Thursday, 16 April 2009

Menghitung Kongsi dan Menghitung Koalisi


Menghitung Kongsi dan Menghitung Koalisi
kasus Golkar dan PDIP
Oleh Anton
Peta politik praktis sekarang menurut saya jauh lebih menarik ketimbang tahun 2004. Jika tahun 2004 Zeitgeist-nya adalah “bagaimana membantai Megawati” secara rame-rame maka peta politik sekarang jauh lebih khaotik karena Golkar telah menjauh dari Demokrat hanya gara-gara tersinggung ucapan Mubarok sehingga memunculkan fenomena Harakiri JK yang sampai saat ini masih menjadi isu hangat di Golkar. Kasus Bunuh Diri Politik JK ini juga mengancam akan menghancurkan kubu Kalla di peta kekuasaan Partai Golkar. Setidak-tidaknya ada tiga kekuatan besar yang sedang bertarung di Internal Golkar : Kubu Akbar Tanjung, Kubu Kalla dan Kubu Alternatif diluar itu (Sultan, Fadel ataupun Agung Laksono). Ketiga kubu ini semuanya mempertimbangkan akankah Golkar menjadi Partai Pemerintah atau bila kalah siap menjadi oposisi.
Masalahnya Golkar selama 42 tahun tidak pernah menjadi partai yang menentang pemerintah termasuk di jaman Bung Karno dulu pada masa Golkar bernama Sekber Golkar, bahkan melalui tokoh Sekber Golkar Suhardiman, wacana Presiden Seumur Hidup bagi Sukarno digelindingkan dan didukung Angkatan Darat, hal ini dilakukan untuk menahan PKI agar Pemilu 1964 dibatalkan. Pemilu 2009 adalah Pemilu yang paling memalukan bagi Golkar karena cita-cita utama Golkar bukanlah menggolkan Presiden dalam jangka pendek tapi membangun kekuatan partai menjadi kekuatan hegemonik di Indonesia setelah mereka lolos dari ancaman pembubaran pasca ambruknya Orde Baru. Jalan panjang Golkar ini dipilih sebagai bagian dari modernisasi Golkar. Hanya saja permasalahannya pada tahun 2004 Golkar malah terjebak dalam suasana posisi yang amat pragmatis setelah JK dengan memilih SBY dan memenangkan pertarungan. Akbar Tanjung tokoh dibalik pemulihan Golkar pasca 1999 yang mengotaki agar Golkar menjadi kekuatan hegemonik dalam waktu 10 tahun setelah runtuhnya Orde Baru malah terdepak oleh JK. Kelompok JK yang didukung kubu Iramasuka yang tadinya menjadi kekuatan marjinal dan sempat dipinggirkan pada era Marzuki Darusman menjadi kekuatan dominan di masa JK dan memunculkan bintang baru Aburizal Bakrie sekaligus membawa kesan Golkar adalah partai yang profesional namun tidak lagi menjadi Partai Karyawan (Sesuai dengan citra Neofasis Orde Baru = Beambten staat atau Negara Pegawai). Di bawah JK yang kemudian menjadi head steering committee paling utama dalam rezim SBY memunculkan arah kebijakan Pro Pasar Bebas dimana kemudian korporasi-korporasi besar mendapatkan keuntungan. Pada rezim SBY-JK (Demokrat-Golkar) keberpihakan pada korporasi sangat jelas ketimbang keberpihakan pada rakyat : Kasus Lapindo adalah petunjuk bagaimana kepentingan rakyat banyak bukanlah menjadi agenda prioritas, sementara ketika Pasar Modal mengalami Crash di akhir bulan Puasa 2008, begitu cepat SBY bertindak bahkan melewati batas sehingga masuk ke dalam tugas teknis Menkeu dengan meminta menghentikan Perdagangan saham. Apa yang dilakukan SBY jelas merupakan upaya perlindungan atas hancurnya saham BUMI dan juga keberpihakan SBY pada sektor Korporasi. JK sendiri disini juga malah menunjukkan sikap pragmatis yang membuat repot sektor ekonomi. Ketidakmampuannya membaca gerak pasar minyak justru menimbulkan soal baru dan seakan-akan ekonomi negara dijalankan dengan kaidah perusahaan dimana soal Jangka Pendek adalah yang utama ketimbang soal Jangka Panjang. Dibawah SBY-JK keberpihakan pada Neoliberalisasi justru lebih kuat ketimbang jaman Megawati. JK yang sudah merasa menang dalam kompetisi kepemimpinan intra pemerintah ternyata membuat tidak suka kubu Demokrat. Perlu diingat suasana batin masyarakat pada tahun 2004 adalah memilih SBY bukan memilih JK. Hanya saja saat itu SBY tidak memiliki kelihaian politik dan tidak percaya diri. SBY hanya menunggangi Partai kecil dan baru, serta SBY tidak berusaha mendekati partai-partai menengah yang bisa memperkuat posisinya bila SBY menang nantinya. Strategi yang aneh dari SBY ini memang tidak luput pusat perhatian waktu adalah 'Konvensi Partai Golkar' Semua orang melihat capres dari Golkar-lah yang paling berpeluang menang. Tidak ada satu pun pengamat politik melihat potensi kelebihan individu SBY sebagai vote getter paling kuat sebagai antitesis Megawati. Para analis partai gagal melihat ini, mereka melihat bahwa Partai masih menjadi sarana efektif penggalangan suara bukan individu. Sementara Antitesis PDIP adalah Golkar. Semua mata tertuju pada Golkar. Usaha SBY untuk menggaet parpol lain ke dalam kubunya dipandang sebelah mata. Semua parpol bersiap menggalang koalisi dengan Golkar untuk rame-rame menghancurkan Megawati. Posisi Megawati saat itu sangat buruk. Mega dianggap gagal menyejahterakan rakyat, namun dosa terbesar Mega justru bukan soal ekonomi tapi pada soal 'Diplomasi Politiknya yang gagap' tidak seperti Ayahnya Bung Karno yang mampu mengembangkan komunikasi efektif ke rakyat banyak, Mega justru mengembangkan diplomasi bisu dan ini tidak disukai oleh mayoritas rakyat Indonesia yang memiliki budaya bercerita kuat.
Runtuhnya Megawati ini dinilai akan menguntungkan Golkar sekaligus mengantarkan pada logika yang kemudian keliru : Partai Politik Menang, Calonnya Pasti Menang. Terbukti Wiranto, pemenang konvensi Partai Golkar secara memalukan kalah pada putaran pertama. Tanpa pikir panjang kekuatan Partai melihat posisi JK yang secara cerdik memenuhi tempat Wapres SBY dan menjadi portofolio strategi politik paling gemilang, disini kekuatan Golkar diarahkan untuk memenangkan JK pada putaran kedua. Dan tidak mau tanggung-tanggung ketika JK menang dan merasa berjasa dalam menyelamatkan Golkar pada posisi pemerintah. JK melakukan rancangan kekuatan untuk menggusur kekuatan Akbar Tanjung. Oportunitas di Golkar yang kuat memihak pada JK, JK sendiri yang sudah dikeluarkan oleh Akbar Tanjung dari jabatan kepengurusan Golkar malah berhasil mendepak Akbar Tanjung. Menangnya kekuatan JK ini secara pragmatis menguntungkan posisi Golkar tapi terbukti sepanjang lima tahun ke depan, justru Golkar mengalami kebangkrutan paling parah sepanjang sejarah berdirinya Golkar.
Kegagalan Pemilu Legislatif jelas akan menjadi bola salju yang membesar atas ketidakpuasan kepemimpinan JK. Dua tahun lalu, sudah muncul suara-suara di DPD bahwa JK telah memundurkan suara Golkar dan kini terbukti. Yang dilakukan JK disini adalah sebagai langkah terakhir : Maju terus menjadi Capres, pertaruhan beginian adalah pertaruhan yang tidak disukai oleh Golkar. Logika Golkar adalah logika kepastian, Logika mematuhi siapa yang berkuasa. Posisi JK terjepit. Jelas harga dirinya akan jatuh bila dia memohon-mohon pada SBY untuk bergabung kembali setelah ucapannya : Lebih Cepat, Lebih Baik. Posisi JK untuk membawa Golkar pada pemerintahan separuh menemui langkah deadlock. Satu-satunya jalan bagi JK adalah memilih PDIP untuk memperkuat posisinya di Golkar, dan kelompok anti JK memiliki angin kuat bila SBY menang dan akan mematuhi kontrak politik yang ditawarkan partai Demokrat. Hanya saja kondisi di Golkar makin khaotik bila ternyata telah memilih SBY namun SBY kalah, maka untuk menyelamatkan posisi Golkar. Pihak Golkar mau tidak mau harus mencadangkan orang luar yang bisa menjamin posisi Golkar di Pemerintahan, satu-satunya tujuan para elite Golkar adalah tetap di pemerintahan dan kemungkinan posisi menjadi oposisi adalah nol, untuk itu Golkar harus berdiri pada tiga kaki : Pertama, Sri Sultan yang ke Megawati. Kedua, Akbar Tanjung ke SBY dan JK sendiri yang bertaruh untuk memenangkan dirinya menjadi Capres. Tapi kemungkinan terbesar hal ini akan mengerucut pada dua kemungkinan : Sri Sultan dan Akbar Tanjung. Pokok soalnya jika Akbar menang bersama SBY, otomatis JK akan mundur dari panggung politik.
Selain Golkar, adalah menarik mengamati posisi PDIP. Partai ini adalah partai paling tragis sepanjang sejarah politik di Indonesia selain PKI tentunya. Jika PKI terbantai dan hilang dalam sejarah Indonesia, maka PDIP dibantai terus menerus tanpa pernah berhasil secara hegemonik memegang kekuasaan. Dari seluruh partai politik di Indonesia pasca Reformasi, hanya PDIP-lah yang memiliki sejarah perjuangan paling heroik. Sejarah ini bukan main-main karena sejarah penentangan pada rezim Suharto. Rezim paling brutal sepanjang sejarah Indonesia. PDIP ternyata Survive dan menempatkan Megawati sebagai Survival yang menjadi icon ketabahan politik menghadapi kekuatan militeristik Suharto. Namun setelah keuntungan politik tahun 1999. Mega justru terjebak pada kekuatan politik praktis ketimbang memilih agenda penguatan politik jangka panjang. Warna Taufik Kiemas yang lihai dalam membangun hubungan-hubungan politik justru dipandang sebagai gerakan pengkhianatan PDIP pada konstituennya. Inilah yang menyebabkan PDIP mengalami penurunan jumlah pemilih. PDIP juga tidak sadar akan kekuatannya. Kekuatan PDIP justru pada kekuatan sejarahnya, namun Megawati tidak pernah melihat faktor ini sebagai sumber gemilangnya kekuatan politik. Tidak seperti Sukarno yang selalu mengingatkan kebesaran dia dalam memimpin Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1949. Mega justru secara sengaja hendak melupakan kejadian pahit di tahun 1996, ingatan sejarah justru diabaikan oleh Megawati dan dia merasa asik melakukan pendekatan-pendekatan pragmatis yang kerap membuat kening pengikut PDIP berkerut.
Satu hal lagi, sejak muda Mega akrab dengan kehidupan Militer. Mega sendiri berpacaran dan bahkan bersuami pertama seorang Perwira Angkatan Udara, .Lettu Surindro Supriarso Inilah kenapa Mega dekat dengan para Perwira Tinggi Militer. Mega sendiri memang dikenal memiliki kedekatan dengan militer, bahkan di masa pemerintahannya warna militer Mega sangat terasa, kejatuhan Gus Dur yang menaikkan Mega ke kursi kekuasaan juga tak lepas dari dukungan elite militer seperti : Agum Gumelar, Ryamizard Ryacudu atau Hendropriyono. Baik Agum ataupun Hendro memiliki peran penting dalam kemenangan Mega di tahun 1994 lewat perundingan di Hotel Kemang yang berhasil menyingkirkan kubu Drs. Suryadi.
Mega juga dinilai berhasil dalam mengkatalisator perdamaian antara Wiranto dan Prabowo sehingga secara potensial bisa menjadi sekutu PDIP pada Pemilu Presiden. Mega juga menarik Sultan untuk dijadikan kekuatan cadangan bagi dukungan Golkar. Partai Amanat Nasional sendiri cenderung memilih Megawati ketimbang memilih SBY. Hanya PKS yang sudah secara terang-terangan menolak Megawati. Persoalan terbesar justru saat ini adalah bagaimana memunculkan kekuatan kejutan untuk menghantam SBY. Prabowo sendiri menawarkan pada Puan untuk menjadi Cawapres. Jelas posisi ini adalah pertaruhan, sementara Mega-Sultan hanya bisa menang di Jawa, dan ini riskan karena Jatim sendiri praktis akan dikuasai SBY karena faktor SBY adalah asli Pacitan dan PKB dibawah Muhaimin mendukung penuh SBY.
Disini Jawa Tengah sudah pasti dipegang Megawati, sementara Jawa Barat dipastikan Mega kalah, Mega harus memenangkan Jawa Timur dan Sumatera bila ingin menghantam SBY. Dan mengambil isu yang panas agar pemilu 2009 bukan lagi pertarungan figur tapi pertaruhan kebijakan politik.
Kebijakan Landasan Ekonomi Sebagai Isu Panas.
Untuk bertarung pada figur jelas SBY adalah pemenangnya, namun sesungguhnya bangsa ini sudah diajari oleh Prabowo fungsi politik yang baik, yaitu : Arah kebijakan ekonomi sebagai dasar pemisah ideologi antar partai. Prabowo dengan cerdas mengangkat isu ketidakadilan dan keberpihakan distribusi kapital kepada kelompok elite. Ini adalah isu panas yang berhasil dibawa Gerindra dan sesungguhnya tinggal menunggu bensinnya saja.
Orasi Prabowo yang menggetarkan seperti : Pengguliran dana stimulus untuk ladang-ladang kita, jutaan liter bensin untuk nelayan kita ... adalah ucapan kontroversial ditengah keberpihakan pemerintah pada Pasar Bebas. Bila ini berhasil ditunggangi oleh aksi massa maka jelas Kubu SBY akan menemui kekalahannya. Hanya saja perlu kecerdasan dalam permainan persepsi ini. Mega bisa saja menggunakan figur Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie untuk melawan dominasi logika Sri Mulyani. Pola-pola ekonomi kerakyatan harus disodorkan, kontrak-kontrak hasil energi yang merugikan direvisi ulang maka dengan ini Mega dan Prabowo bukan saja secara frontal melawan SBY tapi juga melawan IMF dan Bank Dunia serta mengkoreksi kembali kedaulatan Kapital. Kalau Mega berani melakukan itu maka Mega bukan saja bisa memenangkan politik praktis tapi juga mampu menempatkan investasi politik jangka panjang : KEDAULATAN KAPITAL.