Tuesday, 9 September 2008

Rumah yang Kita Bangun di Masa Lalu



Rumah…

Rumah yang kita bangun di masa lalu
Adalah rumah kering air mata
Di muaranya kita reguk kebahagiaan
Di cintanya kita kenang pintu cinta

Rumah yang kita bangun di masa lalu
Adalah cerita masa depan
Impian-impian kita
Dan segala celotehnya

Rumah yang kita bangun di masa lalu
Akankah tetap tegar menjadi rangkaian kata yang bisa membentuk masa depan?

Mie Ayam Dalam Perspektif Sejarah

Mie Ayam Ala Glodok


Mie Ayam dan Sejarah Makanan Lokal
Oleh Anton Anticelli

Mie Ayam jenis makanan yang paling populer di Jakarta, begitu dipuja dan berskala massif penyebarannya, entahlah apa daerah lain di luar Jakarta juga memiliki sinyalemen yang sama. Mie ayam di Jakarta mudah ditemui dari komunitas kampung-kampung kumuh sampai dengan kampung nggak kumuh. Daerah belakang perkantoran sampai daerah jualan kambing, daerah yang banyak milih PKS -dan nyoblos SBY sampai daerah kantong PDI-P, semua pasti ada mie ayamnya. Pokoknya bila suatu daerah di Jakarta tidak ada yang jualan mie ayamnya, maka lurahnya perlu dipertanyakan apa dia punya dendam dulunya sama tukang mie ayam?

Jenis makanan ini keliatannya mudah meraciknya, tapi tunggu dulu, tidak sembarang orang berbakat meracik mie ayam. Saya punya teman waktu kuliah dulu penggila mie ayam. Wah, dia bukan maen maniaknya sama mie ayam. Saya pernah ke kamarnya, kayaknya dia itu sudah perlu di bawake psikiater soalnya poster-poster yang tertempel di dinding kamarnya puluhan gambar tukang mie ayam favoritnya dengan berbagai pose. Sayamenyebutnya gila tapi dia menyebut dirinya `absolusitas terhadap hobby'. Nah si A ini (saya beri inisial teman saya A padahal nama aslinya M, dipanggil K, kalo kenalan sama cewek pake inisial AW, nama panjangnya inisial KFC –ah udah!) saking hobinya sama mie ayam, dia memburu mie ayam-mie ayam terenak di Jakarta. Waktu di kampus hobinya nongkrong dekat si N tukang mie ayam paling populer di kampus gue dulu. Pas jam kuliah dia jarang masuk kelas tapi terus menerus berdiskusi dengan si N, dia menyusun wacana bumbu dan mulai mengait-ngaitkan bumbu dengan selera konsumen. Dia emang berbakat, cerdas, anak orang kaya, rajin shalat, jagoan lagi tidak sombong –sayang namanya bukan si Boy. Nah saking berbakatnya, dia sempat jadi asdos-nya tukang mie ayam. Setelah dinyatakan lulus dengan predikat summa cum laude sama di N tukang mie ayam berbakat itu, dia berusaha memburu lagi racikan bumbu terenak. Dia menyusuri wilayah Bintaro yang kabarnya itu gudangnya mie ayam basah dengan racikan dominan daun bawang, dia masuki wilayah Menteng yang mempelopori mie ayam pake kombinasi kecap dan nyaris tanpa kuah dengan sebutan Mie Yamin. Nama Yamin sendiri diambil dari nama seorang preman kejam dan brutal yang sering malak tukang mie ayam di seputaran Menteng, setelah si Yamin dikasih mie ayam kering berkecap itu dia tidak minta uang lagi sama tukang mie ayam tapi minta tiap siang disediakan dua mangkuk mie ayam kering kecap dan dia janji bertobat (kisah "Si Yamin-Bertobat-Kalo-Dikasih-Mie Ayam' ini akan disinetronkan oleh `Rahasia Illahi' -tunggu tanggal mainnya!). Rumornya lagi ada pedagang Mie Ayam yang pake trik belagak blo'on kalo dipalak sama si Yamin, nah Mie Ayam yang pedagangnya belagak blo'on ini kemudian hari dikenal sebagai Mie Blo'on atau Mie O’on yang adanya di deket Theresia, Menteng.

Teman saya ini juga nyusurin lorong-lorong di Petak Sembilan, Glodok, Tamansari, Hayam Wuruk sampai seputaran jalan Mangga Dua, Sao Besar (Sawah Besar), Kebon Jeruk, Pasar Baru sampai perempatan Gunung Sahari. Di seputar wilayah Kota lama dia menemukan ciri khas mie ayam asli. Mie ayam yang asli memang bawaan dari Cina Selatan terutama dari daerah-daerah pelabuhan di Fujian dan Guandong. Setelah gerakan besar imigrasi orang-orang Arab dan Cina tahun 1870 ke Jawa karena politik keterbukaan imigran Pemerintahan Hindia Belanda, berkembanglah dengan pesat kantong-kantong pemukiman penduduk timur asing yang kalo orang kumpeni bilang `Vreemde Oosterlingen'. Meledaknya peningkatan penduduk dari Cina Selatan ini menambah preferensi selera makan karena mereka juga membawa ilmu gastronomi. Apalagi dalam budayacina peranakan terkenal dengan budaya menikmati hidup, artinya `Lukalo makan jangan tanggung-tanggung yang banyak dan enak sekalian' –bagi kaum peranakan cina kerja habis-habisan harus diganti denganmakan enak dan hidup nyaman. Nah, dari filosofi hidup makan enak lahirlah mie ayam ini. Terciptanya mie ayam dengan rasa khas ini tak terlepas dari gerakan besar masakan `caudo' (lidah melayu menyebutnya 'soto'). `Caudo' melanda nusantara terutama di pesisir Jawa setelah habisnya perang Diponegoro 1825-1830. Awalnya `caudo' dikenal di Lamongan dan Kudus. Nah, jenis caudo ini bening karena mengambil filsafat `wening ingati' atau beningnya hati. Tapi lama kelamaan kuah soto Kudus dan Soto Lamongan tidak sebening di awalnya karena dapat ketambahan bumbu-bumbu (terutama `poya' terbuat dari udang tumbuk seperti ebi). Nah, gerakan soto Kudus dan Lamongan pada tahun 1932 jaman pemogokan buruh kereta api di Surabaya masuk ke beberapa kampung di Surabaya seperti Gundih, Darmo, Waru, Ambengan, dll. Dari situ lahirlah soto Waru, soto Sulung, soto Ambengan, dan yang paling fenomenal adalah `Soto Madura'. Soto Madura pada awalnya diracik oleh peranakan Cina Surabaya, namun karena pembantu masaknya orang Madura dan pembantu itu kemudian lepas darimajikannya lalu mempopulerkan masakan itu, lucunya di kemudian hari jarang yang bikin soto madura itu orang madura asli. Kalo anda mampir makan di soto-soto madura pinggir jalan kebanyakan yang dagang berasal dari Jawa Timur, bukan Madura. Malah juga banyak dari Solo atau Semarang. Setelah era soto di tahun 1880 pada suatu perayaan capgomeh di Semarang, Kong Koan (perkumpulan elite peranakan) mengundang ahli masak masakan cina untuk berlomba. Nah bahan dasar yang digunakan itu mian (mie) berbahan dasar tepung terigu dan tepung beras, mifen (bihun), mian xian (misoa), lumian (lomi), guotiao (kwetiau), juga dipake ravioli alias bianshi yang kalo lidah melayu bilang Pangsit. Selain bahan berbasis tepung beras lomba itu juga menyajikan perlombaan memasak jenis-jenis tim sum (dim sum) seperti ruo bao (bapao), ruo zong (bacang), nunbing (lumpia). Saat itu hasil perlombaan berlangsung yang memenangkan lomba untuk kategori bahan dasar terigu dan tepung beras adalah peranakan dari Batavia dan pemenang kategori Tim Sum adalah seorang ibu peranakan cina dari Bandung. Inilah kenapa sebabnya makanan untuk kategori bahan dasar tepung terigu dan beras kelak di kemudian hari dikuasai oleh Jakarta dan Tim Sum yang kemudian melahirkan jenis masakan fenomenal bernama Siomay dikuasai Urang Bandung. Nggak ada yang ngalahin deh rasanya siomay ikan tenggiri Bandung, tapi jangan bandingin mie ayam bandung dengan mie ayam Jakarta... Nyaho deh kalo menang Bandung, nggak mungkin getu looh!. Nah, setelah keberhasilan Kong Koan meletakkan dasar-dasar makanan enak, kemudian jaringan makanan enak berkembang pesat tidak lagi dijalankan dengan sistem tradisional yang berupa gendongan/pikulan di pasar-pasar.

Modernisasi masakan Cina ini pada awalnya dilawan dengan gerakan masakan gaya Arab. Pusat makanan bergaya Arab ini ada di Solo dan Semarang, tapi yang paling terkenal di Solo makanan yang sampai sekarang masih kita nikmatin sisa-sisa kejayaan makanan arab dan merakyat adalah Tongseng dan Gulai Kambing. Jago-jago masak tongseng dan gulai kambing ini sendiri bukan keturunan Arab tapi orang-orang Jawa asli dan mereka kebanyakan dari wilayah Karanggede utara Solo dekat Boyolali. Kejayaan masakan khas Arab pernah dirasakan juga di Jakarta pusatnya ada di wilayah elite Cikini dekat rumah Raden Saleh. Sampai sekarang sisa-sisa itu masih ada. Kalo anda berjalan di sekitar jalan Raden Saleh, banyak makanan khas Arab bertebaran di sana dan resto-nya udah tua-tua. Gerakan masakan Arab yang mundur di tahun 1950-an kemudian digantikan oleh persebaran baru jenis Masakan Padang.

Masakan Padang awalnya berdiri di Senen tahun 1950-an. Wilayah Pasar Senen dulu banyak dihuni pedagang-pedagang dari Minang, dari copet sampe tukang emas semuanya orang minang. Nah karena orang Minang ini pintar-pintar dan tidak hanya berbakat jadi pedagang tok, mereka juga pandai bersastra dan juga sering maen film. Maka terbentuklah komunitas gelandangan Senen, ini bukan gelandangan sembarang gelandangan tapi lebih kepada komunitas seniman. Tokoh seniman dari Minang yang terkenal dan gemar kongkow sambil kadang-kadang jadi tukang catut banyak banget, sebut aja Chairil Anwar, Djamalludin Malik, Sukarno M Noor (Bapaknya Rano Karno), Adam Malik, kadang-kadang Tan Malaka juga datang ke Senen secara incognito karena diburu-buru intelijen Hindia Belanda. Nah, di tahun 1950-an para gelandangan rata-rata udah jadi orang; Adam Malik udah jadi dubes Moskow (jaman Orde Baru dia sempat jadi Wapres), Chairil Anwar udah jadi legenda sastra – dia wafat sekitar tahun 1949 dan dimakamkan di pekuburan Karet, Djamalludin Malik udah jadi produser film besar -nama perusahaannya Persari dan mimpin organisasi budaya muslim 'Lesbumi'. Ketika seniman udah banyak yang jadi orang, tukang-tukang masak Padang juga mulai memperkuat dagangan. Awalnya konglomerasi `Salero Bagindo' dibangun di seputaran Senen, trus hampir seluruh wilayah Jakarta Pusat pada tahun 1970-1980 dikuasai jaringan Salero Bagindo. Di saat meledaknya jaringan Salero Bagindo bermuncullah pedagang-pedagang nasi Padang kesohor, baik dari Pariaman yang mempopulerkan sate padang maupun dari Solok yang terkenal ayam bakar dan bareh solok, bareh tanamo. Nama-nama seperti : Singgalang, Goyang Lidah, Ratu Bundo , Simpang Tigo (-eh sorry itu bukan masakan Padang tapi tukang cukur di Mampang), Sari Ratu, Rajo Salero, berkecambah dimana-mana ditambah popularitas ayam pop keluaran Medan menambah referensi masakan Padang. Kini jenis masakan lokal yang memiliki jaringan kuat di Indonesia hanya ada dua; jenis masakan Padang dan jenis masakan Cina.

Nah kembali lagi ke masakan Cina tadi yang berkaitan dengan Mie Ayam dan nasib teman saya itu. Setelah `ngluruk' kemana-mana barulah dia memulai karirnya sebagai pemilik resto Mie Ayam. Dia mencoba membangun jaringan Mie Ayam dengan semangat gaya Om Liem. Awalnya dia langsung buka tiga resto -maklumlah permodalannya kuat, dia kan anak orang kaya, tapi bangkrut semua, pertanyaannya kenapa? Sebabnya ya itu tadi, walaupun ia sudah memiliki segudang ilmu tentang mie ayam, tapi ia tidak paham selera pasar. Jangan salah, tiap daerah di Jakarta punya ciri khasnya. Inilah kenapa mie ayam-mie ayam lokal mampu unggul sementara selera universal mie ayam dikuasai metodologi bumbu dari resto `GM' dan resto `Es Teler 77'. Menurut saya yang raja sok tau ini, mie ayam di wilayah selatan beda dengan mie ayam di pusat. Mie ayam di pusat lebih dikuasai gaya padat bumbu dan kuahnya condong berwarna hitam ini karena pengaruh penggunaan lada hitam dan bumbu kecap cina yang kental, sementara wilayah selatan kecap bumbunya agak keemasan dan tidak diberi lada yang banyak tapi cukup bumbu vetsin dan garam serta rasa kuah daun bawang yang kerasa banget, dan inilah kenapa mie ayam di selatan Jakarta agak lebih bening. Sementara di perbatasan antara pusat-selatan sendiri yaitu wilayah Menteng, mie ayam-nya merupakan gabungan antara selera selatan dan pusat, jadilah mie ayam khas kecap kering ala Yamin. Temen saya rupanya mau pake ide baru eh malah ketemu mie ayam gaya Pasar Legi Solo. Saya pernah sekolah di Solo jadi sering makan mie ayam sana tapi masya Allah, gak enak banget buat lidah Jakarta! Kagak ada pedes-pedesnya dan malah kerasa hambar. Dulu antara tahun 1981-1984 di daerah Mampang-Buncit banyak berkeliaran gerobak dagangan mie ayam, warna gerobak itu biru muda, seluruhnya terbuat dari kayu dan berbentuk sangat besar. Gaya masakan mereka mie ayam agak bening dan ada kerupuk mie ayam/kerupuk pangsit-nya enak banget, harganya waktu itu di tahun 1983 berkisar antara Rp.300,- sampe Rp.350,-. Kita bisa ngambil kerupuk seenaknya dan sebanyak-banyaknya (saya bahkan sering nimpe panci yang isinya potongan ayam, tapi setelah tau tukang mie ayamnya yang dulu jagoan pasar, jadi jarang lagi nimpe). Mie ayam buncit yang enak ini kayaknya sekarang udah nggak ada lagi. Saya pernah nyari-nyari di sekitar Buncit-Mampang tapi nggak ada yang seenak mie ayam khas tahun 80-an, dulu juga ada di Buncit Empat pas depan jalan (perempatan dengan jalan raya Buncit) ada mie ayam enak banget nah dia itu yang mempopulerkan mie ayam rasa daun bawang yang racikannya sangat berpengaruh di Bintaro dan Indomie sempat bikin racikan seperti ini. Tapi tukang mie ayam itu udah nggak ada lagi, cuman bagusnya sisa-sisa mie ayam selera Mampang-Buncit masih ada dan berupa kios kecil, tempatnya di pertigaan Buncit-Duren Tiga. Dulu lokasinya depan jalan masuk Pomad dekat apotik Mataram, nah namanya `Bakmi Ayam Mataram'. Ini mie ayam enak banget dan pewaris selera mie ayam Buncit-Mampang.

Lalu bagaimana kisah teman saya tadi yang berambisi jadi pemilik resto mie ayam?

Setelah resto mie ayamnya bangkrut ia kini belajar masak sama tukang ketoprak. Ia berambisi memiliki jaringan makanan ketoprak itung-itung ngalahin ketoprak di Jalan Ciragil kebayoran yang mahalnya nggak ketulungan!

ANTON ANTICELLI

Ketua Yayasan Inmaksi (Ikatan Nebeng Makan Siang)

Dari Pojok Sejarah

dikutip Dari Mesias (Masjarakat Indonesia Sadar Sedjarah).


Douwes Dekker Tetap Republikein

Dokter Douwes Dekker yang punya nama Indonesia Setiabudi Danudirja dimasukkan penjara Wirogunan, Yogyakarta. Lagi-lagi Vosveld yang kejam bertindak sebagai interogator di atas jip yang membawa mereka menuju penjara. Interogasi penuh sumpah serapah itu ditanggapi dengan tenang oleh Setiabudi dengan mengatakan, selama PD II ia ada di kamp interniran di Amerika Selatan. Karena kesetiaannya kepada Republik, Bung Karno mengiriminya ucapan selamat pada ulang tahunnya yang ke-70.


Bung Karno Kutu Buku

Semasa diasingkan ke Bengkulu, Bung Karno adalah kolektor buku ilmiah terbesar di sana. Hooijkas Jr., anak Residen Bengkulu, kagum akan koleksi mutakhir buku-buku ilmiah berbagai bidang. Ia betah duduk berjam-jam di perpustakaan itu. Ia bertanya, mengapa BK serius belajar. Jawab Bung Karno, "Orang muda, saya harus belajar giat sekali. Insya Allah, saya akan menjadi presiden negeri ini." Kala itu kisah ini menjadi bahan ejekan orang Belanda di Bengkulu. Tapi belakangan mereka terkejut, cita-cita Bung Besar tercapai.


Bung Hatta, Mahatma Gandhi IndonesiaTahun 1933

Bung Hatta ke Jepang menyertai pamannya, Mak Etek Ayub Rais, sebagai penasihat bidang niaga. Kedatangan yang juga disertai mitra bisnis Jepang bernama Ando itu tercium pers Jepang. Wartawan menyambut Bung Hatta dengan sebutan "Gandhi dari Indonesia". Di Tokyo Bung Hatta diundang wakil ketua parlemen Jepang. Pihak Jepang mengundang Bung Hatta berkunjung ke Manchuria, tapi secara halus ia menolak. Bung Hatta tidak suka baik militerisme Jepang maupun imperialisme Belanda. Beberapa orang kuat membujuk, termasuk Menteri Pertahanan Jenderal Araki. Menurut Araki, kalau Bung Hatta bersedia, kapal Johore Maru siap berangkat dari Kobe. Bung Hatta tetap menolak, gagal totallah keinginan Jepang untuk memperalat Bung Hatta.

Bung Sjahrir yang Cerdas dan Lihai

Salah seorang pemimpin bawah tanah di zaman pendudukan Jepang yang berani mendengarkan siaran radio Sekutu adalah Sutan Sjahrir. Padahal, nyawa bisa jadi taruhan karena ada larangan keras mendengarkan siaran radio. Dalam lemari di kamarnya tersimpan radio yang memantau berita kemenangan Sekutu, termasuk penyerahan Jepang. Berita itu biasanya diteruskan Sjahrir kepada Bung Hatta. Suatu ketika Sjahrir dan anak-anak angkatnya pergi ke Cipanas untuk menyimpan radio di rumah iparnya, karena ia mendapat radio pengganti. Beberapa bulan kemudian si Oom, panggilan anak-anak angkat kepada Sjahrir, bermaksud mengambil radio yang dititipkan pada iparnya. Tetapi ia amat kecewa karena radionya rusak. Rupanya, karena takut tertangkap, si ipar menyembunyikannya dalam tanah alias ditanam.

Sam Ratulangi, Tokoh Ilmu Pengetahuan Alam Indonesia

Ia dikenal amat cerdas dan lulusan pendidikan tinggi di universitas bergengsi di Zurich yang menghasilkan pemenang hadiah Nobel seperti Einstein, Max Plank, dan suami-istri Curie. Sam meraih gelar doktor di usia masih sangat muda, 28 tahun. Ia pernah bekerja pada dinas kereta api S.S. di zaman kolonial, tetapi karena sering tidak cocok dengan atasannya yang berpendidikan lebih rendah, ia keluar. Ia pernah menjadi anggota Volksraad, dan bersama-sama Thamrin mempecundangi kebijakan politik kolonial Belanda. Ia juga mendirikan majalah berbahasa Belanda Nationale Commentaren yang berisi artikel karya tokoh nasional, di antaranya Bung Hatta.


Ainsyah Yahya, Orator Ulung Ranah Minang

Gadis ini tampil saat para pemuda mengadakan rapat untuk mendirikan Jong Sumatranen Bond di Padang. Dalam pidatonya Ainsyah menanyakan, kapan mereka akan punya tokoh seperti Kartini. Di akhir pidato ia mengatakan, pemuda Sumatra harus bekerja keras melaksanakan cita-cita Jong Sumatranen Bond, dan para perempuan harus mengambil peran mengikuti jejak Kartini dalam memajukan kaumnya. Hadirin pun bertepuk tangan meriah.

Hamid Algadri dan Transpor Tawanan Tengah Malam

Hamid Algadri bukanlah Sultan Hamid, tetapi tokoh keturunan Arab yang berjasa besar dan pada 1978 ditetapkan pemerintah sebagai perintis kemerdekaan. Ia ditangkap bersama para pembesar Republik saat Agresi Militer II di Yogyakarta (1949), dan dimasukkan ke Penjara Wirogunan. Tengah malam para tahanan politik diberi tahu, mereka akan ditranspor alias dihabisi di tengah jalan. Namun yang dipanggil hanya seorang, yakni Hamid Algadri. Hamid menghadap Kapten Vosveld, kepala intel yang terkenal ganas, yang saat itu agak mabok. Hamid didesak mengajukan permintaan terakhir. Ternyata ia meminta koran bekas yang sudah dibaca serdadu penjaga penjara. Jawaban itu tidak memuaskan Vosveld, tapi dengan cerdik dan sopan Hamid berhasil melunakkan hati Pak Kapten. "Saya lihat Kapten Vosveld sangat letih. Lebih baik acara kita dilanjutkan besok pagi saja," katanya. Maka bebaslah ia dari ancaman maut. Orang-orang yang berjasa menolong Hamid dalam perjuangan antara lain George M.T. Kahin yang sedang mempersiapkan disertasi tentang perjuangan rakyat Indonesia, dan seorang Indo-Belanda yang dijuluki Buck, yang pernah ditolong keluarga Algadri hingga lepas dari cengkeraman Kenpeitai Jepang.

Kartini Kecil yang Usil

Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi perempuan, putri Bupati Jepara, waktu kecilnya seperti anak-anak lainnya: nakal, nakalnya anak-anak. Ia menggoda Bu Sosro, pengasuh anak-anak, yang berwatak keras, dengan membubuhkan merica di lumpang kinangnya. Akibatnya, Bu Sosro megap-megap kepanasan. Kartini pun dimarahi ayahnya.

Dr. Cipto Mangunkusumo sang Penantang Bahaya

Di Solo dr. Cipto dikenal sebagai dokter berbendi atau biasa naik bendi. Suatu petang di depan alun-alun keraton yang ramai, ia memacu kereta buggy atau bendi dengan kencang. Esoknya ia dipanggil polisi. Tapi ia bebas dari tuduhan karena tidak mengenakan selop maupun topi waktu mengendarai bendi. Istrinya seorang Belanda vegetarian dan pandai memasak. Bung Hatta punya kenangan betapa lezatnya masakan Bu Cip, terutama gudegnya. Pasangan Pak dan Bu Cip punya anak angkat perempuan yang dipungut setelah orang tua si anak meninggal akibat penyakit menular pes di Malang. Anak itu diberi nama Pesyati.

H. Agus Salim dan Pangeran Muda Inggris

Ketika Putri Elizabeth dinobatkan menjadi Ratu Inggris menggantikan ayahandanya yang mangkat, pemerintah RI mengutus Haji Agus Salim dan Sri Pakualam VIII. Pangeran Philip yang masih muda tampak canggung menghadapi para tamu yang kebanyakan lebih tua. Menyadari situasi itu, H. Agus Salim, sang diplomat yang menguasai delapan bahasa asing, mendekati Pangeran Philip seraya mengayun-ayunkan rokok kretek. "Apakah Paduka mengenal bau rokok ini?" ia bertanya. Pangeran Philip menjawab ragu. Ia tak mengenal aroma rokok itu. Sambil tersenyum H. Agus Salim berkata, "Inilah yang menyebabkan bangsa Paduka beramai-ramai mendatangi negeri saya." Sang Pangeran tertawa, suasana pun menjadi cair. Ia jadi bergerak luwes menghadapi para tamu.


M. Hoesni Thamrin, Dikagumi Teman, Disegani Lawan

Putra Jakarta ini anggota Volksraad, jago pidato yang dikagumi teman dan disegani lawan. Ketika debat di Volksraad mengenai anggaran belanja Hindia Belanda tahun 1940, Thamrin berani menuduh pemerintah kolonial secara culas mengambil kedudukan istimewa. Pemerintah tidak tunduk pada rakyat, tapi rakyat dipaksa tunduk pada pemerintah jajahan. Drossaers yang mewakili pemerintah jajahan menolak usaha ke arah Indonesia merdeka. Rupanya ia "kuwalat". Setelah Jepang menduduki Indonesia dan Drossaers pulang ke negerinya setelah perang usai, ia dipecat dari kedudukannya selaku direktur Binnenland Bestuur. Thamrin meninggal setelah ditahan polisi selama lima hari, yang menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik. Deretan pengantar jenazahnya menuju pemakaman sangat panjang.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang Dermawan

Sri Sultan HB IX adalah raja yang tak hanya dicintai rakyat DIY, tetapi juga oleh rakyat Indonesia. Saat Agresi Militer II (1949), Sultan memberi bantuan dari pundi-pundi pribadinya. Mata uang Belanda yang seharusnya dimusnahkan, disimpannya sebagai kas kasultanan. Itulah yang secara diam-diam dibagikan pada para pegawai pusat maupun daerah. Istri para petinggi yang suaminya ditahan pun mendapat bagian, antara lain Ny. Fatmawati dan Ny. Rahmi Hatta. Ibu Hatta masih menyimpan kenang-kenangan beberapa rupiah logam perak pemberian Sultan yang demokratis itu. Mungkin kedermawanan itu dapat ditiru para petinggi yang kaya raya di masa kini.

Mr. Wilopo dan Mikrofon Proklamasi

Wilopo yang bergelar Meester in de Rechten, jarang memakai gelar kesarjanaannya. Ia pun terkenal sederhana, jujur, dan teliti. Ketelitiannya muncul ketika Proklamasi Kemerdekaan akan dikumandangkan. Bersama seorang teman ia pergi ke toko radio di Gang Tengah, Jakarta Pusat, sebelum pukul 08.00, untuk meminjam mikrofon. Waktu itu mikrofon termasuk langka, untunglah pemilik toko yang bernama Gunawan mengizinkan. Bahkan ia juga meminjamkan perlengkapan lain dan mengutus anggota keluarganya untuk memasang perangkat itu. Saat Wilopo menjabat Perdana Menteri dan Soemitro Djojohadikusumo menjabat Menteri Keuangan, keduanya memberlakukan kebijakan agar dalam sidang kabinet tidak disediakan makanan guna menghemat pengeluaran negara. Peserta sidang harus membeli dan membayar sendiri makanannya. Alangkah bagusnya kalau keteladanan itu ditiru. Termasuk kebiasaan Ny. Wilopo yang selalu naik becak bila berbelanja. Adakah istri tokoh pemerintahan sekarang yang sesederhana dia?

Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Ide tentang Pendidikan

Dokter Wahidin, penggagas perkumpulan Budi Utomo, ingin mengentas bangsa Indonesia dari keterbelakangan dan kemelaratan melalui pendidikan. Di samping itu, kesadaran nasional adalah sesuatu yang wajib. Kepada sahabatnya ia berkata, "Apabila bangsa kita meludah bersama-sama, akan menenggelamkan semua penjajah Belanda di negeri kita."

Ki Hajar Dewantoro dan Kritik yang Menggegerkan PenjajahTahun 1913

Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantoro dengan tajam menyerang Belanda melalui tulisan "Als Ik Nederlander was" yang dimuat di De Express. Dalam tulisan yang dimaksudkan bagi peringatan seabad Nederland merdeka itu Ki Hajar berandai-andai, misalnya dia orang Belanda, dia akan memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahannya. Tulisan itu menggegerkan Belanda. Di dalam negeri, gayung pun bersambut. Komite Bumiputera yang dibentuk kaum terpelajar Indonesia minta kepada Ratu Belanda untuk selekas mungkin merealisasikan "Indisch Parlement" di Hindia, nama Indonesia waktu dijajah Belanda. Akibatnya, Ki Hajar harus menghadap Parket (Kejaksaan) Belanda dan menempuh segala risiko.

Dr Soetomo, Lemah-lembut, Cerdas, dan Menghargai Sesama

Pendiri Budi Utomo ini amat dihormati rakyat di zamannya. Dalam bergaul ia tak memandang derajat seseorang. Ia juga sangat cerdas, karenanya diangkat sebagai penguji di Sekolah Kedokteran Tinggi, setara dengan dokter-dokter penguji bangsa Belanda. Istrinya yang keturunan Belanda sangat setia mendampingi. Ketika ada yang mengusulkan agar memohon kembali status persamaan (gelijkgesteld), Ny. Soetomo menolak. Ia tetap ingin mendampingi suaminya dalam suka dan duka bersama rakyat Indonesia yang dicintainya.

Mr. Tan Po Goan Ogah Bersumpah Setia Kepada Ratu Belanda

Saat Aksi Militer I (1947), Menteri Negara Tan Po Goan sedang dirawat di RS Cipto Mangunkusumo setelah kendaraannya menabrak truk militer Belanda. Sekeluar dari rumah sakit ia segera mencari pekerjaan. Tapi tak mau menjadi advokat karena harus mengucapkan sumpah setia kepada Ratu Belanda. Akhirnya, ia menjadi wiraswastawan dengan memiliki dua truk angkutan. Truknya menyusuri trayek Tegal - Purwokerto untuk mengangkut garam dan kemenyan, lalu sekembalinya membawa gula jawa. Dari Jakarta - Bandung membawa muatan, diteruskan ke Cirebon membawa muatan lain, selanjutnya ke Tegal dan Purwokerto. Konon jalur paling berbahaya ialah antara Cirebon dan Bandung di Desa Prapatan. Anehnya, ia dan dua truknya tidak pernah diganggu, padahal konvoi dengan kawalan panzer sering diberondong hingga jatuh korban jiwa.

Goenawan Mohammad Tentang Pram....

Pramoedya saat mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun 1999
Catatan Pinggir Goenawan Mohammad

P R A M

Pramudya Ananta Toer, berbaju hitam, berdiri tegak di depan kere bambu yang merindangi sebuah beranda: foto karya Harvey Dangla ini, yang pernah dipamerkan di Galeri Seni Rupa Gambir, Jakarta, di tahun 1994, menangkap momen sang novelis yang paling kena. Ada kekuatan di sana, ada sesuatu yang keras, mungkin juga angkuh, di paras dan posisi itu. Dangla, sang fotograf Prancis, tidak menampilkan seorang tua yang sudah bungkuk dalam umur 70 tahun. Ia menampilkan seorang penantang abadi. Pram memang seorang penantang abadi --atau ia telah dibuat demikian oleh sejumlah orang dalam sederet zaman. Dalam buku A. Teeuw yang mengagu- minya, _Modern Indonesia Literature_, kita bisa baca riwayat hidupnya yang seakan-akan bagian dari sejarah pembebasan politik Indonesia. Pram lahir 6 Februari 1925 di Blora, di Jawa Tengah Utara. Ayahnya seorang guru yang tadinya bekerja untuk sekolah dasar pemerintah, HIS, di Rembang, tapi kemudian menjadi kepala sekolah milik pergerakan Budi Utomo di Blora, setelah ia kawin dengan putri seorang penghulu. Pram anak sulung. Gaji guru Budi Utomo sangat kecil, dan sang ibu harus menambah penghasilan dalam kesulitan hidup itu dengan bekerja di sawah atau di pekarangan rumah. Di sekolah bapaknya, Pram bukan anak yang paling pandai, dan ini mengecewakan si bapak yang keras hati itu. ada cerita bahwa ketika Pram selesai dan ingin melanjutkan belajar di sekolah menengah, ayahnya menyuruhnya kembali ke sekolah dasar. Marah, menangis, toh ia harus patuh. Hubungan ayah-anak pun tegang, suatu keadaan yang bisa nampak pula dalam tulisan-tulisan Pram kemudian. Si bapak, seorang nasionalis, kemudian jadi kecewa oleh keadaan pergerakan. ia jadi seorang penjudi yang tangguh, seperti tergambar dalam novel _Bukan Pasar Malam_, ketika pengarang pulang ke Blora untuk pemakaman ayah yang tak membahagiakan anak-anaknya itu. Di tahun 1940-an Pramudya ikut dengan tentara Republik dalam gerilya melawan pasukan Belanda. Di tahun 1947 ia dipenjarakan di Bukit Duri. Ia menulis _Kranji-Kranji Jatuh_, dan _Keluarga Gerilya_ dan dengan segera mengalami benturan pertama antara sastra yang ditulisnya dan kekuasaan. Yang pertama diterbitkan oleh the _Voice of Free Indonesia_ di Jakarta di tahun 1947. Penerbitnya digrebeg pasukan Belanda, dan tiga perempat dari catatan-nya untuk prosa tentang gerilya ini disita Nefis, tak pernah kembali. _Keluarga Gerilya_ ditulis di bui Bukit Duri. Kemudian ia bebas. Republik berdiri dan lepas dari kemungkinan dijajah kembali, meskipun tak berarti lepas dari sengketa, kekerasan, penindasan, kali ini antara orang-orang Republik dan orang-orang Republik --sebuah kepedihan yang nampaknya sulit dielakkan dalam sejarah nasionalisme Dunia Ketiga. Kemudian Indonesia memasuki suatu masa baru. Saya masih sangat muda waktu itu, dan tak tahu persis apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Tapi ketika saya pindah ke Jakarta untuk jadi seorang mahasiswa (dan kemudian penulis), segera saya merasakan suasana yang kian kehilangan kesempatan untuk perdebatan ide-ide: iklim jadi kurang toleran, kekuasaan kian represif. Di tahun 1958 Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang, dan militer memegang posisi yang kian menonjol dalam mengatur kehidupan masyarakat. Sejumlah koran dibredel, majalah dipaksa berubah atau mati, sejumlah partai dan organisasi dibubarkan, dan sejumlah pemimpin, termasuk dua bekas perdana menteri, dimasukkan rumah tahanan. Sistem politik diubah drastis: Presiden Soekarno memperkenalkan sistem _Demokrasi Terpimpin_. Pekik besar Revolusi diserukan, dan semua orang harus ikut, semuanya harus berdiri siap, setia, seia, semuanya harus berbaris di belakang sang _Pemimpim Besar Revolusi_, yang tak lain adalah sang Presiden sendiri. Orang seperti Bung Hatta masygul menyaksikan semua ini dan menulis sebuah risalah ringkas, _Demokrasi Kita_ -- yang kemudian tak bisa disebar- luaskan secara terbuka. Tetapi ada mereka yang yakin bahwa perubahan yang besar dan berarti sedang terjadi, ke arah yang lebih baik, dan sebab itu tindakan yang keras diperlukan. Orang mulai hidup dalam gairah, tapi juga rasa tegang, yang juga rasa cemas. Semacam demam berkecamuk. Pramudya (dan tentunya juga yang lain-lain) berada di tengah semua itu. Di tahun 1960 ia menerbitkan seubah esei panjang yang dibentuk dalam sebuah buku, _Hoakiau di Indonesia_. Tak lama kemudian, buku itu --semacam pembelaan buat orang Indonesia keturuan Tionghoa, suatu pendirian yang bertentangan dengan banyak orang dan terutama dengan aparat yang berkuasa-- dilarang. Di tahun 1960 itu ai dipenjarakan. Saya, dalam umur 19 tahun, tak mendengar banyak tentang nasibnya saat itu. Saya tak tahu siapa yang mengutuknya dan siapa yang membelanya hingga ia, tak lama kemudian, dibebaskan. Bagi saya yang baru muncul dari sebuah SMA di Jawa Tengah, Pramudya adalah seorang novelis dan penulis prosa yang memukau. Saya baru mendengar tentang sisi lain dirinya setelah ia memimpim lembaga kebudayaan Lentera di harian pagi _Bintang Timur_. Saya kaget membaca pendapat- pendapatnya. Hampir semuanya terasa tajam, dan menghantam. Adakah yang tarasa pahit di sana adalah cerminan kegeraman eksisten- sial, atau suatu protes sosial: marah kepada hidup yang hanya kadang-kadang memberi momen yang ringkas untuk bahagia? Atau marah kepada satu kalangan yang enak, yang pintar omong Belanda dan Inggris dan tinggal di daerah kelas satu dan fasih bicara soal rakyat yang tak dikenalnya sendiri? Ia menyerang beberapa karya yang dimuat di majalah _Sastra_ sebagai _reaksioner_, sebuah tuduhan yang serius masa itu, sebab itu berarti anti- revolusi. Ia menuduh mereka sebagai tulisan yang _tidak berpihak pada the prespiring and toiling masses_. Ia misalnya menyerang Takdir Alisjahbana (yang waktu itu, sebagai intelektual yang dianggap pro-Barat dan dekat dengan sebuah partai yang sudah dilarang, PSI, terpaksa meninggalkan Indonesia untuk tinggal di luar negeri) dengan tonjokan yang keras. Ia menilai Takdir _berhasil mengeruk keuntungan berlimpah sampai dapat mening- katkan jumlah milyuner nasional dengan dirinya sendiri_. Ia mengecam keras penulis yang sikap politiknya tak jelas. Yang semacam ini, tulis Pram, harus _dibabat_, dan _tidak perlu diberikan luang sekecil-kecilnyapun_. Ia nampaknya sepenuhnya cocok dengan suara parau masa itu: nada konfrontasi, kewaspadaan, dan pada akhirnya, represi. Orang-orang yang kena serang pun marah, gentar, takut. Tuduhan _kontrarevolusioneri atau ireaksioner_ memojokkan siapa saja. Bahkan sebuah grup penyanyi pop, Kus Plus, yang menyanyi dengan gaya Barat seperti Everly Brothers, masuk penjara. Dalam keadaan terdesak, oran gpun mencoba membela diri. Dari polemik di tahun 1960-an itu nampak, bagaimana lawan-lawan Pramudya telah tersudut: para penulis di Majalah Sastra yang dipimpin H.B. Jassin itu juga mengguna- kan idiom dan leksikon yang berkuasa, seperti _revolusi, rakyat, sosialis- me_. Ringkasnya, semacam kapitulasi telah berlangsung. Puncaknya adalah dilarangnya Manifes Kebudayaan 8 Mei 1964: sebuah pernyataan yang dengan bersemangat ingin ikut serta dalam irevolusi tetapi kemudian diganyang sebagai kontrarevolusi. Para penandatangannya kemudian merendahkan diri dan minta maaf kepada Sang Pemimpim Besar Revolusi. Tapi mereka pun dibersihkan di mana-mana. H.B. Jassin dicopot dari Universitas Indonesia. Wiratmo Sukito digusur dari RRI. Yang lain mencoba menyelamatkan diri dengan cara masing-masing. Saya ingat bahwa saya, salah seorang penan- datangan, bahkan tidak boleh ikut teken daftar hadir dalam sebuah rapat teater, karena sang penyelenggara rapat, Usmar Ismail, takut bila ketahuan bahwa seorang Manikebu hadir di situ. Bersalahkah Pramudya atas prosekusi yang terjadi itu? Kini, ketika ia diberi Hadiah Magsaysay 1995, sejumlah sastrawan dan seniman menulis sebuah pernyataan, mengingatkan _dosa_ Pram di tahun 1960-an. Dalam ingatan mereka, Pram adalah seorang pembantai hak. Dalam ingatan Pram, seperti dinyatakannya dalam pelbagai wawancara, ia bukanlah pihak yang melakukan pelarangan. Ia hanya berniat memulai sebuah polemik. Kepala kita bisa memilih apa yang diingat dan yang tidak, tapi saya kira niat Pram bukan keinginan ganjil seorang penulis. Di tahun-tahun itu saya sendiri pun memimpikan bahwa itulah yang hendaknya berkembang: sebuah polemik, sebuah benturan ide-ide yang mencerminkan posisi yang berbeda, sebuah debat yang layak diikuti jika kita ingin menjelajah mencari rumusan sikap dalam menghadapi soal-soal nyata waktu itu. Namun justru bukan itu yang terjadi. Menjelang pertengahan 1960-an, Indonesia berada dalam sebuah suasana apokaliptik: kiamat seakan-akan di ambang pintu. Orang merasa bahwa sebuah zaman akan berakhir, dan sebuah zaman yang akan secara radikal berbeda akan lahir. Bung Karno - pusat dari seluruh tampuk - nampak akan tak lama lagi di kursinya karena usia, dan PKI, ABRI, semua, bersiap, saling mendesak dan mengancam. Baik jika PKI yang menang (banyak tanda bahwa PKI unggul waktu itu), atau pun jika PKI yang kalah, melalui sebuah pergantian kekuasaan yang waktu itu tak jelas bagaimana akan terjadi, Indonesia akan berubah benar-benar: mengerikan bagi satu pihak, menggembirakan bagi pihak lain. Maka pergulatan kekuasaan yang dahsyat pun berlangsung. Hampir setiap ekspresi yang tercetus ke publik luas - ide-ide, karya seni - pun mau tak mau terkait, atau mengkaitkan diri, atau dikait-kaitkan, dengan pergulatan besar itu. Suasana permusuhan begitu pahit dan begitu mencemaskan... Mungkin sebab itu, apa yang tercetus di Lentera, dan apa yang tercetus sebagi Manifes Kebudayaan, akhirnya diambil alih oleh, atau dijadikan bagian dari, permusuhan yang lebih luas. Saya tak tahu sejauh mana Pramudya waktu itu tak menduga, bahwa ketika ia menyerukan sesuatu agar _dibabat_, bukan sekedar benturan pikiran yang akan terjadi. Suasana hari itu bukanlah suasana seperti di tahun 1930-an. Di zaman Pujangga Baru itu tulisan di publik tak merupakan bagian dari benturan kekuasaan yang akan saling menghancurkan. Tatkala Takdir Alisjahbana menyerang ide-ide kebudayaan yang ada, berlangsunglah suatu pergulatan pendapat yang fasih, sopan, berarti, dan layak direkam sebagai sumber pemikiran, yang kemudian hari dikenal dengan nama Polemik Kebudayaan. Sayang, masa seperti itu telah hilang. Menjelang pertengahan 1960-an, dan agaknya mulai sejak itu, kita hanya punya satu cara untuk menyelesaikan benturan ide-ide: pembungkaman. _Polemik_ pun jadi sebuah kampanye untuk tumpas menumpas. Lawan berpendapat menjadi musuh. Semuanya dikerahkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang akan habis menghabisi. Maka ketika _Manifes Kebudayaan_ dilarang, dan penumpasan terjadi, Lentera dan Lekra (yang kemudian menyelenggarakan sebuah konferensi yang megah di Istana Negara) bersorak-sorai. Dan ketika kemudian arus berbalik, dan PKI hancur, dan Lekra dibubarkan dan Pramudya ditangkap dan dibuang di Pulau Buru tanpa proses pengadilan, orang _Manifes Kebudayaan_ pun diam saja. Saya kira malah banyak yang lega. Atau setidaknya hanya termangu, antara menyesalkan kebrutalan itu dan manggut-manggut memahami. Pramudya Ananta Toer: mau tak mau dialah yang layak jadi simbol perbenturan (dan juga pertautan) antara ide dan kekuasaan, sebuah _icon_ tersendiri didalam sejarah Indonesia modern -khususnya selama 50 tahun merdeka. Yang suram ialah kenyataan bahwa dari setengah abad itu, ada sekitar 35 tahun lamanya berkutat sebuah noda: dosa kita melumpuhkan perbedaan pendirian dan pandangan, terkadang dengan cara yang bengis. Saya ikut dalam dosa seperti itu. Juga Pramudya. Juga lawan-lawannya. Prosekusi atas diri kita kini atau dahulu tak dengan sendirinya memberi kita hak untuk jadi lebih suci. Yang menyedihkan ialah bahwa kita terus mengulum rasa pahit sekian dasa warsa itu, dan seperti tak mau, mungkin tak kuasa, mengakui dosa yang 35 tahun itu. Yang kita lakukan justru membuat corengan pada orang lain, terus menerus -dan jadi kerdil dalam proses itu. Memang menyesakkan, terutama ketika ingat sebaris sajak Subagio Sastrowardoyo: melalui dosa kita bisa dewasa.


17 Agustus 1995




Goenawan Mohamad

Pram : Nyanyi Sunyi Seorang Bisu...

Foto Atas : Pram Semasa Muda....
(Pramoedya Ananta Toer, Pengarang Terbesar Indonesia)
Revolusi Belum Selesai Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II

Et,
Kalau orang tidak pernah atau tidak mau ceritai kau tentang Revolusi Indonesia, biar aku yang mendongeng untukmu. Siapa tahu cerita itu bisa jadi imbangan bagi kondisi kesehatanmu yang kurang menguntungkan. Siapa tahu, ya siapa tahu! Tak sekurang-kurangnya orang yang mendapat kekuatan dari sebuah cerita.

Pada waktu Proklamasi diucapkan, tak ada yang menduga, di Indonesia bakal meletup suatu revolusi, menjamah daratan dan perairan. Pengucapnya, Soekarno, ideolog, brahmana, mewakili para ideolog, para Brahmana Indonesia, dari ujung rambut sampai telapak kaki, menyuarakan Proklamasi itudengan keraguan – ragu terhadap masa lewat rakyatnya yang dikenalnya belum cukup mewakili kekuatan dan kemauan politik, ragu terhadap masa mendatang yang diwakili oleh kemungkinan tindakan kekerasan dari pihak bala tentara Jepang lain yang mendukung Proklamasi, lebih lagi pada Sekutu, pemenang Perang Dunia II.
Proklamasi kemerdekaan diucapkan. Kenyataannya: seperti dalam dongengan, suatu krisi revolusioner mendadak menyingkap didepan mata, seperti tabir itu tiba-tiba terbuka dan panggung terpampang. Belum, Et, belum revolusi itu sendiri. Krisis revolusioner itu adalah titik puncak keadaan sosial, ekonomi dan politik. Orang sudah tak lagi lebih lama dapat menenggang keadaan yang morat-marit, kemelaratan yang sudah menghalau orang ke lubang atau tepian kuburan, dan di bidang politik dan kekuasaan ada terjadi vakum. Pendeknya, pada waktu itu, barang siapa jadi melihat keadaan dan berani tampil memimpin, dia akan jadi pemimpin. Dan, Et, krisis revolusioner yang menjadi puncak keadaan ini, sayang, bukan karena faktor subyektif Indonesia, dia berjalan secara sosial-alamiah, karena dimungkinkan oleh vakum kekuasaan kolonial. Sayang. Ya, sayang. Sekiranya pendorong utamanya faktor subyektif Indonesia, perkembangan akan menjadi lain, lebih jernih, lebih terpimpin. Apa daya, justru pare ideolognya sendiri ragu sudah pada titik awal.

Waktu Soekarno-Hatta hendak bicara di hadapan rapat raksasa di Lapangan Ikada (lapangan Gambir bagian tenggara) kami bertiga sudah siap mendengarkan di lapangan itu. Yang kumaksud dengan kami adalah Abdul Kadir Hadi, Soekirno dan aku sendiri. Kami memasuki lapangan dari jalan raya di selatannya. Waktu itu di pinggir kanan jalan telah berderet beberapa tank dan panser Jepang. Di antarab dua kendaraan baja itu kami masuk, ke lapangan. Tanpa kecurigaan. Tanggal berapa waktu itu? 19 September 1945!
Lapangan itu benar-benar sudah penuh dengan barisan yang bersaf-saf. Setiap padanya membawa papan nama kesatuannya – Barisan Pelopor dan Banteng seluruh Jakarta. Juga pada luarnya di belakang barisan ini berjubel orang-orang seperti kami, tanpa ikatan organisasi. Sorak-sorai dan pekikan semua barisan di depan dan tengokan kepala mereka kearah selatan, tiba-tiba membuat kami bertiga menjadi sadar: gelora suara yang membelah langit itu ternyata ditujukan kepada tentara Jepang. Mereka pada bersenjata bambu runcing, parang, dan mungkin juga belati atau keris. Dengan sendirinya kami bertiga, yang tidak bersenjata, terbungkuk-bungkuk mencari batu. Aku sendiri mendapat tidak lebih dari tiga yang kumasukkan ke dalam kantong celana. Satu tetap dalam genggaman.

Rasanya begitu lama kami menunggu dalam ketegangan. Yang diharap-harapkan tak kunjung muncul. Nah, waktu iring-iringan memasuki jalan tepian bagian selatan lapangan – bukan yang kami lalui waktu masuk – dari kejauhan nampak mobil-mobil itu dihentikan oleh serdadu Jepang. Rasanya kami tak habis-habis menunggu. Barisan-barisan semakin riuh-rendah mengelu-elukan Soekarno-Hatta, Presiden dan Wakil Presiden RI pertama. Insiden itu membikin suasana semakin tegang. Tak ada yang bisa mendengar pembicaraan diantara mereka. Sesuatu yang tidak beres terasa mengawang di udara. Dan di geladak panggung tinggi, seperti sebuah menara pengintaian, berdiri beberapa serdadu Jepang bersenjata. Pengeras suara yang memberitakan kedatangan Presiden dan Wakil Presiden tak berdaya menghadapi sorak-sorai dan pekik-jerit. Akhirnya iring-iringan berjalan terus. Dan waktu Presiden tampil, keadaan menjadi senyap. Di podium suaranya terdengar lunak: tenang, pulanglah dengan tenang. Kemudian rombongan meninggalkan tempat. Takkan ada tambahan pada kata-kata lunak tersebut. Hanya protokol menunjukkan jalan keluar lapangan – jalan yang baru ditinggalkan iring-iringan Soekarno-Hatta.

Barisan demi barisan, tanpa membubarkan diri, meninggalkan lapangan melalui jalan yang telah ditentukan. Sorak-sorai, pekik-jerit, dan debu membubung memenuhi jalanan yang menjadi sempit. Di pinggiran jalan berjajar pohon palma, di bawahnya deretan truk terbuka dengan serdadu Jepang di geladaknya, semua bersenjata senapan bersangkur terhunus. Di tubuh jalanan: barisan-barisan yang berjejal. Serdadu-serdadu itu menghalau setiap orang yang dianggapnya terlalu dekat pada truknya. Menghalau dengan bedilnya dari atas geladak truk. Mula-mula tidak terjadis sesuatu. Tetap jalanan semakin mejadi padat. Barisan-barisan semakin melebar. Para serdadu Jepang semakin sibuk menghalau. Sembari memekin dan bersorak-sorai orang mulai membela diri dari ancaman bayonet dengan bambu runcing mereka. Massa yang gusar karena gagal mendengarkan Presidennya, mabuk oleh pekik, sorak-sorai, dan anggar laras senapan berbayonet dengan bambu runcing ….. dan itulah untuk pertama kali aku saksikan, bagaimana orang Indonesia sama sekali tidak lagi takut pada Dai Nippon dengan militernya yang mahsyur akan kekejaman dan kekejiannya. Krisis revolusioner sedang berkembang. Dan aku lihat, Et, seseorang dari barisan menghunus pedang dan menebas tangan salah seorang serdadu Jepang. Beberapa dari jarinya putus. Tetapi insiden tak berkembang lebih lanjut. Mereka tidak terprovokasi.

Inggris, atas nama Sekutu, mendarat. Dari R. Moedigdo, pamanku, seorang redaktur Domei, yang telah menjadi Antara, kudengar salah seorang rekannya, Sipahutar, salah seorang pendiri kantor berita itu pada tahun 30-an, berniat mendirikan panitia penyambutan. Tantangan, caci-maki dan penolakan dari rekan-rekannya membikin niat itu buyar. Tentara Inggris mulai membebaskan orang-orang Eropa tawanan Jepang dari kamp-kamp di wilayah Jakarta. Para bekas tawanan itu sebagian mereka persenjatai dan mulai menembaki penduduk. Juga serdadu-srdadu Jepang. Para pemuda Jakarta mulai menjaga keamanan lingkungannya masing-masing. Masa ini biasa dinamai “jaman siap”. Gelombang teriakan “siap” melanda lingkungan yang dimasuki oleh serdadu atau bekas tawanan yang mengamuk.
Sekarang krisis revolusioner itu beralih menjadi Revolusi yang sebenarnya. Kalau tadinya para pemuda mempersenjatai diri dan menjaga keamanan lingkungannya dari amukan Jepang dan bekas tawanan, di Medan Senen para paria sudah meninggalkan lingkungannya dan mulai menyerang. Mungkin ada orang Indonesia yang sudah jadi merah mukanya mendengar dongengku ini: Revolusi Indonesia dimulai oleh para paria Medan Senen. Apa boleh buat, itulah justru kesaksian yang dapat kuberikan. Yang menggerebak mukanya boleh punya dongeng sendir, sekiranya punya kesaksian lain. Dalam Abad ke-13 pun seorang paria yang mengawali babak Jawa-Hindu, meninggalkan Hindu-Jawa. Orang itu tak lain dari Ken Arok. Suksesnya menyebabkan sang paria ini diangkat menjadi putera Brahmana, Syiwa dan Wisynu sekaligus. Orang melupakan kenyataan: sebagai paria dia berada di luar semua kasta Hindu yang ada.

Hanya saja paria Medan Senen tak mampu mengangkat diri jadi pimpinan.

Siapa itu Proudhon


Pierre-Joseph Proudhon (15 Januari 1809 - 19 Januari 1865) adalah seorang pakar ekonomi berkebangsaan Perancis dan juga seorang filosofis sosialis dan merupakan orang yang pertama kali menyebut dirinya sebagai seorang "anarkis" sekaligus salah seorang pemikir anarkis yang pertama. Proudhon lahir di Besancon, Perancis. Proudhon terkenal dengan pernyataan kerasnya bahwa "Hak milik pribadi adalah pencurian!" (B. Inggris : Property is theft!)
Dia adalah anak seorang petani anggur. Pada mulanya dia adalah seorang otodidak karena ketidakmampuan ekonomi keluarganya membuatnya tidak mampu bersekolah, tetapi kemudian dia mendapat beasiswa untuk studi filsafat dan ekonomi di Akademi Besancon.
Pemikiran Proudhon adalah sosialis, tetapi berbeda dengan pemikir sosialis utopis sebelumnya, Proudhon lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat praktis. Proudhon berpendapat bahwa manusia dalam hakikatnya terlahir sebagai individu yang bebas dan mempunyai hak-hak asasi tertentu. Dalam interaksinya dengan individu yang lain, individu-individu ini membentuk suatu masyarakat yang "alami" yang juga mempunyai hak-hak asasi dalam dirinya. Hak-hak inilah yang kemudian diperkosa oleh sistem ekonomi kapitalisme yang dikuasai oleh para pemilik modal.
Proudhon adalah seorang pemikir yang mempunyai pengaruh jauh lebih besar terhadap perkembangan anarkisme, seorang penulis yang betul-betul berbakat dan ‘serba tahu’ dan merupakan tokoh yang dapat dibanggakan oleh sosialisme moderen. Proudhon sangat menekuni kehidupan intelektual dan sosial di zamannya, dan kritik-kritik sosialnya didasari oleh pengalaman hidupnya itu. Diantara pemikir-pemikir sosialis di zamannya, dialah yang paling mampu mengerti sebab-sebab penyakit sosial dan juga merupakan seseorang yang mempunyai visi yang sangat luas. Dia mempunyai keyakinan bahwa sebuah evolusi dalam kehidupan intelektual dan sosial menuju ke tingkat yang lebih tinggi harus tidak dibatasi dengan rumus-rumus abstrak.
Proudhon melawan pengaruh tradisi Jacobin yang mendominasi pemikiran demokrat-demokrat di Perancis dan kebanyakan sosialis pada saat itu, dan juga pengaruh negara dan kebijaksanaan ekonomi dalam proses alami kemajuan sosial. Baginya, pemberantasan kedua-dua perkembangan yang bersifat seperti kanker tersebut merupakan tugas utama dalam abad kesembilan belas. Proudhon bukanlah seorang komunis. Dia mengecam hak milik sebagai hak untuk mengeksploitasi, tetapi mengakui hak milik umum alat-alat untuk berproduksi, yang akan dipakai oleh kelompok-kelompok industri yang terikat antara satu dengan yang lain dalam kontrak yang bebas; selama hak ini tidak dipakai untuk mengeksploitasi manusia lain dan selama seorang individu dapat menikmati seluruh hasil kerjanya. Jumlah waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah benda menjadi ukuran nilainya dalam pertukaran mutual. Dengan sistem tersebut, kemampuan kapital untuk menjalankan riba dimusnahkan. Jikalau kapital tersedia untuk setiap orang, kapital tersebut tidak lagi menjadi sebuah instrumen yang bisa dipakai untuk mengeksploitasi.
Proudhon mengajarkan 'anarkisme damai', sikap anti terhadap angkatan bersenjata yang merupakan alat sekaligus penguat sistem negara, sebab menurut keyakinannya masyarakat yang secara moral layak bertahan hanya boleh tergantung kepada niat-baik yang sukarela dari anggota-anggotanya.
Pada tahun 1839, ia menulis salah satu esainya yang terkenal yaitu L’Utilité de la célébration du dimanche yang berisi ide-ide revolusionernya. Pada tahun 1840 dia menulis salah satu paper work yang kemudian terkenal karena esai itu menjadi pusat perdebatannya dengan Karl Marx. Esai itu berjudul Systeme des Contadictions economiques ou La Philosophie de la Misere[1] (System of Economical Contradictions: or, the Philosophy of Misery). Dalam bukunya ini, Proudhon mengkritik habis komunisme ala Marx. Menurutnya, komunisme tidak lebih baik dari pada Kapitalisme. Komunisme mengancam martabat manusia dan mengabaikan hak-hak asasi individu dan masyarakat. Komunisme juga hanya menyebarkan kemelaratan dan kemiskinan dan membuat orang hidup seperti dalam pengasingan. Serangan Proudhon atas konsep-konsep sosialisme Marx kemudian dibalas oleh Marx dalam bukunya yang berjudul La Misere de la Philosophie (The Misery of Philosophy).
Dalam tulisan berserinya tentang hak milik yang diterbitkan dengan judul Theory of Property (1840), Proudhon membuat suatu kalimat retoris yang terkenal : What is Property ?[2] (Apa itu Hak Milik ?) Pertanyaan itu kemudian dijawabnya sendiri yaitu "Property is Theft" (Hak Milik adalah Hasil Curian), "Property is Despotism" (Hak Milik adalah Despotisme). Proudhon bukanlah penentang hak milik, tetapi ia hanya marah melihat banyaknya hak milik yang diperoleh bukan melalui cara yang benar dan juga dengan cara tidak bekerja. Proudhon juga menganjurkan agar "property" seharusnya dibagikan secara merata kepada individu-individu, keluarga, dan asosiasi pekerja.
Proudhon pernah dipenjara karena tulisan-tulisannya yang menentang sistem ekonomi di Perancis. Pada tahun 1860 dia dipenjara lagi karena tulisannya yang mengkritik kebijakan Kaisar Napoleon III dalam hal ekonomi. Dia kemudian lari ke Belgia untuk menghindari hukuman itu, tetapi kemudian dia mendapat amnesti dan kembali ke Perancis. Proudhon kemudian mengganti semboyannya yang semula menjadi "La propriete, c’est la liberte" (Property is Freedom). Maksudnya adalah hak milik kecil milik orang yang bekerja.
Proudhon, walaupun kemudian dikenal sebagai tokoh utama dibalik gerakan anarkisme, ia tidak pernah menyetujui segala macam bentuk pemogokan dan pemberontakan. Dia khawatir bahwa segala macam bentuk kekerasan dapat menimbulkan kediktatoran dan semakin mempertajam pertentangan kelas. Dia juga menolak perjuangan kaum pekerja melalui parlemen. Proudhon lebih menyukai perjuangan kaum pekerja lewat dirinya sendiri, yaitu buruh harus membantu dirinya sendiri. Proudhon menganjurkan pembentukan koperasi-koperasi pekerja dan bank-bank rakyat yang lebih berorientasi pada pekerja. Koperasi dan bank rakyat dipercayainya akan mengubah sistem kapitalis dari dalam, dan dengan demikian akan tercipta masyarakat yang harmonis sehingga kekuasaan negara tidak diperlukan lagi dan diganti dengan federasi komunitas-komunitas.

Tesis Marx Tentang Fuerbach

1
Kekurangan utama dari semua materialisme yang ada sampai sekarang-termasuk materialisme Feuerbach-ialah bahwa hal ihwal (Gegenstand), kenyataan, kepancainderaan, digambarkan hanya dalam bentuk benda (Objekt) atau renungan (Anschauung), tetapi tidak sebagai aktivitet pancaindera manusia, praktek, tidak secara subyektif. Karena itu terjadilah bahwa segi aktif, bertentangan dengan materialisme, dikembangkan oleh idealisme-tetapi hanya secara abstrak, karena, sudah barang tentu, idealisme tidak tahu akan aktivitet pancaindera yang nyata sebagai hal yang sedemikian itu. Feuerbach membutuhkan benda-benda kepancainderaan, yang benar-benar dibedakan dari benda-benda pikiran, tetapi dia tidak mengartikan aktivitet manusia itu sendiri sebagai aktivitet obyektif (gegenständliche). Oleh karena itu, dalam Hakekat Agama Kristen, dia memandang sikap teoritis sebagai Satu-satunya sikap manusia yang sejati, sedang praktek digambarkan dan ditetapkan hanya dalam bentuk permunculannya yang keyahudian dan kotor. Karena itu dia tidak menangkap arti penting aktivitet "revolusioner", aktivitet "kritis-praktis".
2
Soal apakah kebenaran obyektif (gegenständliche) bisa dianggap berasal dari pemikiran manusia bukanlah soal teori melainkan soal praktek. Dalam praktek manusia harus membuktikan kebenaran itu, yaitu, kenyataan dan daya, kesegian-ini (Diesseitigkeit) dari pemikirannya. Perdebatan mengenai kenyataan atau bukan kenyataan dari pemikiran yang terasing dari praktek merupakan soal skolastik semata-mata.
3
Ajaran materialis bahwa manusia itu adalah hasil keadaan dan didikan, dan bahwa, oleh karenanya, manusia yang berubah adalah hasil keadaan-keadaan lain,dan didikan yang berubah, melupakan bahwa manusialah yang mengubah keadaan dan bahwa pendidik itu sendiri memerlukan pendidikan. Karena itu, ajaran ini menurut keharusan sampai pada membagi masyarakat menjadi dua bagian, satu di antaranya adalah lebih unggul daripada masyarakat (pada Robert Owen, misalnya).
Terjadinja secara bersamaan perubahan keadaan dengan perubahan aktivitet manusia bisa dibayangkan dan dimengerti secara rasionil hanya sebagai praktek yang merevolusionerkan.
4
Feuerbach bertolak dari kenyataan pengasingan-diri secara keagamaan, dari pendobelan dunia menjadi dunia khayali yang bersifat keagamaan dan dunia nyata. Pekerjaannya berupa melebur dunia keagamaan ke dalam dasar duniawinya. Dia mengabaikan kenyataan bahwa sesudah menyelesaikan pekerjaan itu, hal yang utama masih tetap harus dilakukan. Karena kenyataan bahwa dasar duniawi itu melepaskan diri dari dirinya dan menegakkan diri di awang-awang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri sesungguhnya hanyalah dapat diterangkan dengan pembelahan-diri dan sifat pertentangan dengan diri sendiri dari dasar duniawi itu. Karena itu yang tersebut belakangan itu sendiri lebih dulu harus dipahami dalam kontradiksinya dan kemudian, dengan ditiadakannya kontradiksi itu, direvolusionerkan dalam praktek. Dengan begitu, misalnya, sekali keluarga duniawi itu ditemukan sebagai rahasia dari keluarga suci, maka yang tersebut duluan itu sendiri harus dikritik dalam teori serta direvolusionerkan dalam praktek.
5
Feuerbach tidak puas dengan pemikiran abstrak, berpaling kepada kontemplasi kepancainderaan; tetapi dia tidak menganggap kepancainderaan sebagai aktivitet praktis, aktivitet pancaindera-manusia.
6
Feuerbach melebur hakekat keagamaan ke dalam hakekat kemanusiaan. Tetapi hakekat kemanusiaan bukanlah abstraksi yang terdapat pada satu-satu individu. Dalam kenyataannya ia adalah keseluruhan dari hubungan-hubungan sosial.
Oleh karenanya, Feuerbach, yang tidak memasuki kritik terhadap hakekat yang nyata itu, terpaksa:
Mengabstraksi dari proses sejarah dan menetapkan sentimen keagamaan (Gemüt) sebagai sesuatu yang dengan sendirinya dan mengandaikan.perorangan manusia yang abstrak-yang terisolasi.
Karena itu, baginya hakekat kemanusiaan bisa dimengerti hanya sebagai "jenis", sebagai suatu keumuman intern yang bisu yang hanya dengan wajar mempersatukan perorangan yang banyak itu.
7
Oleh karenanya, Feuerbach tidak melihat bahwa "sentimen keagamaan" itu sendiri adalah hasil sosial, dan, bahwa perorangan yang abstrak yang dianalisanya nyatanya termasuk bentuk khusus dari masyarakat.
8
Kehidupan sosial pada hakekatnya adalah praktis. Segala keghaiban yang secara menyesatkan membawa, teori kepada mistik menemukan pemecahannya yang rasionil dalam praktek manusia dan dalam pemahaman praktek itu.
9
Titik tertinggi yang dicapai oleh materialisme kontemplatif, yaitu, materialisme yang tidak memahami kepancainderaan sebagai aktivitet praktis, adalah renungan satu-satu individu dalam "masyarakat sipil".
10
Pendirian materialisme lama ialah masyarakat "sipil"; pendirian materialisme baru ialah masyarakat manusia, atau umat manusia yang bermasyarakat.
11
Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah mengubahnya.

Marx Tentang Proudhon

MARX BERBICARA TENTANG PROUDHON

Saudara yang tercinta,
Kemarin saya menerima sepucuk surat dan dalam surat itu saudara mengajukan permintaan kepada saya untuk memberikan penilaian yang mendetail tentang Proudhon. Ketiadaan waktu merupakan penghalang bagi saya untuk memenuhi keinginan saudara itu. Tambahan pula, sekarang ini saya tidak memiliki satupun karya-karyanya. Meskipun demikian, untuk menunjukkan maksud baik saya terhadap saudara, maka saya dengan tergesa-gesa menuangkan suatu kerangka yang amat ringkas. Kemudian saudara bisa melengkapinya, menambahnya, menguranginya-pendek kata, perbuatlah apa yang saudara inginkan dengan kerangka itu.
Usaha-usaha Proudhon yang pertama sekali saya tidak ingat lagi. Tulisannya ketika dia masih duduk di bangku sekolah, Bahasa Universal, menunjukkan bahwa dia tidak mempunyai keragu-raguan sedikitpun dalam menghadapi persoalan-persoalan yang untuk pemecahannya dia sama sekali tidak mempunyai dasar-dasar pokok pengetahuan.
Karyanya yang pertama, What is Property?, tentunya adalah karyanya yang terbaik. Karya itu membuat sejarah, jika bukan karena kebaruan isinya, setidak-tidaknya karena cara baru dan berani yang dipakainya untuk menyatakan hal-hal yang lama. Di dalam karya-karya kaum Sosialis dan Komunis Perancis yang diketahuinya, "milik", sudah tentu, bukan saja telah dikritik dengan berbagai jalan tetapi "ditiadakan" pula dengan cara yang utopis. Di dalam bukunya itu hubungan Proudhon dengan Saint-Simon dan Fourier adalah hampir sama dengan hubungan Feurbach dengan Hegel. Jika dibandingkan dengan Hegel, Feuerbach amat kerdil. Meskipun demikian sesudah Hegel dia membuat sejarah, karena dia memberikan tekanan pada hal-hal tertentu yang tidak menyenangkan bagi kesadaran Kristen di samping hal-hal itu penting bagi kemajuan kritik, dan yang ditinggalkan Hegel di dalam setengah-kegelapan yang mistik.
Di dalam buku Proudhon itu masih terdapat, jika saya diperbolehkan menggunakan pernyataan, langgam yang berotot kuat. Dan menurut pendapat saya langgamnya itu adalah keunggulannya yang utama. Orang melihat bahwa di tempat dia hanya mengulangi kembali bahan-bahan lama sekalipun, Proudhon menemukan penemuan-penemuan yang berdiri sendiri: bahwa apa yang diucapkannya adalah baru bagi dia sendiri dan maka itu termasuk dalam hal-hal yang baru. Tantangan yang bersifat provokatif, menggunakan "yang tersuci di antara yang suci" dari hal-hal ekonomi, paradoks yang amat baik yang menjadikan common sense borjuis suatu tertawaan, kritik yang melajukan, ironi yang getir, dan, di sana-sini, terloncat perasaan amarah yang dalam dan sejati terhadap kekejian yang ada, ke sungguh-sungguhan revolusioner-karena semua itulah maka What is Property? mempunyai pengaruh yang mempesona dan menimbulkan kesan yang besar ketika pertama kali terbit. Dalam sejarah ekonomi politik yang betul-betul ilmiah buku itu untuk disebutkan pun tidak akan pantas. Tetapi karya-karya sensasionil yang semacam itu melakukan peranannya di bidang ilmu sebanyak yang dilakukannya di bidang literatur sopan. Ambillah sebagai misal, buku Malthus On Population. Pada edisinya yang pertama buku itu tidak lebih daripada "pamflet sensasional" dan dari awal hingga akhir merupakan plagiarisme. Tetapi, meskipun demikian betapa besarnya rangsang ditimbulkan oleh tulisan yang bersifat fitnahan atas ras manusia itu!
Seandainya di depan saya ada buku Proudhon maka dengan mudah saya dapat memberikan beberapa contoh untuk mengilustrasikan caranya yang pertama itu. Di dalam bagian-bagian yang dia sendiri menganggap bagian-bagian yang amat penting dia meniru perlakuan Kant terhadap antinomi-pada waktu itu Kant adalah satu-satunya ahli filsafat Jerman yang dikenalnya lewat terjemahan-dan meninggalkan kesan yang kuat pada seseorang bahwa baginya, seperti bagi Kant, pemecahan atas antinomi itu adalah sesuatu yang berada "di luar" pemahaman manusia, yaitu, sesuatu yang pemahamannya sendiri tentang itu berada di dalam kegelapan.
Tetapi meskipun dia mengadakan serangan pura-pura terhadap surga, di dalam What is Property? sudah dapat ditemukan kontradiksi-kontradiksi bahwa, di satu pihak, Proudhon mengkritik masyarakat dari segi dan dengan mata kaum tani pemilik kecil Perancis (kemudian borjuis-kecil) dan, di fihak lain, menggunakan ukuran yang diwarisinya dari kaum Sosialis.
Kelemahan buku itu ditunjukkan oleh judulnya itu sendiri. Masalah itu diajukan sebegitu salahnya sehingga ia tidak bisa dijawab dengan tepat. "Hubungan milik" kuno menemukan kehancurannya pada hubungan milik feodal, dan hubungan milik feodal itu pada hubungan milik "borjuis". Dengan demikian maka sejarah itu sendiri telah melaksanakan kritiknya terhadap hubungan-hubungan milik masa lampau. Dengan Proudhon soalnya sesungguhnya ialah milik borjuis modern sebagaimana adanya sekarang ini. Masalah apa milik borjuis modern itu hanya dapat dijawab dengan mengadakan analisa yang kritis atas "ekonomi politik" yang meliputi hubungan-hubungan milik itu dalam keseluruhannya, bukan dalam pernyataan hukumnya sebagai hubungan kemauan tetapi dalam bentuknya yang sesungguhnya, yaitu, sebagai hubungan produksi. Tetapi karena Proudhon mengacaukan seluruh hubungan ekonomi itu di dalam konsepsi yuridis yang umum dari "milik", maka dia tidak bisa melampaui jawaban yang telah diberikan Brissot sebelum tahun 1789 dalam karya yang sama, dan diajukan dengan kata-kata yang sama: "Milik adalah pencurian."
Paling banyak yang dapat ditarik dari situ ialah bahwa konsepsi yuridis borjuis tentang "pencurian" sama berlakunya bagi keuntungan-keuntungan "yang jujur" dari borjuis itu sendiri. Di pihak lain, karena "pencurian" sebagai pelanggaran yang bersifat paksa atas milik bersyarat pada adanya milik, Proudhon melibatkan dirinya dalam segala macam kemauan yang bersifat khayalan, yang baginya pun tidak jelas, tentang milik borjuis yang sesungguhnya.
Selama saya berada di Paris dalam tahun 1844 saya mengadakan kontak pribadi dengan Proudhon. Hal itu saya sebutkan di sini karena hingga batas-batas tertentu saya pun bersalah atas "tiruan"-nya, seperti orang Inggris menamakan pemalsuan barang-barang yang diperdagangkan. Selama berlangsung perdebatan yang lama, sering sampai semalam suntuk, saya menularinya dengan Hegelianisme, hal yang menyebabkan dia merasa tersinggung, dan yang, karena dia tidak begitu menguasai bahasa Jerman, tidak bisa dipelajari dengan selayaknya. Setelah saya diusir dari Paris Herr Karl Grün meneruskan apa yang telah saya mulai. Sebagai seorang guru filsafat Jerman, dia mempunyai segi yang menguntungkan jika dibandingkan dengan saya, yaitu bahwa dia sendiri sama sekali tidak mengetahui hal itu.
Tidak lama sebelum terbit karya penting Proudhon yang kedua, The Philosophy of Poverty or System of Economic Contradictions, dan sebagainya, dia sendiri memberitahukan hal itu kepada saya dalam sepucuk surat yang mendetil yang didalamnya dia mengatakan, antara lain: "Saya menunggu kritik saudara yang keras." Hal itu segera tiba padanya (dalam buku saya Poverty of Philosophy, dan seterusnya, Paris 1847), sedemikian rupa sehingga mengakhiri persahabatan kami untuk selama-lamanya.
Dari apa yang telah saya katakan tadi akan dapat saudara lihat bahwa The Philosophy of Poverty or System of Economic Contradictions Proudhon pertama nyatanya mengandung jawaban atas pertanyaan, "Apa milik itu?" Nyatanya hanyalah sesudah terbit karyanya itu baru dia memulai studi ekonominya; dia telah menemukan bahwa masalah yang diajukannya tidak dapat dijawab dengan cacian, tetapi hanya dengan analisa atas "ekonomi-politik" modern. Bersamaan dengan itu dia mencoba mengajukan sistem kategori-kategori ekonomi secara dialektik. Sebagai ganti "antinomi" Kant yang tidak bisa dipecahkan "Kontradiksi" Hegel dimasukkan sebagai cara perkembangan.
Untuk mengadakan penilaian terhadap bukunya yang terdiri dari dua jilid yang amat tebal, saya terpaksa menunjuk saudara pada karya yang saya tulis sebagai jawaban. Dalam karya itu saya menunjukkan, antara lain betapa dangkalnya dia menyelami rahasia dialektika ilmiah; bagaimana, di pihak lain, dia mempunyai juga ilusi tentang filsafat spekulatif, karena dia bukannya memikirkan kategori ekonomi sebagai pernyataan teoritis dari hubungan produksi yang mengalami sejarah, yang sesuai dengan tingkat tertentu dari perkembangan produksi material, tetapi sebaliknya dia memalsunya menjadi ide-ide yang ada sebelumnya, yang abadi; dan bagaimana dengan cara yang berbelit-belit itu sekali lagi dia sampai pada pendirian ekonomi borjuis.[1]
Selanjutnya saya menunjukkan juga bagaimana mutlaknya kurangnya dan dalam bagian-bagian bahkan betapa keanak-sekolahan pengetahuannya tentang "ekonomi politik" yang dikritiknya, dan bagaimana dia dan kaum utopis bukannya menjadikan ilmu bersumber dari pengetahuan kritis terhadap gerakan sejarah, gerakan yang menghasilkan sendiri syarat-syarat material pembebasan, tapi mencari-cari sesuatu yang dinamakan "ilmu" yang dengannya suatu rumus untuk "pemecahan masalah sosial" a priori dipikirkan. Tetapi secara khusus harus disebutkan tentang bagaimana tetap kacaunya, salah dan setengah matanya ide-ide Proudhon mengenai basis seluruh soal itu, nilai tukar, dan bagaimana dia bahkan memahami secara salah interpretasi yang utopis dari teori nilai Ricardo sebagai dasar ilmu baru. Mengenai pendiriannya pada umumnya, saya mengadakan penilaian yang menyeluruh sebagai berikut ini:
"Setiap hubungan ekonomi mempunyai segi baik dan segi jeleknya: itulah satu-satunya soal tentang mana M. Proudhon tidak menipu dirinya sendiri. Dia melihat segi baik yang ditekankan oleh ahli-ahli ekonomi; dia melihat segi jelek yang dikutuk kaum Sosialis. Dari ahli-ahli ekonomi dia meminjam kebutuhan akan hubungan-hubungan abadi; dari kaum Sosialis dia meminjam ilusi bahwa dalam kemiskinan tidak ada sesuatu pun yang dapat dilihat kecuali kemiskinan (dia bukannya melihat dalam kemiskinan segi revolusioner, subversif yang akan menggulingkan masyarakat lama). Dia sependapat dengan mereka keduanya dalam usahanya mengutip otoritas ilmu untuk mendukungnya. Baginya ilmu merendahkan diri pada ukuran yang sempit yang terdiri dari rumus-rumus ilmiah; dia adalah seorang pemburu rumus. Oleh karena itu maka M. Proudhon menepuk dadanya bahwa dia telah mengkritik baik ekonomi politik maupun Komunisme-dia berada lebih rendah daripada ke dua-duanya. Lebih rendah daripada ahli-ahli ekonomi, karena sebagai seorang filsuf yang mempunyai rumus sakti sebagai kekuatannya, dia berpikir bahwa dia dapat meniadakan usaha menyelami soal-soal ekonomi semata sampai kepada yang sekecil-kecilnya; lebih rendah daripada kaum Sosialis, karena tidak mempunyai cukup keberanian maupun cukup pengertian untuk bisa mengangkat dirinya, meskipun secara spekulatif saja, di atas penilaian borjuis. Dia ingin terbang tinggi sebagai sarjana di atas borjuis dan kaum proletar; dia tidak lain dari borjuis-kecil yang senantiasa terombang-ambing antara kapital dan kerja, antara ekonomi politik dan Komunisme."
Meskipun penilaian di atas kedengarannya tajam, saya tetap harus membenarkan setiap katanya kini. Tetapi, bersamaan dengan itu, harus diingat bahwa ketika saya menyatakan bukunya sebagai kode Sosialisme borjuis-kecil dan membuktikan hal itu secara teori, Proudhon masih tetap dicap sebagai seorang ultra-maha-revolusioner baik oleh ahli-ahli ekonomi politik maupun oleh kaum Sosialis. Itulah pula alasannya mengapa saya tidak pernah ikut serta dalam teriakan yang terjadi kemudian tentang "pengkhianatan"-nya terhadap revolusi. Sejak awalnya salah dipahami oleh yang lain-lain serta oleh dia sendiri, maka bukanlah kesalahannya jika dia mengecewakan harapan-harapan yang tiada beralasan.
Dalam The Philosophy of Poverty segenap kelemahan metode mengajukan dari Proudhon muncul dengan sangat tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan What is Property? Langgamnya ialah langgam yang sering disebut orang Perancis ampoule (bombastis). Logat spekulatif yang lantang-suaranya, yang dianggap sebagai filsafat Jerman, secara teratur muncul di atas panggung ketika kelincahan Gallicnya dalam memahami sesuatu tidak bisa menyelamatkannya. Nada yang membusungkan dada, yang mengagung-agungkan diri sendiri, yang angkuh, dan terutama racauan yang tak henti-henti tentang "ilmu" dan pertunjukan yang palsu tentang hal itu, yang selalu begitu tidak bermanfaat, terus-menerus berdengung di telinga orang. Di dalam buku itu secara sistematis bagian-bagian tertentu diolah melalui kata-kata yang mentereng menjadi demam panas yang berlangsung sementara, berbeda dengan kehangatan yang asli yang membara dalam tulisannya yang pertama. Sebagai tambahan, pertunjukan yang kikuk, memuakan dari pengetahuan orang yang belajar sendiri, yang keangkuhan pembawaannya pada fikiran-fikiran yang asli, merdeka telah dipatahkan dan yang sekarang, sebagai parvenu[2] ilmu, mengganggap perlu menggembar-gemborkan apa yang dia bukan atau apa yang tidak dimilikinya. Kemudian mentalitas borjuis-kecil, yang dengan cara kebinatangan yang tidak sopan sedikitpun-dan tidak tajam maupun tidak mendalam serta tidak pula tepat-menyerang orang seperti Cabet, agar dihargai karena sikap praktisnya terhadap proletariat Perancis, di pihak lain bersikap sopan terhadap orang seperti Dunoyer (seorang Kanselir Negara, sudah tentu); dan lagi seluruh arti Dunoyer itu terletak dalam keseriusan yang lucu dengan mana, di seluruh tiga jilid yang tebal, yang sangat membosankan, dia mengkotbahkan kekerasan yang dikarekterisasi oleh Helvetius sebagai berikut: dari yang malang dituntut keharusan menjadi sempurna.
Revolusi Pebruari pasti tiba pada saat yang amat tidak menyenangkan bagi Proudhon, karena hanya beberapa minggu sebelumnya dia telah membuktikan secara tak tersangkal bahwa "zaman revolusi" telah berlalu untuk selama-lamanya. Ucapan-ucapannya di dalam Dewan Nasional, betapa pun dangkal pandangannya terhadap syarat-syarat yang ada, pantas mendapat pujian. Sesudah pemberontakan Juni ucapan-ucapan itu merupakan perbuatan yang penuh dengan keberanian yang tinggi. Tambahan pula ucapan-ucapan itu mempunyai akibat yang menguntungkan, yaitu bahwa M. Thiers, dengan pidatonya yang menentang usul-usul Proudhon, yang pada waktu itu diterbitkan dalam penerbitan tersendiri, membuktikan kepada seluruh Eropa katekisme[3] kekanak-kanakan yang bagaimana yang mengabdi sebagai sokoguru spiritual borjuis Perancis. Sungguh, jika dibandingkan dengan M. Thiers, Proudhon melembung sehingga dia menjadi sebesar kolossus sebelum-dilivium.[4]
Penemuan Proudhon tentang "kredit bebas" dan "bank Rakyat" yang didasarkan pada "kredit bebas" itu adalah "karya" ekonominya yang terakhir. Di dalam buku saya, A Contribution To The Critique of Political-Economy, bagian I, Berlin 1859 (hal. 59-64), dapat ditemukan bukti bahwa basis teori dari idenya timbul dari kegagalan memahami unsur-unsur pertama "ekonomi politik" borjuis, yaitu, tentang hubungan antara barang-dagangan dengan uang, sedangkan bangunan atas praktisnya hanyalah reproduksi skema yang jauh lebih tua dan berkembang lebih baik. Bahwa dalam keadaan ekonomi dan politik tertentu sistem kredit dapat berlaku dalam mempercepat pembebasan klas buruh, seperti, misalnya, di awal abad ke delapanbelas, dan lagi kemudian, pada awal abad ke sembilanbelas, di Inggris, ia mengabdi dalam memindahkan kekayaan klas yang satu ke klas yang lain, tanpa keraguan sedikitpun adalah dengan sendirinya jelas. Tetapi menganggap kapital mengandung rente sebagai bentuk pokok kapital, tetapi ingin menggunakan sistem kredit secara istimewa, yang dianggap penghapusan atas rente dasar bagi pengubahan masyarakat, adalah sepenuhnya khayalan filistin. Maka itu khayalan itu, jika diulur lebih jauh, nyatanya telah terdapat di kalangan juru-bicara ekonomi klas tengah Inggris lapisan bawah abad ke tujuhbelas. Polemik Proudhon dengan Bastiat (1850) tentang kapital mengandung-rente berada pada tingkat yang jauh lebih rendah daripada The Philosophy of Poverty. Dia berupaya menjadikan dirinya terpukul bahkan oleh Bastiat dan memuntahkan racauan yang membanyol ketika musuhnya memberikan pukulan yang menyadarkan.
Beberapa tahun yang lalu Proudhon-atas permintaan, menurut fikiran saya, pemerintah Lausanne-menulis esai berhadiah tentang "Pajak". Pada esai itu semangatnya telah padam. Tiada yang tersisa kecuali borjuis-kecil semata.
Mengenai tulisan-tulisan politik dan filsafatnya seluruhnya menunjukkan sifat yang mengandung kontradiksi, ganda seperti karya-karya ekonominya. Lagi pula nilainya pun bersifat lokal, terbatas pada Perancis. Meskipun demikian serangannya terhadap agama, gereja, dan sebagainya pada saat kaum Sosialis Perancis menganggap cukup mempunyai syarat untuk menjadi unggul dalam hal-hal religi daripada Voltairisme borjuis abad ke delapanbelas dan ketidak-percayaan Jerman akan Tuhan dari abad ke sembilanbelas secara lokal mempunyai manfaat yang besar. Jika Peter Agung mengalahkan kebiadaban Rusi dengan kebiadaban, maka Proudhon berusaha sekuat tenaga menaklukan omong-kosong Perancis dengan kata-kata.
Karyanya tentang "Kudeta", yang di dalamnya dia bermesraan dengan L. Bonaparte dan, menurut kenyataannya, berusaha membuat Bonaparte makanan lezat bagi kaum buruh Perancis, dan dalam karyanya yang terakhir, yang ditulisnya menentang Polandia, dia untuk keagungan yang lebih besar dari tsar secara berlebih-lebihan meperbolehkan dirinya terlibat dalam sinisme yang amat tak berdaya, harus dikarakterisasi bukan sebagai karya yang jelek saja, tetapi sebagai karya yang hina; hanya, kehinaan yang sesuai dengan pendirian borjuis-kecil.
Di masa yang lalu Proudhon sering dibandingkan dengan Rosseau. Tidak ada sesuatu yang lebih salah daripada itu. Dia lebih menyamai Nic. Linquet, yang Teori Hukum Sipil-nya, sepintas lalu, merupakan buku yang amat cemerlang.
Proudhon mempunyai kecenderungan alamiah akan dialektika. Tetapi karena dia tidak pernah menguasai dialektika ilmiah yang sejati, maka dia tidak pernah melangkah lebih jauh dari sofistri.[5] Sesungguhnya hal itu bersatu dengan pendirian borjuis-kecilnya. Seperti halnya sejarawan Raumer, borjuis-kecil itu terdiri dari di satu sisi dan di lain sisi. Hal itu begitu itu untuk kepentingan ekonominya dan maka itu untuk kepentingan politiknya, untuk kepentingan pendirian agama, ilmu dan artistiknya. Begitu pula dalam hal moralnya, dalam segala-galanya. Dia merupakan kontradiksi yang hidup. Jika, seperti Proudhon, dia juga seorang yang cerdik, segera dia akan belajar bermain dengan kontradiksi-kontradiksinya sendiri dan sesuai dengan keadaan mengembangkan kontradiksi-kontradiksi itu menjadi paradoks yang menyolok, menakjubkan, kadang-kadang menimbulkan fitnah, kadang-kadang brilian. Carlatanisme (penipuan) di bidang ilmu dan menyesuaikan diri dalam politik merupakan hal-hal yang tidak terpisahkan dari pendirian yang semacam itu. Akan tinggal hanya satu motif yang menentukan, keangkuhan subyeknya, dan satu-satunya masalah baginya, seperti halnya bagi semua orang yang angkuh, ialah sukses di saat itu, sensasi di hari itu. Maka itu kebijaksanaan etika yang sederhana, yang selalu menempatkan seorang Rousseau, misalnya, di tempat yang sama sekali tidak mengandung kompromi dengan kekuasaan yang ada, seharusnya melenyap.
Ada kemungkinan bahwa manusia dikemudian hari akan membuat ikhtisar tentang tingkat terakhir perkembangan Perancis dengan mengatakan bahwa Louis Bonaparte adalah Napoleon-nya dan Proudhon Rousseau-Voltaire-nya.
Saudara sendirilah sekarang yang harus memikul tanggung-jawab membebani saya, segera setelah orangnya meninggal, dengan peranan hakim postmortem (pemeriksa mayat).
Hormat Saya,Karl Marx
Catatan:
1) "Jika mereka katakan bahwa hubungan-hubungan masa kini-hubungan-hubungan produksi borjuis-adalah wajar, yang dimaksudkan ahli-ahli ekonomi itu ialah bahwa hubungan-hubungan itu adalah hubungan yang di dalamnya kekayaan diciptakan dan tenaga-tenaga produktif berkembang sesuai dengan hukum-hukum alam. Jadi hubungan-hubungan itu dengan sendirinya merupakan hukum-hukum alamiah lepas dari pengaruh waktu. Hubungan-hubungan itu adalah hukum-hukum abadi yang harus senantiasa mengatur masyarakat. Jadi di masa yang silam ada sejarah, tetapi sekarang tidak ada lagi." (hal. 113 karya saya)
2) Orang yang mendadak menjadi kaya atau mendapat kedudukan tinggi dan menjadi angkuh.
3) Cara mengajar, biasanya agama Kristen, melalui tanya-jawab. Yang terjadi adalah pengetahuan yang dihafalkan dan sepotong-sepotong.
4) Patung yang amat besar di masa sebelum terjadinya banjir-bandang di jaman nabi Nuh.
5) Berpikir cepat namun salah.

Monday, 8 September 2008

Pidato Kebudayaan WS Rendra

Pidato Kebudayaan WS Rendra

“Rakyat belum merdeka”Sebuah paradigma budaya
Di awal abad ke-21 tarikh Masehi ini, saya memberi kesaksian , bahwa meskipun Negara Indonesia adalah negara merdeka , tetapi Rakyat Indonesia , atau Bangsa Indonsia , belum merdeka . Adapun para penindas rakyat yang utama adalah Lembaga Eksekutif (pemerintah) ORLA-ORBA , dan semua partai politik yang ada .
Adalah kenyataan kebudayaan sejak dari zaman raja-raja , zaman kolonialisme Belanda , kolonialisme Jepang , penjajahan rezim Orla dan penjajahan rezim Orba , rakyat Indonesia tidak pernah menjadi warga negara dengan hak yang penuh untuk bebas berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan , urusan pemerintahan dan urusan kenegaraan .
Di zaman raja-raja dan kolonialisme Belanda , rakyat adalah kawulo atau massa hamba Sang Raja . Di zaman kolonialisme Jepang rakyat adalah barisan massa budak yang harus membantu Dai Nippon dalam perang antar imperialis yang disebut Perang Dunia ll . Sedang di zaman rezim Orla , rakyat adalah massa revolusi dan bagi partai-partai politik rakyat sekadar dianggap sebagai barisan massa partai . Kemudian di zaman penjajahan rezim Orde Baru yang didukung oleh ABRI , rakyat tetap saja diangap sebagai koor bebek. Pemerintah menganggap mereka sebagai massa pembangunan yang daya kritisnya dirusak oleh penataran-penataran . Cara berpikir dalam bidang apapun diseragamkan . Rakyat tidak berdaya melawan kejahatan-kejahatan penguasa yang transparan . Pembunuhan , penculikan , penjarahan terhadap kekayaan Bangsa , penjarahan terhadap tanah Rakyat dan penjarahan terhadap daulat Rakyat berjalan semena-mena tanpa bisa dicegah , karena ABRI mengamankan penjarahan-penjarahan itu dengan sistem dan fasilitas-fasilitas mereka yang dalam level kekerasan tak bisa ditandingi oleh sipil .
ABRI sebagai aparat keamanan justru menjadi teroris resmi yang menjarah kemanan Rakyat . Dan Prof. Daoed Yoesoef membantu penjajahan ORDE BARU dengan doktrin Normalisasi Kehidupan Kampus yang justru abnormal karena mengekang daya organisasi dan daya intelektualitas mahasiswa .
Pemusatan kekuasaan Lembaga Eksekutif Orda Baru semakin berlebih-lebihan sehingga melumpuhkan daya hidup masyarakat . Rakyat yang tidak berdaya adalah rakyat yang kehilangan kemanusiaannya. Kekuasaan Pemerintah atau Lembaga Eksekutif yang absolut menjadi berhala yang mengobrak-abrik tatanan nilai moral dan peradaban , sehingga akhirnya terjadi proses erosi kemanusiaan didalam kehidupan berbangsa.
Itulah tadi gambaran keadaan Rakyat Indonesia yang saya simpulkan sebagai gambaran rakyat yang tidak merdeka, yang tidak punya hak hukum terhadap Lembaga Eksekutif , dan karena itu tidak punya kepastian hidup didalam negaranya sendiri .
Gerakan reformasi telah terjadi . Pembentukan DPR dan MPR baru , dan juga pemerintahan barupun terlaksana . Namun , sejak permulaan Gerakan Reformasi sampai kini , disaat ini , kekuatan rakyat , daulat rakyat , kemerdekaan rakyat tidak pernah diperjuangkan secara konkrit dan eksplisit oleh para elite politik di DPR , MPR maupun di jalan. Yang secara getol diperjuangkan oleh para elite politik adalah posisi dan kekuatan partai-partai politik dan glongan . Bukan kedaulatan Rakyat .
Disangkanya mereka sendiri adalah suara rakyat dan kekuatan rakyat . Padahal mereka sebenarnya hanyalah golongan politik saja , diantara golongan-golongan lain di dalam masyarakat. Mereka pikir kedaulatan golongan mereka sudah merupakan kedaulatan seluruh rakyat . LAlu apa bedanya sikap gede rasa semacam itu dengan sikap rezim ORLA dan ORBA , yang menganggap kedaulatan Lembaga Eksekutif itu adalah kedaulatan seluruh rakyat , dan bahkan juga kedaulatan Negara ?
Bukankah ini sikap para raja feodal agraris yan menganggap diri mereka sebagai Ratu Adil ? Lalu apa artinya segala macam reformasi ini ? Dengan sikap para elite politik semacam ini daur ulang dari rezim Mataram , rezim ORLA , rezim ORBA akan bisa terjadi .
Lihatlah lagi bagaimana kelakuan partai-partai politik di masa pemilu sesudah gerakan reformasi terjadi.Mereka tetap menganggap rakyat sebagai massa politik . Mereka merekrut rakyat untuk mengikuti pawai-pawai yang bodoh . Pawai-pawai yang sekedar mengungkapkan kekuatan otot dan tidak ada hubungannya dengan argumentasi kebenaran . Tidak ada partai politik yang menghindar dari kebodohan pawai massa ini .
Apakah ini kompromi yang terpaksa karena kenyataan keadaan ? Lalu kompromi demi apa ? Demi supaya tidak kehilangan kesempatan untuk bisa ikut berkuasa ? Jadi ikut berkuasa lebih penting dari pendidikan kepada rakyat agar mereka kembali menjadi manusia dan tidak sekedar menjadi massa ? Jadi mereka juga berpendapat bahwa lebih dulu punya kekuasaan baru bisa memperbaiki nasib bangsa ? Kalau begitu bukankah itu cara berpikir Ratu Adil , para politisi ORLA da ORBA ..Bah!
Kalau demikian halnya saya bisa berkata , bahwa pada hakekatnya semua partai politik yang ada selama ini , secara mental , adalah lembaga status quo dari ORBA , ORLA dan kerajaan Mataram!BArangkali ada satu partai yang luput dari gambaran diatas , yaitu : PARSENDI (Partai Seniman Dagelan Indonesia). Tetapi partai ini bukan partai yang serius . Ia hanya bersifat satire belaka .
“Sajak 1990″
Setelah para cukong berkomplot dengan para tiran.Setelah hak azasi di negera miskin ditekan demi kejayaan negara maju .Bagaimanakah wajah kemanusiaan .
Dijalan orang dibius keajaiban iklan.Dirumah ia tegang , marah dan berdusta .Impian mengganti perencanaan .Penataran mengganti penyadaran.
Kota metropolitan di dunia ketiga adalah nadi dari jantung negara maju.Nadi yang akan mengidap kanker yang akan membunuh daya hidup desa-desa.Dan akhirnya tanpa bisa dikuasai lagi , menjadi jahat , hina dan berbahaya .Itulah penumpukan yang tanpa peredaran .
Tanpa hak azasi tak ada kepastian kehidupan.Orang hanya bisa digerakkan tapi kehilangan daya geraknya sendiri .Ia hanyalah babi ternak yang asing terhadap hidupnya sendiri.Rakyat menjadi bodoh tanpa opini .Disekolah murid diajar menghapal berdengung seperti lebahlalu akhirnya menjadi sarjana menganggur .Dirumah ibadah orang nerocos menghapal dan dikampung menjadipembenci yang tangkas membunuh dan membakar.Para birokrat sakit tekanan darah sibuk menghapal dan menjadi radio.
Kenapa pembangunan tidak berarti kemajuan ?Kenapa kekayaan satu negara membuahkan kemiskinan negara tetangganyaPeradaban penumpukan tak bisa dipertahankan , lihatlahKemacetan , Polusi dan Erosi .
Apa artinya tumpukan kekuasaan bila hidupmu penuh curiga dan takut diburu dendam . Apa artinya tumpukan kekayaan bila bila bau busuk kemiskinan menerobos jendela kamar tidurmu . Isolasi hanya melahirkan kesendirian tanpa keheningan .Luka orang lain adalah lukamu juga !
Sedangkan peradaban peredaran tak bisa dibina tanpa berlakunya hak azasi manusia .Apa artinya kekayaan alam tanpa keunggulan daya manusianya ?Bagaimana bisa digalang daya manusia tanpa dibangkitkan kesadarannya akan kedaulatan pribadi terhadap alam dan sesamanya ?
Wajah-wajah capek membayang di air selokan.Dan juga di cangkir kopi para cukong.Bau kumuh dari mimpi yang kumal menyebar di lorong-lorong pelacuran dan juga dibursa saham .
Sungguh apa faedahnya kamu jaya di alam kehidupan bila pada akhirnya kamu takut mati karena batinmu telah lama kau hina .
Untuk menangani masalah praktis dan duniawi , bangsa kita memang terlambat.
Science atau ilmu pengetahuan memperkenalkan orang untuk memandang dunia secara ilmiah. Pandangan yang ilmiah ialah pandangan yang dimulai dari mengumpulkan fakta-fakta obyektif , lalu fakta-fakta itu dikatagorikan , lalu di analisa , untuk selanjutnya analisa itu disimpulkan , kemudian kesimpulan itu diverifikasikan.
Leluhur kita tahu fakta obyektif, tetapi menganggap fakta yang sudah diendapkan di kalbu, jadi subyektif itu lebih penting. Maka laku verifikasinya bukan kritik atau tinjauan obyektif melainkan verifikasi kepada kemantapan hati.
Retorika adalah ilmu ungkapan bahasa. Ini ilmu tua yang berasal dari Yunani purba , tetapi menjadi umum dan populer di Eropa sejak abad pertengahan.
Didalam perjalanan retorika , orang menganalisa teks (rekaman sejarah , puisi , drama , catatan perjalanan) berdasarkan keindahan ungkapan bahasa . Sesudah itu dianalisa lebih jauh jalan cerita atau isi kejadian yang dilaporkan , watak dan isi pikiran dari para pelaku , latar belakang kejadian , dan isi pesan hati nurani sang pengarang (yang biasanya ada).
Pada akhirnya retorika terpengaruh science , retorika berkembang menjadi tidak lagi analisa teks , tetapi analisa lapangan: orang , masyarakat , dan bangsa .
Begitulah akhirnya menjadi humanities atau humaniora .
Leluhur kita dalam menganalisa teks lebih menjurus kepada merasa-rasakan didalam batin,sehingga pada puncaknya menjadi ilmu kebatinan.
Ilmu pengetahuan (science) di Eropa , melahirkan tehnologi ilmiah , dan humaniora melahirkan pengertian-pengertian akan daulat manusia dan tatanan masyarakat yang lebih egaliter.
Kemudian , gabungan antara tatanan masyarakat yang lebih egaliter dan tehnologi ilmiah melahirkan Industrialisasi .
Jadi industrialisasi atau tehnologi yang dilakukan tanpa melibatkan humaniora hanya akan menciptakan ketegangan-ketegangan .
Syahdan , usaha manusia didalam masyarakat akhirnya akan tertumbuk pada “mesin budaya”. Adapun “mesin budaya” itu adalah aturan-aturan yang bersifat mengikat dan menimbulkan akibat . Etika umum , aturan politik , aturan ekonomi dan aturan hukum , itu semua adalah aturan-aturan yang tidak bisa dilanggar tanpa ada akibat. Semua usaha manusia pada akhirnya akan berurusan dengan aturan-aturan itu, atau “mesin budaya” itu .“Mesin budaya” yang berdaulat rakyat, adil , berperikemanusiaan dan menghargai masa depan adalah “mesin budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggauta masyarakat dalam negara .
Tetapi “mesin budaya” yang berdaulat penguasa , yang menindas dan menjajah sangat berbahaya untuk daya hidup dan daya cipta bangsa.
Dewasa ini etika sebagai mesin budaya sangat lemah daya kerjanya . Penjahat-penjahat ekonomi dijaman Orde Baru lolos kabur keluar negeri dengan segenap harta rampokannya . Adapula yang hidup aman-aman didalam negeri dengan harta najisnya , dimuliakan orang dan tak terjamah oleh undang-undang yang tak adil . Bahkan pengacara-pengacara banyak yang menjadi kaya raya karena membela para perampok harta bangsa.
Jaksa-jaksa dan hakim-hakim pun bisa disuap dan akhirnya menjadi pelindung kejahatan.Agama tinggal menjadi lencana. Kekerasan pelanggaran hak asasi manusia dan pembunuhan menjadi halal . Bahkan dianjurkan dan dibanggakan.Pendeknya seorang yang perkasa karena senjata , karena harta , atau karena punya massa bisa melangar etika dengan aman dan sejahtera.
GO..GO..GO..ALLEZ..ALLEZ..ALLEZBakso..Bakso..Bakso..Onde..Onde..OndeMikul duwur mendem jero itu ape artinyeArtinye: kalo ente jadi presiden berdosa boleh aje.
Undang-undang dan aturan ketatanegaraan kita dewasa ini,yang meneruskan semangat undang-undang dan ketatanegaraan penjajah Hindia Belanda tempo dulu,yang sama-sama menterapkan keunggulan daulat pemerintah diatas daulat rakyat , yang sama-sama menggunakan “hatzaai-artikelen” untuk melecehkan ungkapan perasaan rakyat demi keunggulan wibawa ndoro penguasa , yang juga sama-sama menterapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, yang sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika , dengan sendirinya tidak akan berdaya mencegah krisis etika bangsa , bahkan malah mendorong para penguasa dan para perkasa untuk mengumbar nafsu jahat mereka , tanpa ada kontrol yang memadai.
Tentu saja ada Pancasila , sumber etika bangsa yang cukup lebar cakupnya. Tetapi ternyata Pancasila hanyalah bendera upacara yang tak boleh dikritik , tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya .
Kemanusiaan yang adil dan beradab , satu sila yang indah dari Pancasila, tenyata tak punya kekuatan undang-undang bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa.
Lihatlah kasus pembunuhan terhadap empat petani di Sampang , Madura . Pembunuhan Marsinah , Udin , para mahasiswa Trisakti dan peristiwa-peristiwa pembunuhan lainnya lagi.
Majikan Marsinah yang punya pabrik jam palsu dan tidak memberlakukan peraturan menteri dalam soal gaji buruh , bebas dari tuntutan apapun.
Sedangkan Marsinah yang memprotes agar peraturan menteri diterapkan di pabriknya justru malah dianiaya dan dibunuh , tanpa urusan pengadilan yang memadai.
Para buruh di Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya dianiaya dan diburu-buru oleh petugas keamanan. Biarpun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan tetapi keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh majikan pabrik. Malahan alih-alih para aktivis buruh diteror oleh para petugas keamanan dan para preman yang dibayar oleh majikan.
Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka melindungi diri dari polusi yang ditimbulkan dari limbah pabrik. Petugas keamanan selalu memihak pada kepentingan majikan pabrik.
Benar-benar Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab , keadilan sosial dan kedaulatan rakyat tak ada hukumnya didalam undang-undang pelaksanaan.
Hal ini menjadi demikian karena KUHP yang berlaku di masyarakat kita adalah warisan dari penjajah Hindia Belanda yang tak punya dasar etika dalam perundang-undangannya!
Sungguh ironis didalam negara yang merdeka, karena meremehkan kedaulatan manusia dan kedaulatan rakyat,hukum dan undang-undang justru menjadi sebab merosotannya kehidupan etika bangsa.
Tatanan hidup yang kacau ini menimbulkan “Zaman edan” ,menurut penyair Ronggowarsito ialah zaman yang tidak memberdayakan akal sehat. Seterusnya “Zaman Edan” akan menimbulkan zaman yang menurut Ronggowarsito disebut “Zaman Kolobendu” , ialah zaman yang kacau nilai, zaman kejahatan menang, penjahat dipuja , orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama, kekuasaan dan kekayaan diperdewa. Inilah zaman dimana kita semua , sekarang ini berada
Ur! Ur! Badaur!
Kotak korek apimaju mundur maju mundurUang suap pegang kendali
Ur! Ur! Badaur!Kalung jali-jaliHidup rakyat hancur leburWakil rakyat malahan naik gaji
Si tukang riba disebut lintah daratSi hidung belang disebut buaya daratPedagang banyak hutang itulah konglomeratMereka yang berhutang , yang bayar , lha koq rakyat!
Kolobendu! Kolobendu! inilah keadaan yang seharusnya tidak terjadi di negara yang merdeka. Ternyata nilai-nilai luhur dan sifat adiluhung dalam kebudayaan bangsa itu omong kosong belaka!
Akibat dari undang-undang yang tidak adil dan ketatanegaraan yang sableng, bangsa kita terperosok dalam alam Kolobendu.
Tetapi rupanya bangsa kita sering mengalami Kolobendu Buktinya di abad ke:19 Ronggowarsito sudah bersyair masa itu. Selanjutnya saya jadi teringat : dipermulaan abad ke:11 pemerintahan Dharmawangsa juga mengalami Kolobendu. Untung beliau cukup sadar akan batas kemampuannya,lalu mengundurkan diri dan menunjuk cucunya, Airlangga untuk menggantikannya.
Dalam usia tujuh belas tahun Airlangga segera berusaha memulihkan Kolobendu menjadi Kolosubo, atau zaman aman dan sejahtera. Adapun caranya dengan merubah tatanan undang-undang dalam tatanan ketatanegaraan . Tatanan yang memusat kemudian dicairkan.
Ia mengumumkan agar setiap desa adat memulihkan tatanan hukum adatnya , yang berbeda-beda disetiap desanya. Semua tergantung dari cara mereka menghasilkan barang-barang kebutuhan untuk kehidupan sehari-hari dan dipasarkan.
Kemudian ia menganjurkan agar setiap desa adat membentuk empat puluh prajurit penjaga adat, yang dipilih berdasarkan mutu kehidupan pribadi mereka , dan diangkat turun temurun. Dan ternyata kalau seorang prajurit tak punya anak yang kehidupannya bermutu baik , maka ia boleh digantikan (kalau sudah wafat) oleh kemenakkannya atau cucunya yang baik mutu kehidupannya .
Maka Airlangga menghadiahkan kepada setiap prajurit adat, disetiap desa-desa adat , sebuah keris , sebuah mata tombak , dan sehelai angkin emas.
Dengan begitu sang raja yang masih remaja itu telah menciptakan ekonomi yang luas untuk setiap desa adat dan telah melahirkan hukum dan undang-undang yang adil serta terkawal. Dan terciptalah zaman emas dalam pemerintahannya dengan dasar etika yang kuat yang didukung oleh undang-undang yang nyata berlaku. Dan undang-undang yang berlaku itu diberikan pula pengawalnya.
Menarik sekali daya cipta remaja yang berumur tujuh belas tahun itu yang telah menciptakan bagi rakyatnya tatanan undang-undang yang adil , mandiri dan terkawal.
Alangkah bedanya dengan negara kita saat ini yang tatanan hukum dan undang-undang belum memuaskan keadilannya , belum memuaskan kemandiriannya dan lagi tidak terkawal. Lembaga kepolisian yang seharusnya menjadi pengawal hukum dan undang-undang malah menjadi pengawal pemerintah! Dan lembaganya dibawah ketiak presiden! itulah sebabnya saya menyebut bahwa ketatanegaraan kita ini sableng!
Ketatanegaraan Airlangga yang tidak memusat itu ternyata malah menimbulkan kejayaan hidup bersama yang penuh daya cipta yang akhirnya memang makmur pula. Berbeda dengan ketatanegaraan kita yang terlalu memusat , sehingga akhirnya malah menimbulkan ketegangan hubungan antara pusat dengan daerah , yang bisa menjurus kearah perpecahan .
Desa-desa adat yang ada di Bali bisa terus menjaga keseimbangan hidup rakyatnya sampai saat ini . Jadi berlangsung selama 995 tahun!
Sayang pada akhirnya Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua kerajaan untuk dipimpin kedua puteranya. Hal ini menyebabkan ketegangan hidup yang terus menerus sehingga akhirnya desa-desa adat di Jawa bubar karena kehilangan kedaulatannya .
Di Sulawesi Selatan keadaan Kolobendu juga pernah terjadi di akhir abad:15 . Disaat itu muncullah seorang pemuda dari kalangan rakyat yang sangat cerdas yang bernama Kajao Laliddo. Kecerdasannya menarik para sesepuh kerajaan Bone sehingga akhirnya ia memperoleh kedudukan yang cukup tinggi .
Dalam kedudukannya itu ia menawarkan ketatanegaraan yang menjamin tetap berlangsungnya perbedaan-perbedaan kepentingan didalam masyarakat , yang eksis secara berdampingan dibawah tatanan yang ber-sendi kan etika , hukum dan undang-undang yang dikawal oleh tujuh dewan adat yang dinamakan “Ade Pitue”.
Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan kepentingan diselesaikan dengan “bicara” , yang berarti pengadilan. Hierarki dalam tatanan ketatanegaraan adalah :
Yang tertingi : “Ade” (hukum) lalu “Puang” (kesatria) yang menjadi “Pangagedereng” (pelaksana pemerintahan) , kemudian rakyat yang berdaulat .
Ternyata jalan keluar Kajao Laliddo itu sukses. Bisa membawa keamanan dan daya hidup yang penuh dinamika kemajuan bagi rakyat karena daya insyatif mereka terjaga.
Seorang Wajo yang hidup sukses di rantau , menjelaskan kiat suksesnya dengan ucapan : “Merdeka orang Wajo hanya hukum adat yang dipertuan”. Tatanan hidup itu bisa bertahan sampai 505 tahun. Pada tahun 1905 hancur diobrak abrik oleh Belanda yang datang dengan keunggulan teknologi : kapal uap , senapan mesin ,dan senapan yang bisa dikokang . Tetapi sebelum itu wilayah mereka tak bisa dijamah oleh Portugis , Spanyol, Inggris ataupun VOC.
Di zaman modern ini ketika Kolobendu menimpa Thailand di akhir abad yang baru saja berlalu. Mereka segera memperbaiki konstitusi sehingga menjadi konstitusi yang baru. Dan ternyata sekarang, kemelut itu sudah mereka lampaui. Adapun konstitusi baru itu melibatkan pertisipasi rakyat dalam penciptaannya .
Demikian pula dengan Korea Selatan yang juga ditimpa Kolobendu di akhir abad yang baru lalu . Dengan merubah konstitusi merekapun bisa keluar dari kemelut .
Ternyata hukum , perundang-undangan dan ketatanegaraan yang menghargai daulat manusia , daulat rakyat , daulat akal sehat , dan daulat etika akan menjadi “Mesin Budaya” yang mampu merangsang dan mengakomodasi daya cipta dan daya hidup bangsa , sehingga daya tahan dan daya juang bangsa menjadi tinggi .
Sayang elite politik kita masih belum bisa bebas dari mentalitas ndoro-ndoro penguasa Hindia Belanda yang sangat kuat dalam mempengaruhi diri mereka . Dianggapnya UUD’45 yang penuh pengaruh ketatanegaraan Hindia Belanda itu justru dianggap sakral dan sempurna . Bung Karno sendiri pernah berpesan bahwa UUD’45 itu tidak sempurna , tapi bisa menjadi berlaku untuk sementara saja.
Apakah kaum kolot tidak menyadari bahwa UUD’45 itu mengandung kesenjangan antara Ius (Pancasila) dan Legae (KUHP) ? . Sehingga seperti yang telah saya lukiskan diatas bahwa Pancasila hanya menjadi bendera upacara belaka . Sehingga daulat manusia , daulat rakyat dan keadilan sosial tidak pernah menjelma dalam kenyataan kehidupan .
Lain dari itu cara UUD’45 merumuskan wilayah negara , sebagaimana tercantum dalam pasal 25a adalah : “Negara kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan oleh undang-undang”
Tidak ada perkataan “maritim” didalam rumusan itu. Nama negarapun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia . Padahal 60% dari negara kita terdiri dari lautan . Tetapi seperti berkepala batu para elite politik kita tidak mau merubah nama negara kita menjadi Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia .
Negara kita adalah negara satu-satunya yang memiliki laut di dunia . Negara-negara lain hanya mempunyai pantai . Tetapi negara kita mempunyai laut : Laut Natuna , Laut Jawa,Laut Sulawesi,Laut Flores,LautBanda,Laut Aru,Laut Maluku,Laut Seram,Laut Halmahera,Laut Timor dan Laut Sawu. Tetapi ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan negara daratan . Inikah mental petani?
PBB dan Unclos sudah mengakui kita sebagai negara maritim . Tahun 1982 kita sudah menandatangani komitmen tata kelautan dengan Unclos . Tetapi sampai saat ini kita belum menyesuaikan tata kelautan dalam standar Internasional kedalam tata hukum dan tata ketatanegaraan kita.
Sampai saat ini kita belum membentuk “Sea and Coast Guard” . Padahal ini adalah persyaratan Internasional agar bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan laut kita. Secara Internasional kita tidak boleh mengamankan laut kita dengan polisi atau angkatan laut . Apa sih sulitnya membentuk “Sea and Coast Guard” ? Apakah ini menyinggung kepentingan rejeki satu golongan? Tetapi kalau ada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, bukankah tak kurang akal untuk mencari “win-win solution”?
Dalam soal perbatasan dilaut kita telah melengahkan pemetaan,pendirian mercusuar dan mengumumkan claim yang jelas dan rational mengenai batas-batas wilayah negara kita , terutama yang menyangkut wilayah laut.
Sudah saatnya pula lembaga intelejen kita mempunyai direktorat maritim. Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita di segenap bidang , mencakup pengertian “Tanah Air” dan tidak sekedar “Tanah” saja.
Pelabuhan-pelabuhanpun harus segera ditata sebagai negara pelabuhan yang dipimpin oleh syahbandar yang berijazah internasional . Sedangkan pelaksanaan pengelolaannya boleh dilakukan oleh perusahaan yang di syahkan oleh syahbandar. Kemudian harus segera dicatatkan di PBB dan Unclos .
Tanpa itu , maka negara kita sampai saat ini tidak diakui punya pelabuhan , melainkan hanya diakui punya terminal-terminal belaka.
Sampai sekarang kegiatan Departemen Kelautan hanya mengurusi hasil kelautan saja, tetapi lengah dalam mengurusi Kedaulatan negara kita dilaut.
Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara itu untuk pertama kalinya di claim oleh Baron van der Capellen pada tahun 1821 dengan nama Hindia Belanda dan sifat kedaulatannya adalah negara maritim . Jadi van der Capellen tidak mengandalkan kepada kekuatan serdadu untuk mempersatukan nusantara , melainkan alat politik untuk persatuan itu adalah hukum dan ketatanegaraan maritim!
Kemudian ketika harus berantisipasi menghadapi pecahnya perang dunia kedua , pemerintah Hindia Belanda tidak lengah , segera pula tahun 1939 menerbitkan Ordonansi tentang Batas Wilayah Maritim Pemerintah Hindia Belanda.
Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan Menteri Luar Negeri Muchtar Kusumaatmaja yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia internasional sehingga diakui oleh PBB dan Unclos . Tetapi kita harus tanpa lengah sekejap-pun meneruskan perjuangan itu sehingga ada implementasi pengakuan dunia internasional menjadi sebuah kedaulatan yang nyata.
Tetapi sayang hal-hal semacam ini , soal “sea and coast guard” dan segala macamnya lagi yang saya sebut diatas , tidak muncul dalam “Rencana Undang-Undang Pembangunan Jangka Panjang Nasional” yang kini lagi menjadi pe-er nya para anggauta DPR yang baru saja dinaikkan gajinya itu.
Perlu disayangkan pula bahwa usaha untuk mendirikan Universitas Maritim yang bisa memberikan ijazah internasional untuk syahbandar dan nakhoda belum juga mendapatkan izin dari Departemen Pendidikan Nasional .
Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu adalah sikap yang tidak patriotik dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara di lautan.
Ketatanegaraan kita yang sableng juga menyebabkan pemerintah kita dari sejak Orde Lama , Orde Baru dan Orde Reformasi melengahkan pembangunan perdagangan dalam negeri yang berlandaskan usaha kecil menengah .
Bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak mengindahkan kemajuan perdagangan dalam negeri , tidak pula mengembangkan kemampuan yang dahsyat dari usaha kecil menengah , itu bisa dimengerti karena mereka memang punya agenda penjajahan .
Oleh karena itu pula pemerintah Hindia Belanda menciptakan industrialisasi dengan landasan modal asing . Sedangkan bahan baku dan mesin alat berproduksi diimport . Yang semuanya itu dijamin oleh Ordonansi Pajak tahun 1925 , dibebaskan dari pajak . Bahkan diberlakukan pula peraturan devisa terbuka, agar keuntungan-keuntungan dan semua hasil jarahan ekonomi bisa dilarikan keluar negeri.
Anehnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 dan disegarkan pada tahun 1970 memuat hal yang sama dengan Ordonansi Pajak 1925 . Yang semuanya itu merupakan kembang gula bagi modal asing!
Lebih jauh lagi Orde Baru lebih percaya pada kemampuan berhutang pada lembaga Donor Asing daripada membangun kekuatan modal dalam negeri . Sudah jelas merupakan kesalahan besar membangun ekonomi makro tanpa membangun ekonomi mikro .
Teori “tricle-down effect” itu tipu daya belaka . Nyatanya alam menjadi rusak . Hutang ber-milyard-milyard dollar yang semua harus ditanggung oleh rakyat.
Para elite politik lupa bahwa sejak abad 18 perdagangan antar pulau dan antar desa sudah berkembang dengan jayanya di nusantara . Bahkan perdagangan itulah yang menjadi tali persatuan Nusantara , bukan serdadu atau pemusatan kekuasaan . Perdagangan itu yang mendorong rasa berbangsa dan menjelmakan bahasa persatuan dengan huruf yang sama dan kalender sama. Bahkan mampu mendorong tatanan hidup bermasyarakat yang multykultur di kota-kota pelabuhan dan kota-kota besar di pedalaman .
Tentu saja para penjajah tidak alpa menindas kehidupan perdagangan antar daerah , antar suku,antar desa demi kepentingan hak monopoli perdagangan mereka.
Tetapi setelah kita merdeka , seharusnya kita tidak terlambat untuk memulihkan daulat perdagangan rakyat antar daerah , antar pulau dan antar desa . Bukannya mengejar pembangunan khayalan yang bertumpu pada modal asing dan ekonomi makro semata.
Modal asing yang masukpun tidak pernah mau menjamah pembangunan infrastruktur ekonomi untuk perdagangan antar daerah dan antar desa . Modal asing rata-rata hanya menggarap potensi bangsa kita sebagai pasar.
Apakah kesalahan pembangunan Orde Baru ini akan diterus-teruskan lagi oleh Orde Reformasi tanpa ada jeranya?
Menurut data terakhir dari Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah , jumlah usaha kecil menengah sekarang sudah mendekati 45 juta dan menampung tenaga kerja hampir 85 juta orang . Kontribusi mereka pada GNP 62% yang sama dengan 1200 trilyun rupiah. Apakah ini bukan kemampuan nyata yang harus diperhatikan di dalam program pembangunan.
Akibat dari agenda pembangunan pemerintah yang penuh khayalan tapi kurang berdasar pada kenyataan itu , negara kita semakin terlilit hutang dan kepentingan rakyat semakin jauh ditinggalkan.
Kesalahan visi pembangunan Orde Baru yang dasar adalah: merancangkan masa depan dalam jangka panjang namun tanpa pengetahuan akan portofolio masa lalu yang rasional dan tanpa pengetahuan portofolio masa kini yang rasional pula.
Rupa-rupanya hal ini akan diulang lagi oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyusun “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional”Memang ada makhluk yang suka membenturkan kepalanya ke tembok dua kali…Bah!

Aduh..aduh.., cantiknya si Janda Kembang
Sedap menyanyi “Si Jali-Jali”
Hujan emas di rantau orang
Hujan babu di negeri sendiri

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh.


WS.Rendra