Friday, 20 April 2012

Kartini Jendela Modernisasi Indonesia



Politik Kartini, pada awalnya adalah “Politik Bahasa”, Belanda mampu menguasai Nusantara dengan dua hal : “Bahasa dan Tata Buku”. Dari Bahasa inilah Kartini kemudian mempertanyakan ‘bagaimana dunia bekerja’.

Sejarah Pemikiran RA Kartini, tak lepas dari kerja politik kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, Bupati Demak yang pertama kali memperkenalkan politik bahasa untuk memahami bagaimana kekuasaan Belanda secara substansi bekerja dalam struktur masyarakat Indonesia. Pangeran Ario Tjondronegoro, diangkat menjadi Bupati Demak sekitar tahun 1840-an tak lama setelah selesainya perang Diponegoro. Pangeran Ario Tjondronegoro mempelajari bahwa kekalahan Diponegoro adalah dimulai sebuah jaman baru dimana orang Jawa harus secara detil bisa mempelajari ilmu pengetahuan Eropa lewat bahasa. Saat itu juga mulai berkembang ide-ide rasional bangsa barat yang kemudian dapat dipahami sebagai langkah awal pemahaman manusia dalam menguasai Ilmu Pengetahuan. ‘Ilmu Rasional’ inilah yang kemudian dipelajari dengan detil oleh Pangeran Ario Tjondronegoro. Di umur 25 tahun, Pangeran Ario Tjondronegoro menjabat sebagai bupati Demak. Dialah Bupati yang pertama kali menguasai bahasa Belanda dengan sempurna. Pangeran Ario Tjondronegoro IV juga mengembangkan perpustakaan barat pertama yang kelak menjadi amat berguna bagi dua cucunya yang cerdas : RA Kartini dan Drs. RMP Sosrokartono.

Pangeran Ario Tjondronegoro mengharuskan anak-anaknya untuk menguasai bahasa Belanda. “Jika kalian ingin mengetahui bagaimana rahasia ilmu pengetahuan dan budaya modern, sehingga bangsa Jawa takluk pada orang kulit putih, pelajari bahasa-nya”. Pesan ini dipegang baik-baik oleh dua orang putera Pangeran Ario Tjondronegoro, yaitu : Raden Mas Adipati Aryo Adiningrat dan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Pada permulaan abad 20, di tahun 1900 hanya ada empat bupati yang menguasai bahasa Belanda dengan sempurna, dan menggunakan administrasi pemerintahan resmi dengan bahasa Belanda yaitu : RM Sosroningrat, ayah Kartini (Bupati Jepara), RM Adiningrat, Bupati Demak, Paman Kartini, Bupati Serang RM Djajadiningrat dan Bupati Ngawi, Pangeran Kusumo Utoyo.

Saat itu ada gerakan diam-diam di kalangan elite Jawa untuk memulai suatu pergerakan besar untuk menentang penjajahan Belanda. Gerakan ini kerap luput dicatat dalam banyak buku-buku sejarah, karena gerakan para bangsawan Jawa ini tersembunyi dan tidak kelihatan, kebanyakan sejarawan menilai pergerakan anti penjajahan Belanda yang dilakukan secara modern, hanya bermula pada tahun 1908 ketika Boedi Oetomo. Padahal pergerakan penentangan penjajahan Belanda yang dilakukan diam-diam para bangsawan ini kemudian mampu mendesak adanya politik etis yang mengatalisator dikenalnya system pendidikan modern.

Pada tahun 1880-an, RM Sosroningrat sendiri mengajukan pendapat untuk dibentuk persatuan bupati di tanah Jawa dan diusahakan dikenalkan pendidikan bahasa Belanda agar Bupati tidak memahami konsep pemerintahan modern. Anjuran dari RM Sosroningrat kemudian disambut oleh Bupati Cirebon dan kemudian terjadi gelora dalam menguasai Bahasa Belanda. Kartini kecil beruntung tumbuh dalam situasi yang membuatnya memiliki akses terhadap bahasa Belanda. Di umur 7 tahun ia sudah pandai membaca buku berbahasa Belanda. Ayahnya membuat perpustakaan lengkap yang bukunya merupakan warisan Pangeran Ario Tjondronegoro dan ada supplier dari pedagang buku di Batavia yang tiap bulan mengirim buku, koran dan majalah bernama Jan Wilkers.

Kakak Kartini, Sosrokartono bahkan bisa menguasai 34 bahasa, dia seorang polyglot (orang yang menguasai banyak bahasa) paling terkenal pada jamannya. Sosrokartono juga dikenal sebagai ahli kebatinan paling legendaris yang dikenal orang Jawa.

Banyak yang mengira arti penting Kartini adalah hanya sebagai penulis surat-surat dalam bahasa Belanda, Kartini hanya seorang Jawa yang ‘dibelanda-kan’. Padahal dan ini yang harus kita mengerti semua, Kartini adalah ‘Pembuka pemikiran dari keseluruhan jaman modern di Indonesia’. Dan kaum perempuan Indonesia boleh bangga, bahwa yang membuka Indonesia ke dalam jaman modern, jaman rasional, jaman intelektual-dialektis, adalah seorang Perempuan Jawa dari Jepara : Kartini.

Pengenalan Kartini terhadap buku-buku asing pada awalnya adalah buku kanak-kanak, lalu novel-novel kemudian berkembang ke buku-buku politik dan sosialisme yang menyadarkan posisi manusia dalam masyarakat. Kartini membaca de Vrouw en Sosialisme yang banyak membuka pemahaman Kartini tentang bagaimana sejarah masyarakat dan kedudukan perempuan dalam masyarakat ditilik dari pandangan Sosialisme, Kartini juga membaca De Varlandsche Geschiedenis (Sejarah Tanah Air Belanda), bahkan Kartini menyebut : “Buku ini adalah yang paling aku suka, karena menyadarkan arti penting tanah air”. Ketika membaca buku Sejarah Tanah Air Belanda, Kartini menyebut dengan khusus gerakan Watergauzen, -sebuah kesatuan gerak rakyat jelata untuk mewujudkan suatu bangsa-. Sayangnya surat-surat Kartini yang berbau sosialis diberangus pemerintahan Belanda, disortir, sehingga surat-surat Kartini yang muncul keluar hanya surat ‘rasa penasaran seorang perempuan Jawa’ tentang kehidupan di luar tembok keraton kadipaten.

Gagasan besar Kartini tentang pikiran-pikiran modern adalah tancapan yang luar biasa pondasi dasar kemodernan Indonesia, Indonesia diajak masuk ke dalam sebuah jaman baru, jaman dimana Eropa menemukan kebesarannya. Disini Kartini tidak mengajak orang Indonesia menjadi orang Eropa tapi mengajak menemukan rahasia kebesaran bangsa Eropa. Dalam surat-surat Kartini, ia menemukan pandangan baru soal geopolitik, nasionalisme, posisi perempuan dalam masyarakat, sistem edukasi yang bertahap tapi menyeluruh ke seluruh lini masyarakat, pembongkaran penindasan kaum feodal dan kritiknya terhadap kelas-kelas di masyarakat.

Kartini memang bukan pahlawan yang bertindak, ia pemikir, ia penggagas, bahkan ia sendiripun kalah dalam mempertahan idealisme-nya di dunia nyata, menjelang perkawinannya ia amat toleran terhadap sistem feodal yang awalnya dikritik sebagai sebab pemula hancurnya bangsa Jawa, ia rela menjadi isteri ketiga Bupati, disini Kartini entah sengaja atau tidak mempertahankan kelasnya dan kenyamanan. Ia tidak keluar menuju satu jaman yang diimpikannya, padahal surat undangan belajar di Sekolah Guru di Batavia sudah tergeletak di ruang pendopo Kabupaten, tapi ia menampik dan memilih menjadi isteri ketiga seorang Bupati Rembang.

Salah satu jasa terbesar Kartini adalah ‘munculnya gerakan etis, dan memaksa pemerintah Hindia Belanda membentuk pos anggaran pendidikan lebih besar, membuka pintu lebar-lebar untuk pendidikan bagi anak-anak pribumi. Orang-orang seperti Sukarno, SM Kartosoewirjo, Semaoen, Musso atau Hatta adalah anak-anak kandung yang dihasilkan dari perjuangan Kartini dalam menuntut pendidikan barat. Dari tangan Kartini-lah, era pergerakan berubah total dari era penuh mitos, sakralitas Perang Diponegoro yang kuno menuju suatu perang pemikiran yang lebih lugas, sesuai jaman dan bahkan mampu menjebol rahasia-rahasia penindasan masyarakat.

Setelah meninggalnya Kartini, pergerakan intelektual Indonesia berkembang amat hebat. Pikiran-pikiran Kartini pada awalnya dijual oleh kelompok sosialis di Parlemen Belanda untuk menggebuk kelompok konservatif dan liberal, awalnya kelompok liberal bersekutu dengan kelompok sosialis namun ketika kelompok sosialis mulai menunjukkan tuntutan yang lebih ganas terhadap hak-hak asasi manusia dan merugikan kelompok liberal yang didukung oleh pengusaha-pengusaha perkebunan menjadikan kelompok liberal beralih bersekutu ke kelompok konservatif. Di tangan partai politik liberal Belanda pikiran Kartini hanya dijadikan etalase suatu kebanggaan bahwa Bangsa Belanda merupakan kiblat baru dalam pemikiran intelektual seorang Perempuan Jawa.

Ketika bangsa Jepang berhasil menghancurkan armada laut Russia di tahun 1905, semangat nasionalisme berkobar dimana-mana, gerakan nasionalisme ini juga mempengaruhi banyak pemikir-pemikir baru yang mulai melakukan diskusi-diskusi politik. Di tahun 1900-an awal, pusat diskusi politik paling penting berada di Solo. Banyak kaum pergerakan dari Sumatera dan luar Jawa mengunjungi Solo untuk berdiskusi dengan kelompok-kelompok radikal yang tercerahkan. Salah satu dedengkot dalam diskusi nasionalisme itu adalah dokter Tjiptomangoenkusumo. Yang biasa dijuluki ‘Onze Tjip’. Dokter Tjipto bisa dikatakan sebagai penyuluh pertama kali tentang nasionalisme Indonesia, pidato pada pertemuan kecil pertama kali ia lakukan di Solo, di Belakang Pasar Legi tentang uraian-uraian nasionalisme, dokter tjipto memiliki kumpulan diskusi di rumah Raden Mas Djojopanatas, yang memiliki jaringan pergerakan radikal para saudagar Jawa. Djojoopanatas adalah orang penting dibalik pembentukan gerakan Rekso Rumekso yang merupakan jaringan dagang-politik pertama kali bagi orang Jawa dan sebagai cikal bakal terbentuknya Sarekat Dagang Islam. Dulu kata ‘Islam’ tidak hanya berkonotasi pada agama, tapi juga ‘rakyat’ secara keseluruhan. Dalam diskusi-diskusi di rumah Djojopanatas inilah kemudian pemikiran Kartini diangkat kembali sebagai tema besar dalam perlawanan penjajahan Belanda, jadi logika politiknya dibalik.

Di tahun 1921, Sukarno muda bertemu dengan Dokter Tjipto, lalu Sukarno muda disuruh dengan detil membaca surat-surat Kartini. Disini kemudian dr. Tjip membuat uraian menyeluruh bahwa “Bahwa nasionalisme Indonesia tak lepas dari pembebasan perempuan itu sendiri” awalnya pandangan dr. Tjipto ini amat maju, tapi kemudian gerakan perempuan Indonesia diredusir oleh Bung Karno hanya sebagai ‘gerakan penyatuan atas perempuan dan laki-laki dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia’. Kesadaran perempuan digeser bukan sebagai bagian perjuangan dalam memahami ‘perempuan sebagai manusia yang utuh dan merombak struktur dunia laki-laki yang menindas tubuh dan pikiran mereka’ tapi hanya lebih pada gerakan penyatuan ‘komunal’ dalam merebut kemerdekaan. Arus inilah yang kemudian menjadi utama selama hampir 50 tahun dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia, sampai pada kejatuhan Sukarno di tahun 1965.

Tapi bagaimanapun juga redusir Sukarno terhadap interpretasi gerakan perempuan membawa gerakan perempuan menemukan kembali pemaknaannya setidak-tidaknya pemaknaan dari ‘tahap pertama penemuan peran perempuan di kalangan masyarakat’, pidato Sukarno di tahun 1932 pada sebuah pertemuan politik di Solo ““Saat ini perjuangan kaum perempuan yang terpenting bukanlah demi kesetaraan, karena dibawah kolonialisme laki-laki juga tertindas. Maka, bersama-sama dengan laki-laki, memerdekakan Indonesia. Karena hanya dibawah Indonesia yang merdekalah, kaum perempuan akan mendapatkan kesetaraannya”. Ditengah-tengah ombak besar nasionalisme yang siang malam menyerbu mimpi-mimpi para pemuda, mayoritas kelompok lainnya memfokuskan diri semata pada pendidikan, pemberantasan buta huruf dan soal-soal keperempuanan. Meskipun hal ini juga amat penting, namun tampa keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan, semua persoalan kesetaraan akan gagal menghasilkan pembebasan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun” pidato Sukarno inilah yang membuktikan bahwa “GERAKAN PEMBEBASAN PEREMPUAN BUKANLAH BAGIAN DARI PEMIKIRAN ASING, PEMIKIRAN BARAT TAPI BAGIAN TAK TERPISAHKAN DARI SEJARAH INDONESIA MEMBENTUK KEMERDEKAANNYA, DAN MENJADI ALASAN PENTING KENAPA INDONESIA HARUS BERDIRI”.

Pergerakan perempuan di Indonesia pada hakikatnya sudah tumbuh sejak lama, bukan dari gerakan-gerakan yang dituduh oleh sekelompok orang sebagai bagian dari budaya liberal barat, gerakan perempuan di Indonesia sudah menjadi bagian sejarah yang utuh gerak bangsa ini. Pemogokan-pemogokan buruh dan perlawanan untuk mempertanyakan kemerdekaan ditemukan pada gerakan perempuan, dulu di awal tahun 1920-an ada gerakan perempuan bernama ‘Caping Kropak’ yang diorganisir oleh Sarekat Rakyat dengan arsiteknya adalah Semaoen, gerakan ini mampu menekan gubernemen meminta pada penguasaha perkebunan untuk memperhatikan kesejahteraan perempuan.

Pergerakan perempuan di jaman modern, masuk dalam keterlibatan perempuan merebut kemerdekaannya, gerakan ini menjadi luruh dalam persamaan gerakan lelaki, sehingga tidak lagi ada anatomi yang mendasar dalam penjelasan problematika perempuan secara utuh di masa pergerakan, masa kemerdekaan dan masa Revolusi Sukarno.

Gerakan perempuan menjadi lebih menarik dianatomi, ketika gerakan perempuan itu sendiri dihancurkan oleh para Jenderal-Jenderal Negara Orde Baru dalam sebuah penghancuran bertahap, sistematis, dan terarah untuk membentuk suatu peradaban baru Indonesia yang makmur. Penghancuran ini menjadi bagian yang gradual terhadap penghancuran pendukung Sukarno, penghancuran gerakan pemuda, penghancuran gerakan politik di luar sistem dan penghancuran peran perempuan dalam mesin sosial politik.

Tubuh Djamilah, seorang pelacur yang ditangkap dan dijadikan ‘Gerwani’ adalah politik penghancuran pertama kali Gerakan Perempuan di Indonesia. Dalam ‘prasangka’ terhadap tubuh Djamilah itulah kemudian gerakan perempuan paling agresif dan paham realitas persoalan masyarakat, menemukan kiamatnya. Ribuan perempuan yang dituduh terafiliasi Gerwani dimasukkan ke dalam penjara, dihina tubuhnya, dan dipermainkan nasibnya oleh Negara. Disini kemudian Negara berubah menjadi monster yang menakutkan dan mengawali sebuah peradaban baru dimana keseluruhan lini gerakan perempuan ditaklukan dan dijadikan budak atas kemauan negara.

Dalam Negara Orde Baru, penguasaan terhadap sumber-sumber Kapital menjadi mutlak ditangani Negara dan tidak boleh diganggu gugat oleh pergerakan rakyat. Rakyat disini harus menjadi objek atas ketertiban masyarakat, dan perempuan adalah “Pergerakan Rakyat yang Paling Rapuh, sekaligus instrumen yang paling kuat dalam indoktrinasi” maka penghancuran terhadap gerakan perempuan di tahun 1965 lewat tubuh Djamilah itu kemudian dibarengi dengan pembangunan tubuh perempuan yang lain, yang ideal, yang memenuhi kaidah moralitas Orde Baru. Lalu Orde Baru menamakan tubuh perempuan itu sebagai ‘Dharma Wanita dan PKK”.

Degradasi peran intelektual Perempuan yang amat parah berada pada Dharma Wanita, dimana tubuh dan pikiran perempuan dibentuk sebagai ‘pendamping laki-laki’. Namun Orde Baru juga dengan cerdas mengarahkan tubuh perempuan ke dalam bentuk ‘kerja’ sebuah kerja besar bersama dalam PKK. Disini Orde Baru mengarahkan perempuan untuk menjadi ‘volunteer’ atas problem-problem kemasyarakatan seperti kesehatan dan pendidikan, tapi Orde Baru tidak menghitung ‘kerja’ perempuan itu ke dalam angka nominal yang harus dimasukkan ke dalam Pos Pemasukan Negara dan dikembalikan lewat pemasukan pajak kepada gerakan perempuan itu sendirim jadi kerja bakti perempuan adalah kerja gratis. ‘Gerakan kerja bakti’ perempuan ini ternyata membangun dunia kesehatan publik paling spektakuler dalam sepanjang sejarah Indonesia modern, adanya Posyandu dan membangun gerakan kesehatan perempuan lebih maju dan tidak perlu adanya gerakan besar. Disatu sisi Orde Baru membangun memenjarakan pikiran dan tubuh perempuan, disisi lain Orde Baru justru memberikan ruang gerak tanpa sengaja menjadikan perempuan sebagai bagian paling penting kerja masyarakat.

Reformasi 1998 adalah babak pembuka demokrasi, keterbukaan menjadi substansi segala-galanya dalam masyarakat baru Indonesia. ‘Perempuan yang dimasa Sukarno dimasukkan ke dalam satu struktur komunal perjuangan bersama menuju mimpi Sukarno yaitu : Trisakti : Kemandirian ekonomi, Kemandirian Politik dan Berkepribadian dalam Kebudayaan, dimasa Suharto perempuan dipaksa tubuh dan pikirannya dalam struktur negara, maka di masa reformasi perempuan juga tak lepas dari prasangka yang dibuat atas nama agama dan kultural’. Pembebasan perempuan di masa reformasi lebih rumit tapi juga memiliki kemajuan luar biasa dalam mendefinisikan perempuan sebagai bagian utama kesetaraan gender.

Politik atas tubuh dan pikiran perempuan mendapatkan tempatnya dalam gerakan besar dunia yang bernama ‘Gender Mainstreaming’ atau yang disebut juga Pengarusutamaan Gender (PUG).

Pengarusutamaan Gender, bukan saja gerakan menganalisa ketertindasan perempuan tapi juga menganalisa kesetaraan bagi laki-laki, anak-anak, dan peluang akses mereka dalam menyentuh hak Kapital. Inilah langkah maju tersebut, Perempuan yang selama ini diasingkan dalam proses penentuan masa depannya sendiri menjadi memiliki hak yang lebih lugas. Problem terpenting perempuan saat ini adalah ‘keadilan mendapatkan hak akses ekonomie dalam sektor lapangan kerja’. Ketidakadilan inilah yang kerap ditopang bahwa perempuan ‘adalah pengganggu’ dalam struktur dunia yang diciptakan laki-laki.

Sumber-sumber Kapital yang dikuasai oleh Negara juga kerap terancam oleh hak-hak kaum perempuan, bila di jaman Suharto, kaum Perempuan dirampok hak-hak ekonomie-nya maka di jaman reformasi perempuan juga diasingkan dalam hak-hak ekonomie yang dibentuk dengan sekumpulan prasang-prasangka atas tubuh perempuan. RUU Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, sebagai misal adalah proyek Negara dalam mencaplok tanah-tanah rakyat yang digunakan untuk negara atau swasta, legalitas UU ini bisa memberikan kekuasaan negara berlaku kriminal terhadap pemilik tanah dengan menembaki mereka yang menolak lahannya dicaplok. Perempuan juga banyak merugi dengan adanya UU ini karena bila lahan diambil biasanya yang menanggung beban adalah perempuan, mereka akan mengalami pekerjaan beban berat berganda, karena biasanya kaum lelaki setelah hak lahannya tercabut tidak segera mendapatkan akses ekonomie lain, sementara kaum perempuan terasa lebih bertanggung jawab terhadap makan anak-anak mereka.

Kaum perempuan juga sering mengalami penindasan kultural, dalam perkawinan mereka kerap dijadikan alat jual beli dalam hukum adat, sehingga perkawinan itu bukan lagi dijadikan sebagai ‘Memanusiakan kemanusiaan’ tapi sebuah ‘Pemaksaan yang diluar kendali manusia’. Banyak problem perempuan yang harus digali oleh masyarakat seperti problem kesehatan, problem ancaman kematian saat melahirkan bayi, dan kesehatan gizi anak-anak yang kerap menjadi beban kaum perempuan dan negara tak ambil peduli.

Problem perempuan yang sedemikian rumit karena tak mendapatkan hak akses ekonomie yang setara, hak tanggung jawab yang juga setara karena adanya prasangka, menjadikan pikiran-pikiran Kartini menemukan aktualitasnya. Seperti surat Kartini pada Nyonya Van Kool, tahun 1901 : “Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya.

Negara dan Masyarakat sampai saat ini masih salah kaprah dengan menggunakan tradisi Orde Baru yang memberikan prasangka atas tubuh perempuan dalam memperingati “Hari Kartini” dengan menggunakan pakaian adat tradisional, bukannya malah mengenalkan pemikiran-pemikiran pembaharuan atas hak tubuh dan hak pikiran perempuan yang lebih merdeka.

Dari Kartini, kita banyak belajar untuk peradaban Indonesia yang lebih maju dan memanusiakan manusia.


Jakarta, 21 April 2012


(Anton DH Nugrahanto)

No comments: