Thursday, 24 April 2008

Menjadi Seorang Bintang

Menjadi Seorang Bintang

Definisi seorang bintang atau selebritis sekarang sudah benar-benar rancu, apakah mereka itu pekerja seni atau mereka adalah objek yang dikerjain atas nama seni?. Tadi siang setelah makan siang saya melihat salah satu shooting sinetron di depan sebuah gedung perkantoran. Saya melihat salah satu artis yang wajahnya nggak asing lagi. Lama saya perhatikan tingkah dia. Entah kenapa ingatan saya melayang ke 25 tahun yang lalu....tahun 1983-an. Saat itu usia saya nggak lebih dari 9 tahun. Di depan rumah saya di bilangan Buncit, Jakarta Selatan ada sebuah Madrasah, ya sebuah sekolah Islam yang banyak juga teman saya sekelas dari SD Inpres sekolah siang disana. Adalah kebiasaan saya setelah pulang sekolah mencari koran Pos Kota pada sebuah kios rokok di depan pagar Madrasah untuk bisa baca cerita Ali Oncom. Setelah selesai baca Cergam Poskota saya pergi ke tukang jajanan di dalam sekolah dengan mbrobos pager sekolahan nyari somay atau tahu isi setelah itu saya ke dalam sekolahan untuk godain teman-teman saya yang ikut sekolah siang atau ngeliat anak-anak Madrasah latihan drumband. Teman-teman saya biasanya belajar ngaji atau tajwid di Ibtidaiyah. Sementara mungkin karena basis pendidikan agama di keluarga nggak begitu ketat jadi saya nggak disekolahkan di Madrasah, sepulang sekolah kerjaan saya keluyuran biasanya pulang nyaris maghrib, padahal setelah pulang sekolah biasanya ada guru les privat Matematika yang dateng ke rumah...tapi saya lebih seneng maen ketimbang belajar. Ada satu kegiatan yang menarik di Madrasah itu yang sungguh saya suka. Dulu saya tidak tahu namanya apa? Kelak beberapa tahun kemudian saya ngeh...kegiatan itu bernama Teater.

Yang saya suka dari latihan teater itu adalah suasana disiplin yang dibentuk oleh sutradaranya. Pernah di suatu siang yang terik para pemain teater dijemur berjam-jam. Saya pikir ini latihan drama atau mau bentuk serdadu perang...? Kemudian setiap orang diajari caranya mimik menangis, tertawa terbahak-bahak, murka, melamun sedih dan menahan amarah, latihan itu juga berjam-jam bahkan sampai menjelang malam. Tapi ada satu hal yang saya paling suka adalah memperhatikan tingkah laku sutradaranya yang super galak...(Banpol Mampang kalah galak kale dibanding dia)...Biasanya sutradara itu memegang balok kayu seukuran lengan atau disampingnya ada batu bata....setiap ada adegan yang dianggap salah, sutradara itu melemparkan balok atau batu bata. Setiap bentakannya terdengar keras. Awalnya saya takut melihat gaya sutradara sinting itu. Tapi lama kelamaan saya suka, karena tindakan sutradara itu justru membentuk karakter pemain.

Dengan latihan yang sedemikian berat, setahu saya teater madrasah itu cuman manggung di panggung 17-agustusan dan kalah menarik ketimbang lawakan. Dulu Madrasah itu punya pelawak terkenal dan bukan maen lucunya. Saya suka tertawa terpingkal-pingkal kalo seorang pemain yang saya lupa namanya itu muncul. Lemparan joke-nya cepet dan ngumpannya bagus. Saya kerap membandingkan dia dengan pelawak Komar Tom Tam Grup, yang emang jaya di tahun 80-an selain pelawak favorit saya U’uk dari Jayakarta Grup. Kembali ke teater tadi, saya melihat ada kepuasan batin dari anak-anak yang belajar teater setelah memainkan peran seni mereka. Ada lagi teater di tahun 80-an yang saya suka, namanya teater Gandrik. Dua tokohnya yang terkenal saat itu adalah Butet Kartaredjasa dan Den Baguse Ngarso, pernah teater itu disiarkan di TVRI namun hanya beberapa kali setelah itu nggak ada siaran lagi. Yang masih menancap di kepala saya adalah pementasan teater Panembahan Reso, yang dimainkan teater-nya WS Rendra. Saya tahu bukan karena saya sempat menontonnya tapi saya suka karena saya pernah robekin poster iklannya di Aldiron Plasa, Blok M. Saat itu saya lagi nyari video “Pendekar Ulat Sutera” yang maen David Chiang. Nah, pas deket tangga jalan (eskalator), saya liat poster Panembahan Reso keren banget. Pas Satpam nggak ada, poster itu saya cabut pelan-pelan dan saya pajang di kamar. Gaya WS Rendra di poster itu keren banget dan figurnya selalu saya fantasikan sama dengan Panembahan Senopati wong agung soko Mataram.

Beberapa tahun kemudian saya kuliah. Ada dua teman kuliah saya yang emang cari makannya di dunia seni. Salah seorang kini kerap muncul di TV dan satu orangnya lagi entah kemana. Walaupun secara narsis sayalah pelawak sesungguhnya di kampus dan paling populer di lima angkatan/tahun kelas, namun karena saya nggak niat cari duit jadi kedua teman saya itu yang maju bener-bener menggeluti bidang seni. Saya tahu banget kerja keras mereka, tiap malam berusaha tampil di panggung seni Ancol. Mereka bikin skenario lawakan dan bagi saya lawakan mereka nggak ada lucu-lucunya. Tapi mereka sadar ketidaklucuan mereka ditutupi dengan kemahiran mereka bermain musik. Mereka juga sadar kalo kalah lucu dengan saya, jadi kalau mereka lagi ngelawak di depan temen-temen pas saya dateng mereka langsung ngacir. Bertahun-tahun mereka merintis karir dan itu bukan perkara mudah. Banyak hal dikorbankan.....

Dan mata saya kembali ke anak muda yang jagoan sinetron itu. Jujur saja saya tidak melihat watak seorang pekerja seni di wajahnya. Yang saya lihat adalah etalase, yang saya lihat adalah sebuah barang dagangan nggak lebih dari guci yang dijual di Rawasari sana, wajah tololnya menunjukkan ia tidak mengerti apa-apa tentang dunia akting, dan ia dimasukkan ke dalam sebuah industri dimana letak karakternya hanya sebuah baut yang tidak ada artinya. Ada pemain sinetron yang terkenal di era tahun 1970/80-an dan saya sangat suka sekali aktingnya, namanya Maruli Sitompul...orang Batak dia, tapi fasih berdialek dengan logat Jawa-Yogya. Kalau dia bermain sebagai seorang ayah yang keras kepala seperti di film “Dibalik Kelambu” atau seorang kepala desa yang berwajah tenteram, atau juga seorang dukun baik di film “Akibat Guna-Guna Isteri Muda” dia bisa saja....aktingnya jempolan dan bagi saya sekelas dengan Robert De Niro atau Al Pacino. Begitu juga Roy Marten dengan gaya bengalnya atau Slamet Rahardjo yang aktingnya bisa membuat dunia seakan berjalan perlahan. Ketika saya mengingat nama-nama mereka langsung dalam hati saya berkata “Betapa hebatnya pekerja seni”....

Namun kehebatan pekerja seni sejati jelas tidak akan menghasilkan gedung megah seperti milik seorang saudagar sinetron di Jalan Monginsidi, Kebayoran Baru sana. Karakter-karakter pekerja seni lahir dari sebuah kebersahajaan. Mungkin sebuah rumah pada sebuah gang di Kebon Pala I, Tanah Abang, rumah tua dimana Teguh Karya merenung bisa menjadi saksi bahwa mahakarya seni bisa dibuat disana...tapi yah, kebersahajaan pekerja seni hanya melahirkan kemurungan materialisme, sementara disana sebuah ketololan justru dibayar dengan harga berbinar-binar.

ANTON

Catatan Ringan Di Sabtu Pagi

Catatan Ringan Di Sabtu Pagi :
Dari Sjahrir sampai Kyai Dasuki

Oleh Anton

Selain buku ‘The Future Games’ karya Teweles and Jones yang dalam sebulan ini belum selesai-selesai dibaca. Ada beberapa buku selingan yang sudah diselesaikan salah satunya adalah dua buku catatan tajuk Mochtar Lubis dan catatan harian Sutan Sjahrir. Dua buku ini sebenarnya buku terbitan lama. Sekedar catatan untuk catatan harian Sutan Sjahrir saya sering melihat dipajang di Gramedia Blok M sejak saya masih SMA awal tahun 90-an. Ada yang menarik tentang Sutan Sjahrir dan Mochtar Lubis. Yaitu sama-sama menginginkan manusia rasional, modern dan berpikiran maju di Indonesia. Namun berkiblat ke barat.

Catatan Harian Sutan Sjahrir

Awal saya mengenal Sutan Sjahrir justru dari tulisan Harry Poetze , dimana peran Djohan Sjahruzah (tokoh PSI, keponakan Sjahrir) sangat besar dalam mengenalkan alam pemikiran Sjahrir ke pada Poetze, namun di buku Poetze bagi saya sangat gersang jiwa
Sastra dari tulisan Poetze kurang hidup. Justru pada catatan harian Sjahrir ‘Renungan dan Perjuangan’ kita bisa mengenal sosok Sjahrir yang humanis. Tidak kering seperti Hatta, namun tidak juga berkobar bagai Sukarno. Membaca Sjahrir tentunya kita akan ingat tentang pamfletnya yang terkenal : “Perdjoangan Kita”. Pamflet “Perdjoangan Kita” ini bagi sebagian orang sebagai masterpiece-nya, dan ini sama saja dengan buku ‘Alam Pikiran Yunani’ dan artikel ‘Demokrasi Kita’ –nya Hatta, atau ‘Indonesia Menggugat-nya Sukarno. Pamflet ‘Perdjoangan kita’ mempunyai tiga isi pokok yang kemudian isinya ini sangat mempengaruhi sejarah negeri ini. Isi itu adalah :

1. Jangan sampai Indonesia merdeka jatuh ke tangan unsur-unsur radikal
2. Menghapuskan mentalitas fasis yang ditanamkan oleh Jepang
3. Memperoleh kepercayaan luar negeri.

Selain unsur yang ketiga yang merupakan sebuah strategi jangka pendek diplomasi RI. Dua unsur pertama dan kedua, merupakan tragedi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Karena kedua unsur inilah yang menjadi mesin sejarah utama bangsa ini bergerak. Tarik menarik antara kekuatan radikal (Tan Malaka, TNI Masyarakat, PKI dua versi dan Islam Radikal), moderat (Unsur Sjahrir/PSI, Profesional ala Djuanda), karismatis (Sukarno) dan Tentara profesional (Ala Nasution, kemudian menjadi tentara tangsi ala Suharto) menjadi cerita sejarah paling utama di negeri ini, yang kemudian berpuncak pada tragedi pembantaian besar-besaran sepanjang 1965-1966. Matinya kemanusiaan di Indonesia karena pembantaian raksasa yang dilakukan militer dengan bantuan ormas pro Suharto terhadap kelompok PKI dan Sukarnois, kebetulan juga bersamaan dengan wafatnya Sjahrir di Swiss Sjahrir tanggal 9 April 1966. Di sekitar tanggal itu Sukarno bagai banteng ketaton pidato disana sini untuk mempertaruhkan jabatannya yang diam-diam sudah diserang kelompok Suharto. Di hari kematian Sjahrir, Sukarno langsung menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Sutan Sjahrir. Padahal sehari sebelumnya Sjahrir merupakan tawanan politik pemerintahan Sukarno. Apakah dengan ini kita ingat akan kasus HR Dharsono, yang di jaman Suharto mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata saja dilarang?

Humanisme Sjahrir bisa dibaca pada tulisan GM di bukunya ‘Setelah Revolusi Tak Ada Lagi’ yang saya kira GM banyak mengambil dari buku catatan harian Sutan Sjahrir ini. GM menulis di buku itu tentang Sjahrir pada hal. 31 dengan tajuk ‘Sjahrir di Pantai’. Tulisan ini sungguh manis untuk mengantarkan kita pada kisah catatan harian Sutan Sjahrir yang banyak ditulis ketika ia dibuang ke Banda Neira oleh pemerintahan Hindia Belanda setelah sebelumnya ia merasakan ganasnya Digoel. Begini kata-kata GM :

“Saya membayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari 1942. Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon dan beberapa jam sesudah itu bom dijatuhkan. Saya membayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, setelah sebuah pesawat MD-Catalina yang bisa mendarat di permukaan berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan penduduk. Tak lama kemudian kapal terbang kecil itu pun berhenti di sebuah bagian pantai yang datar. Ko-pilot pesawat, seorang perwira Belanda yang kurus, turun ke tempat Sjahrir dan Hatta tinggal. Kedua tahanan politik itu harus meninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya. Hanya ada waktu satu jam untuk bersiap.

Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam 16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak angkatnya, meskipun salah satunya masih berusia tiga tahun. Sampai di dekat pesawat sebuah problem harus dipecahkan : Ruang di Catalina itu terbatas Enam belas kotak buku atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. Ketiga kotak buku itu tak jadi dibawa - untuk selama-lamanya – kecuali bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam kopor pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali kehilangan itu.

(GM, Ketika Revolusi Tak Ada Lagi, Alvabet 2004)

Disini karakter Sjahrir terlihat sebagai pecinta kehidupan, pecinta keriangan masa kanak-kanak beda dengan Hatta yang kering, disiplin dan kaku. Sjahrir adalah jiwa yang hidup. Mungkin inilah yang menyamakan dirinya dengan Sukarno, tapi sekaligus melemparkannya ke dalam perbedaan yang tajam dengan Sukarno. Sepanjang sejarahnya Sjahrir adalah lawan politik Sukarno yang paling kuat dan berpengaruh.

Yang menarik dari catatan Sjahrir ini adalah pendapatnya tentang intelektualitas dan sastra, yang ditulisnya pada 20 April 1934 di penjara Cipinang. Satu baris kutipannya yang menarik adalah :

“Sebab itu pada hematku, kurang adanya kehidupan ilmiah dan minat yang sungguh-sungguh terhadap ilmu pengetahuan diantara kaum intelektual kita di Indonesia ini, bukan terutama disebabkan karena kita kurang mampu, kurang berkepribadian atau karena ada kekosongan moral, melainkan karena belum cukup ada perangsang-perangsang yang diperlukan di dalam masyarakat kita yang untuk sementara jauh lebih sederhana ini. Bagi kebanyakan “pemegang-pemegang titel” di Indonesia – kupakai perkataan ini akan pengganti istilah “orang intelektual”, sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama pada terutama tingkat kehidupan intelektual, melainkan kehidupan sekolah –Ilmu pengetahuan itu tetap yang lahiriah saja dan bukan kekayaan batiniah. Bagi mereka ilmu pengetahuan tetap sebagai barang yang mati, bukan sesuatu hakekat yang hidup, yang berkembang dan senantiasa harus dipupuk dan dipelihara. Tetapi ini bukan salah mereka, terutama apabila mereka itu tidak mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan ilmu pengetahuan itu sebagai suatu pengertian yang hidup, yakni di Eropa sendiri”.

(cuplikan catatan harian Sjahrir, Renungan Dan Perjuangan hal. 5-6, Djambatan)

Sjahrir menulis problem intelektualitas itu tahun 1934 dan ini merupakan pemikiran masalah Indonesia yang jangkauannya jangka panjang. Bayangkan sampai detik ini (April 2008) ini saja problem intelektualitas belum sepenuhnya ‘genah’. Bahkan beberapa bulan lalu ada move dari Partai Demokrat dan Golkar untuk menjegal Megawati dengan menggunakan gelar sarjana sebagai ukuran kematangan intelektualitas. Jelas ini akan menjadi tertawaan bagi Sjahrir seandainya Sjahrir berada dalam ruang sejarah sekarang. Intelektualitas adalah sesuatu yang hidup....begitu pikir Sjahrir, disini makna ‘hidup’ adalah kita terus mencari tahu terhadap pertanyaan-pertanyaan yang timbul. Sudah menjadi jamak bagi kita setelah selesai sekolah maka kita menutup buku selama-lamanya, enggan membaca apalagi studi sendiri. Kita kerap terjebak pada ukuran-ukuran gelar akademis, namun tidak mau menjebakkan diri pada pertanyaan-pertanyaan yang menajamkan intelektualitas. Pertanyaan-pertanyaan pada diri kita sendiri kemudian kita mencarinya dari studi-studi kita maka disitulah intelektualitas kita dilatih untuk hidup.

Tentang Sastra, Sjahrir juga mengungkapkan di hari yang sama 20 April 1934. Begini kutipannya :

“Lagipula aku tahu dari pengalamanku sendiri bahwa belajar dengan sungguh-sungguh bagi kita orang Indonesia di negeri Belanda tidak begitu gampang. Iklim dan masyarakat kita di negeri itu kadang-kadang amat mempengaruhi saraf kita. Hidup terkurung ke dalam tembok di dalam kamar-kamar yang pengap, suasana gelisah dalam pergaulan hidup, semua itu sangatlah besar pengaruhnya bagi jiwa kita, ada mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berbakat yang gagal dalam studi mereka, semata-mata karena mereka tidak berdaya menghadapi semua itu; mereka memboroskan energi dalam kegelisahan itu sehingga jasmani pun menjadi rusak.

Kutunjukkan pada bahaya-bahaya itu kepada adikku dan kutegaskan pula bahwa belajar dengan cara yang baik, sekaligus membentuk watak kita, karena untuk belajar diperlukan pengekangan diri sendiri, disiplin diri sendiri. Kunasehati dia supaya memberikan dia supaya memberikan perhatian pada kehidupan kultural di Eropa, terutama kesusastraannya. Selain ia akan mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang kehidupan dan dunia pikiran barat, pun dengan demikian matanya akan terbuka terhadap masalah-masalah kehidupan yang ada disana; terhadap keanekaragaman dan kemuskilan hidup disana. Juga dengan demikian ia akan belajar kenal masalah-masalah sosial politik dengan cara yang lebih gampang dan menarik.

Kepada M kutulis pula surat untuk menolongnya dalam hal itu sedapat-dapatnya. Bahwa ia masih memerlukan bimbingan serupa itu, bukan suatu hal yang luar biasa : yang dapat disebut kaum intelektual di negeri kita, pada umumnya yang masih buta huruf dalam bidang ini. Mereka tidak membaca kecuali bacaan vak mereka sendiri, surat kabar dan kadang sedikit bacaan hiburan. Dalam seluruh perpustakaan H, misalnya terdapat hanya sebuah roman saja, dan tentang itupun dia memberikan penjelasan – seolah hendak membersihkan diri – bahwa itu dihadiahkan orang kepadanya. Padahal tak disangkal ia termasuk puncak golongan intelektual kita yang dididik di Eropa.

Hal ini sesungguhnya sudah menggambarkan pula keadaan kesusastraan kita. Sebenarnya boleh dikatakan bahwa belum ada orang intelektual yang menulis dalam arti yang sebenarnya di negeri kita ini. Tidak ada kesusastraan, baik dalam bahasa Melayu maupun dalam satu bahasa daerah yang banyak itu. Tentu saja ada juga orang menulis malahan tidak sedikit jumlahnya. Ada suatu lembaga yang bernama Instituut voor de Volksclectuur (kemudian bernama Balai Pustaka) yang menerbitkan buku-buku rakyat banyak, kebanyakan terjemahan. Ada juga tulisan-tulisan asli, tapi belum bisa dimasukkan ke dalam kategori kesusastraan. Kita baru sampai pada menulis cerita-cerita. Di Indonesia – tentu ada juga beberapa kekecualian – orang pada umumnya tidak tahu tentang adanya suatu kesusastraan Eropa, suatu kesusasstraan dunia, jadi orang pun tidak mempelajarinya.

Sebab itulah umpamanya usaha-usaha bebeberapa orang nasionalis muda untuk menulis karya sastra –meskipun usaha itu diproklamirkan sebagai renaissance, kebangkitan kembali pada saat ini ternyata belum cukup bermutu untuk bisa menarik perhatian. Tingkatannya terlalu masih rendah untuk itu; bahkan didalamnya boleh dikatakan tidak ada pemikiran, tidak ada bentuk, tidak ada nada, dan yang paling parah tidak ada kesungguhan dan kejujuran yang cukup. Yang ada hanya pekerjaan bikinan yang tidak bermutu, yang dipropagandakan dengan banyak reklame.

Padahal tanpa kesusastraan roman, juga tidak ada ungkapan-ungkapan tentang masalah hidup, dan oleh karena itu pula kurang ada pengetahuan tentang peri kehidupan. Seorang keluaran HBS (Hogere Burger School, SMA- Anton) anak muda berumur 17-18 tahun di Eropa, kadang-kadang tahu lebih banyak tentang kehidupan daripada banyak orang intelektual, mahasiswa atau mereka yang sudah tamat sekolah, di negeri kita.

(cuplikan catatan harian Sjahrir, Renungan Dan Perjuangan hal. 6-7, Djambatan)


Disini saya bisa melihat kesadaran intelektual Sjahrir yang mampu menghubungkan segala bentuk dimensi pemikiran dan ilmu pengetahuan untuk dijadikan rangkaian-rangkaian yang memperluas pemahaman manusia. Banyak dari kita yang merasa sudah ahli dalam satu bidang, malah tidak peduli dengan bidang yang lain. Bahkan sering dialami seorang anak kecil dilarang orang tuanya untuk membaca novel atau komik atau karya sastra yang dianggap buang-buang waktu dan hanya disuruh belajar Matematika saja atau ilmu pengetahuan lain yang sifatnya lebih eksak. Padahal sastra dan musik memiliki rangsangan intelektual seseorang. Orang yang mampu mencerna bacaan-bacaan sastra dengan baik dan mampu meng-imajinasikan di dalam kepalanya, lebih mampu berpikir abstrak dan menggabung-gabungkan berbagai peristiwa dengan cara yang indah. Hingga pemahaman dunia tidak melulu hanya satu dimensi saja. Bacaan-bacaan sastra akan merangsang imajinasi seseorang, sehingga bila ia belajar sesuatu maka akan lebih efektif bila menggabungkan imajinasi dengan logika yang digampang dimengerti. Disinilah Sjahrir memberikan benih-benih kesadaran betapa pentingnya sastra dalam kehidupan intelektual seseorang.

Saya sendiri adalah orang yang sangat yakin bahwa jaman bisa dibaca melalui sastranya ketimbang dengan penelitian fakta-fakta yang cenderung kering. Karena dengan sastra kita bisa segera menangkap zeitgeist (semangat jaman) dari sebuah era. Dalam hal ini saya tidak sependapat dengan Mochtar Lubis yang menolak bahwa karya sastra tidak bisa dijadikan rujukan sejarah. Saya bisa menangkap pesan-pesan perang kemerdekaan justru ketika saya membaca cerita ‘Hujan Kepagian’ karangan Nugroho Notosusanto atau ‘Bukan Pasar Malam’ karangan Pram. Saya bisa menangkap pesan gemuruh kebingungan manusia Indonesia terhadap arus Orde Baru justru dari tulisan-tulisan GM ketimbang saya harus membaca bacaan kering tentang ‘akselerasi pembangunan 25 tahun karya Ali Moertopo’.Dan pesan-pesan kegelisahan pembangunan bisa digambarkan lewat kutang-kutang yang berkibaran pada bait-bait puisi WS Rendra ketimbang saya harus membaca jurnal statistik keluaran BPS. Betapa indahnya melihat kehidupan Jakarta dari anekdot-anekdot yang diceritakan pada catatan Pram tentang kehidupan rakyat kecil di gang-gang Jakarta yang kumuh dan becek. Betapa romantisnya bayangan di dalam kepala membayangkan kisah revolusi Perancis dengan membaca ‘The Tale of Two Cities’ atau membaca ketersingkiran kaum tertinggal terhadap gemuruh kapitalisme yang berselingkuh dengan kekuasaan lewat buku ‘Laskar Pelangi’ karya Andrea Hirata.

Sjahrir adalah manusia Sosialis yang kemudian memenangkan revolusi kemerdekaannya. Era 1945-1949 adalah era Sjahrir bukan kelompok Sosialis Garis Keras seperti Tan Malaka atau Musso. Disini Sukarno memilih Sjahrir karena pertimbangan praktis saja. Sukarno membutuhkan diplomasi Amerika Serikat melalui Sjahrir untuk menekan Belanda walaupun bayarannya teramat mahal. Peristiwa Madiun 1948.

Sjahrir yang seluruh energinya memperjuangkan perlawanan anti fasisme, ironisnya beliau meninggal ketika sebuah era Fasisme di Indonesia mendapat fajar baru. Apakah ini pertanda? Apakah ini merupakan isyarat? Kematian intelektual besar yang sangat membenci fasisme dimana tahun kematiannya menjadi era dimulainya fasisme ala anak tangsi PETA menghujam Indonesia. Suharto menjadikan Indonesia ladang percobaan neo fasisme dengan menerapkan sistem feodalisme yang rumit dan dengan ini mencoba memodernisir Indonesia. Dan hasilnya adalah sebuah kegagalan besar!.

Dan ironisnya lagi Mochtar Lubis, wartawan yang dekat dengan kultur Sjahrir begitu memuja Suharto sampai peristiwa pembakaran Pasar Senen, Malari 1974. Adalah irasionalitas ala Jawa dan kharismatis feodal yang tidak begitu dipahami oleh Mochtar Lubis terhadap figur Sukarno yang menjadikan dia begitu membenci Sukarno, setidak-tidaknya lewat tulisan-tulisannya terutama di Tajuk-Tajuk Harian Indonesia Raya.

Namun walaupun Mochtar Lubis dalam tajuk ini banyak mengucapkan pujian pada Suharto dan melemparkan sesuatu yang buruk pada Sukarno, tulisan Mochtar Lubis bisa dijadikan rujukan penting tentang bermulanya korupsi-korupsi dalam skala raksasa terjadi di Indonesia.

Membaca tulisan Mochtar Lubis sesungguhnya seperti membaca sebuah kisah dimana seseorang manusia seperti Suharto menganggap dirinya mampu memberi makan rakyat dengan hanya mengandalkan konsep represif yang tingkat kekejiannya melampaui penjajah dan tragisnya konsep itu kemudian menjadi alat paling efektif dalam membodohi manusia Indonesia. Kesadaran Orde Baru adalah kesadaran semu tentang kepemilikan kapital yang sifatnya melawan arus terhadap kesadaran kemerdekaan sesuai dengan visi para founding fathers. Orde Baru tidak lebih daripada konsepsi dari Colijn (Menteri urusan Jajahan yang terkenal keras terhadap kaum pergerakan) yang diperbaharui – Orde Baru adalah pengejewantahan Colijnisme yang sedikit banyak bercampur dengan pengaruh Mussert (Tokoh Belanda yang pro Nazi dan fasis). Namun sayangnya konsepsi murahan Orde Baru kini mulai pelan-pelan menjadi bahan rujukan kembali untuk membangun bangsa ini setelah melihat demokrasi yang gagap ala pemerintahan Reformasi 1999. Maka untuk melihat akar-akar kesalahan Orde Baru justru lewat buku kumpulan tulisan Mochtar Lubis sesungguhnya kita bisa melihat bagaimana Orde Baru yang awalnya adalah Monsterverbond (persekutuan jahat) dalam menjatuhkan Sukarno kemudian menjadi sebuah pemerintahan yang amat totaliter dan korup. Kita dapat membaca akar kesalahan Orde Baru justru dari penulis yang memang mendukung sepenuh hati terhadap Orde Baru, Mochtar Lubis...Di awal mulanya.

Hampir seluruh sejarawan sepakat (baik yang netral, aliran kiri dan pro Orde Baru) awal mula perseteruan Indonesia dengan kekuatan barat adalah munculnya kemauan Sukarno yang keras untuk menjadikan Indonesia independen. Sesuai dengan sifat Sukarno yang cenderung memanfaatkan percaturan politik Internasional di jaman Jepang, Sukarno dengan cerdik memanfaatkan kekuatan militer Jepang untuk memegang jabatan paling penting bagi pribumi. Masuknya Sukarno ke dalam struktur kekuasaan militer Jepang ini tentunya menghalangi ruang gerak kaum Komunis yang lolos dari penangkapan besar-besaran 1927 dan menguasai pucuk pimpinan bukan dari unsur birokrasi kolot juga bukan golongan agama, yang pada jaman Jepang cenderung mendapat angin (berdirinya Masyumi pada masa Jepang untuk menjinakkan kaum muslim radikal dan ini sangat berhasil kecuali gerakan-gerakan tarekat yang melakukan perlawanan sporadis). Setelah kekalahan Jepang, Sukarno dengan cerdik membuka jalan untuk kelompok Sjahrir masuk. Geng Sjahrir-Hatta memiliki jaringan kepercayaan ke negara-negara barat hal inilah yang ditolak Tan Malaka dengan menghendaki kemerdekaan 100% dan bekerjasama dengan militer PETA namun pada tahun 1949 kekuatan unsur PETA sepenuhnya berhasil dijinakkan kelompok KNIL dibawah Nasution-Simatupang dimana kebijakan politiknya sepenuhnya mendukung kelompok realistis (Hatta dan lingkaran Sjahrir). Bahkan akhir babak dari perang kemerdekaan yang heroik itu adalah antiklimaks dengan terbunuhnya Tan Malaka. Matinya Tan Malaka dan hancurnya kesepakatan kaum kiri di Madiun dalam kerangka Front Demokrasi Rakyat. Tanpa sengaja kematian Tan Malaka merupakan belokan amat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Tan Malaka-lah yang pada mulanya mengucapkan sebuah konsepsi politik yang pada saat itu dipegang penuh oleh para perwira militer dari kubu PETA. Merdeka 100%. Pemikiran Tan Malaka ini bukan saja merupakan pemikiran yang serta merta tumbuh dalam gejolak kemerdekaan, tapi pemikiran ini adalah buah hasil cucuran keringatnya bermandi peluh di perpustakaan nasional dan renungannya di sebuah gang becek di Cililitan sana. Memang dalam pemikiran Tan Malaka yang tertuang dalam Madilog pemikirannya mengarah pada sebuah paham yang dianggapnya universal, namun Tan Malaka mampu melihat gejala jaman, dan penglihatan Tan Malaka ini jauh lebih dulu dibandingkan Sukarno. Syahdan di suatu pagi, beberapa orang menemui Jenderal Sudirman di kota Yogyakarta, orang-orang ini adalah anak muda yang terpengaruh paham Tan Malaka dan banyak bergerak di kota Jakarta. Beberapa hari sebelumnya mereka berangkat dari Jakarta yang sudah dikuasai NICA. Sudirman sendiri baru datang dari Yogya setelah mengunjungi beberapa wilayah di sekitar Jawa Tengah. Sudirman tertarik dengan gagasan Tan Malaka, baginya “Perang harus diselesaikan sampai ke akar-akarnya’ namun apa daya, Sudirman ini hanyalah seorang guru SD yang tingkat intelektualitasnya jauh di bawah jago-jago militer lulusan Akmil Breda Bandung macam AH Nasution atau TB Simatupang. Dan Sudirman bukan jenis orang yang mau menang sendiri, ia pendengar...ia merasakan. Sementara di lingkungan dalam Istana, Nasution dan Simatupang dengan intens mengeluarkan gagasan untuk memperpendek perang, mengajukan sebuah tawaran damai dengan Belanda lewat fasilitas Amerika Serikat dan memanfaatkan situasi perang dingin, dimana kelompok Nasution paham bahwa AS akan sangat marah bila Moskow buka cabang di Jawa. Di sinilah Sudirman menemui dilema, sementara Tan Malaka menghadapi dilemanya sendiri, ia pertama-tama sudah gagal menduduki kursi utama RI, karena memang Sukarno lebih dipercaya rakyat, dan jadi selebritis utama sejak Jepang menduduki Indonesia. Kedua, Tan Malaka merasa ditelikung oleh Sutan Sjahrir tokoh yang pernah ingin dipengaruhinya untuk merebut kekuasaan Sukarno, namun yang terjadi Sjahrir malah membuat ‘kudeta sunyi’ dengan membentuk pos ‘Perdana Menteri’ dari sebuah sistem konstitusional yang tidak mengenal istilah Perdana Menteri. Disini Tan Malaka menemukan titik frustrasinya. Akhirnya sebuah kesepakatan bersama lahir di Den Haag tahun 1949, dengan bayaran diam-diam dibunuhnya Tan Malaka, di sebuah desa di daerah Kediri, Jawa Timur....

Kematian Tan Malaka kelak menjadi sebuah perlambatan sejarah, karena kesadaran kemerdekaan Indonesia 100% baru dimulai tahun 1960 tatkala Sukarno dengan gemilang menemukan sebuah idee revolusinya, yang kemudian juga dihancurkan oleh sebuah konspirasi paling rumit pada abad ini, Konspirasi Gerakan Untung 1965.

Sejarah selalu mengenalkan orang-orang kalah, di sanalah berdiri seuntai cerita tentang manusia yang berdiri pada pojok sejarah. Apakah sejarah selalu seperti cerita kembang melati Aryo Penangsang, sebagai perayaan khusus kemenangan Danang Sutowidjojo? Kembang melati yang diuntai pada keris mempelai pria dalam adat Jawa Mataraman, adalah simbol dari pengharapan keberanian seorang lelaki Jawa menghadapi kehidupan, ini disamakan dengan usus Aryo Penangsang yang dibiarkan terburai saat berkelahi dengan Danang Sutowidjojo. Namun, keberanian tidak pernah dipandang sebagai keberanian, keberanian hanyalah soal bagaimana kita memandang sesuatu dari pengalaman psikologis seseorang, masyarakat bahkan bentukan sejarah. Orang-orang Blora tidak pernah mau menggunakan adat melati yang diuntai pada pinggir keris, ini sama artinya penghinaan pada Aryo Penangsang, bagi mereka itu adalah adat Jawa Mataraman, sebuah kekuasaan yang telah menghancurkan kelanggengan sebuah trah, sebuah dinasti. Keberanian adalah sebuah persepsi? Lalu dimana sejarah diletakkan pada persepsinya?

Sahibul Hikayat, tak lama setelah kejadian Prambanan dan pemberontakan PKI di beberapa tempat tahun 1926/27 terhadap pemerintahan kolonial, beribu-ribu orang ditangkap, diantaranya dibuang ke Digoel. Salah seorang yang dibuang ke Digoel adalah Kyai Dasuki. Kyai ini kyai sakti dari Solo dan namanya sudah sangat terkenal. Dia pulang dari Digoel dengan gagah, tak lama kemudian Jepang masuk. Saat dalam perjalanan pulang dari Surabaya ke Semarang, ia menumpang kereta api. Kebetulan di tengah jalan saat kereta itu berangkat ada bisik-bisik bahwa di sebuah pos akan dilakukan pemeriksaan militer yang dilakukan oleh Kempetai. Sudah jamak kiranya pemeriksaan itu diiringi dengan perampasan barang berharga. Kyai Dasuki menyuruh orang-orang menaruh tas, koper, peti dan barang bawaan berharga ini untuk ditaruh di atas bangku dan ditumpuk, ia lalu duduk diatasnya. Dengan kesaktian yang ia miliki Kyai Dasuki menghilangkan penglihatan atas barang-barang itu. Itulah cerita legenda yang banyak diceritakan orang-orang tua jaman dulu. Kyai Dasuki adalah seorang yang baik, berjiwa sosial, dan senang mengajari ngaji. Namun pilihan politiknya adalah Komunis. Ia mempunyai anak kandung lelaki yang sangat pintar, kita mengenalnya sebagai Profesor Baiquni, ahli atom Indonesia yang namanya sangat sohor di kalangan ilmuwan internasional tapi diluar itu (saya membaca di majalah Tempo) Kyai inilah yang menikahkan Aidit dengan dokter Soetanti. Setelah geger Gestapu 1965, Kyai Dasuki menghilang....seorang baik telah hilang, dilenyapkan oleh sebuah rezim yang kelak membangkrutkan Indonesia...

Een Toch Sejarah tidak akan berhenti, seperti ucapan Bung Karno ketika dia mengunjungi museum di Mexico City. Si Bung Bercerita “Disana ada tulisan ...Sekarang kita telah meninggalkan gedung museum, gedung yang berisi cerita sejarah...namun kita tidak akan pernah meninggalkan sejarah, karena sejarah akan terus bergerak selama kehidupan ada di muka bumi” ya sejarah akan terus bergerak dan mempunyai cerita-cerita baru.

ANTON

Secuil Kisah Hidup Suharto

KISAH HIDUP SUHARTO

OLEH ANTON

Suharto adalah manusia paling kontroversial di Indonesia. Nilai kontroversinya jauh melebihi Sukarno. Bila Bung Karno dikenal dunia karena ulahnya yang begitu mencengangkan dan sering bikin kejutan, maka Suharto lebih pada nilai misteriusnya. Misteri Suharto adalah kekuasaan yang begitu besar, dan itu dibangun dengan cara yang mungkin orang akan juga tercengang yaitu sikap : Diam. Pendiam bagi Suharto bukan hanya watak tapi merupakan latihan menahan diri yang ekstrem. Bahkan Rosihan Anwar yang pernah bersama Suharto di tahun 1949 sebagai wartawan Republikein mengunjungi Panglima Sudirman di persembunyiannya menghadapi sikap aneh dari seorang Overste (letnan kolonel) muda ini dengan sikap diamnya. “Saya bersama Overste Suharto dan seorang juru potret Frans Mendur menemui Jenderal Sudirman di persembunyiannya sekitar pedalaman hutan Wonosobo, saya diantar oleh Overste Suharto namun sepanjang perjalanan satu hari penuh tidak pernah Suharto bicara sedikitpun, baru ketika ia mempersilahkan kami meminum degan (air kelapa muda) baru ia berkata singkat “Silahkan” setelah itu tidak ada kata-kata lagi. Demikian kira-kira kesan Rosihan Anwar yang ia sering ungkap ke publik jauh-jauh hari ketika Orde Baru sudah berkuasa. Diam itu modal, dan itu adalah prinsip Suharto. Dengan filsafat diam ia membangun kekuasaannya dengan begitu perkasa dan tidak pernah terkalahkan oleh kekuatan politik lokal apapun. Namun ironisnya kekuasaan Orde Baru yang begitu besar justru jatuh karena paradoks-paradoks masyarakat yang dibangunnya. Begitu juga dengan kekejamannya, korupsi bahkan lebih jauh lagi merubah secara fundamental haluan bangsa ini yang diarahkan oleh founding fathers sebagai negara kesejahteraan bersama menjadi negara milik kaum kroni, mungkin sampai detik ini.

Suharto lahir juga dari sebuah sikap aneh seorang ibu. Sukirah, adalah nama Ibu Suharto. Dalam otobiografinya ‘Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya’ yang disusun G Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh Suharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah rumah tangga. Namun banyak catatan di buku-buku sejarah Suharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami problem mental yang sangat sulit. Apa problem mental itu tidak pernah ada penjelasan yang gamblang sampai saat ini. Hanya saja proses kelahiran Suharto merupakan yang berat bagi Sukirah, sebelum Suharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi talak cerai suaminya Kertosudiro. Seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Suharto tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Suharto bahkan banyak pengamat Suharto seperti RE Elson. Suharto tidak pernah menunjukkan rasa hormat yang layak kepada Kertosudiro sebagai ayah kandung. Lalu apakah Kertosudiro itu ayah kandung Suharto? Inilah misteri terbesar dari Suharto yang kerap banyak disebut sebagai anak lembu petheng (anak hasil dari hubungan gelap) dan meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung Suharto. Banyak catatan beredar mengenai hal ini, bahkan pelontarnya tidak tanggung-tanggung seperti : Mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Suharto, Mashuri. Mashuri sendiri pernah membuat pernyataan yang menghebohkan bahwa Suharto adalah anak seorang pedagang keliling Cina yang cukup kaya raya. Namun ada juga yang berpendapat bahwa ayah kandung Suharto adalah kerabat Keraton Yogyakarta. Pada tahun 1974 pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gossip bernama ‘POP’ sebuah liputan yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Suharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubowono II. Suharto kecil yang umur 6 tahun dibuang ke desa dan disuruh diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Suharto. Dengan separuh murka Suharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal-usulnya dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan subversif. Suharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa. Mitos Suharto sebagai anak desa ini digunakan untuk mengaitkan dirinya dengan mayoritas bangsa Indonesia yang di tahun 70-an adalah petani dan menghindarkan kesan bahwa Junta Militer yang dipimpinnya adalah gerakan elite.

Konsep anak haram banyak disebut oleh para biografer Suharto untuk menjelaskan asal-usuk Suharto. Ketidakjelasan asal-usul Suharto secara genealogi sampai sekarang masih belum terpecahkan. Namun dari semua itu Bayi Suharto berada di dunia dengan kondisi keluarga yang kurang menguntungkan. Sukirah yang stress dan senang bertapa serta ayahnya yang datang dan pergi jelas tidak menguntungkan bagi Suharto. Sukirah pernah ditemukan hampir mati disuatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi dan hilangnya Sukirah sempat pernah membuat panik penduduk desa kemusuk, sehingga para penduduk mencarinya. Sadar dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan pengurusan bayi Suharto kepada kakak perempuan Kertosudiro, isteri dari Kromodiryo. Putra Kromodiryo Amat Idris sangat menyayangi Suharto kecil tiap sore bayi kecil Suharto dibopong-bopong sambil mengitari persawahan. Setelah Suharto bisa jalan ia kerap diajak oleh Kromodiryo ke sawah. Dalam otobiografinya Suharto masih ingat ketika ia berumur empat tahun melihat kaki Kromodiryo terluka karena sabitnya terlepas dari gagang saat sedang bekerja di sawah. Dalam psikologi anak umur antara tiga tahun sampai lima tahun adalah masa golden time, Alam psikologi Suharto tentunya sangat dipengaruhi masa-masa ini. Ibunya yang berat pikiran namun melakukan tapa berat untuk menjawab kesulitan hidupnya jelas akan menurun pada waktu Suharto yang kelak dikemudian hari sangat senang melakukan puasa dan melatih diri untuk menahan apapun atau berlatih menyembunyikan ekspresi emosi-emosinya. Latihan-latihan ini kelak sangat berguna sebagai senjata paling ampuh dalam menghadapi situasi paling sulit sekalipun. Namun keterpecahan keluarga, rasa terbuang oleh keluarga dan tidak diperhatikan akan membangkitkan sikap ingin melindungi keluarganya secara berlebihan inilah yang ketika dimasa Orde Baru nanti sikap yang paling banyak dibenci oleh setiap orang ketika melihat sosok Suharto.

Suharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda ia disekolahkan oleh ayahnya. Inilah yang banyak mengundang pertanyaan para ahli sejarah bahwa Suharto bukan sekedar anak petani desa yang miskin, tapi dia anak haram dari orang kaya yang memperhatikan dirinya dan menyerahkan pada Kertosudiro untuk mengurusnya. Suharto bukanlah murid yang cerdas dan tidak ada berita-berita mengenai masa Suharto di Sekolah Rakyat (setingkat SD). Ini berbeda misalnya dengan cerita Sukarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir. Kesan Suharto di masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbau yang dengan bangga dimilikinya. Dunia Suharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD dari keluarga terdidik seperti Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens. Setelah ikut dengan kakeknya Atmodiwiryo, Harto kecil tiap usai sekolah menggembalakan kerbau disawahnya, ia senang sekali membawa kerbaunya meniti pematang sawah dan memandikannya. Suatu saat kerbau yang digembalakannya terperosok ke parit dekat pematang sawah dan Suharto tidak bisa mengeluarkan kerbau itu ia lalu menangis keras-keras. Orang-orang berdatangan dan menolong kerbau milik Harto kecil ini. Kenangan tentang kerbau yang terperosok ini diuraikan dalam biografi resminya. Suharto jarang berkelahi dia anak pendiam dan tidak usil atau arogan seperti Sukarno kecil . Namun entah kenapa dia pernah sekali berkelahi dengan temannya sampai berdarah-darah, menurut Suharto karena temannya itu mengatainya ‘Den Bagus Tahi Mabul’ Suharto mengenang anak kecil itu mrongos (tonggos) dan agak pincang, sebuah penggambaran teatrikal orang jahat di benak Suharto. Julukan Den Bagus Tahi Mabul (Den Bagus Tahi Kering) ini sedikit banyak mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya penduduk desa tahu bahwa Suharto bukanlah anak jelata, tapi kemungkinan anak keraton yang dipisah dari lingkungannya.

Ditengah masalah keluarga yang menderanya, Suharto terus melakukan kegiatan sekolahnya. Ia sama sekali tidak mendapat perhatian kasih sayang orang tua yang layak. Sepanjang umurnya dihabiskan ngenger kesana kemari. Bahkan setiap tahun ia selalu menyaksikan keluarganya selalu bertengkar karena Suharto kerap menjadi rebutan. Tentu sedikit banyak hal ini mempengaruhi jiwa Suharto kecil. Kebimbangan akan status dirinya diimbangi dengan masa bermain yang mungkin juga berpengaruh terhadap pribadi Suharto. Ada satu hal yang menarik bila diperhatikan dari Suharto muda, yaitu : boleh dikatakan Suharto adalah kawan yang menyenangkan bila ia bermain sesuatu, ia tidak pernah menceritakan masa bermainnya sebagai masa pembentukan watak, tapi menyiratkan pada kita bahwa ia adalah seorang yang pendiam tapi bisa bergabung dengan komunitasnya serta disenangi. Ini berbeda misalnya dengan Bung Karno muda yang dipenuhi kisah keberanian, merasa unggul dan pengalaman yang lucu-lucu seperti keberaniannya masuk ke dalam lapangan Sepak Bola kemudian dia dikeroyok sinyo-sinyo Belanda. Suharto hanya anak kampung biasa yang gemar bermain bola, sebelum bermain bola kawan-kawan Suharto datang mencari Suharto, dan Suharto sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya kawan-kawannya membantu pekerjaan itu seperti menimba air. Ada hal yang menarik juga masa muda Soeharto tidak pernah ia bekerja di sawah. Suharto sering digambarkan menggembalakan kerbau, tapi tidak pernah diceritakan ia memacul sawah dan bekerja sebagai petani. Apakah ini berarti memang ia benar-benar anak Keraton yang terasingkan di desa?

Pada tahun 1931 Suharto masuk Schakelschool di Wonogiri, disini ia bersama Sulardi, putra kedua Prawirohardjo menetap di Selogiri pada rumah Sudiarto, kakak tertua Sulardi. Sulardi bisa dikatakan adalah satu-satunya orang yang bersahabat dengan Suharto di masa muda. Di luar nama Sulardi tidak pernah ada nama lain yang disebut Suharto kecuali secara sekilas ada orang kampungnya yang suka bermain bola Kamin dan Warikin. Kelak setelah menjadi Presiden dua orang ini diundang Pak Harto ke Istana. Sulardi ini punya teman sekelas bernama Siti Hartinah, puteri dari bangsawan Mangkunegaran yang ditugaskan di Wonogiri Raden Mas Soemorharjomo. Melalui Sulardi-lah Suharto banyak tahu tentang Siti Hartinah ini, namun Suharto agaknya di awal-awal tidak ambil peduli, ia lebih banyak pusing memikirkan masalah keluarganya. Tak lama Suharto tinggal di Selogiri, ia balik lagi ke Wonogiri lagi-lagi ayahnya Kertosudiro datang menyusul Suharto dan membawa Harto muda ke rumah keluarga Hardjowijono yang juga merupakan kerabat ayahnya. Di rumah Hardjowijono ini banyak diberitakan Suharto diperlakukan layaknya seperti kacung. Namun ketabahan hati Suharto menerima semua pekerjaan yang diberikan padanya membentuk jiwa yang patuh. Dalam jiwa anak muda ada dua pilihan bila ia menghadapi situasi tidak menyenangkan. Ia memberontak dengan melawan semua aturan yang dianggapnya tidak nyaman atau ia akan mematuhi secara total apa yang diperintahkan kepadanya, sehingga kepatuhan itu sendiri akan menutupi ketidaknyamanan dirinya. Rupanya Harto memilih yang kedua, ia bersedia untuk menjadi orang patuh. Kepatuhannya ini kelak yang kemudian membawa dia pada kecocokan dalam bidang militer.

Noraknya Vega

Acara Tukul dan Aksi Vega yang tidak menyenangkan

Saya sudah lama tidak nonton Tukul, karena menurut saya acara ini sudah kurang menarik, namun kemarin malam saya menonton Tukul sebab bintang tamunya Yok Koeswoyo salah satu musisi legendaris kita. Awalnya perbincangan Tukul menyenangkan dan dibawa enteng namun mengarah pada le petite histoire, sebuah sejarah kecil negeri ini tentang Koes Bersaudara yang pernah dipenjara oleh pemerintahan Bung Karno. Waktu itu Yok sedang bercerita serius, namun Vega nyelemong/nyeletuk dengan mendesah-desah yang nggak penting sehingga cerita terputus dan perhatian Tukul lebih kepada manusia-manusia nggak penting di acara itu seperti Vega atau Pepi, sebagai penggemar sejarah saya kecewa berat karena gagal mendengarkan cerita Yok yang menarik itu.

Hal yang sama juga saya dapatkan pada saat bintang tamunya Rosihan Anwar di bulan Agustus tahun 2007 saat itu temanya tentang Proklamasi. Ketika itu Rosihan Anwar bercerita tentang sebuah kisah pertemuannya dengan Bung Karno pada saat ulang tahun pertama kemerdekaan RI pada tahun 1946 yang sederhana. Di tengah cerita yang menarik dari Rosihan, si Pepi nyeletuk nggak jelas kemudian dibalas Tukul jadi perhatiannya beralih.

Saya paham dengan konsep acara ini yang tidak terlalu mementingkan apa yang dibicarakan bintang tamunya, dan menonjolkan kekonyolan Tukul yang diledek oleh Pepi dan Vega namun cobalah bila acara ini berkonsep talk show sedikit memberi ruang untuk mendengarkan bintang tamu bicara bila itu dianggap bernilai informatif. Acara ini pernah menjadi ikon penting acara yang meningkatkan rating, walaupun sekarang sudah agak nggak laku. Tapi bila ingin bertahan, cobalah diganti pengumpannya bukan orang-orang macam Pepi atau Vega yang nggak ngerti tempat untuk momen lucu. Saya pikir Ruben dan Eko Patrio (dua bintang yang sedang naik daun) jauh lebih cerdas bila sedang melucu, ia akan dengan tepat masuk momen lucu dan menghargai waktu orang bila bicara. Sekonyol-konyolnya sebuah acara talk show, pembicaraan orang dituntaskan dulu karena seringkali acara Tukul kedapatan tamu orang-orang hebat namun masyarakat umum mungkin sudah agak melupakannya seperti : Yok dan Rosihan namun gagal dieksploitasi oleh Tukul karena becandaan yang kurang penting, untuk kasus Sophan Sophiaan, dia berani menegor Tukul ketika obrolannya belum selesai namun dipotong oleh Tukul. Semoga bila ada tim kreatif acara Tukul baca tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan, agar para pengumpan/pengejek Tukul untuk diam bila ada bintang tamu bicara, kecuali ada sinyal dari Tukul. Untuk Tukul sendiri saya kira dia secara bawah sadar punya kemampuan menggali informasi dari bintang tamunya, dan punya feeling dimana waktu yang tepat untuk ngelucu. Tidak demikian halnya dengan Vega dan Pepi yang sangat norak bila melemparkan joke. Agak bagus dan cerdas bahan bebodoran yang diumpankan anaknya Idang Rasyidi yang pegang organ.

Saya nggak tahu apa Yok Koeswoyo atau Rosihan Anwar pernah menjadi bintang tamu Kick Andy? Saya kira sangat menarik menelusuri kisah manis Koes Bersaudara dan Koes Plus yang notabene juga merupakan bagian dari sejarah kehidupan negeri ini –apalagi bisa mendamaikan konflik yang lucu antara Yok dan Yon supaya jangan saling ngempesin ban mobil lagi -, juga tentang Rosihan Anwar terlepas dari pikiran-pikirannya yang agak mencla mencle namun dia adalah saksi sejarah. Bagaimana Bung Andi F. Noya...apakah bisa dieksploitasi kisah dua orang ini?

