Monday 8 September 2008

Sedikit Mengenal Njoto.


Sedikit Mengengal Njoto





Namanya singkat: Njoto. Sebagai menteri negara di tahun 1960an, ia mengesankan banyak orang, termasuk Bung Karno. Bukan saja piawai di panggung politik, tapi juga memiliki pengetahun yang lengkap tentang sastra, musik hingga sepak bola.
Ia seorang jenius yang tak pernah diketahui kabar kematiannya. Ia dibunuh akibat hura hara politik akhir September 1965, ketika Partai Komunis Indonesia dituduh mendalanginya.

Bayi pun dipenjara Svetlana Dayani: "Saya tidak melihat disiksanya, tapi kita kan mendengar suara. Mendengar jeritan orang, mendengar segala macam, hardikan-hardikan pemeriksa. Kalau pagi mereka ke luar dari ruang pemeriksaan dengan badan yang sudah, ada yang dipapah, ada yang sudah tidak bisa berjalan. Harus diseret-seret. Mengerikan. Nggak cuma laki-laki masalahnya, juga perempuan.Lihat sendiri"
Saat itu Svetlana Dayani belum lagi 10 tahun. Belum faham benar apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Svetlana beserta keenam adiknya sudah harus merasakan kejamnya hidup dalam penjara. Gelap. Pengap. Adik bungsunya saat itu malah masih menyusu.
Svetlana Dayani: "Ikut semua sampai bayinya yang umur tiga bulan itu"
Mereka adalah anak-anak Njoto, menteri zaman Bung Karno dan Wakil Ketua CC Partai Komunis Indonesia, PKI. Huru hara politik 30 September 1965 membuat mereka harus ikut merasakan pengapnya penjara Kodim Jakarta. Tiga bulan bersama Soetarni, ibu mereka.
Setelah bebas dari tahanan Kodim, Soetarni, istri Njoto, kembali ditangkap dan ditahan. Dari satu penjara ke penjara lain. Antara lain di Wonogiri, Semarang, Bukit Duri Jakarta, dan di Plantungan, Jawa Tengah. Sementara Njoto sendiri hilang tanpa jejak sejak 16 Desember 1965.
Soetarni: "Masih nyusuin saya. Tapi setelah saya karena kaki saya diambil itu, ndak keluar air susunya. Saya lapor ke komandannya. Saya minta susu. Karena itu mendadak ndak keluar. Tiba-tiba ndak keluar. Dimintakan sama-sama orang tahanan. Saya tahunya.. waduh kok kasian amat, orang ditahan kok dimintain suruh njatah aku susu"
Kini, meski sudah renta, ingatan Soetarni masih segar. Ketika tertawa, giginya terlihat berderet putih. Tinggal di sebuah rumah sederhana di Rawamangun Jakarta Timur, Soetarni banyak menghabiskan waktunya dengan membaca. Berbagai buku dilahapnya, mulai soal politik sampai komik pemberian cucu.
Seniman ketimbang politikusSoetarni ingat betul pengalaman pahitnya. Walau pun istri Njoto, Soetarni tak pernah aktif di PKI. Ia ibu rumah tangga biasa. Sebelum menikah, Soetarni adalah atlet lari yang pernah tiga kali ikut Pekan Olahraga Nasional PON mewakili Solo. Waktu itu, Soetarni lebih banyak kenal Njoto sebagai seniman ketimbang politikus. Di mata Soetarni, Njoto adalah seorang penyabar. Seingatnya, tak pernah sekalipun Njoto membentak atau bicara kasar terhadapnya. Ia tak pernah menyesal menjadi istri Njoto.
Soetarni: "Karena peristiwa itu bukan salahnya, setahu saya, bukan salahnya PKI. Saya tidak bisa membenci PKI juga ngga. Masih tanda tanya terus toh selama ini. Ini peristiwa siapa sebetulnya siapa yang salah. Siapa yang bikin. Masih belum jelas kan? Semua juga belum tahu. (Dan sebagai istri petinggi PKI tidak pernah dengar kabar?) Tidak, baru belakangan-belakangan, dari baca-baca ini"
Sementara bagi Svetlana, Njoto adalah ayah yang dekat dengan anak-anaknya. Njoto selalu mengajak anak-anak mengenal kegiatan ayah mereka, mulai kegiatan di kantor redaksi koran Harian Rakjat sampai nonton kesenian.
Svetlana Dayani: "Kalau malam kita suka diajak ke kantor Harian Rakjat. Melihat proses membuat surat kabar, macam-macam. Diajak sampai lihat percetakannya. Diajak dia kerja. Kalau ada kegiatan dengan seniman juga begitu. Kita biasa datang ke acara seni, liat ludruk segala macam. Kesenian dari luar negeri. Terus kalau ada kegiatan dengan Lekra mungkin ke daerah, ke Bali. Kalau sedang libur kita ikut. Jadi saya tahu ayah ya seperti itu"
Untuk urusan buku, Njoto juga selalu memanjakan anak-anakmya. Di rumahnya yang luas di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat, Svetlana masih ingat tumpukan buku Njoto sampai langit-langit rumah. Njoto punya kursi khusus untuk menjangkau buku-buku itu.
Menyembunyikan jati diriPenderitaan anak-anak tak selesai walau pun keluar dari penjara. Bertahun-tahun Svetlana juga harus menyembunyikan namanya yang berbau Rusia.
Svetlana Dayani: "Saya harus selalu menyembunyikan jati diri saya yang sesungguhnya. Tidak pakai Svetlana. Nama lengkap saya kan Svetlana Dayani. Sejak peristiwa itu ketika saya mau sekolah lagi ibu saya tidak mengizinkan, saya harus membuang nama Svetlananya. Jangan dipakai. Karena dari saya dan adik-adik itu, nama saya memang yang paling mencolok sekali, svetlana"
Padahal Svetlana berarti cahaya. Tapi cahaya itu seolah redup begitu orde baru berkuasa dan mengharamkan PKI sampai anak cucu anggotanya. Anak-anak Njoto dan anak-anak anggota PKI lain hidup menderita, tak bisa menjadi pegawai negeri, bahkan ada yang sulit menikah lantaran calon mertua tahu mereka anak PKI.
Saat peristiwa 65 meletus, Njoto sedang berada di Medan untuk urusan kenegaraan. Beredar santer desas desus PKI dalang pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Aktivis PKI dicari-cari. Ada yang ditangkap lalu dibawa ke tahanan dan dipenjara bertahun-tahun, tanpa diadili. Banyak yang ditangkap lalu dibunuh. Pecah pembantaian massal terhadap ribuan orang yang dituduh PKI.
Menghilang Tanpa Njoto, pada 1 Oktober Soetarni terpaksa mengungsi bersama anak-anaknya dari rumah satu ke rumah lain. Seingat Soetarni, semenjak peristiwa itu, hanya sekali Njoto menemuinya.
Soetarni: "Masih nengok sekali di Gunung Sahari. Sekali saja (Bilang apa?) Wah sudah lupa ya. Ya, jaga anak-anak saja. Biasanya mesti begitu kalau mau ditinggal ke luar negeri. Jaga anak-anak kalau ada kesulitan hubungi oom ini, oom itu. Kawan-kawannya"
Setelah pertemuan hari itu, Njoto menghilang. Soetarni tak pernah lagi mendengar beritanya. Kabarnya ia ditembak mati, tapi Soetarni juga tak pernah melihat jazad suaminya. Anak-anaknya pun tak pernah tahu kabar ayah mereka. Bahkan sekedar foto pun mereka tak punya, karena rumah mereka pun ikut dijarah. Tak ada yang tersisa.
Njoto adalah salah satu dari Tiga Serangkai orang muda pemimpin Partai Komunis Indonesia tahun 1965. Selain Njoto ada juga Aidit dan Lukman. Selain sebagai Wakil Ketua II CC PKI, Njoto juga seorang penyair, essais dan penulis naskah pidato Bung Karno. Di kantor redaksi Harian Rakjat Njoto menulis editorial, pojok atau kolom.
Tidak anti agama Njoto seorang komunis tulen. Tapi ia tidak anti agama. Salah seorang sahabatnya, Joesoef Isak bercerita, Njoto pernah mengusahakan seorang ibu untuk naik haji ke Mekah. Saat itu tak sembarang orang bisa berangkat ke Mekah walau punya uang.
Joesoef Isak: "Dulu orang naik haji berebutan. Ada jatahnya. Walau pun punya duit kalau gak dapat jatah gak bisa. Teman saya Tom Anwar, wartawan Bintang Timur. Ibunya udah 60 tahun, sudah tua. Kepingin naik haji. Kedengaran sama Njoto. Njoto orang PKI yang dibilang iblis, gak kenal Tuhan, itu mengusahakan satu jatah untuk ibunya Tom Anwar. Jadi ibunya Tom Anwar kemudian 20 tahun lagi saya ketemu, dia udah umur 80 tahun, tidak pernah dia lupakan, bisa haji berkat Njoto"
Di mata Joesoef Isak, pengetahuan Njoto di banyak bidang tergolong paripurna. Njoto tahu banyak, mulai politik, musik sampai bola. Joesoef Isak yang saat itu wartawan harian Merdeka justru kenal Njoto karena musik. Joesoef Isak: "Bicara mengenai sepak bola, dia akan bicara sebagaimana seorang pelatih sepak bola profesional. Sistem grendel, sistem 421. Itu. Jadi dia serba mendalam. Bicara mengenai musik. Dari kroncong, floklor musik-musik rakyat Maluku, Ambon, Batak yang memang indah ya. Dia bisa bicara mengenai Beethoven, mengenai Wagner, mengenai Berlioz, Edvard Grieg, Sibelius, Antonin Dvorak"
Genjer-genjer Di bidang musik Njoto bukan sekedar tahu. Ia juga pandai memainkan berbagai instrumen, dari gitar sampai piano. Teman bermain musiknya antara lain adalah Jack Lesmana, salah seorang pelopor sekaligus pemusik jazz ternama Indonesia.
Suatu ketika, saat berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1962 dia disuguhi lagu Gendjer-Gendjer. Nalurinya sebagai seniman muncul dan memprediksi lagu itu akan tenar. Ramalan Njoto benar, lagu rakyat itu menjadi hit yang diputar di TVRI dan RRI.
Joesoef Isak boleh jadi salah seorang dari sedikit rekan Njoto yang saat ini masih hidup. Usianya kini 80 tahun. Di zaman Orde Baru ia mendirikan penebit Hasta Mitra yang menerbitkan roman Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer.
Njoto anak tertua dari tiga bersaudara, dilahirkan di Bondowoso pada tanggal 17 Januari 1927. Sejak muda Njoto telah menunjukkan bakat sebagai aktivis politik ulung. Joesoef Isak bercerita saat Njoto juga pernah bergabung dalam Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP, padahal usianya saat itu baru 16 tahun.
Joesoef Isak: "Dia sudah jadi komunis masih masa muda. Karena itu waktu republik berdiri, 1945, 1946, 1947, dia pimpin PKI, jadi fraksi PKI. Dia sudah ketuanya. Dia cerita pada saya. Umurnya 16. Jadi dia korup dua tahun. Isyunya saat itu KNIP perundingan dengan Belanda. Apa mau kompromi apa tidak dengan Belanda. Paling garis besar saja saya tahu soal-soal itu. Yang mendetail saya ndak banyak tahu"
Karir politik Njoto terus melambung. Pada pemilu pertama tahun 1955, Njoto sudah berada di barisan pemimpin PKI.
LekraDi bidang sastra dan kebudayaan, Njoto ikut mendirikan Lembaga Kebudajaan Rakjat, Lekra. Ia juga ikut membuat Piagam Lekra. Amarzan Loebis, anggota Lekra, mengatakan organisasi ini dulunya menekankan konsep sastra yang berpihak pada rakyat.
Amarzan Loebis: "Saya kira konsep Njoto ya jelas, seperti konsep Lembaga kebudajaan Rakjat ya sastra itu ya sastra yang memihak. Dan pemihakan sastra itu adalah pada orang-orang yang tertindas dan terjajah. Konsep sastra kita itu, kalau bisa disimpulkan menurut bahasa sekarang ya sastra pembebasan, sastra yang berusaha membebaskan orang, membebaskan manusia dari penindasan, penjajahan dan dengan sendirinya dari kebodohan. Kalau ada pertunjukan sandiwara, kalau itu cenderung memihak siapa? Rakyat atau kelompok yang menindas rakyat? Kalau cerita sandiwara itu menindas rakyat, itu bukan model cerita yang kita sambut gembira. Juga cerita-cerita yang tidak menyarankan optimisme"
Lekra pernah berpolemik keras dengan sejumlah seniman yang tergabung dalam Manifesto Kebudajaan, Manikebu. Sebuah perdebatan paling seru dalam sejarah budaya Indonesia. Kelompok Manikebu yakin seniman harus bebas dalam menciptakan karya yang didasarkan pada rasa kemanusiaan. Sementara seniman-seniman Lekra mendukung garis politik Bung Karno bahwa politik sebagai panglima. Karena itu seniman juga harus ambil bagian dalam politik mendukung Bung Karno.
Soekarno yang waktu itu dekat dengan Lekra dan PKI akhirnya melarang kelompok Manikebu. Joesoef Isak, kawan Njoto mengatakan, sejak awal Njoto tidak setuju pelarangan itu. Polemik Lekra versus Manikebu, kata Njoto, harusnya diperdebatkan dan masyarakat yang menilai.
Joesoef Isak: "Dia bilang manikebu enggak bisa dihapus dengan peraturan, dengan tanda tangan, dengan statement, lalu hilang. Manikebu adalah suatu wawasan. Wawasan itu tak bisa hilang dengan tanda tangan di atas kertas. Harus dilawan dengan polemik, dengan debat. Terbuka, biar rakyat terlibat. Biar lihat sendiri, menilai mana yang bener mana yang tidak bener. Dalam hal itu sikap Njoto cukup demokratis"
Penulis pidato BK Njoto juga salah seorang penulis naskah pidato Bung Karno. Menurut Joesoef Isak Soekarno suka gaya tulisan Njoto karena sesuai dengan gaya pidatonya.
Joesoef Isak: "Sebenarnya kalau soal pidato Bung Karno, bukan hanya Njoto, tapi Roeslan Abdoelgani juga nulis, Soebandrio menulis. Jadi tiga orang. Tapi masing-masing, setelah Soekarno pidato, mereka lihat berapa persen mereka dipakai. Njoto bilang, waktu bicara 63/64 Bung Karno hebat. Njoto sudah bilang, Suf, tinggal kerikil-kerikil saja. Hampir semua dia punya"
Ada banyak alasan mengapa Soekarno suka Njoto. Amarzan Loebis adalah wartawan Tempo bekas anggota Lekra yang pernah ditahan di Pulau Buru.
Amarzan Loebis: "Pertama masalah "ideologis" dan masalah habit. Masalah ideologis saya melihat Bung Njoto lebih sebagai nasionalis daripada seorang marxis. Bung Karno sendiri kan mengakui bahwa marhanenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia. Jadi ketemunya di situ saya pikir, ya. Pada Njoto ada ideologi marxis yang cenderung nasionalis. Pada Bung Karno jelas ada ideologi nasionalis cenderung marxis. Jadi ketemu. Kemudian dari segi habit, ya keduanya kebetulan sama-sama gemar musik, gemar lukisan dan mengerti lukisan, gemar sastra. Hal-hal seperti itu. Jadi mudah menjadi dekat"
Kepada orang-orang dekatnya, Njoto mengaku tak tahu menahu soal gerakan 30 September yang menurut orde baru didalangi PKI. Saat itu Njoto bahkan sedang ada di Medan, mengikuti sebuah tugas kenegaraan. Sampai kini tak jelas kabar kematiannya. Mungkin ia telah mati. Mati dalam sunyi.

1 comment:

Anonymous said...

SEJARAH MEMANG AKAN MENCARI ANAK KANDUNGNYA BIARKAN SEJARAH MENJADI BAGIAN SEJARAH KITA BIAR TIDAK TERJERUMUS KELUBANG YANG SAMA