Thursday 20 November 2008

MARHAEN DALAM PRAKTEK

Gambar atas : lukisan Djoko Pekik "Minum"
menggambarkan kehausan rakyat untuk bebas dari belenggu kapital.

Marhaenisme Dalam Diskusi Masjarakat........

AKHIR-AKHIR ini muncul hasrat keingintahuan untuk memahami pemikiran Soekarno. Ada yang ingin tahu, karena selama rezim Orde Baru takut untuk mempelajarinya. Ada yang benar-benar ingin memahami, karena dorongan untuk mencari jawaban terhadap kekosongan ideologi atau pegangan dalam menyikapi persoalan kehidupan masyarakat, yang selama ini dirasakan mulai kehilangan arah (visi).

Keterbatasan bahan bacaan dan tulisan-tulisan Soekarno yang dipublikasikan secara luas, menyebabkan semua orang tidak dapat memahami secara pas tentang pemikiran Soekarno. Sehingga, tidak tertutup kemungkinan ada yang memahami hanya sepotong-potong, dan akibatnya dapat menimbulkan salah pengertian yang pada gilirannya dapat menyesatkan.
Bung Karno -- sebagai presiden pertama RI -- dikenal sebagai seorang pemimpin besar yang sangat dekat dengan rakyatnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pemikiran-pemikirannya sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan hakiki dan bersifat universal.
Menurut Dr Tadjuddin Noer Effendi, prinsip utama (asas) pemikiran Soekarno bersumber pada tuntutan hati atau nurani manusia. Dan, ini sudah ada sejak Soekarno muda. Dari awal berjuang, ia senantiasa menegaskan tuntutan revolusi rakyat Indonesia. Tidak hanya sekadar merdeka, tetapi lebih dari itu yakni memperjuangkan keadilan dan kebebasan sesuai dengan kodrat manusia.

Asas perjuangan Bung Karno disusun berdasarkan realitas sosial bahwa tanpa melakukan perlawanan secara revolusioner terhadap feodalisme, kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme sangat tidak mungkin membebaskan anak manusia dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan manusia atas manusia serta penindasan bangsa atas bangsa. Pemikiran ini dijadikan konsep dasar dalam menentukan strategi dan arah perjuangan. Dan, pada tahap ini Soekarno merumuskan pemikiran itu ke dalam asas Marhaenisme.

"Marhaenisme itu sendiri adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan negara, yang di dalam segala halnya, menyelamatkan dan melindungi kaum marhaen. Marhaenisme adalah cara perjuangan revolusioner, sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya. Marhaenisme adalah asas dan cara perjuangan tegelijk menuju kepada hilangnya kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme," jelas Tadjuddin.

Asas Marhaenisme bila ditelusuri dari berbagai tulisan Soekarno, lanjut Tadjuddin, mengandung makna sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Sosio nasionalisme adalah paham yang mengandung nilai kebangsaan yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong royong, hidup kemasyarakatan yang sehat, kerja sama untuk mencapai sama bahagia,tidak untuk menggencet dan menghisap.
"Jadi, di dalam paham kebangsaan itu, harus ada semangat kerja sama dan gotong royong antara bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain. Lebih tegas lagi, yang dimaksud Soekarno adalah paham kebangsaan berperikemanusiaan," imbuhnya.

Sedangkan sosio demokrasi adalah paham yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Rakyat yang mengatur negaranya, perekonomiannya, dan kemajuannya, supaya sesuatu bisa bersifat adil, tidak membeda-bedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Rakyat sangat menginginkan berlakunya demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial.
Asas Marhaenisme sarat dengan nuansa untuk memperjuangkan keadilan, persamaan hak, dan memperjuangkan kepentingan kaum tertindas dengan upaya menghapuskan pemerasan dan mempersatukan semua golongan yang tertindas (marhaen). Mempersatukan kekuatan semua golongan yang tertindas, yang antikapitalis dan imperialis, tampaknya diletakkan sebagai pilar utama untuk mencapai masyarakat demokrasi ke arah pergaulan hidup sama rata, sama bahagia, yang disesuaikan dengan semangat dan jiwa rakyat Indonesia.


Gerakan massa marhaen

Secara terpisah, Prof Dr Djohar MS menegaskan, keadaan obyektif bangsa Indonesia telah lama dipikirkan Soekarno. Guna membangun keadaan obyektif bangsa Indonesia saat itu, tidak dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai ideologi dunia yang saat itu sangat pupuler. Pada saatnya, pemikiran Bung Karno dapat diangkat ke permukaan setelah diilhami oleh karakteristik kehidupan marhaen di kota Bandung selatan, sehingga lahirlah Marhaenisme.
Marhaenisme digali dan dirumuskan Bung Karno pada dasarnya adalah berupa alat perjuangan, untuk membela masyarakat yang memiliki alat produksi, tetapi berada dalam keadaan miskin. Agar alat perjuangan ini menjadi kenyataan, maka Marhaenisme harus diwujudkan dalam gerakan massa marhaen. Karena Marhaenisme diwujudkan dalam massa marhaen, maka tidak dapat dihindari Marhaenisme yang memiliki nuansa atau wawasan ideologi harus ditampilkan dengan nyata dalam gerakan hidup pribadi, hidup beragama, kehidupan politik, kehidupan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya.

Penerapan Marhaenisme pada dasarnya adalah penerapan Pancasila. Namun, semua telah dibelokkan dengan penjabaran dalam butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Perbedaan antara Marhaenisme dengan Pancasila hanya terletak pada perbedaan simbol, atau pada perbedaan bentuk, sedangkan kanisi keduanya adalah sama.
Ketidakmampuan membedakan bentuk dan isi antara Marhaenisme dan Pancasila atau ketidaklayakan kemampuan konservasi, menyebabkan mereka memandang Marhaenisme dengan Pancasila itu berbeda. Marhaenisme yang terdiri dari unsur nasionalisme yang diberi muatan kemanusiaan atau sosio nasionalisme dan unsur demokrasi yang diberi muatan keadilan atau sosio demokrasi, pada dasarnya bersumber dari kekuatan membumikan agama.
"Pengalaman Marhaenisme dalam kehidupan pribadi telah banyak diisyaratkan Bung Karno untuk dapat dijadikan indikator dalam mengukur kehidupan pribadi manusia," jelas Djohar.
Pengalaman Marhaenisme dalam kehidupan pribadi tersebut, di antaranya usaha membuat pribadi memiliki jati diri, memiliki harga diri, dan mampu menjadi mandiri. Pribadi demikian akan menjadikan kekuatan etos kerja seseorang.
Pengalaman Marhaenisme dalam hidup beragama, membuat manusia yang pandai berserah diri kepada Tuhan, menjadi orang yang pandai bersyukur, menjadi orang yang pandai melakukan analisis dan sintesis, menjadi orang mampu menangkap dinamika kehidupan, dan menjadi manusia yang pandai menghargai hak-hak orang lain. Kehidupan beragama menjadikan manusia tidak egoistis, tidak sombong, dan tidak merasa benar sendiri dan dapat menikmati hidup di atas keberagaman.

Didasari pada pilar hidup pribadi dan pilar hidup beragama itu, sikap empati manusia terhadap manusia lain dalam hidup bermasyarakat -- mencakup empati terhadap penderitaan orang lain, kesulitan orang lain, kebahagiaan orang lain -- akan menjadi lebih dominan, dibanding sikap empati orang lain terhadap diri sendiri.
Marhaenisme lebih menghendaki besarnya perhatian diri sendiri terhadap orang lain. Situasi demikian diharapkan dapat membangun kehidupan bangsa Indonesia yang harmonis, yang tercermin dalam tatanan kehidupan tata tentrem kerta raharja, seperti yang diidam-idamkan Bung Karno.

"Bung karno tahu persis keberagaman bangsa ini, sehingga mampu menyatukan satu wilayah Indonesia. Ini berbeda jauh dengan kondisi politik akhir-akhir ini, yang memandang berbeda berarti musuh. Bung Karno itu sangat gandrung dengan persatuan bangsa, dan menggunakan nilai-nilai agama sebagai dasar," ungkap Djohar. (m3/cr10)
Apakah Marhaenisme itu?

Sebagian orang mengira bahwa kaum Marhaen ialah kaum proletar. Itu tidak benar. Sebab, apakah yang dinamakan “proletar” itu? Di dalam kamus Politik F.R. (Fikiran Ra'jat-ed) nomor percontohan istilah ini telah kita jelaskan dengan singkat. Proletar ialah orang yang dengan menjual tenaganya “membuat” sesuatu “barang” untuk orang lain (majikannya), sedang ia tidak ikut memiliki alat-alat pembuatan “barang” itu. Ia tidak ikut memiliki produktie-middlen. Seorang letterzetter adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang letter-letter yang ia zet itu bukan miliknya. Seorang masinis adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang lokomotif yang ia jalankan bukan miliknya. Seorang insinyur yang masuk kerja pada orang lain adalah juga seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang kantor atau besi-besi atau semen yang ia usahakan itu bukan miliknya. Insinyur ini biasanya disebutkan “proletar intelektual”.

Dus terang sekali, bahwa istilah proletar itu—buat gampangnya uraian kita—berarti “kaum buruh”. Di Eropa sudah selayaknya ada proletarisme, itu faham yang memihak kaum proletar. Sebab di semua kota-kota ada banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik, yang beribu-ribu kaum buruhnya. Kota-kota itu penuh dengan puluhan, ratusan kaum proletar. Juga di luar kota-kota di Eropa banyak kaum proletar. Di bidang pertanian di Eopa sudah sejak lama timbul landbouw-kapitalisme, yakni kapitalisme pertanian. Banyak sekali “kaum buruh tani” yang bekerja pada kapitalisme pertanian itu.

Bagaimanakah keadaan di sini. Di kota-kota sudah banyak kaum proletar. Di lapangan pertanian sudah ada kaum proletar, misalnya yang bekerja pada pabrik gula, pabrik teh, atau pada beberapa bangsa sendiri yang menjadi tani-besar. Tetapi jutaan kaum tani, walaupun kemelaratannya melewati batas, bukan kaum proletar, yakni bercocoktanam sendiri. Memang faham proletar, sebagaimana dijelaskan dalam kamus Politik nomor percontohan, tidak tergantung pada kemelaratannya atau kemampuan. Jutaan kaum tani masih “merdeka”. Mereka bukan kaum buruh, karena memang tidak berburuh pada siapa pun.
Sehingga, jika kita memakai faham proletarisme, faham itu tidak mengenai semua kaum yang tertindas. Karena itu kita membuat istilah baru: istilah Marhaen. Marhaen adalah istilah politik. Ia meliputi semua kaum yang melarat di Indonesia: baik yang proletar maupun yang bukan proletar, yakni yang buruh maupun yang bukan buruh. Kaum tani melarat yang masih “merdeka” itu, juga termasuk dalam istilah ini.

Sekarang, apakah arti istilah Marhaenisme? Marhaenisme berarti: faham nasionalisme Indonesia yang memihak kepada Marhaen. Siapa saja nasionalis Indonesia yang berpihak pada Marhaen, adalah seorang Marhaenis. Baik orang Marhaen sendiri maupun intelektual, yang memihak pada Marhaen adalah Marhaenis. Misalnya kaum Marhaen yang masuk Sarekat Hedjo, yang oleh karenanya memihak pada kaum sana (penjajah Belanda-ed), adalah bukan Marhaenis. Kewajiban kita membuat mereka menjadi kaum Marhaenis.
Yang menjadi cap Marhaenis ialah fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya. Bukan harus sengaja memakai pakaian yang koyak-koyak jika bisa memakai pakaian yang pantas, atau sengaja memakai sepatu yang jebol jika memiliki sepatu yang baru, atau sengaja memakan daun pisang jika memiliki pisang—tetapi fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya yang menjadi ukuran. Sebab, sekali lagi: pakaian yang koyak-koyak belum tentu menutupi jiwa yang Marhaenis. Lid Sarekat Hedjo pun banyak yang pakaiannya koyak-koyak.
Sekarang faham dan asas Marhaenisme itu makin menjalar: matahari Marhaenisme makin menyingsing. Hiduplah Marhaenisme!

Lain kali kita kupas lebih jauh faham Marhaenisme ini; dan kita akan bandingkan juga Marhaenisme dengan Radikalisme.
[sunting] Sumber

Fikiran Ra’jat, 1 Juli 1932 Nomor 1, hal. 2—3.
Diperoleh dari "http://id.wikisource.org/wiki/Matahari_Marhaenisme%21"

No comments: