Saturday, 12 November 2011

Mengembalikan Rel Sejarah Bangsa.......


Gue heran dengan statemen penganut aliran Pasar Bebas dan budak-budak Neolib. Mereka selalu berkilah "Jangan belagak negeri ini kaya, negeri ini miskin. Jangan sombong dan mengira kita kaya. Kita perlu modal asing".

Dari sini saja mereka sudah terasing dengan konsep kekayaan sesungguhnya. Kekayaan itu tidak melulu harus sumber-sumber alam, tidak harus melulu modal duit yang berputar, tidak haru...s melulu hitung-hitungan ekonomi makro macam GDP, Inflasi, Deflasi, saving etc. Kekayaan paling sejati adalah manusia-nya itu sendiri, kekuatan manusia, bagaimana kebudayaan membentuk manusianya. Untuk melihat sebuah perkembangan masyarakat, kekayaan benda memang selalu jadi landasan utama, tapi dibalik kekayaan benda itu ada akumulasi budaya, akumulasi kesadaran untuk apa masyarakat berkembang.

Tapi memang faktanya negeri ini tanpa manusianya pun memang sudah kaya, ditambah manusia Indonesia kalau bisa dimaintain akan menjadi manusia paling berbudaya di dunia. Di negeri inilah satu-satunya sisa sorga dunia terletak. Tanpa harus menggaruk bumi dan menyakiti bumi seperti tambang freeport atau batubara di Kalimantan kita sudah kaya, berjualanlah kopra atau palawija, kopi atau teh, hasil perkebunan rakyat seperti buah-buahan, produksi pertanian, rempah-rempah atau produksi rumahan sebenarnya sudah cukup. Masa depan dunia akan sangat bergantung sekali dengan pangan yang semangkin langka.

Investasikan Anggaran Negara kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Anak-anak kita digratiskan sekolahnya sehingga ia menjadi kelompok manusia yang pintar itu sudah modal kekayaan. Sehingga bila anak-anak kita berangkat ke luar negeri ia menjadi manusia unggulan yang bersiap memerintah dunia.

Ingat bahasa "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" redaksional pesan konstitusi ini tidak melulu soal entitas pendidikan, tapi membentuk, membangun, mengkonstruksi masyarakat yang cerdas. Bagaimana masyarakat yang cerdas bisa dibangun? -Jawabannya adalah budaya-.

Pembangunan manusia Indonesia harus diletakkan sebagai pembangunan kebudayaan. Disini manusia dibangun menyeluruh, manusia Indonesia harus mencapai fase-fase kemanusiaannya dengan sempurna, baik tingkat kecerdasan intelektualnya maupun kecerdasan batiniahnya.

Tugas negara adalah memberikan ruang publik agar manusia Indonesia bisa tumbuh berkembang menjadi manusia yang sempurna, manusia yang dimanusiakan, manusia yang tidak terasing dengan lingkungannya, manusia yang mampu berinteraksi dengan lingkungan lalu membentuk sebuah lingkaran-lingkaran masyarakat yang seimbang, tidak agresif, berkebudayaan, merenung dalam-dalam dan berorientasi pada kebahagiaan hidup bukan ukuran-ukuran kebendaan.

Tugas Negara bukannya mengijinkan mendirikan banyak mall-mall mewah yang menjadikan manusia Indonesia terasingkan dari kemanusiaannya dan menjadi budak benda serta diskriminasi sosial, tapi membangun taman-taman kota, membangun ruang publik yang nyaman sehingga manusia Indonesia bisa berinteraksi, membangun banyak pendidikan luar ruang sehingga manusia Indonesia bisa berkumpul dan belajar dari alam, bisa mencintai alamnya sehingga fase-fase pembentukan kemanusiaannya itu akan berlangsung dalam dimensinya yang sempurna.

Intervensi Modal Asing 1967 setelah kejatuhan Sukarno. Manusia Indonesia dijebak bahwa ukuran-ukuran kebahagiaan itu terletak pada benda, mereka memanipulir kebahagiaan dengan ukuran benda, bukan lagi kebersamaan yang menggemuruh seperti berbondong-bondong membela bangsanya, gotong royong, bersama-sama bertarung di jalan-jalan untuk tujuan besar. Tapi orientasi alam bawah sadar diarahkan untuk menjadi manusia yang terbudaki oleh pasar. Manusia Indonesia seperti robot konsumsi. Manusia Indonesia tidak lagi melihat dirinya sendiri, kesejarahan bangsanya, kenapa sebuah bangsa Indonesia sampai harus ada. Lalu masyarakat kita menjadi bangunan sepi tanpa rupa, mereka hampa, tak ada lagi gemuruh tentang tujuan-tujuan besar bangsa, mereka asik sendiri-sendiri, mereka bertanya-tanya sendiri dan lebih dari semuanya manusia Indonesia menjadi bingung sendiri tentang keberadaannya yang menjadi masyarakat berkebudayaan rendah.

Anda bisa bayangkan bagaimana sakit hatinya kita melihat di TV-TV, ribuan manusia Indonesia disuruh jongkok di depan serdadu Malaysia dituduh pendatang gelap, ribuan manusia Indonesia bergelimpangan di bawah Jembatan-Jembatan layang Madinah. Ekspor babu yang sesungguhnya adalah perdagangan manusia, anda bisa bayangkan itu?
Penipuan-penipuan atas kontrak tambang dimana kaum komprador pejabat hanya mengejar fee dan membiayai gerak politik mereka? Jutaan sarjana kita menganggur karena mereka diasingkan oleh apa makna intelektualitas, mereka hanya disuruh bermain logika bahwa bekerja adalah menjadi pegawai negeri atau karyawan di perusahaan asing.
Kita sedang mengalami jaman dimana pusarannya adalah runtuhan dan akibat akhir dari Orde Baru yang mendasarkan pembangunan pada ukuran-ukuran kebendaan, padahal bukan bentuk ini yang diinginkan para Pendiri Bangsa. Mereka ingin Merdeka, merdeka dalam pengertian “Manusia Yang Terbebaskan” jalan pembebasan ini bukanlah membentuk pasar-pasar domestik yang siap melahap apapun produksi asing atau iming-iming kebendaan, pembebasan manusia itu adalah ketika manusia mengenali dirinya sendiri, manusia menjadi bahagia atas tujuan yang lebih besar bukan tujuan-tujuan kerakusan, tujuan yang lebih besar seperti : Kejayaan negara, keagungan negara, Masyarakat Yang Cerdas, Pembentukan Wilayah-Wilayah Negara yang kaya raya dan makmur dengan sirkulasi yang adil terhadap distribusi kekayaan- adalah contoh bagaimana tujuan-tujuan besar bisa dilaksanakan.

Maka tak salah ketika Bung Karno menemui ilham keduanya setelah Pancasila, yaitu Trisakti : Tiga Hal Yang membuat manusia menjadi ‘Sakti’, menjadi kuat, menjadi berwibawa, menjadi manusia yang menemui harkat kemanusiaannya.

1. Politik Yang Mandiri
2. Berdikari dalam Ekonomi
3. Berkepribadian dalam Berkebudayaan

Trisakti adalah ‘Jalan’ pembentuk agar manusia Indonesia menemui kemanusiaannya. Dalam politik yang mandiri ada suatu kebebasan kita menentukan tujuan-tujuan besar bangsa, dalam ekonomi yang tidak bergantung pada modal asing atau apapun di luaran, kita mendapatkan ekonomi yang tahan krisis, masyarakat dibikin makmur tanpa harus menjadi budak asing, jam-jam kerja rakyatnya adalah untuk kekayaan negara semata-mata bukan kekayaan kaum kapitalis asing, kekayaan negara inilah yang kemudian didistribusi ke dalam pendidikan murah, kesehatan murah, Rumah-rumah sakit yang gratis untuk bangsa ini, kemudahan-kemudahan sosial, jaminan hari tua, jaminan sosial, penciptaan lapangan kerja baru dengan menumbuhkan pengusaha-pengusaha domestik. yang tidak dipersulit oleh logika diskriminasi aturan-aturan perbankan. Dalam Berkebudayaan, ini bukan soal nari-nari atau nyanyi, kebudayaan itu adalah lingkup yang amat luas, ia adalah fase-fase pembentuk manusia, ia adalah perkembangan manusia menentukan dan melihat dunianya, ia adalah ‘jalan’ menuju masyarakat terhormat.

Kita harus segera kembali merumuskan bangsa ini, bangsa ini dibangun dengan sukarela, rakyat berbondong-bondong mau membentuk bangsa ini, tapi setelah Gestapu 65, Pasukan Suharto menodongkan logika sukarela ini menjadi persatuan yang dilandasi keterpaksaan, dibawah todongan senjata, manusia Indonesia digiring ke alam takut, mereka dibawa menuju logika-logika kuli kontrak perkebunan deli, mereka tidak diajak berpikir dalam-dalam untuk apa bangsa ini harus ada?

Dititik inilah kita memulai pekerjaan kita untuk mengembalikan rel sejarah.

No comments: