Oleh ANTON
Sajak I
Aku dulu pengikut republiken
Kata orang-orang di podium itu republiken berarti pahlawan
Kemerdekaan berarti memperjuangkan anak cucu
Dan menghabisi belanda-belanda berarti berkata benar untuk melanjutkan hidup.
Maka kusingkirkan pacul dan arit
Kuambil waktuku dari menyawah menjadi bertempur dan bersahabat dengan peluru
Kuikat kepalaku dengan secarik kain merah putih
Kuberjalan jauh yang kata komandanku, anak muda lulusan sekolah berbahasa Belanda itu namanya Gerilya.
Aku gerilya dari kota ke kota
Dari desa demi desa
Aku ledakkan jembatan
Aku hancurkan patroli truk-truk Belanda
Aku tembaki anak-anak muda yang berbaju loreng tentara, berwajah bule, indo atau hitam seperti sinyo-sinyo yang sering main keroncong
Aku laknati nyanyian lagu Ratu
Karena aku sudah punya bangsa
Sudah punya tanah air
Sudah punya kehormatan
Sejajar dengan bangsa-bangsa lain
Menyanyi dengan gembira
Lagu mars
Lagu romantis
Dan aku berkata bahwa ‘ya’
Bahwa perjuangan ini benar
Untuk anak cucuku
Dan kemudian aku menikah dengan gadis kampung dari desa yang tak pernah kutahu namanya sepanjang aku hidup
Anak kyai, yang bangga karena melihatku berseragam dan memikul ‘bren’ dengan serentet peluru di pundak.
Dalam bulan gelap karena mendung
Komandanku memerintahkan aku bergabung dengan divisi lain
Yang katanya jauh lebih hebat
Komandanku bilang, divisi itu memerlukan orang bersemangat pejuang
Bukan laki-laki berwajah bulan tapi bermental tempe
Aku diangkat jadi pemimpin grup tempur
Dan bertarung di jalan-jalan
Aku tak mengerti politik
Sekolahpun tidak
Apalagi tahu apa arti mainan kuasa
Dengan dibungkus kata-kata yang bagiku cuman ciptaan Belanda
Dan orang-orang berpantalon dasi, dan bicara “Zonder-zonderan”
Aku hanya petani kampung yang tahu satu
Bahwa ‘Merdeka itu benar’
Aku tak tahu
Kenapa malah disuruh membunuhi orang-orang sebangsaku
Di hutan-hutan aku mengejari orang-orang yang katanya fanatik agama, mereka bergerombol dan aku menyebutnya gerombolan
Di jalan-jalan kota Solo, Boyolali, Purwodadi dan Mediun aku menembaki orang-orang yang katanya ‘tak bertuhan’ tidak punya agama, mereka menyebut dirinya orang merah
Aku malah menembaki orang-orang serupa denganku
Yang juga percaya merah putih itu benar adanya.
Bingung aku
Tapi kini aku sudah tentara
Tak ada tempat untuk bertanya
Tak ada ruang untuk berpikir
Toh aku cuman alat belaka
Tak lebih dari lemari atau meja
Mayor muda berwajah priyayi
Datang padaku, katanya aku kini berpangkat Sersan
Dan punya sepuluh anak buah
Di sebuah bengkel tentara
Surat keputusan itu datang
Tapi aku menganggap ini awal bendera perang
Sungguh aku tak tahu
Kenapa aku musti jadi tentara
Membaca-pun aku tak bisa
Tapi kata mereka aku punya naluri sebagai tentara.
Karena aku sudah tentara
Maka aku belajar menulis dan membaca
Kata menteri urusan tentara
Menulis dan membaca wajib adanya
Sajak II
Orang yang di podium yang pernah kulihat sewaktu kusingkirkan pacul dan arit untuk bergabung dengan ribuan orang di lapangan mendengarkan pidato dari orang yang katanya Raja Republik.
Orang itu semakin gagah perwira
Bajunya mirip baju Jenderal tentara
Jauh lebih rapih dan nyaman melihat wajahnya
Ia bicara garang
Tentang revolusi
Tentang semangat melawan penjajahan bentuk baru
Kini aku sedikit lebih kaya
Aku punya radio
Dan sekitar orang-orang di tangsi mendengar dengan saksama
Entahlah aku lupa
Tapi kini aku berada di dalam truk tentara
Pertama kalinya aku naik pesawat
Katanya aku akan di drop ke dalam daerah pemberontak yang didukung monyet-monyet Amerika.
Mayor yang dulu berwajah priyayi, kini sudah berganti rupa, dia berpangkat kolonel dan memimpin pasukan penyerangan.
Aku terjun di sebuah pulau yang bernama Sumatera
Aku kini punya seratus anak buah
Dan aku suruh mereka menyebar di sekitar bandara, yang katanya sudah dijejali pesawat-pesawat dari Amerika.
Tapi yang kulihat kosong melompong
Hanya sebaris pasukan yang tunggang langgang
Dan pemimpinnya malu tak punya gigi
Pemberontakan ini hanya angin sepoi-sepoi
Bukan badai tujuh rupa
Kami pulang ke Djakarta Raja
Dengan gagah sentausa
Dan Indonesia Raja semakin bersatu padu
Di bawah pemimpin besar revolusi.
Waktuku semakin larut
Aku mohon pensiun
Tapi ditolak
Karena kata komandan, naluriku naluri tentara
Yang sulit dicari gantinya.
Jaman semakin rumit
Aku tak tahu apa artinya
Pemuda-pemuda berbaris di jalan-jalan kota
Kata-kata di spanduk-spanduk mereka semakin sulit aku pahami
‘ganjang Malaysia, Hantjurkan Nekolim, Ganjang ini itu....’
Rupanya perjuangan belum selesai
Itu kata orang di podium yang kulihat dua puluh tahun lalu, di lapangan bola.
Ia kini semakin tua
Tapi bininya makin banyak saja
Kagum ku dibuatnya
Tua-tua semakin gagah naluri lelakinya
Ah, itu ada orang muda
Yang berdiri disampingnya melambaikan tangan
Dengan jutaan bendera di belakangnya
Yang kuingat dulu bendera itu pernah kubakar di tepi kali, pinggir boyolali
Dan seorang bekas perdana menteri dihabisi nyawanya gara-gara bendera itu
Aku tak tahu apa artinya
Toh, tujuan hidupku kini terjebak
Pada cita-cita
Yang tak pernah kuharap
‘menjadi tentara’
Malam itu aku suntuk sekali
Aku ada di markas
Entah kenapa komandanku tak ada kali ini
Aku main gaple dengan teman-teman di pinggir pos penjagaan
Setadi siang aku latihan
Baris berbaris di lapangan
Untuk mengenang hari jadi tentara yang penuh kejayaan
Banyak dari teman, ke Djakarta untuk latihan
Aku tak ikut komandanku menahan untuk disini
Pagi-pagi aku dengar
Di radio beredar kabar
Dewan revolusi menangkap Jenderal-Jenderal makar
Overste Untung jadi pahlawan
Memimpin sebarisan orang yang disebut dewan
Dan Pemimpin besar revolusi entah dimana.
Aku mandi sambil bersiul
Menggumamkan lagu-lagu tempo dulu
Tak mengerti apa artinya kabar
Di radio yang suaranya hingar bingar.
Pagi-pagi kopi terhidang di markas
Kawanku datang dan bersiap
Katanya revolusi terbakar
Tapi komandanku bilang
Untuk diam menunggu komando
Dia bilang beberapa jenderal sudah mati di tembak semalam
Termasuk jenderal yang dulu pernah jadi mayor berwajah priyayi, yang memberiku surat pangkat sersan. Sekilas aku mengingat wajahnya, Jenderal Jakarta berwajah rembulan
Hari semakin siang
Kabar semakin kalang kabut
Tapi aku diam, toh tentara hanya terima perintah lain tidak
Semakin sore,
Ada orang di radio, berlogat Jawa-Solo
Mengatakan bahwa gerakan membunuhi Jenderal tidak benar
Dan Presiden terhindar dari gerakan Makar.
Satu bulan berlalu
Aku selalu ada ditengah-tengah kota
Tapi yang kulihat adalah pembantaian
Orang-orang merah berpikiran Palu Arit dibunuhi
Dipancung kepalanya, diseret badannya
Aku hanya melihat dengan bedil dan tatapan tak kuasa
Kenapa bangsaku selalu berulang berhadap-hadapan
Lalu apa artinya kemerdekaan?
Sajak III
Awal tahun tujuh puluhan
Permohonan pensiunku dikabulkan
Sejumput bintang jasa disematkan
Pada dadaku, lumayanlah untuk bekas petani yang tak tahu pendidikan
Apalagi kuburanku kelak di makam pahlawan
Pembangunan digerakkan
Orang-orang berebut ladang uang
Aku hanya menikmati uang pensiunan
Yang jumlahnya cukup untuk setengah sebulan
Setengah Bulannya lagi aku dapat gaji dari menjaga titipan sepeda di Pasar
Kini orang yang dulu di podium dan berbini banyak tidak ada lagi
Agak sepi juga hidupku, karena pidato-pidatonya juga pernah jadi hiburan yang menggembirakan
Kini dia digantikan
Oleh orang berlogat Jawa-Solo yang dulu pernah di radio pada sore hari di hari makar
Pidatonya membosankan
Tapi tak mengapalah
Tokh aku tak tahu politik
Aku hidup tenang
Tapi bangsaku tak tenang
Malari, terjadi anak muda resah melempar batu
Katanya Jepang terlalu ikut campur tangan terhadap pembangunan yang sedang berjalan
Dan cukong-cukong cari untung di tengah ladang kekuasaan
Malari lewat, seorang jenderal bertubuh tambun juga lewat
Kini hidupku bertambah ramai
Karena anak-anak sudah besar
Sedikit lagi aku menimang cucu
Maka kubeli televisi
Kutonton Muhammad Ali
Atau permainan bola yang menggairahkan antara Jerman dan Belanda
Total Football jadi kosa kata baru, ah aku lupa dengan revolusi.
Belanda dulu kubenci tapi kenapa kalau bertanding bola aku selalu berpihak padanya,kenangan dulu segar kembali, tokh benci juga punya rupa untuk saling sayang terhadap masa lalu yang diendapkan...
Ada juga peristiwa Woyla
Yang diberesi seorang jenderal berpakaian sipil
Melawan orang Islam yang katanya fanatik
Entah ini mainan apa sungguhan
Karena bagiku tak jelas, ini jaman bukan lagi jaman orang singa podium yang banyak bini itu, dimana kegairahan dan spontanitas menjadi kata-kata dan tindakan
Ini jaman penuh kepura-puraan
Pura-pura pemilu
Pura-pura demokrasi
Pura-pura membangun
Sampai aku tak yakin apa manusia bernama birokrat dan jenderal militer juga manusia pura-pura apa pura-pura menjadi manusia?
Pura-pura, sudah jadi panglima di jaman yang maju ini
Tapi aku tak punya waktu untuk pura-pura
Tokh anak-anakku sudah jadi sarjana
Menantu cantik dan tampan rupa
Maka tak perlulah aku pura-pura
Untuk menjadi manusia pura-pura
Kini jaman sudah semakin edan
Tapi aku tak ikut edan
Karena sudah sempurna hidupku
Aku rajinkan shalat
Aku pahami agama
Sebagai jalan pembenar
Sebagai alat yang benar
Supaya lurus jalanku
Supaya hidup imanku
Aku shalat lima waktu
Tahajud jika perlu
Dalam doa ku sering bertanya
Untuk apa aku hidup
Jika itu yang kutanya
Maka terlintas bayangan-bayangan manusia
Orang-orang yang sudah aku bunuhi
Pemuda-pemuda riang yang mirip Johann Cruyff, di belasan pertempuran mempertahankan wilayah gerilya
Wajah-wajah petani yang mengibarkan bendera merah putih berpalu arit
Muka-muka orang Islam-fanatik di sudut-sudut hutan dan lereng-lereng gunung
Wajah-wajah memelas pasrah dibunuhi dan dibuang ke kali yang katanya mereka tak bertuhan dan bertanggung jawab terhadap gerakan membunuhi Jenderal
Aku adalah tentara
Tapi tak sengaja aku juga dewa maut
Yang punya wewenang mencabut nyawa
Tapi aku juga manusia
Tokh, dulu ikut bertempur untuk kebebasan
Tentunya kebebasan sebatas paham pengertianku
Lalu teringat saat aku bergegas menuju tempat pendaftaran pejuang yang ingin bertempur
Di benakku berkata
‘inilah saatnya merdeka’
‘makmur anak bini’
‘tak ada lagi ndoro priyayi’
‘yang bikin susah hidup petani’
‘makmur sandang, pangan’
‘negeri gemah ripah loh jinawi’
seperti nyanyian Sunan Kalijogo
yang diwariskan pada gumaman anak-anak kecil kampung
bahwa negeri penuh rahmat adalah negeri yang mematuhi Tuhan sebagai akhir alamat
Ah, kini negeriku
Hanya bersejarah banjir darah
Negeri caci maki
Tanpa punya malu hati
Rakyatnya buas berebutan rejeki
Tak punya etika hati nurani
Jangankan hanya revolusi
Bila perlu Tuhan dikentuti
Atas nama apapun untuk beroleh kenyamanan dan rejeki
Korupsi makanan sehari-hari
Makmur anak bini
Sejahtera keluarga besar
Harum namanya
Harum jiwanya
Dengan uang haram dibangun kejayaan
Dengan mulut munafik dibenamkannya kebenaran
Cerita ini aku punya
Saat aku usai shalat
Aku mohon maaf terhadap Tuhan Pengisi Jiwa
Dulu aku bunuhi orang-orang yang mungkin tak berdosa
Karena memang pahamku sebatas kali kecil
Tentang kemanusiaan
Tentang kebenaran
Tapi aku bersyukur
Aku tak pernah korupsi
Makani uang haram anak bini
Dari merampok jutaan rakyat yang lapar
Sambil tertawa senang
Bahwa dengan kekayaan hidup akan girang
Tapi kita tak pernah tahu masa depan, bukan?
Djakarta, 2005
No comments:
Post a Comment