Friday 31 December 2010

Refleksi Tahun 2011 bagi Drama Perkembangan Bangsa Indonesia



Hari ini adalah hari pertama tahun baru 2011. Tahun 2010 menyisakan PR terpenting bagi bangsa kita yaitu : Apakah negara berfungsi sebagai pengarah pertumbuhan masyarakat di Indonesia ataukah Negara berfungsi sebagai entitas penipu? Entitas dimana negara merupakan rumah besar yang melindungi kaum elite untuk berhadapan dengan rumah besar bernama Rakyat Indonesia.

Negara tidak lagi paralel tumbuh bersama dengan perkembangan masyarakat. Negara memang sudah tidak menjadi organ penindas seperti masa Orde Baru, tapi kini negara tumbuh menjadi ruang yang mendemarkasi elite-pemodal dengan rakyat banyak. Negara tumbuh menjadi tanggul pemisah, tanggul pemisah ini bila tidak diwaspadai akan menjadi organ penindas bagi perkembangan masyarakat. Ada empat catatan besar disini yang bisa dikenakan atas sinyalemen negara yang menjadi tanggul pemisah : Penyelesaian Kasus Bank Century di Parlemen, Drama Gayus, Kasus Yogyakarta dan Kontroversi PSSI.

Pertama, Penyelesaian Kasus Bank Century yang kemudian dilempar kepada kaum politisi di Parlemen sesungguhnya merupakan penghinaan terhadap Hukum dan Akal Sehat. Setelah kasus ini berada di parlemen dan diselimuti eforia demokrasi-demokrasian dengan skenario Opsi, lalu kasus ini berkembang hanya pada : Bargain Politics, Tawar Menawar Politik antara dua partai besar : Demokrat dan Golkar membuat rakyat yang tadinya bersorak-sorai melihat kasus ini di Pansus dan Beramai-ramai menonton soal opsi seperti : Kambing Yang Tolol. - Kaum elite yang bermain disini menyuguhkan sinetron tak bermutu yang menipu persepsi masyarakat. Kasus ini seharusnya dibawa ke ruang hukum yang steril dari kepentingan politik, ke ruang KPK tanpa melibatkan parlemen karena kasus Century dan dugaan-dugaannya adalah murni perbuatan kriminal.

Kedua, adalah drama Gayus. Lagi-lagi rakyat dibodohi dengan ulah seorang Pejabat Pajak tapi semua menyorot kepada Gayus, kaum intelektual dan pendebat-pendebat di TV tidak menyoroti akumulasi perampokan pajak secara keseluruhan, bahkan melupakan ruang dialektik dimana sejak Revolusi Kemerdekaan 1945 ekonomi negara ini dibangun dengan wajah Malaikat berjiwa bandit. Jiwa bandit dalam ekonomi kita belum mampu dibongkar, inilah kenapa banyak penjahat berhubungan dengan penguasa dalam situasi yang tidak masuk akal. Pertumbuhan masyarakat terancam dengan spirit bandit dalam ekonomi kita, sejarah bandit dalam Perekonomian Indonesia seharusnya ditelusuri, dianatomi kemudian diklasifikasi sehingga kelak ada regulasi yang melarang : Otoritas Negara berhubungan dengan Bandit-Bandit Ekonomi.

Ketiga, Kasus Yogyakarta yang memang tidak berdampak pada persoalan integrasi nasional karena saat ini tidak mungkin kita berpikir orang Jawa berpisah dari suatu gagasan besarnya bernama : Indonesia. Tapi yang perlu menjadi catatan besar adalah Kedunguan negara terhadap persoalan sejarah dan kedua ada persoalan dalam hubungan negara-daerah dimana ketidakserasiannya itu adalah persoalan pembagian kekayaan. Dalam kasus Yogyakarta negara gagal memahami jiwa perkembangan masyarakat dimana masyarakat berfungsi sebagai agen kultural yang terpenting dalam perkembangan sejarah perkembangan bangsa, sebagai agen kultural ini, negara atau penguasa tidak memiliki hegemoninya karena kultural tumbuh dalam pemikiran-pemikiran yang bebas sementara negara tumbuh dalam pengaturan. Namun negara harus melindungi perkembangan kultural ini. Perkembangan kultural yang baik adalah menyatunya secara homogen seluruh variabel perkembangan masyarakat dengan landasan besarnya : EKONOMI. Sementara negara gagal dalam akumulasi modal, sehingga apa yang terjadi dalam protes di Yogya serupa dengan di Papua, negara sebagai akumulator modal gagal menjalankan tugasnya dan justru mengintervensi hal yang tidak ia mengerti : Perkembangan Kultural.

Kontroversi di PSSI ini juga merupakan arogansi negara terhadap pertumbuhan masyarakat dibidang olahraga. Sekelompok orang memanfaatkan anggaran dana negara melalui APBD untuk sepakbola. Padahal sepakbola bagian dari kultural, bagian dari pengembangan pembebasan yang ada di masyarakat bukan bagian dari tanggung jawab negara. Masyarakatlah yang bertanggung jawab terhadap pengembangan sepakbola secara profesional, sekaligus mengarahkan sepakbola sebagai sebuah industri bebas yang dibentuk persaingan kompetitif bukan sebagai alat penindas penguasa-penguasa politik yang menindas pertumbuhan sepakbola dengan modal yang ia rampok dari negara. Kejadian final AFF menunjukkan pada kita begitu kuatnya jaringan mafia yang menguasai dunia sepakbola kita, sehingga hal paling sederhanapun seperti persoalan manajemen ticketing menjadi tontonan memalukan. Kejadian kemarin memamerkan kepada kita betapa bobroknya sistem yang dikelola berbasis non profesional. Dalam kasus dunia sepakbola kita masyarakat sendirilah yang harus merebutnya dari tangan penguasa anggaran negara yang berkongsi dengan cukong-cukong politik pelindung mereka.

Empat catatan besar diatas adalah kasus yang sangat membumi dan bisa dijadikan notifikasi bahwa ada yang salah dalam pengurusan negara kita. Demokrasi yang hidup sekarang ini tidak akan tumbuh baik apabila masyarakat sendiri malas untuk merebut hak-hak mereka sehingga kaum pemodal saat inilah yang merampok kenyamanan demokrasi dan menghegemoni hidup kita demi keuntungan dirinya, bila ini didiamkan maka tak lama lagi REPUBLIK INDONESIA hanyalah sebuah Perusahaan Multinasional yang sahamnya dipegang sekitar 300-an pemilik modal. Sementara Masyarakat hanya menjadi babu bagi mereka, babu tanpa otak.


1 Januari 2011


ANTON