ANTON

Sajak Ketika Langit Tak Lagi Jingga

Sajak Ketika Langit Tak Lagi Jingga

Langit tak lagi jingga
Seperti awan musim hampa
Matahari berubah menjadi perdu
Dan cinta hanyalah butir-butir mata dadu

Kini sejak kumainkan
Sedikit nada tanpa buah rindu
Garis-garis luku yang kutorehkan pada ladang biru
Menjadi asam muda
Tanpa senyum manis bibir senja.....

Ah, pelabuhan lama
Kota tua
Terminal bisu
Adalah masa lalu yang kisahnya tak usah dikenang
Karena mimpi datang bukan untuk dibuang
Mimpi kita, mimpi ungu
Yang dihidupkan air mata api
Biarlah semua yang kau tulis pada puisi-puisi hitam
Menjadi alamat suci dari pertemuan dua hati

Djakarta, 11 Maret 2008


Hitam

Hitam sudah mata hati
Ketika hati menjadi sunyi
Hitam sudah buah tanya
Ketika malam tak melahirkan pranata
Maka diam adalah jawaban
Toh, diam juga bagian dari pertanyaan

Djakarta, 11 Maret 2008


Ketika Puan pungut Mimpi Yang Hilang

Ada yang hilang
Pada mimpi semalam
Aku belikan lotto Pemilihan Raya dengan seribu gendam di ucapan
Tapi yang kembali
Hanyalah serapah puan
Bukan uang yang kukumpulkan
Tapi malah bibir-bibir tanpa tuan yang rancap sana sini
Siapa pula yang mencangkok rembulan
Bila tak ada alasan?
Bibir-bibir puan
Yang didamba para Hang
Bukan jadi lautan
Atau samudera tertakluk laksmana radja
Bibir puan
Bibir rindu
Yang sejarahnya
Dibangun pada warna biru
Maka ketika puan menjadi ratu di negeri melayu
Singkat pula bibir ini menjadi mesin godam
Untuk buat cerita pada urutan alkisah
Tentang negeri tak hampa kuasa
Seperti cerita
Raffles bertanya pada Tuan Umar
Tentang adakah kerja di pikiran orang Melayu sana?

Djakarta, 11 Maret 2008

Senandung Ibunda Urip Tri Gunawan

Kutimang-timang engkau bayiku sayang
Kunyanyikan sejuta harapan
Pada malam-malam bisu dengan sejuta bintang
Lampu kecil ini, kuberi sedikit minyak
Agar terang nyalanya
Agar jelas arahnya

Wahai bayiku tercinta
Yang disampaikan pada garis kabar gembira
Belajar menyanyilah sayang, tentang cinta ibunda
Lihat disana ayah tertawa senang lihat wajahmu yang riang
Buluh-buluh cinta yang kutanamkan hendaknya kau jadikan tonggak perjalanan
Agar benar hidupmu, agar terang jalanmu
Cinta sudah ditasbihkan
Agar kau menjadi orang yang berguna
Bagi : Bangsa, Agama dan Negara
Itulah alasan kau dihidupkan di dunia
Dan mempunyai nama : Urip Tri Gunawan.....

(-lalu adakah beda antara ibunda koruptor dengan ibunda orang sesuci mahatma? Karena bagi Tuhan semuanya diberikan kasih dan naluri keibuan...)

Djakarta, 12 Maret 2008

Beda Kualitas SBY dan Bun Karno Kalo Lagi Marah

Antara Marahnya SBY dan Marahnya Bung Karno

Kemarin waktu, SBY dengan tidak mengidahkan etika mempermalukan seseorang di depan umum. Pidato SBY yang membosankan dan kemungkinan omong kosong SBY yang terus menerus di dengungkan lebih baik ditanggapi dengan tidur saja. Namun kemarahan SBY ini cukup mendapat perhatian publik. Hanya saja kemarahan SBY cukup mengawang-awang dia bilang “malu pada rakyat”...lha kalau malu kenapa dia terus menerus cuap-cuap omong kosong, kasus Lapindo serta ketidakpeduliannya menunjukkan kapasitas kepemimpinan SBY yang tidak tahu malu, maka pantaslah seorang pejuang besar demokrasi Indonesia yang berani, Sri Bintang Pamungkas membuang gambar SBY-Kalla di depan patung Proklamasi. Bila kelak SBY maju lagi mencalonkan diri menjadi Presiden RI, maka dia adalah jenis orang yang tidak tahu malu. Bukan saja pada rakyat, tapi pada dirinya sendiri. Sebab ada omongan dia sendiri yang bilang hanya mau jadi Presiden sekali saja, coba wartawan Kompas ada yang merekam ucapan itu yang berulang-ulang dia lakukan, kalau dia maju lagi untuk jabatan Presiden kedua kalinya tinggal setel keras-keras rekaman itu dan menunjukkan sikap seorang pemimpin yang plintat plintut...

Kualitas intelektualitas seseorang bisa dilihat dari cara marahnya. Coba perhatikan marahnya Bung Karno pada Golkar. Kemarahan ini adalah kemarahan profetik karena memperlihatkan bahwa kelak Golkar membusukkan politik Indonesia dibawah rezim Junta Militer Orde Baru. Mari kita kenang kemarahan Bung Karno pada Golkar, pada pada 11 Desember tahun 1965 di malam hari, bertempat di Istana Bogor.

“ Saudara-Saudara Sekalian.....,

Barangkali Saudara-Saudara melihat saya masuk ruangan ini dengan muka marah!...Memang marah!, Masak pantas kamu orang yang dipersilahkan datang di sini jam 7, kan kamu orang minta supaya ini malam datang disini menyuruh Presiden satu jam menunggu!!!!.........Tadi saya memakai perkataan ...Inlaander Kamu Orang Sekalian!!

Ya,...Ya rapat baru setengah enam habis.

Go To Hell... Dengan setengah enam!

Inikah Golongan Karya? Inikah yang dinamakan katanya menjunjung tinggi, patuh kepada Kepala Negara, Presiden, Saya marah...Saudara-saudara!

Kalau Saudara-saudara meladeni revolusi cara begini, nou,... tidak akan revolusi itu bisa selesai. Jangan mengeluarkan alasan kepada saya, ya sidang baru setengah enam habis. Kalau sidang akan memakan waktu begitu banyaknya,....mulai pagi-pagi betul!! ...jam berapa mulai sidang?

Mulailah jam 5 Pagi! Inlanders!!!!!

(Amanat Paduka Yang Mulia Sukarno Di hadapan Para Anggota Golongan Karya)

Bung Karno sepanjang dia pidato tidak pernah memarahi satu orang di depan umum. Mungkin hanya nama Mashuri saja yang pernah ia sebut dengan nada sinis, namun saat itu Mashuri tidak ada di tempat.

ANTON

Negara Dalam Wacana

Negara dalam Wacana

Oleh Anton

Di pertengahan tahun 80-an saat saya masih SD ada buku yang selalu saya baca dan sangat menarik walaupun bahasanya kering dan terjemahannya sedikit berantakan. “Negara Modern” karya Mc Iver. Dalam buku ini setidaknya saya belajar bagaimana organ sosial yang bernama negara berkecambah dalam ruang pikiran masyarakat dan melahirkan susunan-susunannya yang landasan dari susunannya adalah kekuasaan. Ada satu tulisan dari ahli filsafat berumur panjang Bertrand Russel, yang bercerita tentang disiplin Sparta dimana kemudian menjadi sebuah model negara dengan dasar-dasar kesederhanaan, patriotis, disiplin dan sama rasa sama rata untuk semua anggota warga negara. Nama negara ini kemudian dikenal sebagai model ‘Spartacus’ dan berabad-abad kemudian di jalan-jalan Bavaria, Jerman Selatan pada permulaan abad 20 muncul sebuah gerakan Spartacus yang beraliran kiri bertarung dengan anak-anak fasis didikan Hitler yang banyak ngumpul di sekitar kedai bir. Gerakan Spartacus ini kemudian luruh bagai musim gugur menyusul ditemukannya mayat Rosa Luxemburg mengambang pada sebuah kali dan kaum komunis hilang sama sekali diberangus Hitler gara-gara eks komunis Belanda Marinus Van Der Lubbe ketiban sial nonton gedung parlemen yang dibakar dan digelandang oleh polisi kemudian dituduh sebagai dalam pembakaran gedung Parlemen yang kemudian memancing Hitler berteriak untuk membunuhi semua pengurus partai komunis Jerman, di titik inilah eksperimen gerakan Komunisme gagal justru di tanah kelahiran Karl Marx. Negara tidak selamanya lahir dalam ketertiban, namun negara selalu memimpikan ketertiban dan bahkan ketertiban masyarakat adalah sebuah cita-cita paling besar dari berdirinya sebuah negara. Tapi betapa beruntungnya negara yang sudah memiliki pemimpin dengan daya jangkau ke depan dan tahu kemana arah negaranya berkembang.

Apa yang dipikirkan oleh Jefferson ketika ia dengan wajah gembira pulang ke Monticello dengan menunggang kuda ditengah hujan salju? ....Ia berhenti menjadi Presiden!, ia tahu kekuasaan adalah sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan bukannya wahyu keprabon yang menunggu gerak lengsernya. Jefferson menolak untuk melanjutkan jabatan Presiden, begitu juga Washington yang tidak mau menjadi Raja Amerika Serikat, sampai-sampai Raja Inggris melonjak dari tempat duduknya dan bertanya “Jenis orang seperti apa Washington itu?, ia menolak menjadi Raja dari sebuah negara yang didirikannya dengan keberanian dan pertaruhan besar”. Mungkin Jefferson dan Washington tahu bahwa pemimpin tidak boleh merubah pribadinya menjadi negara, dan negara bukanlah sebagai mesin kekuasaan tetapi hanyalah pusat dari segala keteraturan dan melindungi kepentingan warga negaranya dengan kata lain, Negara bukanlah kumpulan nafsu-nafsu pemimpinnya. Jefferson hanyalah anak muda yang pandai menulis saat Deklarasi Kemerdekaan dibicarakan di Philadelphia, pikiran-pikirannya seperti Liberty Bell yang retak namun bergema. Ia juga bukan seorang lelaki yang bersih dari gosip, ia menyukai perempuan yang sudah bersuami dan menuliskan segudang rayuan pada perempuan itu. Namun toch sejarah harus mengakui dialah manusia yang mampu menciptakan sebuah eksperimen negara paling berhasil di dunia. Amerika Serikat.

Di malam-malam yang panas di sudut gang Peneleh, Surabaya. Di rumah milik Raja Jawa Tanpa Mahkota, Tjokroaminoto. Ada anak muda yang bermimpi menjadi Jefferson, ada anak muda yang mengagung-agungkan Jefferson. Kelak anak muda inilah yang kemudian di tahun 1945 berpidato di depan sebuah panitia persiapan membentuk negara baru bernama Indonesia dan sejarah mengantarkan pada kita nama anak muda itu adalah Sukarno. Namun Sukarno tahu Indonesia bukanlah tanah Amerika, tanah yang dicari untuk mencari kebebasan, tanah yang di rujuk agar penafsiran menyembah Tuhan bisa dengan bebas tanpa paksaan. Dan di tanah Amerika pula-lah Mayflower mengembangkan layarnya. Indonesia lebih dari Amerika, disinilah surganya agama-agama dunia berkecambah. Indonesia adalah pelataran terindah warisan spiritual Arab, India dan Cina. Di Indonesia pula menara intelektualitas bergaya barat mendapat bangunan suar-nya. Maka Sukarno paham, bahwa di Indonesia bukanlah tanah yang sekedar baru memahami agama, baru memahami Tuhan. Namun Indonesia adalah sesungguhnya negara tua yang jauh berpengalaman dalam dimensi spiritualitasnya. Maka ia menempatkan sebuah idee Negara Baru itu berdasarkan Restu Tuhan. Tuhan-lah alasan utama negara Indonesia lahir ke muka bumi dan menjaga ketertibannya. Kata Sukarno dalam pidatonya yang menggetarkan di muka sebuah panitia yang berniat membikin negara baru “Prinsip Ketuhanan, bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah semuanya kita berTuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan........dengan cara yang berkeadaban.....ialah hormat menghormati satu sama lain....ingatlah prinsip ketiga, permusyawaratan perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara toleran, dengan cara berkebudayaan!”

Sukarno yang pada akhirnya memilih tidak menjadi Jefferson, tapi ia menuruti nalurinya menjadi Raja Jawa sesungguhnya. Dan Sultan Agung menjadi pilihannya. Menjadi idola bawah sadarnya, yang seperti Onghokham bilang “Sukarno adalah Raja Jawa, kata-katanya sabda dan mitosnya adalah simbol-simbol revolusi” ya...Sukarno menjadi mesin idee untuk sebuah perubahan maka ia menggelar teater besar dalam tanah Indonesia dan ia menjadi sutradaranya seperti saat ia memimpin toneel Kelimutu di tanah Flores. Akhirnya Sukarno tidak memilih menjadi Jefferson.

Antara Jefferson dan Sultan Agung sesungguhnya hanya dipisahkan serat tipis perbedaan. Serat tipis itu adalah kediktatoran dan persamaan terbesar mereka adalah melindungi. Jefferson menciptakan eksperimen negara yang melindungi kebebasan sementara Sultan Agung menciptakan kekuasaan yang melindungi semua unsur masyarakatnya. Dari sinilah makna negara kemudian terbentuk. Sultan Agung adalah pangkal contoh Raja Jawa sesungguhnya, ia tidak memilih jalan Pangeran Jimbun alias Raden Patah yang ikut dalam gerakan pembantaian Sjekh Siti Djenar. Sekaligus menunjukkan pada sejarah bahwa kekuasaan Raden Patah adalah kekuasaan yang terdikte. Sultan Agung tidak mau didikte, oleh apapun atas nama apapun. Maka ia serang Giri Prapen dimana ceritanya melahirkan serat Centhini. Ia serang Tembayat dan seraya berkata, tidak ada apapun yang menguasai aku atas nama apapun termasuk penafsiran agama atau monopoli kebenaran. Ya Sultan Agung harus berdiri diatas segala, bukan didikte oleh sekelompok kekuatan. Karena ia adalah negara. Dan ia harus melindungi, bukan mengusir dari rumah keyakinannya.

Namun toh, sejarah hari ini tidak melahirkan seorang pemimpin yang bisa berdiri diatas segala, sejarah bangsa kita tidak memberikan negara sebagai pengayom, justru menjadi pengancam. Ahmadiyah, Salamullah, PKI, PSI, Masjumi, Tempo, atau Dewi Perssik menjadi contoh bagaimana kekuatan negara mengancam eksistensi sebuah idee, sebuah wacana bahkan hanya sekedar goyangan pantat. Negara sekali lagi dikembangkan menjadi gurita kekuasaan, bukan wasit yang adil. Untuk itulah kenapa Kekuasaan menjadi begitu memuakkan.

Syahdan, di suatu tempat di abad-abad silam. Nabi Muhammad saw, seorang pemberani yang mencetuskan sebuah cahaya baru, yang melahirkan peradaban baru ditanya seseorang setelah ia berhasil menaklukkan Mekkah. “Ya...Nabi maukah kamu menjadi seorang Raja, menjadi seorang Kaisar?” Sang Nabi hanya tersenyum dan menggeleng kepala. Ia menolak, ia tidak mau dirinya menjadi sebuah pusat kekuasaan yang pada akhirnya rentan diselewengkan. Dan Nabi tetap memilih memeras susu kambing, menjahit pakaian yang robek atau bermain kuda-kudaan dengan cucunya. Ia menolak negara, ia menolak kekuasaan karena mungkin ia tahu, betapa negara bisa menjadi palu godam yang menyakitkan. Dan tragisnya cucunya Hussein sendiri merasakan bagaimana kekuasaan menjadi sedemikian kejam.

.........Dan Nabi-pun menolak kekuasaan.


ANTON

Asal usul Penamaan Benda

Toponomi yang menarik tentang bahasa Cina Perantauan di Indonesia. Asal tahu saja nama Jakarta bagi orang Cina Perantauan jaman dulu adalah Yecheng (Batavia/Jakarta) nama Yecheng populer sekali dalam kosa kata pedagang Cina sejak abad 16 dan 18, bahkan berita-berita perjalanan kaum pedagang ini masih menyebut nama Yecheng. Belakangan sejak nama Batavia diubah menjadi Jakarta karena penyesuaian lidah nama Yecheng diubah menjadi Yajiada (Jakarta). Untuk nama Banten nama Cinanya adalah Xiang Gang, nah untuk Tangerang nama Cinanya adalah Wendeng, kemudian terserap menjadi Benteng, mungkin kita bingung istilah ‘Cina Benteng’ bukan disana karena ada benteng Belanda, memang nama Tangerang bagi bahasa Cina adalah Wendeng yang dilafalkan dengan lidah melayu sebagai ‘Benteng’. Untuk kuliner banyak juga yang bermula dari bahasa Cina, seperti Alaqi, kita mengenalnya sebagai arak. Kata Bakpau sendiri berasal dari Raoubau, mian dikenal sebagai mi, mianxian (misoa), mifen (mihun), Qingcao (Cincau), douya (toge), doufu (tahu), longyan (lengkeng), asal kata kue itu adalah dari ge menurut lafal hokkian atau Guo menurut lafal mandarin nah yang lucu adalah Sekoteng...nama Cinanya adalah Siguotang.

Diluar makanan ada juga seperti Louding (lidah melayu bilang loteng)...dulu di Jawa hampir tidak ada bangunan tingkat, hanya orang Cina Pendatang yang berbakat dagang dan bangun toko mengenalkan bangunan bertingkat, nah ruang di lantai dua atau diatasnya lagi disebut Louding...alias loteng, Pengki temennya sapu juga berasal dari bahasa Cina, celana pangsi, Qinding itu penjaga tuan besar lidah melayu melafalkannya menjadi Centeng...kalau Qimaojin itu bukan ilmu kungfu, tapi nama lain dari Kemoceng....


ANTON

Calon Arang

Calon Arang, Kartini, Djamilah dan Kekuasaan

Ketika wanita menjadi janda
Mulailah sudah prasangka
Melucuti kemurnian rahim
Rumah-rumah menanam pandan di pintu-pintu
Anak-anak menutup lubang pusar
Lelaki menggosok-gosok kumisnya....

(Cok Savitri, Narasi Pembelaan Dirah)

Begitulah narasi yang kerap digumuli Cok Savitri dalam pentas Dirah tujuh tahun silam, Cok Savitri yang memiliki darah keturunan langsung dari Calon Arang membela nenek moyangnya itu sebagai perempuan yang berani memberontak pada kekuasaan. Oleh Cok Savitri, Calon Arang bukan lagi digambarkan sebagai pemuja Btari Durga yang jahat, penganut aliran Siwa Tantri yang doyan sembahyang di kuburan sambil nari nengkleng...namun Calon Arang digambarkan sebagai perempuan yang berani menantang dominasi kaum lelaki terhadap penafsiran susunan masyarakat. Calon Arang berani menantang intervensi negara terhadap keyakinan anggota masyarakat. Namun dalam sejarah cerita-cerita itu noda Calon Arang dilebur menjadi warna hitam sebuah dongeng...seperti Djamilah.

Alkisah, setelah aksi penculikan beberapa Jenderal di akhir tahun 1965. Santer kemudian disebut nama Djamilah dalam koran-koran milik Angkatan Darat. Djamilah mencoba bertahan hidup sebagai pelacur di sebuah kawasan dekat Halim. Entah kenapa perempuan muda berwajah manis ini kemudian tertangkap oleh tentara, setelah disiksa dan ditelanjangi ia kemudian dibebaskan setelah sebelumnya dipaksa menandatangani sebuah pernyataan bahwa dia adalah pemimpin cabang Gerwani, sebuah organisasi gerakan perempuan yang sejalan dengan PKI. Djamilah dan Gerwani adalah dua sisi mata uang yang sama setelah ‘Gerakan’ Tiga Puluh September mengalami transformasi menjadi ‘Peristiwa’ G 30 S. Makna pergeseran kata Gerakan dan Peristiwa ini mengalami perluasan merusak, dan salah satunya adalah Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia dimana ikon Gerwani hancur lebur. Gerwani diresidu sejarah hanyalah sebuah organisasi yang memproduksi penari genjer-genjer ditengah pesta seksual Pemuda Rakyar saat para Jenderal merenggang nyawa. Dan film garapan Arifin C. Noer serta buku sejarah resmi Orde Baru menulisnya demikian. Walaupun kemudian terbukti bahwa penyiksaan dengan silet dan kata-kata ‘darah itu merah...djenderal’ dengan latar belakang lagu ‘Genjer-genjer ono Jenderal Pathing Keleler’ hanyalah lakon carangan yang digarap para penulis naskah yang dibayar oleh junta militer Orde Baru. Seandainya RUU APP gol, maka penulis porno kisah dongeng penyiksaan para Jenderal bisa dikenakan pasal pidana, namun toch sejarah bukan pengandaian....

Sejarah tentang kisah perempuan selalu berkaitan erat dengan kekuasaan lelaki yang menyelubunginya. Suatu sore seorang bangsawan anak bupati Jepara berkata pada ayahnya yang bertubuh tambun. “Romo, saya mau sekolah di Belanda” sang Bapak dengan kumis lantang berkata pelan ‘Sudahlah Kartini, kamu dirumah saja...biarlah kakang mas mu yang bersekolah di Belanda...” dan memang Raden Mas Sosrokartono, kakak Raden Adjeng Kartini menimba ilmu di Belanda, walaupun kemudian dunia mengenalnya sebagai tokoh kejawen tiada tanding di jamannya, Kyai yang berfilsafat Bambu Kuning, yang senang memberi pengobatan di tengah alun-alun Bandung dengan gelas bertuliskan aksara arab pertama ‘Alif’. Lalu dimana Kartini yang gandrung dengan budaya barat dan ingin bersekolah. Ia melahirkan seorang bayi dengan bertarung nyawa dan kalah ketika melahirkan Soesalit, Kartini menjadi madu seorang Bupati, menjadi perlambang objek nafsu lelaki dan kekuasaan, namun ia melahirkan Soesalit yang kelak anaknya ini menjadi seorang Jenderal kesayangan Bung Karno di tahun-tahun Revolusi 1945-1949.

Kisah perempuan seringkali adalah kisah perlawanan atas nama kesadaran persamaan...tapi seringkali kisah itu berujung pada kekalahan. Karena jangankan memiliki kesadaran atas persamaan hak-nya, memiliki tubuhnya sendiri kadang perempuan tidak diperbolehkan. Seperti yang diucapkan seorang perempuan pemberani Indonesia, Gadis Arivia dalam kuliah-kuliahnya “Jangan-jangan perempuan tak lagi memiliki tubuhnya sendiri karena kepemilikannya sudah diambil oleh hukum”

......Entahlah toch lelaki sering menafsirkan perempuan sebagai bangunan porno dalam pikirannya, atau memang lelaki sesungguhnya tak sanggup memiliki daya tahan perlawanan seperti perempuan?


ANTON

PARTAI PARLEMEN INDONESIA (PPI)

PARTAI PARLEMEN INDONESIA (PPI)

Alkisah sebagai sebuah bentuk kompromi antara pemerintah Hindia Belanda dan kaum pergerakan nasional maka berdirilah Volksraad atau Dewan Rakyat di tahun 1916. Dewan Rakyat ini merupakan kelanjutan politik logis dari Dewan Haminte alias Dewan Daerah yang berdiri tahun 1903 dimana Dewan Daerah ini tidak mencerminkan suara rakyat karena hanya merupakan perwakilan boneka-boneka kolonialis semata. Tidak jauh beda dengan Dewan Daerah, Volksraad sendiri juga hanyalah tempat cari duit beberapa gelintir ‘de functionaires’ dari Istana Gambir. Hanya secuil yang bekerja untuk suara rakyat, dan kita mengenalnya dua nama : MH Thamrin dan Soetardjo. Masuknya politisi-politisi dalam Dewan Rakyat itu tak lepas dari perubahan besar politik Hindia Belanda yang agak kendur terhadap gerakan rakyat tahun 1922. Namun kemudian mengeras ketika Colijn menjadi Menteri Urusan Jajahan, maka konsepsi kesatuan dalam Dewan Rakyat serta merta hilang dengan ucapannya yang terkenal dalam ‘Konsepsi Colijn’ yang sangat dihapal luar kepala oleh orang pergerakan dan dijadikan antitesis dari perjuangan orang Pergerakan “Bahwa Indonesia sebagai satu kesatuan itu tidak ada, kesatuan-kesatuan yang konkrit adalah ‘propinsi-propinsi kepulauan’ (eiland provincies) seperti di Jawa dan Sumatera. (Konsepsi devide et impera ini bisa anda baca pada karangan Colijn, Koloniale Vragstukken van heden en morgen).

Ucapan Colijn inilah yang memperkuat perlawanan terhadap kolonialisme, dimana setelah hancurnya gerakan PKI kemudian Sukarno mengisi tempat setelah ia bergulat pikiran dengan orang-orang pergerakan di Bandung, dimana semuanya menandatangani pendirian PNI dan hanya dokter Tjipto yang menolak dengan alasan PNI bisa dijadikan alasan untuk penghancuran kaum pergerakan. Kemudian sejarah bercerita pada kita bahwa Sukarno ditangkap di Yogyakarta pada suatu malam buta oleh Polisi Hindia Belanda dan ditahan di Banceuy yang kemudian berkelana dari satu tempat tahanan lain ke tempat tahanan lain, dari Flores sampai Bengkulu. MH Thamrin kemudian menjadi macan podium yang menuntut pembebasan Sukarno, dan MH Thamrin menjadi incaran, konon MH Thamrin kemudian dibunuh oleh intel Hindia Belanda, dimana anak angkat MH Thamrin, (yang kelak menjadi isteri Pramoedya Ananta Toer- pernah bersaksi). Di tahun 1936 ketika kekuasaan Hindia Belanda mencapai puncaknya dan ada aroma fasisme dalam tubuh Hindia Belanda, Soetardjo mencari jalan kompromi. Dengan mengeluarkan Petisi Soetardjo yang menghendaki adanya suatu ‘otonomi diperluas’ dengan tetap mengakui Hindia Belanda. Petisi yang ditandatangani oleh I.J Kasimo, Ratulangi, Datuk Temanggoeng, dan Kwo Kwat Tiong akhirnya menjadi bahan guyonan bagi kaum pergerakan non kooperatif. Petisi Soetardjo dinilai sebagai pernyataan tidak jantan terhadap situasi pergerakan. Jelas Sukarno di tanah pembuangannya menolak.

Ketika Indonesia merdeka tahun 1945. Sjahrir langsung bergerak cepat, ia tahu bahwa ia tidak mungkin menjadi orang nomor satu dalam pemerintahan Republik, tapi ia bisa menjadi otaknya. Maka dengan taktik politiknya yang cerdas ia memelintir negara dengan dasar Presidensial menjadi berbasis Parlementer dan dia menjadi Perdana Menteri. Oleh kaum PNI gerakan Sjahrir ini diduga merupakan ‘Silent Coup’ terhadap Sukarno. Terlepas dari silent coup Sjahrir, namun pembentukan Parlemen darurat bernama KNIP menjadi sebuah lembaga yang solid dan bisa menjatuhkan pemerintahan, setidak-tidaknya Indonesia tidak terjerumus menjadi negara yang dipimpin diktator dan menjadi penyeimbang irama politik Indonesia yang naik turun.

Ketika Belanda menyatakan kalah, gara-gara ancaman Amerika akan menutup dompet Marshall Plan-nya kalau Belanda tidak menarik pasukannya di Indonesia, maka usai sudah masa Parlemen darurat. Indonesia berusaha membentuk parlemen yang mencerminkan kekuatan rakyat. Sebelum Pemilu 1955, koalisi Masjumi-PSI-PNI menjadi segitiga besi yang sangat kuat di tubuh parlemen, kemudian Masjumi pecah karena NU menyatakan keluar dari barisan Masjumi dan membentuk partai sendiri. Tahun 1955 Pemilu diadakan, dalam Pemilu kali ini PSI dipermalukan namun jelas PSI memiliki mutunya karena dengan tidak menguasai massa-rakyat PSI justru menguasai alam pemikiran elite, bahkan kejatuhan Sukarno kelak di tahun 1965 tak lepas dari rencana besar orang-orang eks PSI dari fraksi yang sangat anti Sukarno. Pada tahun 1955-1959 ada masanya rapat-rapat Parlemen berlangsung keras, namun bersuasana intelektual. DN Aidit menyerang Masjumi karena masalah PRRI/Permesta dan mengangkat kembali kasus Madiun, hingga perseteruan ini dibawa sampai ke Pengadilan. Tugas besar Parlemen setelah Pemilu 1955 adalah menyempurnakan UUD 1945 yang diakui merupakan UUD yang dibuat dalam kondisi darurat dan terburu-buru, namun penyusunannya deadlock pada dasar negara. Satu kubu dibawah komando Natsir menghendaki berdirinya sebuah negara berdasarkan negara Islam, lain pihak menghendaki dasar negara Pancasila. Gong dari perumusan ini justru bukan dari voting anggota parlemen tapi dari mulut Sukarno, yang menyatakan parlemen dibubarkan. Pembubaran parlemen ini mengakhiri kisah-kisah perseteruan Natsir-Aidit, yang berlangsung dalam suasana intelektualitas dan bersikap dewasa. Konon setelah mereka berdebat sampai berbusa-busa mereka berdua selalu tertawa di ruang makan dan makan soto bersama-sama, ini beda ceritanya dengan politisi-politisi di parlemen jaman sekarang.

Era Suharto parlemen hanyalah sebuah gudang besar berisi orang-orang yang kerjanya sebagai ‘tukang stempel’ jelas tukang stempel beneran di Jalan Bendungan Hilir, Jakarta sana jauh lebih terhormat kapasitas daya hidupnya ketimbang tukang stempel parlemen jaman Suharto. Di jaman inilah keputusan politik selalu mengenal ‘keputusan bulat’ tidak lonjong, tidak pula jajaran genjang.

Suharto minggir dalam sejarah, muncullah Parlemen yang agak sedikit berkuasa. Bermula dari Parlemen bergaya Taman Kanak-Kanak di era Gus Dur, sampai Parlemen doyan duit seperti yang terungkap dari banyak kasus mulai dari percaloan Haji model Azzidin sampai calo keputusan tanah hutan lindung gaya Al Amin. Parlemen bukan lagi sebuah model sempurna perwakilan suara rakyat, tapi mirip Bursa Efek yang dagangannya regulasi-regulasi dimana kepentingan rakyat hanya bernasib tergantung segepok kantong berwarna coklat berisi duit mulai dari puluhan juta sampai milyaran. Parlemen dalam dimensi politik sekarang bukan lagi merupakan sebuah idee dari intervensi rakyat terhadap negara, tapi lebih mirip sebuah Partai Politik tersendiri. Komunitas Parlemen yang berasal dari partai-partai miskin ideologi, bergabung menjadi satu di Senayan dan membentuk Partainya sendiri, namanya Partai Parlemen Indonesia. Tujuannya satu : Bagaimana menyejahterakan keluarga anggota parlemen masing-masing, selamat menilai sendiri kapasitas parlemen kita.


ANTON