Analisa Singkat Tentang Ruang Elite di Indonesia
Anton Djakarta
Indonesia, adalah sebuah project…sebuah gagasan dan lebih jauh lagi Indonesia adalah kehidupan itu sendiri. Pernahkah kita berpikir bahwa menjadi ‘Indonesia’ bukanlah semata-mata take in granted, sesuatu yang sudah seharusnya ada. Kesadaran sejarah diperlukan dalam memahami Indonesia.
Awalnya Indonesia dibangun dengan mimpi. Mimpi-mimpi Indonesia adalah mimpi pembebasan, bagaimana memakmurkan rakyat, mencerdaskan kehidupan dan menjadikan Indonesia sebagai rumah yang nyaman. Namun kemudian mimpi itu menjadi realitas mimpi buruk. Mimpi pembebasan dibayar dengan pembantaian, mimpi memcerdaskan bangsa malah melahirkan birokrat pendidikan yang korup dan mimpi menjadikan Indonesia sebagai rumah yang nyaman malah terus-terusan kita diancam oleh sejarah dendam. Lalu kenapa ini terjadi?
Indonesia dan Elite
Sejarah adalah soal cerita dan cerita itu baik kecil atau besar merupakan gejala bagaimana kita bisa mengerti tentang masa yang kita lalui sekarang. Penguasaan rumah-rumah Belanda di Menteng dengan merebut paksa adalah awal terbentuknya elite baru yang kemudian menggantikan elite lama, adalah salah satu sinyal sejarah yang harus diperhatikan untuk memahami bagaimana sejarah masyarakat terbentuk. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjafrudien, Tan Malaka, Sudirman dan tokoh-tokoh teras lainnya bisa saja mereka memang berpikiran tentang Indonesia sebagai sebuah ladang baru tempat bersemainya ide-ide kerakyatan. Tapi mereka punya mesin dan mesin itu ditentukan oleh satu lapisan yang kemudian menjadi lapisan paling atas dalam menghegemoni Indonesia.
Rumah-rumah di Menteng yang dimiliki Belanda dirampas dan kemudian banyak dijadikan rumah pribadi para pemimpin politik, militer dan markas-markas partai politik, ormas dan paguyuban-paguyuban baik paguyuban militer, kedaerahan ataupun paguyuban veteran perang. Lingkungan ini kemudian menjadi pusat kumpulan kekuatan politik di Indonesia dan gerakan ke Indonesiaan sesungguhnya tidak pernah menemui gerakan kerakyatan. Sama sekali tidak ada gerakan kerakyatan yang massif dan muncul sebagai kekuatan politik yang bisa menjadi motor atas jalannya sejarah. Pergerakan politik 1908-1941 adalah gerakan intelektual-elitis dan berpusat pada ‘pemberontakan koran’. Perlawanan bersenjata hanya terjadi pada peristiwa separuh konyol yang dilakukan PKI pada tahun 1926/1927 dan itupun sifatnya adalah kerusuhan lokal bukan gerakan bersenjata yang memiliki struktur jaringan, koordinasi dan kepemimpinan yang kuat.
Gerakan keagamaan tidak pernah menjadi negasi bagi kekuasaan bahkan pada masa pendudukan militer Jepang pemimpin-pemimpin Islam menjadi sekutu penting pemerintahan Nippon di Djakarta. Sampai detik inipun gerakan Islam politik selalu berkompromi dengan kekuasaan dan tidak pernah sedetikpun menjadi gerakan independen yang mampu membentuk suatu hegemoni politik di Indonesia. Pada masa Revolusi 1945 sesungguhnya merupakan momentum paling besar tumbuhnya gerakan rakyat, karena sepanjang sejarah Nusantara yang sudah berlangsung selama ribuan tahun, peristiwa 1945 adalah peristiwa paling serentak yang bisa sel-sel kekuatan di masyarakat. Tapi kegagalan terbesar Revolusi 1945 adalah belum terbentuknya satu kesatuan visi tentang bagaimana Indonesia harus berdiri dan berlangsung. Revolusi 1945 sendiri melahirkan sejarah kelam berupa pembantaian keturunan Cina, kekacauan politik, melahirkan elite militer yang tidak patuh terhadap aturan hukum dan menjadi Tuan-Tuan Perang (war lord), banyak tumbuhnya aliran ideologi yang kemudian membentuk embrio-embrio militerisme di kalangan sipil dan pembantaian-pembantaian politik yang kejam. Kekerasan ini kemudian menghantam kehidupan rakyat secara langsung hal ini bisa kita baca dalam sastra-sastra yang lahir dengan setting revolusi 1945 seperti : Keluarga Gerilya, Hujan Kepagian dan Para Priyayi. Kehidupan harmoni dirusak oleh kekuatan diluar sistem, sementara kekuatan diluar sistem membentuk benteng-benteng di kalangan rakyat jelata lalu melahirkan kekerasan terhadap kelas bangsawan. Kekerasan pada keluarga kerajaan di Sumatera Timur dan kekerasan anti Swapraja di Solo merupakan awal tersemainya kekuatan rakyat banyak sebagai pengancam susunan masyarakat berbasis feodalistik.
Namun sistem kelas di Indonesia bukanlah sistem Marxian yang selama ini dipahami oleh para pengagum pemikiran asing. Kelas di Indonesia terbentuk oleh sistem kultural bukan kepentingan kapital. Kultural yang dipahami sebagai ‘bangunan atas’ dalam arsitektur masyarakat Marxian sudah gagal dalam memahami pengalaman sejarah di Indonesia. Kelas tidak berpunya bukan lahir di pabrik-pabrik, bukan sebagai kelas yang hanya menjual tenaga tapi kelas tidak berpunya adalah kelas masyarakat diluar sistem kultural dan itu masyatakat pariah, masyarakat diluar sistem inilah yang kemudian justru menjadi benggol-benggol dalam gerakan bersenjata selama revolusi 1945. Bila Diponegoro menggunakan kekuatan ‘preman-preman’ pasar atau orang diluar sistem kultural sebagai pasukan paling massif dalam perang Jawa. Revolusi 1945 juga memiliki fenomena yang demikian, kekuatan-kekuatan diluar sistem menjadi penggerak utama. Tentara resmi yang jajaran pimpinannya merupakan lulusan Akademi Militer Belanda dan sangat rasional tidak berdaya menghadapi kekuatan-kekuatan rakyat yang militeristik. Mayoritas pertempuran dilakukan oleh kekuatan milisi sipil sementara kekuatan militer resmi pemerintah sangat terbatas jumlahnya. Barulah setelah terjadi perpecahan dikalangan elite seperti lepas kongsi-nya Amir dengan Sjahrir membuat posisi pimpinan tentara resmi mampu membuka jalur dengan pemimpin-pemimpin milisi rakyat dalam membuka front dengan kekuatan yang dianggap melawan kebijakan pemerintah. Pada titik ini baik tentara resmi dan pemimpin laskar lambat laun membentuk kekuatan politik yang didasari pada kekuatan senjata. Kekuatan elite bersenjata inilah yang kelak menjadi elite paling puncak dari struktur masyarakat Indonesia baru.
Revolusi 1945 melahirkan keajaiban-keajaiban sosial. Seorang Suharto (kelak menjadi Presiden RI ke dua) yang masa mudanya tidak jelas asal-usulnya, sengsara, miskin dan berada diluar sistem kultural berubah sekejap masuk ke dalam struktur kultural tersebut. Posisi status sosial keluarga isterinya menyerap kemampuannya dan menjadi benteng tangguh sebagai kekuatan penting penjaga kelas kultural. Orang yang bernasib seperti Suharto ini banyak terjadi pada masa-masa revolusi bersenjata 1945-1949 dan menjadi orang penting pada dekade 1950-an.
Revolusi 1945 yang sampai pada bulan September 1945 masih menjadi suatu pergerakan rakyat yang meluas, mulai bergeser menjadi revolusi elitis pada tahun 1946, pertempuran-pertempuran yang terjadi berubah menjadi perundingan dan perundingan selalu membawa konflik internal di dalam sistem kekuasaan di Indonesia. Perang besar yang terjadi dengan pihak Belanda hanya tercatat dua kali yaitu pada tahun 1947 dan 1949. Diluar itu adalah perang antar bangsa sendiri. Konflik Madiun 1948 menunjukkan bahwa pertikaian militer sesungguhnya terjadi bukan karena intervensi asing tapi karena terjadinya tarik menarik kepentingan elite dalam tubuh pemerintahan.
Invasi militer Belanda ke Indonesia justru memancing kekuatan elite tumbuh secara kuat di Indonesia. Kekuatan elite inilah yang kemudian menjadi pemimpin militer dan pemimpin perundingan dengan Belanda kemudian bersekutu dalam tubuh pemerintahan sementara posisi kekuatan milisi bersenjata yang tidak terserap kedalam sistem menjadi hancur total dan pemimpinnya dibunuhi. Amir dan teman-temannya ditembaki di Ngaliyan Boyolali sementara Tan Malaka yang bermusuhan dengan Amir dan sempat digunakan oleh pemerintah untuk memburu pasukan pendukung Amir-Musodo juga akhirnya dibunuh oleh tentara resmi pemerintah walaupun kemudian ini menjadi kontroversial.
Konferensi Medja Bundar 1949 yang merupakan puncak atas karir Sjahrir dan anak-anak didiknya adalah pintu pembuka untuk menuju suatu jaman tenang dimana pemikiran tentang Indonesia bisa direkonstruksikan. Tapi toh sejarah tidak hanya soal pikiran tapi banyak unsur realitas yang tumbuh di masyarakat.
KMB 1949 memang merupakan kemenangan diplomasi Indonesia atas Belanda tapi juga menjadi pintu masuknya bagi Amerika Serikat dalam memainkan peranan penting dalam intervensi politik di Indonesia. Bila sebelum tahun 1947 Amerika Serikat buta sekali dalam memahami Indonesia sehingga pejabat-pejabat politik luar negeri mereka begitu membela Belanda barulah pada tahun 1948 mereka sadar bahwa elite pemerintahan Indonesia bukanlah orang Komunisme seperti apa yang diberitakan Belanda tapi bagian dari borjuis kecil yang bila didukung akan mempermudah pengaruh Amerika Serikat di Indonesia. Bantuan Amerika Serikat terhadap perundingan-perundingan dengan Belanda sangat berarti dalam kemenangan politik Indonesia namun juga menjadi titik awal hegemoni Amerika di Indonesia yang kemudian menjadi pemain politik paling penting sampai detik ini.
Apabila dalam suasana genting pergerakan jaman yang begitu cepat seperti revolusi maka majulah orang-orang yang memiliki tingkat informasi tinggi, terdidik dan berjaringan. Maka dalam kondisi normal partai-partai politiklah yang mengambil peranan. Dalam situasi pertama, kelompok Sjahrir menjadi begitu dominan dalam menentukan jalannya sejarah Indonesia tapi dalam situasi kedua partai politiklah yang menjadi bagian penting dalam proses pembentukan pemerintahan dan menjalankan mesin kekuasaan.
Pemerintahan yang baru terbentuk tidak memiliki dana, sementara hutang-hutang yang terealisir kontraknya pada KMB 1949 harus dibayar. Para pemimpin-pemimpin militer diperbolehkan menggunakan jalur-jalur informal untuk mengurusi anak buahnya. Di titik ini kemudian muncul warlord-warlord yang menguasai jalur penyelundupan. Bahkan militer sendiri yang memerintahkan untuk mendirikan perusahaan minyak dan Ibnu Soetowo, seorang dokter berpangkat Kolonel mendapatkan tugas tersebut bersama Geudong dalam mendirikan Permina (Perusahaan Minyak Negara). Para kolonel-kolonel di Sulawesi dan Sumatera mendirikan beberapa perusahaan kongsi yang juga menjadi agen-agen penyelundupan bahan mentah lokal. Timbulnya kongsi militer-pengusaha inilah yang kemudian menjadi bibit semai terbentuknya kelas elite di Indonesia yang kelak akan begitu mengendalikan Indonesia.
Peran politik elite yang pada awalnya dikuasai oleh kelompok intelektual-elitis perlahan dilempar kepada kelompok-kelompok populis, kelompok intelektual-elitis yang berpusat pada lingkungan pergaulan Sjahrir kemudian menjadi terkunci posisinya. Kekuatan mereka justru menjadi diaspora politik yang kemudian kerap dijadikan think-tank bagi elite-elite militer baru yang memusuhi kelompok populis. Sukarno yang sejak jam-jam pertama Revolusi 1945 sudah kehilangan mandat kekuasaannya akibat ditelikung Hatta-Sjahrir memiliki kesempatan untuk memainkan perannya dengan menggunakan dua kelompok yang baru muncul ini : Elite Militer dan Politisi Populis untuk menghantam Hatta-Sjahrir yang sejak awal terus-terusan mengganggu kerja politik Sukarno.
Oleh Sukarno elite militer diberikan konsesi sumber-sumber ekonomi sementara politisi populis dibiarkan menggarap lahan basah massa pengikut Sukarno. Kebijakan ini menguntungkan Angkatan Darat (AD) di satu pihak dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di pihak lain.
Sampai disini posisi elite yang mapan belum terbentuk sempurna. Angkatan darat yang menguasai sumber-sumber ekonomi masih harus bergelut dalam ruang kekuasaan dengan kelompok-kelompok populis yang tak lain adalah bayangan Sukarno sendiri. Dalam pergelutan di tahun 1950-an kemudian muncul gerakan intelektual baru yang sama sekali lain dengan gerakan intelektual lama yang tumbuh di tahun-tahun sebelum perang. Gerakan intelektual baru ini memang dekat dengan kelompok PSI namun memiliki jarak dengan lingkaran pergaulan Sjahrir. Orang-orang seperti PK Ojong, Subagio Sastrowardoyo, WS Rendra, Gunawan Mohammad, Wiratmo Sukito, Soe Hok Djin (Arief Budiman) dan mereka yang dicap kanan lainnya mulai muncul sebagai sebuah golongan intelektual baru yang kemudian akan sangat berpengaruh di Indonesia setelah terjadi Gerakan Untung 1965.
Sementara kaum populis masih bergerak dalam tataran yang artifisial, Aidit sebagai simbol baru dari bangkitnya kekuatan rakyat yang terorganisir berhadap-hadapan dengan negara malah membangunkan pertarungan yang tidak imbang dan kelak justru menghancurkan ruang pergerakan rakyat itu sendiri. PKI yang secara mengejutkan masuk ke dalam rangking empat Pemilu 1955 merupakan representasi terakhir dari kekuatan rakyat yang sesungguhnya namun gagal dalam membangun ekspresi-ekspresi politik secara efektif. PKI Aidit memang dibentuk secara merayap sebagai bagian dari usaha Sukarno untuk melikuidasi secara legalitas formal kekuatan Sjahrir-Hatta. Sjahrir yang berbasis pada PSI sementara Hatta yang juga dekat dengan kelompok PSI dihabisi secara total lewat pembreidelan mereka di tahun 1960 akibat aksi blunder kelompok kolonel-kolonel di Sumatera. Pembreidelan Masyumi dan PSI merupakan pelimpahan kekuatan populis Islam pada Sukarno lewat dua link : NU yang begitu dekat dengan Sukarno dan Muhammadiyah yang secara insting tidak mau ikut campur dalam peta perpolitikan di Indonesia. Sementara kelompok PSI menjadi terpecah, di satu pihak mendekat pada Sukarno dan di pihak lain membuka ladang politik di kalangan militer.
Elite dan Pembentukannya
Pada malam menjelang Gerakan Untung 1965 kekuatan elite masih menjadi embrio karena mereka menunggu untuk menghantam Sukarno yang dilihatnya tak lebih sebagai Raja Jawa ketimbang seorang Presiden yang konstitusional. Namun sebelum masuk ke dalam konfigurasi terbentuknya elite ini bisa kita periksa sumber-sumber awal pendanaan dan lingkaran terbentuknya politik elite.
Pada saat tahun setelah pembubaran PSI dan Masjumi 1960. Hampir seluruh kekuatan elite jatuh ke tangan militer sementara kekuatan populis otomatis ditangan Sukarno. Sukarno menjadi satu-satunya muara persoalan-persoalan rakyat dan dia juga menjadi muara persoalan-persoalan elite. Kekuatan elite yang tumbuh menjadi bagian kekuatan ekonomi dan kekuatan kekuasaan terletak pada militer namun militer sendiri tidak sepenuhnya bisa menguasai sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan karena diganggu oleh kekuatan populis serta menjadi sibuk oleh agenda-agenda politik raksasa Sukarno seperti : Pengusiran Belanda dari Irian Barat, Konfrontasi dengan Malaysia dan Pembersihan pemberontakan-pemberontakan Islam Radikal di Jawa dan Sulawesi. PKI melalui politik gerak cepatnya berhasil mengerjakan kesempatan politik yang diberikan Sukarno untuk menguasai massa radikal yang diwarisi oleh ‘semangat Sukarno’ massa ini kemudian berkembang menjadi kekuatan lapis bawah dalam struktur kekuasaan di Indonesia yang juga kerap tidak mendapat bagian kue kekuasaan dalam sistem.
Proses pencerapan untuk menjadi kelas priyayi di kalangan militer meluas di Jawa Tengah. Pusat dari budaya feodal ini adalah Kodam Diponegoro. Masuknya Suharto yang terkesan netral sebagai pemuka militer Diponegoro membuka denah berkembangnya hubungan militer-pengusaha yang kemudian melahirkan kegiatan penyelundupan. Aksi penyelundupan dan penggalanan dana ini kemudian ditelanjangi oleh perwira-perwira Jakarta yang berakhir pada pencopotan jabatan Panglima dan dikirimnya Suharto untuk sekolah di Bandung.
Penceritaan tentang Suharto adalah sebagai gambaran penting tumbuhnya kelas elite militer yang kemudian membuka dirinya menjadi kelas baru yang berpengaruh pertumbuhannya menguasai : Sumber-sumber ekonomi, Jaringan Elite Birokrasi dan yang terpenting menutup gerakan populis.
Setelah kekalahan total Sukarno dan pembantaian 1965 yang merombak cepat struktur sosial masyarakat Indonesia membuat format elite semakin jelas. Sumber-sumber ekonomi yang tadinya dikuasai oleh kelompok-kelompok didalam lingkaran Sukarno diakuisisi oleh Angkatan Darat. Para Intelektual bersekutu dengan Angkatan Darat dan yang paling penting dari ini semua : Lahirnya generasi bisnis baru yang muncul pada kancah peristiwa demonstrasi 1966 dimana tokoh elitenya kemudian merajai bisnis ala Orde Baru dan kemudian setelah kejatuhan Suharto tahun 1998 menjadi basis paling penting kekuatan politik elite.
Penguasaan rumah-rumah Menteng di tahun-tahun 1945-1950 telah menjelma menjadi perampasan sumber-sumber daya alam oleh kelompok yang dimenangkan Suharto cs dan menjadi modal penting dalam membentuk lansekap elite yang kemudian membentuk peradaban politik khas Suharto.
Minyak Dan Bahasa
Orde Baru dibentuk oleh dua hal : Minyak dan Bahasa. Minyak adalah sumber utama mesin Orde Baru dari sinilah kemudian lahir struktur elite yang sampai detik ini menguasai ruang kekuasaan di Indonesia. Minyak menjadi pusat segala pusat sumber ekonomi yang membiayai kekuasaan kemudian kekuasaan itu membentuk konsesi-konsesi dimana setiap konsesi berkembang menjadi konglomerasi kroni yang memiliki jalur-jalurnya.
Awalnya penguasaan minyak adalah proyek coba-coba oleh pihak Angkatan Darat yang sejak awal diberikan oleh Dokter cerdas yang berdinas di Sumatera Selatan bernama Ibnu Sutowo. Orang inilah yang kemudian membangun kilang-kilang bekas minyak Belanda yang tidak terurus menjadi kilang minyak yang megah. Ibnu Sutowo sendiri tidak aktif terlibat dalam penjungkalan Sukarno dan mengambil jarak, hal inilah yang kemudian menyelamatkan Ibnu karena Suharto menciduki para penggede militer yang memiliki ciri keberpihakan politik : Mendukung dirinya tapi kritis dan Penentang dirinya serta Pro Sukarno. Pada tahun 1957 Angkatan Darat mendapat konsesi dari pemerintah Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) yang digarap oleh British Petroleum Maatschappij (BPM) penyerahan konsesi ini merupakan solusi dari bentroknya siapa yang harus mendapat manfaat ini : Pemerintah atau Politisi yang juga memiliki wilayah-wilayah kekuasaannya yang juga memanfaatkan panglima setempat. Dengan ditempatkannya Angkatan Darat langsung ke pimpinannya maka penguasaan atas sumber minyak itu diharapkan akan menghentikan konflik. Ibnu Sutowo yang saat itu menjabat sebagai Deputi Operasi KSAD dan Asisten IV KSAD mendapat tugas dari Nasution untuk menguasai ladang minyak tersebut. Ibnu sendiri menggunakan langkah berani dengan merekrut dua staff yaitu : Mayor Geudong dan Mayor Harjono. Dibawah Mayor Harjono ada Kapten Affan. Mereka sama sekali tidak memiliki kantor, pekerjaan dimulai dari awal bahkan mereka mendirikan PT EMTSU (Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara) sebagai badan hukum bisnis. Lalu atas usul seorang Insinyur Geologi bernama Anondo agar mudah diingat maka nama perusahaan menjadi Perusahaan Minyak Negara (PERMINA) disinilah awal dari kokohnya berdiri benteng kuat Orde Baru sebagai landasan kapital.
Bila pada awal kekuasaan Sukarno kaum elite terbentuk dari gabungan tentara profesional, pemimpin partai dan pengusaha, dalam konfigurasi itu pemimpin partai yang memiliki massa-lah yang menjadi tuan atas konstelasi elite, maka formasi di jaman Orde Baru berubah Tentara menjadi pucuk pimpinan kemudian tentara merekrut profesional dan pengusaha untuk mengurusi project-project. Kecerdasan Ibnu Sutowo dalam membangun perusahaan minyak adalah jenis kejeniusan sendiri. Ia membangun ladang minyak sebagai akumulasi modal yang sangat cepat dan massif. Ibnu mulai mengenalkan sistem usaha konglomerasi, ia merambah kemana-mana diluar bidang perminyakan. Inilah yang kemudian menjadi pola umum perusahaan-perusahaan dibawah Presiden Suharto yang menjadi perusahaan penyokong dana Orde Baru. Kekuasaan Ibnu Sutowo yang massif jatuh karena utang jangka pendek yang dijadikan dana talangan untuk mendapatkan utang jangka panjang US$1,7 Milyar Dollar, pada saat itu ceruk utang sebesar itu tidak digunakan Ibnu Sutowo dan ia terus menjalankan project-projectnya dengan utang jangka pendek. Pada tahun 1973 krisis minyak pecah dan kemudian ditahun ini pula dana US$ 1,7 milyar dibatalkan pinjamannya dan Ibnu Sutowo dicopot oleh Suharto karena dianggap membuat Pertamina terlilit hutang. Setelah ditendangnya Ibnu Sutowo keluar pagar sistem maka Suharto secara absolut memegang Pertamina. Di titik inilah kemudian berkembang pengusaha-pengusaha subkontrak yang banyak memanfaatkan proyek-proyek Pertamina salah satunya adalah Perusahaan Bakrie yang kelak setelah kejatuhan Suharto di tahun 1998 menjadi perusahaan paling raksasa di Indonesia.
Mundurnya Ibnu Sutowo setelah ramai kasus utang jangka pendek dan perluasan atas project-project pertamina dan maraknya perusahaan-perusahaan tambang asing merupakan titik pusat dari persebaran kapital Indonesia dikalangan elite. Dari sinilah kemudian Elite yang tinggal di Menteng pada saat itu adalah penguasa gerakan massa yaitu pemimpin-pemimpin parpol maka pada tahun-tahun Orde Baru penghuni Menteng adalah penerima konsesi-konsesi proyek pemerintah yang kemudian mereka menyebar hunian ke daerah elite yang lain yaitu Kebayoran Baru. Menteng-Kebayoran Baru kemudian menjadi habitat penting kekuasaan di Indonesia.
Selain minyak sebagai pusat kekuatan yang menyokong Orde Baru maka setelah kejatuhan Sukarno pada tahun 1967 secara cepat para ahli komunikasi politik Orde Baru yang bersekutu dengan militer membentuk pusat penyelidikan bahasa. Hal ini kemudian ditugaskan oleh Suharto kepada KOTI. Bahasa menjadi laboratorium militer untuk menciptakan ejaan dan kemudian memasyarakatkan ejaan dimana kemudian itu ejaan itu membentuk susunan kalimat-kalimat yang mengandung stratifikasi, tertutup, stigmatis dan menindas. Kalimat terbuka, lugas dan menunjuk langsung dilarang penggunaannya dan dijadikan kalimat diluar sistem.
Minyak dan Bahasa inilah yang kemudian membentuk struktur elite. Struktur elite inilah yang kemudian menjadi kelas yang paling menikmati pada revolusi Agustus 1945. Mereka membentuk dinasti dan Akumulasi Modal. Dari dua hal inilah kemudian mereka membangun jaringan kekuasaan. Kekuatan rakyat sendiripun tidak akan pernah bisa menandingi dominasi struktur elite. Setiap ruang pergerakan rakyat harus meminta ijin elite untuk berkembang.
Bagaimana melepaskan ini?
Perombakan terhadap struktur kekuasaan di Indonesia harus segera dilakukan. Yang terbaik untuk melakukan perombakan dominasi adalah melakukan hegemoni atas sistem elite kemudian membentuk ruang koridor pada kepentingan-kepentingan masyarakat. Struktur elite tersebut memiliki landasan kekuasaan sebagai berikut :
1. Dilindungi sistem hukum
2. Dilindungi kekuatan militer
3. Dilindungi jaringan-jaringan pergerakan rakyat yang mengooptasi diri pada kekuasaan dan menjadikan uang sebagai tujuan didirikannya pergerakan rakyat.
4. Memiliki akar-akar kharisma yang kuat dimasyarakat.
Untuk menghantam ini kita tidak boleh bertindak kekanak-kanakkan karena yang kita lawan bukan sistem cangkokan tapi sistem yang tumbuh sebagai beringin yang sangat kuat akarnya dan menancap jauh ke dalam tanah kesadaran manusia Indonesia.
(Tulisan ke II, Penghancuran Ruang Elite dan Pembentukan Kelas Masyarakat Menengah Yang Independen).
Anton Djakarta
Indonesia, adalah sebuah project…sebuah gagasan dan lebih jauh lagi Indonesia adalah kehidupan itu sendiri. Pernahkah kita berpikir bahwa menjadi ‘Indonesia’ bukanlah semata-mata take in granted, sesuatu yang sudah seharusnya ada. Kesadaran sejarah diperlukan dalam memahami Indonesia.
Awalnya Indonesia dibangun dengan mimpi. Mimpi-mimpi Indonesia adalah mimpi pembebasan, bagaimana memakmurkan rakyat, mencerdaskan kehidupan dan menjadikan Indonesia sebagai rumah yang nyaman. Namun kemudian mimpi itu menjadi realitas mimpi buruk. Mimpi pembebasan dibayar dengan pembantaian, mimpi memcerdaskan bangsa malah melahirkan birokrat pendidikan yang korup dan mimpi menjadikan Indonesia sebagai rumah yang nyaman malah terus-terusan kita diancam oleh sejarah dendam. Lalu kenapa ini terjadi?
Indonesia dan Elite
Sejarah adalah soal cerita dan cerita itu baik kecil atau besar merupakan gejala bagaimana kita bisa mengerti tentang masa yang kita lalui sekarang. Penguasaan rumah-rumah Belanda di Menteng dengan merebut paksa adalah awal terbentuknya elite baru yang kemudian menggantikan elite lama, adalah salah satu sinyal sejarah yang harus diperhatikan untuk memahami bagaimana sejarah masyarakat terbentuk. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjafrudien, Tan Malaka, Sudirman dan tokoh-tokoh teras lainnya bisa saja mereka memang berpikiran tentang Indonesia sebagai sebuah ladang baru tempat bersemainya ide-ide kerakyatan. Tapi mereka punya mesin dan mesin itu ditentukan oleh satu lapisan yang kemudian menjadi lapisan paling atas dalam menghegemoni Indonesia.
Rumah-rumah di Menteng yang dimiliki Belanda dirampas dan kemudian banyak dijadikan rumah pribadi para pemimpin politik, militer dan markas-markas partai politik, ormas dan paguyuban-paguyuban baik paguyuban militer, kedaerahan ataupun paguyuban veteran perang. Lingkungan ini kemudian menjadi pusat kumpulan kekuatan politik di Indonesia dan gerakan ke Indonesiaan sesungguhnya tidak pernah menemui gerakan kerakyatan. Sama sekali tidak ada gerakan kerakyatan yang massif dan muncul sebagai kekuatan politik yang bisa menjadi motor atas jalannya sejarah. Pergerakan politik 1908-1941 adalah gerakan intelektual-elitis dan berpusat pada ‘pemberontakan koran’. Perlawanan bersenjata hanya terjadi pada peristiwa separuh konyol yang dilakukan PKI pada tahun 1926/1927 dan itupun sifatnya adalah kerusuhan lokal bukan gerakan bersenjata yang memiliki struktur jaringan, koordinasi dan kepemimpinan yang kuat.
Gerakan keagamaan tidak pernah menjadi negasi bagi kekuasaan bahkan pada masa pendudukan militer Jepang pemimpin-pemimpin Islam menjadi sekutu penting pemerintahan Nippon di Djakarta. Sampai detik inipun gerakan Islam politik selalu berkompromi dengan kekuasaan dan tidak pernah sedetikpun menjadi gerakan independen yang mampu membentuk suatu hegemoni politik di Indonesia. Pada masa Revolusi 1945 sesungguhnya merupakan momentum paling besar tumbuhnya gerakan rakyat, karena sepanjang sejarah Nusantara yang sudah berlangsung selama ribuan tahun, peristiwa 1945 adalah peristiwa paling serentak yang bisa sel-sel kekuatan di masyarakat. Tapi kegagalan terbesar Revolusi 1945 adalah belum terbentuknya satu kesatuan visi tentang bagaimana Indonesia harus berdiri dan berlangsung. Revolusi 1945 sendiri melahirkan sejarah kelam berupa pembantaian keturunan Cina, kekacauan politik, melahirkan elite militer yang tidak patuh terhadap aturan hukum dan menjadi Tuan-Tuan Perang (war lord), banyak tumbuhnya aliran ideologi yang kemudian membentuk embrio-embrio militerisme di kalangan sipil dan pembantaian-pembantaian politik yang kejam. Kekerasan ini kemudian menghantam kehidupan rakyat secara langsung hal ini bisa kita baca dalam sastra-sastra yang lahir dengan setting revolusi 1945 seperti : Keluarga Gerilya, Hujan Kepagian dan Para Priyayi. Kehidupan harmoni dirusak oleh kekuatan diluar sistem, sementara kekuatan diluar sistem membentuk benteng-benteng di kalangan rakyat jelata lalu melahirkan kekerasan terhadap kelas bangsawan. Kekerasan pada keluarga kerajaan di Sumatera Timur dan kekerasan anti Swapraja di Solo merupakan awal tersemainya kekuatan rakyat banyak sebagai pengancam susunan masyarakat berbasis feodalistik.
Namun sistem kelas di Indonesia bukanlah sistem Marxian yang selama ini dipahami oleh para pengagum pemikiran asing. Kelas di Indonesia terbentuk oleh sistem kultural bukan kepentingan kapital. Kultural yang dipahami sebagai ‘bangunan atas’ dalam arsitektur masyarakat Marxian sudah gagal dalam memahami pengalaman sejarah di Indonesia. Kelas tidak berpunya bukan lahir di pabrik-pabrik, bukan sebagai kelas yang hanya menjual tenaga tapi kelas tidak berpunya adalah kelas masyarakat diluar sistem kultural dan itu masyatakat pariah, masyarakat diluar sistem inilah yang kemudian justru menjadi benggol-benggol dalam gerakan bersenjata selama revolusi 1945. Bila Diponegoro menggunakan kekuatan ‘preman-preman’ pasar atau orang diluar sistem kultural sebagai pasukan paling massif dalam perang Jawa. Revolusi 1945 juga memiliki fenomena yang demikian, kekuatan-kekuatan diluar sistem menjadi penggerak utama. Tentara resmi yang jajaran pimpinannya merupakan lulusan Akademi Militer Belanda dan sangat rasional tidak berdaya menghadapi kekuatan-kekuatan rakyat yang militeristik. Mayoritas pertempuran dilakukan oleh kekuatan milisi sipil sementara kekuatan militer resmi pemerintah sangat terbatas jumlahnya. Barulah setelah terjadi perpecahan dikalangan elite seperti lepas kongsi-nya Amir dengan Sjahrir membuat posisi pimpinan tentara resmi mampu membuka jalur dengan pemimpin-pemimpin milisi rakyat dalam membuka front dengan kekuatan yang dianggap melawan kebijakan pemerintah. Pada titik ini baik tentara resmi dan pemimpin laskar lambat laun membentuk kekuatan politik yang didasari pada kekuatan senjata. Kekuatan elite bersenjata inilah yang kelak menjadi elite paling puncak dari struktur masyarakat Indonesia baru.
Revolusi 1945 melahirkan keajaiban-keajaiban sosial. Seorang Suharto (kelak menjadi Presiden RI ke dua) yang masa mudanya tidak jelas asal-usulnya, sengsara, miskin dan berada diluar sistem kultural berubah sekejap masuk ke dalam struktur kultural tersebut. Posisi status sosial keluarga isterinya menyerap kemampuannya dan menjadi benteng tangguh sebagai kekuatan penting penjaga kelas kultural. Orang yang bernasib seperti Suharto ini banyak terjadi pada masa-masa revolusi bersenjata 1945-1949 dan menjadi orang penting pada dekade 1950-an.
Revolusi 1945 yang sampai pada bulan September 1945 masih menjadi suatu pergerakan rakyat yang meluas, mulai bergeser menjadi revolusi elitis pada tahun 1946, pertempuran-pertempuran yang terjadi berubah menjadi perundingan dan perundingan selalu membawa konflik internal di dalam sistem kekuasaan di Indonesia. Perang besar yang terjadi dengan pihak Belanda hanya tercatat dua kali yaitu pada tahun 1947 dan 1949. Diluar itu adalah perang antar bangsa sendiri. Konflik Madiun 1948 menunjukkan bahwa pertikaian militer sesungguhnya terjadi bukan karena intervensi asing tapi karena terjadinya tarik menarik kepentingan elite dalam tubuh pemerintahan.
Invasi militer Belanda ke Indonesia justru memancing kekuatan elite tumbuh secara kuat di Indonesia. Kekuatan elite inilah yang kemudian menjadi pemimpin militer dan pemimpin perundingan dengan Belanda kemudian bersekutu dalam tubuh pemerintahan sementara posisi kekuatan milisi bersenjata yang tidak terserap kedalam sistem menjadi hancur total dan pemimpinnya dibunuhi. Amir dan teman-temannya ditembaki di Ngaliyan Boyolali sementara Tan Malaka yang bermusuhan dengan Amir dan sempat digunakan oleh pemerintah untuk memburu pasukan pendukung Amir-Musodo juga akhirnya dibunuh oleh tentara resmi pemerintah walaupun kemudian ini menjadi kontroversial.
Konferensi Medja Bundar 1949 yang merupakan puncak atas karir Sjahrir dan anak-anak didiknya adalah pintu pembuka untuk menuju suatu jaman tenang dimana pemikiran tentang Indonesia bisa direkonstruksikan. Tapi toh sejarah tidak hanya soal pikiran tapi banyak unsur realitas yang tumbuh di masyarakat.
KMB 1949 memang merupakan kemenangan diplomasi Indonesia atas Belanda tapi juga menjadi pintu masuknya bagi Amerika Serikat dalam memainkan peranan penting dalam intervensi politik di Indonesia. Bila sebelum tahun 1947 Amerika Serikat buta sekali dalam memahami Indonesia sehingga pejabat-pejabat politik luar negeri mereka begitu membela Belanda barulah pada tahun 1948 mereka sadar bahwa elite pemerintahan Indonesia bukanlah orang Komunisme seperti apa yang diberitakan Belanda tapi bagian dari borjuis kecil yang bila didukung akan mempermudah pengaruh Amerika Serikat di Indonesia. Bantuan Amerika Serikat terhadap perundingan-perundingan dengan Belanda sangat berarti dalam kemenangan politik Indonesia namun juga menjadi titik awal hegemoni Amerika di Indonesia yang kemudian menjadi pemain politik paling penting sampai detik ini.
Apabila dalam suasana genting pergerakan jaman yang begitu cepat seperti revolusi maka majulah orang-orang yang memiliki tingkat informasi tinggi, terdidik dan berjaringan. Maka dalam kondisi normal partai-partai politiklah yang mengambil peranan. Dalam situasi pertama, kelompok Sjahrir menjadi begitu dominan dalam menentukan jalannya sejarah Indonesia tapi dalam situasi kedua partai politiklah yang menjadi bagian penting dalam proses pembentukan pemerintahan dan menjalankan mesin kekuasaan.
Pemerintahan yang baru terbentuk tidak memiliki dana, sementara hutang-hutang yang terealisir kontraknya pada KMB 1949 harus dibayar. Para pemimpin-pemimpin militer diperbolehkan menggunakan jalur-jalur informal untuk mengurusi anak buahnya. Di titik ini kemudian muncul warlord-warlord yang menguasai jalur penyelundupan. Bahkan militer sendiri yang memerintahkan untuk mendirikan perusahaan minyak dan Ibnu Soetowo, seorang dokter berpangkat Kolonel mendapatkan tugas tersebut bersama Geudong dalam mendirikan Permina (Perusahaan Minyak Negara). Para kolonel-kolonel di Sulawesi dan Sumatera mendirikan beberapa perusahaan kongsi yang juga menjadi agen-agen penyelundupan bahan mentah lokal. Timbulnya kongsi militer-pengusaha inilah yang kemudian menjadi bibit semai terbentuknya kelas elite di Indonesia yang kelak akan begitu mengendalikan Indonesia.
Peran politik elite yang pada awalnya dikuasai oleh kelompok intelektual-elitis perlahan dilempar kepada kelompok-kelompok populis, kelompok intelektual-elitis yang berpusat pada lingkungan pergaulan Sjahrir kemudian menjadi terkunci posisinya. Kekuatan mereka justru menjadi diaspora politik yang kemudian kerap dijadikan think-tank bagi elite-elite militer baru yang memusuhi kelompok populis. Sukarno yang sejak jam-jam pertama Revolusi 1945 sudah kehilangan mandat kekuasaannya akibat ditelikung Hatta-Sjahrir memiliki kesempatan untuk memainkan perannya dengan menggunakan dua kelompok yang baru muncul ini : Elite Militer dan Politisi Populis untuk menghantam Hatta-Sjahrir yang sejak awal terus-terusan mengganggu kerja politik Sukarno.
Oleh Sukarno elite militer diberikan konsesi sumber-sumber ekonomi sementara politisi populis dibiarkan menggarap lahan basah massa pengikut Sukarno. Kebijakan ini menguntungkan Angkatan Darat (AD) di satu pihak dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di pihak lain.
Sampai disini posisi elite yang mapan belum terbentuk sempurna. Angkatan darat yang menguasai sumber-sumber ekonomi masih harus bergelut dalam ruang kekuasaan dengan kelompok-kelompok populis yang tak lain adalah bayangan Sukarno sendiri. Dalam pergelutan di tahun 1950-an kemudian muncul gerakan intelektual baru yang sama sekali lain dengan gerakan intelektual lama yang tumbuh di tahun-tahun sebelum perang. Gerakan intelektual baru ini memang dekat dengan kelompok PSI namun memiliki jarak dengan lingkaran pergaulan Sjahrir. Orang-orang seperti PK Ojong, Subagio Sastrowardoyo, WS Rendra, Gunawan Mohammad, Wiratmo Sukito, Soe Hok Djin (Arief Budiman) dan mereka yang dicap kanan lainnya mulai muncul sebagai sebuah golongan intelektual baru yang kemudian akan sangat berpengaruh di Indonesia setelah terjadi Gerakan Untung 1965.
Sementara kaum populis masih bergerak dalam tataran yang artifisial, Aidit sebagai simbol baru dari bangkitnya kekuatan rakyat yang terorganisir berhadap-hadapan dengan negara malah membangunkan pertarungan yang tidak imbang dan kelak justru menghancurkan ruang pergerakan rakyat itu sendiri. PKI yang secara mengejutkan masuk ke dalam rangking empat Pemilu 1955 merupakan representasi terakhir dari kekuatan rakyat yang sesungguhnya namun gagal dalam membangun ekspresi-ekspresi politik secara efektif. PKI Aidit memang dibentuk secara merayap sebagai bagian dari usaha Sukarno untuk melikuidasi secara legalitas formal kekuatan Sjahrir-Hatta. Sjahrir yang berbasis pada PSI sementara Hatta yang juga dekat dengan kelompok PSI dihabisi secara total lewat pembreidelan mereka di tahun 1960 akibat aksi blunder kelompok kolonel-kolonel di Sumatera. Pembreidelan Masyumi dan PSI merupakan pelimpahan kekuatan populis Islam pada Sukarno lewat dua link : NU yang begitu dekat dengan Sukarno dan Muhammadiyah yang secara insting tidak mau ikut campur dalam peta perpolitikan di Indonesia. Sementara kelompok PSI menjadi terpecah, di satu pihak mendekat pada Sukarno dan di pihak lain membuka ladang politik di kalangan militer.
Elite dan Pembentukannya
Pada malam menjelang Gerakan Untung 1965 kekuatan elite masih menjadi embrio karena mereka menunggu untuk menghantam Sukarno yang dilihatnya tak lebih sebagai Raja Jawa ketimbang seorang Presiden yang konstitusional. Namun sebelum masuk ke dalam konfigurasi terbentuknya elite ini bisa kita periksa sumber-sumber awal pendanaan dan lingkaran terbentuknya politik elite.
Pada saat tahun setelah pembubaran PSI dan Masjumi 1960. Hampir seluruh kekuatan elite jatuh ke tangan militer sementara kekuatan populis otomatis ditangan Sukarno. Sukarno menjadi satu-satunya muara persoalan-persoalan rakyat dan dia juga menjadi muara persoalan-persoalan elite. Kekuatan elite yang tumbuh menjadi bagian kekuatan ekonomi dan kekuatan kekuasaan terletak pada militer namun militer sendiri tidak sepenuhnya bisa menguasai sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan karena diganggu oleh kekuatan populis serta menjadi sibuk oleh agenda-agenda politik raksasa Sukarno seperti : Pengusiran Belanda dari Irian Barat, Konfrontasi dengan Malaysia dan Pembersihan pemberontakan-pemberontakan Islam Radikal di Jawa dan Sulawesi. PKI melalui politik gerak cepatnya berhasil mengerjakan kesempatan politik yang diberikan Sukarno untuk menguasai massa radikal yang diwarisi oleh ‘semangat Sukarno’ massa ini kemudian berkembang menjadi kekuatan lapis bawah dalam struktur kekuasaan di Indonesia yang juga kerap tidak mendapat bagian kue kekuasaan dalam sistem.
Proses pencerapan untuk menjadi kelas priyayi di kalangan militer meluas di Jawa Tengah. Pusat dari budaya feodal ini adalah Kodam Diponegoro. Masuknya Suharto yang terkesan netral sebagai pemuka militer Diponegoro membuka denah berkembangnya hubungan militer-pengusaha yang kemudian melahirkan kegiatan penyelundupan. Aksi penyelundupan dan penggalanan dana ini kemudian ditelanjangi oleh perwira-perwira Jakarta yang berakhir pada pencopotan jabatan Panglima dan dikirimnya Suharto untuk sekolah di Bandung.
Penceritaan tentang Suharto adalah sebagai gambaran penting tumbuhnya kelas elite militer yang kemudian membuka dirinya menjadi kelas baru yang berpengaruh pertumbuhannya menguasai : Sumber-sumber ekonomi, Jaringan Elite Birokrasi dan yang terpenting menutup gerakan populis.
Setelah kekalahan total Sukarno dan pembantaian 1965 yang merombak cepat struktur sosial masyarakat Indonesia membuat format elite semakin jelas. Sumber-sumber ekonomi yang tadinya dikuasai oleh kelompok-kelompok didalam lingkaran Sukarno diakuisisi oleh Angkatan Darat. Para Intelektual bersekutu dengan Angkatan Darat dan yang paling penting dari ini semua : Lahirnya generasi bisnis baru yang muncul pada kancah peristiwa demonstrasi 1966 dimana tokoh elitenya kemudian merajai bisnis ala Orde Baru dan kemudian setelah kejatuhan Suharto tahun 1998 menjadi basis paling penting kekuatan politik elite.
Penguasaan rumah-rumah Menteng di tahun-tahun 1945-1950 telah menjelma menjadi perampasan sumber-sumber daya alam oleh kelompok yang dimenangkan Suharto cs dan menjadi modal penting dalam membentuk lansekap elite yang kemudian membentuk peradaban politik khas Suharto.
Minyak Dan Bahasa
Orde Baru dibentuk oleh dua hal : Minyak dan Bahasa. Minyak adalah sumber utama mesin Orde Baru dari sinilah kemudian lahir struktur elite yang sampai detik ini menguasai ruang kekuasaan di Indonesia. Minyak menjadi pusat segala pusat sumber ekonomi yang membiayai kekuasaan kemudian kekuasaan itu membentuk konsesi-konsesi dimana setiap konsesi berkembang menjadi konglomerasi kroni yang memiliki jalur-jalurnya.
Awalnya penguasaan minyak adalah proyek coba-coba oleh pihak Angkatan Darat yang sejak awal diberikan oleh Dokter cerdas yang berdinas di Sumatera Selatan bernama Ibnu Sutowo. Orang inilah yang kemudian membangun kilang-kilang bekas minyak Belanda yang tidak terurus menjadi kilang minyak yang megah. Ibnu Sutowo sendiri tidak aktif terlibat dalam penjungkalan Sukarno dan mengambil jarak, hal inilah yang kemudian menyelamatkan Ibnu karena Suharto menciduki para penggede militer yang memiliki ciri keberpihakan politik : Mendukung dirinya tapi kritis dan Penentang dirinya serta Pro Sukarno. Pada tahun 1957 Angkatan Darat mendapat konsesi dari pemerintah Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) yang digarap oleh British Petroleum Maatschappij (BPM) penyerahan konsesi ini merupakan solusi dari bentroknya siapa yang harus mendapat manfaat ini : Pemerintah atau Politisi yang juga memiliki wilayah-wilayah kekuasaannya yang juga memanfaatkan panglima setempat. Dengan ditempatkannya Angkatan Darat langsung ke pimpinannya maka penguasaan atas sumber minyak itu diharapkan akan menghentikan konflik. Ibnu Sutowo yang saat itu menjabat sebagai Deputi Operasi KSAD dan Asisten IV KSAD mendapat tugas dari Nasution untuk menguasai ladang minyak tersebut. Ibnu sendiri menggunakan langkah berani dengan merekrut dua staff yaitu : Mayor Geudong dan Mayor Harjono. Dibawah Mayor Harjono ada Kapten Affan. Mereka sama sekali tidak memiliki kantor, pekerjaan dimulai dari awal bahkan mereka mendirikan PT EMTSU (Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara) sebagai badan hukum bisnis. Lalu atas usul seorang Insinyur Geologi bernama Anondo agar mudah diingat maka nama perusahaan menjadi Perusahaan Minyak Negara (PERMINA) disinilah awal dari kokohnya berdiri benteng kuat Orde Baru sebagai landasan kapital.
Bila pada awal kekuasaan Sukarno kaum elite terbentuk dari gabungan tentara profesional, pemimpin partai dan pengusaha, dalam konfigurasi itu pemimpin partai yang memiliki massa-lah yang menjadi tuan atas konstelasi elite, maka formasi di jaman Orde Baru berubah Tentara menjadi pucuk pimpinan kemudian tentara merekrut profesional dan pengusaha untuk mengurusi project-project. Kecerdasan Ibnu Sutowo dalam membangun perusahaan minyak adalah jenis kejeniusan sendiri. Ia membangun ladang minyak sebagai akumulasi modal yang sangat cepat dan massif. Ibnu mulai mengenalkan sistem usaha konglomerasi, ia merambah kemana-mana diluar bidang perminyakan. Inilah yang kemudian menjadi pola umum perusahaan-perusahaan dibawah Presiden Suharto yang menjadi perusahaan penyokong dana Orde Baru. Kekuasaan Ibnu Sutowo yang massif jatuh karena utang jangka pendek yang dijadikan dana talangan untuk mendapatkan utang jangka panjang US$1,7 Milyar Dollar, pada saat itu ceruk utang sebesar itu tidak digunakan Ibnu Sutowo dan ia terus menjalankan project-projectnya dengan utang jangka pendek. Pada tahun 1973 krisis minyak pecah dan kemudian ditahun ini pula dana US$ 1,7 milyar dibatalkan pinjamannya dan Ibnu Sutowo dicopot oleh Suharto karena dianggap membuat Pertamina terlilit hutang. Setelah ditendangnya Ibnu Sutowo keluar pagar sistem maka Suharto secara absolut memegang Pertamina. Di titik inilah kemudian berkembang pengusaha-pengusaha subkontrak yang banyak memanfaatkan proyek-proyek Pertamina salah satunya adalah Perusahaan Bakrie yang kelak setelah kejatuhan Suharto di tahun 1998 menjadi perusahaan paling raksasa di Indonesia.
Mundurnya Ibnu Sutowo setelah ramai kasus utang jangka pendek dan perluasan atas project-project pertamina dan maraknya perusahaan-perusahaan tambang asing merupakan titik pusat dari persebaran kapital Indonesia dikalangan elite. Dari sinilah kemudian Elite yang tinggal di Menteng pada saat itu adalah penguasa gerakan massa yaitu pemimpin-pemimpin parpol maka pada tahun-tahun Orde Baru penghuni Menteng adalah penerima konsesi-konsesi proyek pemerintah yang kemudian mereka menyebar hunian ke daerah elite yang lain yaitu Kebayoran Baru. Menteng-Kebayoran Baru kemudian menjadi habitat penting kekuasaan di Indonesia.
Selain minyak sebagai pusat kekuatan yang menyokong Orde Baru maka setelah kejatuhan Sukarno pada tahun 1967 secara cepat para ahli komunikasi politik Orde Baru yang bersekutu dengan militer membentuk pusat penyelidikan bahasa. Hal ini kemudian ditugaskan oleh Suharto kepada KOTI. Bahasa menjadi laboratorium militer untuk menciptakan ejaan dan kemudian memasyarakatkan ejaan dimana kemudian itu ejaan itu membentuk susunan kalimat-kalimat yang mengandung stratifikasi, tertutup, stigmatis dan menindas. Kalimat terbuka, lugas dan menunjuk langsung dilarang penggunaannya dan dijadikan kalimat diluar sistem.
Minyak dan Bahasa inilah yang kemudian membentuk struktur elite. Struktur elite inilah yang kemudian menjadi kelas yang paling menikmati pada revolusi Agustus 1945. Mereka membentuk dinasti dan Akumulasi Modal. Dari dua hal inilah kemudian mereka membangun jaringan kekuasaan. Kekuatan rakyat sendiripun tidak akan pernah bisa menandingi dominasi struktur elite. Setiap ruang pergerakan rakyat harus meminta ijin elite untuk berkembang.
Bagaimana melepaskan ini?
Perombakan terhadap struktur kekuasaan di Indonesia harus segera dilakukan. Yang terbaik untuk melakukan perombakan dominasi adalah melakukan hegemoni atas sistem elite kemudian membentuk ruang koridor pada kepentingan-kepentingan masyarakat. Struktur elite tersebut memiliki landasan kekuasaan sebagai berikut :
1. Dilindungi sistem hukum
2. Dilindungi kekuatan militer
3. Dilindungi jaringan-jaringan pergerakan rakyat yang mengooptasi diri pada kekuasaan dan menjadikan uang sebagai tujuan didirikannya pergerakan rakyat.
4. Memiliki akar-akar kharisma yang kuat dimasyarakat.
Untuk menghantam ini kita tidak boleh bertindak kekanak-kanakkan karena yang kita lawan bukan sistem cangkokan tapi sistem yang tumbuh sebagai beringin yang sangat kuat akarnya dan menancap jauh ke dalam tanah kesadaran manusia Indonesia.
(Tulisan ke II, Penghancuran Ruang Elite dan Pembentukan Kelas Masyarakat Menengah Yang Independen).
2 comments:
ijin sharing di Facebook mas
Ehmm, bagooes nak..! Ha ha ha...
Baru kali ini Eyang ketemu orang yang sedikit agak sadar dan mengerti tentang Rekontruksi "Struktur Sosial Masyarakat" yang diciptakan oleh orde baru secara sistematis dan berbasis kekuasaan. Dan jelas, Struktur itu tidak bisa diruntuhkan oleh basis kekuatan rakyat manapun karena 4 pilar tadi. Bahkan ada lagi pilar-pilar rahasia yang tidak dapat kita mengerti.
Ketahuilah, kekuatan "Struktur" itulah yang saat ini sedang mengendalikan situasi politik, ekonomi dan sosial dari balik layar. Kekuatan "Struktur" itu kini semakin mencengkram. Dan, salah satu generasi penerus dari kekuatan utama "Struktur" tersebut akan menjadi Pemimpin Besar pada masa yang akan Datang.
Post a Comment