Monday, 21 September 2009

Binhad dan Neoliberalisme

Binhad dan Neoliberalisme

Oleh Anton Djakarta

Isi puisi dibawah ini adalah tonggak perlawanan terhadap Neoliberalisme. Neoliberalisme adalah paham yang hidup sejak 1978 (ditandai dengan kejatuhan Bisnis Konglomerasi Pertamina tahun 1976) dan masuknya modal asing secara besar-besaran setelah kelompok Mahasiswa dibantai habis tahun 1974. Liberalisme pasar dimulai ketika Indonesia secara terbuka menerima modal Jepang dan didikte berdasarkan modal pinjaman yang diberikan pihak Jepang. Lalu pada tahun 1988 Liberalisasi Keuangan dibuka oleh Sumarlin lewat beberapa rangkaian Pakto-nya. Kejatuhan Suharto sendiri juga merupakan bagian dari rencana besar Liberalisasi ekonomi di Indonesia. Suharto yang pernah menjadi patron penting dalam ekonomi kapitalis-diktator yang didukung Amerika, lambat laun dianggap sebagai penghalang karena masih melindungi kroni-kroninya dengan menciptakan monopoli, memberikan subsidi dan menghalangi modal asing 100% masuk ke Indonesia. Apa yang dilakukan Suharto untuk melindungi kekuasaannya dipandang sebagai halangan oleh kaum Neoliberal. Lalu mereka menempatkan orang-orang yang sudah terdoktrin otaknya bahwa tanpa IMF Indonesia tidak akan ada apa-apanya.

Gelombang politik 1998 diakhiri dengan sabda Menlu Madeleine Albright yang berkata : "Sejarah menghendaki Suharto mundur" sejak itulah kelompok reformis dan penentang Suharto malam main cakar-cakaran sendiri. Kelompok pemberani penentang Orde Baru (Megawati, Gus Dur, Amien Rais dan Kelompok muda PRD, KAMMI dll) tidak lagi menjadi corong penting dalam proses reformasi, mereka terfragmentasi ke dalam sekat-sekat politik dan terjebak pada isu sempit. Sementara kelompok mapan yang didukung Golkar dan infrastrukturnya serta kelompok orang kaya baru malah muncul dengan cepat serta menguasai keadaan. Kelompok ini menguasai sektor : energi, keuangan dan industri. Kelompok ini pula yang dengan cepat sudah memasukkan generasi muda untuk siap dalam menggenggam dunia politik masa depan.

Aksi saling cakar kelompok reformis justru menguntungkan pihak yang dipandang netral dalam pertarungan cakar-cakaran tersebut. Susilo Bambang Yudhoyono, seorang Jenderal yang reputasi tempurnya hampir tidak ada, yang tidak menonjol di jaman Orde Baru dan sama sekali tidak memiliki peran besar dalam kasus-kasus penting selama masa akhir Orde Baru dibanding Jenderal-Jenderal lainnya macam Prabowo, Wiranto, Agum Gumelar, Sutiyoso, Hendroprijono atau Subagyo HS malah mencuat namanya berkat jasa Gus Dur dan Megawati yang memberi peran lebih luas pada SBY. Namun dibalik itu, SBY melihat peluang besar dia bisa ke puncak no.1, dia sadar aksi saling cakar pemimpin reformis justru merusak citra mereka. Amien Rais, Gus Dur, Megawati sudah rusak citranya. Untuk itu dia melakukan politik pencitraan di tahun 2004, dan politik ini sungguh berhasil. Awalnya Jusuf Kalla berhasil menekan SBY dengan bargain dukungan Golkar, dan JK memasukkan sekelompok pengusaha Kadin untuk memegang peran penting dalam dunia ekonomi. Namun aksi ini gagal setelah Jusuf Anwar gagal melakukan permasalahan-permasalahan di departemen keuangan lalu SBY mengusir semua orang JK di pos ekonomi dan menggantikan dengan sekelompok orang yang fanatik terhadap Ekonomi Pasar. Pengertian SBY dalam menstabilkan ekonomi adalah menyerahkan pada pasar seluruhnya, soal pelaku ekonomi lokal belum siap bertarung di pasar, itu adalah permasalahan hukum pasar dan pemerintah tidak akan mengganggu gerak modal yang bertarung di pasar.

Arus besar Liberalisme ini yang kemudian menjadi pilihan politik SBY. Hal ini kemudian sudah dibaca kelompok-kelompok mahasiswa 1974 dan 1978 yang sudah paham bahwa "Pembuat Bangkrut Indonesia" sesungguhnya bukan korupsi, bukan monopoli, dan bukan diktator karena hal itu adalah derivat, bangkrutnya Indonesia lebih di dorong pada : BETAPA BERKUASANYA MODAL ASING DI INDONESIA. hal inilah yang kemudian menjadikan turunan-turunan atas tindakan negatif para penguasa.

Liberalisasi juga mengubah orientasi mentalitas bangsa Indonesia. Di jaman Sukarno dan Sedikit di jaman Suharto rasa patriotisme masih begitu tinggi. Namun Liberalisme di Indonesia mencuci otaknya seakan kaum urban adalah bagian penting dunia Internasional, bagian dari kesejarahan konsumtif Amerika. Maka cara berbicara kita adalah Inggris, kita lebih bangga menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia, cara makan kita, cara barat. Cara hidup kita ala barat. Kita didoktrin untuk melakukan hidup dengan membeli barang-barang asing, kita tidak pernah diajarkan untuk bisa swadesi dan swasembada, kita tidak pernah diajarkan untuk menjadi diri kita sendiri, menggunakan barang kita sendiri, dan bangga menjadi bangsa Indonesia.

Proklamasi 1945 yang dibacakan di rumah Sukarno sangat sederhana, pelantikan Sukarno pada tanggal 18 Agustus 1945 diselesaikan oleh Sukarno dengan makan sate di pinggir jalan. Kemudian 60 tahun sudah kita berakhir hanya sebagai bangsa peniru. Kita kagum pada Obama bahkan mengindentifikasikan diri kita pada Obama, kita lupa bahwa antara Obama dan Indonesia ada beda sejarah, ada beda persoalan dan ada beda pemahaman. Lihatlah SBY yang dideklarasikan meniru Obama, kacung-kacung penelitinya yang berada dibawah bendera The Fox memuja Amerika dengan begitu hebat. Dia tidak sadar bahwa Indonesia adalah Indonesia, dia tidak sadar bahwa Indonesia memiliki kesejarahannya sendiri, memiliki persoalan-persoalannya sendiri dan persoalan terbesar di Indonesia adalah bagaimana mengakumulasi kekayaan kita sendiri. Neoliberalisme dan sikap Pak Turut SBY kepada Amerika Serikat serta Pasar Bebas adalah sikap politik yang berbahaya untuk masa depan. Sudah saatnya kita berpikir untuk menjadi diri kita sendiri, bertindak dengan cara kita sendiri, membangun karakter kita sendiri dan berbuat dengan cara kita sendiri. Seperti ucapan Hatta ketika melihat awal modal asing masuk di jaman Orde Baru "betapa lemahnya kita sekarang melindungi perdagangan dalam negeri kita, yang seharusnya berada dalam tangan bangsa Indonesia sendiri ...".

Hatta pula yang berkata di depan pengadilan Den Haag : "Hanya satu tanah yang dapat disebut tanah airku. Ia berkembang dengan amal , dan amal itu adalah amalku.” Ketika amal kita diperbudak asing, amal kita didikte atas kuasa modal asing, maka yang ada Indonesia tidak ditentukan oleh tangan orang Indonesia sendiri, melainkan tangan atas kuasa modal asing"

Percayalah satu-satunya yang bisa mengubah Indonesia adalah sikap kita, orientasi pikiran kita dan kesadaran sejarah kita, bahwa Indonesia adalah Indonesia yang memiliki persoalan-persoalannya sendiri, budayanya sendiri, kedaulatannya sendiri dan berhak atas kekayaannya sendiri. Dari sinilah mari kita berikhtiar untuk tidak lagi tergantung pada kuasa modal asing.

Puisi Binhad itu :

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan menutup sumur dan menguruk telaga
karena rakyat Indonesia minumnya Aqua dan Coca-Cola.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan membuka kedai KFC di mana-mana
karena rakyat Indonesia senang makanan gaya Amerika.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan menggusur pasar dan warung tradisional
karena rakyat Indonesia suka belanja di swalayan dan mal.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan memasok barang-barang dari luar negeri
karena rakyat Indonesia kurang mencintai produk pribumi.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan menghalau perusahaan sumbu kompor
karena rakyat Indonesia merasa lebih keren pakai gas elpiji.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan meruntuhkan gedung-gedung koperasi
karena rakyat Indonesia merasa bergengsi hutang ke bank.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan memborong tambang mineral dan gas bumi
karena rakyat Indonesia malas menggalinya sendiri.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan bikin pabrik dan merekrut buruh Indonesia
karena rakyat Indonesia terkenal sangat murah upahnya.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya tak akan menggunakan bahasa Indonesia
karena rakyat Indonesia lebih bangga berbahasa Eropa.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya tak akan menulis puisi tentang penindasan negara
karena rakyat Indonesia gemar puisi derai daun cemara.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan ambil ikan dan pulau di perbatasan Indonesia
karena rakyat Indonesia cuek pada wilayah kedaulatannya.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan mengganti nilai-nilai UUD ’45 dan Pancasila
karena rakyat Indonesia kayaknya tak lagi mengacuhkannya.

Andai saya bukan rakyat Indonesia
saya akan bersekongkol dengan para penguasa
karena rakyat Indonesia tak akan berani melawannya.

(Binhad Nurrohmat)

No comments: