Tuesday 9 September 2008

Goenawan Mohammad Tentang Pram....

Pramoedya saat mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun 1999
Catatan Pinggir Goenawan Mohammad

P R A M

Pramudya Ananta Toer, berbaju hitam, berdiri tegak di depan kere bambu yang merindangi sebuah beranda: foto karya Harvey Dangla ini, yang pernah dipamerkan di Galeri Seni Rupa Gambir, Jakarta, di tahun 1994, menangkap momen sang novelis yang paling kena. Ada kekuatan di sana, ada sesuatu yang keras, mungkin juga angkuh, di paras dan posisi itu. Dangla, sang fotograf Prancis, tidak menampilkan seorang tua yang sudah bungkuk dalam umur 70 tahun. Ia menampilkan seorang penantang abadi. Pram memang seorang penantang abadi --atau ia telah dibuat demikian oleh sejumlah orang dalam sederet zaman. Dalam buku A. Teeuw yang mengagu- minya, _Modern Indonesia Literature_, kita bisa baca riwayat hidupnya yang seakan-akan bagian dari sejarah pembebasan politik Indonesia. Pram lahir 6 Februari 1925 di Blora, di Jawa Tengah Utara. Ayahnya seorang guru yang tadinya bekerja untuk sekolah dasar pemerintah, HIS, di Rembang, tapi kemudian menjadi kepala sekolah milik pergerakan Budi Utomo di Blora, setelah ia kawin dengan putri seorang penghulu. Pram anak sulung. Gaji guru Budi Utomo sangat kecil, dan sang ibu harus menambah penghasilan dalam kesulitan hidup itu dengan bekerja di sawah atau di pekarangan rumah. Di sekolah bapaknya, Pram bukan anak yang paling pandai, dan ini mengecewakan si bapak yang keras hati itu. ada cerita bahwa ketika Pram selesai dan ingin melanjutkan belajar di sekolah menengah, ayahnya menyuruhnya kembali ke sekolah dasar. Marah, menangis, toh ia harus patuh. Hubungan ayah-anak pun tegang, suatu keadaan yang bisa nampak pula dalam tulisan-tulisan Pram kemudian. Si bapak, seorang nasionalis, kemudian jadi kecewa oleh keadaan pergerakan. ia jadi seorang penjudi yang tangguh, seperti tergambar dalam novel _Bukan Pasar Malam_, ketika pengarang pulang ke Blora untuk pemakaman ayah yang tak membahagiakan anak-anaknya itu. Di tahun 1940-an Pramudya ikut dengan tentara Republik dalam gerilya melawan pasukan Belanda. Di tahun 1947 ia dipenjarakan di Bukit Duri. Ia menulis _Kranji-Kranji Jatuh_, dan _Keluarga Gerilya_ dan dengan segera mengalami benturan pertama antara sastra yang ditulisnya dan kekuasaan. Yang pertama diterbitkan oleh the _Voice of Free Indonesia_ di Jakarta di tahun 1947. Penerbitnya digrebeg pasukan Belanda, dan tiga perempat dari catatan-nya untuk prosa tentang gerilya ini disita Nefis, tak pernah kembali. _Keluarga Gerilya_ ditulis di bui Bukit Duri. Kemudian ia bebas. Republik berdiri dan lepas dari kemungkinan dijajah kembali, meskipun tak berarti lepas dari sengketa, kekerasan, penindasan, kali ini antara orang-orang Republik dan orang-orang Republik --sebuah kepedihan yang nampaknya sulit dielakkan dalam sejarah nasionalisme Dunia Ketiga. Kemudian Indonesia memasuki suatu masa baru. Saya masih sangat muda waktu itu, dan tak tahu persis apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Tapi ketika saya pindah ke Jakarta untuk jadi seorang mahasiswa (dan kemudian penulis), segera saya merasakan suasana yang kian kehilangan kesempatan untuk perdebatan ide-ide: iklim jadi kurang toleran, kekuasaan kian represif. Di tahun 1958 Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang, dan militer memegang posisi yang kian menonjol dalam mengatur kehidupan masyarakat. Sejumlah koran dibredel, majalah dipaksa berubah atau mati, sejumlah partai dan organisasi dibubarkan, dan sejumlah pemimpin, termasuk dua bekas perdana menteri, dimasukkan rumah tahanan. Sistem politik diubah drastis: Presiden Soekarno memperkenalkan sistem _Demokrasi Terpimpin_. Pekik besar Revolusi diserukan, dan semua orang harus ikut, semuanya harus berdiri siap, setia, seia, semuanya harus berbaris di belakang sang _Pemimpim Besar Revolusi_, yang tak lain adalah sang Presiden sendiri. Orang seperti Bung Hatta masygul menyaksikan semua ini dan menulis sebuah risalah ringkas, _Demokrasi Kita_ -- yang kemudian tak bisa disebar- luaskan secara terbuka. Tetapi ada mereka yang yakin bahwa perubahan yang besar dan berarti sedang terjadi, ke arah yang lebih baik, dan sebab itu tindakan yang keras diperlukan. Orang mulai hidup dalam gairah, tapi juga rasa tegang, yang juga rasa cemas. Semacam demam berkecamuk. Pramudya (dan tentunya juga yang lain-lain) berada di tengah semua itu. Di tahun 1960 ia menerbitkan seubah esei panjang yang dibentuk dalam sebuah buku, _Hoakiau di Indonesia_. Tak lama kemudian, buku itu --semacam pembelaan buat orang Indonesia keturuan Tionghoa, suatu pendirian yang bertentangan dengan banyak orang dan terutama dengan aparat yang berkuasa-- dilarang. Di tahun 1960 itu ai dipenjarakan. Saya, dalam umur 19 tahun, tak mendengar banyak tentang nasibnya saat itu. Saya tak tahu siapa yang mengutuknya dan siapa yang membelanya hingga ia, tak lama kemudian, dibebaskan. Bagi saya yang baru muncul dari sebuah SMA di Jawa Tengah, Pramudya adalah seorang novelis dan penulis prosa yang memukau. Saya baru mendengar tentang sisi lain dirinya setelah ia memimpim lembaga kebudayaan Lentera di harian pagi _Bintang Timur_. Saya kaget membaca pendapat- pendapatnya. Hampir semuanya terasa tajam, dan menghantam. Adakah yang tarasa pahit di sana adalah cerminan kegeraman eksisten- sial, atau suatu protes sosial: marah kepada hidup yang hanya kadang-kadang memberi momen yang ringkas untuk bahagia? Atau marah kepada satu kalangan yang enak, yang pintar omong Belanda dan Inggris dan tinggal di daerah kelas satu dan fasih bicara soal rakyat yang tak dikenalnya sendiri? Ia menyerang beberapa karya yang dimuat di majalah _Sastra_ sebagai _reaksioner_, sebuah tuduhan yang serius masa itu, sebab itu berarti anti- revolusi. Ia menuduh mereka sebagai tulisan yang _tidak berpihak pada the prespiring and toiling masses_. Ia misalnya menyerang Takdir Alisjahbana (yang waktu itu, sebagai intelektual yang dianggap pro-Barat dan dekat dengan sebuah partai yang sudah dilarang, PSI, terpaksa meninggalkan Indonesia untuk tinggal di luar negeri) dengan tonjokan yang keras. Ia menilai Takdir _berhasil mengeruk keuntungan berlimpah sampai dapat mening- katkan jumlah milyuner nasional dengan dirinya sendiri_. Ia mengecam keras penulis yang sikap politiknya tak jelas. Yang semacam ini, tulis Pram, harus _dibabat_, dan _tidak perlu diberikan luang sekecil-kecilnyapun_. Ia nampaknya sepenuhnya cocok dengan suara parau masa itu: nada konfrontasi, kewaspadaan, dan pada akhirnya, represi. Orang-orang yang kena serang pun marah, gentar, takut. Tuduhan _kontrarevolusioneri atau ireaksioner_ memojokkan siapa saja. Bahkan sebuah grup penyanyi pop, Kus Plus, yang menyanyi dengan gaya Barat seperti Everly Brothers, masuk penjara. Dalam keadaan terdesak, oran gpun mencoba membela diri. Dari polemik di tahun 1960-an itu nampak, bagaimana lawan-lawan Pramudya telah tersudut: para penulis di Majalah Sastra yang dipimpin H.B. Jassin itu juga mengguna- kan idiom dan leksikon yang berkuasa, seperti _revolusi, rakyat, sosialis- me_. Ringkasnya, semacam kapitulasi telah berlangsung. Puncaknya adalah dilarangnya Manifes Kebudayaan 8 Mei 1964: sebuah pernyataan yang dengan bersemangat ingin ikut serta dalam irevolusi tetapi kemudian diganyang sebagai kontrarevolusi. Para penandatangannya kemudian merendahkan diri dan minta maaf kepada Sang Pemimpim Besar Revolusi. Tapi mereka pun dibersihkan di mana-mana. H.B. Jassin dicopot dari Universitas Indonesia. Wiratmo Sukito digusur dari RRI. Yang lain mencoba menyelamatkan diri dengan cara masing-masing. Saya ingat bahwa saya, salah seorang penan- datangan, bahkan tidak boleh ikut teken daftar hadir dalam sebuah rapat teater, karena sang penyelenggara rapat, Usmar Ismail, takut bila ketahuan bahwa seorang Manikebu hadir di situ. Bersalahkah Pramudya atas prosekusi yang terjadi itu? Kini, ketika ia diberi Hadiah Magsaysay 1995, sejumlah sastrawan dan seniman menulis sebuah pernyataan, mengingatkan _dosa_ Pram di tahun 1960-an. Dalam ingatan mereka, Pram adalah seorang pembantai hak. Dalam ingatan Pram, seperti dinyatakannya dalam pelbagai wawancara, ia bukanlah pihak yang melakukan pelarangan. Ia hanya berniat memulai sebuah polemik. Kepala kita bisa memilih apa yang diingat dan yang tidak, tapi saya kira niat Pram bukan keinginan ganjil seorang penulis. Di tahun-tahun itu saya sendiri pun memimpikan bahwa itulah yang hendaknya berkembang: sebuah polemik, sebuah benturan ide-ide yang mencerminkan posisi yang berbeda, sebuah debat yang layak diikuti jika kita ingin menjelajah mencari rumusan sikap dalam menghadapi soal-soal nyata waktu itu. Namun justru bukan itu yang terjadi. Menjelang pertengahan 1960-an, Indonesia berada dalam sebuah suasana apokaliptik: kiamat seakan-akan di ambang pintu. Orang merasa bahwa sebuah zaman akan berakhir, dan sebuah zaman yang akan secara radikal berbeda akan lahir. Bung Karno - pusat dari seluruh tampuk - nampak akan tak lama lagi di kursinya karena usia, dan PKI, ABRI, semua, bersiap, saling mendesak dan mengancam. Baik jika PKI yang menang (banyak tanda bahwa PKI unggul waktu itu), atau pun jika PKI yang kalah, melalui sebuah pergantian kekuasaan yang waktu itu tak jelas bagaimana akan terjadi, Indonesia akan berubah benar-benar: mengerikan bagi satu pihak, menggembirakan bagi pihak lain. Maka pergulatan kekuasaan yang dahsyat pun berlangsung. Hampir setiap ekspresi yang tercetus ke publik luas - ide-ide, karya seni - pun mau tak mau terkait, atau mengkaitkan diri, atau dikait-kaitkan, dengan pergulatan besar itu. Suasana permusuhan begitu pahit dan begitu mencemaskan... Mungkin sebab itu, apa yang tercetus di Lentera, dan apa yang tercetus sebagi Manifes Kebudayaan, akhirnya diambil alih oleh, atau dijadikan bagian dari, permusuhan yang lebih luas. Saya tak tahu sejauh mana Pramudya waktu itu tak menduga, bahwa ketika ia menyerukan sesuatu agar _dibabat_, bukan sekedar benturan pikiran yang akan terjadi. Suasana hari itu bukanlah suasana seperti di tahun 1930-an. Di zaman Pujangga Baru itu tulisan di publik tak merupakan bagian dari benturan kekuasaan yang akan saling menghancurkan. Tatkala Takdir Alisjahbana menyerang ide-ide kebudayaan yang ada, berlangsunglah suatu pergulatan pendapat yang fasih, sopan, berarti, dan layak direkam sebagai sumber pemikiran, yang kemudian hari dikenal dengan nama Polemik Kebudayaan. Sayang, masa seperti itu telah hilang. Menjelang pertengahan 1960-an, dan agaknya mulai sejak itu, kita hanya punya satu cara untuk menyelesaikan benturan ide-ide: pembungkaman. _Polemik_ pun jadi sebuah kampanye untuk tumpas menumpas. Lawan berpendapat menjadi musuh. Semuanya dikerahkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang akan habis menghabisi. Maka ketika _Manifes Kebudayaan_ dilarang, dan penumpasan terjadi, Lentera dan Lekra (yang kemudian menyelenggarakan sebuah konferensi yang megah di Istana Negara) bersorak-sorai. Dan ketika kemudian arus berbalik, dan PKI hancur, dan Lekra dibubarkan dan Pramudya ditangkap dan dibuang di Pulau Buru tanpa proses pengadilan, orang _Manifes Kebudayaan_ pun diam saja. Saya kira malah banyak yang lega. Atau setidaknya hanya termangu, antara menyesalkan kebrutalan itu dan manggut-manggut memahami. Pramudya Ananta Toer: mau tak mau dialah yang layak jadi simbol perbenturan (dan juga pertautan) antara ide dan kekuasaan, sebuah _icon_ tersendiri didalam sejarah Indonesia modern -khususnya selama 50 tahun merdeka. Yang suram ialah kenyataan bahwa dari setengah abad itu, ada sekitar 35 tahun lamanya berkutat sebuah noda: dosa kita melumpuhkan perbedaan pendirian dan pandangan, terkadang dengan cara yang bengis. Saya ikut dalam dosa seperti itu. Juga Pramudya. Juga lawan-lawannya. Prosekusi atas diri kita kini atau dahulu tak dengan sendirinya memberi kita hak untuk jadi lebih suci. Yang menyedihkan ialah bahwa kita terus mengulum rasa pahit sekian dasa warsa itu, dan seperti tak mau, mungkin tak kuasa, mengakui dosa yang 35 tahun itu. Yang kita lakukan justru membuat corengan pada orang lain, terus menerus -dan jadi kerdil dalam proses itu. Memang menyesakkan, terutama ketika ingat sebaris sajak Subagio Sastrowardoyo: melalui dosa kita bisa dewasa.


17 Agustus 1995




Goenawan Mohamad

1 comment:

Mario P. Manalu said...

Saya mengagumi Pram bukan terutama karena karya-karyanya, terlebih karena konsistensi pemikiran dan sikapnya yang menentang segala bentuk ketidakadilan.
GM menunjukkan sikap yang dewasa. Melalui esei ini kita dapat membaca alur pikiran seorang yang tidak larut dalam masa lalu tapi terus berproses mencari kebenaran.....hebat.