Friday 20 August 2010
Karakter Orang Bali
Logat Buleleng penuh dengan kata-kata yang kasar dan umpatan yang menyebut-nyebut binatang. Tetapi dialog jorok itu tidak menimbulkan pertengkaran, justru itu simbol dari kekerabatan yang kental. Beh, cicinge mara teka, peteka bulu matane, pidan nani teka uli Jawa, begitu sapa seseorang. Yang disapa menjawab, Bangsat cai, dan seterusnya. Mereka tidak bertengkar, malah tertawa-tawa lalu makan bersama menghilangkan rasa kangen. Padahal kalau "bahasa pergaulan" itu diterjemahkan menjadi sangat kasar untuk didengar.
Lain Buleleng, lain pula Gianyar. Bahasanya pelan, iramanya halus, dan penuh basa-basi. Para pelawak itu melukiskan dengan pas, dengan kadar banyolan yang bagus, ketika menceritakan dua sahabat yang lama tak bertemu, lalu saling kunjung, persis seperti orang Buleleng tadi. Demikian akrab obrolan dengan tutur kata yang bagus, sehingga tak terasa waktu sudah terbuang lama. Ketika sang tamu pulang, eh... baru tuan rumah menawarkan minuman. Dong gegeson pesan mulih, tusing ngidih kopi malu?
Bagaimana dengan Karangasem? Tutur bahasanya pun bagus, tak ada umpatan kasar seperti di Buleleng, tetapi juga tak ada basa-basi seperti di Gianyar. Namun, jika salah omong sedikit langsung tersinggung dan nyerocos pergi. Beberapa saat tiba-tiba batu melayang karena ketersinggungan dan salah paham itu menimbulkan marah yang harus segera dilampiaskan.
Ini tentu saja bukan gambaran yang sebenarnya dari perilaku orang Bali, dan tentu saja tak semudah itu mengkotak-kotakkan tabiat orang berdasarkan kabupaten. Namanya saja lawakan, hanya lelucon untuk memancing orang tertawa, meski pun kadang menertawakan diri sendiri.
Betapa pun itu sebuah banyolan. Kasus-kasus yang dijadikan banyolan itu tentulah ada meskipun kemudian dilebih-lebihkan. Bahasa pergaulan di Buleleng memang ada yang sekasar itu, tetapi tidak semua orang Buleleng sekasar itu. Orang Buleleng yang tutur bahasanya bagus jauh lebih banyak lagi. Seperti halnya orang Karangasem yang berperilaku halus, sopan, tak pernah memendam dendam, tentu lebih banyak jumlahnya dibandingkan yang suka berkelahi. Tetapi yang mudah tersinggung, lalu memendam marah dan melampiaskan dengan kekerasan, juga ada. Berbagai kasus perkelahian, baik satu lawan satu maupun banjar lawan banjar, kerap terjadi. Yang menjadi bahan sengketa pun bukan saja harta pribadi, tetapi juga bangunan suci. Kasus Pura Kerandan di Culik, misalnya, berlarut-larut penyelesaiannya. Bahkan Kahyangan Lempuyang Madya, stana Mpu Gni Jaya, menjadi bahan rebutan dari beberapa kelompok umat.
***
APAKAH penduduk Karangasem suka berperang? Kalau membaca sejarah, heroisme rakyat Karangasem itu memang tinggi. Ekspansi tentara Kerajaan Karangasem ke Lombok merupakan sukses besar bagaimana sebuah kerajaan di Bali memperlebar pengaruh politiknya ke seberang lautan. Tak ada sebuah kerajaan lain di Bali selain Karangasem yang punya semangat untuk menaklukkan wilayah yang berbatasan dengan laut, sebuah kisah penyerangan yang penuh dengan perhitungan. Kalau saja tak ada ekspansi itu, barangkali Pulau Lombok, khususnya di Kodya Mataram dan Lombok Barat, tidak bernuansa Bali seperti yang ada sekarang ini.
Apakah tradisi berperang itu diwariskan sampai sekarang? Ini tentu pertanyaan yang sulit dijawab. Apalagi kalau kita mengaitkan kasus-kasus perkelahian dan kekerasan yang kerap terjadi di kabupaten paling timur di Bali ini, tentulah kita tak bisa serta merta menyebutkan ini sebagai sebuah tradisi.
Tetapi, tentu saja heroisme perang itu, dengan simbol-simbol perangnya, bisa didokumentasikan lewat kesenian. Misalnya, gebug ende. Ini kesenian yang menunjukkan kepahlawanan individu, bagaimana memainkan tongkat dan tameng sebagai perisai menghadapi pukulan lawan. Kesenian yang berkembang di Karangasem ini juga terdapat di Lombok, tentunya dengan sedikit variasi.
Perang pandan, seni tradisi yang dikaitkan dengan ritual di Tenganan Pegringsingan, mungkin juga adalah semangat kepahlawanan individu. Namun, apakah ini muncul dari tradisi rakyat Karangasem yang sejak dulu suka berperang? Atau justru ini warisan sangat kuno jauh sebelum Raja Karangasem memutuskan untuk menaklukkan Lombok?
Begitu pula berbagai bentuk tari sakral, seperti baris yang berjenis-jenis itu. Kesenian tradisi ini tetap dipertahankan di wilayah Karangasem dan selalu muncul pada berbagai upacara agama, termasuk upacara di Pura Besakih. Kostum penari, gerak-gerak tarinya, peralatan yang dibawa adalah simbol-simbol perang. Kalau cara-cara persembahyangan sekarang ini mau dijadikan tolok ukur untuk melihat fenomena kesenian tradisi itu, memangnya siapa yang mau diperangi ketika kita memasuki sebuah pura? Apa ada orang bersembahyang sambil menikmati dan membayangkan perang?
Semangat perang memang sangat positif dikemas dalam bentuk seni. Apalagi kalau itu menjadi seni yang khas, semacam gebug ende, perang pandan dan sebagainya. Kekhasan ini tentu saja harus dipertahankan, tetapi sebaiknya dicari juga gerak-gerak yang lebih artistik sebelum melakukan gerak perang.
Dalam gebug ende, misalnya, kedua petarung sebaiknya melakukan gerakan olah seni lebih dulu, sebelum saling pukul. Jadi, tidak seperti yang selama ini terlihat, begitu memasuki arena langsung gedebag-gedebug. Tirulah silat Tabanan atau Jembrana, sebelum berduel ada jurus-jurus manis yang enak dilihat. Atau kalau kita menoleh ke luar, ada kesenian Dayak yang patut dicontoh. Gerak-gerak perangnya diolah sedemikian rupa, sehingga unsur seni lebih menonjol dibandingkan unsur olah raga. Gebug ende sekarang ini masih dominan unsur olah raganya.
Unsur apa pun yang menonjol, olah raga atau seni, semangat perang yang diwariskan oleh rakyat Karangasem haruslah dikemas dalam bentuk budaya. Jangan diwariskan dengan semangat permusuhan.
(Diambil dari beberapa sumber)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment