Sunday, 16 August 2009
Manusia Indonesia Menggugat
Melawan Manusia Suhartorian
- Sebuah Orasi -
ANTON DJAKARTA
Saat ini Alam Pemikiran Manusia Indonesia hanya pada hak milik, zeigeist kita bukan lagi pada kemajuan bersama, tapi pada persaingan individu, pada ketidaksadaran hedonis. Indonesia sekarang bukanlah bagian dari garis lurus cita-cita idealisme Proklamasi Pegangsaan.
Lalu untuk apa Proklamasi Pegangsaan dengan gemetar Sukarno laksanakan? Lalu untuk apa anak-anak muda macam Wikana, Sukarni, DN Aidit, Chaerul Saleh, Subadio Sastrosatomo, Subianto Djojohadikusumo, Jusuf Kunto dan puluhan anak-anak muda pergerakan mempertaruhkan nyawanya untuk Proklamasi Pegangsaan? Untuk apa? Bila kemudian semuanya ditelan gelombang sejarah dan berakhir dengan berdarah-darah. Pendek kata, untuk apa kita merdeka bila kita tidak tau untuk apa kita hidup merdeka .......
Proklamasi Pegangsaan hanyalah satu puncak dari sekian puncak kerja sejarah. Satu puncak dari kerja politik yang dimulai tahun 1895. Saat Wahidin dengan bersepeda mendekati elite-elite pribumi dan menyadarkan bahwa arah dunia ke depan adalah arah pembaratan, arah pemikiran rasional barat dengan metode pendidikan barat. Wahidin menyadarkan bahwa satu-satunya agar bangsa ini maju adalah dengan menyadari bahwa pendidikan dan berpikir cara barat. Wahidin melihat elite-lah yang bakal mendorong berkembangnya kesadaran pendidikan. Maka Wahidin mendatangi banyak pangeran Jawa, para Bupati dan penggede. Namun mereka para penggede pribumi Jawa tidak sadar apa yang diinginkan Wahidin. Dan sejarah adalah proses dari satu titik tindakan kecil menjadi tindakan besar. Setelah Wahidin bertemu dengan para pelajar dokter Jawa. Lalu muncullah sebuah awal dari gerakan besar itu : Budi Oetomo.
Dan Boedi Oetomo, yang dikemudian hari dikritik oleh dokter Tjipto sebagai Patron elite yang tidak mengerti arah perjuangan menjadi sebuah senja bagi terbitnya beberapa pergerakan pemikiran politik tentang sebuah Ke-Indonesiaan. Lalu Digoel menjadi saksi bahwa sebuah impian, sebuah perubahan dan sebuah gagasan bisa dimatikan oleh kekuasaan. Lalu Digoel menjadi saksi bahwa toch kemanusiaan bisa diberangus demi mimpi melawan mimpi. Mimpi kekuasaan melawan mimpi merdeka. Manusia Merdeka bukan lagi menjadi tujuan tunggal seperti Impian Wahidin, dimana pendidikan adalah kunci, tapi Manusia Merdeka memiliki banyak dimensi, ketika kaum pergerakan mengenal Karl Marx, mengenal Stokvis, mengenal Rosa Luxemburg, mengenal Lenin, mengenal Abduh, mengenal Kemal Pasya dan mengenal Jefferson. Kemerdekaan bukanlah tujuan tunggal tapi sebuah arah yang memiliki banyak titik henti dan titik henti itu melahirkan : Sukarno, Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Muso, Amir, lalu Suharto. Dimanakah letak merdeka dalam dimensi Indonesia. Sebuah peradabankah?, sebuah imaji-kah? Atau sebuah gagasan bisu tentang Manusia Baru?
Manusia Baru
Proklamasi Pegangsaan adalah puncak kerja formal dari sebuah gerak panjang Indonesia. Sebuah gerak menuju idealisme. Idealisme kemerdekaan adalah idealisme menjadi manusia baru, menjadi alam pikir baru dan menjadi penggagas dari sebuah habitat kemanusiaan yang bisa menyumbang dalam taman sarinya dunia. Tapi sejarah kita adalah sejarah yang bisa saja bergerak tanpa makna. Dimanakah letak menjadi manusia Indonesia? Apakah Manusia Indonesia itu?
Sejarah Indonesia adalah sejarah pembentukan mentalitas, pembentukan watak dan karakter ideologis. Kemudian setelah era Suharto berakhir, sejarah itu kemudian bergerak mengarah pertarungan pada modal. Ideologis dan Watak bukan lagi menjadi hal penting. Karena watak dari Kapitalisme adalah bisa meresap segalanya dimana 'teori milik' menjadi pusat dari segala-galanya di dalam alam pikir kita. Dan Manusia Indonesia paling mutakhir saat ini adalah Manusia yang berpusat pada 'Milik' bukan lagi 'Hak' apalagi 'idealisme'.
Menjadi Indonesia dipengaruhi gagasan-gagasan penting, namun dari semuanya hanyalah segelintir dari pelaku sejarah yang berhasil menanamkan apa itu “Manusia Indonesia”. KeIndonesiaan adalah sebuah proses membentuk peradaban baru, tapi sadar atau tidak sadar pembentu-pembentuk manusia Indonesia menafikan realitas, bahwa Indonesia merupakan pertarungan empirisme masyarakat yang tidak pernah berhenti dan perekat-perekat itu hanya ada dua : Imaji dan Kekerasan.
Bila Tan Malaka berseru bahwa menjadi Indonesia adalah memahami sebuah proses dengan bidikan Madilog : Materialisme, Dialektika dan Logika.Lalu Tan Malaka menyerang pelaku-pelaku Tahayul maka Tan Malaka lupa bahwa bangsa ini didirikan dengan Tahayul-Tahayul, adalah Suharto yang berhasil membangun dengan baik Manusia berdasarkan Tahayul. Tahayul PKI, Tahayul Ekstrim Kanan dan Tahayul Subversif. Suharto-lah yang berhasil membangun Indonesia dibawah landasan paling kuatnya : Curang, Instan dan Berpusar pada Hak Milik.
Tan Malaka dikenang sebagai tokoh paling misterius sepanjang sejarah Indonesia modern. Namun ditengah misteri hidupnya. Sesungguhnya Tan Malaka memberikan pada kita sebuah babak pembuka dan penyadaran sejarah kenapa Indonesia harus merdeka. Kemerdekaan bagi Tan Malaka yang menurut banyak kalangan sejarawan sudah digugatnya dalam bentuk pertanyaan pada Sukarno di Bajah, Banten tatkala Sukarno sebagai pemimpin masyarakat mengunjungi habitat Romusha. “Apakah kemerdekaan itu merupakan awal dari sebuah permulaan bentuk peradaban ataukah hanya sebuah prasyarat peralihan kekuasaan”..... ini adalah pertanyaan Substantif yang kebetulan juga gagal dijawab Sukarno.
Dan kemudian sejarah mengantarkan pada kita cerita tentang Sukarno yang dipaksa oleh pemuda memproklamasikan kemerdekaan di Pegangsaan. Proklamasi ini adalah salah satu surat lamaran pekerjaan politik kepada rakyat Indonesia yang nyatanya diterima dengan gemuruh. Sebuah gerakan besar terjadi menjadi Revolusi Bersenjata. Dan Revolusi itu kemudian menjadi tahun kunci dalam pertarungan menuju siapakah “Manusia Indonesia”?
Suatu malam yang gerah di Cililitan Tan Malaka menuangkan idee bahwa rasionalitas barat adalah persyaratan mutlak membentuk Indonesia. Manusia Indonesia menjadi sasaran pemikiran perjuangan Tan Malaka hanya kemudian Tan Malaka mendapat tantangan realitas bahwa peta politik bukan lagi sepenuhnya milik kaum Revolusioner, peta politik mengarah pada kaum elite bordjuis dimana Sukarno menjadi Bank Garantie atas proses pemborjuisan perjuangan politik Indonesia. Proses kemerdekaan 100% yang digagas Tan Malaka sebagai pintu pembuka menuju manusia Indonesia Baru dipandang sebagai sebab musabab kerusuhan, tidak realistis dan hanya memperpanjang perang. Lalu Tan Malaka ditembak mati di Kediri. Lalu Indonesia menjalani sejarahnya tanpa mengerti kenapa harus merdeka. Tan Malaka mati dan Indonesia diam tidak menggugat.
Tahun-tahun 1950-an diwarnai oleh pesta pora kemenangan Sjahrir cs atas jalannya sejarah Indonesia. Konferensi Meja Bundar 1949 yang ditandatangani Hatta disamping Ratu Belanda bercerita dengan gamblang “Bahwa Indonesia bukanlah sebuah sebuah negara baru yang dibangun atas nilai-nilai radikalisme, tidaklah dibangun untuk melawan sebuah hegemoni barat atas timur, tapi Indonesia yang baru adalah bentuk pengalihan kekuasaan yang dibangun dengan nilai-nilai moderat dan tidak terus terusan secara frontal melawan barat”. Inilah kemerdekaan yang dirujuk pada Konferensi Medja Bundar dan sampai saat ini Belanda memandang bahwa Indonesia merdeka adalah tahun 1949 bukan 1945 sekaligus secara tersirat hanya mengakui peran Hatta.
Penafsiran sejarah adalah ruang penuh konflik namun pada hakikatnya dalam malam renungan kemerdekaan ini kita harus menyadari bahwa ruang sejarah adalah alat paling lugas dalam melihat Indonesia ke belakang dan membacai Indonesia ke depan. Maka kenapa saya menyebut Tan Malaka sebagai sebuah awal dari memikirkan manusia Indonesia lalu menjadi Tragedi. Karena Tragedi Tan Malaka adalah tragedi Indonesia sesungguhnya. Indonesia yang kita pijak adalah Indonesia yang gagal menjadi bangsa yang berhasil melepaskan diri dari jebakan feodal, jebakan penghisapan atas manusia dan gagal menjadi sebuah bangsa yang membentuk manusia baru. Indonesia yang kita hadapi sekarang adalah Indonesia yang tanpa bentuk. Bentuk-bentuk manusia Indonesia yang digagasi oleh tiga tokoh paling besar dalam pemikiran tentang Manusia Indonesia : Tan Malaka, Sukarno dan Suharto menjadi sebuah teori acak sejarah yang membingungkan kita. Sebagai sebuah random atas ketidakjelasan kita menjadi sebuah Indonesia. Ketidakjelasan kita menjadi bagaimanakah susunan masyarakat terbentuk, apakah setelah kemerdekaan 1945 pembaharuan terjadi, keadilan terwujud dan rakyat menjadi senang tertawa.
Feodal, Modal dan Pusaran pada Hak Milik kemudian menggagalkan cita-cita menjadi negara besar tersebut. Naiknya Sukarno pada tahun 1959 dengan menggusur semua pemimpin-pemimpin yang melawan Sukarno termasuk pada tahun 1960 membredel dua partai : PSI dan Masjumi adalah sebuah langkah awal merevisi ulang sebuah bentuk Indonesia. Tapi sejarah mengantarkan pada kita bahwa usaha ini sekali lagi gagal menjadi Indonesia. Karena watak yang ingin dibangun oleh Sukarno tentang definisi manusia Indonesia dimentahkan. Surut Sukarno ini disebabkan oleh langkah maju Sukarno dalam menggalang kesadaran bahwa untuk membentuk Manusia Indonesia Baru, Peradaban Baru adalah “Kesadaran Kapital” Bila Tan Malaka menyebut alam berpikir sebagai salah satu landasan penting menuju Manusia Indonesia Baru, Maka Sukarno menitik beratkan pada 'Kesadaran Hak Milik Kapital” Kesadaran hak milik Kapital inilah yang kemudian membuat Sukarno berani melawan Amerika, menciptakan konsep baru permusuhan dan merumuskan perebutan kapital dari negara berkembang terhadap negara maju.
Adalah satu malam gelap di bulan September, lars-lars tentara mendepak pintu para Jenderal. Dan sebuah gerakan dilancarkan. Impian Manusia Indonesia Sukarno gagal total dan Sukarno sendiri dipenjara di rumahnya dan hanya dirawat dokter hewan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai pahlawannya, tapi dimata rezim Militer Sukarno bukanlah lagi seorang pemimpin dia hanya binatang politik yang harus lekas mati, Sukarno sekarat dan hanya dirawat oleh dokter hewan. Bangsa ini adalah tragedi terus menerus dan Manusia Indonesia adalah tragedi yang diam. Sukarno mati, Suharto menjadi bintang pedoman dan meletakkan akar paling kuat dalam membentuk Manusia Indonesia Baru.
Dalam paham Toynbee mengenai sejarah diceritakan bahwa Peradaban mirip sebuah siklus, ia bangun, mapan dan kemudian hancur. Peradaban adalah gerak dari ketiadaan, mengada lalu menjadi hilang. Apakah kemudian manusia Indonesia 1945-1965 menjadi hilang. Inilah yang dikatakan Toynbee itu. Sesungguhnya manusia Indonesia gagasan-gagasan yang dimulai dari Wahidin sampai pada Sukarno di tahun 1965 benar-benar tamat.
Walaupun gagasan manusia Indonesia era pertama (1895-1965) ingin dihidupkan kembali melalui era Malari 1974 sampai pada Gerakan Politik 1998. Namun kesadaran tunggal Suhartorian sudah menjadi bahan baku beku manusia Indonesia. Bahan baku yang kemudian menjadikan kita menjauh terhadap tujuan Manusia Indonesia (1895-1965).
Manusia Suhartorian
Manusia Suhartorian adalah siklus terendah dari fluktuasi kesadaran sejarah Manusia Indonesia Baru. Namun Siklus terendah ini menjadi akar paling kuat dalam menanamkan gerak KeIndonesiaan. Siklus ini adalah basis dari kesadaran Manusia Indonesia sekarang.
Susunan Masyarakat Suhartorian :
1.Negara Personal
2.Hak Milik
3.Modal
Pusat dari seluruh perhatian Negara Suhartorian adalah : Terpusatnya Kekuasaan pada person Suharto. Disini Suharto menyempurnakan kerja Sukarno dari arah negatifnya. Pada proses kerja politik Sukarno 1959-1965, ia melakukan pemusatan kekuasaan formal pada dua bentuk : Sukarno dan Angkatan Darat. - saya tekankan orang sering salah mengira bahwa PKI adalah variabel penting dalam kekuasaan 1959-1965, namun bagi saya PKI bukanlah pemain penting dalam kekuasaan itu, PKI hanyalah alat dari politik Sukarno – Dua kekuatan yang dipancangkan pada rezim Sukarno adalah proses reifikasi pelan-pelan terhadap pergerakan rakyat yang justru berakhir pada gerakan Untung. Dan reifikasi inilah yang kemudian memuncak pada terbentuknya Negara Militer Suhartorian.
Negara Militer Suhartorian yang dengan selubung dustanya menyebutkan sebagai Negara Orde Baru dan didukung oleh kelompok Sosdem, Agama dan Militer menjadikan Negara bukan lagi ruang publik, tapi ruang pejabat. Negara bukan lagi ruang idealisme komunal tapi menjadi Ruang Milik antara penguasa dan yang dikuasai.
Mentalitas ini kemudian menyusun masyarakatnya. Negara adalah Rumah nyaman bagi pemegang akses kekuasaan, sementara di lain tempat Negara adalah rumah menyakitkan bagi kelompok yang terpinggirkan. Untuk mewujudkan Negara Suhartorian maka tiga juta nyawa disembelih dan ribuan orang dibuang ke Pulau Buru, sementara jutaan keluarga dicerai beraikan, anak-anak pariah politik dibuang hak hidupnya. Disinilah Suhartorian melandasi keIndonesiaan.
Manusia Suhartorian adalah Manusia Pejabat. Kemanusiaan yang hanya bisa menjadi manusia apabila memiliki status di depan negara. Manusia tidak lagi menjadi alat proses, menjadi subjektivitas yang sempurna atas kemanusiaannya. Manusia Suhartorian adalah bentuk paling dangkal dalam proses kemanusiaan dan menghambat peradaban Indonesia.
Lalu ketika kesempatan datang dan Suharto dikalahkan oleh umur, maka Suhartorian tidaklah serta merta mati. Suhartorian adalah kredo kebangsaan Indonesia sekarang yang satu-satunya cara hanyalah bisa diakhiri dengan Revolusi kebudayaan. Demokrasi sekalipun tidak akan bisa menghentikan identitas substantif Manusia Suhartorian.
Inilah ciri-ciri Manusia Suhartorian
1.Keberpihakan bukanlah pada idee, tapi pada pragmatis dan siapa yang menang
2.Hak Milik adalah pusat dari segala alam pikir, mendapatkan hak milik tidak diperlukan etika.
3.Pelanggaran terhadap etika haruslah ditopengi dengan sikap-sikap sempurna adat manusia.
4.Kemunafikan adalah kunci dari segala tindakan.
5.Bersikap instan.
6.Tidak memahami apa itu ideologi dan apa itu idealisme.
7.Kekerasan diperlukan dalam mencapai tujuan.
8.Hukum hanyalah milik pemegang modal dan kekuasaan.
9.Kekuasaan adalah pusat dari segala tujuan hidup manusia Suhartorian
10.Negara adalah Pejabat, dan Pejabat adalah Negara.
11.Tidak adanya peran masyarakat independen.
12.Kekuasaan tidaklah berdasarkan hukum tapi berdasarkan tawar menawar kekuatan.
Dua belas ciri dasar inilah yang menjadi sangat khas dalam manusia Suhartorian sehingga hal inilah yang menjadi latar belakang pembentuk susunan masyarakat kita sekarang. Untuk menghancurkan sistem masyarakat Suhartorian bukanlah hal mudah. Benteng terbesar mereka adalah mesin birokrasi, sementara benteng birokrasi ini hanya bisa diruntuhkan bila terjadi kekuatan cerdas dalam meruntuhkan susunan masyarakat. Benteng birokrasi inilah yang menjadi rumah kuat dua belas landasan dasar Manusia Suhartorian.
Marilah dalam renungan kemerdekaan ini kita bertanya dalam diri kita :
1.Apa artinya proklamasi bila rakyat masih miskin
2.Apa artinya kemerdekaan bila keyakinan yang berbeda menggiring manusia pada penjaranya.
3.Apa artinya merdeka bila modal dikuasai Pejabat.
Untuk membakar front pertempuran baru cobalah kita renungi Manusia Suhartorian ini. Karena ketika kita ingin mengembalikan lagi idee dasar manusia Indonesia ideal 1895-1965 tanpa mengetahui idee dasar manusia Suhartorian maka kita akan selalu gagal dalam merumuskan perjuangan kaum muda Indonesia ke depan.
Gugatan kita terhadap manusia Suhartorian adalah sebuah langkah awal menelanjangi diri kita. Adakah kita adalah Manusia Suhartorian ataukah kita menghendaki kembalinya Manusia Indonesia sebagai sebuah idealisme yang dirumuskan dalam proses sejarah (1895-1965). Pilihan terletak pada kemampuan kita menafsirkan Manusia Indonesia apa yang ingin kita kehendaki.
Manusia Suhartorian adalah barisan yang paling kuat di Indonesia. Mereka adalah tembok penghalang kerja sejarah yang mengarah pada idealisme Manusia Indonesia sesuai rumusan para pendiri bangsa. Manusia Indonesia yang didasarkan pada cita-cita sosialisme, pada gotong royong dan tidak ada yang lapar sementara yang lain bermewah-mewah. Manusia Indonesia yang bisa bersama dalam kesejahteraan bukan bersama dalam iklim penindasan. Dalam alam demokrasi ini, kita juga masih terus menerus dibohongi oleh tembok-tembok Suhartorian dan mulailah dari sekarang kita membangun perlawanan, membangun penyadaran bahwa menuju masyarakat Indonesia yang sosialis, yang makmur bersama dan tidak ada kluster-kluster kekuasaan ditangan pejabat, untuk itu kita haruslah bertindak. Seperti ungkapan Wiji Thukul ini
Bunga dan Tembok
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri
jika kami bunga engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan : engkau harus hancur
dalam keyakinan kami
di mana pun- tirani harus tumbang!
(WIJI THUKUL).
Jakarta 17 Agustus 2009.
Thursday, 6 August 2009
WS RENDRA DALAM KENANGAN
WS Rendra Dalam Kenangan
Oleh Anton Djakarta
Satu saat saya tercengang saat WS Rendra berkomentar dalam Majalah Hai pada edisi Ulang Tahun Majalah Hai di awal tahun 1990-an, “Majalah Hai terlalu dangkal” itulah kira-kira lontaran dia yang dibalas dengan ucapan sinis wartawan Hai. Dan saya tersenyum tentulah berbeda ketika bangsa ini diajak berpikir dalam-dalam di tahun 1910-1965 dan saat bangsa ini diajak berbudaya instan dan konsumtif dimana-mana, Majalah Hai dengan segala hormat saya, bahwa Hai adalah zeigeist dari jaman yang dipenuhi konsumtif dan dangkal berpikir, Zeitgeist dari jaman ketika Suharto memperkenalkan bahwa berpikir kritis tentang kekuasaan adalah subversif, maka masturbasilah dengan musik, roman dan hal-hal ringan.
Perkenalan saya dengan WS Rendra, terjadi sekitar tahun 1990 dan itu hanya singkat, sama dengan perkenalan saya dengan Gunawan Muhammad penulis yang pernah mencekoki saya sepanjang tahun 1980 dan 1990-an. Berbeda dengan GM yang kaku ketika saya mencoba menyalaminya di depan Gramedia PIM, WS Rendra saat saya bertemu terkesan santai dan senang tersenyum tapi matanya yang nyalang seperti elang dan mata yang seolah bernyawa itu bisa bicara. Saya sendiri memang berbeda dengan remaja seumuran saya, kalo teman-teman saya senang berkenalan dengan artis-artis yang populer, saya justru senang berkenalan dan mencoba berkenalan dengan tokoh-tokoh intelektual, pelaku sejarah, politikus dan budayawan. Ini sama halnya saya berkenalan dengan Nurcholis Madjid, AH Nasution, Djenderal Harjo Ketjik (eks Pangdam Kaltim rivaal Mitro Gendut) atau Sidik Kertapati. Saya ingat di masa tahun 1980-1990 orang yang paling saya kagumi ada tiga orang : WS Rendra, Gunawan Muhamad dan Nurcholis Madjid. Namun setelah saya tergila-gila Novel Pram maka nama WS Rendra surut kebelakang, karena saya asik membaca sastra-sastra yang apa disebut Orde Baru sebagai sastra kiri. Toh, bagaimanapun WS Rendra orang kanan bukan? Pelaku humanis, dan Mani Kebo seperti tertera dalam sejarah konflik pemikiran sastra dan budaya antara Lekra dan kelompok Humanis. Tapi kanan atau kiri, di jaman penuh darah macam Orde Baru hanyalah anjuran psikologis agar kita tetap menjaga permusuhan, dan permusuhan itu adalah tatanan yang menjaga susunan masyarakat Orde Baru. Dimana susunan Orde Baru adalah energi yang selalu membakar Rendra untuk melawan arus kekuasaan :
WS Rendra, adalah nyawa bagi negeri yang penuh darah. Dia menjaga perjuangan minimal anak muda, dia adalah pelopor yang membakar bahwa anak muda harus berani melawan generasi tua yang rusak. Cobalah baca komentar WS Rendra ini : Tidak ada generasi penerus, apanya yang mau diteruskan. Generasi muda harus tampil sebagai tandingan, agar yang senior sadar...” Sepenuhnya Sejarah hidup WS Rendra adalah sejarah tanding antara yang tua dengan yang muda, dan yang pertama kali dilawan alam pikirannya adalah alam pikiran bapaknya, .R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo.
WS Rendra dilahirkan di Solo 7 November 1936, selama masa kecil ia hidup di kota Solo yang tinggi rasa budayanya itu. Bapaknya guru bahasa Indonesia dan ibunya penari srimpi Keraton Surakarta. Disiplin ningrat Jawa mencoba menjajah dirinya, namun sejak mula Rendra sadar bahwa budaya Jawa yang dikenalkan keluarganya adalah budaya Jawa kalahan, bukan budaya Jawa yang menang. Budaya yang menuruti kehendak kaum tua untuk hidup tenang dan menjauhkan kehidupan muda yang dinamis, kehidupan dimana sebuah bangsa bisa menggelegak. Seperti hal-nya generasi yang dilahirkan tahun 1930-an mereka tidak mengenal perang revolusi, mereka ketinggalan celah generasi menonjol macam mereka yang lahir di tahun 1920-an, dimana generasi ini adalah generasi yang cukup usia untuk perang dan menjadi icon jaman. Generasi 1930-an adalah generasi mapan, yang besar di tahun 1950-an ketika jaman mulai tenang. Disinilah WS Rendra menemukan momentum kehidupannya. Ia rajin baca Sartre, Camus, Ronggowarsito, Puisi-Puisi Lorca, dan buku-buku drama milik bapaknya yang banyak. Tidak seperti kebanyakan anak muda yang bingung dengan hidupnya, ia menemukan kehidupannya sejak awal mula : Seniman. WS Rendra adalah seniman yang mampu menafsirkan jaman dan jaman itu dimulai di Yogyakarta.
Yogya, bagi WS Rendra adalah nyawa masa mudanya. Tempat indekost-nya adalah saksi ketika pikirannya dibakar matahari kesadaran. Kaum muda berkumpul di dekatnya, para wanita jatuh hati pada lelaki berwajah bulan ini. Ketika mereka berkumpul dan memahami WS Rendra, maka runtuhlah tatanan kesopanan dan etika penuh kepalsuan, disanalah Perkemahan Kaum Urakan di didirikan sebagai bentuk perlawanan budaya Jawa yang mementingkan penampilan santun ketimbang substantif kemanusiaan, sebuah sindiran jelas bagi Orde Baru yang dibangun dengan darah lewat senyum seorang Jenderal santun. Kaum urakan di masa awal Orde Baru dimana sebelumnya Bengkel Teater mempertunjukkan teori nonverbal dan non linier hal ini juga bentuk penafsiran masyarakat di Jaman Orde Baru yang mati, sebuah masyarakat tanpa dinamika. Maka WS Rendra mencoba berteater tanpa sehelai naskah pun. Kehidupan sudah mati ketika kekuasaan hidup bagai matahari.
Pada umur 24 tahun tepatnya tanggal 31 Maret 1959. WS Rendra menikahi Soenarti Soewandi, ia membangun cintanya dengan puisi yang paling terkenal : Surat Cinta. Sebuah kalimat cinta yang menggetarkan :
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !
Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !
Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan.
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta.
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu :
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain ......
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa.
Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit :
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku.
Engkau adalah putri duyung
tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !
Kenangan saya terhadap kisah hidup WS Rendra adalah kemarahan anggota keluarganya saat bapaknya sakit, saat itu terdengar kabar Rendra mau masuk Islam dan kakak-kakaknya memarahi adiknya yang bengal itu. Anggota keluarga separuh menyalahkan sakitnya bapaknya WS Rendra atas ulah Rendra. Tapi Rendra tetaplah Rendra, seperti puisinya ia memiliki jalan pikir merdeka yang tidak bisa didikte apapun. Ketika di Yogya ia jatuh hati pada anak seorang Pangeran, dan wanita cantik itu bernama Sitoresmi Prabuningrat, seorang kembang dari Keraton Prabuningratan. Seorang anak Pangeran yang bisa ia suruh menyuapi makan anak-anak Rendra dari Sunarti, seorang gadis yang kagum melihat lelaki berpikiran merdeka. Maka Rendra berniat menikahi Sitoresmi. Dan beranglah Pangeran Prabuningrat, salah satu alasan adalah karena Rendra katolik. Seolah senang bertarung dengan orang tua yang feodal, Rendra angkat kepala dan masuk Islam dengan saksi : Ajip Rosidi dan Taufiq Ismail. Maka WS Rendra masuk Islam dan cemooh mengalir kepadanya, disebut-sebut ia ingin masuk Islam karena poligami. Padahal keIslaman Rendra adalah hasil pencerahan dia terhadap Islam yang ia dapatkan dari pertunjukan Kasidah Barzanji, ucapan yang terkenal dari pertunjukan yang pertama kali diadakan tahun 1969 adalah : ''Saudara-saudariku, aku mendengar kasidah dan salawatan. Aku mendegar kisah dan cakrawala yang kamu bentangkan. Akhirnya aku membaca sirah Muhammad Rasullah, Bulan purnama muncul!!....., Bulat sempurna, Bau wangi menegur sepi, Keramahan membawa kehangatan dan kedamaian'' dan kesadaran Islam itu pula yang kemudian Rendra menikahi Sitoresmi Prabuningrat.
Bagi Rendra, wajahnya adalah warisan rembulan, kata-katanya rangkaian peluru yang bersemayam di hati para wanita. Ketika peluru itu mengenai Ken Zuraida maka ia menikahi Ken dan menceraikan dua isterinya, Sitoresmi dan Soenarti.
Tidak seperti Pram yang kaku, WS Rendra adalah gambaran ningrat Jawa yang selalu bisa memanfaatkan keadaan. Ia lebih mirip Sukarno yang mampu memainkan peran kehidupan untuk bisa mengambil manfaat dari semuanya. Sebagai contoh ia tidak menolak penghargaan Bakrie Award sementara rekannya Romo Magnis Suseno menolak penghargaan Bakrie Award. Rendra menerima penghargaan Bakrie sekaligus mengkritik yayasan Freedom Institut yang menganggap Pasar Bebas adalah segala kebenaran. Begini Kritikan WS Rendra :
“Namun, saya tidak sependapat dengan yayasan mengenai sikapnya yang mendukung ekonomi pasar bebas secara luas. Romantika kebebasan yang kolokan begini tidak bisa saya benarkan.
Sebagai penyair saya akan selalu bersikap kritis terhadap pasar. Kebudayaan pasar sangat penting dalam peradaban. Pasar adalah salah satu pusat pergaulan peradahan yang beraneka warna. Pusat interaksi nilai-nilai. Pusat informasi berbagai cara berproduksi. Dan juga pusat interaksi ilmu-ilmu pengetahuan. — Namun saya juga menyadari bahwa mekanisme pasar itu tidak punya pikiran dan hati nurani. oleh karena itu tidak boleh dibiarkan lepas bebas dalam romantisme kolokan.
Demokrasi adalah pemerataan partisipasi di dalam tata negara, tata hukum, dan tata pembangunan. Emansipasi individu sangat utama. Tak mungkin ada emansipasi kebudayaan tanpa emansipasi individu. Namun pengertian emansipasi individu dalarn filsafat yang menjadi pegangan hidup saya adalah: “manjing hing kahanan, nggayuh karsaning Hyang Widhi' ialah: masuk ke dalam kontekstualitas sambil meraih kehendak Allah. Dan puncak dan kemampuan emansipasi individu adalah penyadaran bahwa “ananingsun, marganira, ananira marganingsun' atau: “aku ada karena anda, anda ada karena aku”. Maka luka anda lukaku juga. Derita sosial-politik-ekonomi anda, deritaku pula.
Oleh karena itu usaha menegakkan emansipasi individu yang peduli akan kesetaraan hak hukum, hak sosial, dan hak politik antara sesama manusia, harus diikuti kesadaran bahwa kekuasaan modal, distribusi, dan energi harus dikontrol, tidak boleh dimonopoli oleh satu atau dua pihak dengan kebebasan yang romantis dan cengeng, sebab akan mengganggu kemaslahatan orang banyak.
Globalisasi memang ada, tetapi pasar bebas itu sepanjang sejarah manusia di mana saja tak mungkin tanpa ada intervensi proteksi, Amerika, Pasar Bersama Eropa, China, Korea dan Jepang juga masih mempraktekkan proteksi.
Mahattir bisa melapaskan Malaysia dari kemelut krismon karena berhasil mengusir intervensi IMF dan menerapkan proteksi keras terhadap arus keluar devisa dari negerinya. Waktu ada konferensi di Davos di tahun 2003, Ia dielu-elukan sebagai tokoh yang berhasil menyelamatkan negerinya dari krismon.
Sepanjang peradaban manusia selalu ada budaya akumulatif dan juga selalu ada budaya distribusi. Keduanya harus berimbang di dalam tata negara, tata hukum dan tata pembangunan. Semuanya bersumber pada pengabdian kepada martabat manusla, dalam bimbingan filsafat kebersamaan dalam kesetaraan, dan rasa hormat kepada nilai-nilai moral universal”.
WS Rendra menyenangi Mbah Surip dan sempat berjalan-jalan dengan Mbah Surip dihalaman Bengkel Teater, konon ia berkata tempat makamnya. Sebagai seorang ningrat Jawa yang terbiasa menetapkan tempat makam ketika dirinya wafat, begitulah WS Rendra bahkan Mbah Surip ingin dekat dengan WS Rendra. Ketika Mbah Surip wafat, WS Rendra bertarung dengan sakitnya dan pada tanggal 6 Agustus 2009 jam 11 malam. Seorang yang pernah mengguncang-guncangkan keberanian anak muda terhadap Orde Baru dan Kegemblungan reformasi itu wafat.
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
(WS Rendra)
Djakarta, Beberapa Jam setelah kematian manusia besar WS Rendra..............