Thursday, 24 September 2009

Budaya Barat dan Kita

Budaya Barat Dan Kita

Maraknya aksi-aksi pengganyangan, penolakan, counter culture terhadap budaya barat akhir-akhir ini semakin menguat, diiringi oleh kekuatan2 radikal kelompok Islam garis keras yang cenderung teks-literer dalam pemahaman agamanya.

Saya jadi berpikir kenapa kecenderungan untuk bersikap anti barat sangat kuat pada milenium ini, dimana menurut perkiraan banyak orang millenium ini sudah masuk ke dalam tahapan budaya informasi yang artinya ada pemahaman tersendiri tentang suatu perbedaan, karena hakikatnya perbedaan bisa dilihat sebagai sebuah kekayaan budaya apabila sudah ada hubungan komunikasi dan informasi yang sifatnya saling melengkapi.

Ini mungkin salah satu analisa saya saja, mengapa proses pembaratan (westernization) sangat kuat penolakannya dibanding 70 atau 100 tahun yang lalu. Ternyata adalah pembaratan dilihat sebagai sebuah proses budaya yang instan, yang dangkal, profan dan tidak menggunakan hati dalam proses berpikir dan berbudaya, dan ini dimotori oleh gaya hidup Amerika yang memang sangat pragmatis. Dahulu pembaratan lebih dipengaruhi oleh gaya-gaya Perancis, Inggris, Jerman atau Belanda. Dimana pemahaman terhadap budaya barat tidaklah setengah2 tetapi menyeluruh, saya masih ingat bagaimana kakek saya bisa empat bahasa (perancis, Jerman, Belanda dan Inggeris) ia berbicara dan membaca buku dalam banyak bahasa, sedangkan kita, generasi kita hanya mengenal bahasa Inggeris sebagai bahasa asing pertama, dan kenyataannya bahasa Inggeris hanya dilihat sebagai bentuk fashion ketimbang alat buat mencerdaskan daya pikir kita. Berapa banyak diantara kita yang membaca buku dalam bahasa Inggris, bahkan banyak dari kawan saya walaupun sudah bertahun2 sekolah di negara2 barat atau berkultur barat (USA, Australia, Kanada atau Eropa) bahasa Inggerisnya terbata-bata apalagi membaca literatur2 dari bahasa aslinya. Bahasa Inggris di degradasikan sebagai bahasa gengsi bukan bahas informatif, saya sering melihat selebritis kita berbicara dengan logat Inggeris yang tak fasih berbicara dengan huruf “T” tetapi “C” namun giliran di tanya bahasa inggeris yang lancar mereka terbata2.

Stigma pembaratan yang dangkal ini ditambah dengan stereotipe, bahwa budaya barat adalah budaya bebas, digambarkan bahwa pemuda barat adalah pemuda yang semau-maunya, bebas dari aturan. Tapi adakah yang pernah melihat ini secara utuh, bahwa yang dilihat disana sebagai kebebasan adalah bentuk dari penghargaan yang kuat dari mereka terhadap nilai-nilai individualisme, individualisme tidak bisa dicitrakan sebagai egoisitas, tetapi sebagai bentuk pembebasan manusia terhadap kebebasan berpikir dan bertindak karena disitulah inti dari sebuah penemuan eksistensi kemanusiaan. Dan jika manusia barat bebas dari aturan kenyataan yang kita lihat justru kehidupan mereka sangat teratur, peradaban mereka rapih, sistem yang mereka buat teratur secara sistematik. Sedangkan kita yang sedari kecil dididik dalam budaya timur yang katanya beragama, ber-etika, dan berbudaya tinggi, justru mendapatkan ketidakteraturan yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari, lihatlah bagaimana kacaunya sistem lalu lintas kita, hukum yang bisa dibayar, korupsi besar-besaran dan kecanduan narkoba dalam tingkat tinggi. Hal ini disebabkan bentuk-bentuk pengekangan yang kita dapatkan malah melahirkan sebuah kultur kemunafikan yang sangat luar biasa.

Di Indonesia Agama hanya dijadikan alat salah satu jalan untuk berkuasa, karena harus diakui, kelompok-kelompok dalam kekuatan politik harus memiliki identitas, kelompok nasionalis terpecah menjadi dua, kelompok Sukarnois dan kelompok warisan Suharto, kemudian Militer dan yang terakhir adalah agama, dulu komunis yang berakar pada perlawanan rakyat jelata juga menjadi kekuatan namun sudah dihabisi oleh kekuatan militer dibantu kelompok agama. Walaupun memang ada usaha2 pencerahan masyarakat dalam beragama yang bisa ditanggapi positif seperti: gaya A’a Gym, kelompok intelektualis Jaringan Islam Liberal ataupun kelompok modernis di tubuh Muhammadiyah dan NU, namun ada sebuah gejala kekuatan garis keras mewarnai jalannya dinamika pertarungan politik antara kelompok2 ini, fenomena FPI dan upaya2 penghancuran Ahmadiyah bisa dilihat sebagai sebuah sinyalemen awal kebangkitan kekuatan anti barat yang signifikan.

Tragisnya, bumper terpenting dalam pembaratan adalah intelektual-intelektual muda yang bersentuhan langsung dengan budaya barat (bersekolah disana), justru mereka terjebak pada pola-pola hedonis, maraknya budaya YUPPIEs (Young Urban Professional) dan budaya konsumtif malah memperkuat perspektif budaya barat yang menyimpang. Kelompok2 ini justru mengenal bersentuhan langsung dengan budaya barat tetapi mereka tidak mengambil intisari pemikiran barat tetapi hanya gaya hidupnya, karena dalam pikiran mereka “saya bisa ada karena materi” nah, sikap ini kemudian diikuti oleh lapisan kelas sub menengah yang tidak bersentuhan dengan barat, tidak pernah bersekolah di luar negeri dan tidak suka membaca literatur2, tetapi lebih cenderung mengikuti gaya hidup yang dangkal, dan mereka ini biasanya lapisan kelas yang bekerja di kantor dan memiliki gaji tetap, budaya konsumtif justru menjebak mereka kedalam lilitan hutang (kartu kredit, pinjaman bank utk mobil, rumah dsb), bukan menambah asset, dan menganggap kehidupan yang bergengsi adalah kehidupan yang hedonis bukan intelektualis. Nah disinilah yang justru dilihat kaum anti barat terhadap sebuah pembaratan, dan stereotipe itupun juga tidak sepenuhnya salah.

Sekarang bagaimana kita melihat barat dalam kesungguhan daya pikir kita????

No comments: