Saturday 25 September 2010

Analisa Film Pengkhianatan G 30 S/PKI ala Arifin C Noer

Analisa Film G 30 S/PKI

Sepanjang hidup saya hanya ada dua film yang paling saya suka, Forrest Gump dan G 30 S/PKI ala Arifin C Noer. Forrest Gump saya suka karena kedalaman makna filosofinya dalam persoalan bakti kepada negara. 'Orang yang tulus berbakti pada negara tanpa imbal balik apapun hanya bisa dilakukan oleh orang dungu' sementara dalam film G 30 S/PKI yang paling saya suka sinematika-nya, inilah film terbaik sejarah yang saya pernah tonton bila dilihat dari sisi filmis-nya. Mulai dari pemeran-pemerannya yang sangat natural, mirip, penempatan dan setting dalam memulai narasi.

Nah persoalan narasi ini setelah dewasa saya baru memahami bahwa memang film ini adalah film yang tidak jujur, tapi pengarah film ini sangat baik dalam mengelola jalan cerita termasuk unsur pemaknaan yang ada dalam film tersebut. Ada beberapa hal yang saya catat dalam film ini yang kemudian menggiring bahwa G 30 S/PKI adalah sebuah peristiwa kekejaman yang 'seakan-akan terjadi hanya disebabkan dari "Pihak Sana" bukan sebagai rangkaian cerita dialektis saling mempengaruhi antara "Pihak Sana" dan "Pihak Sini". Narasi itu tergambar sebagai berikut :

1. Penggambaran Bung Karno sakit keras :

Sukarno adalah pribadi yang hidup, jiwanya bergelora tapi dalam film itu ia digambarkan sedang sakit keras, semangat hidupnya nyaris tak ada. Di dalam cerita ini pemeran Bung Karno, Umar Khayam kerjanya hanya di tempat tidur atau berjalan seperti orang bingung. Bahkan adegan pertama dimulai dengan penggambaran sakitnya Bung Karno.

Pesan dari tampilnya Bung Karno yang sakit ini adalah "Raja Sedang Sakit" dalam negara yang demokrasinya gagal, sakitnya raja akan selalu melahirkan suasana kalut, takut, dan mencekam karena akan terjadi bayangan perang suksesi. Disini yang siap dalam perang suksesi adalah PKI yang selalu digambarkan rapat terus menerus. Padahal di masa terjadinya Penculikan Untung sebelum dan sesudah Bung Karno dalam kondisi bugar, ia bagai banteng ketaton jadi penggambaran Bung Karno di dalam ranjang yang kusam adalah sebuah pesan sesuai dengan jalan cerita yang diinginkan oleh pembuat film dan penyokong fim itu.

2. Setelah adanya tampilan raja sakit itu, kemudian digambarkan dua sisi masyarakat, satu kelompok kelas menengah yang isinya seorang laki-laki pensiunan bicara terus menerus dengan isteri dan anaknya yang sedang latihan drumband dengan mengetuk-ngetukkan meja. Dan penggambaran kedua adalah orang Miskin, gelandangan yang baru tiba di Jakarta. Pesan dari film ini adalah masyarakat terdidik resah dengan kondisi negara yang kacau balau sementara rakyat gelandangan ada dimana-mana. Kontras semakin bisu setelah penggambaran Istana Sukarno dengan tampilan gelandangan, secara tersembunyi film itu ingin mengesankan bahwa Sukarno yang hidup bagai raja, sementara rakyatnya tidur di pinggir jalan dan kelaparan. Padahal realitasnya di jaman itu Sukarno begitu dielu-elukan rakyatnya, walaupun rakyatnya miskin tapi jiwa rakyat masih mendukung Bung Karno sebagai pemimpin mereka, bahkan di saat itu Bung Karno berdiri di pihak rakyat jelata berhadap-hadapan vis a vis dengan kelompok elite yang secara status quo menolak revolusi Bung Karno yang mengganggu kenyamanan mereka.

3. Rapat-rapat PKI dan asap rokok terus menerus. Digambarkan dalam rangkaian sebelum kejadian penculikan rapat-rapat PKI terjadi, dan asap mengepul dimana-mana. Pesan dari adegan ini adalah seluruh gerakan dari semua proses dialektis politik seakan-akan terjadi karena PKI, PKI dianggap sebagai pusat penyadaran dari aktivitas Pra Penculikan para Jenderal. Padahal sebelum terjadinya gerakan Untung, kegiatan intelijen tidak hanya dilakukan PKI, bahkan PKI sendiri masih bagian kecil dari gerakan itu. Gerakan intel ada yang dari kelompok Bandrio melalui BPI, gerakan Angkatan Darat lewat segala macam move politiknya, gerakan Partai-Partai Politik baik yang sudah disortir macam PSI lewat Gemsos-nya dan pelarian di luar negeri yang membangun jaringan politik internasional, Masyumi yang habis gara-gara PRRI kemudian digantikan posisinya oleh NU, HMI yang bertahan dari ancaman DN Aidit untuk dibubarkan, Gerakan Ganjang Malaysia yang lagi seru-serunya, Sosialisasi Angkatan Ke V yang ditolak Yani, Gerakan diam-diam Nasution yang juga menggunakan agen intel bernama Oejeng Suwargana (banyak diceritakan baik oleh Rosihan Anwar ataupun AM Hanafi), Ditemukannya rekaman rencana Dewan Djenderal oleh beberapa orang Partai yang memuat nama S Parman, dipersiapkan sebagai Jaksa Agung dan banyak lagi selentingan-selentingan yang memang wajar di masa semuanya bersiap dalam pertarungan politik di masa revolusi Sukarno. Tapi yang jelas PKI bukanlah satu-satunya pusat dari pertarungan itu.

4. DN Aidit dan asap rokok. Digambarkan DN Aidit sebagai seorang perokok, padahal yang perokok bukanlah DN Aidit tapi pemeran DN Aidit dalam film itu : Syu'bah Asa. Hanya saja sebagai penguatan karakter orang yang sedang membangun rencana maka asap rokok diperlukan untuk menjadi sebuah arahan bagaimana orang sedang berpikir keras untuk membangun rencana jahatnya sesuai dengan keinginan pembuat film. Dalam peran antagonis di film ini, rokok menjadi salah satu blocking yang menarik.

3. Hadirnya Suharto yang tiba-tiba. Dalam film itu setelah penculikan Untung Suharto ada secara tiba-tiba. Di awal-awal sebelum penculikan seakan-akan Suharto tidak ada dan tidak berperanan. Film ini ingin memesankan : Suharto tidak tahu menahu soal perencanaan dan tidak bermain di prolog Gestapu dan film ini berakhir dalam adegan penggalian lobang buaya dan ditambahi suara rekaman AH Nasution. Film ini hanya menekankan pada aksi penculikan, makanya setelah film G 30 S/PKI sebenarnya ada film lanjutan judulnya 'Supersemar' tapi entah kenapa film lanjutan itu tidak jadi dipertunjukkan, oleh sebab memang penyimpangan Suharto yang paling utama terjadi setelah pasca penculikan seperti penafsiran masalah Supersemar. Padahal dalam kejadian sebenarnya Suharto juga berperanan dalam prolog kejadian Untung seperti : Suharto memerintahkan dengan mengeluarkan radiogram no. T 220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan radiogram lanjutan T 230/9 Yon 530 Brawijaya dan Yon 454 'Banteng Raiders' Diponegoro untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan penuh. Sementara pada tanggal 29 September 1965 Suharto melakukan inspeksi ke Pasukan tersebut. Dua Batalyon yang datang inilah yang kemudian terlibat dalam peristiwa penculikan Untung. Selain Resimen Cakrabirawa yang juga digunakan oleh Letnan Kolonel Untung untuk melakukan pekerjaan gilanya. Jadi hadirnya Suharto dalam peristiwa G 30 S/PKI bukanlah tiba-tiba apalagi pada tahun 1978 pada Pledoi Kolonel Latif dinyatakan Suharto dua kali dilapori oleh Latif tentang rencana operasi Latif ini dan Suharto sudah mendapatkan kabar, tapi ini sama sekali tidak pernah ada adegan dalam film itu.

5. Film ini tidak secara jelas siapa yang memerintahkan membunuh para Jenderal itu.

Artinya film G 30 S/PKI yang sangat indah dalam filmis dan wajib tonton lebih menekankan pada histeria massa. Ketakutan-ketakutan yang ditimbulkan seperti peristiwa penginjakan Al Qur'an dan segala macam bentuk kemuraman yang mengelilinginya. Film itu berakhir dengan datangnya fajar dimana gelandangan tadi melihat Jakarta yang cerah seakan-akan hadir sebuah jaman baru. Dari sisi filmis inilah film sejarah terbaik sepanjang masa karena mampu menyodorkan semua pesan dari pembuat film kepada massa. Hanya saja dikemudian waktu manusia Indonesia semakin cerdas tapi sebagai rujukan membuat film sejarah maka film inilah yang harus kita perhatikan sebagai referensi penting.

ANTON

Friday 24 September 2010

Hatta dan Dunianya yang Jujur


Belajar kejujuran bernegara dari Hatta

"Hatta itu orangnya kering" begitu Bung Karno selalu mengenang Hatta. "Andai ada wanita di sampingnya dalam perjalanan ia tidak akan bicara pada wanita itu, ia tidak pandai menghidupkan suasana, itulah Hatta". Bung Karno adalah pribadi yang hidup, ia menyenangi pembicaraan dan selalu menyenangkan lawan bicaranya. Beda dengan Hatta yang walaupun ramah ia cenderung pendiam dan tekun. Dunia Hatta adalah dunia buku. Tapi diluar itu dunia Hatta adalah dunia kejujuran.

Bila sekarang kita mendengar pejabat berfoya-foya dari dana anggaran negara, mereka tanpa merasa berdosa menggunakan dana anggaran untuk citra dirinya : Naik mobil mewah, dan keluarganya juga ikut-ikutan nikmatin dana anggaran negara ditengah rakyat yang lapar dan naiknya harga-harga. Maka Hatta adalah contoh bagaimana seorang pejabat menjalankan kehidupan yang jujur, bagaimana seorang manusia membaktikan hidup pada negara yang dicintainya. Hatta teliti sekali dalam menggunakan uang, ia hanya menggunakan uang yang memang hak-nya. Ia tidak mau menggunakan mobil dinasnya untuk keluarga, ia tidak mau menggunakan uang negara untuk kepentingan keluarganya dan pribadinya. Uang Negara yang dianggarkan untuknya ya untuk kelancaran pekerjaannya.

Di suatu malam yang tenang pertengahan tahun 1950-an, Hatta membaca koran ia melihat iklan sepatu kulit Bally. Ia ingin memilikinya dan dengan rapi ia menggunting iklan itu dan menyimpannya untuk memotivasi dirinya menabung uang untuk beli sepatu tersebut, tapi ia tidak pernah bisa mewujudkan mimpinya baik semasa menjadi Wakil Presiden ataupun saat ia pensiun. Ketika pensiun Hatta memang kerap mendapat honor dari tulisan-tulisannya di media massa dan sedikit uang pensiun jabatan Wakil Presiden RI, tapi dengan uang sebegitu kecil ia harus membayar listrik dan menghidupi keluarganya dengan cara yang jujur. Mendengar Hatta kesulitan membayar listrik, Gubernur DKI Ali Sadikin langsung membantu Hatta untuk membayar listrik.

Di tahun 1980 Hatta meninggal dengan tenang, Jakarta berduka. Indonesia menangis dan di laci Hatta masih tersimpan guntingan iklan sepatu Bally yang tidak sempat dibeli Hatta karena kurang uang.

Hatta meninggalkan warisan yang luar biasa terhadap negeri ini, terhadap bangsa kita, bersama Sukarno ia menjaminkan kepalanya untuk kemerdekaan bangsanya, ia meninggalkan Warisan Konstitusi UUD 1945, warisan pemikiran-pemikiran tentang demokrasi dan negara yang dibangun pada rasionalitas. Tapi untuk membeli sepatu pun ia tidak mampu.

Maka pejabat yang dengan bermewah-mewah pada anggaran negara untuk kepentingan pribadinya, milyaran uang dianggarkan hanya untuk pakaian dinas, maka pejabat yang berombongan kunjungan ke daerah hanya untuk makan-makan dan senang-senang, ke luar negeri berpergian tanpa arah dan sebab dengan menggunakan uang rakyat, lihatlah pada sehelai kertas iklan Hatta tentang sepatu Bally..............

ANTON

Ali Sadikin, Djakarta dan Mimpi Sukarno


Ali Sadikin, Djakarta dan Mimpi Sukarno

Suatu waktu di tengah kemelut akibat Gestapu 1965, Bung Karno duduk di depan Istana Negara. Pikirannya menerawang, ada satu soal yang belum ia selesaikan. "Membangun Djakarta". Dulu pemerintahan Hindia Belanda sudah membangun sebuah kota model kolonial yang terbaik sedunia, Bandung namanya. Kota Bandung pernah dipamerkan dalam Pameran Kota-Kota Kolonial di Paris sekitar tahun 1920-an sebagai kota paling cantik yang dibangun pada permulaan abad 20. Bung Karno berpikir, ia ingin Djakarta menjadi Jiwa dari bangsa Indonesia, kota yang teratur tapi dinamis. Kota yang menjadi poros revolusi struktur masyarakat Indonesia. Inti dari Revolusi Sukarno adalah kemandirian, Mandiri total sebagai bangsa. Dengan mandiri maka sebuah bangsa akan membangun kebudayaaannya sendiri, membangun ekonomi kerakyatannya sendiri dan membangun karakter yang kuat.

Bung Karno memang terpukau dengan kota-kota di Negara Komunis yang disana sini banyak monumen, tapi Bung Karno juga sedari muda jatuh cinta dengan kota-kota di Amerika Serikat, saat ia berkunjung ke AS ia minta diantar untuk melihat taman-taman kota, pusat-pusat seni dan yang paling favorit bagi Bung besar ini adalah 'mengunjungi museum'. Bung Karno melihat ada dua fungsi dalam sebuah kota. Jiwa yaitu Monumen yang merupakan petilasan akan kenangan perjalanan hidup sebuah bangsa dan Gedung yang merupakan fungsi ruang bagi sebuah warga kota bergerak. Monumen dan Gedung akan selalu menjadi paralel dalam pembangunan kota impian bagi Bung Karno. "Djakarta ini sebuah kampung besar, sebuah big village dan Djakarta dalam cepat harus dibangun sebagai kota Internasional...untuk itu aku harus mencari orang yang bisa memimpin sebuah kota besar. Seorang pemimpin yang paham Accynering, City Planning, Architectuur, dia harus tau soal sampah, tau bagaimana mengatur selokan dan keras kepala. Seorang pemimpin yang bisa melihat jauh ke depan tanpa mengeluhkan kekurangan. Bung Karno berpikir keras......

Esok paginya, Bung Karno memanggil beberapa stafnya termasuk Waperdam Leimena. "Coba sodorkan aku beberapa nama untuk pimpin ini kota Djakarta..!" perintah Bung Karno. Salah seorang menyebut Henk Ngantung, Bung Karno terdiam 'Henk itu susah, dia dijepit posisinya...dan dia sudah memimpin kota Djakarta. lalu Leimena bilang "Bagaimana kalau Ali Sadikin?" Bung Karno menoleh pada Leimena "Pak Lei, bukankah Ali sekarang sudah jadi menteri?"...Leimena bilang, orang yang paling keras di Djakarta ya Ali Sadikin. Kemudian salah seorang dari pertemuan itu nyeletuk :"Mayor Sjafei kalah gahar ketimbang Jenderal Ali"....Bung Karno tertawa. Coba siapkan pelantikan untuk Ali Sadikin.

Pada tanggal 28 April 1966, di Istana Negara Bung Karno melantik Ali Sadikin. Bung Karno berpidato dalam pelantikan Ali ini dengan penuh semangat, matanya menyala-nyala, ia gembira melihat salah satu pemuda Indonesia akan memimpin sebuah kota. Ali Sadikin tampak seolah-olah bayangan kecil Bung Karno. "Ali kamu akan memimpin kota, itu bukan pekerjaan gampang, tetapi Insya Allah doe je best, agar engkau dalam memegang kegubernuran Djakarta Raya sekian tahun lagi orang masih mengingat, die heeft Ali Sadikin Gedaan - Inilah perbuatan Ali Sadikin. Bismillah, mulailah engkau punya pekerjaan" Tutup Pidato Bung Karno. Dan Bung Karno pun maju menyematkan tanda jabatan kegubernuran, tinggal Ali Sadikin yang pusing bukan maen.

Bagaimana tidak, ia mewarisi satu sistem pemerintahan daerah yang tidak teratur. Administrasinya berantakannya, dan yang paling sinting lagi ia hanya memiliki anggaran sangat terbatas. Sekitar 66 juta per tahun. Bagi Ali Sadikin ini proyek mustahil. Tapi Ali Sadikin agak tertolong oleh kasus carut marutnya take over kekuasaan sehingga ia ada waktu untuk berpikir tentang arah kebijakan umum kota. Ali Sadikin di satu sisi sangat loyal pada Bung Karno tapi realitas kekuasaan sudah pelan-pelan bergeser ke Suharto, dan pilihan Bung Karno benar adanya, Suharto nggak bakalan berani ciduk Ali Sadikin karena bekingan KKO-nya sangat kuat, disamping itu memang Ali terkenal keras dengan Komunis jauh sebelum Suharto belagak anti Komunis. Pak Harto tidak berani secara frontal berhadapan dengan Ali.

Suatu waktu di tahun 1969, Ali pernah melihat Bung Karno secara sepintas dan Ali menangis. Ia melihat Bung Karno yang dirusak kesehatannya oleh tentara-tentara Orde Baru duduk tak berdaya disiksa sakit, kepala Bung Karno yang botak dan badannya lemah. Bung Karno agak sedikit mengenali Ali ditengah ingatannya yang dulu terkenal kuat itu melemah akibat penyakit ginjal yang merusak kondisi mental psikisnya Bung Karno berkata lirih. "Ali...Djakarta..Ali...Djakarta" kata Bung Karno terbata-bata. Dan Ali dalam hati membatin, "aku harus jaga amanat Bung Karno ini, bagaimanapun ini kota kecintaan bangsa Indonesia, kota kesayangan Bung Karno...". Setahun setelah pertemuan itu Bung Karno meninggal.

Suatu waktu Ali Sadikin menyetir sendiri mobilnya ke kantor Gubernuran. Ali biasa berangkat jam 5.30 pagi, ia sengaja melihat seisi kota. Ali senang incognito jalan-jalan ke pasar untuk melihat stok sayuran di Djakarta, mengontrol selokan dan sudetan kali. Di satu tempat dekat Pasar Santa Kebayoran Baru ia melihat segerombolan orang bermain gaple. .."Teng" ia mendapat ilham. Ia berputar-putar sejenak di dalam kota Djakarta dan berpikiran tentang judi ini. Sesampainya di kantor ia berteriak dan memanggil staf-nya. "Hai, coba kau cari peraturan tentang judi". Setelah stafnya mengambil data peraturan Ali baru tau ternyata Pemda bisa mengambil pajak dari judi lewat peraturan daerah no.11 tahun 1957. "Kamu, panggil Pak Djumatidjin, ke ruangan saya" Djumatidjin adalah pegawai senior di Pemda DKI. "Pak Djum, apa bisa Pemda DKI narik itu uang judi buat pajek?" kata Ali sambil tangannya mendekap dada, matanya melebar."Bisa Pak, dasar aturannya ada". Lalu Ali berkata singkat "Saya perintahkan adakan judi legal dan dipajekin. Hasilnya buat saya bikin ini Djakarta baik..laksanakan". Pak Djumatidjin dan beberapa orang staff Ali menyahut bersamaan 'Siap Pak'.

Dan dengan cepat tindakan Ali ini mendapat sambutan para jago judi se Djakarta terutama Cina-cina yang suka sekali dengan judi. Kasino banyak dibentuk, pajak judi terus mengalir ke Kas Pemda. Ledakan kas luar biasa. Tapi Ali bukanlah jenis pejabat korup, ia berbakti pada tugasnya. Uang Judi itu ia arahkan ke pos-pos pembangunan infrastruktur, sekolah-sekolah rakyat, pusat-pusat kesenian, taman hiburan rakyat macam Ragunan, gelanggang olahraga dan Pasar-pasar rakyat. Ali sudah menaburkan benih bahwa pada sebuah kota itu keteraturan, dinamika yang terpisah dan kebudayaan menjadi satu kesatuan. Suatu kota yang harus punya iramanya sendiri. Ia harus punya jiwa, ia punya badan, janganlah satu kota hanya menempatkan manusia menjadi besi-besi tua yang berjalan. Ali menjadikan Djakarta sebagai kota dimana manusia menemui kemanusiaannya.

Di satu waktu Ali disidang oleh anggota DPRD terhadap dana judi. Dengan lantang Ali berkata pada mereka :"Oke Saudara-saudara sekalian, ini memang dana judi. Tapi kalau kalian mengharam dana judi, itu hak saudara-saudara, silahken Saudara naik helikopter karena jalan-jalan yang mulus itu saya bangun dari dana judi!"......Ali memang pemarah tapi tegas. Ia tiap pagi kerjanya mengontrol saluran selokan, kali-kali besar di Djakarta ia perintahkan untuk dibersihkan bantarannya, Ia kumpulkan seniman dan menanyakan problem-problem masyarakat pada seniman dan sastrawan. Ali sadar bahwa jiwa sebuah bangsa, teriakan sebuah bangsa itu yang bisa menangkap seniman dan sastrawan. Ali melindungi kesenimanan dan kepengarangan dengan mengadakan kompetisi, pemda sendiri yang membiayai.

Tahun 1974 kepopuleran Ali sudah mencapai puncak. Ada dua rivaal Suharto saat itu, Jenderal KKO Ali Sadikin dan Jenderal Mitro Gendut, Jenderal Mitro sempat menegur Ali "Pak Ali, saya tidak mau ambil pusing berita soal bapak digadang-gadang jadi Presiden RI, tapi tolong kalau bapak bicara ke mahasiswa jangan memanas-manasi situasi" ditegur begitu Ali diam saja. Tak lama setelah Malari meletus Mitro tersingkirkan.

Ali Sadikin maju terus, proyek Taman Mini ali oke..Ali juga memanggil Ciputra dan berkata "Pak Tji, saya mau itu Ancol jadi pantai mirip Ipanema atau Copacabana.." Ciputra tertawa dan berkata "segera pak" PT Jaya yang merupakan pelaksana proyek dari proyek2 Pemda melaksanakan dengan cepat.

Ali Sadikin sudah mengajarkan pada kita tentang makna sebuah kota. Kota harus menjadi ruang gerak yang dinamis bagi penduduknya, ia menjadi pusat ekonomi tapi juga harus punya jiwa. Kota adalah ruang terbuka, ia ruang publik dan disitulah nafas harus dihirup sepuas-puasnya. Kota yang dikurung gedung hanya untuk kepentingan Kebendaaan akan mejadi kota yang bisu, kota yang beku tidak ada dinamika. Kota sudah selayaknya sebagai tempat sarang seniman, sastrawan dan budayawan. Tempat berkumpulnya atlet-atlet membina tubuhnya. Kota harus memiliki museum, dari museum sebuah masyarakat bisa banyak mengerti bagaimana kekikinia dibentuk. Kota harus memberikan akses ekonomi pada seluruh rakyat, bukan satu lapisan elite saja, kota mustinya tempat produktif sebuah pemikiran bangsa dibentuk bukannya malah tempat konsumtif yang berlebihan dan mendangkalkan daya pikir.

Kini Djakarta tumbuh tanpa konsep, setelah Ali disingkirkan dan dijadikan warga negara kelas dua karena keterlibatannya dalam Petisi 50, Djakarta gagal berkembang secara teratur. Gubernur-Gubernur Djakarta setelah Ali Sadikin bukanlah orang berpikiran ke depan, mereka sibuk menangkapi becak tapi mobil impor terus banjir tanpa mau peduli membangun sarana transportasi massal. Padahal Ali sudah membuatkan rencana pembangunan subway dan beberapa sarana angkut transportasi massal tahun 1976 tapi sudah keburu digusur Suharto.

Bahkan ada seorang Gubernur Jakarta yang berkata "Kita kekurangan Mall" Pusat-pusat perbelanjaan macam Mall mewah harus dibangun seribu lokasi lagi.

Padahal Ali Sadikin membangun pasar tanah abang, yang dibangun adalah ekonomi rakyat, bukan ekonomi elite. Yang dibangun adalah infrastruktur untuk rakyat bukan kepuasan elite, ruang terbuka mustinya dibangun untuk kecerdasan bukan melatih ketumpulan warga kota. Kini warga kota Djakarta seakan dikelilingi tembok kapitalis, tidak ada ruang yang nyaman yang bisa dimasuki tanpa harus membayar. Kota kita adalah kota dimana uang menjadi Tuhan dan manusia terbudaki karenanya...Kota yang tidak lagi mengantarkan manusia menemui kemanusiaannya.

ANTON

Wednesday 22 September 2010

Intelektualitas Sukarno





Intelektualitas Sukarno

Tidak seperti SBY yang menggunakan intelektualitas hanya sebagai alat pencitraan seperti kelulusannya dari IPB dan menggondol gelar S3 bertepatan dengan Pemilu 2004 yang seolah-olah mencitrakan dirinya adalah calon Presiden RI yang lebih intelek dibandingkan Megawati yang tidak pernah lulus kuliah. - Maka intelektualitas Presiden Sukarno adalah intelektualitas sejati, bukan intelektualitas artifisial model SBY yang penuh dengan pencitraan, Intelektualitas Sukarno adalah kecerdasan yang dibangun lewat proses yang panjang, ia bukan saja pembaca buku yang rakus tapi ia juga berkelahi langsung dalam kehidupan.

Intelektualitas Sukarno kerap mencengangkan banyak pemimpin dunia. Sampai-sampai Perdana Menteri Nehru berkata kepada anaknya Indira Gandhi "Bila kamu ada permasalahan yang tidak kamu mengerti tanyalah pada Pamanmu, Sukarno". De Gaulle yang awalnya tidak menyukai Sukarno karena ia mengesankan Sukarno hanyalah pemimpin Asia yang doyan perempuan, tapi setelah bertemu dengan Sukarno, De Gaulle mengatakan "Saya baru saja bertemu dengan orang paling cerdas di muka bumi ini dan dia adalah Sukarno" De Gaulle mengagumi wawasan Sukarno yang sedemikian luas dan kepandaian Sukarno berbicara bahasa Perancis.

Dalam dunia akademis Sukarno diganjar 26 Gelar Doktoral Honoris Causa. Dan ini merupakan gelar pengakuan akademik terbanyak yang dimiliki seorang Presiden dimanapun di dunia ini.

Sukarno adalah seorang pembelajar, semasa kecil ia membacai buku ditengah gulita malam dengan lilin, ia terus membaca buku. Saat dia menjadi Presiden Istana Negara dan semua tempat yang ditinggali Bung Karno dipenuhi dengan buku. Ia juga sangat informatif dan memiliki kepandaian yang tinggi dalam merangkai sesuatu. Ia membangun kultur bangsanya sebagai bangsa yang cerdas. Kepemimpinan Sukarno membuat kita belajar terhadap banyak hal, termasuk memahami bahwa kepemimpinan yang buruk rupa adalah kepemimpinan yang mengandalkan Pencitraan semu.