedudukan sosial, sesua! dengan bakat dan kemampunannya.
Demokrasi kebudayaan, mengakui hak setiap warganegara dan orang menikmati keindahan dan manfaat kebudayaan.
Ditegaskan oleh sidang MPP, bahwa tidak ada satu pun basic ideas Marxisme yang dianut oleh Marhaenisme, meski pun Bung Karno mengatakan: ada! Dalam hal ini Orde Baru yang anti PKI, lebih rasional dibandingkan PNI gaya baru, karena ORBA tidak mengingkari, eksistensi Marxisme sebagai ilmu yang diakui oleh ilmuwan secara global.
Ketua Umum PNI gaya baru, Osa Maliki, mengatakan dalam satu ceramahnya, baru pada tahun 1958 Bung Karno menjelaskan bahwa Marhaenisme adalah: het in Indonesia toegepaste Marxisme- Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia.
Sesudah Kongres Pemersatuan di Bandung, Osa Maliki dan beberapa tokoh PNI lainnya menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Osa Maliki berkata kepada Bung Karno dalam bahasa Jerman: "Im Marhaenisme leben wir und sterben wir allen?" Bung Karno menjawab: "Marhaenisme dalam arti Marxisme yang diterapkan di Indonesia".
Osa Maliki lalu mengatakan lagi: "Kami mengerti, tapi persoalannya bukan itu. Pancasila sekarang sedang terancam, Pancasila dalam bahaya".
Bung Kàrno lalu bertanya kepada yang lain, bagaimana pendapat mereka. Prof. Usep Ranumihardja (Sekjen) yang menjawab: "Bagi kami, Marhaenisme itu sesuai dengan apa yang pernah diterangkan oleh Bung Karno sendiri dalam satu kesempatan di Universitas Padjajaran Bandung, yaitu: Marxisme hanya sebagai metode berpikir saja. Bung Karno tidak membantah.
DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI NASIONAL INDONESIA
Ketua Umum, Sekretaris Jenderal II
(Osa Maliki) (I.G.N. Gde Djaksa)
DEWAN PIMPINAN PUSAT/PRESIDIUM ORGANISASI MASSA PNI
1. Kesatuan Buruh Marhaenis (K.B.M.)
Ketua, Sekretaris Jenderal, (Abdul Madjid) (Rasjid St. Radjamas)
2. Pesatuan Tani Nasional Indonesia (PETANI)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Sadjarwo S.H.) (Sunardjo)
3. Gerakan Wanita Marhaenis (G.W.N.)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Ny. A.S. Gani S.) (Ny. S. Abadi)
4. Gerakan Pemuda Marhaenis
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Daud Sembiring) (Hendrik Wangge)
5. Gerakan Sarjana Rakyat Indonesia (I.S.R.I.)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Ir. A. Sarbini) (A. Nasution S.H.)
6. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (G.M.N.I)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Soerjadi) (Budi Hardjono)
7. Gerakan Nelayan Marhaenis (G.N.M.)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(I.B.P. Manuaba) (Kusbara Bsc)
8. Gerakan Pendidik Marhaenis
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Karim M. Doerjat) (Ny: Samingatun K.)
9. Gerakan Siswa Nasional Indonesia (G.S.N.I.)
Ketua, Sekretaris Jenderal,
(Sopingi) (Sam Arajad)
JAWABAN SOEHARTO
Sehari kemudian, Pak Harto menjawab Pernyataan Kebulatan Tekad PNI sebagai berikut:
Jakarta, 21 Desember 1967
Kepada Yth. DEWAN PIMPINAN PUSAT P.N.I di Jakarta
Nomor: 6-57/PRES/12/1967 Sifat : PENTING/SEGERA Lampiran : Perihal : HAK HIDUP BAGI P.N.I.
Memperhatikan surat DPP PNI No. 587/DPP/ Pol/040/67 dan Pernyataan Kebulatan Tekad PNI tanggal 20 Desember 1967, perihal seperti pada pokok surat ini, dengan ini saya sampaikan hal-hal berikut:
1. Mengenai hak hidup dan perlindungan hukum bagi partai-partai politik pada dasarnya saya berpegang teguh pada jiwa ketetapan MPRS No.XXII dihubungkan dengan pasal 5 ketetapan MPRS No. XIX, hal ini berarti bahwa kehidupan kepartaian dewasa ini tetap dijamin berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang masih berlaku.
2. Dengan sendirinya partai politik harus berdasarkan diri pada keseluruhan jiwa, semangat dan ketentuan hasil sidang Umum ke IV dan sidang Istimewa MPRS, khususnya di bidang ideologi dan politik, secara kongkrit partai-partai politik harus:
a. Dibidang Ideologi: menerima, mempertahankan dan mengamalkan PANCASILA sebagai dasar falsafah negara secara murni dan konsekuen, sebaliknya tidak mendasarkan pandangan dan kegiatan secara langsung atau tidak pada Marxisme-Leninisme;
b. Dibidang politik: menerima dan mempertahankan Undang- Undang Dasar 1945, hal ini berarti menjunjung tinggi kehidupan konstitusionil dan melenyapkan segala bentuk kultus individu terhadap siapa pun juga:
3. Sangat disayangkan, bahwa dalam waktu-waktu yang lalu, PNI sebagai partai mau pun pemimpinpemimpinnya dan anggota- anggotanya telah melakukan tindakan-tindakan politik yang setidak- tidaknya bertentangan dengan jiwa, semangat dan ketentuan- ketentuan sidang Umum ke IV MPRS dan sidang istimewa MPRS itu, antara lain ialah:
a. Niat DPP PNI untak menyerahkan piagam kepada Dr. Ir. Soekarno sebagai "Bapak Marhaenis";
b. Anggota PNI di daerah-daerah masih ingin mempertahankan kepemimpinan Dr. Ir. Soekarno, halmana berarti berusaha mengembalikan Orde Lama dan menentang Orde Baru;
c. Terlibatnya anggota-anggota PNI dalam kegiatan-kegiatan gelap sisa-sisa G.30.S/PKI;
4. Disamping "Deklarasi Marhaenis" yang merumuskan Marhaenis sebagai Marxisme yang diteraphan dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi Indonesia dianggap oleh keknàtan-kehuatan Orde Baru sebagai pola pikiran yang membahayakan PANCASILA.
5. Hal-hal tersebut pada angka 3 dan 4 di atas mengakibatkan kecurigaan golongan-golongan lain terhadap PNI sehingga penguasa-penguasa di daerahdaerah terpaksa mengambil tindakan sementara terhadap PNI.
6. Secara keseluruhan dapat dinilai bahwa proses peng-Orba-an dalam tubuh PNI belum terlaksana. Dasar peng-Orba-an yang perlu dilakukan dan dibuktikan oleh PNI adalah:
a. Di bidang Idiologi: Di hilangkannya segala bentuk pola pikiran Marxis dari cara berpikir PNI;
b. Di bidang politik Di hentikan segala bentuk hubungan PNI dengan Dr. Ir. Soekarno; yang kesemuanya itu mutlak diperlukan untuk membuktikan kemauan dan maksud baik dari PNI, sebagai anggota keluarga- besar Orde Baru di satu pihak, dan di lain pihak, justru untuk menghilangkan kelemahan prinsipiil bagi PNI sendiri yang telah menimbulkan keraguraguan partner-partner Pancasilais lainnya.
7. Dengan telah dikeluarkannya Pernyataan Kebulatan Tekad DPP PNI beserta segenap DPP/Presidium Organisasi Massa PNI yang disampaikan kepada saya, maka saya menilai bahwa dilihat dari segi materinya PNI telah mampu meletakkan kembali landasanlandasan di bidang N deologi dan politik yang sesuai dengan semangat dan tekad Orde Baru seperti yang saya tunjukkan dalam angka 6 di atas.
8. Langkah-langkah nyata yang perlu segera dilakukan dan dibuktikan oleh PNI adalah melaksanakan dengan penuh kejujuran dan kesungguhan isi pernyataan Kebulatan Tekad tersebut sehingga meyakinkan kekuatan-kekuatan Orde Baru lainnya. Dengan adanya langkah itu maka penguasa-penguasa di daerah tidak perlu lagi mengambil tindakan yang dirasakan merugikan PNI dan Organisasi Massa PNI lainnya walau pun tindakan-tindakan itu telah terpaksa dan harus dilakukan untuk mengamankan perjuangan menegakkan Orde Baru.
9. Dengan adanya Pernyataan Kebulatan Tekad dan pengertian- pengertian tersebut pada angka 8 di atas, maka saya akan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memberi petunjuk- petunjuk kepada semua penguasa di daerah untuk membantu usaha usaha PNI dalam melakukan kristalisasi dan konsolidasi kekuatan Orde Baru dalam tubuhnya.
10.Demikianlah tanggapan saya terhadap surat DPP PNI tersebut di atas dan langkah-langkah yang perlu segera diwujudkan oleh PNI dan Organisasi-Organisasi Massa PNI, baik di tingkat pusat mau pun daerah, sehingga hak hidup dan perlindungan hukum bagi PNI dan Organisasi-Organisasi Massa PNI benar-benar dapat dijamin atas dasar-dasar yang kuat realistis dan menjamin keselamatan perjuangan menegakkan Orde Baru.
PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd SOEHARTO
JENDERAL - T.N.I
Tembusan:
1. Menteri Pertahanan/Keamanan; 2. Menteri Dalam Negeri 3. Jaksa Agung 4. Arsip


BAB Xl
CATATAN AKHIR:
SEBERKAS TEKA-TEKI
SEWAKTU hendak mengakhiri tulisan ini, kondisi di Indonesia kokoh bertahan pada penilaian tunggal mengenai "Gerakan 30 September 1965". Gerakan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab PKI, apalagi tokoh-tokohnya yang diadili, mengakui demikian.
Namun ironisnya, Sukarno, Presiden Republik Indonesia waktu itu, juga harus ikut bertanggungjawab, dituduh ikut terlibat gerakan yang hendak menjatuhkan kekuasaannya sendiri (coup d'etat). Sebuah logika aneh yang direkayasa.
Penilaian ini sudah baku dan tidak kunjung surut sampai seperempat abad lebih lamanya. Sampai-sampai K.H. Abdurrahman Wahid, ketua Umum Pengurus Besar NU, penerima Magsaysay Award 1993, menganggap sangat menyedihkan bahwa tregedi 1965 itu tidak pernah muncul dalam teater kita 83). Karena teater bisa mengungkapkannya secara utuh dan lebih transparan.
33) "Kompas" 21 Oktober 1993
Penilaian tunggal yang selalu dinyatakan dalam "paduan suara", menyebabkan dilupakannya pertanyaan mendasar: Mengapa akan terjadinya Gerakan 30 September 1965 sama sekali tidak sempat diantisipasi oleh Inteligen ABRI, sehingga tidak ada pula tindakan preventif untuk menangkalnya?
Kenyataan ini sangat rumit untuk dimengerti bisa terjadi dalam sistim Inteligen kita, karena persiapan gerakan, cukup transparan.
Statement terbuka anggota Politbiro CC PKI, Anwar Sanusi, sebelum kejadian, yang menyatakan bahwa ibukota sudah hamil tua dan paraji (bidan) sudah tersedia untuk menolong kelahiran bayi yang ditunggu-tunggu, seharusnya dapat dianalisis oleh Intel ABRI, apa yang tersirat di balik kata- kata itu, mengingat situasi politik sudah begitu panas.
Juga pidato ketua Politbiro CC PKI, D.N. Aidit pada penutupan kongres Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), sebuah organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi dengan PKI, 28 September 1965 di ISTORA Senayan, menganjurkan kepada CGMI yang menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), supaya membubarkannya sendiri saja, karena Pemerintah tidak mau melakukannya, seharusnya sudah diantisipasi sebagai satu tantangan terbuka.
Di samping itu, Mayor Jenderal Sugandhi yang pada waktu itu Kepala Penerangan HAN KAM, seperti pengakuannya sendiri kepada tim pemeriksa yang mengintrogasinya, juga sudah mengetahui akan terjadinya coup d'état, yang disampaikan oleh D.N. Aidit kepadanya 3 hari sebelum peristiwa. Dengan keterangan ini saja, sebetulnya G30S bisa dicegah sebelum meletus.
Sedang issue "Dewan Jenderal" hendak melakukan coup, sudah lebih lama didesas-desuskan di masyarakat, sehingga sudah harus dipertimbangkan apa tujuan desas-desus itu.
Semua ini merupakan petunjuk yang lebih dari cukup untuk menarik kesimpulan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi.
Atau apakah memang ada kesengajaan meloloskan terjadinya G30S, meski pun dengan mengorbankan 6 Jenderal, agar ada alasan yang kuat untuk menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno, seperti yang dikehendaki oleh Amerika?
Oleh karena itu, keterlibatan Amerika Serikat dalam penyusunan skenario ini, patut dipertimbangkan. Kegiatan Marshall Green, Duta Besar Amerika di Jakarta waktu itu, sangat mencurigakan. Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Asia Timur dan Pasifik (1964-1969), William P. Bundy dalam kata pengantarnya pada penerbitan buku karya Marshall Green, "Dari Sukarno ke Soeharto" menulis,..... "apa yang dilakukan oleh Pemerintah AS di Indonesia sejak pertengahan tahun 1965 hingga 1968, ialah pada dasarnya mengikuti nasehat Marshall Green mengenai pendekatan pokok dan beberapa hal lainnya tentang bagaimana melaksanakan pendekatan itu. Cerita itu dapat disebut keberhasilan suatu Misi yang membuat "Indonesia" menjadi kisah keberhasilan yang sejati".84)
84) Marshall Green, Dari Sukarno ke Soeharto, hal. 164
Pengakuan yang lain datang dari wartawan Amerika, Arnold G. Brackman. Ia menulis: "Apa yang terjadi di Indonesia pada hari- hari pertama yang menentukan dalam bulan Oktober 1965, mungkin yang paling mencolok dalam zaman ini di Asia sejak Mao bangkit berkuasa di daratan Cina pada 1949" 85).
85) Arnold G. Brackman, The Communist Collaps in Indonesia, hal. 1
Meski pun demikian, Marshall Green merasa perlu mengatakan bahwa AS tidak terlibat di Indonesia, hanya memperoleh manfaat besar dari hilangnya kekuatan komunis di negeri itu. Ia mengutip tulisan Lektor Kepala H. W. Brands dari Texas A & M University dalam Journal of American History (Desember 1989) bahwa Amerika Serikat tidak mendongkel Sukarno dan tidak bertanggungjawab terhadap ratusan ribu jiwa yang tewas dalam penumpasan PKI. Oleh karenanya, kata Green, "kita tidak punya alasan untuk meminta maaf karena masa lampau".
Sangkalan Marshall Green cukup berani, karena bukti-bukti yang diungkapkan dalam dokumen-dokumen yang dikutip dari Presiden Johnson Library yang sudah diumumkan di Amerika, justru mengungkapkan keterlibatan AS di Indonesia.
Bahkan menurut Russel H. Fifield dalam bukunya Southeast Asia in United States Policy (hal. 404-440), untuk menangkal perkembangan yang mengkhawatirkan di Indonesia, antara 1959- 1960 ahli-ahli strategi Amerika dan para Jenderalnya mengadakan 7 kali pertemuan. Council on Foreign Relations mendirikan apa yang dinamakan Study Group on Southeast Asia in U.S. Policy. Itulah rancangan awal berdirinya ASEAN yang disiapkan oleh Amerika, kemudian diresmikan pada bulan Agustus 1967 di Bangkok, di mana Indonesia masuk di dalamnya.
Korban penumpasan G30S/PKI, sangat besar. K.H. Abdurrahman Wahid, ketua umum PB NU ketika diwawancarai majalah Mingguan Berita "Editor", mengakui bahwa orang Islam membantai 500.0 eks PKI 86). Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh yang tidak masuk "Orang Islam". Maka angka 1 juta seperti yang diumumkan oleh Panitia Amnesti Internasional 87), bisa dimengerti.
86) Editor No.49/Tahun Vl/4 September 1993
87) Amnesty International, Getting Away With Murder Political killings and "disappearances" in the 1990s, Amnesty International Publications, London
Kata Abdurrahman Wahid dalam wawancara itu, meski pun sudah begitu besar korbannya, tidak ada sanak keluarga korban pembantaian yang masuk Islam. Malah mereka mencari keteduhan jiwa dalam dendam mereka kepada Islam, dengan masuk agama lain.
Namun sisi lain yang menjadi noda dalam sejarah, dikaitkannya G30S/PKI dengan Bung Karno. Ada kekuatan yang menganggap Bung Karno sebagai dalangnya. Dalam keadaan terdesak, Bung Karno menandatangani Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) yang terkenal itu. Tragisnya SUPERSEMAR itu juga yang menggiring Bung Karno ke keruntuhannya, setelah disulap menjadi Ketetapan MPRS No. IX/1966, berdasarkan konsep yang disusun oleh Prof. Dr. Ismail Suny, SH. MCL., Adnan Buyung Nasution, SH., Dahlan Ranuwihardjo, SH., dibantu oleh K.H. Achmad Syaichu dan Subhan Z.E. yang disambut hangat oleh Ketua MPRS, Jenderal A.H. Nasution.88) Dengan demikian, Surat Perintah itu tidak bisa dicabut lagi dengan segala implementasinya yang terus bergulir sesuai dengan kebutuhan dan bermuara pada keluarnya Ketetapan MPRS No.XXXIII/1968 yang menggulingkan Bung Kamo sebagai Presiden R.l.
88) Keterangan Prof. Dr. Ismail Suny, SH., MCL. kepada "Forum Keadilan", 11 Nopember 1993.
Padahal kenyataan menunjukkan bahwa yang menggagalkan gerakan lebih lanjut dari sayap militer G30S/PKI justru Bung Karno sendiri dengan dikeluarkannya Perintah Lisan sebagai Penglima Tertinggi kepada Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan militer G30S/PKI di Halim pada 1 Oktober 1965 pagi, supaya menghentikan semua operasi militer, pada saat G30S/PKI secara militer dalam posisi memegang inisiatif. Perintah Lisan Panglima Tertinggi ini mempunyai akibat langsung, di mana operasi militer G30S/PKI berhenti seketika. Senjata yang ada di tangan para militer yang berkekuatan 2 batalyon (unsur PKI), diperintahkan oleh AURI supaya dikumpulkan dalam gudang dan rnenghentikan semua gerakan militer. Rencana hendak menyerang KOSTRAD, langsung dibatalkan. Begitu juga rencana operasi militer lainnya. Dengan demikian, KOSTRAD dengan mulus dapat menghancurkan G30S/PKI tanpa menemui perlawanan.
Soepardjo sendiri begitu menerima Perintah Lisan dari Panglima Tertinggi, langsung memastikan bahwa Gerakan 30 September sudah kalah. Seorang saksi mata yang berada di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965 itu mengatakan bahwa D.N. Aidit yang berada di Sentral Komando G30S Halim begitu mendengar ada perintah supaya menghentikan operasi militer dan mencegah pertempuran, memberikan reaksi marah sekali. Laksamana Muda (Purn.) Wisnu Djayengminardo yang waktu itu komandan Pangkalan Udara Halim mengatakan bahwa ia mendengar sendiri ucapan Soepardjo yang dalam keputusasaannya mengatakan bahwa "kita sudah kalah", sambil duduk di atas ubin.
Fakta ini semua tidak pernah dipertimbangkan sewaktu mengambil keputusan menuding Bung Karno terlibat G30S/PKI.
Layaklah dalam peristiwa 30 September 1965 ini, tampil seberkas teka-teki. Setidaknya tiga pertanyaan besar memerlukan jawaban.
1. Mengapa Gerakan 30 September 1965 tidak bisa dicegah sebelum terjadi, padahal ada kesempatan? Petunjuk akan terjadinya gerakan itu, begitu transparan.
2. Mengapa Perintah Lisan Bung Karno untuk menghentikan semua Operasi Militer dan ditaati, tidak dipertimbangkan sebagai faktor utama yang menggagalkan G30S/PKI?
3. Mengapa SUPERSEMAR yang hendak ditarik kembali oleh Presiden Sukarno, secara mengejutkan disulap menjadi Ketetapan MPRS tanpa persetujuan pembuat Surat Perintah itu yang kemudian digunakan untuk menggulingkan Bung Karno sendiri? Tindakan menyulap itu terlalu jelas mengisyaratkan tujuan akhirnya: Menggulingkan Bung Karno.
Hanya sejarah yang darahnya mengalir di sekujur tubuh bangsa, itulah yang dapat menjawab dengan tepat, jika saatnya telah tiba.
Namun seperempat abad setelah wafatnya, terdaftar 9 juta peziarah mendatangi makam Bung Karno di Blitar, untuk mengenang dan mendo'akan yang terbaik baginya.
Wartawan Keith Loveard menulis dalam "Asia Week" 29 Juni 1994, ia heran dan sekaligus kagum, mengapa yang ditempelkan supir-supir taxi pada kaca mobil mereka bukan gambar Presiden Soeharto tapi gambar Bung Karno. Wartawan ini tidak memerlukan jawaban karena sepanjang perjalanannya menyusuri Indonesia sepanjang 5000 Km, ia menemukan hanya satu nama yang sinonim dengan Indonesia yaitu SUKARNO.
Demikianlah, usul mencabut TAP MPR No. XXXIII/1968 yang menggulingkan Presiden Sukarno dengan alasan yang diciptakan, nampaknya terlalu berat untuk dikabulkan, karena akibat ke-tata- negaraannya di khawatirkan menggoncangkan dan memalukan. Tapi berbagai tindakan resmi untuk memperlemah secara berangsur- angsur makna TAP MPR itu, mulai ditempuh, misalnya:
1. Pengakuan formal bahwa Bung Karno adalah Proklamator Kemerdekaan bersama Bung Hatta.
2. Presiden Soeharto meresmikan makam Bung Karno di Blitar pada 21 Juni 1979, sebagai Makam Pahlawan.
3. Merubah nama Bandar Udara Internasional "Cengkareng" menjadi "Bandar Udara Sukarno-Hatta".
Entahlah tindakan apa lagi selanjutnya yang akan diambil. Mungkin giliran " 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila" yang selama ini diingkari, akan diakui kembali.
Memang terlampau pahit untuk mengakui kesalahan.
Meski pun demikian, sejarah tidak pernah lalai mencatatnya.

No comments: