Saturday, 21 August 2010

Hukum-Hukum Revolusi Menurut Bung Karno.

Gambar Atas : Bung Karno ditengah-tengah rakyat Indonesia

Bung Karno menjelaskan pada rakyat tentang Hukum-Hukum Revolusi. Inilah pemimpin otentik, bukan jenis pemimpin yang nggak mutu dan senang curhat.

Apa hukum-hukum Revolusi itu? Hukum-hukum Revolusi itu, kecuali garis-besar romantika, dinamika, dialektika yang sudah kupaparkan tadi, pada pokoknya adalah :

Pertama, Revolusi mesti punya kawan dan punya lawan, dan kekuatan-kekuatan Revolusi harus tahu siapa lawan dan siapa kawan; maka harus ditarik garis pemisah yang terang dan harus diambil sikap yang tepat terhadap kawan dan terhadap lawan Revolusi;

Kedua, Revolusi yang benar-benar Revolusi bukanlah “revolusi istana” atau “revolusi pemimpin”, melainkan Revolusi Rakyat; oleh sebab itu, maka Revolusi tidak boleh “main atas” saja, tetapi harus dijalankan dari atas dan dari bawah;

Ketiga, Revolusi adalah simfoninya destruksi dan konstruksi, simfoninya penjebolan dan pembangunan, karena destruksi atau penjebolan saja tanpa konstruksi atau pembangunan adalah sama dengan anarki, dan sebaliknya; konstruksi atau pembangunan saja tanpa destruksi atau penjebolan berarti kompromi, reformisme;

Keempat, Revolusi selalu punya tahap-tahapnya; dalam hal Revolusi kita : tahap nasional-demokratis dan tahap Sosialis, tahap yang pertama meretas jalan buat yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu, tetapi sesudah rampung harus ditingkatkan kepada tahap yang kedua; - inilah dialektik Revolusi;

Kelima, Revolusi harus punya Program yang jelas dan tepat, seperti dalam Manipol kita merumuskan dengan jelas dan tepat : (A) Dasar/Tujuan dan Kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia; (B) Kekuatan-kekuatan Revolusi Indonesia; (C) Sifat Revolusi Indonesia; (D) Hari-depan Revolusi Indonesia dan (E) Musuh-musuh Revolusi Indonesia. Dan seluruh kebijaksanaan Revolusi harus setia kepada Program itu;

Keenam, Revolusi harus punya soko-guru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat, yang berpandangan jauh kemuka, yang konsekwen, yang sanggup melaksanakan tugas-tugas Revolusi sampai pada akhirnya, dan Revolusi juga harus punya kader-kadernya yang tepat pengertiannya dan tinggi semangatnya.

PIDATO BUNG KARNO (TAHUN “VIVERE PERICOLOSO”–17 Agustus 1964)

Malari 1974, Titik Balik Indonesia Paling Radikal


Gambar Atas : Kebakaran di Sekitar Senen 15 Januari 1974 dimana banyak kelompok Preman digunakan untuk memperkeruh keadaan, kekacauan di tengah kota inilah yang digunakan sebagai alasan penindasan terhadap kelompok Mahasiswa dan Intelektual Kritis. Untuk mengelabui penindasan ini kelompok Islam digunakan sebagai alat kamuflase pembersihan politik.

Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang ...dari sejumlah toko perhiasan.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan, suasana Kota Jakarta masih mencekam.

PERISTIWA Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.

Ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general).

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono “didubeskan”, diganti Yoga Sugama.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.

Selanjutnya, ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden”. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.

Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.

Malari sebagai wacana

Dalam buku Otobiografi Soeharto (terbit tahun 1989), kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung. Padahal, mengenai “petrus” (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang di situ.

Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak 1973. Yoga Sugama ada di New York saat kerusuhan 15 Januari 1974. Lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta, menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.

Menurut Yoga, ceramah dan demonstrasi di kampus-kampus mematangkan situasi, bermuara pada penentangan kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya, diskusi di UI Jakarta (13-16/8/1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”.

Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Dalam buku-buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Soemitro mengungkapkan, Ali Moertopo dan Soedjono Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru.

Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).

Sebaliknya, “dokumen Ramadi” mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus, “Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam “dokumen” itu tentu mengacu Jenderal Soemitro.

Keterangan Soemitro dan Ali Moertopo masing-masing berbeda, bahkan bertentangan. Mana yang benar, Soemitro atau Ali Moertopo?

Kita melihat pelaku kerusuhan di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan meninggal secara misterius dalam status tahanan.

Sebagian sejarah Orde Baru, termasuk peristiwa Malari 1974, memang masih gelap.

Bunda Teresa dan Alam Pikirannya.....

Bila engkau baik hati, bisa saja orang lain menuduhmu punya pamrih; tapi bagaimanapun, berbaik hatilah.

Bila engkau jujur dan terbuka, mungkin saja orang lain akan menipumu; tapi bagaimanapun, jujur dan terbukalah.

Bila engkau mendapat ketenangan dan kebahagiaan, mungkin saja orang lain jadi iri; tapi bagaimanapun, berbahagialah.

Bila engkau sukses, engkau akan mendapat beberapa teman palsu, dan beberapa sahabat sejati; tapi bagaimanapun, jadilah sukses.

Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun mungkin saja dihancurkan orang lain hanya dalam semalam; tapi bagaimanapun, bangunlah.

Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, mungkin saja besok sudah dilupakan orang; tapi bagaimanapun, berbuat baiklah. Bagaimanapun, berikan yang terbaik
dari dirimu.

Pada akhirnya, engkau akan tahu bahwa ini adalah urusan antara engkau dan Tuhanmu,
Bukan urusan antara engkau dan mereka.

Bauhaus dan Kita....


Di bidang musik Beatles adalah revolusionernya yang mengubah warna
musik dunia. Di bidang Arsitektur aliran Bauhaus mengubah secara
revolusioner bentuk arsitektur. Di Bandung banyak sekali bangunan
bergaya bauhaus.

Di Bandung banyak sekali bangunan bergaya Bauhaus, contoh yang paling ekstrim adalah bangunan Hotel Savoy Homann yang dibangun seturut bentuk jenjang-jenjang sawah di pegunungan. Lihat saja bentuk jajaran balkonnya mirip persawahan di Bali dan Jawa.

Apa itu Bauhaus :

Bauhaus, adalah sebuah aliran (gaya) arsitektur yang didirikan oleh Walter Gropius pada tahun 1919. Pelopor International Style dan mengenalkan konsep "form follows function", yaitu bentuk bangunan mengikuti fungsi yang ada pada bangunan tersebut. Bauhaus memiliki pengaruh besar terhadap arsitektur dunia.

Aliran Bauhaus juga dikenal dengan faham-fahamnya yang bersifat revolusioner dan universal.

Kelahiran Bauhaus didahului dengan terbentuknya Deutscher Werkbund pada 9 October 1907 di Munchen, Jerman yang digagas oleh dua arsitek,yaitu Theodor Fischer dan Hermann Mutheseus. Deutscher Werkbund merupakan nama kelompok diskusi yang terdiri dari seniman muda, arsitek muda , penulis muda, pengrajin muda, dan kelangan industri.
Pada awalnya,kelompok ini beranggotakan 12 seniman dan 12 pemilik industri dan dianggap kelompok kelas menengah waktu itu.

Tujuan didirikan kelompok ini untuk mencari solusi dalam meningkatkan kualitas produk-produk desain Jerman. Selan itu, diskusi ini juga mengarah pada usaha melepaskan diri dari idiom-idiom desain konservatif yang telah berkembang di daratan Eropa, termasuk Jerman selama berabad-abad. Karena hal itu, Deutscher Werkbund dikenal sebagai pionir Modernism dalam bidang arsitektur.

Deutscher Werkbund dikenal sebagai The International Style berkat Henry Russel Hitchcock dan Philip Johnson pada pameran Arsitektur Modern di The Museum of Modern Art-New York pada tahun 1932.

Deutscher Werkbund terpecah menjadi dua karena perbedaan ideologi, yaitu :
1. Typisierung yang dipimpin oleh Peter Behrens dan Mutheseus
2. Kunstwollen yang dipimpin oleh Henry van de Velde, Hugo Hearing, Hans Poelzig, Walter Gropius dan Bruno Taut.

Walter Gropius kelak mendirikan Bauhaus di kota Wiemar (yang merupakan kota Acropolis (negara kota) berbentuk republik yang baru saja berdiri) di Jerman pada tahun 1919.

Peran Bauhaus dalam Desain

Bauhaus berasal dari kata Bauen yang artinya to built dan Haus yang artinya house. Bauhaus merupakan seolah yang didirikan oleh Walter Gropius Pada awalnya, Bauhaus ini merupakan pengembangan pendidikan seni dan kerajinan yang dikelola oleh Henry van de Velde yang menekankan praktek ketrampilan di berbagai industri.

Menjelang Perang Dunia pertama, 1914, Henry van de Velde (tokoh Art Nouveau) yang mempimpin sekolah seni dan kerajinan Weimar, mengundurkan diri dan kembali ke negara asalnya-Belgia. Hal ini disebabkan karena sikap radikal warga Jerman terhadap warga asing. Selama perang dunia, sekolah ini ditutup. Warga Jerman yang pada awalnya menyambut gembira perang dunia pertama, pada akhirnya muncul keraguan dan sikap anti perang mulai bermunculan, yaitu pada tahun 1916 dan 1917. Para seniman dan arsitek menerbitkan manifesto dan petisi anti perang.

Pada tahun 1971 Walter Gropius,seorang arsitek menyatakan bahwa para intelektual harus melakukan perpindahan atau pergantian front, dari medan pertempuran fisik menuju medan pertempuran budaya. Ia menganggap sistem Werkbund Jerman ketinggalan zaman sehingga perlu reformasi pendidikan seni rupa. Saat perang usai, Walter mengirimkan proposal sebuah perombakan pendidikan dan sekolah seni rupa yang disetujui oleh pemerintah pada saat itu. Bauhaus berdiri saat Jerman masih mengalami keresahan sosial ekonomi akibat perang dunia pertama.

1919,Walter ditunjuk sebagai direktur sekolah yang baru didirikan, yaitu : ” Staatliches Bauhaus-Weimar “

Tujuan dari sekolah ini, yaitu seniman dan kriyawan bekerja sama untuk menciptakan bangunan masa depan.

Bruno Taut adalah seorang yang sangat berpengaruh pada Gropius. Ia yang mengajak pertama kali membangun rumah untuk rakyat dan meminta keterlibatan setiap cabang seni dalam arsitektur.

Dalam manifesto, Gropius menulis, ” Mari kita bersama-sama menciptakan bangunan masa depan, di mana segala sesuatunya menyatu dalam sebuah bentuk, arsitektur, patung , dan lukisan.” (Droste,1990 :18)

Perkembangan dan perhatian Gropius terhadap modernisme dan indutrialisasi tampak dari perubahan motto sekolah Bauhaus dari ” A unity of art and hadicraft “ menjadi ” Art and Technology, a new unity “. Romantisme dan ekspresionisme digantikan oleh desain terapan yang sangat rasional dan dapat diproduksi secara massal menggunakan mesin.

Pada dasarnya, Bauhaus berupaya meningkatkan mutu desain di era industri.

Karya seni lukis Bauhaus kebanyakan berbentuk kubisme dan ekspresionisme yang merupakan pengaruh dari pelukis modern Rusia bergaya konstruktivisme.

Revolusi desain oleh Bauhaus berintikan penolakan secara formal terhadap sejarah seni yang disebut anti historism padam asyarakat yang sangat konservatif antitesis dari lembaga yang sama di Paris,Prancis,Ecole des Beaux Arts yang mengutamakan pendidikan sejarah seni dan hal inilah yang memberi pengaruh sangat besar terhadap perkembangan desain dan industri di dunia sampi saat ini.

Sekolah Bauhaus

Sekolah Bauhaus berdiri pada tahun 1919,di mana sekolah ini merupakan penggabungan dari 2 sekolah seni, yaitu Kunstgewerbeschule (Grand Ducal Saxon School of Art and Crafts) dan Hochschule fuer Bildendekunst ( Grand Ducal Saxon Academy of Fine Arts).

Misi Bauhaus adalah mengajarkan pendidikan arsitektur ,seni,desain dan creft sebagai sebuah kesatuan bersama teknologi.

Dengan sistem pendidikan Bauhaus pada awalnya menyerupai sistem yang terdapat pada kuil-kuil Budha Shaolin dengan tema sentralnya di bidang desain.

Para mahasiswa diberi pendidikan desain dengan metoda kerja praktek yang di selingi ritual latihan pernafasan, latihan disik, meditasi dan begetarian serta memanfaatkan bengkel praktek dan kantin sebagai pusat interaksi sosial antar warga Bauhaus, terutama antara master dan murid.

Sistem pengajaran ini diperkenalkan oleh Johannes Itten.

Pada tahun 1925, Bauhaus pindah ke Dessau dengan identitas yang lebih jelas sebagai Institute of Design, dengan pengajarnya Joseph Albers, Marcel Breuer dan Gunta Stolzl. Antara tahun 1928- 1930 ,dibawah pengelolaan Meyer, desain-desain yang dihasilkan Bauhaus mencapai sukses secara komersial.

Namun pada bulan April 1933, Bauhaus ditutup oleh pemerintah Nazi Jerman . Sebagian staf pengajar dan pengelolanya pindah ke Amerika dan thun 1937, Moholy Nagy membangun New Bauhaus di Chicago, sedangkan Gropius menjadi guru besar arsitektur di Universitas Harvard.

Dalam perkembangan sejarah sekolah Bauhaus di bagi menjadi 2 periode ,yaitu Periode Weimar ,1919-1924 dan Periode Dessau , 1925-1932.

Perpindahan sekolah Bauhaus ke Weimar disebabkan tekanan politis dari pemerintah Weimar yang menganggap Bauhaus dengan prinsip universalisme nya tidak punya rasa nasionalisme.

Secara singkat,dapat disebutkan beberapa prinsip yang berlaku dalam pengajaran Bauhaus :

- dipengaruhi seni ekspresionisme

- menggunakan garis Bauhutte

- menggabungkan seniman dan kriyawan

- pendekatan rasionalisme dan desain untuk mesin

Bauhaus memiliki cita-cita utopia membangun masyarakat spiritual baru. Bengkel kaca patri, kayu dan metal diajarkan oleh para seniman dan kriyawan, menggunakan metode kerja dari Bauhutte: master (guru) – journeyman (pengembara) – apprentice (murid magang).

Para pe-desain yang pernah menjadi Direktur Bauhaus :

- Walter Gropius ( memimpin hingga 1928)

- Johannes Itten

- L.Mies Van der Rohe (1886-1969)

Van der Rohe adalah seorang arsitek terkemuka yang menjadi direktur terakhir. Terkenal dengan ungkapannya ” Less is more “ Ide-ide baru diajarkan ketika Paul Klee dan Vassilly Kandinsky mengajar di Bauhaus tahun 1920 dan 1922. Klee menggabungkan seni rupa modern dengan seni primitif dan gambar anak dalam menciptakan gambar dna lukisan yang memperngaruhi komunikasi visual. Menurut Kandinsky, warna dan bentuk memiliki nilai-nilai spiritual dan makna tersendiri.

Rabindranath Tagore, Manusia Berpikiran Raksasa dari India

Gambar Atas : Rabindranath Tagore dan Pengaruhnya dalam Peradaban Pemikiran dunia (Polemik antara Pane dan Sutan Takdir berkisar pada pertarungan antara Tagore dengan Filsafat Praksis John Dewey ala Amerika Serikat).

Rabindranath Tagore (bahasa Bengali: Rabindranath Thakur; lahir di Jorasanko, Kolkata, India, 7 Mei 1861 – wafat 7 Agustus 1941 pada umur 80 tahun) juga dikenal dengan nama Gurudev, adalah seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali. Ia terlahir dalam keluarga Brahmana Bengali, yaitu Brahmana yang tinggal di wilayah Bengali, daerah di anakbenua India antara India dan Bangladesh. Tagore merupakan orang Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra (1913).

Tagore mulai menulis puisi sejak usia delapan tahun, ia menggunakan nama samaran “Bhanushingho” (Singa Matahari) untuk penerbitan karya puisinya yang pertama pada tahun 1877, dan menulis cerita pendek pertamanya pada usia enam belas tahun. Ia mengenyam pendidikan dasar di rumah (Home Schooling), dan tinggal di Shilaidaha, serta sering melakukan perjalanan panjang yang menjadikan ia seorang yang pragmatis dan tidak suka/patuh pada norma sosial dan adat. Rasa kecewa kepada British Raj membuat Tagore memberikan dukungan pada Gerakan Kemerdekaan India dan berteman dengan Mahatma Gandhi. Dan juga dikarenakan rasa kehilangan hampir segenap keluarganya, serta kurangnya penghargaan dari Benggala atas karya besarnya, Universitas Visva-Bharati.

Beberapa karya besarnya antara lain Gitanjali (Song Offerings), Gora (Fair-Faced), dan Ghare-Baire (The Home and the World), serta karya puisi, cerita pendek dan novel dikenal dan dikagumi dunia luas. Ia juga seorang reformis kebudayaan dan polymath yang memodernisasikan seni budaya di Benggala. Dua buah lagu dari aliran Rabindrasangeet (sebuah aliran lagu yang ia ciptakan) kini menjadi lagu kebangsaan Bangladesh (Amar Shonar Bangla) dan India (Jana Maha Gana).

MASA-MASA AWAL (1861 - 1901)

Tagore memiliki nama kecil "Rabi", lahir di Jasanko Mansion, adalah putra dari Debendranath Tagore dan Sarada Devi, anak bungsu dari empat belas bersaudara. Setelah menjalani upacara Upanayanam di usia sebelas tahun, (suatu prosesi upacara yang menandai bagi seorang anak laki-laki untuk memasuki masa Brahmacari, masa menuntut ilmu.) Tagore bersama ayahnya meninggalkan Kolkata pada tanggal 14 Februari 1873 untuk melakukan perjalanan panjang di India selama beberapa bulan, mengunjungi Shantiniketan dan Amritsar sebelum mencapai Dalhousie, sebuah bukit peristirahatan di kaki Himalaya. Di sini, Tagore belajar sejarah, ilmu perbintangan (astronomi), ilmu pengetahuan modern dan Bahasa Sansekerta dan mempelajari serta mendalami karya sastra klasik dari Kālidāsa. Pada 1877, ia menjadi orang terkemuka ketika menghasilkan beberapa karya, termasuk puisi panjang dalam gaya Maithili, yang dirintis oleh Vidyapati. Sebagai sekedar lelucon, ia menyatakan bahwa ini merupakan karya yang hilang dari Bhānusimha, sebuah sastra dari aliran Vaishnava. Ia juga menulis "Bhikharini" (1877; "Wanita Pengemis" — cerita pendek pertama dalam Bahasa Bengali) dan juga “Sandya Sangit” (1882) — termasuk di dalamnya puisi yang sangat terkenal "Nirjharer Swapnabhanga" (The Rousing of the Waterfall).

Karena ingin menjadi seorang pengacara, Tagore mendaftar di sekolah umum di kota Brighton, Inggris pada tahun 1878; kemudian melanjutkan di University College London, tapi pada tahun 1880 ia kembali ke Bengali tanpa gelar sarjana, dikarenakan ayahnya telah menjodohkan ia dengan seorang gadis, bernama Mrinalini Devi, yang kemudian dinikahi pada 9 Desember 1883; mereka memiliki lima orang anak, empat di antaranya meninggal sebelum menginjak usia dewasa. Pada tahun 1890, Tagore mulai mengelola usaha keluarganya di Shelidah, sebuah wilayah yang sekarang masuk bagian negara Bangladesh. Dikenal sebagai "Zamindar Babu" Tagore melakukan perjalanan melintasi perkebunan yang sangat luas, untuk mengumpulkan uang sewa, serta memberi berkat pada para penduduk desa. Dalam periode ini, periode Sadhana (1891 — 1895, diambil dari salah satu majalah yang diterbitkannya) ia berada dalam masa-masa yang sangat produktif, di mana lebih dari setengah dari tiga volume dan delapan puluh empat karya "Galpaguchchha" ditulis. Dengan gaya ironi dan emosional yang kental, ia menggambarkan kehidupan di Benggala, kebanyakan adalah kehidupan di pedesaan.

SHANTINIKETAN (1901—1932)

Pada tahun 1901, Tagore meninggalkan Shelidah dan pindah ke Shantiniketan (Benggala Barat) tinggal di Ashram yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1863, di sini mendirikan sebuah sekolah percobaan, sekolah di ruang terbuka, dengan pohon rindang, taman yang indah dan perpustakaan. Dan di sini pula, istri ia serta dua orang anaknya meninggal. Ayah ia juga meninggal pada 19 Januari 1905. Setelah kepergian ayahnya, ia mulai menerima pendapatan bulanan sebagai bagian dari warisan orang tuanya; ia juga menerima pendapatan dari Maharaja Tripura, hasil dari penjualan perhiasan keluarga, dari rumah sewa di daerah Puri serta hak royalti atas karya-karyanya. Melalui karya-karya ia memiliki banyak pengikut baik masyarakat Bengali, maupun pembaca di luar, dan ia mempublikasikan beberapa karya seperti "Naivedya" (1901) dan "Kheya" (1906) dan karya-karya puisi ia digubah menjadi puisi bebas, yang tidak lagi mengikuti pakem dan irama, tanpa menghilangkan ciri sebagai sebuah karya puisi. Pada tanggal 14 November 1913 Tagore memenangkan Penghargaan Nobel di Bidang Sastra. Menurut pihak Akademi Swedia sebagai penyelenggara, Tagore memenangkan Penghargaan Nobel berkat idealisme dalam berkarya dan karya-karyanya yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris mudah diterima bagi pembaca di barat, termasuk diantaranya adalah: Gitanjali: Song Offerings (1912). Sebagai tambahan, Kerajaan Inggris menawarkan gelar kebangsawanan pada tahun 1915; yang diterimanya, namun belakangan dilepaskan sebagai bentuk protes terhadap pembantaian massal di Amritsar, di mana tentara kolonial melakukan penembakan terhadap rakyat sipil tanpa senjata, membunuh sekitar 379 orang.

Pada 1921, Tagore bersama Leonard Elmhirst, seorang pakar ekonomi pertanian, mendirikan sekolah yang belakangan diberi nama Shriniketan di Surul, sebuah kampung dekat Asrama di Shantiniketan. Melalui ini ia sendiri bermaksud menyediakan tempat alternatif, bagi gerakan Swaraj, yang digalang Mahatma Gandhi yang mana sebelumnya gerakan ini sempat ia kritik. Ia merekrut para sarjana, penyumbang dana serta pekerja dari berbagai negara untuk menjalankan sekolah ini. Membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan dengan cara memperkuat diri di sektor pendidikan. Pada tahun 1930an ia juga memberikan perhatian lebih terhadap kaum Dalit (kelompok kasta rendahan).

MASA SENJA (1932—1941)

Dalam dasawarsanya yang terakhir, Tagore tetap mendapat sorotan publik, secara terbuka mengkritik Gandhi karena mengatakan bahwa gempa bumi yang hebat pada 15 Januari 1934 di Bihar merupakan pembalasan ilahi karena menindas kaum Dalit. Ia juga meratapi kemerosotan sosial-ekonomi yang mulai terjadi di Bengali dan kemiskinan yang merajalelal di Kolkata. Ia mengungkapkannya secara terinci dalam sebuah puisi tak berirama seratus baris dengan teknik visi ganda yang kering kelak digunakan oleh Satyajit Ray dalam filmnya Apur Sansar. Tagore juga menyusun 15 jilid tulisan, termasuk karya-karya prosa liris Punashcha (1932), Shes Saptak (1935), dan Patraput (1936). Ia terus bereksperimen denagn mengembangkna lagu-lagu prosa dan sendratari, termasuk Chitrangada (1914), Shyama (1939), dan Chandalika (1938), dan menulis novel-novel Dui Bon (1933), Malancha (1934), dan Char Adhyay (1934). Tagore mengembangkan minatnya terhadap sains dalam tahun-tahun terakhirnya, dan menulis Visva-Parichay (kumpulan esai) pada 1937. Ia menjelajahi biologi, fisika, dan astronomi; sementara itu, puisinya — yang mengandung naturalisme yang luas — menggarisbawahi rasa hormatnya terhadap hukum-hukum ilmiah. Ia juga menjalin proses sains (termasuk naratif para ilmuwan) ke dalam banyak cerita yang terkandung dalam buku-buku seperti Se (1937), Tin Sangi (1940), dan Galpasalpa (1941).

SEBUAH PETUALANGAN

Tagore memiliki jiwa petualangan yang sangat besar. Antara tahun 1878 dan 1932, ia mengunjungi lebih dari tigapuluh negara di lima benua, perjalanan ini sangat penting artinya dalam mengenalkan karya-karyanya, serta memapa...rkan ide-ide politiknya kepada kalangan non-Bengali. Sebagai contoh, pada tahun 1912, ia mengirimkan karya-karya yang telah diterjemahkan ke Inggris, yang mengesankan para misionaris, dan anak didik Gandhi; Charles F. Andrews, William Butler Yeats; seorang sastrawan dari Irlandia, Ezra Pound, Robert Bridges, Ernest Rhys, Thomas Sturge Moore, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dan kemudian, Yeats menulis kata pengantar untuk Gitanjali yang diterjemahkan dalam bahasa inggris, sementara Andrews bergabung dengan Tagore di Santiniketan. Pada 10 November 1912, Tagore melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dan Inggris Raya, tinggal di Butterton, Staffordshire. Dari tanggal 3 Mei 1916 sampai April 1917, Tagore ceramah dan kuliah keliling Jepang dan Amerika Serikat. Ia juga menulis esai "Nasionalisme di India", yang menerima kritikan dan juga menuai pujian, (termasuk para pasifis termasuk dari Romain Rolland). Setelah kembali ke India, Tagore, 63 tahun, mengunjungi Peru atas undangan pemerintahan Peru Tagore, dan dilanjutkan dengan mengunjungi Meksiko setelahnya. Kedua negara mengucurkan sumbangan senilai $100,000 bagi sekolah Shantiniketan (Visva-Bharati) sebagai penghargaan atas kunjungaannya ke kedua negara tersebut. Setelah itu, ia mengadakan kunjungan ke Buenos Aires, Argentina pada 6 November 1924, dan tinggal di Villa Miralrío dan menjadi tamu dari Victoria Ocampo; seorang intelektual dari Argentina. Selanjutnya ia pulang ke Bengali pada Januari 1925. Pada 30 Mei 1926, Tagore menginjakkan kakinya di Napoli, Italia; ia bertemu dengan diktator berkuasa Benito Mussolini di Roma pada hari berikutnya. Pada awalnya mereka memiliki hubungan yang hangat, dan berakhir saat Tagore dengan terang-terangan berbicara menentang Mussolini pada 20 Juli 1926.

Pada 14 Juli 1927, Tagore beserta dua sahabatnya berangkat menuju Asia Tenggara selama empat bulan — mengunjungi Bali, Jawa, Kuala Lumpur, Malaka, Penang, Siam dan Singapura. Catatan perjalanan ini terkumpul dalam karya yang berjudul "Jatri". Pada awal 1936, ia meninggalkan Bengala untuk sebuah perjalanan panjang menuju Eropa dan Amerika Serikat. Dalam kunjungan kembali ke Inggris, dimana saat itu lukisannya sedang dipamerkan di London dan Paris, ia tinggal di Birmingham. Di sana ia menulis materi kuliah untuk kelas yang dikenal sebagai "Kuliah Hibbert" di Universitas Oxford dan menjadi pembicara di pertemuan tahunan Perkumpulan Kristen London. Disini, (dialamatkan pada hubungan antara Inggris dengan India, sebuah topik yang ia terus perjuangkan dan pertahankan selama lebih dari dua tahun kedepan) ia berbicara mengenai "dark chasm of aloofness". Kemudian ia mengunjungi Aga Khan III, tinggal di Dartington Hall, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Denmark, Swiss, dan Jerman dari bulan Juni hingga pertengahan September 1930, lalu berlanjut hingga Uni Soviet. Terakhir, pada bulan April 1932, Tagore — yang sebelumnya telah mengenal mistikus Persia terkenal, Hafez — diundang secara pribadi sebagai tamu kehormatan Shah Reza Pahlevi untuk mengunjungi Iran. Sebagaimana seorang petualang, Tagore bisa bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang orang penting dan kenamaan, termasuk di antaranya Henri Bergson, Albert Einstein, Robert Frost, Thomas Mann, George Bernard Shaw, H.G. Wells and Romain Rolland. Perjalanan terakhir Tagore tersiar dengan luas, termasuk saat mengunjungi Persia, Irak (di tahun 1932) dan Sri Lanka pada tahun 1933, menajamkan opini-opininya berkenaan dengan nasionalisme dan kemanusian.

KARYA SANG MAESTRO

Reputasi Tagore di dunia sastra sangat menonjol terutama pada karya-karya puisinya, meskipun ia juga menulis novel, esai, cerita pendek, catatan perjalanan, cerita drama, dan ribuan lagu. Mengenai karya-karya prosa yang dihasilkan, cerita pendek adalah yang paling mendapatkan perhatian; tentu saja, ia tercatat sebagai orang yang merintis karya cerita pendek dalam Bahasa Bengali. Karya-karyanya sering menjadi perhatian karena irama yang unik, lirik-lirik yang mengandung pujian bagi alam semesta, serta lirik-lirik yang bernada optimis. Dan juga, banyak dari cerita yang ditulisnya diambil dari kehidupan sehari-hari yang sederhana — kehidupan manusia biasa.

NOVEL DAN NON FIKSI

Tagore menulis delapan novel dan empat novela, termasuk Chaturanga, Shesher Kobita, Char Odhay dan Noukadubi. Ghare Baire (The Home and the World) — melalui kacamata Nikhil seorang zamindar idealis — bercerita tentang kebangkitan nasionalisme di India, terorisme dan semangat keagamaan dalam gerakan Swadeshi; sebuah ungkapan jujur dari seorang Tagore atas apa yang berkecamuk dalam hatinya. Dan tentu saja, karya novel ini ditutup dengan kesuraman, pertentangan dan kekerasan antara sektarian Hindu-Islam, dan Nikhil terluka parah. Gora mengambil tema yang sama, yang akhirnya menjadi sebuah kontroversi berkenaan dengan "Identitas India". Sebagaimana hal-nya dengan Ghare Baire, permasalahan tentang identitas diri (Jāti), kebebasan pribadi dan agama dikemas dalam sebuah cerita keluarga dengan bumbu cinta segitiga. Karya lain yang tak kalah hebatnya adalah Yogayog (Nexus), dimana Kumudini sang pahlawan wanita terkoyak diantara konflik dalam diri maupun dari luar. Disini Tagore mencoba mencurahkan sisi feminin dalam dirinya, melalui kesedihan ia menggambarkan kesengsaraan dan kematian seorang wanita bengali yang terperangkap dalam kehamilan, kewajiban sebagai wanita serta kehormatan wanita; secara simultan ia mengungkapkan penolakan atas sistem oligarki di tanah Bengala.

Karya-karya novel yang lainnya, menggambarkan suasana yang lebih menggembirakan: Shesher Kobita (diterjemahkan dua kali — Puisi Terakhir dan Lagu Perpisahan) banyak mengandung puisi dan rangkaian irama yang ditulis oleh karakter utamanya. Juga mengandung elemen satir — sindiran — bergaya post-modern yang kontroversial, dimana karakter pembantu dengan senang hati menyerang nilai-nilai lama, ketinggalan zaman, yang secara kebetulan, atas nama Rabindranath Tagore. Walaupun karya novel-nya adalah karya yang paling sedikit mendapat apresiasi diantara karya yang lainnya pada masa itu, pada masa kini malah mendapat perhatian untuk diangkat dan diadaptasi ke dalam karya film, oleh para sutradara seperti: Satyajit Ray. Diantara karya novel yang diangkat ke film, adalah Choker Bali dan Ghare Baire; banyak soundtrack yang dipakai dari film ini merupakan lagu-lagu yang diciptakan olehnya yang juga menciptakan aliran dalam berlagu yang dikenal dengan: rabindrasangit. Tagore juga banyak menghasilkan karya-karya non-fiksi, yang dalam penulisannya banyak mengambil topik dari Sejarah India hingga ilmu bahasa (Linguistik), dan juga termasuk karya otobiografi, catatan perjalanan, esai dan materi kuliah dan ceramah di berbagai belahan dunia yang kumpulkan dalam beberapa bagian, ikut didalamnya adalah Iurop Jatrir Patro (Surat dari Eropa) dan Manusher Dhormo (Agama Manusia).

MUSIK DAN SENI RUPA

Tagore juga seorang musisi dan pelukis yang berbakat, yang telah mencipta dan menulis sekitar 2.230 lagu. Termasuk diantaranya rabindrasangit (Inggris: "Tagore Song"), yang mana kini telah menjadi bagian dalam kebudayaaan bangsa Bengali. Karya-karya musik Tagore, tidak dapat dipisahkan begitu saja dari karya sastranya, kebanyakan dari karya sastra tersebut menjadi lirik untuk lagu ciptaannya. Utamanya terpengaruh oleh gaya thumri, musik klasik dari Hindustani, mereka memainkan seluruh tangga nada dari emosi jiwa manusia, dimulai dari lagu-lagu pujian yang bergaya Brahmo, hingga komposisi yang bergaya erotis. Karya musiknya mengemulasi gaya warna musik klasik india, raga; dimana pada saat yang bersamaan, lagu-lagunya cenderung menirukan melodi dan irama raga secara tepat, dia juga memasukkan berbagai unsur 'musik raga' dalam karya musiknya dalam mencipta karyanya.

CERITA PENDEK

Karya Nandalall Bose yang merupakan ilustrasi dari karya cerpen Tagore yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris berjudul "The Hero", diterbitkan pada 1913 oleh Macmillan.
Masa empat tahun dari 1891 hingga 1895, dikenal s...ebagai periode "Sadhana" (salah satu nama majalah yang diterbitkan oleh Tagore). Pada masa ini merupakan masa paling produktif dalam berkarya, menghasilkan lebih dari setengah karya yang dikemas dalam tiga volume Galpaguchchha, yang merupakan kumpulan karya cerita, memuat delapan puluh empat karya. Sebagaimana biasa ceritanya merupakan cerminan Tagore atas kehidupan dan lingkungannya, dituangkan dalam ide-ide modern dan potongan potongan cerita yang dirajut dalam pikiran sebagai sebuah cerita utuh dan mengesankan. Tagore umumnya menghubungkan satu cerita dengan cerita sebelumnya dengan kekuatan dari kegembiraan dan keriangan yang spontanitas; karakteristik ini terkoneksi dengan sangat baik sekali dengan kehidupan sehari hari Tagore di Patisar, Shajadpur dan Shilaidaha saat dia mengelola tanah milik keluarganya yang sangat luas. Disana, ia melindungi kehidupan masyarakat miskin; dengan cara ini Tagore menganalisa kehidupan mereka dengan memasuki kehidupan mereka lebih dalam. Dalam karya "The Fruitseller from Kabul", Tagore berbicara sebagai penduduk kota dan novelis yang juga menjadi pedagang dari Afganistan. Ia mencoba untuk menyelami rasa-memiliki oleh para penduduk urban di India yang lama terjebak dalam keduniawian dan dibatasi oleh kemelaratan, memberi impian dalam kehidupan yang lain di batasi oleh jarak dan kejamnya alam pegunungan: "Di suatu pagi di musim gugur, pada tahun ketika raja tua datang dan pergi untuk menaklukan; dan aku, yang tak pernah beranjak dari pojokan di Kolkata, membiarkan pikiranku mengembara ke seluruh dunia. Dalam setiap persinggahan di negara lain, hatiku tak pernah berubah... takkan jatuh tuk merajut jaringan mimpi: pegunungan, celah, hutan...". Banyak cerita Galpaguchchha yang lainnya ditulis pada periode "Sabuj Patra" (1914-1917; juga merupakan nama majalah Tagore yang lainnya).

Golpoguchchho (Kumpulan cerita) merupakan kesusastraan fiksi Bengali yang paling populer, dijadikan sebagai subyek dalam banyak karya film dan seni teater yang meraih sukses. Film Charulata garapan Satyajit Ray, diangkat dari karya novela yang penuh kontroversi, Nastanirh (The Broken Nest). Dalam Atithi (yang juga diangkat ke film), seorang Brahmana muda belia, Tarapada, berbagi tumpangan perahu dengan seorang zamindar. Anak muda ini menyatakan bahwa dia dulu kabur dari rumah, dan kemudian mengembara berkeliling. Merasa kasihan zamindar tersebut kemudian mengadopsi secara mngejutkan, menjodohkan dengan anak gadisnya sendiri. Yang mana, pada malam sebelum acara pernikahan, Tarapada kabur dari rumah zamindar. Strir Patra ("The Letter from the Wife") mngisahkan akan emansipasi wanita, yang pada masa itu sangat jarang diangkat dalam kesusastraan Bengali. Sang tokoh wanita, Mrinal, istri dari seorang pria kalangan menengah yang menganut pola patriarki — ayah memiliki kekuasaan penuh dalam keluarga) menulis surat ketika ia melakukan perjalanan (bagian dari keseluruhan cerita). Yang menceritakan kekurangan dalam hidup dan perjuangannya; dia akhirnya mengambil keputusan untuk tidak kembali kepada suaminya, dengan sebuah pernyataan "Amio bachbo. Ei bachlum" ("And I shall live. Here, I live"). Dalam karya Haimanti, menggambarkan tentang perkawinan dalam Hindu yang penuh dengan kemalangan dan penderitaan dalam perkawinan wanita Bengali, "penyakit" bermuka dua dalam kehidupan kelas menengah di India, dan bagaimana Haimanti, seorang wanita muda yang sensitif, harus mengorbankan hidupnya. Di bangian akhir, Tagore menyerang secara langsung adat Hindu yang mengagungkan Sita melakukan pengorbanan diri sebagai menentramkan keraguan dari suaminya, Rama. Tagore juga mengungkap ketegangan Hindu-Muslim dalam karya Musalmani Didi, yang dalam beragam cara pandang adalah pewujudan dari sari pati sisi kemanusian Tagore. Dalam karya yang lainnya, Darpaharan memamerkan kesadaran diri, bercerita tentang anak muda yang punya kemauan dan ambisi dalam dunia kesusastraan. Yang meskipun dia mencintai istrinya, ia berharap bisa meniti karir kesusastraannya.

PUISI

Penyanyi lagu-lagu tradisional Bāul di Santiniketan dalam acara festival tahunan
Sajak dan puisi karya Tagore — sangat bervariasi dalam gaya, dari gaya klasik formal hingga gaya jenaka, penuh khayalan maupun riang gembira — meneruskan aliran yang didirikan pujangga Vaishnava (|Bujangga Waisnawa) pada abad 15-16. Tagore juga mendapat pengaruh unsur kebatinan dari para Rsi-Pujangga — termasuk dari Vyasa — yang menulis Upanisad, Bhakta-Sufi mistik Kabir dan Pamprasad. Malahan karya puisinya menjadi penuh inovasi dan dewasa setelah ia membongkar musik tradisional Bengali, termasuk lagu balada yang dinyanyikan oleh para penyanyi tradisional dari Bāul — khususnya penyair Lālan Śāh. Ini — yang digali kembali dan kemudian dipopulerkan oleh Tagore — menyerupai kidung pujian Kartābhajā (populer di abad 19) yang menekankan pada Ketuhanan dan berontak pada keyakinan dan kehidupan sosial ortodok. Pada masa menetap di Shelidah, karya puisinya menekankan pada kekuatan lirik, berbicara lewat maner manus (man within the heart) atau meditasi dalam jivan devata (Tuhan didalam jiwa). Figur ini kemudian membentuk hubungan dengan ketuhanan melalui permohonan kepada semesta alam dan keadaan emosional yang saling mempengaruhi dalam drama kehidupan umat manusia. Tagore menggunakan beberapa teknik dalam puisi Bhānusimha (yang menguraikan rentetan romantisme antara Radha dan Krishna), dimana ia berulangkali melakukan perbaikan-perbaikan melalui pembelajaran selama kurun waktu tujuh puluh tahun. Belakangan, Tagore memberi respon atas kemunculan dari modernisasi dan realisme dalam kesusastraan Bengali dengan menulis karya eksperimental pada tahun 1930-an. Contoh karyanya seperti: Africa and Camalia. Ia juga kadang menulis puisi memakai Shadu Bhasha (salah satu dialek bahasa sansekerta di Bengala); kemudian belakangan ia mulai menggunakan Cholti Bhasha (dialek yang lebih populer). Karya lain yang patut dicatat adalah Manasi, Sonar Tori (Golden Boat), Balaka (Wild Geese —judulnya merupakan metafora untuk perpindahan jiwa), dan Purobi. Sonar Tori merupakan karya puisi yang paling terkenal. "Shunno nodir tire rohinu poŗi / Jaha chhilo loe gêlo shonar tori" — semua yang telah kucapai, telah dibawa keatas perahu emas — tinggal aku yang berada di belakang). Bagaimanapun juga, Gitanjali merupakan karya yang paling dikenal, membawa Tagore meraih Penghargaan Nobel dalam Sastra. Song VII of Gitanjali:

Amar e gan chheŗechhe tar shôkol ôlongkar
Tomar kachhe rakhe ni ar shajer ôhongkar
Ôlongkar je majhe pôŗe milônete aŗal kôre,
Tomar kôtha đhake je tar mukhôro jhôngkar.

Tomar kachhe khaţe na mor kobir gôrbo kôra,
Môhakobi, tomar paee dite chai je dhôra.
Jibon loe jôton kori jodi shôrol bãshi goŗi,
Apon shure dibe bhori sôkol chhidro tar.

Terjemahan bebas oleh Tagore (Gitanjali, verse VII):

"My song has put off her adornments. She has no pride of dress and decoration. Ornaments would mar our union; they would come between thee and me; their jingling would drown thy whispers."

"My poet's vanity dies in shame before thy sight. O master poet, I have sat down at thy feet. Only let me make my life simple and straight, like a flute of reed for thee to fill with music."

PANDANGAN POLITIK

Pandangan politik Tagore sangat kompleks, dimana ia mengkritik penjajahan bangsa-bangsa eropa, serta mendukung kaum nasionalis India. Namun, ia juga mengkritik gerakan Swadeshi yang dilakukan oleh para pemimpin gerakan nasionalis. Dilain pihak ia memberikan tekanan atas peningkatan taraf pendidikan masyarakat dan bantuan atas diri sendiri bagi bangsa India. Ia juga menghimbau bagi rakyat India untuk menerima bahwa "tidak ada yang perlu dipertanyakan atas revolusi, tetapi pendidikan yang kokoh dan penuh tujuan".

PANDANGAN POLITIK

Pandangan politik Tagore sangat kompleks, dimana ia mengkritik penjajahan bangsa-bangsa eropa, serta mendukung kaum nasionalis India. Namun, ia juga mengkritik gerakan Swadeshi yang dilakukan oleh para pemimpin gerakan nasi...onalis. Dilain pihak ia memberikan tekanan atas peningkatan taraf pendidikan masyarakat dan bantuan atas diri sendiri bagi bangsa India. Ia juga menghimbau bagi rakyat India untuk menerima bahwa "tidak ada yang perlu dipertanyakan atas revolusi, tetapi pendidikan yang kokoh dan penuh tujuan". Namun banyak orang yang tidak menyukai pemikirannya ini. Pada 1916, beberapa orang India mencoba melakukan pembunuhan atas dirinya saat ia berada di sebuah hotel di San Francisco, Amerika Serikat. Namun mereka urung melakukan pembunuhan, setelah mereka mendengarkan dan adu argumentasi dengan Tagore. Tagore juga membuat banyak lagu-lagu perjuangan dan pujian atas gerakan kemerdekaan India. Tagore juga mengembalikan gelar kehormatan yang diberikan oleh Kerajaan Inggris, sebagai bentuk protes atas pembantaian massal di Amritsar pada 1919 yang dikenal dengan Jallianwala Bagh Massacre. Dua buah komposisi musik Tagore yang berbau politik adalah Chitto Jetha Bhayshunyo ("Where the Mind is Without Fear") dan Ekla Chalo Re (If They Answer Not to Thy Call, Walk Alone), mendapatkan perhatian dari masyarakat luas, yang mana belakangan disukai dan dipuji oleh Gandhi. Walaupun hubungannya dengan Gandhi mengalami pasang surut, Tagore merupakan kunci keberhasilan dalam memperbaiki hubungan Gandhi-Ambedkar yang berselisih, bersangkutan dengan pemilahan bagi kaum kasta rendahan dalam pemilihan umum.
Tagore juga mengkritik pendidikan ortodok, menyerang dalam karya cerpen "The Parrot's Training", dimana seekor burung — yang akhirnya mati — dikurung dalam sangkar oleh pengajarnya dan dijejali dengan pelajaran dari buku. Pandangan ini membawa Tagore — saat ia mengunjungi Santa Barbara, California pada 11 Oktober 1917 —: untuk memikirkan sebuah pola universitas baru, berhasrat untuk "menjadikan ashram miliknya di Shantiniketan sebagai benang penghubung antara India dengan dunia ... dan pusat pendidikan umat manusia ... yang melintasi batas bangsa dan geografis. Sekolah — yang kemudian ia namakan Visva-Bharati —; dilakukan peletakan batu pertama pada 22 Desember 1918; dan pembukaannya pada 22 Desember 1921. Disini ia menerapkan stuktur pedagogi brahmacharya dengan menyediakan para guru guna memberikan bimbingan individu bagi para siswa. Tagore bekerja keras untuk mendapatkan dana dan staf pengajar bagi sekolah ini, termasuk mengkontribusikan semua hadiah yang didapatkan dari Penghargaan Nobel yang ia menangkan. Tugasnya sebagai mentor dan pembantu di Shantiniketan membuat ia sibuk; di pagi hari, ia mengajar di kelas dan menyusun buku pelajaran bagi para siswa di siang dan malam harinya. Tagore juga menggalang dana dari Eropa dan Amerika Serikat, antara tahun 1919 hingga 1921

WARISAN SANG MAESTRO

Dampak yang dapat dirasakan pasca kematian Tagore adalah dilaksanakan berbagai festival diseluruh dunia sebagai bentuk penghormatan terhadapnya — sebagai contoh adalah festival tahunan Kabipranam (Ulang Tahun Tagore) di Benggala, Festival Tagore yang digelar setiap tahun di Urbana, Illinois, Amerika Serikat, Rabindra Path Parikrama yaitu sebuah acara napak tilas perjalanan suci dari Kolkatta menuju Shantiniketan, dan acara pembacaan kembali karya-karya sastra Tagore dalam perayaan-perayaan tahunan. Warisan budaya ini terlihat begitu gamblang dalam kehidupan bangsa Bengali, yang menyentuh dalam segenap aspek kehidupan, dari bahasa dan seni hingga sejarah dan kehidupan politik; tentunya juga Amartya Sen, penerima Nobel Sastra, memberikan catatan, bahkan bagi masyarakat Bengali modern, Tagore adalah tokoh besar, seorang pemikir kontemporer yang amat sangat relevan. Tagore mengumpulkan tulisan berbahasa Bengali — Rabīndra Racanāvalī, 1939 — merupakan salah satu harta kekayaan budaya Bengali yang amat berharga, dimana Tagore sendiri diproklamirkan sebagai "pujangga terhebat yang dilahirkan India". Ia juga sangat dikenal di Eropa, Amerika Utara dan Asia Timur. Ia adalah kunci dalam pendirian Dartington Hall School, sebuah institusi pendidikan progresif; di Jepang, ia memberi pengaruh pada Yasunari Kawabata, seorang penerima penghargaan Nobel juga. Karya-karya Tagore diterjemahkan kedalam banyak bahasa-bahasa di Eropa — sebuah proses yang diawali oleh pakar indologi berkebangsaan Ceko, Vincent Slesny dan penerima penghargaan Nobel Sastra dari Perancis, André Gide — termasuk juga dalam bahasa Rusia, Inggris, Belanda, Jerman, Spanyol dan yang lainnya. Di Amerika Serikat, Tagore populer saat memberikan kuliah (khususnya pada masa 1916-1917) yang banyak dihadiri pengunjung.
Karya Tagore yang diterjemahkan kedalam bahasa Spanyol membawa pengaruh bagi figur-figur sastra Spanyol, termasuk diantaranya Chileans Pablo Neruda dan Gabriela Mistral, sastrawan Meksiko, Octavio Paz dan sastrawan berkebangsaan Spanyol José Ortega y Gasset, Zenobia Camprubí dan Juan Ramón Jiménez. Antara tahun 1914 dan 1922, pasangan suami istri Jiménez-Camprubí menterjemahkan tidak kurang dari duapuluh dua buah karya Tagore dari bahasa Inggris ke bahasa Spanyol.

Pengaruh Tagore, tidak hanya berkisar di Eropa dan Amerika, di Indonesia pun Tagore dikenal dan di kota Surakarta, salah satu ruas jalan diberi nama sang maestro. Pengaruh-pengaruh Tagore dalam dunia pendidikan, banyak diadopsi oleh para pejuang kemanusiaan, termasuk salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Shantiniketan menjadi sumber inspirasi beliau dalam mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Selain itu, beranjak dari karya besarnya pula, taman pendidikan Shantiniketan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam sistem pelaksanaan pendidikan di Pondok Gontor selain Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, Pondok Syanggit di Afrika Utara, Universitas Aligarh di India.

Tagore meninggalkan warisan yang teramat besar pada dunia, tidak hanya dengan karya-karya sastra, seni dan budaya, namun pemikiran, filsafat dan kehidupannya terus berkembang dan menjadi sumber inspirasi bagi dunia dan umat manusia.

Menuju Kangen


Menuju Kangen.........

Burung gereja sudah selesai dengan sayap-sayap kecilnya
mencari angin menadah hujan
pada tepi tiang jendela dan siku-siku rumah
mata api hari ini membakar sepi
dan bulan menjadi tengkorak yang dilupakan
putih tanpa nyala

aku kangen
kangen pada selendang yang kau ikatkan di masa-masa lama
jalan-jalan kita dan cerita di tengah malam
aku kangen pada ingatanmu
tentang kolesterol atau darah tinggi

Laut menghitam angkasa menjadi neraka
tak peduli ombak meraksasa sebesar gunung semeru
matamu yang kuingat menusuk tajam pelan-pelan
Terpaksa hidup kutantang sendirian

Sore dulu begitu indah
dengan gagasan dan warna pelangi
seribu kenangan menyerbu bagai roman picisan yang tak kunjung selesai
dan mata hujan menjadi langit-langit setiap bab cerita yang kita bacai

Bunga itu tumbuh pelan
bunga yang kau tanam dengan derasan tanganmu dan doamu di tiap malam
sajadah merah sudah bersimbah air mata
dan lamunan kekesalan menjadi kerak-kerak luka

Aku kangen dan ingin memelukmu
aku rindu pada badai yang membesarkan pikiran
aku rindu pada gairah membangun masa depan yang kau sodorkan
aku rindu pada impian raksasa
aku rindu pada kesederhanaan

Balok-balok kayu dan batu yang sudah kau susun di hatiku
kini sudah menjadi pintu membaja
susah untuk dibuka
mengganti hati, hanyalah urusan tawar-menawar kehidupan
bukan ketulusan, bukan niat menemani

Kesetiaan apakah bisa aku pertahankan
tak peduli aku harus menjadi majnun yang merenungkan layla
tak peduli aku harus menjadi Romeo yang kapiran

Malam ini menepi
esok pagi datang
dan separuh jiwaku hilang
aku kangen
Rinduku adalah sayap-sayap patah yang kehilangan arah
burung tak lagi punya nama
harimau tak lagi prabawa
tanpamu separuh jiwa terbang ke langit jingga

Aku mencintaimu lebih dari tapal batas yang engkau mengerti
aku menyayangimu seperti seorang ibu pada anaknya, tanpa batas waktu

Luka ini sudah menjadi candi batu
diam membisu di hatiku
ruang suci candi hanya menyimpan namamu
dan ketika perkamen-perkamen kisahmu dibuka
hanya kangen yang aku rasai.

ANTON

Desember, Natal dan Hujan


Desember, Natal dan Hujan

Entahlah, aku selalu menyukai bulan Desember
Bulan penuh rajutan air hujan, genangan di lubang aspal dan selokan
Tentang Desember
Tentang Nyanyian Natal

Desember,
Udara abu-abu, embun malu-malu
pada pucuk cemara, pada ranting yang mendesah
kepada angin, surat-surat yang sudah lama tak dibuka
jalanan usang, cerita lama
tentang masa lalu yang patah
atau sendal koyak menahan sejarah
berlalu tanpa sedikitpun aksara

Pada desember, ketika air hujan menjadi warna jendela
dan perempuan lacur mengharapkan Tuhan di tengah ladang kerjanya

Pada Desember, Ketika air mata melompati pagar hati
seorang laki-laki yang gagal menjadi bapak
kerna tak kuat beli susu di toko.

Pada Desember, ketika malam menepikan bulan
dan permulaan datang menghujankan batang-batang kapas
luruh semua
menjadi kegamangan masa silam

Dunia berputar seturut kipas waktu
dan Desember mengakhirinya dengan sikap ragu

Pada bulan Desember
Kekecewaan dan Harapan menjadi tulang iga kehidupan
Nyanyian Natal disuarakan
Dan Bunda Maria menurunkan tangannya
Pada Bulan Desember, Kasih Tuhan di Langit, Membumikan Manusia...........

ANTON

Salvatore Guillano, Bandit Sisilia yang Legendaris


Sebagaimana kebanyakan orang, ia terjun ke dunia bandit karena keterpaksaan hidup. Ayahnya meninggal, kakak tertuanya dipanggil berperang, otomatis ialah menjadi kepala keluarga yang harus member makan keluarganya. Saat itu Salvatore berusia 20 tahun. Di usia muda dia harus memikul beban sangat berat , menjadi tulang punggung keluarga.

Salvatore memang tidak berumur panjang, Ia tewas usia 28 tahun. Namun kenangan akan perbuatan baiknya tetap hidup di hati rakyat. Dia sempat terjun ke dunia politik. Sikapnya jelas dan tegas, dia anti komunis, anti-mafioso, dia juga salah satu pemimpin pemberontak di Sicilia. Sikapnya yg kerap dan anti Mafioso ini justru menghantarnya pada maut. Ia dibunuh pada 5 Juli 1950 oleh sepupunya sendiri yang telah dibayar oleh Don, pemimpin mafia dari Palermo.

Friday, 20 August 2010

Karakter Orang Bali


Karakter Orang Bali

Logat Buleleng penuh dengan kata-kata yang kasar dan umpatan yang menyebut-nyebut binatang. Tetapi dialog jorok itu tidak menimbulkan pertengkaran, justru itu simbol dari kekerabatan yang kental. Beh, cicinge mara teka, peteka bulu matane, pidan nani teka uli Jawa, begitu sapa seseorang. Yang disapa menjawab, Bangsat cai, dan seterusnya. Mereka tidak bertengkar, malah tertawa-tawa lalu makan bersama menghilangkan rasa kangen. Padahal kalau "bahasa pergaulan" itu diterjemahkan menjadi sangat kasar untuk didengar.

Lain Buleleng, lain pula Gianyar. Bahasanya pelan, iramanya halus, dan penuh basa-basi. Para pelawak itu melukiskan dengan pas, dengan kadar banyolan yang bagus, ketika menceritakan dua sahabat yang lama tak bertemu, lalu saling kunjung, persis seperti orang Buleleng tadi. Demikian akrab obrolan dengan tutur kata yang bagus, sehingga tak terasa waktu sudah terbuang lama. Ketika sang tamu pulang, eh... baru tuan rumah menawarkan minuman. Dong gegeson pesan mulih, tusing ngidih kopi malu?

Bagaimana dengan Karangasem? Tutur bahasanya pun bagus, tak ada umpatan kasar seperti di Buleleng, tetapi juga tak ada basa-basi seperti di Gianyar. Namun, jika salah omong sedikit langsung tersinggung dan nyerocos pergi. Beberapa saat tiba-tiba batu melayang karena ketersinggungan dan salah paham itu menimbulkan marah yang harus segera dilampiaskan.

Ini tentu saja bukan gambaran yang sebenarnya dari perilaku orang Bali, dan tentu saja tak semudah itu mengkotak-kotakkan tabiat orang berdasarkan kabupaten. Namanya saja lawakan, hanya lelucon untuk memancing orang tertawa, meski pun kadang menertawakan diri sendiri.

Betapa pun itu sebuah banyolan. Kasus-kasus yang dijadikan banyolan itu tentulah ada meskipun kemudian dilebih-lebihkan. Bahasa pergaulan di Buleleng memang ada yang sekasar itu, tetapi tidak semua orang Buleleng sekasar itu. Orang Buleleng yang tutur bahasanya bagus jauh lebih banyak lagi. Seperti halnya orang Karangasem yang berperilaku halus, sopan, tak pernah memendam dendam, tentu lebih banyak jumlahnya dibandingkan yang suka berkelahi. Tetapi yang mudah tersinggung, lalu memendam marah dan melampiaskan dengan kekerasan, juga ada. Berbagai kasus perkelahian, baik satu lawan satu maupun banjar lawan banjar, kerap terjadi. Yang menjadi bahan sengketa pun bukan saja harta pribadi, tetapi juga bangunan suci. Kasus Pura Kerandan di Culik, misalnya, berlarut-larut penyelesaiannya. Bahkan Kahyangan Lempuyang Madya, stana Mpu Gni Jaya, menjadi bahan rebutan dari beberapa kelompok umat.

***

APAKAH penduduk Karangasem suka berperang? Kalau membaca sejarah, heroisme rakyat Karangasem itu memang tinggi. Ekspansi tentara Kerajaan Karangasem ke Lombok merupakan sukses besar bagaimana sebuah kerajaan di Bali memperlebar pengaruh politiknya ke seberang lautan. Tak ada sebuah kerajaan lain di Bali selain Karangasem yang punya semangat untuk menaklukkan wilayah yang berbatasan dengan laut, sebuah kisah penyerangan yang penuh dengan perhitungan. Kalau saja tak ada ekspansi itu, barangkali Pulau Lombok, khususnya di Kodya Mataram dan Lombok Barat, tidak bernuansa Bali seperti yang ada sekarang ini.

Apakah tradisi berperang itu diwariskan sampai sekarang? Ini tentu pertanyaan yang sulit dijawab. Apalagi kalau kita mengaitkan kasus-kasus perkelahian dan kekerasan yang kerap terjadi di kabupaten paling timur di Bali ini, tentulah kita tak bisa serta merta menyebutkan ini sebagai sebuah tradisi.

Tetapi, tentu saja heroisme perang itu, dengan simbol-simbol perangnya, bisa didokumentasikan lewat kesenian. Misalnya, gebug ende. Ini kesenian yang menunjukkan kepahlawanan individu, bagaimana memainkan tongkat dan tameng sebagai perisai menghadapi pukulan lawan. Kesenian yang berkembang di Karangasem ini juga terdapat di Lombok, tentunya dengan sedikit variasi.

Perang pandan, seni tradisi yang dikaitkan dengan ritual di Tenganan Pegringsingan, mungkin juga adalah semangat kepahlawanan individu. Namun, apakah ini muncul dari tradisi rakyat Karangasem yang sejak dulu suka berperang? Atau justru ini warisan sangat kuno jauh sebelum Raja Karangasem memutuskan untuk menaklukkan Lombok?

Begitu pula berbagai bentuk tari sakral, seperti baris yang berjenis-jenis itu. Kesenian tradisi ini tetap dipertahankan di wilayah Karangasem dan selalu muncul pada berbagai upacara agama, termasuk upacara di Pura Besakih. Kostum penari, gerak-gerak tarinya, peralatan yang dibawa adalah simbol-simbol perang. Kalau cara-cara persembahyangan sekarang ini mau dijadikan tolok ukur untuk melihat fenomena kesenian tradisi itu, memangnya siapa yang mau diperangi ketika kita memasuki sebuah pura? Apa ada orang bersembahyang sambil menikmati dan membayangkan perang?

Semangat perang memang sangat positif dikemas dalam bentuk seni. Apalagi kalau itu menjadi seni yang khas, semacam gebug ende, perang pandan dan sebagainya. Kekhasan ini tentu saja harus dipertahankan, tetapi sebaiknya dicari juga gerak-gerak yang lebih artistik sebelum melakukan gerak perang.

Dalam gebug ende, misalnya, kedua petarung sebaiknya melakukan gerakan olah seni lebih dulu, sebelum saling pukul. Jadi, tidak seperti yang selama ini terlihat, begitu memasuki arena langsung gedebag-gedebug. Tirulah silat Tabanan atau Jembrana, sebelum berduel ada jurus-jurus manis yang enak dilihat. Atau kalau kita menoleh ke luar, ada kesenian Dayak yang patut dicontoh. Gerak-gerak perangnya diolah sedemikian rupa, sehingga unsur seni lebih menonjol dibandingkan unsur olah raga. Gebug ende sekarang ini masih dominan unsur olah raganya.

Unsur apa pun yang menonjol, olah raga atau seni, semangat perang yang diwariskan oleh rakyat Karangasem haruslah dikemas dalam bentuk budaya. Jangan diwariskan dengan semangat permusuhan.

(Diambil dari beberapa sumber)

Salvador Allende, Penguasa Marxist Amerika Latin Pertama.



Salvador Allende, Icon terakhir tumbangnya penguasa populis yang diruntuhkan oleh militer. Amerika Serikat sering menggunakan kekuatan Militer sebagai 'kebijakan antara' menuju pembukaan Pasar Bebas. Penumbangan Allende, mengikuti sukses CIA di Djakarta, operasi militer yang dipimpin Pinochet 1973 dinamakan "Operation Djakarta"

Salvador Allende bisa dibilang merupakan Kepala Negara berparadigma Marxist pertama yang terpilih secara demokratis lewat PEMILU (bukan lewat revolusi). Allende yang berasal dari The Popular Unity sebuah partai aliansi kekuatan-kekuatan kiri dan progresif Chili menjadi presiden pada PEMILU tahun 1970. Sebagai seorang Marxist, arah kebijakan ekonomi -poltik Allende dapat ditebak bertiup ke arah mana. Sejak Allende berkuasa, pemerintah mengambil alih kepemilikan tambang tembaga dan perusahaan-perusahaan asing lainnya (nasionalisasi). Tahun 1971 dengan persetujuan bulat dari Kongres, Allende melakukan nasionalisasi penuh perusahaan tambang milik perusahaan Amerika Serikat, Kennecot and Annaconda. Allende juga melakukan redistribusi lahan dengan land reform, Lahan yang sebelumnya hanya dikuasai segelintir orang saja segera didistribusikan kepada penghuni yang bekerja dan menggarap.

Kita dan Milton Friedman


Milton Friedman, Bapak Pasar Bebas. Tokoh yang menjadi anutan kelompok Widjojo Nitisastro yang kemudian dijadikan bahan acuan resmi pendidikan ekonomi bagi bangsa Indonesia. Ruang pelajaran ekonomi tanpa alternatif. Nyaris semua ekonom kita yang dipake penguasa berkiblat pada pemikiran orang ini.

==========================

Ia telah menyumbangkan sejumlah pemikirannya dalam makro-ekonomi, mikro-ekonomi, sejarah ekonomi, dan statistik kepengacaraan kapitalisme laissez-faire. Pada 1976, dia mendapat Penghargaan Hadiah Nobel "untuk pencapaiannya di bidang analisis konsumsi, teori dan sejarah moneter, dan demonstrasi kompleksitas dari kebijakan tentang stabilisasi".

Sebagai ahli ekonomi yang legendaris dan memperjuangkan kebebasan individu, ia telah mempengaruhi kebijakan ekonomi tiga Presiden Amerika Serikat, yaitu Richard Nixon, Gerald Ford, dan Ronald Reagan serta Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher.

Dalam buku-bukunya, kolom Majalah Newsweek, dan sebuah show televisi publik, ia memperjuangkan kebebasan individu dalam ekonomi dan politik. Pejabat-pejabat Amerika Serikat memuji sumbangannya yang telah menyampaikan kepada jutaan orang sebuah pengertian manfaat ekonomi dari pasar bebas yang kompetitif. Ia sempat melihat pembaharuan pasar bebas menyebar ke bekas dunia komunis dan Amerika Latin. "Saya harap apa yang saya tulis menyumbang ke hal itu, tetapi itu bukanlah kekuatan yang menggerakkan. Orang-orang seperti saya, apa yang lakukan adalah menjaga gagasan-gagasan ini terbuka sampai waktunya bila ketika (gagasan-gagasan) itu bisa diterima," katanya.

Albert Camus, Sastrawan Yang Sangat Berpengaruh di Indonesia pada tahun 1950-an


Albert Camus, Novelis penggagas definisi Absurd dalam melihat hubungan manusia dengan kerjanya.

Dalam novelnya The Myth of Sisyphus, Camus berhasil dengan baik menggambarkan kesadaran penderitaan manusia. Manusia sadar bahwa dirinya berbuat sia-sia di dunia ini, namun hanya kesadarannyalah yang membuatnya ia menemukan dirinya (disinilah arti penting Camus menjelaskan filsafati Eksistensialisme-nya). Camus menggambarkan manusia yang naik ke puncak bukit masuk ke sarang dewa, melakukan perbuatan yang membuatnya menderita. Penderitaan itulah yang kemudian selalu menerbitkan harapan dan harapan adalah awal dari terbitnya kesadaran. Kesadaranlah yang tetap menjaga dirinya atas konflik nalarnya dengan keadaan dunia. Dengan menjaga kesadaran maka nalar akan terus hidup dan melihat bagaimana dunia bekerja sehingga tidak terjebak pada kejumudan yang sia-sia.

Andre Malraux, Penjaga Kebudayaan Perancis


Sejarawan, Novelis dan Petualang pada Perang Spanyol dan Perang Dunia II. Sempat menjadi Pilot Pesawat Tempur. Menteri Kebudayaan Perancis. Novelnya yang terkenal : Les voix du silence -Voice of Silence. Banyak mengilhami penulis-penulis di Indonesia pada kurun tahun 1950-an setara dengan pengaruh Novel La Peste, Albert Camus.

Imajinasi dalam Alam Pikiran Bung Karno



Pidato Bung Karno : Imajinasi

"Saudara-saudara, Djuga saja pernah tjeritakan dinegara-negara Barat itu hal artinja manusia, hal artinja massa, massa.

Bahwa dunia ini dihidupi oleh manusia. Bahwa manusia didunia ini, Saudara-saudara, "basically" - pada dasar dan hakekatnja - adalah sama; tidak beda satu sama lain. Dan oleh karena itu manusia inilah jang harus diperhatikan. Bahwa massa inilah achirnja penentu sedjarah, "The Makers of History". Bahwa massa inilah jang tak boleh diabaikan ~ dan bukan sadja massa jang hidup di Amerika, atau Canada, atau Italia, atau Djerman, atau Swiss, tetapi massa diseluruh dunia.

Sebagai tadi saja katakan: Bahwa "World Prosperity", "World Emancipation", "World Peace", jaitu kekajaan, kesedjahteraan haruslah kekajaan dunia : bahwa emansipasi adalah harus emansipasi dunia; bahwa persaudaraan haruslah persaudaraan dunia ; bahwa perdamaian haruslah perdamaian dunia ; bahwa damai adalah harus perdamaian dunia, berdasarkan atas kekuatan massa ini.

Itu saja gambarkan, saja gambarkan dengan seterang-terangnja. Saja datang di Amerika,- terutama sekali di Amerika - Djerman dan lain-lain dengan membawa rombongan. Rombongan inipun selalu saja katakan : Lihat, lihat , lihat, lihat!! Aku jang diberi kewadjiban dan tugas untuk begini : Lihat, lihat, lihat!! - Aku membuat pidato-pidato, aku membuat press-interview, aku memberi penerangan-penerangan; aku jang berbuat, "Ini lho, ini lho Indonesia, ini lho Asia, ini lho Afrika!!"

Saudara-saudara dan rombongan : Buka mata, Buka mata! Buka otak! Buka telinga!

Perhatikan, perhatikan keadaan! Perhatikan keadaan dan sedapat mungkin tjarilah peladjaran dari pada hal hal ini semuanja, agar supaja saudara saudara dapat mempergunakan itu dalam pekerdjaan raksasa kita membangun Negara dan Tanah Air.

Apa jang mereka perhatikan, Saudara-saudara? Jang mereka harus perhatikan, bahwa di negara-negara itu - terutama sekali di Amerika Serikat - apa jang saja katakan tempoh hari disini " Hollandsdenken " tidak ada.

"Hollands denken" itu apa? Saja bertanja kepada seorang Amerika. Apa "Hollands denken" artinja, berpikir secara Belanda itu apa? Djawabnja tepat Saudara-saudara "That is thinking penny-wise, proud, and foolish", katanja.

"Thinking penny-wise, proud and foolish". Amerika, orang Amerika berkata ini, "Thinking penny-wise" artinja Hitung……..satu sen……..satu sen……..lha ini nanti bisa djadi dua senapa `ndak?........ satu sen……..satu sen……… "Thinking penny-wise"………"Proud" : congkak, congkak, "Foolish" : bodoh.

Oleh karena akhirnja merugikan dia punja diri sendirilah, kita itu, Saudara-saudara, 350 tahun dicekoki dengan "Hollands denken" itu. Saudara-saudara, kita 350 tahun ikut-ikut, lantas mendjadi orang jang berpikir "penny-wise, proud and foolish".

Jang tidak mempunjai "imagination", tidak mempunjai konsepsi-konsepsi besar, tidak mempunjai keberanian - Padahal jang kita lihat di negara-negara lain itu, Saudara-saudara, bangsa bangsa jang mempunjai "imagination", mempunjai fantasi-fantasi besar: mempunjai keberanian ; mempunjai kesediaan menghadapi risiko ; mempunjai dinamika.

George Washington Monument misalnja,
tugu nasional Washington di Washington, Saudara-saudara : Masja Allah!!! Itu bukan bikinan tahun ini ; dibikin sudah abad jang lalu, Saudara-saudara. Tingginja! Besarnja! Saja kagum arsiteknja jang mempunjai "imagination" itu, Saudara-saudara.

Bangsa jang tidak mempunjai : imagination" tidak bisa membikin Washington Monument. Bangsa jang tidak mempunjai "imagination"………ja, bikin tugu, ja "rongdepo", Saudara-saudara. Tugu "rong depo" katanja sudah tinggi, sudah hebat.

"Pennj-wise" tidak ada, Saudara-saudara. Mereka mengerti bahwa kita - atau mereka - djikalau ingin mendjadi satu bangsa jang besar, ingin mendjadi bangsa jang mempunjai kehendak untuk bekerdja, perlu pula mempunjai "imagination",: "imagination" hebat, Saudara-saudara.

Perlu djembatan? Ja, bikin djembatan……tetapi djangan djembatan jang selalu tiap tiap sepuluh meter dengan tjagak, Saudara-saudara, Ja , umpamanja kita di sungai Musi…….Tiga hari jang lalu saja ini ditempatnja itu lho Gubernur Sumatera Selatan - Pak Winarno di Palembang - Pak Winarno, hampir hampir saja kata dengan sombong, menundjukkan kepada saja "ini lho Pak! Djembatan ini sedang dibikin, djembatan jang melintasi Sungai Musi" - Saja diam sadja -"Sungai Ogan" - Saja diam sadja, sebab saja hitung-hitung tjagaknja itu. Lha wong bikin djembatan di Sungai Ogan sadja kok tjagak-tjagakan !!

Kalau bangsa dengan "imagination" zonder tjagak, Saudara-saudara !!

Tapi sini beton, tapi situ beton !! Satu djembatan, asal kapal besar bisa berlalu dibawah djembatan itu !! Dan saja melihat di San Fransisco misalnja, djembatan jang demikian itu ; djembatan jang pandjangnja empat kilometer, Saudara-saudara ; jang hanja beberapa tjagak sadja.

Satu djembatan jang tinggi dari permukaan air hingga limapuluhmeter; jang kapal jang terbesar bisa berlajar dibawah djembatan itu. Saja melihat di Annapolis, Saudara-saudara, satu djembatan jang lima kilometer lebih pandjangnja, "imagination", "imagination" "imagination"!!! Tjiptaan besar!!!


Kita jang dahulu bisa mentjiptakan tjandi-tjandi besar seperti Borobudur, dan Prambanan, terbuat dari batu jang sampai sekarang belum hancur ; kita telah mendjadi satu bangsa jang kecil djiwanja, Saudara-saudara!! Satu bangsa jang sedang ditjandra-tjengkalakan didalam tjandra-tjengkala djatuhnja Madjapahit, sirna ilang kertaning bumi!! Kertaning bumi hilang, sudah sirna sama sekali. Mendjadi satu bangsa jang kecil, satu bangsa tugu "rong depa".

Saja tidak berkata berkata bahwa Grand Canyon tidak tjantik. Tapi saja berkata : Tiga danau di Flores lebih tjantik daripada Grand Canyon. Kita ini, Saudara-saudara, bahan tjukup : bahan ketjantikan, bahan kekajaan. Bahan kekajaan sebagai tadi saja katakan : "We have only scratched the surface " - Kita baru `nggaruk diatasnja sadja.

Kekajaan alamnja, Masja Allah subhanallahu wa ta'ala, kekajaan alam. Saja ditanja : Ada besi ditanah-air Tuan? - Ada, sudah ketemu :belum digali. Ja, benar! Arang-batu ada, Nikel ada, Mangan ada, Uranium ada. Percajalah perkataan Pak Presiden. Kita mempunjai Uranium pula.

Kita kaja, kaja, kaja-raja, Saudara-saudara : Berdasarkan atas "imagination", djiwa besar, lepaskan kita ini dari hal itu, Saudara-saudara.

Gali ! Bekerdja! Gali! Bekerdja! Dan kita adalah satu tanah air jang paling cantik di dunia.

(Pidato Bung Karno, 1957).

Bercerita tentang Njoto


Foto : Njoto, Contoh Intelektualitas Partai yang mampu mengedepankan kebudayaan dan pencerdasan (melalui koran). Dia juga dikenal sebagai penulis pidato resmi Sukarno. Nasibnya tragis seiring nasib bangsa ini yang kelak dikuasai kaum modal asing bekerjasama dengan Militer.


Namanya singkat: Njoto. Sebagai menteri negara di tahun 1960an, ia mengesankan banyak orang, termasuk Bung Karno. Bukan saja piawai di panggung politik, tapi juga memiliki pengetahun yang lengkap tentang sastra, musik hingga sepak bola.

Ia seorang jenius yang tak pernah diketahui kabar kematiannya. Ia dibunuh akibat hura hara politik akhir September 1965, ketika Partai Komunis Indonesia dituduh mendalanginya.

Svetlana Dayani: "Saya tidak melihat disiksanya, tapi kita kan mendengar suara. Mendengar jeritan orang, mendengar segala macam, hardikan-hardikan pemeriksa. Kalau pagi mereka ke luar dari ruang pemeriksaan dengan badan yang sudah, ada yang dipapah, ada yang sudah tidak bisa berjalan. Harus diseret-seret. Mengerikan. Nggak cuma laki-laki masalahnya, juga perempuan.Lihat sendiri"

Saat itu Svetlana Dayani belum lagi 10 tahun. Belum faham benar apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Svetlana beserta keenam adiknya sudah harus merasakan kejamnya hidup dalam penjara. Gelap. Pengap. Adik bungsunya saat itu malah masih menyusu.

Svetlana Dayani: "Ikut semua sampai bayinya yang umur tiga bulan itu"

Mereka adalah anak-anak Njoto, menteri zaman Bung Karno dan Wakil Ketua CC Partai Komunis Indonesia, PKI. Huru hara politik 30 September 1965 membuat mereka harus ikut merasakan pengapnya penjara Kodim Jakarta. Tiga bulan bersama Soetarni, ibu mereka.
Setelah bebas dari tahanan Kodim, Soetarni, istri Njoto, kembali ditangkap dan ditahan. Dari satu penjara ke penjara lain. Antara lain di Wonogiri, Semarang, Bukit Duri Jakarta, dan di Plantungan, Jawa Tengah. Sementara Njoto sendiri hilang tanpa jejak sejak 16 Desember 1965.

Soetarni: "Masih nyusuin saya. Tapi setelah saya karena kaki saya diambil itu, ndak keluar air susunya. Saya lapor ke komandannya. Saya minta susu. Karena itu mendadak ndak keluar. Tiba-tiba ndak keluar. Dimintakan sama-sama orang tahanan. Saya tahunya.. waduh kok kasian amat, orang ditahan kok dimintain suruh njatah aku susu"

Kini, meski sudah renta, ingatan Soetarni masih segar. Ketika tertawa, giginya terlihat berderet putih. Tinggal di sebuah rumah sederhana di Rawamangun Jakarta Timur, Soetarni banyak menghabiskan waktunya dengan membaca. Berbagai buku dilahapnya, mulai soal politik sampai komik pemberian cucu.

Seniman ketimbang politikus

Soetarni ingat betul pengalaman pahitnya. Walau pun istri Njoto, Soetarni tak pernah aktif di PKI. Ia ibu rumah tangga biasa. Sebelum menikah, Soetarni adalah atlet lari yang pernah tiga kali ikut Pekan Olahraga Nasional PON mewakili Solo. Waktu itu, Soetarni lebih banyak kenal Njoto sebagai seniman ketimbang politikus. Di mata Soetarni, Njoto adalah seorang penyabar. Seingatnya, tak pernah sekalipun Njoto membentak atau bicara kasar terhadapnya. Ia tak pernah menyesal menjadi istri Njoto.

Soetarni: "Karena peristiwa itu bukan salahnya, setahu saya, bukan salahnya PKI. Saya tidak bisa membenci PKI juga ngga. Masih tanda tanya terus toh selama ini. Ini peristiwa siapa sebetulnya siapa yang salah. Siapa yang bikin. Masih belum jelas kan? Semua juga belum tahu. (Dan sebagai istri petinggi PKI tidak pernah dengar kabar?) Tidak, baru belakangan-belakangan, dari baca-baca ini"
Sementara bagi Svetlana, Njoto adalah ayah yang dekat dengan anak-anaknya. Njoto selalu mengajak anak-anak mengenal kegiatan ayah mereka, mulai kegiatan di kantor redaksi koran Harian Rakjat sampai nonton kesenian.
Svetlana Dayani: "Kalau malam kita suka diajak ke kantor Harian Rakjat. Melihat proses membuat surat kabar, macam-macam. Diajak sampai lihat percetakannya. Diajak dia kerja. Kalau ada kegiatan dengan seniman juga begitu. Kita biasa datang ke acara seni, liat ludruk segala macam. Kesenian dari luar negeri. Terus kalau ada kegiatan dengan Lekra mungkin ke daerah, ke Bali. Kalau sedang libur kita ikut. Jadi saya tahu ayah ya seperti itu"

Untuk urusan buku, Njoto juga selalu memanjakan anak-anakmya. Di rumahnya yang luas di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat, Svetlana masih ingat tumpukan buku Njoto sampai langit-langit rumah. Njoto punya kursi khusus untuk menjangkau buku-buku itu.

Menyembunyikan jati diri

Penderitaan anak-anak tak selesai walau pun keluar dari penjara. Bertahun-tahun Svetlana juga harus menyembunyikan namanya yang berbau Rusia.

Svetlana Dayani: "Saya harus selalu menyembunyikan jati diri saya yang sesungguhnya. Tidak pakai Svetlana. Nama lengkap saya kan Svetlana Dayani. Sejak peristiwa itu ketika saya mau sekolah lagi ibu saya tidak mengizinkan, saya harus membuang nama Svetlananya. Jangan dipakai. Karena dari saya dan adik-adik itu, nama saya memang yang paling mencolok sekali, svetlana"

Padahal Svetlana berarti cahaya. Tapi cahaya itu seolah redup begitu orde baru berkuasa dan mengharamkan PKI sampai anak cucu anggotanya. Anak-anak Njoto dan anak-anak anggota PKI lain hidup menderita, tak bisa menjadi pegawai negeri, bahkan ada yang sulit menikah lantaran calon mertua tahu mereka anak PKI.

Saat peristiwa 65 meletus, Njoto sedang berada di Medan untuk urusan kenegaraan. Beredar santer desas desus PKI dalang pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Aktivis PKI dicari-cari. Ada yang ditangkap lalu dibawa ke tahanan dan dipenjara bertahun-tahun, tanpa diadili. Banyak yang ditangkap lalu dibunuh. Pecah pembantaian massal terhadap ribuan orang yang dituduh PKI.
Menghilang

Tanpa Njoto, pada 1 Oktober Soetarni terpaksa mengungsi bersama anak-anaknya dari rumah satu ke rumah lain. Seingat Soetarni, semenjak peristiwa itu, hanya sekali Njoto menemuinya.

Soetarni: "Masih nengok sekali di Gunung Sahari. Sekali saja (Bilang apa?) Wah sudah lupa ya. Ya, jaga anak-anak saja. Biasanya mesti begitu kalau mau ditinggal ke luar negeri. Jaga anak-anak kalau ada kesulitan hubungi oom ini, oom itu. Kawan-kawannya"

Setelah pertemuan hari itu, Njoto menghilang. Soetarni tak pernah lagi mendengar beritanya. Kabarnya ia ditembak mati, tapi Soetarni juga tak pernah melihat jazad suaminya. Anak-anaknya pun tak pernah tahu kabar ayah mereka. Bahkan sekedar foto pun mereka tak punya, karena rumah mereka pun ikut dijarah. Tak ada yang tersisa.

Njoto adalah salah satu dari Tiga Serangkai orang muda pemimpin Partai Komunis Indonesia tahun 1965. Selain Njoto ada juga Aidit dan Lukman. Selain sebagai Wakil Ketua II CC PKI, Njoto juga seorang penyair, essais dan penulis naskah pidato Bung Karno. Di kantor redaksi Harian Rakjat Njoto menulis editorial, pojok atau kolom.

Tidak antiagama

Njoto seorang komunis tulen. Tapi ia tidak anti agama. Salah seorang sahabatnya, Joesoef Isak bercerita, Njoto pernah mengusahakan seorang ibu untuk naik haji ke Mekah. Saat itu tak sembarang orang bisa berangkat ke Mekah walau punya uang.

Joesoef Isak: "Dulu orang naik haji berebutan. Ada jatahnya. Walau pun punya duit kalau gak dapat jatah gak bisa. Teman saya Tom Anwar, wartawan Bintang Timur. Ibunya udah 60 tahun, sudah tua. Kepingin naik haji. Kedengaran sama Njoto. Njoto orang PKI yang dibilang iblis, gak kenal Tuhan, itu mengusahakan satu jatah untuk ibunya Tom Anwar. Jadi ibunya Tom Anwar kemudian 20 tahun lagi saya ketemu, dia udah umur 80 tahun, tidak pernah dia lupakan, bisa haji berkat Njoto"

Di mata Joesoef Isak, pengetahuan Njoto di banyak bidang tergolong paripurna. Njoto tahu banyak, mulai politik, musik sampai bola. Joesoef Isak yang saat itu wartawan harian Merdeka justru kenal Njoto karena musik.

Joesoef Isak: "Bicara mengenai sepak bola, dia akan bicara sebagaimana seorang pelatih sepak bola profesional. Sistem grendel, sistem 421. Itu. Jadi dia serba mendalam. Bicara mengenai musik. Dari kroncong, floklor musik-musik rakyat Maluku, Ambon, Batak yang memang indah ya. Dia bisa bicara mengenai Beethoven, mengenai Wagner, mengenai Berlioz, Edvard Grieg, Sibelius, Antonin Dvorak"

Genjer-genjer

Di bidang musik Njoto bukan sekedar tahu. Ia juga pandai memainkan berbagai instrumen, dari gitar sampai piano. Teman bermain musiknya antara lain adalah Jack Lesmana, salah seorang pelopor sekaligus pemusik jazz ternama Indonesia.

Suatu ketika, saat berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1962 dia disuguhi lagu Gendjer-Gendjer. Nalurinya sebagai seniman muncul dan memprediksi lagu itu akan tenar. Ramalan Njoto benar, lagu rakyat itu menjadi hit yang diputar di TVRI dan RRI.

Joesoef Isak boleh jadi salah seorang dari sedikit rekan Njoto yang saat ini masih hidup. Usianya kini 80 tahun. Di zamanOrde Baruia mendirikan penebit Hasta Mitra yang menerbitkan roman Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer.

Njoto anak tertua dari tiga bersaudara, dilahirkan di Bondowoso pada tanggal 17 Januari 1927. Sejak muda Njoto telah menunjukkan bakat sebagai aktivis politik ulung.

Joesoef Isak bercerita saat Njoto juga pernah bergabung dalam Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP, padahal usianya saat itu baru 16 tahun.

Joesoef Isak: "Dia sudah jadi komunis masih masa muda. Karena itu waktu republik berdiri, 1945, 1946, 1947, dia pimpin PKI, jadi fraksi PKI. Dia sudah ketuanya. Dia cerita pada saya. Umurnya 16. Jadi dia korup dua tahun. Isyunya saat itu KNIP perundingan dengan Belanda. Apa mau kompromi apa tidak dengan Belanda. Paling garis besar saja saya tahu soal-soal itu. Yang mendetail saya ndak banyak tahu"

Karir politik Njoto terus melambung. Pada pemilu pertama tahun 1955, Njoto sudah berada di barisan pemimpin PKI.
Lekra

Di bidang sastra dan kebudayaan, Njoto ikut mendirikan Lembaga Kebudajaan Rakjat, Lekra. Ia juga ikut membuat Piagam Lekra. Amarzan Loebis, anggota Lekra, mengatakan organisasi ini dulunya menekankan konsep sastra yang berpihak pada rakyat.

Amarzan Loebis: "Saya kira konsep Njoto ya jelas, seperti konsep Lembaga kebudajaan Rakjat ya sastra itu ya sastra yang memihak. Dan pemihakan sastra itu adalah pada orang-orang yang tertindas dan terjajah. Konsep sastra kita itu, kalau bisa disimpulkan menurut bahasa sekarang ya sastra pembebasan, sastra yang berusaha membebaskan orang, membebaskan manusia dari penindasan, penjajahan dan dengan sendirinya dari kebodohan. Kalau ada pertunjukan sandiwara, kalau itu cenderung memihak siapa?

Rakyat atau kelompok yang menindas rakyat? Kalau cerita sandiwara itu menindas rakyat, itu bukan model cerita yang kita sambut gembira. Juga cerita-cerita yang tidak menyarankan optimisme"

Lekra pernah berpolemik keras dengan sejumlah seniman yang tergabung dalam Manifesto Kebudajaan, Manikebu. Sebuah perdebatan paling seru dalam sejarah budaya Indonesia. Kelompok Manikebu yakin seniman harus bebas dalam menciptakan karya yang didasarkan pada rasa kemanusiaan. Sementara seniman-seniman Lekra mendukung garis politik Bung Karno bahwa politik sebagai panglima. Karena itu seniman juga harus ambil bagian dalam politik mendukung Bung Karno.

Soekarno yang waktu itu dekat dengan Lekra dan PKI akhirnya melarang kelompok Manikebu. Joesoef Isak, kawan Njoto mengatakan, sejak awal Njoto tidak setuju pelarangan itu. Polemik Lekra versus Manikebu, kata Njoto, harusnya diperdebatkan dan masyarakat yang menilai.
Joesoef Isak: "Dia bilang manikebu enggak bisa dihapus dengan peraturan, dengan tanda tangan, dengan statement, lalu hilang. Manikebu adalah suatu wawasan. Wawasan itu tak bisa hilang dengan tanda tangan di atas kertas. Harus dilawan dengan polemik, dengan debat. Terbuka, biar rakyat terlibat. Biar lihat sendiri, menilai mana yang bener mana yang tidak bener. Dalam hal itu sikap Njoto cukup demokratis"

Penulis pidato BK

Njoto juga salah seorang penulis naskah pidato Bung Karno. Menurut Joesoef Isak Soekarno suka gaya tulisan Njoto karena sesuai dengan gaya pidatonya.

Joesoef Isak: "Sebenarnya kalau soal pidato Bung Karno, bukan hanya Njoto, tapi Roeslan Abdoelgani juga nulis, Soebandrio menulis. Jadi tiga orang. Tapi masing-masing, setelah Soekarno pidato, mereka lihat berapa persen mereka dipakai. Njoto bilang, waktu bicara 63/64 Bung Karno hebat. Njoto sudah bilang, Suf, tinggal kerikil-kerikil saja. Hampir semua dia punya"

Ada banyak alasan mengapa Soekarno suka Njoto. Amarzan Loebis adalah wartawan Tempo bekas anggota Lekra yang pernah ditahan di Pulau Buru.

Amarzan Loebis: "Pertama masalah "ideologis" dan masalah habit. Masalah ideologis saya melihat Bung Njoto lebih sebagai nasionalis daripada seorang marxis. Bung Karno sendiri kan mengakui bahwa marhanenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia. Jadi ketemunya di situ saya pikir, ya. Pada Njoto ada ideologi marxis yang cenderung nasionalis. Pada Bung Karno jelas ada ideologi nasionalis cenderung marxis. Jadi ketemu. Kemudian dari segi habit, ya keduanya kebetulan sama-sama gemar musik, gemar lukisan dan mengerti lukisan, gemar sastra. Hal-hal seperti itu. Jadi mudah menjadi dekat"

Kepada orang-orang dekatnya, Njoto mengaku tak tahu menahu soal gerakan 30 September yang menurut orde baru didalangi PKI. Saat itu Njoto bahkan sedang ada di Medan, mengikuti sebuah tugas kenegaraan. Sampai kini tak jelas kabar kematiannya. Mati dalam sunyi.

(Laporan TEMPO)

Tambah Gambar