Tuesday 17 April 2012

In Memoriam Sudomo



SDSB, adalah sebuah akronim yang paling diingat bila mengingat sosok Laksamana Sudomo, dulu SDSB semacam lotere yang diselenggarakan negara, nama Sudomo menjadi sindiran 'Sudomo Datang, Semua Berantakan'. Tapi pihak Sudomo sendiri membantahnya dengan akronim 'Sudomo Datang, Semua Beres'. Sudomo memang orang yang paling penting di era 80-an, terhadap kondisi keamanan Indonesia, urusan lotere dibawah pengawasan dia. Orangnya lucu, tidak seangker Jenderal Benny Moerdani tapi dia membawahi lembaga paling angker di masa Orde Baru : Kopkamtib.

Selain SDSB, mengenang Sudomo adalah mengingat sebuah bahasa Belanda yang bernama 'Katabeletje'. Katabeletje ini adalah semacam nota informal untuk mengarahkan bawahan. Di awal 90-an ada kasus yang amat terkenal namanya Kasus Golden Key, Eddy Tanzil. Peran Sudomo kerap disebut-sebuat sebagai perilis katabelece yang akhirnya menjebol negara lebih dari 1 trilyun dan Eddy Tanzil sampai sekarang tak jelas larinya.

Selain humoris, Sudomo mirip Bung Karno. Amat menyukai perempuan cantik, humornya tentang dirinya yang suka menyukai perempuan cantik "Badan saya ke atas 60 tahun, perut kebawah 30 tahun" sikapnya yang humoris, wajahnya yang bulat bulan membuat orang banyak senang dengan dirinya sekaligus juga gemetar. Dibalik angkernya Sudomo, ia amat menyukai seni, kadang-kadang ia sendiri yang menjamin keamanan pertunjukan seni yang diselenggarakan oleh para seniman yang dicurigai Orde Baru. WS Rendra, termasuk yang kerap dilindungi Sudomo ketika pertunjukan teaternya diganggu aparat keamanan.

Mengingat Sudomo, tak lepas juga mengingat perseteruan Sudomo dengan Ali Sadikin, bagi banyak orang perseteruan mereka kerap dianggap perseteruan idealis dipihak Ali Sadikin, dengan pihak loyalis pemerintah di pihak Sudomo. Mereka berdua dari Angkatan Laut, Sudomo seorang Laksamana sementara Ali adalah Letnan Jenderal KKO. Rumah mereka berhadap-hadapan di Jalan Prambanan, Menteng. Tapi dua orang ini kerap berseteru di ruang publik, bahkan Jenderal Ali sempat bilang di sebuah media massa "Saya ingin tendang pantat Sudomo". Pertentangan Ali-Domo ini menjadi pertentangan paling menarik media massa di tahun 1980-an dan 1990-an awal, hampir mirip dengan rivaalitas antara Jenderal Mitro dengan Jenderal Ali Moertopo di awal 1970-an.

Kini Sudomo sudah meninggal, tak ada yang abadi di dunia ini. Sebesar apapun kekuasaan seseorang, sekaya apapun seseorang ia akan dipanggil pulang juga, Sudomo pergi sambil terus membawa rahasia sejarah tentang pertempuran laut Aru yang menewaskan Komodor Jos Soedarso.

Terlepas dari apapun Sudomo di masa lalu, baiknya kita mendoakan, bagaimanapun Pak Domo adalah bagian penting sejarah bangsa ini. Dari keangkeran dia sebagai Pangkopkamtib di masa lalu, kita banyak belajar agar menjadi bangsa yang lebih baik di masa depan, bangsa yang bisa menghargai kemanusiaan, kebebasan pendapat serta kemerdekaan atas tubuh dan pikiran manusia.

Selamat Jalan Pak Domo.............


ANTON DH NUGRAHANTO

1 comment:

Kasamago said...

Menarik terkait misteri pertempuran laut Aru..
Apakah masih ada kebenaran lain selain dari teks sejarah yg ada..