Wednesday, 23 November 2011

SBY dan Simulacra Pesta Perkawinan

Hampir seluruh kelas menengah kritis di Indonesia mencemooh pernikahan hedonis yang ditayangkan di TV-TV. Tapi ada target audience yang lebih besar lagi, yaitu mereka yang terbiasa nonton tv di pagi waktu, biasanya mereka ini dari kelompok emak-emak dan anak-anak muda yang amat nyaman dengan kehidupan keluarga.

Pesta perkawinan bagi sebagian or
ang Indonesia adalah fase terpenting dalam kehidupan orang Indonesia termasuk bagian dari tangga paling signifikan eksistensi dirinya di tengah masyarakat. Para adviseer politik SBY pasti sudah tahu ini dan memperhitungkan acara yang seakan-akan memblok semua stasiun TV. Serentak ada sebuah gerakan simulacra (tontonan artifisial) yang menyentak ruang alam bawah sadar manusia Indonesia yaitu sebuah idealisme pesta pernikahan bagaimana selayaknya diadakan. Sasaran yang ditembak disini adalah fase-fase kehidupan SBY sebagai seorang bapak mampu mengantarkan anaknya ke dalam dunia kehidupan, walaupun seluruh substansi bagaimana si anak kemudian menantang kehidupan menjadi tak lagi penting. Acara ini adalah puncak dari fenomena politik sekarang yang merupakan sebuah "Politik Tontonan" bukan politik aktif yang melibatkan rakyat banyak sebagai subjek dan pelaku politik sebagai agen-agen subjek.

Dalam dunia tontonan, dunia simulacra simbol menjadi amat penting ketimbang realitas. Persepsi adalah realitas itu sendiri, disini SBY menggunakan persepsi-persepsi keluar dari tautan realitas. Seperti borosnya pesta pernikahan kemudian dipersepsikan sebagai sebuah kesakralan, penggunaan Istana Negara dipersepsikan sebagai agar ia tidak meninggalkan kerja sehari-hari sebagai Presiden RI dan tontonan hampir di semua stasiun TV, dipersepsikan sebagai ia yang hadir ditengah masyarakat, hadir di tengah-tengah rakyat dan membawa teladan tentang sebuah perhelatan keluarga dimana ini akan jadi teladan bagi perhelatan-perhelatan keluarga se Indonesia.


Persepsi yang terpenting dari semua ini adalah mengemas acara yang sesungguhnya adalah penggiringan ‘awareness’ terhadap citra SBY sebagai sebuah bentuk investasi politik di masa mendatang kepada banyak ibu-ibu dan kelompok yang sudah mencapai kemapanan keluarga. Investasi politik itu akan terlihat dalam pertarungan 2014 dimana kelompok yang didukung SBY tentu akan membawa garis pencitraan lingkup domestik-keluarga sebagai kekuatan politiknya, sementara lawan-lawan SBY belum jelas mau apa.


Untuk melawan dan membongkar arus simulacra SBY ini adalah dengan membentuk jaringan realisme politik, menghancurkan seluruh sendi-sendi kehidupan simulacra politik dengan terus menggenjot ke ruang public apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia ini : -Penggarongan Sumber Daya Alam, Perampokan Anggaran Negara,
Kemiskinan yang semakin meluas dan tidak terjaminnya kesejahteraan rakyat banyak lewat fungsi-fungsi sosial Negara.

No comments: