Saturday 29 November 2008

Peristiwa Madiun Dalam Pandangan DN Aidit

Peristiwa Madiun Dalam Pandangan DN Aidit

Tulisan ini adalah pidato Kawan D.N. Aidit di dalam Sidang DPR tanggal 11 Februari 1957 menjawab keterangan anggota DPR Udin Sjamsudin (Masyumi) yang mencoba menutupi maksud-maksud kontra-revolusioner dari "dewan-dewan partikelir" di Sumatera dengan menyinggung-nyinggung soal Peristiwa Madiun.
Dengan pidato Kawan D.N. Aidit ini masyarakat dapat mengetahui dengan lebih jelas lagi hakekat Peristiwa Madiun, suatu provokasi reaksi yang dilancarkan oleh Hatta dan arti pemberontakan kontra-revolusioner gerombolan Simbolon dan Ahmad Husein yang satu tahun kemudian mencapai puncaknya dengan diproklamasikannya "Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia" di Padang oleh gembong-gembong Masyumi-PSI seperti Syafruddin Prawiranegara dan Sumitro Jojohadikusumo.
Dengan tulisan ini Rakyat Indonesia sampai sekarang mempunyai tiga dokumen penting tentang Peristiwa Madiun yaitu : Buku Putih tentang Peristiwa Madiun yang diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI, Menggugat Peristiwa Madiun dan Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 -- Peristiwa Sumatera (1956)
Komisi Pilihan Tulisan
D.N. Aidit dari CC PKI.
Terlebih dulu saya ingin menyatakan bahwa Pemerintah Ali-ldham dalam keterangannya pada tanggal 21 Januari dan dalam jawabannya pada pandangan umum babak pertama pada tanggal 4 Februari jl. bisa membatasi diri pada persoalannya, yaitu tentang kejadian-kejadian di Sumatera dalam bulan Desember 1956. Hal ini dapat saya hargai dan tentang ini kawan-kawan sefraksi saya sudah menyatakan pendapat Fraksi PKI.
Pada pokoknya pendapat kami mengenai kejadian-kejadian di Sumatera dalam bulan Desember tahun jl. Adalah sbb. :Pertama : Kejadian-kejadian di Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan adalah rentetan kejadian yang sengaja ditimbulkan oleh sebuah partai kecil yang kalah dalam pemilihan umum jl. yang berhasil mendalangi sebuah partai besar dan oknum-oknum liar, yang tidak melihat kemungkinan dengan jalan demokratis dapat duduk kembali dalam kekuasaan sentral, dan yang hanya melihat kemungkinan dengan jalan menggunakan saluran partai-partai lain, dengan jalan mempertajam pertentangan antara partai-partai agama dengan PKI dan PNI, dengan bikin-bikinan menimbulkan kemarahan Rakyat di daerah-daerah supaya memberontak terhadap Pemerintah Pusat, dengan jalan mengadudomba suku satu dengan suku lainnya dan dengan jalan menghasut orang-orang militer supaya memberontak kepada atasannya.Kedua : Kejadian-kejadian tersebut terang sejalan dan berhubungan dengan rencana kaum imperialis, yang dipelopori oleh Amerika Serikat untuk menarik Indonesia kedalam pakt militer SEATO. Rencana-rencana dari pemberontak di Sumatera untuk memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat dan untuk mendirikan negara sendiri yang mempunyai peralatan sipil dan militer sendiri, yang mempunyai hubungan luar negeri sendiri, adalah sepenuhnya sejalan dengan rencana Amerika Serikat yang diatur oleh Pentagon (Kementerian Pertahanan) dan State Department (Kementerian Luar Negeri) Amerika Serikat, oleh "jendral-jendral" DI-TII dan oleh aparat-aparat serta kakitangan-kakitangan Amerika Serikat yang ada di Indonesia.
Jadi, persoalannya adalah jelas, yaitu kepentingan vital Rakyat Indonesia di satu pihak berhadapan langsung dengan kepentingan kaum imperialis asing di pihak lain. Dalam hal ini Pemerintah Ali-Idham menyatukan diri dengan kepentingan Rakyat Indonesia, dan oleh karena itu PKI tidak ragu-ragu berdiri di pihak Pemerintah dan melawan kaum pemberontak serta aktor-aktor intelektualisnya.
Demikianlah, kalau mengenai persoalannya. Jelas dimana kami berdiri, dan jelas pula dimana pihak lain berdiri. Tetapi, disamping pemerintah dapat membatasi diri pada persoalan yang sedang dihadapi, anggota yang terhormat Udin Syamsudin telah membawa-bawa Peristiwa Madiun, dengan maksud mengaburkan persoalan.
Dalam Soal Peristiwa Madiun Kaum Komunis Adalah Pendakwa
Anggota tersebut telah menyebut-nyebut Peristiwa Madiun dalam hubungan dengan Peristiwa Sumatera, antara lain dikatakannya "pelopor pemberontakan di Indonesia ini setelah Indonesia Merdeka adalah Partai Komunis Indonesia", selanjutnya "kaum Komunislah yang menjadi mahaguru pemberontakan" dan "bibitnya sudah menular ke seluruh Indonesia". Maksud pembicara tersebut jelas, yaitu supaya dalam soal pemberontakan Kolonel Simbolon dan Letnan Kolonel Ahmad Husein juga PKI yang disalahkan. Lihatlah, betapa tidak tahu malunya orang mencari kambing hitamnya, sama dengan tidak tahu malunya mereka menyalahkan PKI dalam hubungan dengan Peristiwa Madiun.
Saya tidak membantah, bahwa baik Peristiwa Madiun maupun Peristiwa Sumatera mempunyai satu sumber dan satu tujuan, yaitu bersumber pada imperialisme Amerika dan Belanda dan bertujuan untuk meletakkan Indonesia sepenuhnya di bawah telapak kaki mereka.
Berhubung dengan sebuah statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953 saya pernah dihadapkan kemuka pengadilan. Dalam sidang pengadilan tanggal 27 Januari 1955, dengan berpegang pada ayat 3 pasal 310 KUHP yang ditimpakan pada saya, sudah saya nyatakan kesediaan saya kepada pengadilan untuk membuktikan dengan saksi-saksi bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan bahwa dalam Peristiwa Madiun tersebut tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. memang berlumuran darah. Dengan ini berarti bahwa Hatta, ketika itu masih wakil Presiden, harus tampil sebagai saksi berhadapan dengan saya. Kesediaan saya ini, yang juga diperkuat oleh advokat saya, Sdr. Mr. Suprapto, tidak mendapat persetujuan pengadilan. Jaksa menyatakan keberatannya akan pembuktian yang mau saya ajukan dengan saksi-saksi. Oleh karena jaksa menolak pembuktian yang mau saya ajukan, maka jaksa terpaksa mencabut tuduhan melanggar pasal 310 dan 311 KUHP. Jelaslah, bahwa ada orang-orang yang kuatir kalau Peristiwa Madiun ini menjadi terang bagi Rakyat.
Jadi, mengenai Peristiwa Madiun kami sudah lama siap berhadapan di muka pengadilan dengan arsiteknya Moh. Hatta. Ini saya nyatakan tidak hanya sesudah Hatta berhenti sebagai wakil Presiden, tetapi seperti di atas sudah saya katakan, juga ketika Hatta masih Wakil Presiden. Saya tidak ingin menantang siapa-siapa, tetapi kapan saja Hatta ingin Peristiwa Madiun dibawa ke pengadilan, kami dari PKI selarnanya bersedia menghadapinya. Kami yakin, bahwa jika soal ini dibawa ke pengadilan bukanlah kami yang akan menjadi terdakwa, tetapi kamilah pendakwa. Kamilah yang akan tampil ke depan sebagai pendakwa atas nama Amir Syarifuddin, putera utama bangsa Indonesia yang berasal dari tanah Batak, atas nama Suripno, Maruto Darusman, Dr. Wiroreno, Dr. Rustam, Harjono, Jokosujono, Sukarno, Sutrisno, Sarjono dan beribu-ribu lagi putera Indonesia yang terbaik dari suku Jawa yang menjadi korban keganasan satu pemerintah yang dipimpin oleh borjuis Minangkabau, Mohammad Hatta. Demikian kalau kita mau berbicara dalam istilah kesukuan, sebagaimana sekarang banyak digunakan oleh pembela-pembela kaum pemberontak di Sumatera, hal yang sedapat mungkin ingin kami hindari. Ya, kami juga akan berbicara atas nama perwira-perwira, bintara-bintara, dan prajurit-prajurit TNI yang tewas dalam "membasmi Komunis" atas perintah Hatta, karena mereka juga tidak bersalah dan mereka juga adalah korban perang-saudara yang dikobarkan oleh Hatta.
Dalam pembelaan saya di muka pengadilan tanggal 24 Februari 1955 telah saya katakan "bahwa di antara orang-orang yang karena tidak mengertinya telah ikut dalam pengejaran 'terhadap kaum Komunis', tidak sedikit sekarang sudah tidak mempunjai purbasangka lagi terhadap PKI dan sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi menjadi alat perang-saudara dari kaum imperialis dan kakitangannya". Alat-alat negara sipil maupun militer sudah mengerti bahwa dalam Peristiwa Madiun mereka telah disuruh memerangi saudara-saudara dan teman-temannya sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam pemiiihan umum untuk Parlemen maupun untuk Konstituante lebih 80% daripada anggota-anggota Angkatan Perang memberikan suaranya kepada partai-partai demokratis, dan 30% daripada suara yang diberikan anggota Angkatan Perang adalah diberikan kepada PKI. PSI dan Masyumi hanya mendapat kurang dari 20%, jadi kurang dari suara yang didapat oleh PKI sendiri atau PNI sendiri. PSI yang mempunyai pengaruh di sejumlah opsir tinggi adalah partai kelima di dalam Angkatan Perang, sedangkan Masyumi, karena politik pro DI-nya, adalah partai keenam. Dengan ini, saya hanya hendak membuktikan bahwa memukul PKI dengan menyembar-nyemburkan Peristiwa Madiun adalah tidak merugikan PKI, malahan memberi alasan pada kami untuk berbicara dan menjelas-jelaskan tentang Peristiwa Madiun.
Apalagi sekarang, sesudah terjadi pemberontakan kolonel Simbolon di Sumatera Utara dan pemberontakan "Dewan Banteng" di Sumatera Barat, menggunakan Peristiwa Madiun untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang, bukan muka PKI yang kena, tetapi muka Masyumi dan PSI sendiri yang sekarang membela pemberontak-pemberontak di Sumatera itu dengan mati-matian.
Hatta Bertanggungjawab Atas Penculikan, Pembunuhan Dan Perang-Saudara Tahun 1948
Mari, dalam menilai kebijaksanaan pemerintah Ali-Idham sekarang, kita perbandingkan antara kebijaksanaan pemerintah Hatta tahun 1948 mengenai Peristiwa Madiun dengan kebijaksanaan pemerintah Ali-ldham sekarang. Dari hasil penilaian ini saya akan rnenentukan sikap saya terhadap kebijaksanaan pemerintah sekarang.
Peristiwa Madiun didahului oleh kejadian-kejadian di Solo, mula-mula dengan pembunuhan atas diri kolonel Sutarto, Komandan TNI Divisi IV, dan kemudian pada permulaan September 1948 dengan penculikan dan pembunuhan terhadap 5 orang perwira TNI, yaitu major Esmara Sugeng, kapten Sutarto, kapten Sapardi, kapten Suradi dan letnan Muljono. Juga diculik 2 orang anggota PKI, Slamet Wijaja dan Pardijo. Kenyataan bahwa saudara yang diculik ini pada tanggal 24 September dimasukkan ke dalam kamp resmi di Danurejan, Jokjakarta, membuktikan bahwa pemerintah Hatta langsung campurtangan dalam soal penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di atas. Ini tidak bisa diragukan lagi !
Dalam pidatonya tanggal 19 September 1948 Presiden Sukarno mengatakan bahwa Peristiwa Solo dan Peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri. Ini sepenuhnya benar! Sesudah penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di Solo yang diatur dari Yogya, keadaan di Madiun menjadi sangat tegang sehingga terjadilah pertempuran antara pasukan-pasukan dalam Angkatan Darat yang pro dan yang anti penculikan-penculikan serta pembunuhan-pembunuhan di Solo, yaitu pertempuran pada tanggal 18 September 1948 malam. Dalam keadaan kacau balau demikian ini Residen Kepala Daerah tidak ada di Madiun, Wakil Residen tidak mengambil tindakan apa-apa sedangkan Walikota sedang sakit. Untuk mengatasi keadaan ini maka Front Demokrasi Rakyat, dimana PKI termasuk di dalamnya, mendesak supaya Kawan Supardi, Wakil Walikota Madiun bertindak untuk sementara sebagai penjabat Residen selama Residen Madiun belum kembali. Wakil Walikota Supardi berani mengambil tanggung jawab ini. Pengangkatan Kawan Supardi sebagai Residen sementara ternyata juga disetujui oleh pembesar-pembesar militer dan pembesar-pembesar sipil lainnya. Tindakan ini segera dilaporkan ke pemerintah pusat dan dimintakan instruksi dari pemerintah pusat tentang apa yang harus dikerjakan selanjutnya.
Nah, tindakan inilah, tindakan mengangkat Wakil Walikota menjadi Residen sementara inilah yang dinamakan oleh pemerintah Hatta tindakan "merobohkan pemerintah Republik Indonesia", tindakan "mengadakan kudeta" dan tindakan "mendirikan pemerintah Soviet".
Kalau dengan mengangkat seorang Wakil Walikota menjadi Residen sementara bisa dinamakan merobohkan pemerintah Republik Indonesia, bisa dinamakan kudeta dan bisa dinamakan mendirikan pemerintah Soviet, nama apakah lagi yang bisa diberikan kepada tindakan komplotan Simbolon dan "Dewan Banteng" di Sumatera? Selain daripada itu, jika memang demikian halnya, alangkah mudahnya merobohkan pemerintah Republik Indonesia, alangkah mudahnya mengadakan kudeta dan alangkah mudahnya mendirikan pemerintah Soviet! Jika memang demikian mudahnya, saya kira sekarang sudah tidak ada lagi Republik kita, karena nafsu merobohkan Republik sekarang, begitu dikobar-kobarkan dan begitu besarnya di sementara golongan, terutama di kalangan sebuah partai kecil yang kalah dalam pemilihan umum yang lalu. Tetapi saya kira, merobohkan Republik Indonesia tidaklah begitu mudah sebagaimana sudah dibuktikan oleh kegagalan Simbolon dan oleh makin merosotnya pamor "Dewan Banteng", disamping Republik Indonesia tetap berdiri tegak. Apalagi mendirikan pemerintah Soviet, tidaklah semudah mengangkat seorang Wakil Walikota menjadi Residen sementara. Rakyat Tiongkok dan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok yang sudah berjuang mati-matian selama berpuluh-puluh tahun di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok hingga sekarang belum sampai ke taraf mendirikan pemerintah Soviet, artinya pemerintah sosialis di Tiongkok. Jadi, alangkah bebalnya, atau alangkah mencari-carinya orang-orang yang menuduh PKI merobohkan Republik dan mendirikan pemerintah Soviet di Madiun dengan mengangkat Wakil Walikota Supardi menjadi Residen sementara.
Berdasarkan kejadian pengangkatan Wakil Walikota Supardi menjadi Residen sementara dan atas tanggung jawab sepenuhnya dari pemerintah Hatta, maka pada tanggal 19 September 1948 oleh Presiden Sukarno dadakan pidato yang berisi seruan kepada seluruh Rakyat bersama-sama membasmi "kaum pengacau", maksudnya membasmi kaum Komunis dan kaum progresif lainnya secara jasmaniah. Saya katakan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah Hatta, karena Hattalah yang menjadi Perdana Menteri ketika itu. Tapi karena Hatta tahu bahwa pengaruhnya sangat kecil di kalangan Angkatan Perang dan alat-alat negara lainnya, apalagi di kalangan masyarakat, maka Hatta menggunakan mulut Sukarno dan meminjam kewibawaan Sukarno untuk membasmi Amir Syarifuddin dan beribu-ribu putera Indonesia asal suku Jawa. Ini, sekali lagi, kalau kita mau berbicara dalam istilah kesukuan yang sekarang banyak dilakukan oleh pembela-pembela kaum pemberontak di Sumatera, sesuatu yang sedapat mungkin ingin kami hindari.
Demikianlah, "kebijaksanaan" Hatta sebagai Perdana Menteri dalam menghadapi persoalan-persoalan masyarakat dan persoalan politik yang kongkrit. Karena kepicikannya dari kesombongannya sebagai borjuis Minang yang ingin melonjak cepat sampai ke angkasa, karena kehausannya akan kekuasaan, karena kepala batunya, karena ketakutannya yang keterlaluan kepada Komunisme, maka Hatta sebagai Perdana Menteri dengan secara gegabah mengerahkan alat-alat kekuasaan negara untuk menculik, membunuh dan mengobarkan perang saudara. Orang sering salah kira dengan menyamakan sifat kepala batu Hatta dengan "kemauan keras" atau sikap yang "konsekwen". Tetapi saya yang juga mengenal Hatta dari dekat berpendapat, bahwa sifat kepala batu Hatta adalah disebabkan karena sempit pikirannya, dan karena sempit pikirannya ia tidak bisa bertukar pikiran secara sehat, tidak pandai bermusyawarah dan tahunya hanya main "ngotot", "mutung", "basmi" dan "tangan besi". Dan apa akibatnya permainan "basmi" dan "tangan besi" Hatta? Beribu-ribu pemuda dan Rakyat dari kedua belah pihak yang berperang mati karenanya. Seluruh Rakyat sudah mengetahui dari pengalamannya sendiri bahwa semua ini dilakukan hanya untuk melapangkan jalan bagi Hatta buat pelaksanaan Konferensi Meja Bundar dengan Belanda yang langsung diawasi oleh Amerika Serikat, untuk membikin perjanjian KMB yang khianat dan yang sudah kita batalkan itu.
Sifat gegabah dari tindakan Hatta lebih nampak lagi ketika ia meminta kekuasaan penuh dari BPKNIP, dimana di dalam pidatonya dinyatakan bahwa "Tersiar pula berita -- entah benar entah tidak -- bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Syarifuddin Perdana Menteri". Lihatlah betapa tidak bertanggungjawabnya tindakan Hatta. la bertindak atas dasar berita yang sifatnya "entah benar entah tidak" bahwa sesuatu "akan" terjadi. Ya, Hatta bertindak atas berita yang masih diragukan tentang akan terjadinya sesuatu. Tetapi, adalah tidak diragukan lagi bahwa tindakan Hatta sudah berakibat dibunuhnya ribuan orang yang tidak berdosa tanpa proses.
Hatta lngin Berkuasa Sewenang-wenang Lagi
Berdasarkan pengalaman dengan Peristiwa Madiun, dimana Hatta menelanjangi dirinya sebagai manusia yang tidak berperikemanusiaan, maka saya seujung rambutpun tidak ragu bahwa Hatta, seperti belum lama berselang dimuat dalam koran-koran pemah mengucapkan kepada Firdaus A. N., hanya bersedia berkuasa jika tidak bisa dijatuhkan oleh Parlemen. Kalau mau tahu tentang Hatta, inilah dia! lnilah politiknya, inilah moralnya, inilah segala-galanya! Yaitu, seorang yang mau berkuasa secara sewenang-wenang.
Hatta sama sekali tidak menghargai jerih payah Rakyat yang kepanasan dan kehujanan antri untuk memberikan suaranya untuk Parlemen kita sekarang. Lebih daripada itu, ia juga tidak menghargai suaranya sendiri yang diberikannya ketika memilih Parlemen ini. Orang yang tidak menghargai orang lain sering kita temukan di dunia ini. Tetapi orang yang tidak menghargai suaranya sendiri, ini keterlaluan.
Hatta ingin berkuasa kembali tanpa bisa dijatuhkan oleh Parlemen, ia memimpikan masa keemasannya di tahun 1948. Kali ini yang mau dijadikannya mangsa bukan hanya putera-putera Indonesia asal suku Jawa dan Batak, tetapi juga putera-putera suku lain, termasuk putera-putera suku Minangkabau, karena PKI sekarang sudah tersebar di seluruh Indonesia dan di semua suku. Tetapi, sebelum Hatta sampai ke situ, perlu saya peringatkan bahwa dalam tahun 1948 ia hanya berhadapan dengan 10.000 Komunis yang hanya tersebar secara sangat tidak merata di pulau Jawa dan Sumatera, karena PKI ketika itu dilarang berdiri di daerah pendudukan Belanda. Tetapi sekarang, Hatta harus berhadapan dengan lebih satu juta Komunis yang tersebar di semua pulau dan di semua suku. Saya perlu menyatakan ini, hanya untuk menerangkan betapa besar akibatnya kalau Hatta bermain "tangan besi" lagi. Dan .... besipun bisa patah !
Saya yakin, bahwa tiap-tiap orang yang mempunyai peran tanggung jawab tidak ingin terulang kembali tragedi nasional seperti Peristiwa Madiun itu. Dari pihak Partai Komunis Indonesia, seperti sudah berulang-ulang kami nyatakan, dan sudah menjadi pelajaran di dalam Sekolah-Sekolah Kursus-Kursus Partai kami, kami ingin dan kami yakin bisa mencapai tujuan-tujuan politik kami secara parlementer. Kami akan menghindari tiap-tiap perang-saudara selama kepada kami dijamin hak-hak politik untuk memperjuangkan cita-cita kami. Tetapi, kalau kepada kami disodorkan bayonet dan didesingkan peluru seperti dalam peristiwa Madiun, juga seperti selama peristiwa itu, kami tidak akan memberikan dada kami untuk ditembus bayonet dan ditembus peluru kaum kontra-revolusioner.
Kami kaum Komunis tidak ingin menggangu siapa-siapa selama kami tidak diganggu. Kami ingin bersahabat dengan semua orang, semua golongan dan semua partai yang mau bersahabat dan bekerja sama dengan kami untuk hari depan yang lebih baik bagi tanah air dan Rakyat Indonesia. Walaupun di hadapan kantor pusat Masyumi di Kramat Raja 45, Jakarta, terpancang dengan jelas papan "Front Anti-Komunis", jadi anti kami, anti saya dan anti kawan-kawan saya, tetapi kami kaum Komunis tidak akan ikut gila untuk juga memancangkan papan "Front Anti-Masyumi"', apalagi "Front Anti-lslam". Kami tidak akan membiarkan diri kami terprovokasi oleh pemimpin Masyumi ini. Saya pribadi tidak mau diprovokasi oleh kenalan lama saya, Sdr. Mohamad Isa Anshari, pemimpin akbar "Front Anti-Komunis".

Berangsur-angsur Rakyat Indonesia berdasarkan pengalamannya sendiri menjadi makin yakin bahwa bukanlah kaum Komunis yang anti-agama, tetapi sebaliknya, sejumlah pemimpin partai-partai agamalah yang anti-Komunis dan menghasut anggota-anggotanya supaya anti-Komunis.
Rakyat Indonesa sudah mengetahui bahwa dalam soal pemerintahan kami menginginkan terbentuknya pemerintah persatuan nasional dimana didalamnya duduk 4-Besar, jadi termasuk PKI dan Masyumi, bersama-sama dengan partai-partai lain. Ini akan kami perjuangkan terus walaupun sampai ini hari saya kira Masyumi belum mau, karena masih mengikuti apa yang dikatakan oleh pemimpin Masyumi Sdr. Moh. Natsir dalam muktamar Masyumi di Bandung bulan Desember 1956. Dalam muktamar tersebut Sdr. Moh. Natsir mengatakan antara lain bahwa pimpinan partai Masyumi "meletakkan strateginya menghadapi pembentukan kabinet kepada dua pokok pikiran yaitu (a) Memulihkan kerjasama antara partai-partai Islam (b) Menggabungkan tenaga-tenaga non-Komunis dalam kabinet, Parlemen dan masyarakat serta mengisolir PKI atau para crypto-Koi-ntinis dari kabinet". (Halaman 22 "Laporan Beleid Politik Pimpinan Partai Masyumi"). Cobalah renungkan, bukan persatuan nasional yang mereka ajarkan dan amalkan, tetapi perpecahan nasional. Mengisolasi PKI adalah identik dengan mengisolasi berjuta-juta Rakyat Indonesia. Bagaimana persatuan nasional akan bisa tercapai dengan sikap yang a-priori semacam ini. Sikap semacam ini hanya mempertegas keadaan politik di negeri kita, dan yang untung bukan bangsa Indonesia, tetapi kaum imperialis asing, yang memang menginginkan peruncingan keadaan dan perpecahan di dalam tubuh bangsa kita.
Jadi, kapankah semua pemuka bangsa kita akan belajar dari pengalaman Peristiwa Madiun yang tragis itu, supaya tidak lagi mengulangi kesalahan tindakan dan kebijaksanaan agar persatuan bangsa kita terpelihara baik, supaya kita tidak gegabah dalam mengambil tindakan-tindakan, apalagi tindakan-tindakan yang bisa berakibat luas? Saya berusaha dan terus akan berusaha untuk menarik pelajaran sebanyak-banjyaknya dari pengalaman sejarah itu.
Kabinet Ali-ldham Ber-puluh2 Kali Lebih Bijaksana Daripada Kabinet Hatta
Dibanding dengan kebijaksanaan pemerintah Hatta dalam menghadapi kejadian di Madiun dalam bulan September 1948, kabinet Ali-ldham sekarang berpuluh-puluh kali lebih bijaksana. Padahal kalau melihat kejadiannya, pengangkatan seorang Wakil Walikota menjadi Residen sementara karena dipaksa oleh keadaan, belumlah apa-apa kalau dibanding dengan pengoperan pimpinan pemerintah daerah Sumatera Tengah oleh orang-orang "Dewan Banteng", yang terang-terangan direncanakan terlebih dulu dalam reuni ex-divisi Banteng bulan November 1956, dan yang terang-terangan sudah pernah menolak dan menghina perutusan pemerintah pusat yang datang untuk berunding. Apalagi kalau dibanding dengan perbuatan komplotan kolonel Simbolon pada tanggal 22 Desember 1956, yang terang-terangan menyatakan tidak lagi mengakui pemerintah yang sah sekarang. Apalagi, kalau kita ingat bahwa maksud yang sesungguhnya dari semua tindakan itu ialah untuk memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat, mendirikan negara Sumatera dan Kalimantan serta mengadakan hubungan luar negeri sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa ada maksud-maksud untuk menyerahkan pulau We di Utara Sumatera kepada negara besar tertentu untuk dijadikan pangkalan-perang. Apalagi kalau diingat bahwa semua rencana itu sesuai sepenuhnya dengan apa yang direncanakan oleh Pentagon dan State Department Amerika Serikat, oleh "jendral-jendral" DI-TII dan aparat-aparat serta kakitangan-kakitangan Amerika lainnya yang ada di Indonesia. Jika diingat semuanya ini, maka pengangkatan Wakil Walikota Supardi menjadi Residen sementara Madiun adalah hanya "kinderspel" (permainan kanak-kanak).
Tetapi penamaan apa yang diberikan oleh Hatta kepada kejadian-kejadian di Madiun bulan September 1948 dan penamaan apa pula yang, diberikan orang kepada perbuatan-perbuatan kaum pemberontak di Sumatera pada bulan Desember 1956? Peristiwa Madiun dinamakan "merobohkan Republik Indonesia", dinamakan "kudeta", tetapi pemberontakan di Sumatera yang sepenuhnya dan secara terang-terangan disokong oleh kaum imperialis asing, terutama kaum imperialis Amerika dan Belanda, mereka namakan "tindakan konstruktif" demi "kepentingan daerah". Saya bertanya : Konstruktif untuk siapa? Untuk kepentingan daerah mana? Memang konstruktif sekali tindakan kaum pemberontak di Sumatera, konstruktif dalam rangka membangun pangkalan-pangkalan perang SEATO! Memang untuk kepentingan daerah, kepentingan perluasan daerah SEATO! Jadi, sama sekali tidak konstruktif untuk Rakyat Indonesia dan sama sekali bukan untuk kepentingan daerah Indonesia !
Demikianlah, apa sebabnya saya katakan bahwa mengemukakan Peristiwa Madiun dalam keadaan sekarang untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang. Bukannya PKI yang kecipratan, tetapi justru si penepuk air yang sial itu. Mengemukakan soal Peristiwa Madiun dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang berarti memberi alasan yang kuat untuk mengkonfrontasikan kebijaksanaan yang memang bijaksana dari kabinet Ali-ldham sekarang dengan kebijaksanaan yang tidak bijaksana dari Kabinet Hatta dalam tahun 1948. Jika sudah dikonfrontasikan, maka akan merasa berdosalah orang-rang yang berteriak-teriak ingin melihat naiknya Hatta kembali, kecuali kalau orang-orang itu memang ingin melihat Hatta sekali lagi mempermainkan nyawa umat Indonesia sebagai mempermainkan nyawa anak ayam.
Kebijaksanaan kabinet Ali-ldham dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang tidak disebabkan terutama karena Ali Sastroamijojo seorang Indonesia dari suku Jawa yang toleran, tidak, tetapi karena pimpinan kabinet sekarang terdiri dari orang-orang yang mempunyai perasaan tanggung jawab yang besar. Syukurlah, bahwa ketika terjadi Peristiwa Sumatera Hatta tidak memegang fungsi dalam pimpinan negara, walaupun saya tidak ragu adanya sangkut paut Hatta dengan kejadian-kejadian itu. Kalau Hatta memegang fungsi penting, apalagi kalau Hatta memegang tampuk pemerintahan, entah berapa banyak lagi korban yang dibikinnya.
Dalam usaha menyelesaikan Peristiwa Sumatera ada orang-orang yang ingin supaya soal kolonel Simbolon "diselesaikan secara adat", supaya soal "Dewan Banteng" diselesaikan "secara musyawarah", secara "potong kerbau" dan dengan "menggunakan pepatah dan petitih". Pendeknya, adat, kerbau serta pepatah dan petitih mau dimobilisasi untuk menyelesaikan soal kolonel Simbolon dan soal "Dewan Banteng". Sampai-sampai orang-orang, yang tidak beradat juga berbicara tentang "penyelesaian secara adat".
Tetapi, orang-orang ini pada bungkam semua ketika Amir Syarifuddin dengan tanpa proses ditembus oleh peluru atas perintah Hatta. Ketika Amir Syarifuddin masih ditahan di penjara Yogya sebelum dibawa ke Solo dan digiring ke desa Ngalian untuk ditembak, tidak ada seorang Batak atau siapapun yang tampil ke depan, dan mengatakan: "Mari soal Amir Syarifuddin kita selesaikan secara adat tanah Batak", atau "Mari soal Amir Syarifuddin kita selesaikan secara Kristen".
Saya hanya ingin bertanya: Apakah Amir Sjarifuddin yang bermarga Harahap itu kurang Bataknya daripada kolonel Simbolon sehingga adat Batak menjadi tidak berlaku bagi dirinya? Saya kira Amir Syarifuddin tidak kalah Bataknya daripada orang Batak yang mana jua pun, malahan ia tidak kalah Kristennya dari pada kebanyakan orang Kristen. Amir Syarifuddin meninggal sesudah ia menyanyikan lagu Internasionale, lagu Partainya, lagu kesayangannya, dan ia meninggal dengan Kitab Injil di tangannya. Amir Syarifuddin adalah putera Batak yang baik, yang patriotik, dan karena itu juga ia adalah seorang putera Indonesia yang baik. Jadi tidak sepantasnya adat tanah Batak tidak berlaku baginya.
Bagaimana pula halnya ribuan orang Jawa yang didrel tanpa proses atas perintah Hatta itu? Apakah suku Jawa yang menderita dari abad ke abad tidak mengenal musyawarah dan tidak mengenal pepatah dan petitih sehingga ketika dilancarkan kampanye pembunuhan terhadap orang-orang Jawa selama Peristiwa Madiun tidak ada orang Jawa yang beradat dan tidak ada cerdik-pandai Jawa yang tampil ke depan untuk menyelesaikan persoalan ketika itu secara rembugan (musyawarah), secara adat, dan dengan berbicara menggunakan banyak paribasan (peribahasa), dengan potong sapi, potong kerbau, dan dengan mbeleh wedus (potong kambing)? Ataukah karena pulau Jawa sudah kepadatan penduduk maka pembunuhan atas orang-orang Jawa oleh tangan besi borjuis Minang Mohammad Hatta boleh dibiarkan? PKI tampil ke depan untuk kepentingan, "de zwijgende Javanen" ("Orang2 Jawa Yang Berdiam Diri") ini, baik mereka Komunis atau pun bukan-Komunis. Ya, jika soal ini dibawa ke pengadilan, PKI juga akan berbicara atas nama prajurit-prajurit, bintara-bintara dan perwira-perwira dari suku Jawa yang mati karena melakukan tugas "membasmi Komunis" yang diperintahkan oleh Hatta. Prajurit-prajurit, bintara-bintara dan perwira-perwira yang mati dalam pertempuran melawan Komunis ketika itu adalah tidak bersalah, sama tidak bersalahnya dengan Komunis-Komunis yang mereka tembak. Mereka semuanya adalah korban permainan politik perang-saudara Hatta. Tidak hanya kami, sebagai pewaris-pewaris dari pahlawan-pahlawan Komunis dalam Peristiwa Madiun, tetapi juga keluarga para prajurit, bintara dan perwira TNI yang disuruh "membasmi Komunis" berhak untuk mendakwa Hatta sebagai pembunuh sanak-saudara mereka, jika soal ini dibawa ke pengadilan.
Mari sekarang kita lihat bagaimana sikap pemerintah Hatta terhadap perwira yang belum tentu bersalah dalam Peristiwa Madiun, dan bagaimana sikap pemerintah Ali-ldham sekarang terhadap opsir-opsir yang sudah terang bersalah dalarn pemberontakan-pemberontakan di Sumatera.
Pemerintah Hatta dengan tanpa memeriksa lebih dulu kesalahan mereka terus saja memecat perwira-perwira, antara lain yang masih hidup sekarang bekas Jenderal Major Ir. Sakirman, bekas Letnan Kolonel Martono, bekas Major Pramuji, dan banyak lagi. Padahal perwira-perwira ini belum pernah dipanggil untuk menghadap, apalagi diperiksa; jadi sama sekali tidak ada dasar untuk memecat mereka. Para perwira yang belum tentu bersalah tidak hanya dipecat, tetapi banyak juga yang disiksa di luar perikemanusiaan dan dibunuh tanpa dibuktikan kesalahannya terlebih dahulu.
Sekedar untuk mengetahui bagaimana pembunuhan-pembunuhan kejam oleh alat-alat resmi ketika itu, bersama ini, saya lampirkan 3 buah turunan laporan resmi dan pengakuan resmi tentang pembunuhan terhadap diri Sidik Aslan dkk. dan terhadap letnan kolonel Dakhlan dan major Mustoffa. Untuk menghemat waktu tidak saya bacakan lampiran-lampiran ini. Lampiran-lampiran ini, saya sampaikan lepas dari penilaian siapa dan bagaimana major Sabarudin, pembuat pengakuan-pengakuan tersebut. Yang sudah terang major Sabarudin bukan simpatisan PKI, apalagi anggota PKI.
Kekejaman pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun adalah berpuluh-puluh kali lebih kejam dari pada pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi pemberontakan Rakyat tahun 1926. Pemerintah kolonial Belanda masih memakai alasan-alasan hukum untuk membunuh, memenjarakan dan mengasingkan kaum pemberontak, tetapi Hatta sepenuhnya mempraktekkan hukum rimba. Semuanya ini mengingatkan saya kembali pada tulisan Hatta yang berkepala "14 Juli", dimuat dalam harian "Pemandangan" pada 14 Juli 1941 dimana antara lain ia menulis tentang Petain, seorang Prancis boneka Hitler, sebagai "seorang serdadu yang berhati lurus dan jujur". Hanya serigala mengagumi serigala, hanya fasis mengagumi fasis !
Bandingkanlah sikap pemerintah Hatta terhadap kejadian di Madiun dengan sikap pemerintah sekarang terhadap kolonel Simbolon yang sudah terang bersalah karena merebut kekuasaan di sebagian wilajah Republik Indonesia, yang sudah terang melanggar disiplin militer atau yang oleh Presiden Sukarno/Panglima Tertinggi dalam amanatnya tanggal 25 Desember 1956 dirumuskan telah berbuat yang "menggoncangkan sendi-sendi ketentaraan dan kenegaraan kita, dan yang membahayakan keutuhan tentara dan negara kita pula". Kolonel Simbolon hanya diberhentikan sementara sebagai Panglima Tentara dan Teritorium I. Sedangkan terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan militer di Sumatera Tengah sampai sekarang belum diambil tindakan apa-apa.
Tentu ada orang-orang yang mengatakan: ya, karena Panglima Tertinggi, Pemerintah dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang sekarang tidak mempunyai kewibawaan, maka mereka tidak menghukum perwira-perwira tersebut seperti Hatta dulu menghukum perwira-perwira yang disangka tersangkut dalam Peristiwa Madiun.
Istilah "wibawa" pada waktu belakangan ini banyak dipergunakan orang dengan masing-masing mempunyai interpretasinya sendiri-sendiri. Kalau dengan istilah "wibawa" yang dimaksudkan ialah kemampuan pemerintah untuk bertindak, maka terang bahwa pemerintah sekarang sanggup bertindak, sanggup memerintah, artinya mempunyai kewibawaan. Apakah bukan tanda wibawa dari pemerintah sekarang dengan dapatnya digulingkan kerajaan sehari komplotan kolonel Simbolon dalam waktu yang sangat singkat?
Tanggal 22 Desember 1956 pemerintah memutuskan dan mengumumkan pemberhentian sementara kolonel Simbolon sebagai Panglima TT I dan menyerahkan tanggung jawab TT I kepada letnan-kolonel Jamin Gintings atau letnan-kolonel A. Wahab Macmour. Dalam waktu hanya empat hari, yaitu pada tanggal 27 Desember 1956 komplotan kolonel Simbolon sudah dapat diturunkan dari kerajaan seharinya. Ini artinya bahwa seruan pemerintah dipatuhi, ini artinya pemerintah mempunjai kewibawaan.
Tentu ada orang-orang yang berkata lagi: ya, tetapi itu mengenai Sumatera Utara. Mengenai Sumatera Tengah pemerintah tidak mempunyai kewibawaan. Mengenai ini saya jawab sbb. : Tiap-tiap orang yang tahu imbangan kekuatan di dalam negeri tidak sukar memahamkan, bahwa kalau pemerintah pusat sekarang mau bertindak, apalagi kalau mau bertindak serampangan seperti Hatta, maka dengan pengerahan serentak seluruh kekuatan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, dengan dibantu oleh massa Rakyat, maka kerajaan "Dewan Banteng" juga hanya akan merupakan kerajaan sehari.
Soalnya bukanlah hanya menunjukkan kemampuan menggunakan kekuatan seperti yang pernah dilakukan oleh Hatta, tetapi juga kebijaksanaan. Pada pokoknya kami setuju bahwa pemerintah sekarang mengkombinasi kekuatan riilnya dengan kebijaksanaan. Sikap ini merupakan dasar yang kuat bagi pemerintah, jika pada satu waktu pemerintah harus bertindak keras, karena jalan perundingan sudah tidak mempan lagi.
Walaupun kami kaum Komunis pernah diperlakukan secara kejam oleh pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menyetujui jika pemerintah sekarang mencontoh perbuatan Hatta yang gegabah dan tidak bertanggungjawab itu. Kita semua mengetahui bahwa politik "tangan besi" Hatta sepenuhnya menguntungkan kepentingan kaum imperialis asing. Ya, walaupun banyak perwira penganut cita-cita PKI yang dibasmi secara jasmaniah dalam Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menuntut supaya kolonel Simbolon, letnan kolonel Abmad Husein dll. dibasmi secara jasmaniah. Apalagi kami tahu bahwa banyak opsir-opsir yang tersangkut dalam pemberontakan-pemberontakan di Sumatera adalah karena hasutan-hasutan sebuah partai kecil yang keok dalam pemilihan umun, jl. Kami tidak menghendaki penumpahan darah yang disebabkan oleh kehampaan kebijaksanaan.
Jadi apakah yang kami inginkan ?
Kami hanya ingin, supaya disiplin militer berjalan sebagaimana mestinya, supaya hirarki ketentaraan ditaati dengan patuh, supaya Angkatan Perang tetap setia kepada cita-cita Revolusi Agustus 1945, karena hanya dengan demikian kita dapat membangun Angkatan Perang yang mampu membantu menyelesaikan semua tuntutan Revolusi Agustus 1945. Hanya dengan penegakan tata tertib hukum dalam ketentaraan yang berjiwa Revolusi Agustus 1945 Angkatan Perang kita akan setia kepada sumbernya, yaitu Revolusi dan Rakyat.
Sebagaimana sudah saya katakan di atas, ada sementara orang berteriak supaya diadakan penyelesaian "secara adat", "dengan potong kerbau" dan "dengan menggunakan pepatah dan petitih". Tetapi, jika kita tidak waspada, apakah yang tersembunyi di belakang kata-kata ini semuanya? Tidak lain ialah untuk mencairkan disiplin dalam Angkatan Perang kita, untuk mengacau-balaukan hirarki dan tata tertib hukum di dalam ketentaraan kita. Saya tidak berkeberatan jika juga ditempuh jalan secara adat, kerbau-kerbau dipotongi dan segala macam pepatah dan petitih nenek moyang digali dan dipakai, karena semuanya ini memang warisan dan milik kita sendiri. Tetapi jangan lupa, bahwa semuanya ini hanyalah faktor tambahan. Yang primer bagi orang-orang militer ialah tata tertib hukum di dalam ketentaraan. Kalau tidak demikian lebih baik perwira-perwira yang bersangkutan menanggalkan epoletnya dan kembali ke kampung untuk duduk dalam lembaga-lembaga adat dikampung. Disanalah barangkali mereka akan menemukan ketenteraman jiwanya.
Sesudah mengkonfrontasikan Peristiwa Madiun 1948 dengan Peristiwa Sumatera 1956, maka sampailah saya pada kesimpulan, bahwa pemerintah Ali-ldham sekarang berpuluh-puluh kali lebih bijaksana daripada pemerintah Hatta ketika menghadapi kejadian-kejadian di Madiun dalam bulan September 1948. Ini dilihat dari sudut kebijaksanaan. Dilihat dari sudut kewibawaan pemerintah Ali-Idham mempunyai kewibawaan, dibuktikan oleh ketaatan alat-alatnya pada umumnya. Yang tidak mentaati pemerintah sekarang hanya minoritas yang sangat kecil yang sudah diracuni oleh sebuah partai kecil dan oknum-oknum liar yang tidak melihat hari depannya dalam demokrasi, tetapi dalam sesuatu kekuasaan militeris-fasis. Adalah janggal dan tidak bertanggungjawab jika pemerintah Ali-Idham menyerah kepada ambisi partai kecil dan oknum-oknum liar ini.
Selanjutnya dapat pula ditarik kesimpulan, bahwa adalah perbuatan yang tidak bertanggungjawab untuk memberi kans sekali lagi kepada Mohamad Hatta, bapak perang-saudara, seorang yang karena haus kekuasaan dan pendek akal telah menewaskan beribu-ribu Rakyat dan pemuda baik orang-orang sipil maupun orang-orang militer kita yang baik-baik.
Dwitunggal Tidak Pernah Ada
Sementara orang tentu akan bertanya: Tetapi bagaimana dengan "dwitunggal"? Pertama-tama perlu saya nyatakan bahwa dwitunggal tidak pernah ada, bahwa dwitunggal hanya ada dalam dunia impian orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk sejarah perjuangan kemerdekaan dan sejarah pencetusan Revolusi Agustus 1945.
Kalau orang mau tenang dan mau mengingat-ingat kembali pada pertentangan pendapat yang sengit antara Sukarno dengan "Partai Indonesia" (Partindo) di satu pihak dan Hatta-Sjahrir dengan apa yang dinamakan "Pendidikan Nasional Indonesia" di pihak lain, maka orang akan sependapat bahwa dwitunggal yang sungguh-sungguh memang tidak pernah ada. Untuk pertama kali, pada kesempatan ini ingin saya nyatakan, bahwa saya sudah lama merasa ikut berdosa karena sudah ambil bagian aktif dalam gerakan memaksa Hatta menandatangani Proklamasi 17 Agustus 1945. Hatta sudah sejak semula secara ngotot menentang pencetusan Revolusi Agustus. la menggantungkan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya pada rakhmat Saikoo Sikikan (Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Indonesia) yang tidak kunjung tiba itu.
Saya merasa lebih-lebih ikut berdosa lagi ketika membaca pidato Hatta waktu menerima gelar Dr. HC dari Universitas "Gajah Mada" dimana dengan tegas dikatakannya bahwa revolusi harus dibendung. Kalau saya tidak salah Universitas "Gajah Mada" sudah tiga kali memberikan gelar kehormatan, pertama kepada Presiden Sukarno, kedua kepada Hatta dan ketiga kepada Ki Hajar Dewantara. Pemberian yang pertama dan ketiga, menurut pendapat saya, adalah tepat, karena Universitas "Gajah Mada" yang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada orang-orang revolusioner, pengabdi-pengabdi revolusi. Tetapi pemberian yang kedua, yaitu pada Hatta, maaf, adalah satu kekeliruan yang mungkln tidak disengaja. Betapa tidak keliru, sebuah universitas yang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada seorang yang ingin membendung revolusi, kepada seorang kontra-revolusioner.
Dwitunggal yang terdiri dari seorang revolusioner dan yang seorang lagi kontra-revolusioner sama sekali bukan dwitunggal. Oleh karena itulah saya katakan, dwitunggal tidak pernah ada, kecuali di dalam dongengan dan impian. Dongengan tentang dwitunggal inilah yang antara lain telah membikin revolusi kita menjadi macet, karena dwitunggal yang dibikin-bikin itu, yang heterogen itu, telah membikin kita terjepit di antara dua kutub, kutub revolusi dan kutub kontra-revolusi. Selama lebih sebelas tahun Rakyat Indonesia sudah ditipu dengan apa yang dinamakan dwitunggal.
Revolusi kita berjalan terus, semua kekuatan revolusioner harus dipersatukan dan dimobilisasi untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner.
Demikianlah, penilaian saya mengenai kebijaksanaan pemerintah sekarang, sesudah saya mengkonfrontasikan kebijaksanaan pemerintah sekarang dengan kebijaksanaan pemerintah Hatta ditahun 1948. Saya dipaksa untuk memberikan penilaian secara ini, karena ada salah seorang anggota Parlemen kita yang dalam pemandangan umumnya membawa-bawa Peristiwa Madiun.
DN AIDIT.

Thursday 20 November 2008

GESTAPU ; CATATAN PINGGIR GUNAWAN MUHAMMAD

Tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat pembunuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-mula sejumlah jenderal, kemudian berpuluh ribu orang Indonesia yang bukan jenderal dan tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau disiksa.

Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih, dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu. Semuanya kita masukkan ke dalam sebuah kata, ”Gestapu”, seperti kita menyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus mengenangnya.
Maka tiap 30 September dan 1 Oktober ada keinginan yang saya kira terpendam di hati orang banyak: keinginan untuk mampu mengenang horor itu, tapi juga berharap ia tak akan berulang. Indonesia tak boleh lagi mengelola konflik lewat darah dan besi.

Keinginan itu tampak mudah dipenuhi setelah ”Orde Baru” runtuh, setelah sebuah pemerintahan yang stabil—tapi bersandar pada kapasitasnya membangun rasa takut—ambruk. Tapi segera terbukti kita gampang terbuai ilusi. Prasangka rasial, rasa curiga antarkelompok, kebencian, paranoia, dan waswas yang diperkuat oleh agama seakan-akan malah bergelombang datang. Indonesia nyaris habis harapan. Semuanya seakan-akan mesti berakhir dengan membunuh.

Tapi mungkinkah ada sebuah lingkungan hidup bersama—bisa disebut ”masyarakat”, ”komunitas”, atau ”bangsa”—yang akan memilih khaos dan kekerasan sebagai satu-satunya cara bersaing dan bersengketa? Para optimis mengatakan, tak mungkin. Sengketa dan kekerasan bukanlah pola dalam sejarah. Tiap kehidupan bersama selalu mengandung keinginan bersama untuk ”masyarakat yang baik” dan kapasitas untuk mencapai mufakat. Bahkan binatang buas berdamai dalam puaknya.

Tapi benarkah ”selalu”? Benarkah kita senantiasa bergerak untuk mufakat? Katakanlah tiap orang, tiap kelompok, memang menghendaki ”masyarakat yang baik”, tapi apa gerangan yang ”baik”? Selalukah yang ”baik” bagi kami juga ”baik” bagi mereka?

Zaman ini yang berbeda dan ganjil berduyun-duyun masuk ke dalam pengalaman—dan kita ragu adakah nilai yang universal. Kondisi ”pasca-modernis” datang. Seorang pemikir seperti Richard Rorty bahkan menunjukkan, nilai-nilai selamanya contingent, tergantung, kepada waktu dan tempat. Apa yang ”baik” selamanya dipengaruhi konteks. Sebab itu jangan dipaksakan. Bahkan keyakinan kita sendiri tentang ”baik” dan ”buruk” perlu dicampur dengan satu dosis besar ironi.

Pandangan seperti ini memang membuka ruang luas toleransi. Kita tak bisa jadi fanatik memeluk ide-ide besar. Tapi ada yang boyak; ia tak cukup memberi dasar bagi langkah politik untuk membangun kebaikan bagi sesama. Tentu, Rorty tak menganggap kita bisa selamanya berdiri di tepi dengan senyum ironis. Baginya, tak ada alasan untuk berpangku tangan ketika kekejaman terjadi.

Rorty memang tak menampik tumbuhnya rasa solidaritas antarmanusia. Tapi bagaimana rasa solidaritas itu mungkin? Bagaimana ia bisa memadai untuk membentuk sebuah kekuatan pembebas, jika keyakinan tentang nilai-nilai yang universal, yang menggerakkan siapa saja, cair oleh ironi?

Memang, liberalisme Rorty bukan formula untuk bunuh-membunuh. Tapi ia tak bisa memberi jawab bagi keadaan yang mungkin tak dialaminya. Rorty begitu betah dengan hidup nyaman Amerika-nya. Tapi ada kondisi lain, di mana politik bergerak bukan karena keinginan, melainkan oleh kemestian, di mana gagasan tentang ”masyarakat yang baik” bukan imajinasi waktu senggang, melainkan karena rasa lapar yang akut akan keadilan.

Di sini liberalisme ala Rorty bisa semacam skandal. Tak mengherankan dalam latar umum Afrika, Asia, dan Amerika Latin, orang pernah dengan bahagia mendapatkan analisis dan inspirasi dari yang lain: Marxisme. Marxisme punya satu imbauan universal: cita-cita tentang masyarakat tanpa kelas. Tapi juga Marxisme bisa ampuh karena melihat nilai-nilai sebagai sesuatu yang tak datang dari luar sejarah. Marxisme merayakan dinamika dan perubahan.
Tak mengherankan bila beribu-ribu orang pun bergerak, dengan sakit dan miskin, dengan jiwa dan raga. Yang tragis ialah bahwa Marxisme—sebuah alat diagnostik yang cemerlang—ternyata sebuah terapi yang gagal. Bahkan Cina murtad. Apa yang tersisa dari Marxisme di sana sekarang, dengan kemajuan ekonomi yang membuat orang terkesima? Hanya sebuah partai komunis yang tak percaya kepada imannya sendiri.

Maka pada suatu saat orang pun membaca Habermas. Ia meyakinkan kita bahwa ada rasionalitas yang bisa membawa apa yang ”baik” melintasi batas ruang-dan-waktu. Komunikasi adalah laku yang tak asing. Dalam situasinya yang ideal, komunikasi dapat menghasilkan mufakat tentang ”masyarakat yang baik”.

Tapi tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat bahwa dorongan untuk bermufakat berakhir dengan pembunuhan. Indonesia adalah sebuah republik yang luka ketika bersikeras membentuk konsensus. Kini kita takut berilusi: bisakah kita sepakat tentang ”masyarakat yang baik”? Akan adakah situasi percakapan yang ideal?

Siapa yang takut mimpi perlu memanggil mambang Marxisme. Kita akan bisa melihat—seperti Laclau memanggil roh Gramci—bahwa mufakat tak datang dengan sendirinya. Ia hasil pergulatan hegemoni. Dan dengan Marxisme yang radikal yang memandang sejarah sebagai perubahan, kita akan mengakui bahwa hegemoni itu tak akan abadi. Pengertian dan konsensus tentang ”masyarakat yang baik” tak akan kekal. Kekuasaan yang menjaga konsensus itu tak akan selamanya bisa memenuhi cita-cita.

Itu sebabnya kita memilih demokrasi sebagai sistem yang mengakui kekurangan manusia. Kita lebih berendah hati. Maka sambil mengakui pergulatan politik akan berlangsung terus-menerus, kita tak perlu bersiap dengan darah dan besi. Ongkos akan terlalu mahal—seperti 30 September dan 1 Oktober 1965—untuk sesuatu yang tak akan sempurna dan selama-lamanya.

Dari Kiri Ke Kanan : Sebuah Gerakan Sejarah Indonesia




Tragedi Kaum Kiri Indonesia


Pada Bulan Oktober 1965 kaum buruh internasional mengalami salah satu kekalahan yang terbesar dalam period setelah Perang Dunia Kedua.

Sebanyak satu juta buruh dan petani dibantai dalam kudeta militer yang diatur oleh CIA dan dipimpin oleh Jenderal Suharto. Kudeta militer ini dilakukan untuk menyingkirkan rejim burjuis Sukarno yang sedang goyah, menindas pergerakan massa di Indonesia dan mendirikan rejim militer yang brutal.

Mantan-mantan diplomat Amerika Serikat and pejabat CIA, termasuk bekas duta besar AS untuk Indonesia dan Australia, Marshall Green, tahun ini telah mengakui bekerja sama dengan tukang-tukang jagal Suharto dalam pembunuhan ratusan ribu buruh dan petani yang dicurigai sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Mereka memberikan secara perorangan nama-nama dari ribuan anggota PKI dari arsip-arsip CIA, untuk daftar-daftar bantaian angkatan bersenjata.

Menurut Howard Federspeil, seorang ahli soal Indonesia yang sedang bekerja untuk Departemen Luar Negeri AS pada waktu kampanye anti-komunis itu: "Tak seorang pun perduli, asal saja mereka itu komunis, kalau mereka dijagal."

Kudeta itu merupakan hasil dari sebuah operasi panjang CIA, dengan bantuan agen-agen Dinas Intelijen Rahasia Australia (ASIS), untuk melatih dan membangun angkatan bersenjata Indonesia dalam persiapan untuk sebuah rejim militer yang akan menindas aspirasi revolusioner rakyat Indonesia.

Pada waktu kudeta militer itu, PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Cina dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3.5 juta; ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3.5 juta anggota dan pergerakan petani BTI yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita, organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Selama perjuangan kemerdekaan melawan Belanda di tahun empatpuluhan dan sepanjang tahun limapuluhan dan enampuluhan ratusan ribu orang buruh yang sadar akan kelasnya menjadi anggota PKI, mengira PKI masih mewakili tradisi-tradisi sosialis revolusioner Revolusi Bolshevik 1917.

Namun pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.

Pembunuhan-pembunuh an itu sangatlah tersebar-luas, sampai sungai-sungai menjadi penuh dengan mayat-mayat para pekerja dan petani. Sewaktu regu-regu pembantai militer yang didukung CIA mencakupi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji mereka, majalah "Time" memberitakan:

"Pembunuhan- pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."

Bagaimanakah kekalahan bersejarah ini dapat terjadi? Jawabannya memerlukan sebuah penelitian dari sejarah pergerakan rakyat Indonesia, pengkhianatan oleh kelas burjuis nasional yang dipimpin oleh Sukarno, peranan kontra-revolusioner PKI dan peranan penting yang dimainkan oleh para oportunis Pablois dari "Sekretariat Tergabung" (United Secretariat) -nya Ernest Mandel dan Joseph Hansen dalam membantu pengkhianatan para Stalinis.

'Permata Asia'

Kudeta berdarah di Indonesia merupakan hasil dari niat imperialisme AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata Asia'itu.

Pentingnya Indonesia bagi imperialisme AS ditegaskan oleh presiden AS Eisenhower di tahun 1953, waktu ia mengatakan kepada konperensi gubernur negara-negara bagian bahwa pembiayaan oleh AS untuk perang kolonial pemerintah Perancis di Vietnam adalah sangat imperatif dan merupakan "jalan termurah" untuk tetap mengontrol Indonesia.

Eisenhower menerangkan: "Sekarang marilah kita anggap kita kehilangan Indocina. Bila Indocina hilang, beberapa hal akan langsung terjadi. Tanjung Malaka, sebidang tanah terakhir yang bertahan di sana, akan menjadi sulit untuk dipertahankan. Timah dan tungsten yang sangat kita hargai dari daerah itu akan berhenti datang, dan seluruh India akan terkepung.
"Birma tidak akan berada di posisi yang dapat dipertahankan. Semua posisi di sekitar sana akan menjadi sangat tak menyenangkan buat Amerika Serikat, karena pada akhirnya jika kita kehilangan semua itu, bagaimanakah dunia bebas akan mempertahankan kerajaan Indonesia yang kaya?

"Jadi, entah dimana, ini harus diberhentikan dan harus diberhentikan sekarang, dan inilah yang kita usahakan.

"Jadi, bila AS memutuskan untuk menyumbang 400 juta dolar untuk membantu perang di Indocina, kita bukannya menyuarakan program bantuan gratis. Kita memilih jalan termurah untuk mencegah terjadinya sesuatu yang akan berarti sangat buruk buat Amerika Serikat, keamanan, kekuatan dan kemampuan kita untuk mendapatkan barang-barang tertentu yang kita butuhkan dari kekayaan-kekayaan wilayah Indonesia dan Asia Tenggara."
Indonesia telah diperkirakan sebagai negara terkaya nomor lima di dunia di bidang sumber-sumber alam. Selain sebagai produser minyak yang nomor lima terbesar, Indonesia mempunyai cadangan-cadangan timah, bauksit, batubara, emas, perak, berlian, mangan, fosfat, nikel, tembaga, karet, kopi, minyak kelapa sawit, tembakau, gula, kelapa, rempah-rempah, kayu dan kina yang sangat besar.

Pada tahun 1939, yang pada waktu itu masih dipanggil East Indies Belanda memasok lebih dari separuh konsumsi total bahan mentah yang penting bagi Amerika Serikat. Kekuasaan atas daerah penting ini merupakan masalah penting dalam perang AS-Jepang di Pasifik. Dalam masa setelah perang kelas penguasa AS bertekad bulat untuk tidak kehilangan kekayaan-kekayaan negara ini ke tangan rakyat Indonesia.

Setelah kekalahan Perancis di Vietnam di tahun 1954, AS menjadi khawatir bahwa perjuangan rakyat Vietnam akan menyulut pergolakan revolusioner di seluruh daerah Asia Tenggara, mengancam kontrol mereka atas Indonesia.

Di tahun 1965, sebelum kudeta di Indonesia, Richard Nixon, yang segera akan menjadi presiden AS, menyerukan untuk pengeboman saturasi untuk melindungi "potensi mineral besar" Indonesia. Dua tahun setelah itu, dia menyatakan bahwa Indonesia merupakan "hadiah terbesar Asia Tenggara".

Setelah kudeta 1965, kegunaan diktatur Suharto untuk kepentingan imperialisme AS telah tergarisbawahi dalam laporan Departemen Luar Negeri AS ke Konggres di tahun 1975, yang menyebut Indonesia sebagai "lokasi yang paling berwenang secara strategis di dunia":
* "Mempunyai populasi yang terbesar di seluruh Asia Tenggara.* "Merupakan penyuplai utama bahan-bahan mentah di daerah itu.* "Kemakmuran ekonomi Jepang yang terus berkembang, sangatlah tergantung pada minyak bumi dan bahan-bahan mentah lain yang dipasok oleh Indonesia.* "Investasi Amerika yang sudah ada di Indonesia sangatlah kokoh dan hubungan dagang kita sedang berkembang cepat.* "Indonesia mungkin secara meningkat akan menjadi penyedia yang penting untuk keperluan energi AS.* "Indonesia adalah anggota OPEC, tetapi itu mengambil sikap yang moderat dalam langkah-langkahnya, dan tidak ikut serta dalam embargo minyak bumi.* "Kepulauan Indonesia terletak pada jalur-jalur laut yang strategis dan pemerintah Indonesia memainkan peranan yang vital dalam perundingan- perundingan hukum kelautan, yang sangatlah penting untuk keamanan dan kepentingan komersiil kita."

Perampasan Kolonial Selama Berabad-Abad

Kolonial Belanda menjajah Indonesia tanpa ampun selama 350 tahun, merampok kekayaan alamnya, membuka perkebunan-perkebun an besar dan memeras rakyatnya secara kejam.
Pada tahun 1940 hanya ada satu dokter untuk setiap 60,000 orang (dibandingkan dengan India, di mana rasionya adalah 1:6,000) dan 2,400 lulusan Sekolah Menengah Atas. Pada akhir Perang Dunia Kedua, 93 persen dari populasi Indonesia masih buta-huruf.
Pada permulaan abad Kesembilan Belas, perkembangan kaum burjuis Inggris makin menantang dominasi Belanda atas daerah ini. Di tahun 1800 East Indies Company milik Belanda menjadi bangkrut dan Inggris mengambil-alih daerah kekuasaannya antara tahun 1811 dan 1816. Di tahun 1824, Treaty of London (Perjanjian London) membagi daerah ini antara keduanya: Inggris mendapat kontrol atas tanjung Malaka dan Belanda tetap menguasai kepulauan Indonesia.

Permulaan abad Keduapuluh, imperialisme Amerika yang baru sedang berkembang mulai menjadi tantangan untuk kekuatan kolonial Eropa, terutama setelah pendudukan Filipina oleh

Amerika Serikat di tahun 1898.

Amerika Serikat sedang terlibat dalam perang dagang dengan Belanda atas minyak bumi dan karet. Perusahaan minyak Standard mulai memperebutkan monopoli atas daerah-daerah pertambangan minyak di Indonesia oleh Royal Dutch company. Di tahun 1907, Royal Dutch dan Shell bergabung untuk menandingi kompetisi dari AS. Mengambil keuntungan dari situasi Perang Dunia Pertama, Standard Oil mulai mengebor minyak di Jawa Tengah, dan dalam tahun yang sama perusahaan-perusaha an AS mulai menguasai perkebunan-perkebun an karet. Goodyear Tyre and Rubber membuka perkebunan-perkebun an mereka dan US Rubber membuka perkebunan-perkebun an karet di bawah satu pemilikan yang terbesar di dunia.

Strategi AS di daerah ini sewaktu itu dapat diringkas oleh Senator William Beveridge:
"Filipina adalah milik kita selamanya... dan lewat Filipina adalah pasaran Cina yang tak terbatas.
Kita tidak akan mundur dari keduanya. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita di kepulauan itu. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita di Asia Timur. Kita tidak akan meninggalkan bagian kita di dalam misi bangsa kita, kepercayaan Tuhan, untuk perdaban di dunia ini...kita akan maju berkarya...dengan rasa terima kasih... dan rasa syukur kepada Tuhan kita yang Maha Besar karena Dia telah memilih kita sebagai orang-orang terpilihNya, dan selanjutnya memimpin dalam regenerasi dunia...Perdagangan terbesar kita mulai sekarang harus dengan Asia. Laut Pasifik itu adalah laut kita... dan Pasifik adalah laut perdagangan masa depan. Kekuatan yang memiliki Pasifik, adalah kekuatan yang menguasai dunia. Dan dengan Filipina, kekuatan itu adalah dan akan selalu menjadi Republik Amerika."

Berkembangnya imperialisme Jepang dan ekspansinya ke Korea, Manchuria dan Cina menimbulkan pertentangan dengan imperialisme Amerika atas penguasaan daerah-daerah itu, yang meningkat dan meletus dalam Perang Pasifik dalam Perang Dunia Kedua. Keinginan kaum burjuis Jepang untuk merebut kekuasaan AS, Perancis dan Belanda membawa pentingnya Indonesia, sebagai gerbang ke Laut India dari Asia Tenggara dan sumber kekayaan alam, ke dalam fokus.

Di tahun 1942 para kolonialis Belanda menyerahkan kekuasaan atas Indonesia ke Jepang, daripada membiarkan rakyat Indonesia berjuang untuk kemerdekaan. Semua kekuatan imperialis mempunyai alasan baik untuk menakuti rakyat Indonesia yang tertindas.
Sejauh tahun 1914 wakil-wakil terbaik dari kelas buruh Indonesia telah mengambil ajaran Marxisme ketika Assosiasi Sosial Demokrat Indies (Indies Social Democratic Association) dibentuk dengan inisiatip seorang komunis Belanda Hendrik Sneevliet. Di tahun 1921 itu berubah menjadi Partai Komunis Indonesia sebagai tanggapan kepada Revolusi Bolshevik di Rusia.

PKI mendapatkan kewenangan besar di antara rakyat dengan memimpin perjuangan melawan kolonialisme Belanda, termasuk pergerakan-pergerak an besar yang pertama di Jawa dan
Sumatra di tahun 1926 dan 1927.

Ketika rakyat Cina sedang bergerak dalam Revolusi Cina yang kedua di tahun 1926-27, para pekerja dan petani Indonesia juga bergerak dalam sebuah pemberontakan, yang dipimpin PKI. Bagaimanapun juga, kewenangan kolonial Belanda berhasil memadamkan pemberontakan- pemberontakan itu. Mereka menangkap 13,000 orang tertuduh, memenjarakan 4,500 dan mengasingkan 1,308 ke dalam kamp konsentrasi di Irian Barat. PKI dilarang.

Perjuangan Pembebasan Nasional Dikhianati

Pada akhir Perang Dunia Kedua rakyat-rakyat tertindas di Indonesia, India, Sri Lanka, Cina dan di seluruh Asia Tenggara dan dunia maju bergerak dalam perjuangan-perjuang an revolusioner untuk membebaskan diri dari imperialisme.

Pada saat yang sama, kelas buruh di Eropa dan negara-negara kapitalis mengadakan perjuangan-perjuang an yang menggoncangkan. Itu hanya dapat dipadamkan melalui perkhianatan birokrasi Sovyet yang dipimpin oleh Stalin dan partai-partai Stalinis di seluruh dunia. Pengkhianatan pekerja-pekerja Perancis, Itali dan Yunani yang terutama, dan pendirian rejim-rejim yang dikendalikan secara birokratis di Eropa Timur memperbolehkan imperialisme untuk memantapkan diri.

Di tahun 1930an, munculnya sebuah kasta berhak istimewa dalam Uni-Sovyet, yang mengambil kekuasaan politis dari kaum proletar Sovyet, telah menghancurkan partai-partai Komunis. Dari partai-partai Internasional revolusioner, mereka berubah menjadi organisasi-organisa si kontra-revolusioner , yang menekan perjuangan-perjuang an mandiri kelas buruh.

Di negara-negara kolonial, partai-partai Stalinis ini, termasuk PKI, secara sistematis mengebawahkan kepentingan rakyat ke kelas burjuis-nasional yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Gandhi di India dan Sukarno di Indonesia yang berusaha mencari penyelesaian dengan kekuatan-kekuatan kolonial untuk mempertahankan kekuasaan kapitalis.
Perjanjian-perjanji an setelah Perang Dunia Kedua tidak menghasilkan pembebasan nasional yang sejati dari imperialisme, tetapi membebankan kepada rakyat agen-agen baru kekuasaan imperialis. Ini adalah kasusnya di Indonesia di mana kelas burjuis nasional, dipimpin Sukarno, mengadakan perjanjian-perjanji an reaksioner dengan Belanda.

Sukarno, putra seorang guru sekolah Jawa yang berasal dari keluarga aristokratis, adalah lulusan arsitek, bagian dari lapisan sosial tipis kaum petit-burjuis yang berpendidikan. Dia adalah ketua Partai Nasional Indonesia saat itu dibentuk di tahun 1927 dan mengalami penjara dan pengasingan di tangan Belanda karena dia mengajarkan kemerdekaan nasional.

Dalam Perang Dunia Kedua Sukarno dan kelas burjuis nasional bekerja sama dengan pasukan pendudukan Jepang dengan harapan mendapatkan semacam kemerdekaan nasional. Dalam hari-hari terakhir perang itu Sukarno, dengan dukungan separuh-hati Jepang, mendeklarasikan Republik Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Arahan pemimpin-pemimpin kelas burjuis nasional ini bukanlah untuk memimpin sebuah gerakan proletar melawan imperialisme, tetapi untuk mendirikan sebuah administrasi dan memperkuat posisi mereka dalam tawar-menawar dengan Belanda, yang tidak mempunyai tentara di daerah itu.

Tetapi reaksi Belanda adalah mengadakan perang yang kejam untuk menekan rejim yang baru ini. Mereka memerintahkan Indonesia untuk tetap di bawah perintah tentara Jepang sampai tentara Inggris dapat mencapai sana. Inggris dan Jepang kemudian menggunakan tentara-tentara Jepang untuk menekan perjuangan bertekad para pekerja, pemuda dan petani Indonesia. Dengan begitu, semua kekuatan-kekuatan imperialis bergabung melawan rakyat Indonesia.

Ketika perlawanan bersenjata meletus di seluruh Indonesia terhadap tentara Belanda, Sukarno, dengan dukungan dari kepemimpinan PKI, menjalankan sebuah politik kompromi dengan Belanda dan menandatangani Perjanjian Linggarjati di bulan Maret 1947. Belanda mengenali secara formal kekuasaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra dan setuju untuk mengundurkan tentara mereka. Tetapi kenyataannya, Belanda hanya menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mengambil napas dan memperkuat dan mempersiapkan diri untuk sebuah serangan yang kebrutalannya tak tertandingi di bulan Juli dan Agustus 1947.
Selama waktu ini, ratusan ribu buruh dan petani menjadi anggota atau mendukung PKI karena mereka kehilangan kepercayaan terhadap para pemimpin burjuis dan karena mereka memandang PKI sebagai partai revolusioner. Mereka juga terilhami oleh kemajuan-kemajuan Partai Komunis Cina Mao Tse Tung dalam perangnya melawan Chiang Kai-Shek. Dalam perang melawan Belanda, buruh dan petani menduduki tanah dan bangunan-bangunan berulang-ulang dan serikat-serikat buruh massa dibentuk.

Untuk menanggulangi perkembangan ini, pemerintahan Republik Sukarno, yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang saat itu masih Perdana Menteri (juga seorang anggota PKI rahasia), menandatangani Perjanjian Renville di bulan Januari 1948 (dipanggil itu karena ditandatangani di atas USS Renville). Perjanjian ini memberi Belanda kekuasaan atas separuh pabrik-pabrik gula di Jawa, 75 percent dari karet Indonesia, 65percent perkebunan kopi, 95 percent perkebunan teh dan minyak bumi di Sumatra. Tambahan pula, penyelesaian yang diimposisi oleh AS ini menyebutkan penarikan mundur pasukan-pasukan gerilya dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda dan menciptakan kondisi untuk pembubaran "unit-unit rakyat bersenjata" yang dipimpin oleh PKI, dan untuk pembentukan "Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia" yang dipimpin oleh Sukarno dan jendral-jendralnya.

Di tahun 1948 aksi-aksi pemogokan menentang pemerintah Republik, yang sekarang dipimpin oleh Wakil Presiden sayap-kanan Hatta sebagai Perdana Menteri, dan menuntut sebuah pemerintahan berparlemen. Aksi-aksi ini dipadamkan oleh Sukarno yang mengimbau untuk penciptaan "kesatuan nasional".

Pada saat yang sama, pemimpin PKI Musso yang sebelumnya diasingkan, kembali dari Uni-Sovyet dan beberapa pemimpin-pemimpin penting Partai Sosialis Indonesia dan Partai Buruh Indonesia menyatakan bahwa mereka adalah anggota-anggota rahasia PKI selama bertahun-tahun. Pernyataan ini menunjukkan basis dukungan untuk PKI yang jauh lebih besar dari yang sebelumnya diperkirakan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.

Di bulan Juli 1948 pemimpin-pemimpin burjuis, termasuk Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan rahasia dengan wakil-wakil AS di Sarangan di mana AS menuntut, sebagai bayaran bantuan ke pemerintah, pengadaan pemburuan anggota-anggota PKI dalam angkatan bersenjata dan pegawai-pegawai pemerintah. Hatta, yang juga masih Menteri Pertahanan, diberi $10 juta untuk melakukan "pemburuan merah"

Dua bulan setelah itu, dalam sebuah percobaan untuk menghancurkan PKI, Peristiwa Madiun dilakukan di Jawa. Beberapa perwira angkatan bersenjata, anggota-anggota PKI, dibunuh dan yang lainnya menghilang, setelah mereka menentang rencana-rencana untuk membubarkan kesatuan-kesatuan gerilya angkatan bersenjata yang berada di garis depan perang melawan Belanda.

Pembunuhan-pembunuh an ini menimbulkan pemberontakan di Madiun yang ditekan secara berdarah oleh rejim Sukarno. Perdana Menteri Hatta menyatakan hukum darurat. Ribuan anggota PKI dibunuh, 36,000 dipenjara dan pemimpin PKI Musso dan 11 pemimpin penting yang lainnya dihukum mati.

Konsul-Jendral AS Livergood menelegram atasannya di AS mengatakan bahwa dia telah memberitahu Hatta bahwa "krisis ini memberikan pemerintahan Republik kesempatan untuk menunjukkan tekadnya untuk menekan komunisme."
Terbesarkan hatinya karena pogrom anti-komunis itu, Belanda menjalankan serangan militer baru di Desember 1948, menangkap Sukarno. Tetapi perlawanan yang meluas memaksa Belanda untuk menyerah dalam waktu enam bulan.

Meskipun begitu, konperensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag membebankan pengkhianatan- pengkhianatan baru atas rakyat Indonesia, melibatkan konsesi-konsesi yang lebih besar dari kelas burjuis Indonesia.

Pemerintah Sukarno setuju untuk mengambil alih hutang-hutang koloni dan menjamin perlindungan untuk modal milik Belanda. Belanda mendapat Irian Barat dan Republik Indonesia tetap harus bekerja sama dengan imperialis Belanda dalam Netherlands- Indonesian Union. Pemerintah Sukarno tetap mempertahankan hukum-hukum kolonial. Angkatan bersenjata baru didirikan dengan menggabungkan tentara-tentara Belanda yang berasal dari Indonesia ke dalam "Angkatan Bersenjata Nasional". Dalam kata lain aparatus dan hukum-hukum kolonial lama dipertahankan dibalik aling-aling pemerintahan parlemen di republik yang baru.
Kepemimpinan PKI mendukung pengkhianatan perjuangan pembebasan nasional itu dan berusaha untuk membatasi kelas buruh dan petani ke dalam perjuangan-perjuang an yang damai dan "demokratis" . Ini adalah terusan dari posisi PKI selama Perang Dunia Kedua ketika kepemimpinan PKI (dengan Partai Komunis Belanda) mengikuti arahan Stalin untuk bekerja sama dengan imperialis Belanda melawan Jepang dan menyerukan untuk sebuah "Indonesia merdeka dalam Persemakmuran Belanda". Ini tetap menjadi politik PKI meskipun selama perjuangan setelah Perang Dunia Kedua melawan Belanda.

Untuk rakyat Indonesia, kepalsuan "kemerdekaan" di bawah dominasi imperialisme Belanda, Amerika dan dunia yang berlangsung makin menjadi jelas. Hasil-hasil alam, industri-industri penting, perkebunan-perkebun an dan kekuatan keuangan tetap dipegang oleh perusahaan-perusaha an asing.

Contohnya, 70 percent lalu-lintas laut antar kepulauan masih dipegang oleh perusahaan Belanda KPM dan salah satu bank Belanda terbesar, Nederlandche Handel Maatschappij, memegang 70 percent dari semua transaksi keuangan Indonesia.
Menurut perhitungan pemerintah Indonesia, di pertengahan tahun 1950an, modal Belanda di Indonesia berharga sekitar $US 1 milyar. Pemerintah Sukarno mengatakan bahwa meskipun jika mereka ingin menasionalisasikan kemilikan Belanda, mereka tidak mempunyai cukup uang untuk menggantikan kerugian bekas penguasa-penguasa kolonial itu. Dan untuk menasionalisasikan tanpa ganti-rugi adalah komunisme.

Ketidakpercayaan rakyat tercermin di pemilihan umum 1955 ketika jumlah kursi yang dipegang PKI meningkat dari 17 ke 39.

Dalam waktu dua tahun pergerakan rakyat akan meletus dalam penyitaan pabrik-pabrik, perkebunan-perkebun an, bank-bank, toko-toko dan kapal-kapal milik Belanda, Amerika dan Inggris.

BAB KEDUA

Para Stalinis Mengkhianati Pergerakan Massa

Pada bulan Desember 1957 dominasi imperialisme atas ekonomi Indonesia tergoncang oleh pergerakan massa kaum buruh dan petani. Pabrik-pabrik, perkebunan-perkebun an, bank-bank dan kapal-kapal laut banyak yang dirampas dan diduduki.

Rejim burjuis Sukarno bisa bertahan hanya karena pemimpin-pemimpin Stalinis Partai Komunis Indonesia (PKI) menyabot pergerakan massa itu, dengan menegaskan bahwa para buruh dan petani harus menyerahkan semua yang sudah mereka sita kepada pasukan-pasukan angkatan bersenjata yang dikirim oleh Sukarno, dengan dukungan AS, untuk mengontrol situasi itu.
Kabar di New York Times tanggal 8 Desember 1957 memberi gambaran tentang keluasan dan kekuatan pergerakan itu: "Pergerakan pekerja-pekerja di Jakarta, sejauh kita dapat menentukan, terjadi tanpa ijin pemerintah, dan berlawanan dengan kata-kata Perdana Menteri Djuanda, Kepala angkatan bersenjata Jendral Abdul Haris Nasution dan pejabat-pejabat pemerintah yang lainnya, yang mengatakan bahwa pergerakan itu tidak dapat diterima dan orang-orang yang terlibat akan dihukum berat...

"Ketiga bank milik Belanda di sini, the Netherlands Trading Society, the Escompto dan the Netherlands Commercial Bank, diambil-alih oleh delegasi-delegasi pergerakan itu. Mereka membacakan proklamasi di depan kawan-kawan seperjuangan yang penuh semangat dan kemudian di depan para administrator- administrator dari Belanda, mengatakan bahwa atas nama Asosiasi Pekerja Indonesia mereka merampas bank-bank ini dan mulai saat itu akan menjadi milik Republik Indonesia."

Surat kabar Belanda "Volksrant" mengabarkan dengan nada khawatir pada tanggal 11 Desember 1957:"Di Jakarta para Komunis terus mengibarkan bendera-bendera merah di atas perusahaan-perusaha an milik Belanda...Hari ini kantor pusat Philips dan Societe D'Assurances Nillmij di Jakarta diduduki oleh orang-orang Indonesia di bawah pimpinan perserikatan buruh Komunis."

Pergerakan ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Menurut "New York Herald-Tribune" tanggal 16 Desember:"Pekerja- pekerja di bawah SOBSI, perserikatan buruh sentral yang didominasi oleh para Komunis, merampas toko-toko roti Belanda dan bank-bank di Borneo (Kalimantan) ." Koran "New York Times" pada hari yang sama mengabarkan bahwa di Palembang, ibukota Sumatra Selatan, "pasukan-pasukan keamanan menahan sejumlah pekerja, anggota serikat buruh yang dikontrol oleh para Komunis, karena mereka bertindak tanpa ijin menyita tiga perusahaan Belanda. Tigapuluh tujuh bendera merah yang mereka naikkan di depan rumah-rumah pegawai-pegawai Belanda perusahaan-perusaha an tersebut telah disita."

Surat-surat kabar kapitalis yang lain mengabarkan "situasi anarki di Bali" dan menurut pemilik perkebunan Belanda yang sedang melarikan diri, di Aceh dan Deli, di pantai selatan Sumatra, pergerakan rakyat bukan hanya ditujukan ke perusahaan-perusaha an Belanda, tetapi juga ke perusahaan-perusaha an Inggris dan Amerika. Kabar-kabar serupa juga datang dari Sumatra Utara, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya.
Ada juga kabar-kabar bahwa pergerakan-pergerak an ini menimbulkan perlawanan di Papua

New Guinea (Irian Timur) yang diduduki oleh Australia. Di Karema, duapuluh orang terluka ketika orang-orang pribumi melawan anggota-anggota pasukan keamanan setelah seorang jururawat pribumi mengatakan bahwa dia merasa dihina.

Pemberontakan di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap panggilan dari Sukarno untuk mengadakan pemogokan umum terhadap perusahaan-perusaha an Belanda. Sebelum itu ia juga berbicara tentang penasionalisasian perusahaan-perusaha an milik Belanda pada sebuah pidato umum. Tujuan Sukarno adalah untuk menggunakan ancaman penasionalisasian sebagai cara untuk menekan Belanda untuk meninggalkan Irian Barat, yang tetap dibawah Belanda setelah Konperensi Meja Bundar di tahun 1949, supaya Indonesia dapat mengambil-alihnya.
Dalam usahanya untuk mengimbangkan keserakahan imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris; ketidakpuasan massa yang tertindas dan berkembangnya kekuatan militer dengan dukungan Amerika - yang makin lama makin menjadi andalan rejimnya, Sukarno berusaha menggunakan tekanan dari rakyat untuk menekan imperialisme Belanda.

Para buruh mulai merampas dan menduduki perusahaan-perusaha an Belanda tanpa suruhan. Sukarno sama sekali tidak mengharapkan tanggapan seperti ini. Ia langsung memberi anggota-anggota militernya ijin untuk mengambil-alih perusahaan-perusaha an itu dari para buruh.
Biro Politik PKI bergegas membantu Sukarno dengan mengeluarkan resolusi untuk mengimbau rakyat untuk memecahkan secepatnya dengan perundingan perbedaan pendapat tentang cara-cara perjuangan melawan imperialisme Belanda, dengan demikian persatuan rakyat, antara rakyat, pemerintah dan angkatan bersenjata dapat diperkuat."

Bersamaan dengan itu, PKI mengimbau para pekerja "jangan hanya menjalankan perusahaan-perusaha an yang diduduki, tetapi buat mereka bekerja lebih displin dan lebih baik dalam meningkatkan produksi.

"Pemerintah harus mengambil keputusan yang mampu dan patriotis untuk perusahaan-perusaha an ini, dan para pekerja harus menunjang keputusan ini dengan seluruh kekuatan mereka."

Tambahan pula, PKI menegaskan bahwa pengambil-alihan itu hanya berlaku terhadap perusahaan-perusaha an Belanda, mencoba menentramkan hati imperialisme AS dan Inggris dengan mengatakan bahwa kepentingan mereka tidak akan terganggu:"Semua pergerakan-pergerak an buruh, petani dan organisasi-organisa si pemuda ditujukan ke kapitalis-kapitalis Belanda. Negara-negara kapitalis yang lainnya tidak bersikap bermusuhan dalam perang antara Belanda dan Indonesia di Irian Barat. Karena itu, tidak ada aksi terhadap perusahaan kapitalis-kapitalis dari negara lain."

Mengenali usaha-usaha PKI untuk mematahkan pergerakan massa, Tillman Durdin menulis di "New York Times" tanggal 16 Desember:"Anggota- anggota Badan Penasehat National yang berorientasi Komunis diketahui telah menentang dengan tegas penyitaan-penyitaan yang dilakukan oleh para pekerja dan mengatakan bahwa pergerakan-pergerak an itu adalah 'anarko-sindikalism e' tak berdisiplin. Para Komunis membela program penyitaan yang dilangsungkan oleh pemerintah seperti sekarang ini.

Sukarno sendiri telah bersiap-siap meninggalkan negara untuk sebuah "liburan" di India, tetapi penyerahan perusahaan-perusaha an Belanda kepada pihak militer di bawah instruksi PKI telah menyelamatkan rejim burjuis Sukarno. Para pemimpin Stalinis dalam PKI tidak hanya menyelamatkan pemerintah Sukarno, mereka menimbulkan kondisi yang mengijinkan jendral-jendral militer dan penyokong mereka di AS untuk mempersiapkan kontra-revolusi berdarah mereka delapan tahun setelah itu.

Perspektif para pemimpin PKI adalah teori Stalinis "revolusi dua tahap" _ yang mengatakan bahwa perjuangan untuk sosialisme di Indonesia harus pertama melalui tahap apa yang dinamakan kapitalisme "demokratis" . Perjuangan revolusi massa untuk memperlakukan langkah-langkah sosialis harus ditekan dan kepentingannya dikebawahkan ke sebuah "persatuan" dengan kelas burjuis nasional.

Sejalan dengan perspektif reaksioner ini, birokrasi-birokrasi Stalinis di Uni-Sovyet dan Cina mengelu-elukan Sukarno dan rejimnya di dalam period ini. Sebagai contoh, Kruschev mengunjungi Jakarta dan berkata bahwa ia akan memberi Sukarno semua bantuan dalam "segala kemungkinan" . Kenyataannya, sebagian besar senjata-senjata yang digunakan dalam pembunuhan massa dalam kudeta 1965 adalah disediakan oleh Kremlin.
Permulaan Persiapan Militer

Di tahun 1956 tentara Indonesia, dengan sokongan Amerika, sudah memulai persiapan-persiapan untuk diktatur militer untuk menekan pergerakan rakyat. Di bulan Agustus Komandan militer daerah Jawa Barat memerintahkan penangkapan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani atas tuduhan-tuduhan korupsi. Di bulan November, Wakil Kepala angkatan bersenjata Kolonel Zulkifli Lubis, mencoba dengan kegagalan untuk menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintahan Sukarno. Bulan berikutnya, ada kudeta militer di daerah Sumatra Tengah dan Utara.

Pada bulan Oktober 1956 Sukarno memperkuat kedudukannya terhadap rakyat dan menenangkan angkatan bersenjata dengan mengimbau partai-partai politik untuk membubarkan diri. Imbauan ini setelah itu diperluas dengan usaha untuk mendirikan Dewan Nasional yang mencakup semua partai, termasuk PKI, untuk mengatur negara. Bilamana para kepala daerah militer menolak rencana ini, dan mengambil-alih kekuasaan provinsi-provinsi mereka, Sukarno mengumumkan keadaan darurat. Akhirnya, kabinet "non-partai" yang baru dibentuk, termasuk dua pengikut PKI.

Sebagai reaksi terhadap pergerakan massa di Desember 1957 itu, operasi imperialisme Amerika segera ditingkatkan. CIA sudah aktif sejak tahun 1940-an, mengeluarkan jutaan dollar untuk menyubsidi elemen-elemen pro-Amerika di dalam kelas burjuis nasional, terutama Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sumiro, kolega Hatta, dan sekutu islamnya yang lebih besar, Partai Masyumi yang dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara, dengan siapa Hatta juga mempunyai hubungan dekat.

Sepanjang tahun 1957 dan 1958 serangkaian pemberontakan sesesesionis dan sayap-kanan yang dibantu oleh CIA meletus di pulau Sumatra dan Sulawesi yang kaya minyak bumi, di mana PSI dan Masyumi mempunyai pengaruh dominan.
Yang pertama adalah pemberontakan militer Permesta yang mulai di bulan Maret 1957 dan berlangsung sampai ke tahun 1958, yang berakhir dengan percobaan kudeta yang didukung oleh CIA di bulan February 1958.

Pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan keuangan yang cukup besar, penasehat-penasehat militer, senjata dan angkatan udara kecil yang terdiri dari pesawat-pesawat pembom B-26, dipiloti dari basis-basis di Taiwan dan Filipina. Menteri Luar Negeri AS bahkan memberikan dukungan secara terbuka untuk pemberontak- pemberontak sayap-kanan ini. Kapal induk dari armada ketujuh Amerika dikirim ke Singapor dan sewaktu itu kelihatannya Amerika bakal campur-tangan secara langsung di Sumatra dengan alasan melindungi pegawai-pegawai dan pemilikan-pemilikan Caltex Oil.

Komando militer Indonesia akhirnya memutuskan bahwa pemberontakan itu, gagal mendapatkan dukungan massa, harus dihentikan. Pemerintahan Sukarno selamat.
Tetapi, angkatan bersenjata menjadi lebih kuat. Selama enam tahun berikutnya, AS menuangkan uang untuk itu, meletakkan fondasi yang mengijinkan Suharto untuk mulai menempuh jalan ke kekuasaaan setelah memimpin operasi militer untuk mengambil-alih Irian Jaya di tahun 1962.

Antara tahun 1959 dan tahun 1965 Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam rupa bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di Suara Pemuda Indonesia:"Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalion angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap-kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".

Pada waktu yang sama, Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin"-nya. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, Islam dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Dalam mengejar front nasional mereka bersama dengan Sukarno dan kelas burjuis nasional, para pemimpin PKI menimbulkan ilusi-ilusi yang sangat berbahaya tentang angkatan bersenjata.

Hanya lima tahun sebelum kekalahan berdarah itu terjadi kepada para pekerja dan petani di tangan angkatan bersenjata, arahan politis PKI dinyatakan oleh kepemimpinan SOBSI, federasi serikat pekerja yang dipimpin oleh PKI, dalam sebuah pernyataan di Hari Buruh Internasional bulan Mei 1960:

"SOBSI menegakkan bahwa angkatan bersenjata Republik masih merupakan anak dari revolusi rakyat...dan dengan itu dari para perwira sampai ke bawahan mereka dan ke tentara-tentara. ..mereka tidak akan terlibat dengan aksi-aksi yang mengkhianati Republik. Selain itu, presiden Sukarno, yang memihak rakyat, mempunyai pengaruh besar atas pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata dan ia tidak berkehendak menjadi diktator militer."
Pergerakan Baru

Di tahun 1962, perebutan militer Irian Barat oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan perlawanan penduduk Irian Jaya terhadap pendudukan itu.
Di Indonesia sendiri, ketegangan ekonomi dan kelas yang mendasar, yang diakibatkan oleh berlanjutnya pemerasan rakyat oleh perusahaan-perusaha an imperialis dan kelas burjuis nasional, muncul kembali.

Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerak an independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Dari tahun 1963 terus, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI D N Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi".

Pada bulan April 1964, dalam interview dengan S M Ali dari "Far Eastern Economic Review" Aidit menetapkan untuk kaum burjuis nasional perspektif Stalinis untuk perubahan yang damai dan berangsur-angsur ke arah sosialisme yang terdiri dari "dua tahap" di Indonesia.
"Bila kita sudah mencapai tahap pertama dari revolusi kita, yang sedang berlangsung sekarang, kita akan bisa mengadakan konsultasi yang damai dengan elemen-elemen progresif lain di masyarakat kita dan tanpa perjuangan bersenjata kita akan membawa negara kita ke revolusi sosialis."

Dia memberikan sebuah senario di mana rakyat akan terbatas dalam fungsi mempengaruhi kaum burjuis nasional:"Pengaruh dari tahap sekarang dari revolusi ini akan menetapkan pengaruh revolusioner atas kapitalis-kapitalis nasional Indonesia.
"Tidak akan ada perjuangan bersenjata kecuali bila ada intervensi asing memihak para kapitalis. Dan bila kita berhasil menyelesaikan tahap ini dalam revolusi demokratik nasional kita, kemungkinan satu kekuatan asing bercampur-tangan dalam urusan nasional Indonesia akan menjadi sangat kecil."

Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.

Dalam sebuah pertemuan Komite Sentral PKI Aidit mendorong penindasan pergerakan para petani itu dan mencela kader partai yang "terbawa oleh semangat untuk menyebar-luaskan pergerakan petani dan menjadi tidak sabar dan melakukan tindakan heroisme individual, tidak berpikir untuk mengembangkan kesadaran para petani dan menginginkan suatu kejadian yang tertentu, tidak berhati-hati dalam memisahkan dan memilih target-target mereka."
Para pemimpin PKI menghalalkan pemberhentian perampasan tanah dan pengembalian ke pemilik-pemiliknya dengan menunjuk kepada "kemungkinan yang akan datang untuk pembentukan "kabinet NASAKOM".

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusaha an karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para tukang jagal militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Dengan cara ini, para Stalinis dalam PKI melucuti para pekerja dalam PKI yang paling sadar akan kelasnya. Pengertian dasar Marxis tentang negara sebagai "badan orang-orang bersenjata" yang digunakan oleh kelas penguasa untuk menjaga kekuasaannya telah disangkal secara kriminal.

Aidit berusaha secepatnya untuk menenangkan kaum burjuis dan pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi revolusioner massa. "Hal yang penting di Indonesia sekarang bukanlah meruntuhkan kekuatan negara seperti halnya di negeri-negeri lain, tetapi memperkuat dan mendalamkan aspek pro-rakyat.. .dan menyingkirkan aspek anti-rakyat" .

Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama sebelum kudeta terjadi, PKI, mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.

Mereka bahkan menyembah di depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan mereka bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Sampai akhir, kepemimpinan PKI berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia.

Meskipun di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang dirubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara:
"Kekuatan dari aspek-aspek pro-rakyat (dalam aparatus negara) sudah bertambah kuat dan mempunyai inisiatif dan ofensif, dan aspek anti-rakyat, walaupun masih cukup kuat, sedang terpojok. PKI berjuang supaya aspek pro-rakyat akan menjadi bertambah kuat dan akan berkuasa dan aspek anti-rakyat akan dikeluarkan dari kekuasaan negara."

Kaum buruh Indonesia dan seluruh dunia membayar mahal untuk pengkhianatan Stalinis ini waktu Suharto dan jendral-jendral militer bergerak pada tanggal 30 September 1965.

BAB KETIGA1965-Warisan Berdarah Stalinisme

Kudeta di Indonesia tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari sebuah operasi yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh CIA dan komandan-komandan militer TNI yang dilatih oleh AS.

Selama tahun 1965 perselisihan- perselisihan antara kelas meningkat. Tahun itu mulai dengan para petani merampas pemilikan para tuan tanah besar dan pekerja-pekerja di perusahaan-perusaha an karet dan minyak bumi milik AS melakukan aksi pendudukan. Presiden Sukarno telah memasukkan jendral-jendral militer, yang dipimpin oleh Jendral Nasution, dan kepemimpinan PKI ke dalam kabinetnya untuk menekan pergerakan ini.

Kepemimpinan PKI berhasil menekan aksi-aksi pendudukan, tetapi pergerakan massa ini menjadi semakin sulit untuk dikendalikan. Kemarahan massa berkembang dengan dipenjaranya 23 petani, dengan hukuman antara 15 sampai 20 tahun, atas tuduhan memukuli seorang tentara sampai fatal dalam mempertahankan diri mereka terhadap operasi militer untuk menghentikan aksi-aksi perampasan tanah di Sumatra.

Pada malam 30 September 1965, sebuah provokasi yang didalangi CIA dilaksanakan. Sekelompok perwira menengah, yang paling sedikit satu mempunyai koneksi dekat dengan Suharto, menahan dan membunuh komandan angkatan bersenjata Letnan-Jendral Ahmad Yani dan lima jendral tingkat atas yang lain, dan menyatakan pembentukan sebuah Dewan Revolusioner.

Penculikkan jendral-jendral ini tidak mencakup dua orang penting. Yang pertama adalah Suharto, yang pada waktu itu adalah komandan Kostrad, yang terdiri dari tentara-tentara elit angkatan darat. Para pemberontak ini, yang dipimpin oleh Letnan-Kolonel Untung tidak berusaha sedikit pun untuk menangkap Suharto atau menyerang pusat komandonya di Jakarta walaupun ia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan hal ini. Menteri Pertahanan Jendral Nasution, juga tidak dicakup. Dia dikatakan sebagai calon korban pemberontakan ini, tetapi dapat menyelamatkan diri secara ajaib.

Pemberontakan oleh Untung ini adalah palsu. Dalam 24 jam Suharto dapat mengalahkan semua pemberontak ini, hampir tanpa ada peluru melayang, dan mengambil-alih kontrol di Jakarta, dengan dukungan dari Nasution.

Di akhir minggu itu, komando yang dibentuk oleh Suharto membersihkan semua kantong-kantong perlawanan, dan melaksanakan pembantaian anti-komunis terbesar di sejarah yang didalangi oleh Kedutaan AS dan CIA. Pentagon dan CIA, yang pada waktu itu sudah terlibat dalam perang rahasia di Vietnam, bertekad untuk menenggelamkan revolusi Indonesia dalam darah.

Diplomat-diplomat AS dan perwira-perwira CIA, dipimpin oleh Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, bekerja sama dengan tukang-tukang jagal Suharto untuk membasmi setiap anggota dan pendukung PKI yang diketahui.

Bencana yang Didalangi CIA

Dalam mempersiapkan kudeta ini, pejabat-pejabat AS sudah menghabiskan paling sedikit dua tahun untuk membuat daftar-daftar maut ini yang diberikan kepada angkatan bersenjata dengan instruksi yang jelas: bunuhlah semuanya. Anak-buah Suharto diperintahkan untuk melapor kembali setiap sejumlah pembunuhan telah dilaksanakan supaya nama-nama korban mereka dapat dicocokkan dengan nama-nama di daftar-daftar itu.
Beberapa perwira-perwira AS yang berikut-serta mengatakan baru-baru ini apa yang terjadi.

"Itu adalah bantuan yang besar untuk angkatan bersenjata," kata seorang bekas pejabat bagian politik di Duta Besar AS di Jakarta, Robert Martens. "Mereka mungkin membunuh banyak orang dan saya mungkin punya darah di tangan saya, tetapi itu tidak semuanya jelek."
"Suatu waktu kamu harus memukul keras pada waktu yang tepat."

Martens memimpin pejabat-pejabat CIA dan Departemen Luar Negeri di kedutaan besar AS, yang dari tahun 1962, menyusun keterangan mendetil tentang siapa saja yang duduk di dalam kepemimpinan PKI. Itu termasuk nama-nama anggota komite-komite PKI di tingkat provinsi, kota dan lokal; dan pemimpin-pemimpin perserikatan- perserikatan kerja yang didukung PKI, dan perserikatan- perserikatan wanita dan pemuda.

Operasi ini didalangi oleh bekas direktur CIA William Colby, yang pada waktu itu adalah direktur Divisi Asia Timur CIA, dan dengan itu menjadi bertanggung- jawab atas pengarahan strategi rahasia AS di Asia. Colby mengatakan bahwa mencari pengetahuan tentang kepemimpinan PKI menjadi latihan untuk program Phoenix di Vietnam, yang merupakan usaha untuk memusnahkan semua pendukung Front Kemerdekaan Nasional di akhir dekade 1960-an.
Colby mengakui bahwa mengecek nama-nama di daftar-daftar maut itu dianggap sangat penting sampai itu diawasi oleh direktorat intelijen CIA di Washington. "Kita berkesimpulan bahwa dengan perlakuan secara keji seperti itu, PKI telah mengalami kemunduran yang besar."
Wakil kepala pos CIA menggambarkan dengan rasa senang yang tak tersembunyi bagaimana markas Suharto di Jakarta memberikan kedutaan besar AS laporan secara berlanjut tentang pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI. "Kita mendapatkan laporan yang jelas di Jakarta tentang siapa yang dicakup. Angkatan bersenjata mempunyai 'daftar penembakan' untuk sekitar 4,000 sampai 5,000 orang.

"Mereka tidak punya cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang masih berharga untuk diinterogasi. Rangka dasar organisasi mereka telah runtuh hampir seketika itu. Kita tahu apa yang mereka kerjakan. Kita tahu bahwa mereka akan menyelamatkan beberapa untuk pengadilan pura-pura mereka, tetapi Suharto dan penasehat-penasehat nya berkata bila kamu biarkan mereka hidup kamu harus memberi mereka makan."

Semua ini dijalankan dengan persetujuan Green yang setelah itu dilantik menjadi duta besar AS untuk Australia, di mana ia memainkan peranan penting dalam pembubaran pemerintah

Whitlam di tahun 1975.

Paling sedikit satu juta orang dibantai dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Ini adalah perkiraan dari sebuah kelompok lulusan Universitas Indonesia yang diperintah oleh angkatan bersenjata itu sendiri untuk menyelidiki kesebar-luasan pembunuhan-pembunuh an ini.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisa si muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuh an massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Laporan lain mengatakan bahwa di Batu di Jawa Timur banyak sekali yang dibunuh di halaman kecil kantor polisi di sana sampai mayat-mayat itu dikubur di bawah semen.

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35,000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesianya Sukarno, adalah pelaku pembunuhan-pembunuh an ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan anti-cina terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Baru-baru ini empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu, tanda jelas bahwa rejim Suharto masih menakuti kebangkitan kaum proletar Indonesia dan petani-petani yang miskin.

Pengkhianatan Stalinis mendalam

Ketika ratusan ribu anggota dan pendukung PKI sedang diburu dan dibinasakan, kepemimpinan PKI dan rekan-rekannya di Kremlin, Beijing dan Partai Komunis Australia (CPA) menganjurkan kader PKI, pekerja dan massa petani untuk tidak melawan, memberikan lampu hijau untuk jendral-jendral militer untuk melakukan eksekusi massa itu.

Para Stalinis mendalamkan posisi reaksioner mereka yang meminta rakyat untuk mengebawahkan kepentingan mereka untuk kaum burjuis nasional dan Sukarno, yang digunakan oleh Suharto sebagai presiden boneka dan untuk angkatan bersenjata.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisa si massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune":
"Setelah mempelajari seruan ke Panglima Tertinggi angkatan bersenjata Republik Indonesia, dari pemimpin revolusi Indonesia, presiden Sukarno, Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis Indonesia menyatakan dukungan penuh untuk seruan itu dan memohon kepada semua komite dan anggota partai dan para pendukung, juga organisasi-organisa si revolusioner massa yang dipimpin oleh anggota-anggota PKI untuk memungkinkan pelaksanaan seruan itu."
Sementara itu, Sukarno, "pemimpin revolusi Indonesia", sedang bekerjasama dengan penindasan militer itu berharap untuk menyelamatkan lehernya sendiri. Dia memerintahkan pembasmian menyeluruh semua yang dianggap terlibat dalam "peristiwa 30 September" (percobaan kudeta yang dituduhkan dipimpin oleh Kolonel Untung), dan mengijinkan pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI. Pada tanggal 15 Oktober ia melantik Suharto sebagai Panglima angkatan bersenjata.

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dihukum mati oleh angkatan bersenjata pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto. Dalam sebuah interview dengan seorang koresponden koran Jepang dia menekankan:
"PKI hanya mengenal satu kepala negara, satu komandan tertinggi, satu pemimpin besar revolusi kita - Presiden Sukarno...Presiden Sukarno menyatukan semua kekuatan-kekuatan rakyat yang akan memutuskan nasib Indonesia."

Semua anggota, kata Nyoto, harus "mendukung penuh perintah-perintah Presiden Sukarno dan berjanji untuk melaksanakan semua itu tanpa ragu...Partai kita berusaha dalam segala kemampuannya untuk mencegah perang saudara."

Dalam kata-kata lain, sementara tukang-tukang jagal militer dan penasehat-penasehat CIA mereka sedang melakukan likuidasi sistematis bukan saja pemimpin-pemimpin PKI, tetapi juga seksi-seksi masyarakat Indonesia yang paling sadar-kelas, PKI memerintahkan kader mereka untuk tidak melawan.

Kebangkrutan dan kebusukan teori "dua-tahap" Stalinis yang bersikeras bahwa rakyat harus mengikat nasib mereka ke Sukarno dan kaum burjuis nasional tidak dapat ditunjukkan secara lebih jelas.

Pengkhianatan oleh PKI dipuji dan didukung oleh birokrasi-birokrasi Stalinis di Moskow dan Beijing. Kremlin menyalahkan elemen-elemen "pemberontak" dan "petualang" dalam PKI untuk kekalahan ini dan mengimbau berulang-ulang untuk "persatuan" revolusi Indonesia dalam

NASAKOM-nya Sukarno.

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno:"Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan... Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Dalam sebuah Konperensi Tiga Benua di Havana di bulan February 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan teror kontra-revolusi yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakil an dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Demikian, pengkhianatan para Stalinis adalah sangat jelas sampai parlemen piaraan junta militer ini dapat mengatakan bahwa kejadian yang diatur oleh CIA pada tanggal 30 September adalah percobaan kontra-revolusioner !

Para Stalinis di Beijing juga mencuci tangan mereka dari nasib rakyat Indonesia. Mereka bahkan datang ke Jakarta untuk Konperensi Dunia melawan Pangkalan-Pangkalan Asing dan berdiri tanpa protes waktu kamerad-kamerad mereka dari Indonesia sedang dicakup di dalam ruang konperensi itu.
Warisan 'Blok Empat Kelas'
Pengkhianatan Stalinis di tahun 1965 adalah puncak dari lebih dari duapuluh tahun pengkhianatan di mana PKI, bekerja berdasarkan teori Stalinis "dua-tahap" dan, khususnya, ideologi Maois "blok empat kelas", mengikat kelas pekerja dan para petani ke rejim burjuis nasionalis Sukarno.
Aidit mengatakan susunan ideologi kekalahan berdarah revolusi Indonesia tidak lama setelah kembalinya dari 18 bulan di Cina di Juli 1950 dan merebut kepemimpinan PKI:
"Kelas pekerja, para petani, kelas menengah dan kelas burjuis nasional harus bersatu dalam sebuah front nasional."
Aidit mengikuti dengan patuh jalan rejim Maois di Cina yang menindas pergerakan mandiri kelas pekerja dan berusaha untuk mendirikan sebuah "Demokrasi Baru", sebuah negara burjuis, dalam kerjasama dengan bagian-bagian dari kelas burjuis nasional dan kelas petit burjuis setelah runtuhnya diktatur Chiang Kai-Shek.
Membeokan Mao, dia menyerukan untuk sebuah "demokrasi rakyat" dan sebuah "front gabungan semua elemen-elemen anti-imperialis dan anti-feodal dalam negeri. Yaitu, kaum pekerja, para petani, kaum petit-burjuis dan kaum burjuis nasional."
Sesuai dengan teori kontra-revolusioner "dua-tahap" Stalinisme, "Tugas dari persekutuan ini adalah untuk membawa keadaan untuk, bukan sosialisme, tetapi perubahan ke arah demokrasi."
Aidit memminta para pekerja dan petani mendukung bukan hanya kelas burjuis nasional, tetapi juga "semua elemen patriotik dan anti-kolonial termasuk kelompok tuan-tanah sayap kiri (agak progresif).
Jurusan inilah, yang dikatakan oleh Aidit tanpa henti, yang digunakan untuk menekan pergerakan-pergerak an kaum pekerja dan para petani, mengikat kaum pekerja ke rejim Sukarno, dan menciptakan keadaan yang mengijinkan angkatan bersenjata untuk menyerang.
Berkali-kali anggota-anggota dan para pendukung PKI diperintahkan untuk menahan perjuangan kelas dan semangat revolusi rakyat yang tertindas untuk mempertahankan "front bersatu nasional".
"Prinsip dasar yang harus kita ikuti dalam melancarkan perjuangan nasional adalah membawahkan kepentingan rakyat untuk perjuangan nasional."
Teori "dua-tahap" Stalinisme bersikeras bahwa di negara-negara koloni dan semi-koloni seperti Indonesia, rakyat tidak boleh mengadakan pergerakan-pergerak an yang mengancam kelas burjuis nasional atau mengemukakan program revolusi sosialis. Perjuangan kelas harus ditahan untuk mendukung kelas burjuis nasional dan mendirikan sebuah demokrasi kapitalis nasional.
Akibat kontra-revolusi berdarah dari arahan Stalinis ini menunjukkan diri pertama kali di Cina di tahun 1926-27 ketika tukang jagal Chiang Kai-Shek menundukkan kelas pekerja di Cina setelah Partai Komunis di sana diberi perintah oleh Kremlin untuk menggabungkan diri dengan kaum burjuis nasionalis dalam Kuomintang.
Pembunuhan-pembunuh an besar yang dilakukan oleh Chiang Kai-Shek menegaskan peringatan-peringat an Trotsky bahwa kaum-kaum burjuis yang lemah dan yang munculnya terlambat dalam sejarah, pada dasarnya tidak dapat untuk melancarkan perjuangan konsisten terhadap imperialisme dan feodalisme. Itu karena untuk melakukan perjuangan itu diperlukanlah penggerakan rakyat dalam sebuah perjuangan revolusioner dan perjuangan seperti itu akan segera menjadi berlawanan dengan posisi kelas kaum burjuis nasional sebagai pemeras kaum pekerja dan petani.
Seperti Trotsky jelaskan dalam tulisannya tentang pengkhianatan Revolusi Cina:
Penggerakan kaum pekerja dan petani terhadap imperialisme hanya dapat dicapai dengan menghubungkan isu-isu dasar dalam kehidupan mereka dengan tujuan kemerdekaan negara. Sebuah aksi mogok pekerja - besar atau kecil - sebuah pemberontakan agraris, pergerakan para rakyat tertindas di kota dan desa terhadap para lintah-darat, terhadap birokrasi, terhadap militer lokal, semua itu membangkitkan banyak hal, yang menggalang mereka bersama, yang mendidik, menguatkan, adalah merupakan sebuah langkah maju yang nyata di jalan ke pembebasan sosial dan revolusioner untuk rakyat Cina...Tetapi segala yang membuat rakyat yang tertindas dan tereksploitasi bertindak akan pasti akan mendorong kaum burjuis nasional ke dalam blok dengan para imperialis. Bentrokan kelas antara kaum burjuis dan para pekerja dan petani tidak akan diperlemah, tetapi sebaliknya akan diperkuat oleh penidasan imperialis, sampai ke perang saudara pada setiap ketegangan serius. (Trotsky, Problems of the Chinese Revolution, New Park 1969 p5).
Peranan kriminal PKI dalam mengikat rakyat Indonesia ke rejim burjuis Sukarno membuat analisa Trotsky bersifat ramalan secara tragis.
Tugas-tugas untuk mengadakan kemerdekaan nasional yang sejati, pembagian kembali tanah, demokrasi dan perkembangan ekonomi yang tak terselesaikan di Indonesia dan negeri-negeri lain yang tertindas menurut sejarah, hanya dapat dilaksanakan dengan kelas pekerja memimpin para petani dalam revolusi sosialis. Yaitu, penentuan nasib sendiri hanya akan terjadi sebagai hasil tambahan dari revolusi sosialis yang dipimpin oleh kaum proletar.
Kemenangan perjuangan ini terikat erat dengan perkembangan revolusi sosialis dunia untuk menggulingkan imperialisme sedunia.
Ini adalah dasar dari teori Marxis Revolusi Permanen yang dikembangkan oleh Leon Trotsky dan dibuktikan oleh kemenangan Revolusi Rusia Oktober 1917.
BAB KEEMPATAntek-Antek Kontra Revolusi Pablois
Dalam bulan-bulan setelah kudeta militer yang diatur oleh CIA tanggal 1-2 Oktober 1965, semua anggota dan pendukung PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi untuk disiksa dan diinterogasi.
Pemusnahan sistematis dan penindasan yang kejam oposisi kelas buruh ini semakin bertambah setelah 11 Maret 1966 waktu Sukarno, pemimpin nasionalis burjuis yang dipertahankan oleh aparat militer sebagai presiden, memberi Jendral Suharto kekuasaan tak terbatas.
Pengkhianatan pergerakan besar revolusioner rakyat Indonesia oleh kepemimpinan Stalinis PKI adalah sebuah kekalahan yang mendalam dengan implikasi-implikasi besar untuk kelas pekerja seluruh dunia.
PKI berkali-kali menahan usaha-usaha para pekerja dan petani untuk menduduki pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebun an. Mereka mengikat pergerakan ini dengan rejim burjuis Sukarno dan pada akhirnya bergabung dengan aparat-aparat tingkat atas militer yang didukung AS, calon-calon tukang jagal massa, dalam kabinet Sukarno. Setelah kudeta itu, para Stalinis memerintah kader mereka untuk menjalankan imbauan Sukarno untuk menciptakan "persatuan" dengan para aparat militer dan untuk mencegah segala perlawanan terhadap pembantaian yang sedang dilaksanakan.
Pukulan terhadap revolusi Indonesia bergema di seluruh Asia dan dunia. Khususnya itu memudahkan dan memungkinkan peningkatan penyerangan Vietnam oleh AS, menghancurkan harapan dan semangat revolusi rakyat di Malaysia, Thailand, Filipina dan memperkuat rejim-rejim burjuis yang sedang goyah di anak benua India.
Mandel dan Hansen menutupi pengkhianatan Stalinis
Tetapi jawaban para revisionis Pablois dalam "Sekretariat Tergabung" (United Secretariat) yang dipimpin oleh Ernest Mandel dan Joseph Hansen, adalah untuk meremehkan akibat dari pengkhianatan di Indonesia itu, menutupi peran kontra-revolusioner para Stalinis dan, yang terpenting, menutupi tanggung-jawab mereka sendiri dalam pertumpahan darah ini.
Pada saat rakyat Indonesia sedang mengalami pembunuhan massa, Profesor Mandel berusaha untuk menggambarkan prospek-prospek yang cerah untuk revolusi Indonesia, untuk menumpulkan kesadaran kelas pekerja internasional.
"Tentu saja perjuangan di Indonesia masih belum berhenti," tulisnya di dalam keenakkan kursi universitas Belgia-nya dalam artikel yang dicetak dalam jurnal Pablois "World Outlook" tanggal 11 Maret 1966.
"Sebagian dari kader komunis telah berhasil bersembunyi di bawah-tanah, " dia teruskan. "Kemarahan rakyat yang kelaparan tumbuh setiap hari; perut-perut para pekerja dan petani yang kosong tidak akan terisi oleh pembunuhan-pembunuh an itu. Pemberontakan itu akan menyebar-luas melawan rejim yang korup itu. Sukarno mengerti masalah ini dan akan memulai pengimbangannya lagi; dia baru saja membasmi jendral-jendral yang paling ganas dari kabinetnya. Para rakyat akan kembali mendapat giliran mereka untuk beraksi."
Penutupan pengkhianatan besar rakyat Indonesia ini menunjukkan konsekuensi kontra-revolusioner oportunisme Pablois, yang muncul dalam jajaran gerakan Trotskyis mulai dari tahun-tahun 1940-an ke 1950-an.
Dipimpin oleh Michel Pablo, elemen-elemen seperti Mandel berusaha menyesuaikan diri dengan stabilisasi kapitalisme setelah Perang Dunia Kedua dan keadaan dimana birokrasi-birokrasi Stalinis yang menekan pergerakan revolusioner kaum pekerja internasional tidak lama setelah akhir Perang Dunia Kedua, kelihatannya makin kuat. Mereka meninggalkan perjuangan Trotsky untuk mendirikan Internasional Keempat sebagai partai dunia revolusi sosialis dan mangajukan bahwa para birokrasi Stalinis seperti di Moskow dan Bejing akan didorong oleh rakyat untuk melakukan peranan progresif. Dengan dasar ini, mereka berusaha melikuidasi Internasional Keempat ke dalam segala bentuk Stalinis atau Demokrat sosial yang sedang memegang kendali pergerakan pekerja dalam tiap negara, mengatakan bahwa jalan ke sosialisme terdiri dari pendirian dari negara-negara pekerja yang cacat sejak lahir, seperti yang didirikan di Eropa Timur dan Cina, yang berlangsung selama beberapa abad.
Pada tahun 1953 arah likuidasi ini dilawan dengan pembentukan Komite Internasional Internasional Keempat (International Committee of the Fourth International) sebagai jawaban kepada sebuah Surat Terbuka yang ditulis oleh pemimpin Partai Pekerja Sosialis (Socialist Workers Party) Amerika James P Cannon yang memanggil untuk pemertahanan "Trotskyisme ortodox".