Friday, 25 November 2011

Resensi Film Mice and Man




George Milton (Gary Sinise) ialah seorang yang cerdas sekaligus sinis, sedangkan Lennie Small (John Malkovich), kebalikan dari namanya merupakan seorang bertubuh tinggi besar, punya kekuatan fisik mengerikan, namun dengan kondisi mental ter...batas. Perilakunya bagai anak kecil dan sangat menurut kepada George, karena hanya dialah yang mau menemani dan melindungi Lennie. Mereka adalah buruh pendatang yang mencari lahan kerja di sebuah lahan pertanian di Soledad. Mereka mempunyai mimpi, suatu hari akan menempati lahan pertanian milik sendiri, dengan tanah berhektar-hektar; sebuah rumah. Lennie dan George selalu mengulang-ulang cerita tentang mimpi mereka, terutama Lennie yang dijanjikan George akan memelihara kelinci dan memegangi mereka. George punya kegemaran memegangi benda-benda halus, namun tak pernah menyadari efek mengerikan dari genggaman tangan kekarnya. Sampailah mereka pada lahan yang dituju dengan rangkaian peristiwa yang menunggu.


Penggambaran tidak terlalu berbeda dari versi novelnya, yang bagi saya jauh lebih kelam dan menyentuh dari versi layar lebarnya ini. Justru kekuatan film terletak pada akting Malkovich yang dialektis dengan watak dingin Sinise. George menjadi pribadi yang satu-satunya ditaati Lennie. Meskipun Lennie -dalam bahasa awam- "terbelakang", namun George selalu sabar dan melindunginya dari bahaya, termasuk dari ancaman Curley si anak majikan. Model persahabatan yang sangat jarang ditemui, apalagi di masa sekarang, walau pada akhirnya George harus menentukan pilihan, namun keputusan itu demi "kebaikan" mereka.

Ini adalah kisah tentang persahabatan dan mimpi dari orang-orang tertindas. Tipikal dari karya sastra Amerika yang selalu mengutarakan nasib kaum marjinal (dan bertolak belakang dari realitas Amerika sebagai suatu Negara). Kaum tertindas yang bahkan dalam proses bermimpi pun mereka harus mengalami kepahitan. Hal inilah yang sampai saat ini saya jadikan pegangan dalam memandang "kesastraan" sebuah tulisan fiksi. Apakah karya tersebut mampu menyuarakan realitas atau tidak. Sekaligus catatan tambahan bagi proses produksi film-film (adaptasi novel) yang seharusnya mau melirik pada sejarah karya fiksi kita yang sangat potensial dijadikan wahana kritis dan edukatif, bukan kontra-produktif. Sebab, seberat apa pun sebuah tema, film -sebagaimana fungsinya sebagai media estetis populer- selalu mampu mereproduksinya tanpa meninggalkan fungsi dasarnya tersebut.

Pada akhirnya, hampir sama seusai saya membaca novelnya. Film ini sekali lagi mengguratkan kengerian akan kehidupan, dan apa yang seharusnya digenggam erat dalam memaknainya; humanisme.(dikutip dari : Sastro Fadjar)

No comments: