Yohanes Sulaiman dan Wibawa Dokumentasi CIA
(Dilengkapi Lampiran tulisan YS dan Ikranegara)
Oleh Anton
Sejarah yang hanya mengungkapkan fakta evenementiel kiranya kurang memadai. Karena itu dibutuhkan pelacakan pola-pola, sistem, struktur serta kecenderungan, dan pelbagai jenis generalisasi, sehingga dapat dipakai sebagai landasan untuk memproyeksikan masa depan.
(Sartono Kartodirdjo, Sejarawan Indonesia)
Sengaja saya ambil cuplikan basis penelitian sejarah Sartono Kartodirdjo – yang dimuat dalam kata pengantar Buku Satu (dari tiga buku) Nusa Jawa: Silang Budaya karya Dennys Lombard- dalam melakukan riset sejarah dimana beliau sendiri menganggap sangat kurang bermanfaat bila sejarah ditarik dengan cara konvensional. Begitu juga dengan Dennys Lombard sarjana besar bidang sejarah Perancis yang berminat pada studi tentang Jawa. Ia menekankan pada aliran yang dikenal sebagai ‘aliran Annelies’ sebuah mazhab sejarah yang menekankan pada ‘kecenderungan’ studi jenis ini akan menghasilkan studi sejarah kritis ketimbang studi sejarah konvensional apalagi studi dokumen yang cuman beber-beber dokumen tanpa jelas pelacakannya juga tanpa melihat situasi yang melingkupinya. Yah, kalau kita berbicara tentang sumber, semua orang pun berpendapat bahwa proyek sejarah amat tergantung pada tersedianya sumber itu. Apalagi mencakup kejadian sejarah yang amat kontroversial dimana puncak dari misteri dari G 30 S itu justru terjadi pada 1 Oktober 1965, namun tidak berarti kemudian sumber itu menjadi paling sakral sendiri apalagi sumber keluaran CIA yang juga perlu dipelajari kritis, apa itu opini atau fakta objektif yang mengandung makna-makna sejarah.
Tanggal 1 Oktober 1965 dimulai dengan matinya para Jenderal dimana kematian enam Jenderal itu tidak sesuai rencana penangkapan. Siapa dan atas dasar apa gerakan itu membunuhi para Jenderal, apa sudah ada dalam briffing pra G 30 S terhadap pembunuhan para Jenderal? Kejadian ini merembet sampai pengambilalihan kekuasaan di Angkatan Darat oleh Suharto dimana perintah Sukarno sendiri sudah diabaikan oleh Suharto untuk memanggil Mayjen Pranoto dan Mayjen Umar Wirahadikusumah ke Halim, pada titik inilah kekuasaan Sukarno sebagai Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata sudah hilang dan berarti beliau tidak lagi secara esensial menjadi Presiden RI yang harus mengalami insubordinasi dari perwira tingginya : Mayor Jenderal Suharto dimana kemudian membawa Sukarno pada situasi yang tidak dimengerti sampai pada kematiannya tanggal 21 Juni 1970.
Disini kiranya apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 merupakan titik temu dari seluruh masa lalu Demokrasi Terpimpin dan seluruh sejarah Orde Baru dimasa depan. Jadi 1 Oktober 1965 adalah hub/centraal dari masa lalu dan masa depan. Namun ada perbedaan antara proloog dan epiloog dari 1 Oktober 1965. Proloog sampai saat ini belum jelas. Satu-satunya yang bisa diambil kesimpulannya sementara justru adalah dari kata-kata dua orang pelaku sejarah sendiri : Pertama, Suharto dan kedua Sukarno. Suharto adalah orang yang paling pertama menyebutkan bahwa aksi penculikan itu dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Ucapan ini diakuinya dalam biografi resmi Suharto “Pikiran, Ucapan dan Tindakan yang disusun oleh G Dwipayana dan semua buku sejarah yang keluar dari berbagai macam mainstream. Ucapan ini dikatakan pada pagi hari (Suharto sendiri mengaku setelah mendengar siaran berita RRI jam 7.00 saat Letkol Untung membacakan gerakan revolusinya) kepada beberapa perwiranya di markas Kostrad dengan mengatakan bahwa : “Letkol Untung sudah lama menjadi binaan PKI” dan Suharto mengatakan juga bahwa dia sudah lama kenal Untung yang memang anak buahnya sendiri sejak Suharto menjabat komandan di Solo awal tahun 50-an. Jadi dari pola-pola, kecenderungan dan sistem yang dihasilkan dari analisa Suharto pelaku gerakan 30 September 1965 adalah PKI dimana Untung merupakan bagian dari PKI opini inilah yang kemudian berkembang menjadi dasar tindakan-tindakan politik berikutnya. Apakah kesimpulan ini sudah dipersiapkan sejak sebelum terjadinya kejadiannya atau spontanitas saja ketika mendengar di RRI bahwa Untung yang melakukan pimpinan Gerakan. Hal ini perlu diselidiki oleh Sejarawan lebih jauh.
Kedua, adalah kesimpulan dari Sukarno yang memang harus diakui dia mengalami kebingungan terbesar - (sehingga kecerdikan Sukarno yang kesohor itu selalu salah tempat pasca G 30 S) - sejak terjadi pembunuhan para Jenderal yang dilancarkan oleh pelaku Gerakan 30 September. Sukarno sendiri mengatakan itu merupakan gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok) namun istilah Gestok tidak populer bagi rezim Orde Baru karena menjadi saling kelindan antara Gerakan Untung dengan Gerakan Suharto. Dimana memang dari sisi formal waktu berlangsung pada hari yang sama arti penting Gerakan Untung terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965 dan dimulainya Gerakan Suharto pada siang dan sore hari 1 Oktober 1965. Kedua-duanya juga melakukan hal yang sama yaitu melawan Sukarno. Pertama, Untung tidak memasukkan nama Sukarno dalam susunan Dewan Revolusi-nya walaupun susunan itu ngawur dan asal main comot saja tapi jelas nama Sukarno sebagai Presiden sudah tidak ada lagi. Kedua, adalah Suharto secara sepihak mengangkat dirinya menjadi Menpangad menggantikan posisi Yani yang belum jelas nasibnya. Walaupun hal itu memang sering dilakukan Suharto dalam kondisi normal yang biasanya dipersiapkan secara prosedural dari pekerjaan sehari-hari dimana Letjen Yani akan berhalangan namun ketika kejadian Penculikan tersebut adalah situasi abnormal dimana keputusan Presiden-lah yang menentukan tapi Suharto berani ambil tindakan untuk masuk ke ruang komando Menpangad dan ini bisa dikatakan Insubordinasi atau pembangkangan antara Jenderal Suharto kepada Presidennya. Suharto tanpa memberitahu dulu atau melapor pada Bung Karno bahwa dia yang akan menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat bukan itu saja. Suharto tidak berusaha mencari Sukarno tapi malah menelpon semua kepala Angkatan dari matra yang berbeda (kecuali AU Suharto hanya berhasil menghubungi Wattimena Wapangau) : Laut, Udara dan Kepolisian yang intinya agar semua matra Angkatan Bersenjata tidak mengeluarkan pasukan tanpa sepengetahuan dirinya. Dititik ini juga berarti Suharto secara esensial sudah berada pada titik tertinggi kekuatan Angkatan Bersenjata dan berarti memiliki posisi diatas Sukarno. Apalagi setelah ajudan-ajudan Bung Karno datang ke Kostrad untuk mencari Pandam V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah yang dipanggil Bung Karno dan Suharto melarangnya. Semua yang berhubungan dengan Angkatan Darat harus melalui dirinya. Insubordinasi Suharto ini menjadi pelengkap pada pidato Sukarno yang diarahkan pada nomor tiga dari tiga pokok analisisnya : ‘Memang Adanya Oknum-Oknum Yang Tidak Benar’ pada peristiwa yang dibahasakannya sebagai Gestok pada Sidang MPRS 10 Januari 1967 dalam pidato pelengkap Nawaksara adalah sebagai berikut :
Keblingernya Pemimpin PKI
Kelihaian Subversi Nekolim
Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar
Tiga pokok analisa Bung Karno inilah yang kemudian mau tidak mau menjadi pusat studi sejarawan dalam meneliti kasus G 30 S mulai dari aliran buku putih sampai aliran yang bikin heboh seperti :Cornell Paper ataupun Pledoi Latif tahun 1978. Jadi antara analisa Suharto dan analisa Bung Karno yang dipisahkan dalam waktu hampir dua tahun menyisakan gap yang panjang. Sukarno lebih jelas mengambil kesimpulannya –bahkan sampai detik ini paling lengkap untuk dijadikan landasan berpikir kenapa G 30 S bisa terjadi – Tiga pokok pemikiran Nawaksara itu merupakan titik pertemuan dari semua kepentingan yang kemudian menghasilkan Gerakan 30 September 1965. Bila mengambil analisa singkat tulisan YS di Kompas (sesungguhnya tulisan itu terlalu singkat tapi bagi saya sendiri jelas arahnya) bisa dilihat bahwa YS mengambil jalur nomor dua dari tiga pokok analisa Bung Karno : Kelihaian Subversi Nekolim, walaupun mungkin ini akan dibantah YS yang begitu kagum dengan data CIA tapi bila dilihat dari penekanan konfrontasi Indonesia-Malaysia yang meletakkan PKI sebagai variabel terpenting dalam kekuatan Bung Karno baik politik sipil maupun militer maka tidak bisa dihindarkan dari kemampuan CIA dan tentunya agen Inggris untuk mempermainkan Sukarno-PKI, juga agen-agen dari negara lain yang juga disebut Ikranegara seperti keterlibatan Jenderal Agayant yang kemudian malah melahirkan dokumen Gilchrist. Kasus Jenderal Agayant yang menurut Bung Ikranegara orang Ceko, tapi juga ada yang bilang dia orang Armenia berpostur tinggi langsing dan berwajah aristokrat mengenai kewarganegaraannya sangatlah lazim seorang intel membawa banyak dokumen kewarganegaraan. Dokumen Gilchrist adalah dokumen yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap munculnya opini Dewan Djenderal. Walaupun secara mutu dokumen ini diragukan merupakan sebuah hasil kesimpulan objektif intelijen yang mengungkap dengan kata-kata terkenalnya : Our Local Friends Army” Dokumen Gilchrist ini polanya sama dengan Dokumen Ramadi yang heboh sembilan tahun kemudian mengawali penangkapan besar-besaran mahasiswa dan intelektual oleh junta militer Orde Baru dalam kasus Malari 1974.
Yang juga perlu diperhatikan dari tiga prinsip Sukarno adalah pertanyaan setelah mengungkap tiga prinsip itu “Kenapa hanya saya dimintai tanggung jawab atas kejadian Gestok itu? Bukankah Menko Hankam juga bertanggung jawab? Dari pertanyaan ini bisa dilanjutkan lagi, lalu Suharto bisa dimintai tanggung jawab karena melalui radiogram Pangkostrad no. 220 dan no.239 tanggal 21 September 1965 menginstruksikan agar Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya dipersiapkan dalam rangka HUT ABRI yang jatuh pada tanggal 5 Oktober 1965 dan pasukan ini digunakan sebagai kekuatan penculikan. Mana tanggung jawab Suharto untuk mengendalikan pasukan ini di Jakarta?
Juga banyak disebut pada buku-buku sejarah terutama aliran yang mengambil teori yang berlawanan dengan Sejarawan CIA seperti : kubu Wertheim,Ben Anderson dan Ruth Mc Vey dengan sudut pandang aliran CIA dimana Antonie CA Dake jadi dedengkotnya (belakangan muncul nama Helen-Louise Simpson Hunter yang juga pegawai CIA kemudian menulis sejarah G 30 S dengan bukunya : Sukarno and The Indonesian Coup : The Untold Story). Peter Dale Scott juga banyak mengutip dokumen CIA yang dideklasifikasi sekitar tahun 1982. Saya rasa kehadiran tesis YS yang berbau dokumen CIA nanti sama saja dengan ACA Dake atau Hunter tidak ada yang baru dalam menambah perbendaharaan untuk menemukan kesimpulan kecuali melahirkan banyak pertanyaan baru terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada G 30 S atau dengan istilah Ikranegara : “Silahkan bertengkar sampai Tua!”
Untuk kasus konfrontasi Malaysia-Indonesia dalam kaitannya dengan agresi Malaysia ke Kalimantan Utara YS terkesan menganggap dirinyalah yang menjadi pendobrak untuk berharap melahirkan teori baru bahwa konflik Malaysia-Indonesia merupakan titik singgung dan korelasi terpenting dalam G 30 S dan digunakannya kekuatan PKI oleh Sukarno sebagai bagian dari kepentingan politik itu. Tapi sayangnya korelasi G 30 S dengan konfrontasi Malaysia lewat sensitivitasnya paling dalam sudah diungkap lengkap oleh Manaii Sophiaan dalam bukunya ‘kehormatan bagi yang berhak’ juga buku-buku lainnya seperti :
De Stille Genocide. De fatalle gebeurtenissen rond de val Indonesische President Sukarno yang disusun oleh Lambert Gibbels, diterbitkan oleh Uitgeverijs Prometheus tahun 2005 dan diterjemahkan oleh PT Grasindo dengan judul Pembantaian Yang Ditutup-tutupi : Peristiwa Fatal Kejatuhan Bung Karno, yang juga dirilis tahun 2005.
ANATOMY of the Jakarta Coup : October 1, 1965 : The collution with the China which the destroyed the Army Command, President Sukarno and The Communist Party of Indonesia karya Victor M.Fic, diterbitkan oleh Abhinav Publications, 2004.
Buku lama ‘Deception Game’ yang ditulis oleh eks Agen KGB Ladislav Bittmann kepala Departemen VII Dinas Inteligent Cekoslowakia yang kemudian disadur oleh Oejeng Soewargana dalam judul ‘Permainan Curang’ dan diterbitkan oleh Tjandramerta, Jakarta 1973. Yang kemudian memunculkan nama Mayor Louda yang mendiskreditkan Bill Palmers dan berakibat diusirnya program ‘Peace Corps’ dari Indonesia. Juga banyak mengungkap kasus konfrontasi Malaysia. Buku ini banyak mengungkap dari sisi KGB namun juga jangan dilupakan bias CIA dalam membaca buku ini.
Ruth Mc Vey. ‘Korespondensi pribadi dengan George Kahin, Benedict Anderson dan Frederick Bunnel.
In the Spirit of the Red Banteng : Indonesian Communist and Between Moscow and Peking, Aksara Karunia, Jakarta Edisi kedua, 2002.
Recollections of an Indonesian Diplomat in The Sukarno Era, University of Queensland Press, St. Lucia, Queensland, Australia 1977.
Indonesia’s Hidden History of 1965 : When the Archives be the Declassified” yang termaktub dalam : Kabar Seberang Sulating Maphilindo,1995.
Communism Under Sukarno, karya Rex Mortimer terbitan Cornell University Press, Ithaca and London, 1974.
Menyingkap Dua Hari Tergelap, karya : James F Luhulima, Penerbit Buku Kompas, September 2006. Dalam buku juga diungkap hubungan Ali Murtopo dengan kontak-kontak di Malaysia dan penyamaran Benny Moerdani sebagai karyawan Garuda Airways.
A Preliminary Analysis of The October 1, 1965 Coup In Indonesia, Ithaca, NY, Cornell University Press, 1971. karya Ben Anderson dan Ruth Mc Vey.
Peter Dale Scott, CIA dan Penggulingan Sukarno, Lembaga Analisis Informasi, Jakarta.
Harold Crouch Militer dan Politik di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1986.
Soebandrio, Kesaksianku Tentang G 30 S, Forum Pendukung Reformasi Total, Jakarta, 2001
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1998.
What Happened in Indonesia? Letter to the Editors, The New York Times, June i1 1978.
Tulisan-tulisan diatas menyinggung korelasi Konfrontasi Malaysia dengan G 30 S dan menjadikan konfrontasi dengan Malaysia sebagai interior penting yang disana terletak koridor menuju gerakan G 30 S. Juga sedikit menyinggung Malaysia dicatat tentang buku Oei Tjoe Tat : ‘Pembantu Presiden Sukarno’ walaupun tidak secara tegas menyinggung Malaysia namun bisa menggambarkan kondisi yang terjadi pada G 30 S bersama buku Soebandrio “Kesaksianku tentang G 30 S. Penting juga diperhatikan dokumen-dokumen CIA yang dibahas oleh Gabriel Kolko yang membahas Dokumen-Dokumen States Department dan CIA mengenai debat peranan Amerika Serikat di Indonesia pada tahun 1965, pada tanggal 13 Agustus 1990 dengan mengutip Lyndon B Johnson Library. Juga perlu diperhatikan laporan dari New Yorks Review Books 1978 yang mengungkap perkataan cendikiawan Inggris Neville Haxwell yang menemukan sepucuk surat dari seorang duta besar Pakistan yang ditujukan pada Menteri Luar Negeri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto yang melaporkan seorang pejabat Belanda di NATO yang mengatakan bahwa Indonesia akan jatuh ke tangan barat seperti apel busuk. Tapi dari semua buku yang mementingkan korelasi antara konflik Malaysia dan Indonesia adalah buku : Kehormatan Bagi Yang Berhak : Bung Karno Tidak Terlibat G 30 S/PKI, Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, 1994. Ini buku bagus yang mengungkap jejak sejarah dari aliran nomor dua analisa Bung Karno : Kelihaian agen-agen Nekolim. Sukarno sendiri mengatakan dalam sebuah pidatonya (-walaupun YS mungkin enggan membaca orasi Bung Karno yang dianggapnya tidak ilmiah dan dikonsumsi untuk umum namun saya berpendapat apa yang diucapkan seorang Sukarno yang punya watak terbuka harus diperhatikan)- “Saat ini semua orang lupa dengan Malaysia semua bicara Gestapu...Gestapu!”
Bila kemudian YS akan mengeluarkan tesis berdasarkan hubungan antara Konfrontasi Malaysia-Indonesia dengan PKI sebagai variabel terpenting dimana kemudian berujung pada meledaknya G 30 S. Selain juga akan mengungkap masalah Poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Peking bila dilandasi pada laporan CIA kemungkinan besar ya hanya akan membangun tembok loncatan baru lagi bahwa CIA tidak tahu menahu atas kejadian G 30 S dan tidak ikut campur terhadap pembantaian orang-orang Indonesia akibat tuduhan PKI itu yang selalu didengungkan oleh sejarawan berbasis CIA.
Sejarawan-Sejarawan yang bias terhadap Sukarno dan cenderung menghakimi PKI juga mementingkan peran Suharto dan CIA selalu menggunakan ukuran-ukuran :
Meremehkan kemampuan Sukarno dan Kekuatan Militer Indonesia bahkan menjadi separuh ketawaan.
Menggambarkan seolah-olah Sukarno stress dengan tidak dianggapnya dia dalam percaturan politik Internasional.
Menempatkan Sukarno sebagai orang paling opportunis dalam melakukan taktik politiknya.
Mengkarakterkan Sukarno sebagai bagian dari pembunuhan Jenderal-Jenderal ;bahkan di buku ACA Dake Sukarno digambarkan sengaja menyuruh seorang perwira Tjakrabirawa mencari AH Nasution dan memerintahkan perwira itu membunuh AH Nasution yang lolos pada malam penyerbuan.
CIA sama sekali kaget dengan kemunculan Suharto. Sehingga memunculkan pertanyaan bego “Siapa Suharto?” apakah tidak diselidiki link antara Suwarto dan Suharto di jaman mereka menjadi guru dan murid di Seskoad Bandung?
Menganggap Kedubes Amerika Serikat kekurangan informasi pada G 30 S.
Diplomat Amerika merasa tidak mengenal Suharto. Suharto seakan-akan dijadikan orang out of the blue sky dalam G 30 S atau seperti pepatah bahasa Belanda : “Monyet Jelek Yang Muncul Tiba-Tiba”. Tidak dikaji lebih serius hubungan Suharto-Syam-Untung-Latif-Supardjo dan pasukan yang didatangkan dari Diponegoro dimana kekuatannya digunakan sebagai pasukan penculik para Jenderal.
Adanya unsur-unsur opini Subyektif dokumen-dokumen CIA yang sering menempatkan negara objek penderita sebagai biang ketololan.
Menganggap remeh adanya unsur kekuatan lain di balik kekuatan pro Amerika yaitu : Kekuatan Blok Kiri yang dimana Sukarno mendekat.
Tapi dari semua yang terjadi adalah pengabaian penyelidikan Sejarawan aliran CIA tentang hubungan dekat : Suharto-Untung-Syam-Latif-Supardjo dan Suharto-Ali-Yoga dimana Suharto mengerti sekali dua himpunan ini. Tapi saya yakin ahli-ahli pemuja CIA dan pendukung liberalisme yang bias terhadap Nasionalisme Sukarno serta bias terhadap PKI mati-matian akan enggan melihat korelasi Suharto-Untung-Syam-Latif-Supardjo dan Suharto-Ali-Yoga. Padahal dari semua titik misteri adalah orang yang bernama Syam Kamaruzaman. Selama Syam tidak dijadikan objek paling penting dalam meneliti hubungan-hubungan yang terjadi maka selama itu pula pintu G 30 S masih sangat sempit untuk dilewati dan membongkar apa dan mengapa peristiwa itu terjadi.
Tidak ada bahasan khusus yang murni ilmiah tentang faktor Syam Kamaruzaman. Yang muncul adalah tulisan populer seperti yang pernah termuat di tabloid Detak sekitar tahun 1999. Dan tulisan lama dari AM Hanafi yang menceritakan apa dan siapa Syam serta pengakuan Hanafi untuk menjauhkan Syam dari DN Aidit. Tulisan AM Hanafi tentang Syam cukup lengkap kronologisnya dimana Syam sebagai agen ganda bisa masuk kemana-mana. Syam ini bekas anak buah komisaris polisi Mudigdo yang tewas dalam peristiwa Madiun, kemudian disebut-sebut pernah menolong Aidit saat razia Agustus 1951 yang diperintahkan PM Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi untuk masuk ke SBKA di Priok lalu menyamar dan kemudian kembali lagi ke publik setelah Bung Karno menjamin keselamatan anggota PKI yang ditangkap akibat sindrom Joseph MacCarthy. Antara tahun-tahun 1950-1960 perlu dikaji bagaimana hubungan Aidit dengan Syam. Lalu dari sisi Suharto, Syam bukan orang asing ia sama-sama kenal di Pathok sebagai bagian dari kaderisasi pemuda Sosialis dimana Suharto datang sebagai serdadu muda yang punya pengalaman pendidikan dan pamornya naik karena berhasil merebut gudang senjata milik Jepang di Kotabaru tahun 1946. Tidak tertutup kemungkinan ada hubungan antara Syam dan Suharto antara tahun 1950-1965. Sementara semua orang tahu bahwa Latif adalah anak buah Suharto sejak jaman perang kemerdekaan dan pernah diselamatkan Suharto dari aksi pembersihan Madiun oleh Gatot Subroto. Latif sendiri jadi salah satu komandan batalyon Suharto yang berjibaku pada pertempuran 1 Maret 1949 dengan peristiwa Suharto makan soto babat yang terkenalnya itu ditengah anak buahnya bertempur. Ini bukan rumor coba dibaca pada buku Pledoi : Pengakuan Kol. Latif Suharto terlibat dalam G 30 S. Untung sendiri anak buah kesayangan Suharto sejak jaman Panembahan Senopati pada tahun 1950-an awal. Mayor Untung adalah penerima Bintang Sakti bersama LB Moerdani pada perebutan Irian Barat. Dan Suharto sempat marah-marah karena Untung diambil oleh Istana untuk menjadi perwira Tjakrabirawa. Adakah hubungan Untung-Suharto selama tahun-tahun 1960-1965 selain kunjungan Suharto ke perkawinan Untung di Kebumen?.
Tidak pernah ada diskusi terbesar dan mencekam dari ingatan sejarah pada kasus G 30 S dijaman Orde Baru kecuali pada tahun 1978 dimana orang sudah mulai pelan-pelan berani bertanya secara kritis tentang kejadian G 30 S sesungguhnya dan ada pledoi dari pengadilan Kol. Latif yang berintikan pertemuannya dua kali dengan Suharto untuk melaporkan gerakan yang dipimpinnya. Ini kemudian menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat luas dan kaum intelektual bahkan pada tanggal 21 Januari 1978 beberapa surat kabar dilarang terbit oleh Kopkamtib dengan mempertimbangkan keamanan koran yang dibredel itu adalah : Sinar Harapan, Pelita, Merdeka, Indonesian Times dan Kompas. Ketakutan Orde Baru terhadap eksepsi Latif ini menunjukkan memang ada yang ditutupi pada proloog G 30 S.
Namun fokus pretext telikungan (meminjam istilah Ikranegara) penculikan pada berlangsungnya kejadian tidak dipilih YS sebagai bahan tesisnya padahal disitulah puncak misterinya kalau kita memeriksa jauh kebelakang yang ada kita akan terjebak ‘pada peristiwa apa’ bukan ‘peristiwa kenapa’ atau terjebak ke dalam silang sengketa yang susah melihat keluar kejadian G 30 S, kenapa kita tidak mendalami itu. Sesungguhnya James Luhulima dalam bukunya ‘Menyingkap Dua Hari Tergelap’ sudah sangat cantik dalam fokus amatan, tapi dia tidak mau masuk ke dalam senyawa peristiwa itu saya maklumi karena tulisannya bersifat jurnalistik. Padahal yang terbaik adalah memfokuskan tokoh-tokohnya membuat rantai relasi di antara tokoh-tokohnya yang kemudian bertemu pada satu titik yaitu : peristiwa G 30 S bila ini dilakukan kita akan menemukan missing link dimana-mana termasuk bungkemnya Suharto sampai detik ini terhadap peristiwa yang paling diketahuinya. Dari semua tokoh dialah yang paling mengetahui semua peristiwa bukan karena kita berspekulasi dia yang merancang peristiwa itu tapi karena dia yang membangun kekuasaan sehingga dia mengerti akses informasi yang pasti mengalir pada dirinya sehingga ia bisa memegang kendali. Pemenang pertarungan adalah dia yang memegang informasi lebih banyak. Begitu kata orang.
YS lebih memilih konflik Malaysia-Indonesia sebagai faktor penggerak G 30 S yang ujung-ujungnya bisa saya pastikan hanya menambah deretan pertanyaan yang lebih banyak lagi tentang G 30 S. Karena faktor konflik Indonesia-Malaysia adalah bagian dari apa yang terlihat bukan apa yang terjadi. Konflik Indonesia –Malaysia memang bisa menjadi salah satu alasan terpenting (bagi penganut teori CIA dan Inggris sebagai konspirator utama). Bagi saya pribadi puncak misteri dari kejadian G 30 S tersebut adalah masuknya unsur spontanitas/improvisasi dalam rangkaian gerakan-gerakan Pasukan Untung yang semakin jam semakin mendekati kekonyolan hingga gerakan itu sama sekali perbuatan sia-sia dan merupakan gerakan paling konyol namun tragis bahkan bila dibandingkan dengan rencana serbuan Westerling ke Jakarta tahun 50-an atau konflik 17 Oktober 1952 dimana sempat ada pertikaian antar perwira namun berhenti di bawah kaki Sukarno Gerakan Untung-lah yang paling konyol.
Kejadian G 30 S bukan hanya tidak berhenti dibawah kaki Sukarno tapi malah menjerembabkan Sukarno dalam lembah kehinaan ia juga sering dianggap tokoh Gestapu, Bapaknya Gestapu. Banyak aliran yang menuduhkan Sukarno tahu menahu dalam peristiwa penculikan para Jenderal di malam naas termasuk tudingan Antonie C.A Dake yang menganggap Sukarno sebagai biang masalah. Bahkan tudingan Dake itu sendiri mengatakan bahwa Sukarno dengan liciknya berpura-pura mengundang Ahmad Yani makan pagi 1 Oktober 1965 sebagai gurauan yang tak lucu, karena Sukarno tahu pagi 1 Oktober 1965 Yani sudah dipastikan tewas. Atas dasar perintah siapa dan bagaimana lahirnya kronologi perintah Jenderal-Jenderal itu kemudian ditembaki sampai mati. Bagi saya inilah puncak pengungkapan itu untuk membuka bagian terbesar pintu baja G 30 S. Tapi YS memilih konflik Malaysia-Indonesia dimana Sukarno nyetir PKI dan berusaha dengan oportunis memanfaatkan PKI dataran penelitian ini masih sangat luas dan tidak menyempit ke arah pengungkapan kejadian. Bagi saya faktor PKI hanya sebagian kecil dari rangkaian gerak kerja-kerja misterius yang kemudian tersusun menjadi bentuk penculikan G 30 S dan pembantaian para Jenderal. Bagi sejarawan aliran CIA faktor lolosnya AH Nasution dianggap sebagai faktor utama kegagalan G 30 S dan kebingungan Sukarno sehingga dia menjadi panik. Dimana ujungnya adalah jatuhnya Sukarno. Walaupun peran PKI memang tidak kecil dari ruang sejarah tetapi yang menjadi pelajaran sejarah adalah PKI sendiri mengabaikan politik khas Jawa yaitu memusatkan : Keseimbangan. Politik PKI pada waktu itu adalah Politik ganyang sana, ganyang sini sesuai dengan idealisme-nya namun yang terjadi adalah meluaskan daratan konflik serta membuka peluang gerakan-gerakan asing untuk memancing kelompok yang tidak menyukai PKI dan Bung Karno sebagai orang yang dianggap paling bertanggung jawab melindungi PKI. Menurut bahasa Sudisman dan Rewang terjebak ‘subyektivisme’ yang kemudian di lakukan tindakan separuh sia-sia yaitu pemikiran : Krotik dan Otokritik terhadap keterlibatan pemimpin-pemimpinnya terhadap Gerakan 30 September.
Untuk tulisan lengkapnya saya akan mencoba memulai dengan menjawab tanggapan YS terhadap tulisan saya : Yohannes Sulaiman, Ikranegara dan Dialektika Sukarno. Begini tanggapan saya terhadap tulisan Bung YS :
Sungguh menarik jawaban dari bung Yohanes Sulaiman (YS) ya memang saya akui saya menjelaskannya dengan panjang lebar atau istilah bung YS meluber kemana-mana, tapi sebagai ahli sejarah profesional tentunya anda tidak bisa berkeluh kesah seperti ini. Tugas seorang sejarawan adalah merangkai semua pendapat yang bernilai sejarah berdasarkan basis yang ingin ditelitinya, kalau tidak bernilai sejarah ya jangan dimasukkan. Saya pribadi ingin sekali lahir di Indonesia sejarawan generasi baru yang memang di didik dalam lingkup akademis sejarah yang kemudian tidak ikut-ikutan terjebak dalam arus besar tekanan politik Orde Baru dengan cap ini itu. Selain itu seorang sejarawan harus jujur bahwa dia bekerja hanya untuk mengungkap kebenaran, bukan hasil yang didapat malah mendiskreditkan kelompok atau demi kepentingan ‘siapa yang bayar’ (Insya Allah semoga YS terjauh dari sikap yang demikian). Seorang sejarawan harus bekerja mengungkap fakta kemudian mengambil kesimpulan-kesimpulan yang tidak hanya berhenti pada fakta tapi dia harus bisa menyingkap lebih jauh lagi ke dalam interdisiplin ilmu kalau hanya menghapal dokumen yang sudah ada katakanlah ditangannya tanpa melakukan penafsiran berdasarkan ruang-ruang disiplin ilmu bisa dikhawatirkan akan terjebak pada stigma yang tidak perlu. Cukuplah Orde Baru yang senang ngibulin sejarah, generasi muda sekarang harus lebih berani lagi terus menerus bertanya tentang apa yang terjadi di masa lalu tanpa jebakan stigma ini itu. Untuk kemudian belajar agar jangan masa lampau terulang lagi hal yang menyakitkan. Dari sejarahlah kita menengok lalu berpikir untuk apa kita melangkah ke masa depan.
Saya catat ada beberapa poin dari silang sengketa disini :
Tanggapan YS kepada Ikranegara :
Massa PKI sebagai senjata utama Bung Karno menghadapi Malaysia dan ketakutan BK terhadap besarnya PKI (Sukarno dan PKI)
Otoriterian Bung Karno dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terutama Angkatan Darat.
Pribadi Bung Karno yang penuh gelombang
Kelihaian Sukarno
Tanggapan YS kepada Anton :
Wibawa dokumen CIA
Bukti Sejarawan Menghubungkan Korelasi antara Pertikaian Malaysia terhadap implikasi G 30 S. Dengan kata lain sensitivitas rangkaian peristiwanya.
Penempatan pasukan TNI di Kalimantan Utara
Tertawaan Dialektika historis terhadap penggunaan analisa sejarah.
Pertama-tama sebagai sejarawan anda masih menggunakan kata resmi Orde Baru yaitu : G 30 S/PKI. Dan ini mengherankan karena bagi banyak sejarawan senior Indonesia kasus G 30 S terutama bagian proloog belum selesai perdebatannya. Walaupun di tataran pengajaran formal sekolah dengan tekanan politik yang masih paranoid terus mencantumkan sebutan : PKI di belakang G 30 S dan pakai acara bakar-bakar buku sejarah bahkan dihadiri pejabat resmi (Sebuah sikap a-intelektual yang sangat disayangkan). Padahal keterlibatan PKI sebagai institusi diluar biro chusus jalur Aidit-Syam masih sangat disangsikan. Keterlibatan atau katakanlah informasi adanya gerakan G 30 S bagi barisan pimpinan PKI hanya terbatas pada pimpinan puncak yaitu : DN Aidit, Sudisman, Nyoto dan beberapa anggota yang dilibatkan dalam biro chusus, tapi harus dibuktikan lagi sejauh mana biro chusus ini terlibat dalam rencana penculikan dan pasti ada tingkatan-tingkatan informasi, sesuai dengan struktur hirarkis, tingkat pengetahuan informasi DN Aidit tentu berbeda dengan Sudisman, atau Nyoto. Namun keberadaan DN Aidit di Halim bisa diarahkan bahwa dia memang mengerti atau setidak-tidaknya tahu akan ada gerakan penculikan. Nilai informasi ini sama saja dengan yang diketahui Suharto pada dua hari sebelum penculikan ketika Kol. Latief menyambangi rumah Suharto bersama istrinya (ini menunjukkan hubungan Latif-Suharto sebagai kolega dekat). Saat diberitahu Latif akan ada penangkapan-penangkapan terhadap beberapa orang Jenderal, Pak Harto bilang ia sudah diberi informasi itu oleh orang yang bernama Subagyo. Pertemuan kekeluargaan itu terjadi pada tanggal 28 September 1965. Lalu pertemuan kedua terjadi di rumah sakit saat itu Tommy Suharto tersiram sup panas. Ada dua versi disini, pertama Suharto dalam wawancara dengan Der Spiegel tahun 1970 mengaku melihat dari dekat Kol. Latif mondar mandir. Kedua pada buku otobiografinya yang disusun Dwipayana 1988 ia mengaku melihat dari jauh kol. Latif dan diakuinya bahwa kol. Itu berniat membunuhnya. Tapi Kol. Latif dalam pledoinya tahun 1978 Kol. Abdul Latif mengaku, pada malam 30 September 1965 ia menemui Mayjen Suharto yang sedang menunggui anaknya yang sedang dirawat karena tersiram sup panas. Latif dalam pledoi-nya mengatakan bahwa pada malam itu ia memberi tahu bahwa ia dan kawan-kawannya akan mengambil paksa Jenderal-Jenderal. Suharto kata Latif hanya mengangguk-angguk. Karena diburu waktu Latif menganggap Suharto sudah mengerti dan Suharto menyatakan setuju. Informasi ini merupakan paralel dari ketahuan DN Aidit dengan Suharto. Tapi ada lagi kisah yang juga perlu diselidiki tentang DN Aidit yang sempat bertanya “Saya akan dibawa kemana?” saat beberapa orang menjemput DN Aidit untuk ditempatkan di Halim Perdanakusuma. Tapi melihat proses Biro Chusus dan keterlibatan Syam Kamaruzaman sungguh sulit untuk melepaskan keterpisahan DN Aidit dari gerakan Untung. Tapi yang menjadi pertanyaan besarnya : “Siapakan yang menyuruh membunuhi para Jenderal?” apa itu sudah merupakan bagian dari operasi atau improvisasi ditengah gerakan yang kacau? Kelompok sejarawan yang berpihak pada adanya konspirasi dan intrik internal Angkatan Darat memusatkan perhatian pada kenapa :
Kenapa gerakan ini kacau?
Apa sengaja gerakan ini dirancang untuk gagal?
Siapa pemegang penuh komandonya DN Aidit, Untung, Syam atau Soepardjo?
Kenapa tidak dirancang operasi Plane B bila rencana utama gagal?
Apa tujuan gerakan ini? Kalau ingin dihadapkan ke Bung Karno kenapa dibawa ke sebuah desa di dekat Halim? Bukan ke Istana?
Kenapa Lubang Buaya yang menjadi lokasi?
Kenapa para komandan pasukan benar-benar meremehkan pasukan Kostrad yang ada di Merdeka Barat? Kenapa yang datang untuk mendukung gerakan sedikit? Kenapa pasukan RPKAD yang ada di Tjidjantung ternyata belum berangkat ke front terdepan di Malaysia, karena direncanakan mereka berangkat? Kenapa ini tidak dicek oleh Supardjo yang juga Wakil Kolaga Malaysia? Kenapa bisa seceroboh itu?
Kenapa Dewan Revolusi berani menantang secara terbuka Bung Karno pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965? Dengan tidak memasukkan nama Sukarno sebagai Presiden dalam susunan Dewan Revolusi.
Juga ada keanehan lain bila PKI siap dalam pemberontakan itu kenapa tidak ada kesiapan militer untuk mempertahankan wilayah atau setidak-tidaknya melakukan perlawanan terhadap kelompok yang ingin melibasnya tapi malah seakan-akan menyerahkan lehernya untuk dibunuh.
Pembantaian-pembantaian 1965-1966 sungguh mengerikan dan menjadi ingatan alam bawah sadar manusia Indonesia untuk menutup dalam-dalam dibawah kenangan kolektifnya. Apalagi setelah Orde Baru berkuasa situasi histeris ditambah propaganda yang mengerikan menjadi tekanan psikis bagi orang Indonesia sehingga mereka bergidik bila membayangkan PKI apa CIA atau AS tidak terlibat dalam aksi propaganda ini. Rasanya aneh bila tidak terlibat di buku ACA Dake dedengkot peneliti pro CIA sendiri menyebutkan pada bukunya (Sukarno Files hal. 356) :
Sebarkan kisah-kisah mengenai kesalahan PKI, sifat pengkhianatannya dan brutalnya (usaha prioritas ini mungkin merupakan bantuan yang paling diperlukan yang dapat kita berikan pada Angkatan Darat, jika kita mendapatkan cara tanpa mengidentifikasikannya sebagai usaha AS secara tunggal atau sebagai usaha yang sebagian besar berasal dari AS).
Apakah dengan pencantuman G 30 S/PKI bukan G 30 S memang sdr. YS mengatakan terdakwa utamanya adalah PKI. Posisi anda adalah sebagai sejarawan bukan alat politik dari kelompok tertentu yang dimenangkan situasi saling telikung dan tikam. Jadi netralitas dan objektivitas adalah patokan paling sakral yang tidak bisa dikencingi. Atas dasar apa saudara mencantumkan lagi kata-kata PKI dalam G 30 S, padahal kebenaran sejarahnya masih saling berbantahan? Kenapa kita tidak menulis PRRI/Masyumi misalnya karena keterlibatan Natsir dan Sjafrudin Prawiranegara? Atau PRRI/PSI karena ada unsur Prof. Soemitro Djojohadikusumo? Tapi pencantuman itu tidak terjadi di jaman Bung Karno. Stempel keji sejarah baru terjadi setelah G 30 S berjalan beberapa bulan dan ketika informasi sudah dimonopoli pemenang pertarungan yaitu :kubu Suharto baru ada kata : PKI dalam cantuman G 30 S.
Pencantuman itu membawa akibat paling menakutkan dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia. Kalaupun di satu waktu nanti, andai memang terbukti secara akurat PKI terlibat dalam G 30 S juga tidak bijak mencantumkan kata-kata PKI dibelakang gerakan itu. Karena kata-kata itu telah terbukti di jaman Orde Baru digunakan secara brutal merampas hak hidup bukan saja pelakunya tapi orang yang sama sekali tidak tahu menahu. Untuk itulah diperlukan kearifan sejarah, asal jangan maen ketok dan maen menang sendiri seakan-akan dirinya paling benar lalu meminggirkan kelompok yang ditindas. Ini sama saja juga dengan apa yang dituduhkan pada PKI saat jaya-jayanya yang suka tindas sana tindas sini. Yang kemudian menjadi pertanyaan : Apakah menindas dan menghinakan kelompok yang berbeda memang jadi sifat dasar manusia Indonesia? Pertanyaan yang perlu direnungkan, bila jawabannya cenderung iya...kita memang bangsa yang sakit jiwa. Janganlah kita melahirkan kebrutalan pemikiran sejarah, tapi dari sejarahlah kita harus banyak belajar agar ke depan kita semakin menghargai kemanusiaan bukan mematikan kemanusiaan.
Baiklah sekarang kita satu-satu menjawab tanggapan YS dimana poin-poinnya sudah saya susun.
Sukarno dan Saingan Politik (1945-1949)
Sebelum memasuki relasi Sukarno-PKI banyak manfaatnya bila kita melihat dan memahami cara berpolitik Sukarno. Bagaimana Sukarno menghadapi rivaal-rivaal politiknya. Apakah Sukarno bertipe Machiavellis atau seorang pemimpin bermartabat yang paham ideologinya dan landasan berpikirnya dalam konteks pelaksanaan ideologi-ideologinya. Untuk itu mari kita telaah bagaimana hubungan Sukarno dengan Amir Sjarifudin, Musso dan Tan Malaka. Tiga tokoh ini secara subjektif menempatkan dirinya paralel dengan Bung Karno.
Pada tulisan Yohanes Sulaiman menekankan kekuatan PKI sebagai kekhawatiran utama Bung Karno, secara tersirat dokumen CIA ini malah menggambarkan BK ini malah mirip Stalin curiga kemana-mana. Dan seperti Saddam Hussein bantai siapa saja yang menentang kekuasaannya sambil memanfaatkan secara maksimal situasi politik yang mendukung. Yang sekarang menjadi pertanyaannya adalah apakah kekuasaan Sukarno itu hanya untuk kekuasaan atau memang dia punya ideologi tertentu. Saya jelas akan menjawab Sukarno berjuang karena keyakinan ideologinya. Sukarno adalah seorang Lenin yang punya dasar landasan ideologi jelas, Sukarno adalah seorang Mao yang dasar landasan ideologi jelas, Sukarno adalah seorang Ho Chi Minh yang punya landasan ideologi jelas. Jadi tulisan anda dengan menyebutkan di Kompas berdasarkan dokumentasi CIA itu :
Kekhawatiran Soekarno terlihat dalam dokumen CIA yang baru
dideklasifikasikan setahun lalu, bertanggalkan 13 Januari
1965. Dokumen itu menyebutkan, dalam sebuah percakapan santai dengan para pemimpin politik sayap kanan, Soekarno menyatakan tak bisa menoleransi gerakan anti-PKI karena ia butuh dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia. Ia menyatakan, namanya sudah "jatuh" di dunia internasional dan Indonesia dianggap negara gila karena keputusannya membawa Indonesia keluar dari PBB. Namun, Soekarno menekankan, suatu waktu,giliran PKI akan tiba" dan saat itu gerakan menentang PKI sama
dengan gerakan untuk menentang Soekarno. Soekarno berkata, "Kamu bisa
menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu." Soekarno mengakhiri percakapan itu dengan berkata, "Untukku, Malaysia itu musuh nomor
satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."
Bila YS mempercayai dokumen CIA ini dan menjadikannya bahan sejarah yang paling sahih untuk memulai bekerja dalam menilai bagaimana jalan pikiran Bung Karno maka ini sama saja mengantarkan pembaca ke alam pikiran : Betapa jahatnya Sukarno, ambil untung kemudian buang. Adalah lucu melihat watak Sukarno sedemikian rupa ini sama lucunya dengan berita burung yang mengabarkan Sukarno menyerah dan mohon ampun pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan tahun 1980-an Rosihan Anwar mengangkat isu ini di Kompas yang kemudian tulisan minta ampun BK dibantah oleh Syafrudin Prawiranegara.
Untuk mendalami kupasan singkatan dokumen CIA dengan membandingkan karakter Bung Karno dari pemanfaatan politiknya mari kita diskusikan apakah Sukarno memang sekeji itu dalam memanfaatkan peluang politik untuk itu kita tarik dari mulai tahun 1945 setelah ia dilantik menjadi Presiden RI dan menjadikan posisi Sukarno secara formal paling tinggi dalam struktur hirarkis kepemimpinan Indonesia. Bila menilik dari dokumen CIA kebanggaan YS ada pertanyaan besar : Sukarno ini Machiavelis atau seorang Negarawan agung?
Untuk itu mari kita mulai pada persaingan serius antara Sukarno dan Tokoh-tokoh kiri garis keras (Tan Malaka, Musso dan Amir Sjarifudin). Tak ada tokoh yang setara dengan Sukarno di masa Revolusi Kemerdekaan selain Tan Malaka. Dalam tulisannya YS mengatakan Tan Malaka pernah meminta dukungan Sjahrir untuk mengangkat dirinya sebagai Presiden menggantikan Sukarno. Sjahrir menjawab pendek : Kalau kamu sepuluh persen saja lebih populer dari Bung Karno kita akan mempertimbangkan kamu menjadi Presiden RI. Yohanes Sulaiman mengatakan ini tulisan dari Rosihan Anwar yang mungkin dengan separuh ejekan menganggap saya naif bahwa Rosihan Anwar saya duga sebagai CIA juga – (bukan, Pak Ros adalah jurnalis sejati tapi memang kadang-kadang sikap ikut anginnya juga keterlaluan, dia jurnalis terhormat jauh dari pikiran saya dia CIA, lingkar dalam PSI justru orang-orang yang nasionalis dan bermartabat mungkin hanya Mitro yang main dengan PRRI tapi toh dikemudian hari dia menjauh dari PSI bahkan oleh Pak Ros disindir memiliki d’Artagnan complex, jagoan tua yang selalu ingin jadi nomor satu )- . Pertama, jelas benar itu tulisan Rosihan Anwar, tapi perlu diingat Rosihan Anwar itu mengutip George McTurnan Kahin dalam ‘Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terbitan Sebelas Maret University dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995. hal.185-187 begini tulisan lengkapnya :
Pada awalnya Sjahrir dan kelompoknya tidak mendukung Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan menolak menghadiri rapat pada malam sebelumnya, yang diselenggarakan di rumah Laksamana Maeda. Mereka tidak yakin proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Sukarno dan Hatta dapat membawa rakyat ke puncak revolusi kemerdekaan untuk melawan Jepang. Menurut pendapatnya pemimpin Indonesia harus lebih keras dan menunjukkan sikap anti Jepang agar mendapat simpati dan dukungan Sekutu dalam menyikapi kemerdekaan. Kemudian Sjahrir bersama kelompoknya menyingkir dan menolak tawaran Sukarno untuk memegang jabatan penting dalam kabinet yang akan segera dibentuk
Selama dua minggu Sjahrir bersama para pemimpin pemuda melakukan perjalanan keliling Jawa untuk melihat sikap rakyat pada pemerintah Sukarno-Hatta. Mereka melihat dukungan rakyat sangat kuat sehingga kembali ke Jakarta mereka mengubah sikapnya, dan walaupun sering bersikap kritis dan kerap kali menentang pemerintah, mereka menyatakan dukungannya kepada Sukarno dan Hatta sebagai pemimpin Republik.
Melihat Sjahrir yang pada awalnya menolak mendukung Sukarno dan Hatta, begitu Sjahrir kembali ke Jakarta, Tan Malaka segera menghubunginya. Ia mengusulkan agar kekuatan mereka digabung untuk menggulingkan Sukarno dan Hatta kalau berhasil, Tan Malaka akan menjadi Presiden dan Sjahrir akan memimpin kabinet dan memegang kementerian pertahanan, ekonomi, dalam negeri dan luar negeri. Sementara Soebardjo hanya akan diberi kedudukan yang tidak penting di dalam kabinet.
Tan Malaka merasa yakin bahwa ia akan mendapat dukungan dari kelompok bawah tanah Sukarni, dan kemungkinan besar dari berbagai kesatuan bersenjata yang berada di bawah pengaruh kelompok tersebut. Tan Malaka juga berpendapat kalau Sjahrir bergabung, mereka akan cukup kuat untuk menggulingkan Sukarno. Namun Sjahrir menolak usul tersebut dan menasihati Tan Malaka kalau ingin menyaingi popularitas Sukarno ia harus melakukan perjalanan seperti dirinya.
(G MT Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia hal. 185-187)
Tulisan itu memperlihatkan baik Sjahrir maupun Tan Malaka memang merasa dirinya bersaing dengan Sukarno. Bahkan oleh Rosihan Anwar pula dicatat sesungguhnya Sjahrir telah bertindak jauh berikut catatan Rosihan Anwar tentang Dr.Sudarsono yang merupakan bagian dari jaringan bawah tanah Sutan Sjahrir, berikut kutipannya :
Seorang kurir dikirim dari Jakarta ke Cirebon. Ia membawa teks proklamasi kemerdekaan yang telah disusun oleh Sjahrir dan kawan-kawannya.
Maka tanggal 16 Agustus 1945, pada hakikatnya dokter Sudarsono dan teman-teman sepaham sudah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tidak dikira Sukarno tidak begitu segera mempercayai kekekalahan Jepang. Sukarno mau mengecek dulu pada pembesar Jepang di Gunsenkeibu tentang kebenaran berita tersebut. Oleh karena itu, terjadilah kelambatan. Baru tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Dalam pada itu di Cirebon telah bertindak sehari sebelumnya seorang dokter yang bernama Sudarsono dengan perbuatan politik yang sama, yaitu memproklamasikan kemerdekaan. Soal ini sudah barang tentu kemudian selesai sendiri. Sebab proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta mendapatkan dukungan semua golongan dan lapisan yang mau menegakkan Republik Indonesia.
Bagaimana bunyi teks prokmasi kemerdekaan yang diumumkan oleh Dokter Sudarsono di Cirebon tidak diketahui lagi. Pemberitaan dalam pers tentang peristiwa itu tidak ada. Arsip dokumen ini telah hilang. Ini adalah suatu kasus stranger than fiction, lebih aneh dari fiksi atau rekaan.
(Rosihan Anwar, In Memoriam Mengenang yang wafat, Penerbit Buku Kompas hal. 89-90)
Dalam tulisan Rosihan Anwar tersebut telah terlihat bagaimana Sjahrir yang selama ini dikatakan menolak adanya kemerdekaan yang terburu-buru dan menurut istilah BK ‘ngambek’ tidak mau mengakui proklamasi 1945 ternyata bukan karena dia bersikap hati-hati sebagaimana layaknya Bung Karno dan Hatta ketika mereka berdua sampai saling omong keras masalah proklamasi kemerdekaan dengan Wikana cs. Ternyata memang Sjahrir punya agenda lain. Sebagai politisi yang lihai ia ternyata sadar tidak mudah melawan Bung Karno pada dataran populis. Dan ini yang tidak akan diungkap oleh Rosihan Anwar –pengikut setia Sjahrir- sikap selicin belut Sjahrir. Sjahrir tidak pernah terjebak oleh sikap subjektivisme yang merasa dirinya besar dari Sukarno ini kelebihan beliau dan ini tidak dimiliki pada tiga tokoh lainnya : Amir Sjarifudin, Musso dan Tan Malaka. Ketiga orang itu tewas ditembak bangsa sendiri karena terjebak subyektivisme menganggap Sukarno tak lebih dari anak kecil. Amir adalah seorang tokoh paling berani dalam gerakan bawah tanah di jaman Jepang dia ditangkap oleh Kenpeitai Surabaya. Ia digantung dengan kepala di bawah nyawanya tinggal seujung jari lagi. Tapi beruntung bagi dia Amir berhasil diselamatkan Bung Karno yang pasang badan untuk membebaskan Amir, namun nasib Amir yang mustinya bisa diselamatkan lagi oleh BK ternyata tidak terjadi pada akhir tahun 1948. Bung Karno yang sedang duduk di beranda muka Istana Agung Yogyakarta tidak tahu Amir Sjarifudin cs sedang dibawa ke benteng Vredenburg di depan persis Istana Yogya. AM Hanafi mengaku sempat memohon agar BK menyelamatkan Amir tapi ternyata Amir sudah keburu dibawa tentara Gatot Subroto dan ditembak mati di Ngaliyan, Boyolali.
Kedua, adalah nasib tragis Musso. Musso yang kenal lama dengan Bung Karno sejak era mondok di rumah Pak Tjokro sempat bertemu Sukarno di Istana sepulangnya dari Moskow. Bung Karno bahkan sempat berkelakar “Pak Musso masih jago silat?” namun perkembangan politik pada waktu itu memang condong ke kanan. Hatta yang memimpin kabinet setelah kegagalan Sjahrir dan Amir memutuskan untuk melakukan politik American back up agar perang cepat selesai. Hatta dan Sjahrir memiliki basis kesamaan intelektual. Mereka tidak memandang penting arti perang kemerdekaan yang menggelora dan membakar semangat nasionalis. Terlebih Sjahrir yang dipengaruhi oleh sosialisme demokrat, anti fasisme dan pasifis. Ideologi Sjahrir adalah Sosialisme bergaya Eropa Barat yang sampai saat ini masih memiliki kekuatan signifikan di Eropa Barat terutama Perancis, Inggris, Belanda dan Jerman. Sjahrir sangat membenci fasisme dan ia juga sebagaimana kaum Sosdem sejak jaman Rosa Luxemburg, Stalin adalah musuh besar. Dan perang yang berlarut-larut justru akan menurunkan kabut tujuan kemerdekaan yang lebih rasional. Namun sikap Sjahrir ini ditentang oleh kelompok Tan Malaka. Tan Malaka-Sjahrir adalah dua seteru yang paling keras sepanjang Revolusi Kemerdekaan 1945. Dalam militer Sjahrir yang belakangan di dukung Hatta memiliki perwira cemerlang bernama AH Nasution dan TB Simatupang Di pihak Tan Malaka memiliki perwira-perwira yang berasal dari PETA seperti : Jenderal Sudirman. Penolakan Jenderal Sudirman untuk menyerah pada agresi militer kedua juga menunjukkan kebenciannya pada diplomasi Sjahrir. Begitulah konstelasi politik yang terjadi pada waktu itu. Dalam pertarungan ini kemudian muncullah Musso tiba-tiba. Menjadi orang ketiga perseteruan Tan Malaka – Sjahrir. Sebelum kedatangan Musso sempat mencuat juga nama Suripno yang menjadi tokoh Indonesia dalam pertemuan kongres pemuda Komunis di Moskow, Suripno ini yang mengatur link Moskow-Jogya dengan hasilnya membawa Musso.
Musso akhirnya menyarankan agar seluruh kekuatan sayap kiri bergabung dan merevitalisasi PKI. Nama PKI sendiri memang sudah ditakdirkan jelek dari dulu, dari jamannya Belanda maka tidak ada PKI dalam pembentukan partai-partai sesuai dengan Maklumat November 1945. Para pemimpin PKI selalu bermantelkan Partai Sosialis agar tidak menjadi sasaran tembak politisi yang komunistophobi. Wikana, Amir Sjarifudin, Tan Ling Djie, Abdulmadjid dan Setiadjid mengaku sudah menjadi Komunis sejak tahun 1935. Pengakuan mereka terang-terangan harus dipertanyakan apa karena mereka merasa sudah ada dukungan kekuatan riil dari kelompok bersenjata atau merasa sudah ada link dengan Moskow yang bersedia membantu? Kelompok bersenjata yang pro PKI biasanya bukan karena keyakinan ideologi mereka tapi karena memang mereka merasa dirugikan atas aksi potong kekuatan oleh Hatta-Nasution di tubuh TNI Masyarakat. TNI Masyarakat sendiri merupakan bentukan Amir Sjarifudin saat Amir masih menjabat sebagai Perdana Menteri. Kemudian apakah benar ada dukungan dari Moskwa? Pada tahun-tahun 1945-1949 Stalin lebih disibukkan pada pemulihan Sovyet Uni karena kehancuran saat melawan Hitler dan sedang memperluas pengaruh di Eropa Timur. Stalin agak kurang peduli dengan perkembangan pengaruh Komunisme-Stalinis di Asia. Sikap Stalin sama saja dengan apa yang diomongkannya pada Tan Malaka ketika mendengar ada rencana pemberontakan PKI di Hindia Belanda tahun 1926/1927 kata-kata singkat Stalin : “Apa kamu sudah gila?”
Tan Malaka sendiri akhirnya bubar jalan untuk mendukung Komunis Moskow, dia merubah haluan politiknya menjadi Komunis Nasionalis dan pikiran-pikirannya sangat berpengaruh di kalangan pemuda yang punya pengaruh pada Angkatan Bersenjata baik Chaerul Saleh, Dokter Muwardi maupun Adam Malik. Sementara Musso yang sudah lama tidak tinggal di Indonesia masih menganggap Sukarno cuman anak ingusan yang indekos di rumah Pak Tjokro. Musso tidak paham bangunan karir Sukarno sudah dipondasi pada tahun 1927. Ini artinya sejak Musso lari ke luar negeri karena dikejar Intel Hindia Belanda. Sementara Sukarno mulai menyusun karirnya dan jauh dikenal bangsa Indonesia dibandingkan Musso. Sukarno sejak tahun 1928 sampai kedatangan Jepang adalah politisi paling populer. Anak-anak kecil pun tahu tentang Sukarno dan menjadi pahlawan mereka. Bila nama orang sudah merasuk ke pikiran anak-akan kecil dan dijadikan idola maka nama itu sudah meraih puncak popularitasnya. Begitu juga Sukarno di tahun 20-an. Di titik inilah kemudian Musso melakukan blundernya dan menyerang Sukarno di depan massa. Kontan ia langsung ditinggalkan banyak dukungan yang tadinya memihak pada dirinya. Karena dalam pandangan rakyat Indonesia yang masih kuat sikap patriakhinya dan tidak mampu membedakan mana negara mana rakyat, maka figur Sukarno adalah seperti Raja Jawa. Negara adalah dirinya. Menyerang Sukarno berarti menyerang negara. Inilah pusat dari kesalahan Musso dalam menghadapi Sukarmo. Seandainya ia bisa menahan diri dan terus menjalin kerjasama dengan Sukarno maka ada kemungkinan ia bisa mengurung Hatta-Nasution namun Musso terlalu menganggap kecil Sukarno. Lalu bagaimana dengan Sovyet kenapa orang yang pro ke mereka. Ketika mereka dibantai tidak ada pembelaan Moskow sama sekali, atau memang kabar dukungan Moskow ke Indonesia adalah imajinasi liar baik dari Suripno ataupun orang yang berseberangan dengannya Hatta. Perlu diingat konteks Peristiwa Madiun di kepala Hatta-Nasution adalah berdirinya negara Sovyet di Indonesia. Sementara kejadian sebenarnya hanyalah pergeseran jabatan petinggi walikota saja dan ada pengaruh juga dari kasus geger Solo dimana pasukan Siliwangi menembak Kolonel Sutarto. Musso yang telah menggelar pertemuan kekuatan politik membentuk FDR dan mengkritik peranan PKI sekaligus merevitalisasinya lewat sebuah Resolusi : Djalan Baroe Repoeblik Indonesia”. Namun gerakan pasukan Siliwangi lebih cepat untuk menghantam Musso apalagi setelah blunder Musso pasukan yang tadinya bersimpati memilih bersikap netral, walaupun diam-diam mereka juga banyak menampung para perwira yang dimusuhi pasukan Hatta, seperti : Kapten Abdul Latif yang kelak banyak berperan dalam G 30 S ditampung oleh Brigade Suharto di Yogya atau seperti Mayor CPM S. Parman (yang kemudian menjadi Mayjen dan diculik oleh gerombolan G 30 S) atau Letnan Sudharmono (kelak Sudharmono ini menjadi wapres tapi sebelumnya pencalonannya ditolak oleh Kelompok LB Moerdani karena ditengarai Sudharmono terlibat peristiwa Madiun). Dalam pada itu Musso tertangkap di Ponorogo sedang menyamar menjadi kusir Delman dan ditembak mati. Sementara pemimpin lain ditangkap tentara dan dibawa ke Yogya semua pemimpin itu ditembak mati di Ngaliyan Boyolali pada tanggal 19 Desember di Ngaliyan, Boyolali.
Sekarang mari kita bicara Tan Malaka yang menurut saya merupakan saingan paling paralel dengan Bung Karno berbeda dengan Hatta dan Sjahrir yang memilih sebagai bagian dari subordinat dari Sukarno sepanjang 1945-1949 daripada Tan Malaka yang tidak pernah bisa menjadi bawahan Bung Karno. Agaknya kurang sreg bila kita tidak mengetahui Tan Malaka dari sudut pandang ‘konsepsi kebangsaan’ lalu kita bandingkan antara pemikiran Tan Malaka dengan Sukarno dari sinilah kemudian bisa diambil garis lurus adanya PKI-Aidit 1954 dimana orang tidak pernah mengetahuinya. Bagaimanapun secara kasat mata orang-orang Tan Malaka berbeda dengan orang-orang Aidit pada kurun waktu sepuluh tahun (1955-1965) bahkan bertentangan tapi pada hakikatnya revitalisasi PKI 1954 lebih mirip garis pemikiran Tan Malaka ketimbang doktrin Musso yang tertuang dalam resolusi “Djalan Baroe Revolusi Indonesia” perjuangan Komunisme Aidit terlepas dari tudingan kedok revolusi Bung Karno merupakan sebuah garis lurus terhadap apa yang disebut “Kemerdekaan 100%” pertemuan antara pemikiran DN Aidit dengan ambisi Sukarno sesungguhnya sudah tertuang dari sikap revolusioner Tan Malaka dalam menjalankan “konsepsi perjuangan 100% Merdeka” dimana isinya lebih keras daripada konsepsi Sjahrir dalam buku tipis “perdjoangan kita”. Arti penting Tan Malaka dalam perjuangan Indonesia sesungguhnya merupakan periode singkat tapi esensinya adalah kenangan kuat yang menggores dalam Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Memang ada dua kubu dalam Revolusi itu. Pertama kubu elitis yang berada pada jalur Hatta-Sjahrir-Nasution dan kubu populis Tan Malaka-Amir Sjarifudin-Sudirman. Namun kubu populis terpecah jadi dua yaitu : nasionalis Komunis dan Sovyet Komunis dimana Amir-Musso memilih jalur Sovyet Komunis sembari menunggu bantuan dari Sovyet Uni. Sukarno dalam hal ini berdiri di tengah-tengah. Dan itu memang watak dasar Sukarno. Di Kanan Berdiri Hatta-Sjahrir-Nasution dan di kiri kubu populis. Jadi tripancang politik Sukarno sudah dimulai sejak 1945-1949.
Tan Malaka sendiri memulai karir politiknya tahun 1919 dan selama enam tahun bersekolah di Belanda. Sewaktu muda ia menekuni Marxisme dan terutama ‘filsafat Alamiah’ perlu diketahui di bagian Eropa Barat yang berkembang pada tahun-tahun 1901-1930 adalah aliran positivisme sementara filsafat alamiah yang mengedepankan Ilmu Pengetahuan merupakan studi yang sudah klasik ciri khas abad 19. Tidak diketahui apakah Tan Malaka mengenal teori-teori yang juga berkembang di Eropa tentang pengaruh filsafat positivisme atau idealisme neo hegelian yang kemudian bermunculan di Inggris setelah perkembangannya di Jerman terhenti dan apakah Tan Malaka juga mengenal Metafisika dalam pengertiannya yang lebih baru dimana mulai muncul ahli-ahli filsafat yang membongkar realitas menuju alam transendensi-nya. Karena jika kita mempelajari tulisan-tulisan Tan Malaka jujur saja terlalu khas abad 19. Tapi yang jelas tulisan Tan Malaka memiliki nilai lebih pada pembongkaran tahyul dengan menggunakan alat rasionalitas walaupun terkadang menjadi pemujaan yang berlebihan untuk Ilmu Pengetahuan. Berbeda dengan pemikiran-pemikirannya yang ketinggalan jaman konsepsi perjuangan Tan Malaka justru paling maju di depan, konsep Kemerdekaan 100% ini yang kemudian menjadi alat koreksi pada tahun-tahun demokrasi terpimpin 1960-1965.
Bahkan dibandingkan dengan Sukarno sekalipun. Pemikiran-pemikiran Sukarno sendiri atau katakanlah filsafat Sukarno sangat maju dalam menelaah konsep-konsep Pancasila sebagai puncak yang menginjak pada dua bahu Marxisme di kiri dan Deklarasi Independen di kanan. Namun sayangnya konsepsi perjuangan Sukarno lebih pada sikap kompromi dan tidak jarang meminjam tahyul-tahyul politik seperti pembiarannya pada kepercayaan bahwa di Ratu Adil Jawa. Sulit melepaskan cara berpikir dan bertindak Sukarno dari alam pikiran Jawa. Sukarno sendiri berperan sebagai dalang yang mahir bicara namun kadang-kadang halusinasinya kuat sehingga membuat orang Jawa yang lebih mengenal alam pikiran wayang kerap terpukau. Sukarno adalah imajinasi sementara Tan Malaka adalah rasionalitas disini titik perbedaannya.
Lalu bagaimana Tan Malaka mempengaruhi perjuangan kemerdekaan Indonesia?. Sejauh ini belum ada sejarawan secara detil melakukan studi tentang pengaruh ideologi Tan Malaka di kalangan tentara. Padahal dari kisah-kisah sejarah peran Tan Malaka justru yang paling menonjol selama 1945-1949 bersama peran Hatta-Sjahrir. Tan Malaka adalah tokoh utama oposisi yang selalu menolak perjanjian-perjanjian diplomat Indonesia dengan Belanda. Ia selalu berada di belakang layar untuk membangun penolakan politik kompromi. Faktor inilah yang kemudian Jenderal Sudirman bersimpati pada Tan Malaka. Musuh terbesar Tan Malaka adalah Sjahrir namun Sjahrir tidak pernah menanggapi serius Tan Malaka, bahkan Sjahrir pernah menawari Tan Malaka jabatan Perdana Menteri tapi ditolak Tan Malaka. Yang menjadi pertanyaan sekarang kenapa justru Tan Malaka mendukung Hatta untuk menyerang Amir-Musso. Apa setelah Hatta menang Tan Malaka tinggal menghadapi Hatta? Disini letak pertanyaan utama tentan taktik membingungkan Tan Malaka. Namun persaingan dengan BK adalah suatu yang jelas. Tan Malaka sangat disegani BK.
Hal yang paling mengesankan adalah ketika Tan Malaka dimintai BK sebagai pewaris pemimpin RI bila Sukarno-Hatta mengalami sesuatu yang dapat menghalangi jalannya pemerintahan RI. Suatu siang yang panas awal bulan Oktober 1945 Tan Malaka diundang BK untuk bicara panjang lebar tentang masa depan Indonesia. Saat itu Achmad Subardjo menunggu diluar. Rupanya Sukarno sangat terkesan dengan alur pemikiran Tan Malaka untuk itu ia meminta Tan Malaka siap untuk menjadi ahli waris kepemimpinan RI bila Sukarno-Hatta berhalangan. Ahmad Subardjo di panggil ke dalam dan dimintai untuk memanggil Hatta agar ia juga menyetujui penandatanganan ahli waris itu. Namun Hatta yang cerdik justru melihat dari sisi lain, warisan ini akan mengundang konflik terselubung di kemudian hari untuk itu dengan penolakan halus Tan Malaka memveto. Hatta meminta jangan hanya Tan Malaka tapi juga Wongsonegoro, Iwa Kusumasumantri dan Sjahrir. Apakah kelak kemudian hari surat ini yang membawa celaka Tan Malaka. Lalu kenapa Tan Malaka tidak merebut pemerintahan pada saat Sukarno-Hatta-Sjahrir ditangkap?
Tan Malaka dieksekusi di Kediri pada tahun 1949 oleh pasukan Jenderal Sungkono. Keputusan eksekusi Tan Malaka itu lebih disebabkan karena agar jangan sampai Tan Malaka mengobarkan perlawanan semesta untuk menolak perundingan-perundingan yang mengarah perundingan puncak yaitu KMB 1949. Ataukah lebih dari sekedar kekhawatiran itu ialah : Pengaruh besar Tan Malaka di militer pada faksi “The Nasution’s Outsider”? Dimana di dalamnya bergabung Jenderal Sudirman dan beberapa perwira TNI Jawa Tengah dan Timur yang berlatar belakang PETA.
Yang menjadi pertanyaan juga selain alasan diatas adalah siapa yang perintah eksekusi Amir Sjarifudin, Musso dan Tan Malaka. Bila Sukarno mana suratnya? Hal ini membuktikan bahwa pada tahun 1945-1949 Sukarno sama sekali tidak memiliki kekuasaan riil politik, semua dipegang Sjahrir dan Hatta dalam pelaksanaan perintah sehari-hari jadi persaingan Sukarno dan Tan Malaka serta kelompok garis keras merupakan penajaman dari gerakan Hatta-Sjahrir. Hingga sampai disini tidak tepat bila Sukarno membunuh kawan seiringan seperjalanan lalu apakah Sukarno kemudian berubah pada tahun 1959-1965? Untuk itu mari kita buka lagi situasi politik Internasional.
Perubahan Watak Imperialisme
Amerika Serikat memang lebih agresif daripada Stalin. Seperti yang saya ceritakan pada tulisan saya yang terdahulu dalam menanggapi Yohanes Sulaiman, AS saat memasuki perang dunia kedua sudah memikirkan akan memihak mana : Jerman atau Inggris-Sovyet dalam menghadapi tentara Nazi Jerman. Coba saudara YS cari dokumen-dokumen CIA di Universitas anda, apakah memang ada delegasi-delegasi Hitler mengunjungi Amerika untuk membujuk Washington untuk memihak mereka atau setidaknya tidak ikut campur. Tapi takdir sejarah berkata :Amerika harus memihak Inggris-Sovyet. Dengan begini Amerika mengambil langkah dua tahap Hajar Hitler, lalu kurung Stalin. Beruntung bagi AS negara mereka tidak hancur dan perekonomian pulih akibat full employment dan full production buat membiayai perang. Depresi ekonomi 1929 tidak terlihat lagi. Konsentrasi mereka sekarang adalah menggantikan hegemoni Inggris di seluruh bekas jajahannya. Termasuk ikut campur pada Vietnam dan Indonesia dua negara terberani di Asia yang merebut kemerdekaan dengan perang bersenjata. Di Indonesia konsentrasi Amerika adalah agar jangan ada kekuatan Komunis yang tumbuh signifikan. Disini Amerika lebih rasional ketimbang Belanda yang mencap semua pemimpin Indonesia komunis. Amerika Serikat melihat Sukarno adalah Nasionalis-tradisionalis dan Hatta-Sjahrir sebagai Nasionalis-Modernis. Kedua kubu ini tidak masalah bagi Amerika. Dari sini saja sudah jelas bahwa Sukarno sama sekali bukan pengekor Komunisme Stalin. Sukarno sama seperti tokoh-tokoh pergerakan lainnya terpesona dengan Marxisme, namun dalam hal Sosialisme pandangan Sukarno lebih cenderung pada bentuk Nasionalisme ini adalah pengaruh HOS Tjokroaminoto. Sementara Sjahrir lebih bersifat Internasionalisme bukan dalam pandangan Globalisasi baik sistem Komunisme maupun Kapitalisme. Sjahrir adalah Sosialis Humanis pemikiran-pemikirannya lebih cenderung dekat pada alam pemikiran Marx Muda ketimbang Revolusioner gaya Moskow. Jadi bila ditarik garis dari tahun 1948 sudah terlihat jelas bahwa Sukarno sama sekali bukan komunis dan menjadikan bandingan Sukarno komunis atau tidak pada peristiwa belakangan yang menguatnya PKI Aidit adalah sama saja memeriksa ekor daripada kepala apalagi memperkuat dengan dokumen CIA yang bergaya rahasia hanya sekedar ingin membuktikan Sukarno PKI atau tidak. Yang jadi pertanyaan justru adalah Apakah Sukarno dibawah pengaruh Aidit atau Aidit dibawah pengaruh Sukarno, itu yang penting. Jadi disini kita sudah keluar dari himpunan bahwa Sukarno adalah bagian dari PKI. Dalam struktur politik Sukarno diatas PKI massa PKI-lah yang kemudian banyak dibantai pada peristiwa G 30 S sesungguhnya adalah kaum Nasionalis yang membela Sukarno bukan karena kesadaran ideologi Komunisme-nya, apalah mereka tahu dengan pemikiran Karl Marx. Ingat yang naik panggung politik adalah Sukarno bukan Aidit, bukan Nyoto bukan Peris Perdede. Jadi secara alamiah pikiran-pikiran Sukarno jauh merasuk ke dalam ketimbang pemikiran-pemikiran Aidit. Orang PKI lebih kenal tulisan Dibawah Bendera Revolusi daripada Masyarakat Indonesia Revolusi Indonesia (MIRI) tulisan DN Aidit. Coba sebutkan dari kosa kata Aidit yang terkenal, paling-paling kosa kata yang mempertentangkan Aidit dengan Pancasila dimana Aidit keselip lidah terhadap omongan DN Aidit yang kemudian dimuat oleh harian “Revolusioner” yang menyebutkan : “Pancasila hanya bermanfaat sampai Revolusi selesai” atau pidato arogan Aidit di depan massa CGMI dan Onderbouw PKI lainnya yang dihadiri Sukarno dan J. Leimena : “Kalau tidak berani bubarkan PKI silahkan pakai sarung saja!”
Jadi bila menarik Sukarno bukan PKI dengan susah payah pakai dokumen CIA yang didesklasifikasikan ini sama saja Tautologi pengertian sejarah : Sebuah ulangan yang tidak punya makna.
Berulang kali dalam tulisan-tulisan saya (dalam konteks Imperialisme), saya menyebut tentang Konferensi New Hampshire, Bretton Woods 1944 karena disanalah awal mulai desain tatanan dunia baru dimana Amerika Serikat berperan sebagai otak dari Imperialisme. The New Orde of The Worlds dimana kemudian Bung Karno melawan dengan konsepsi “To build the World anew” dalam pidatonya di PBB. Pidato Bung Karno itu merupakan jawaban terhadap konspirasi Bretton Woods tapi dunia tidak pernah memperhatikan ini. Bahkan yang amat disayangkan pemikiran-pemikiran Bung Karno sering di dangkalkan menjadi bagian dari dunia Komunis tapi jauh lebih dangkal lagi melihat Sukarno hanya memainkan PKI sebagai badut politiknya. Karena PKI dan Sukarno tidak bisa dilepaskan dari kesatuan konsepsi masyarakat Indonesia baru. Melihat PKI hanya pion catur Bung Karno dan Malaysia hanya satu-satunya musuh Sukarno sama saja mendangkalkan kronika sejarah Indonesia. Watak Imperialisme baru dan perubahan-perubahan konstanta politik yang revolusioner membuat Sukarno merasa perlu melakukan reka ulang terhadap Indonesia dengan memasukkan unsur-unsur revolusioner dalam diri bangsa Indonesia. Tujuan utama Revolusi Indonesia (1960-1965) adalah menciptakan manusia Indonesia yang :
Memiliki kepribadian Indonesia
Kuat dalam perjuangan
Cerdas dan Berpendidikan
Bersatu
Karakter-karakter dasar Indonesia inilah yang kemudian tercermin dalam jargon-jargon politik Sukarno dalam pembentukan Revolusionernya.
Kenapa keempat karakter itu yang kemudian menjadi bahan-bahan bangunan untuk membuat benteng Nasionalisme dan antisipasi terhadap serbuan Nasionalisme? Apa bentuk imperialisme asing itu dalam kapitalisme tahap lanjut?
Penguasaan Pasar Produk Final
Tidak ada lagi sistem politik koloni vulgar khas abad 19.
Globalisasi budaya populer sebagai pusat akumulasi modal
Penguasaan total terhadap wilayah-wilayah yang memiliki sumber energi dan terletak di wilayah strategis (di Timur Tengah penempatan Israel sebagai negara boneka Amerika, di Amerika dengan menduduki Panama dan di Afrika Utara dengan menguasai elite-elite politik Mesir, di Asia Tenggara menggunakan tangan Singapura-Malaysia-Australia)
Menciptakan desain raksasa untuk sistem keuangan Internasional dimana negara-negara terkebelakang tapi kaya sumber daya alam dibuat tergantung kelangsungan hidupnya lewat sistem keuangan eko-dependensia. Istilah ini ekonomi dependensia dijelaskan oleh Arif Budiman seiring dengan berkembangnya jaringan intelektual New Left semenjak kerusuhan Paris 1968 dan kedatangan Prof. Sidney Hook ke Jakarta pada awal 1970-an.
Pembentukan negara-negara Junta Militer untuk menandingi Komunisme Stalinis dan Komunisme Maois. Junta Militer adalah sebuah ideologi dengan warna fasisme berarti ini merupakan penajaman dari nasionalisme fasisme dengan warna berbeda dari Hitler. Junta Militer bentukan Imperialisme bukanlah nasionalis sejati macam orang-orang Jerman dengan Nazi-nya tapi merupakan agen penjual negara. Selain di Indonesia terjadi juga keadaan yang mirip di : Filipina, Korea Selatan, Chile, dan Mexico.
Mulai meliriknya kekuatan politik agama dalam hal ini Masyumi ke blok Amerika Serikat, bahkan dibawah Sukiman Wirjosandjojo Indonesia sempat dijadikan orbit Amerika di Asia Tenggara tapi kemudian Sukiman jatuh, Sementara kekuatan Soska, Sosialisme Kanan juga terbuka dengan Amerika Serikat.
Diperlukan kelompok radikal-pelopor untuk bersikap disiplin dan keras terhadap infiltrasi Imperialisme gaya baru.
Dari delapan pokok soal ini kita bisa lebih jauh lagi mendeteksi hubungan Sukarno-PKI
Sukarno dan PKI
Hubungan Sukarno dan PKI bila dilihat sepintas adalah hubungan naik turun, namun bila kita melihatnya secara detil hubungan Sukarno dan PKI adalah hubungan syarat-menyarat, hubungan timbal balik dan hubungan negosiasi untuk memasukkan Komunisme sebagai realitas ke dalam bingkai Nasionalisme. Pemikiran politik Sukarno yang paling dominan hanya berpusat pada satu hal : Persatuan Indonesia. Hal ini yang bisa dijadikan landasan dalam menilai hubungan Sukarno dengan rivaal-rivaal politiknya ataupun koleganya. Apakah kemudian PKI setelah revitalisasi 1954 menjadi sebuah bagian dari konspirasi Sukarno untuk menggusur partai-partai yang terus menerus menjadi lawan politiknya? Ataukah memang PKI beredar pada orbit pemikiran Sukarno?
PKI 1951-1965 Komunisme dalam Orbit Sukarno
Inti bentrok Sukarno dengan Amir-Musso adalah konsepsi negara Sovyet di Madiun. Walaupun ini banyak dibantah bahwa ‘berita Madiun 1948’ hanyalah masalah pergantian pejabat internal walikota dan beberapa militer dari unsur TNI Masyarakat melakukan pelucutan senjata terhadap kelompok pro Hatta dimana geger Solo menjadi titik pangkalnya namun realita yang terjadi dimana Sukarno mendengar bahwa di Madiun telah berdiri negara Sovyet. Jelas disini Sukarno apapun akan membela keutuhan Republik Indonesia. Yang menjadi pertanyaan lagi apakah dalam ‘berita Madiun’ itu terdapat unsur permainan intelijen CIA? Ini yang belum pernah dibuktikan. Namun yang pasti sebelum terjadinya peristiwa Madiun berlansung Konferensi Rahasia Sarangan 21 Juli 1948 dimana Hatta, Natsir, Sukiman Wirjosandjojo dan Kepala Polisi RI Sukamto bertemu dengan Gerald Hopkins dan Merle Cochran sebagai utusan khusus Amerika serta delegasi Amerika untuk urusan penyelesaian masalah sengketan Indonesia-Belanda. Awalnya Sukarno ikut dari pertemuan ini kemudian tidak sampai selesai Sukarno keluar. Konferensi ini sangat rahasia, lalu siapa yang mengetahuinya : Sjam Kamaruzaman! Ini membuktikan Sjam adalah polisi Intel dari pihak kanan. Karena konferensi itu membahas penghancuran komunisme di Indonesia dengan bantuan Amerika Serikat beserta konsesi-konsesinya. Konferensi ini tidak pernah dibahas sejarawan manapun baik Indonesia maupun luar negeri berikut dengan dokumen-dokumennya. Kalau ini diungkap maka akan ada pertanyaan KMB 1949 itu kemenangan politik RI total atas Belanda atau perjanjian kontrak konsesi terselubung antara Amerika Serikat-Republik Indonesia? Riset terhadap konferensi Sarangan jauh lebih penting daripada hanya mengungkap korelasi konflik Malaysia-Indonesia dengan hubungan Sukarno-PKI karena hampir semua sejarawan tahu bahwa G 30 S memang berkaitan erat dengan masalah konflik ini selain dua masalah penting lainnya. Dua masalah itu akan saya bahas belakangan. Sekarang kita masuk ke dalam pembentukan PKI sebagai Orbit Sukarno. Untuk membuktikan bahwa hubungan Sukarno-PKI bukan hubungan pemanfaatan picik Sukarno seperti yang saudara Yohanes Sulaiman tulis dalam artikel Kompas.Hubungan Sukarno-PKI lebih tepatnya merupakan hubungan Sukarno untuk membentuk konsepsi Indonesia Raya-nya dalam alam pikiran Sukarno.
Ada dua orang penting di Indonesia yang telah memikirkan konsep Indonesia Raya. Sukarno dan Tan Malaka. Perbedaannya adalah Sukarno membangun konsepsi Indonesia Raya dengan mencoba membentuk sejarah masyarakat ia berusaha membangun realitas kemerdekaan berikut pola-pola masyarakatnya berdasarkan Sosialisme. Sementara Tan Malaka merumuskan konsepsi Indonesia Raya berlandaskan Manusia-nya dengan prinsip Madilog. Sukarno sama sekali tidak pernah menyinggung secara detail konsepsi Manusia Indonesia ke depan, tapi Tan Malaka sudah. Begitu juga sebaliknya Tan Malaka tidak pernah secara detail mengenalkan konsepsi susunan masyarakat setelah Indonesia merdeka yang ada korelasinya hanyalah konsep kemerdekaan 100% tapi itu hanya masalah jangka pendek pada pertempuran Belanda-Indonesia bukan pembentukan hukum sejarah masyarakat tapi Tan Malaka adalah orang paling berjasa dalam mengenalkan mimpi manusia Indonesia masa depan. Di bawah level dua orang itu baru kita bisa sebutkan : Sjahrir, Hatta dan Soedjatmoko namun pengaruh ketiga orang itu kurang menggema dibandingkan Sukarno dan Tan Malaka. Kemudian Tan Malaka hilang, pengganti Tan Malaka dari kubu yang dekat dengan Tan Malaka atau dari Partai Murba sama sekali tidak ada yang sekelas dengan Tan Malaka. Ini berarti Sukarno berjalan sendirian di dekade 1950-an. Untuk memahami bagaimana dekade 1950-an secara politik bekerja ada tiga pokok soal yang musti diperhatikan :
Dominasi politik kanan dan kebangkrutan politik kanan
Kerja Politik PKI di luar formalitas kabinet
Pematangan konsep politik Sukarno menuju perjuangan akhir
Dominasi politik kanan
Pada tahun-tahun awal 1950 warna kanan sangat terasa dalam politik Indonesia hal ini merupakan KMB effect. Adalah orang-orang Sjahrir-Natsir-Sukiman-Ali Sastroamidjojo yang begitu kental ke kanan. Walaupun dalam spektrum politik yang berbeda semisal Sjahrir cs yang europeesch (sosialisme barat), Natsir yang Islam- Nasionalis namun condong ke Eropa, Sukiman Wirjosandjojo bisa dikatakan Amerikanis tulen, dan Ali Sastro yang bimbang warna Ali juga kental dengan gaya politik Hardi dan Suwirjo yang birokratis dan kepriyayi-priyayian. Kirinya Ali Sastro baru terbentuk setelah matangnya konsep Nasakom (1962-1965) dan menjadi benteng terakhir pembelaan PNI pada Bung Karno yang tersudut dalam pertarungan head to head melawan Sukarno pada babak-babak akhir adegan kudeta merayap.
Yang perlu diperhatikan adalah persaingan Natsir-Sukiman. Jika kita bicara politik parlementer kita hanya bisa memfokuskan pada dua partai PNI dan Masyumi. Namun dari dua partai itu justru Masyumi yang memiliki dinamika kepemimpinan internal yang sampai berpengaruh di parlemen. Persaingan yang tajam antara Natsir-Sukiman dan tidak berdayanya Natsir berhadapan dengan Sukiman menghasilkan formatur kabinet Sukiman dengan Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo pada tahun 1951. Berbeda dengan Natsir yang agak moderat dalam pandangan politiknya, Sukiman jelas dalam melakukan realitas politik untuk menghancurkan kelompok kiri (ingat waktu itu PKI sudah hancur akibat ‘Berita Madiun 1948’) namun berusaha bangkit lewat Comitee Central yang dibuat dengan sedikit hati-hati dibawah Tan Ling Djie.
Dalam kabinet Sukiman inilah yang kepicikan untuk menghancurkan kelompok yang dianggapnya kiri terjadi. Menlu Soebardjo memutuskan untuk mendekati Amerika Serikat. Dan PM Sukiman menawarkan pada Amerika Serikat penangkapan-penangkapan kelompok kiri sebagai bukti bahwa Indonesia setia pada garis McCarthy, garis komunistophobi. Penangkapan Sukiman ini bisa disebut sebagai ‘Red Drive Proposal II’ dimana yang pertama adalah : Konferensi Rahasia Sarangan’. Garis politik ‘Asal Kiri Tangkap’ mulai dari kirinya Sjahrir sampai kirinya Tjugito(Fraksi PKI.
Razia Sukiman ini main tangkap dengan cap asal kiri, ini persis apa yang dilakukan rezim Suharto pada 1965-1967 dan Orde Baru 1967-1998. Dimana seluruh anasir yang digolongkan kiri ditangkapi. Ulah Sukiman ini justru ditentang oleh Natsir melalui harian ‘Abadi’ sebuah koran Masyumi yang pro Natsir dan sering dijadikan corong Natsir dalam mensosialisasikan ide-ide politiknya. Dari pemikiran ini kecuali ide-ide Natsir yang terjebak dalam konsepsi Negara Islam karena dorongan situasional pada tahun 1955-1957 menunjukkan bahwa Natsir adalah politisi Islam-Nasionalis pertama yang mendukung politik bebas aktif jauh dari campur tangan Amerika. Namun Natsir kemudian terseret dalam kasus PRRI. Dalam tulisan Natsir tersebut menyebutkan bahwa Duta Besar Amerika Serikat Allen Griffin melalui berbagai nota-nota rahasia yang dikirim ke Washington (Silahkan saudara YS cari dokumennya) mendesak agar Indonesia dimasukkan ke dalam program ‘Mutual Security Act’. MSA Affair ini terjadi lewat pintu Menlu Soebardjo hal ini berhasil dibongkar lewat ‘rumor Natsir’ lalu para anggota kabinet yang marah mempertanyakan kebenaran adanya perjanjian rahasia AS-Indonesia dalam proyek condong kanan dengan bahasa khas AS ‘Membantu dunia bebas’. Para anggota kabinet mempertanyakan apa yang dimaksud dengan ‘dunia bebas’? Apakah itu berarti memihak pada politik yang berdaulat atau berpihak pada AS. Adalah Sewaka Menteri Pertahanan dari unsur Partai Indonesia Raya yang mendesak agar Soebardjo mengundurkan diri. Dalam hal ini perlu diperhatikan anomali politik Soebardjo sebagai orang yang pernah dekat dengan Tan Malaka dan mengenalkan Tan Malaka dari kelompok gerakan muda yang baru tumbuh kemudian terjebak pada politik memalukan dengan melakukan aksi sepihak untuk ‘menjual’ politik Indonesia pada AS. Soerbardjo memang gagal bahkan Soekiman mengundurkan diri setelah dilipatgandakan serangannya oleh KH Wahid Hasjim lewat pertanyaan urusan Haji. Soekiman juga dinilai gagal dalam perundingan-perundingan dengan Belanda. Hal yang perlu diketahui adalah kegagalan Soekiman karena AS masih memihak dan mempercayai Belanda sebagai benteng anti komunis. Adanya Belanda di Irian menjadi ‘Politics Hedging’ terhadap antisipasi kegagalan Hatta atau kaum kanan Indonesia terhadap kekuatan Komunisme. Barulah ketika Belanda dinilai oleh AS juga tidak serius dalam politik perang di Asia Tenggara. (Coba anda cek dalam dokumen-dokumen di kampus anda tentang dinamika politik Belanda pada tahun 1960-an yang mulai berusaha menjadi negara-negara Skandinavia yaitu :menarik diri dari konflik Internasional dan berkonsentrasi untuk kemakmuran dalam negeri. Watak Imperialisme Belanda sudah habis hal ini karena menguatnya barisan Sosialisme dalam tubuh Parlemen Belanda) Amerika Serikat membutuhkan komprador baru yang realisasinya adalah penyusupan-penyusupan di tubuh Militer. Dari sinilah kita bisa menganalisa ayuh mengayuh bandul politik Amerika. Dimana pusat ayuhannya ada pada titik kekuatan Komunisme.
Tumbuhnya PKI Aidit
Untuk memahami PKI (1951-1965) perlu dianatomi pemimpinnya yaitu : DN Aidit, Njoto, MH Lukman dan Soedisman. Sampai saat ini kita belum bisa membedah secara detil pemikiran-pemikiran mereka karena keterbatasan referensi akibat penjara politik Orde Baru tapi secara garis besar bisa dilihat wacana-wacana mereka dari apa yang sudah sering kita lihat pada referensi yang agak terbuka pasca Reformasi 1998.
DN Aidit
Dipa Nusantara Aidit adalah seorang otodidak besar politik Indonesia yang tidak pernah tertandingi oleh siapapun sampai saat ini dalam membesarkan partainya. Tidak terkecuali Sukarno. Kelemahan Sukarno dibanding Aidit adalah Bung Karno tidak pernah berpikir dalam lingkup konsentrasi kepartaian yang kuat. Bung Karno sangat lemah dalam melakukan organisasi yang solid. Ini terbukti dengan begitu saja pecah partai PNI setelah penangkapannya di tahun 1928 dan kehadiran Hatta yang berantem dengan Mr. Sartono dimana Sukarno memihak pada Mr.Sartono di Partindo. Jadi secara organisatoris Sukarno tidak ada apa-apanya. Namun secara magis politik Sukarno punya nilai jual paling tinggi untuk itulah kemerdekaan politik Indonesia ada dan diproklamasikan tahun 1945. Aidit berlawanan dengan Sjahrir dalam membangun partainya. Sjahrir bermain di atas, Aidit berkoridor di massa. Disini kemudian bertarung antara kaum elite dengan kaum populis dimana Sukarno berhasil memenangkan kedua-duanya.
Lalu siapa Aidit? Aidit tidak dibesarkan dalam lingkungan komunisme otodidak tidak seperti hal-nya tokoh-tokoh utama Komunis jaman pergerakan seperti : Setiadjid, Tan Malaka atau Musso yang berkenalan langsung dengan paham-paham komintern Stalinis serta agak kurang mengenal dimensi lain komunisme yang banyak bermunculan dalam penentangannya terhadap Menara Suar Pemikiran Lenin seperti Rosal Luxemburg dan Eduard Bernstein (si ahli revisionis yang menolak revolusioner kemudian pemikirannya berkembang ke arah sosialisme demokrat). Aidit dibesarkan murni dari pergerakan Indonesia lewat Gerindo dimana dia banyak berhubungan dengan orang-orang pergerakan termasuk Hatta. Jadi awal tanam pikiran Aidit adalah pergerakan nasionalis bukan internasionalisme seperti yang ada dalam logika Musso atau Tan Malaka (walaupun kemudian Tan Malaka menyeberang ke murni nasionalis) Bila dilihat dari tulisan-tulisan Aidit hampir semuanya cenderung mengajukan problem-problem nasionalisme ketimbang problem-problem komunisme Internasional inilah yang kemudian Aidit merasa asing dengan Komunisme Sovyet dan dekat dengan komunisme Cina. Orang yang mengenalkan Aidit dan mungkin menjadikannya berjuang di jalan Komunisme kemungkinan terbesar adalah Wikana seorang inspirator besar kemerdekaan Indonesia Raya yang dengan jaringan pemanfaatan perwira Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Yang kemudian bergulir menjadi proklamasi 1945. Adalah tugas kaum sejarawan untuk lebih detail lagi mengupas watak Aidit dalam pembentukan karakter politiknya terutama periode 1939-1945 dimana Aidit mendapatkan tanaman pelajaran politik penting dari Sukarno, Hatta, AK Gani dan Wikana.
Aidit juga ikut dalam rapat-rapat pembentukan kemerdekaan jadi ia tahu benar dari awal bagaimana Indonesia ingin dibentuk dan berdasarkan apa. Juga adanya pengaruh pikiran-pikiran Sukarno di dalam dirinya. Bila dikatakan Aidit ikut dalam kelompok Internasionalis Musso mungkin argumennya dia masih terlalu muda. Aidit berdiri di dua sisi, Sisi Nasionalisme dan sisi PKI.
Perlu dipelajari juga suasana konsolidasi PKI di era Aidit yaitu : Permusuhannya di kalangan tua. Pada jaman Aidit orang-orang eks Digulis banyak yang tidak menyenangi kepemimpinan baru. Di tataran bawah banyak yang bilang seperti jargon : PKI dulu lain dengan PKI sekarang atau dalam bahasa Aidit sendiri : Bongkar Tan Ling Djieisme...Tan Ling Djie di ikonkan Aidit sebagai figur lama yang harus tersungkur dalam hal ini Wikana juga menjadi korban. Apakah ini berarti Aidit mengabaikan Internasionalisme kemudian menjadi pendukung penuh Sukarno dalam proyek Nasionalismenya. Dalam kritik dan otokritik PKI yang dilakukan oleh sisa-sisa elite PKI yang sempat lolos kejaran tentara pasca G 30 S sempat menyuarakan bahwa kegagalan terbesar PKI adalah ikut dibelakang Sukarno dan terlalu larut dalam Revolusinya Sukarno sehingga menjadi korban politik dari musuh-musuhnya Sukarno. Bila dilihat dari penolakan kelompok tua PKI dan Kritik dari elite PKI pasca G 30 S kita bisa mengambil pertanyaan. PKI itu komunisme beneran atau kaki politik Sukarno?.
Pertanyaan ini akan mengambil perenungan yang dalam. Dan saya menjawab PKI era Aidit (1951-1965) adalah kaki politik Sukarno bukan bentukan yang nyambung dengan embanan historisitas komunisme Internasional.
Dua Kegagalan Sukarno
Ada dua kegagalan Sukarno yang terus menerus membayangi dirinya ialah : Kegagalan ikut dalam pembidanan Angkatan Bersenjata dan Kegagalan dalam melindungi orang-orang kiri karena takut dicap sebagai bagian dari Komunisme sepanjang Revolusi Bersenjata 1945-1949. Kegagalan itu secara bawah sadar membawa Sukarno pada keinginannya untuk menguasai dua kekuatan itu sekaligus.
Sukarno mengalami cap buruk oleh Belanda (yang juga terus menerus memfitnah Sukarno adalah fasis dan komunis) karena dinilai sebagai kolaborator dan bekerja sama dengan fasisme Jepang dari sinilah kemudian Sukarno mulai agak berjarak dengan kelompok militer. Sukarno melakukan politik naif yaitu :Membentuk Negara tanpa Angkatan Bersenjata. Disinilah kenapa sejarah TNI bukan sejarah militer tapi sejarah rakyat bersenjata. Dan namanya BKR, TKR kemudian TNI transformasi nama ini menunjukkan Sukarno takut dicap fasis sehingga menimbulkan kemarahan Inggris. Sesungguhnya tuduhan Belanda itu ngawur mana ada komunisme yang fasis atau fasis yang komunisme kedua ideologi itu bertentangan satu sama lain. Tapi Sukarno masih terlalu hati-hati. Pembentukan tentara profesional baru terjadi ketika Oerip Soemohardjo membentak di depan elite pemimpin RI dengan kata-kata terkenal “Mana ada Negara zonder Tentara?!!!” dari sinilah kemudian lahir BKR kemudian mengalami transformasi menjadi TKR dan TNI. Sukarno bukanlah bidan tentara juga bukan Baby Sitter yang mengasuh tentara. Baby Sitter TNI adalah Hatta melalui tangan AH Nasution dari sini kemudian Sukarno dan Nasution membangun kekuatannya masing-masing dan Sukarno mempunyai jembatan tengah yaitu Letjen Ahmad Yani dalam era demokrasi terpimpin.
Kedua, adalah berjaraknya Sukarno dengan kekuatan kiri. Dan ini kemudian ditebusnya dengan merangkul dan membesarkan PKI Aidit. Semua tulisan-tulisan Sukarno selalu mengandung kekaguman pada dua hal : Sosialisme Marxisme dan Nasionalis –bahkan harus diakui Sukarno kagum dengan Hitler dalam menumbuhkan watak nasionalis yang kuat – Dari sinilah kita kemudian menarik akar-akar pemikiran Sukarno.
Bila dilihat dari wataknya antara Sukarno dan Aidit tidak ada bedanya. Sama-sama bergaris keras dalam sikap nasionalisme-nya. Sejak kongres ke IV tahun 1954 diputuskan bahwa PKI tidak boleh lagi melakukan petualangan politik dan ikut pertarungan politik lewat jalur resmi. Disini kemudian Sudisman membesarkan organisasi partai lewat struktur administrasi yang brilian dan berhasil melakukan pembentukan sel-sel kekuatan politik yang riil.
Jadi disini terjadi PKI Aidit adalah PKI kaki Sukarno. Kemudian Bung Karno berusaha sekuat tenaga membangun pengaruh di militer dengan menyingkirkan Nasution dan menolak Gatot Subroto.
Nyoto
Nyoto adalah pemimpin PKI yang meragukan watak komunisme-nya karena gaya hidupnya yang borjuis dan penikmat musik serta musik Jazz. Nyoto adalah sahabat dekat Jack Lesmana juga orang yang paling dipercaya oleh Bung Karno untuk menuliskan amanat-amanat pidato Sukarno terutama pada saat pidato 17 Agustus 1945. Dari unsur Nyoto inilah PKI menjadi senyawa dengan Sukarno. Penyingkiran Njoto sebagai redaktur Harian Rakyat merupakan intrik internal partai dari persaingannya dengan Oloan Hutapea.
MH Lukman
Mohammad Hatta Lukman, ayah MH Lukman adalah sahabat Hatta dan menamai anaknya mirip dengan Muhammad Hatta. Dia adalah orang yang paling mengenal relasi-relasi di luar partai. Lukman juga merupakan benteng pembela Aidit di dalam tubuh partai namun di depan Aidit, Lukman sangat lemah.
Sudisman
Menilai Sudisman dengan PKI-nya adalah menilai Sudisman sebagai jenius pembentuk partai juga orang yang paling berani –keberanian Sudisman ini mengundang kekaguman Soe Hok Gie yang menuliskan watak berani Sudisman dalam catatan hariannya - dan membuktikan dalam pledoinya bahwa PKI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Sukarno.
Sudisman adalah jebolan Pesindo bersama Supeno ia memimpin Lasykar Pesindo di Yogya dan menjelang serangan umum 1949 ia bersama dengan Kapten Latif merencanakan penyerbuan militer pada saat Serangan Umum, perencanaan itu berlangsung di dalam betheng Keraton Yogyakarta. Kapten Latif ini adalah Kolonel Latif orang yang paling berperan penting dalam Gerakan 30 September selain Untung dan Brigjen Suparjo. Kemudian Sudisman bertemu dengan tiga serangkai : DN Aidit, MH Lukman dan Nyoto lalu dia menduduki jabatan paling rumit yaitu organisatoris Partai. Kemunculan Sudisman di muka publik justru pada pledoinya di tahun 1968 yang menjadi bukti bahwa PKI di era Aidit (1951-1965) bukan Komunisme bentukan Sovyet atau RRC tapi merupakan murni dari proses sejarah perkembangan masyarakat Indonesia. Pikiran termurni seseorang adalah ketika dia dihadapkan pada kesulitan terbesar dan saat Sudisman menghadapi kematiannya lewat palu pengadilan Mahmilub coba betapa dekat hubungan Sukarno dan PKI dan bagaimana dalam hal ini PKI membela Sukarno, juga Sukarno membela PKI sampai beliau mengalami kematiannya dalam kondisi mengenaskan dan tidak layak diperlakukan selayaknya pemimpin besar kemerdekaan, berikut pledoi Sudisman tentang Bung Karno :
......... kekuatan militer sekarang supaya mengadakan plebisit dengan tema:
Bung Karno, ya atau tidak.
Atau pilih antara Bung Karno dan Jenderal Nasution misalnya.
Plebisit tanpa biaya dapat diselenggarakan, yaitu dengan serentak di seluruh Indonesia diadakan pemilihan lurah dengan tema seperti diatas, Sampai sekarang dalam pemilihan umum lurah, rakjat membiayainya sendiri dan tidak ada anggaran dari pemerintah untuk itu. Ini jika mau menempuh jalan demokratis, jangan dengan jalan seperti sekarang ini.
Dengan plebisit saya yakin rakyat akan pilih kembali Bung Karno sebagai Presiden. Sungguh suatu tragedi nasional, Bung Karno dijatuhkan oleh MPRS yang sebagian besar angautanya adalah 'conflicten regoling' yang mengatur sengketa antara Presiden dengan MPR belum ada dan sekarang terang ada konflik. Jalan satu-satunya adalah plebisit. Saja teringat pada zaman penjajahan Belanda du1u kita minta "Volksraad" dan "Rood van Indie" diganti dengan "Parlemen" karena baik "Volkraad" maupun "Rood van Indie" tidak dipilih langsung oleh rakjat dan sebagai anggautanya terdiri dari anggota-anggota angkatan Gubermur Jenderal. Dimana letak tragedinya? Tragedinya ialah di zaman penjajahan kita berjuang maju ke Indonesia Berparlemen, tapi setelah merdeka kita mundur ke semacam "Rood van Indie" bahasa Jawanjy "jo kebangeten" atau "keterlaluan".
Saja dan PKI tidak. pernah memberikan gelar ini atau itu kepada Bung Karno, tidak pernah memberikan agung ini, atau agung itu, sebab gelar satu-satunya jang tepat adalah "Bung Karno" sehingga nama Bung Kerno berkembang dari Sukarno (ada kesukaran) ke Bung Karno (artinya bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang revolusioner, justru dalam keadaan sulit separti sekarang inilah saya terus membela dan mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu mengatakan bahwa "in de nood leert men zijn vrien den kennen" (dalam kesulitan kita mengenal kawan) dan "jo sanak, jo kedang, jen mati aku sing kelangan" kata Bung Karno untuk PKI. Sebagai arek Surabaya, saja sambut uluran tangan Bung Karno dengan: "ali-ali nggak ilang, nggak isa lali ambek kancane". (artinya tidak bisa lupa sama kawannya).
Kenapa saja bela dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya ialah sepanjang sejarahnya Bung Karno konsekwen anti Imperialis sampai berani menyemboyankan "go to hell with your aid" terhadap imperialis Amerika Serikat; Bung Karno setuju mengikis sisa-sisa feodal dengan mengadakan landreform terbatas; dan Bung Karno setia pada persatuan tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada instruksi saya pada anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk "Barisan Sukarno".
Dalam kesulitan seperti sekarang ini berlakulah pepatah Pavlov bagi Bung Karno "a discovery begins where an unsuccessful experiment ends" (suatu penemuan mulai pada saat pengalaman yang tidak sukses berhenti).
(Sudisman, Pledoi menjelang kematiannya di depan Mahmlub 1968)
Dilihat dari pemikiran Sudisman jelas hubungan PKI- Sukarno bukan hubungan hanya didasarkan pada saling memanfaatkan kekuasaan yang picik tapi memang dalam rangka membentuk bangunan masyarakat sosialisme sesuai dengan struktur Bung Karno : Nasakom.
Ada ciri ketakutan dari sejarawan-sejarawan juga para intelektual Indonesia akibat imbas buruk propaganda Suharto pada jaman Orde Baru yang begitu mengerikan :
Memandang negatif PKI sebagai kekuatan antagonis dalam perkembangan politik Indonesia : Padahal dalam kerja intelektual kita harus objektief apalagi sejarawan harus melepaskan dirinya dari konteks-konteks cap yang berkembang dalam sejarah masyarakat. Akibat paranoia sejarah sedemikian rupa orang lupa bahwa yang paling berteriak terhadap ketidakberesan pemerintahan Demokrasi Terpimpin adalah PKI terutama masalah penurunan harga, Bung Karno sendiri menyatakan itu di depan KAMI awal tahun 1966 di Istana Bogor.
Melihat relasi PKI-Sukarno adalah relasi yang buruk padahal dalam studi sejarah harus dilepaskan cap-cap relasi sebelum kita memasuki konteks. Relasi sejarah harus dilihat sebagai bentuk netral dulu, baru pada pengamatan kita bisa memberikan cap.
Pendangkalan fakta. Seperti kasus Yohanes Sulaiman yang mendasari pada dokumen CIA tentang sikap jiwa kerdil Sukarno dengan akan menghancurkan PKI setelah proyek Malaysia selesai. Kalau orang-orang militer yang anti PKI tahu ini kenapa mereka agak berjarak dengan PKI, jadi diamkan saja dan bantu Bung Karno nyerang Malaysia baru itu nyerang PKI. Benar-benar studi sejarah yang naif.
Ini yang paling sukar. Karena kita berada dalam dimensi ruang dan waktu kapitalisme kita sulit melepaskan diri berpikir dengan berjarak pada pengamatan usaha-usaha Sosialisme. Semua yang terjadi pada perkembangan Sejarah Masyarakat Indonesia pada tahun 1945-1966 adalah ‘Perkembangan Sejarah Masyarakat Sosialisme” jadi tolok ukurnya harus dengan bagaimana menyikapi cara berpikir masyarakat Sosialisme bekerja.
Jadi bila Bung Karno dikatakan akan menghancurkan PKI ini sama saja mengatakan : ‘Bung Karno memotong satu kaki Bung Karno’ masak orang mau potong kakinya sendiri. Penafsiran dokumen CIA oleh Yohanes Sulaiman ini kok mirip seperti pembelaan gaya lama seperti PNI di era Hadisubeno yang berusaha menjauhkan mati-matian Bung Karno bukan saja dari PKI tapi dari relasi pemikiran Sukarno dengan Marxisme benar-benar gerakan cari selamat yang keterlaluan. Saya hanya berspekulasi apakah tulisan ini mengandung pesan “Mari jauhkan Bung Karno dengan PKI” kalau itu terjadi ini adalah sebuah pengkhianatan intelektual bagi kaum sejarawan. Perlu bukti yang dalam bahwa Bung Karno ingin menghancurkan PKI karena ini pembelokan bagi sejarah Indonesia yang serius.
Otoritas Bung Karno terhadap Sirkulasi Kepemimpinan
Tulisan Yohanes Sulaiman pada Ikranegara juga mengundang tertawaan karena seakan-akan merupakan tulisan orang yang baru belajar sejarah.
Pertama adalah spekulasinya tentang Nasution yang tidak dipercaya CIA. Memang Nasution dikenal sebagai orang yang tidak prinsipil dan plin plan. Tapi patut diingat Nasution adalah orang yang juga takut berhadapan dengan Sukarno. Harus diselidiki apakah Nasution mendukung benar Suharto dalam menegakkan rezim Junta Militer karena memang sepenuhnya mendukung atau Suharto dianggap sebagai jembatan menuju rezim berikutnya - sebagai bukti Nasution setelah Orde Baru mapan melakukan politik oposisi karena dia adalah lambang dari korban PKI saja-lah maka Pak Nas tidak dipenjarakan sebagaimana yang terjadi dengan Pak Ton alias HR Dharsono, padahal kebencian Orba pada Nasution luar biasa Pak Nas pernah di dorong secara kasar oleh seorang tentara pada sebuah resepsi karena disana akan hadir Sudharmono - . Nasution bukan tipe Jenderal penjual negara. Dia loyalis termasuk dengan Yani hanya saja Nasution menjelang tahun 1965 mencoba bersikap rasional terhadap pemikiran-pemikiran Sukarno sebagai ciri khasnya dia yang terkenal tapi oleh Sukarno, Jenderal Nasution di blok dan diisi tempatnya oleh Yani. Yohanes Sulaiman juga bilang Nasution terlalu dekat dengan Moskow adalah lucu selucunya. Nasution baik dari pemikiran militer maupun kedekatan historis rasionalnya sangat dekat dengan barat. Nasution mengirim banyak perwira-perwira penting ke barat bukan ke Moskow. Jenderal-Jenderal yang kelak menempati posisi penting Angkatan Darat adalah didikan Fort Benning, Fort Leavenworth di USA ataupun Fuhrungs der akademie der bundeswehr di Jerman Barat. Masa depan militer Angkatan Darat dalam konsep Nasution sejak perang Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 adalah ‘Militer Bergaya Barat’ hanya memang konflik-konflik militer-lah Nasution kemudian terjebak omongan Dwifungsi walaupun Dwifungsi Nasution dengan Dwifungsi Suharto berbeda artinya. Dwifungsi inilah yang kemudian menjadi serdadu penjaga Orde Baru mirip dengan Pancasila ala Suharto. Nasution bahkan dikenal terlalu barat. YS harus membeberkan bukti kedekatan Nasution dengan Moskow kecuali kontrak jual beli mesin militer.
Kedua, adalah anggapan Bung Karno sama sekali tidak memiliki kekuasaan dalam sirkulasi kepemimpinan tentara adalah sebuah studi yang aneh dan darimana YS mendapatkan pelajaran sejarah seperti ini? Apakah YS tidak pernah melihat bahwa apa yang dilakukan Perwira-Perwira loyalis pemerintah dalam menghajar tentara di luar Jawa di era 1950-an merupakan sebuah pesan bahwa Sukarno mengalami kristalisasi kekuatan di militernya. Apakah setelah perjanjian di depan makam Jenderal Sudirman di Semaki Yogyakarta pasca kejadian 17 Oktober 1952 tidak bisa diartikan sebagai kekuatan Sukarno lewat tangan Nasution membenahi militernya? Apakah penolakan pengangkatan Kahar Muzakar atau penangkapan Andi Selle di Pinrang bukan merupakan pengaruh Jawa. Seperti yang anda katakan Sukarno sangat lihai dalam mengangkat Jenderal-Jenderal perangnya dan dia bisa dengan santai memecat Jenderalnya. Bahkan Asvi Warman Adam dalam studinya mengatakan kesalahan terbesar Sukarno adalah : Terlalu memandang remeh Suharto dan segera memecat Suharto saat itu juga saat Suharto menolak memberi peluang Jenderal Pranoto dan Jenderal Umar bertemu dengan Sukarno. Ini bukan karena Sukarno lemah tapi memang jadi watak Sukarno untuk lihat keadaan tidak asal main pecat.
Ada beberapa bukti bahwa tangan kekuasaan Sukarno di Militer sangat kuat dan apa yang dikatakan Ikranegara dalam tanggapannya pada Yohanes Sulaiman merupakan kebenaran sejarah. Uraian ini sebagai bukti bahwa Bung Karno sangat kuat dalam mengganti para Jenderal atau perwira tinggi untuk itu coba saya sitir pada nasib dua perwira yang merasakan tangan kekuasaan Bung Karno. Jenderal Gatot Subroto dan Mayor (pensiun Letjen) Kemal Idris.
....Pak Nas dan Pak Gatot pernah dibawa ke pertemuan Beograd, kemudian langsung ke New York, dimana Bung Karno mengucapkan pidato : “The Build World anew”. Setelah pulang ada perpecahan diantara dua orang ini (Pak Nas dan Pak Gatot)
Maka kepada Pak Nas saya kemukakan : “setelah Pak Nas dan Pak Gatot dibawa Bung Karno ke Beograd saya mengira atau umumnya mengira yang mengganti Pak Nas itu Pak Gatot” . Soalnya Pak Gatot pernah mengatakan pada saya waktu inspeksi ke Bandung : “Mit, jangan salahkan bapakmu, ya kalau sebentar lagi pundak saya ditambah bintangnya” ..........
Tapi ternyata yang menggantikan Nasution itu Jenderal Yani. Awalnya Yani menolak lalu menandangi Pak Gatot dan berkata dia tidak bersedia mengganti Pak Nas menjadi Kasad. Tapi Pak Gatot membentak Yani “ Ben je nog soldaat, of niet?! (Kamu masih prajurit atau bukan?”) Laksanakan perintah itu!” Tapi kalimat itu ditambahnya dengan didorong rasa kecewa “Wat ben Ik” (Apalah saya).
Selain Yani muncul juga nama Sudirman (bukan Pangsar ya..) ya di kasak-kusuk menjadi calon kuat Kasad menggantikan Nasution. Awalnya Jenderal Sumitro curiga Nasution memecah belah Angkatan Darat tapi kemudian hari Jenderal Sumitro mendapat penjelasan dari Nasution sebagai berikut :
“Sekian waktu kemudian saya mendapat penjelasan dari Pak Nas yang menggugurkan semua pikiran saya yang lebih dulu itu. Ternyata, bukan Pak Nas yang menolak Pak Gatot untuk menggantikannya. Yang menolak adalah Bung Karno. Bung Karno meminta tiga orang lagi calon. Maka diajukanlah : Jenderal Yani, Jenderal Sudirman dan Jenderal Djatikusumo. Kemudian ditetapkanlah Jenderal Yani menggantikan Jenderal Nasution. Saya lega merasa mendapat keterangan demikian dari Pak Nas.
(Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib, disusun Ramadhan KH dan diterbitkan oleh Sinar Harapan 1994 catatan utama hal. 352-353)
Catatan kedua adalah :
Tentang Kemal Idris yang saat itu masih berpangkat Mayor dan terlibat dalam stel intalasi meriam yang moncongnya diarahkan ke Istana pada peristiwa 17 Oktober 1952 sehingga tidak disukai Bung Karno. Ia menilai jabatannya dicoret oleh Bung Karno dan tidak dibela Nasution :
........Saya merasakan, ujung dari peristiwa Oktober 1952 itu masih berlanjut. Ini saya rasakan dalam perjalanan karir saya di Angkatan Darat yang seringkali mengalami hambatan. Kalau saya diajukan oleh atasan untuk menduduki sesuatu jabatan, selalu ditolak oleh Soekarno, dengan tidak menandatangani surat keputusannya.
Saya pernah tidak diberi jabatan atau meja selama 8 tahun. Sejak itu saya merasa terkucil dan dipetieskan. Walaupun kenaikan pangkat dan kesempatan mengikuti pendidikan tambahan selalu ada, tetapi tidak dalam hal kedudukan dan jabatan saya. Kecuali pemindahan saya ke Resimen VII yang dipindahkan dari Jakarta ke Purwakarta.
Barangkali timbul pertanyaan : Apakah Soekarno turut campur tangan dalam urusan mutasi dan penempatan perwira Angkatan Darat? Bung Karno sebetulnya tidak turut ikut campur dalam hal kenaikan pangkat dan penempatan perwira. Akan tetapi , Jika Bung Karno melihat nama saya dipromosikan maka dia akan mencoretnya.
.....”Pak Nas, kenapa saya mengalami keadaan semacam ini?” saya bertanya suatu hari kepada Nasution.
“Orang nomor satu harus tahu ke mana kamu harus ditempatkan, kalau dia bilang tidak setuju berarti tidak jadi” jawab Nasution.
Waktu menjadi Kepala Staf Kostrad, seharusnya saya naik pangkat menjadi Mayor Jenderal. Bung Karno tidak setuju kecuali kalau saya bersedia ditugaskan ke luar negeri. Saya memperoleh cerita ini dari Pak Harto, yang tidak berapa lama kemudian menaikkan pangkat saya menjadi Mayor Jenderal.
(Biografi Kemal Idris, Bertarung Dalam Revolusi, Penyusun H. Rosihan Anwar, Ramadhan KH dkk, penerbit Sinar Harapan 1996)
Dari tulisan-tulisan ini saja sudah menunjukkan betapa berkuasanya Sukarno atas Angkatan Darat. Bahkan dari sudut pandang CIA sekalipun yang katanya Sukarno sudah mempersiapkan pengganti Yani adalah : Jenderal Moersjid. Jadi analisa Yohanes Sulaiman tentang betapa impotennya kekuasaan Sukarno terhadap sirkulasi kekuasaan di tubuh elite militer perlu dipertanyakan. Bukan pertanyaan analisanya, tapi pada Profesor mana dia belajar?
Pribadi Yang Penuh Gelombang
Dengan nada yang meyakinkan Yohanes Sulaiman menggambarkan karakter Sukarno sebagai berikut baiklah saya sitir tulisan Yohanes Sulaiman :
Sukarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin
yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja
sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain.
Sukarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka."
Orang macam apa yang berani menulis seperti ini, kecuali Sukarno
dengan harga dirinya yang memang sangat tinggi itu, di mana ia ingin
Indonesia juga memiliki harga diri tinggi di mata dunia? Saya tadinya
juga tidak percaya waktu membaca dokumen CIA tersebut, tapi dari
membaca biografi Sukarno serta melihat tindakan-tindakannya sejak
tahun 1945lah maka akhirnya saya percaya bahwa Sukarno BISA melakukan
hal ini, yakni melempar Indonesia ke Konfrontasi karena ia
dipermalukan Malaysia. Masih banyak lagi bahan yang bisa saya gunakan
untuk mendukung argumen saya ini, tapi saya tak mau memanjang-
manjangkan tulisan yang memang sudah cukup panjang ini.
(Tulisan Yohanes Sulaiman menanggapi tulisan Ikranegara)
Pertama-tama adalah sebuah kesalahan fatal menggambarkan pribadi Bung Karno dalam dimensi ini. Ini merupakan ciri khas Sejarawan CIA yang ternyata wataknya dianut benar oleh Yohanes Sulaiman. Disini bukan saja YS salah menilai kepribadian Bung Karno dengan mengutip satu paragraph lalu membandingkan dengan teori balas dendam brutal Sukarno yang tak mau peduli menjerumuskan perang yang tidak dimengertinya. Selain salah dalam menilai entah sadar atau tidak YS telah menghina watak perjuangan Bung Karno yang seakan-akan mau bikin celaka orang Indonesia dengan konfrontasi dengan Malaysia. Ini sama saja dengan omongan orang Belanda : Liat Sukarno bikin celaka orang Jawa dengan perangnya melawan kita!...benar-benar logika yang tak masuk akal dan konyol miriplah komentar saya dengan Ikranegara. Saya akan membandingkan pribadi Bung Karno dengan yang ini dan kepribadian ini sudah banyak dikenal orang bahkan Onghokham pernah memuatnya dalam sebuah edisi majalah Prisma juga banyak dikutip para Sejarawan untuk mengulas kepribadian Bung Karno. Mungkin anda kalau tercerahkan dan tidak main merendahkan bangsa Indonesia dengan American Ubber Alles anda sebagai watak inferior complex juga akan mengulas dari sini :
“Hari kelahiranku adalah serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik dilahirkan dibawah bintang Gemini, lambang kekembaran, dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja atau lembut berirama. Kepribadianku adalah paduan antara pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seseorang yang suka memaafkan, akan tetapi akupun orang yang sekeras kepala. Aku menjebloskan musuh-musuh negara ke balik jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung dalam sangkar”
(Sukarno Penyambung Lidah Rakyat, Cindy Adams)
Itu watak yang tepat menilai Bung Karno bukan watak balas dendam brutal sehingga tidak peduli rakyat sendiri mati. Sukarno punya keyakinan tersendiri terhadap hukum sejarah kapitalisme dengan melakukan politik konfrontasi dengan Malaysia dan sekarang terbukti bukan? Betapa Amerika menguasai dunia kalau perlu membunuhi bayi-bayi kecil di Baghdad sana? Atau anda nggak merasa? Pantas anda kan berada di ruang kapitalis itu sendiri.
Coba YS tunjukkan watak-watak mana dari Bung Karno yang menunjukkan bahwa dia main menjerumuskan rakyatnya? Penghinaan yang luar biasa!.... dari nama besar Sukarno yang sudah teruji kesetiaannya untuk bangsa Indonesia. Ini bukan emosional coba anda beberkan dimana kesalahan Bung Karno sehingga menjerumuskan rakyatnya? Atau tingkah laku Bung Karno yang menurut anda main hantam seperti watak yang anda ceritakan?
Apa ulah Bung Karno yang menjerumuskan rakyat Indonesia Gestapu? ....Atau Poros Peking-Jakarta yang gunanya untuk bikin Indonesia sebagai boneka Peking? .... kalau anda benar-benar bisa membuktikan konfrontasi Malaysia adalah masalah persoalan pribadi Bung Karno angkat saya angkat anda menjadi sejarawan Indonesia terbesar....
Tertawaan anda tentang Dialektika dalam Sejarah juga mengundang kebingungan saya karena bagaimanapun teori dialektika dalam sejarah sudah jamak dan cap-capan Kiri adalah dosa sepertinya hanya ada di Indonesia jaman Orde Baru. Di Amerika sekalipun (kecuali memang orannya CIA atau sejarawan bayaran) postulat Marxian dalam landasan dialektika dalam studi sejarah adalah hal yang wajar dan bersifat netral. Ketakutan atas pemikiran Marxian hanya ada di Indonesia dan ini memang hasil pendidikan rezim sinting Orde Baru dalam memperbodoh bangsanya dan menjauhkan dalam khasanah intelektual yang kritis. Sebagai contoh tulisan anda mengatakan “hubungan injak-injak foto dengan kemarahan Sukarno” adalah hubungan dialektis bukan sekedar fakta. Itu dialektis interpersona padahal dalam studi sejarah kita harus juga belajar memahami situasi ruang waktu dimana kejadian itu bekerja dan sistem-sistem masyarakat apa yang ada lalu bisa kita ulas fakta-faktanya.
Nasehat saya : kalau tesis anda tidak jauh berbeda dengan tulisan anda saat ini mendingan tidak usah jauh-jauh ke Amerika cukuplah berguru ke jago-jago sejarah di LIPI sana ada bung Asvi, Bung Kiki, Ikrar Nusa bhakti, Pak Alfian atau ke UI sajalah disana ada Pak Tamrin Amal Tomagola mereka lebih paham Indonesia dibanding dosen luaran generasi sekarang.
Dan untuk mempelajari sejarah Indonesia kita harus lihat dari banyak sisi jangan hanya satu dimensi maka disinilah hubungannya dengan dialektis. Saya prihatin tentang jalan pikiran anda yang mengatakan “Jangan Bawa-Bawa Dialektika yang sering digembar gemborkan DN Aidit” lha apa hubungannya Dialektika dengan Aidit? Dialektika berpengaruh sekali bukan saja dalam ilmu sejarah tapi dalam ilmu Sosiologi sejak Marx Ilmu Sosiologi itu berubah dan lebih dinamis. Saya melihat postulat Dialektika yang anda katakan kiri itu bagi saya bukan kiri bukan kanan itu alat menganalisa Marxian bagi saya sama saja nilainya dengan Weber, Durkheim, Habermas, Foucoult bahkan Fromm dalam menganalisa masyarakat. Sedemikian picikkah pelajaran di Ohio sana? Siapa yang mengajari anda panas dingin dengan dialektika? Wah kalau calon doktoral saja ..(sejarawan lagi!) sepicik ini bagaimana orang awamnya ya...acung jempol deh buat Gobbels-Gobbels Orde Baru.
Intelektualitas dalam membuka sejarah bukan kenikmatan untuk bermewah-mewah kenikmatan Intelektualitas justru dari keberaniannya bertarung dengan kehidupan apalagi mencintai bangsanya. Dari Pram-lah kita patut bercermin bagaimana keteguhan intelektualitas dan kecintaan pada bangsa layak kita berikan :
........16 Agustus 1969. Kau berbulan madu di Happy land yang sudah jelas. Aku ke Happy land somewhere: konon ke Pulau Buru di Maluku, sebuah pulau lebih besar dari Bali. Dan besok kalau tidak dibatalkan oleh entah siapa, 17 Agustus. Kami berangkat bersama lebih dari 800 orang dengan kapal ADRI XV sebagai hadiah ulang tahun Republik Indonesia. Kesadaran sajalah yang membikin diri tahu, kami sedang ada di perairan tanah air kami sendiri, negara Maritim dengan tiga belas ribu pulau. Kata orang, setiap diantara pulau itu milik kami, jkuga setiap cangkir dari perairan antara dua samudra itu, Hindia dan Pasifik. Itu ajaran klasik di sekolah. Lebih nyata lagi oleh ucapan Peltu Marzuki di RTC Salemba: Kalian tak punya hak apa-apa selain bernafas. (Dan ternyata sudah sekian dari kami hak untuk bernafas pun dirampas)....kami berlayar dalam ruang dengan pintu besar jeriji besi, dan dikunci dalam sekapan, dalam tiga ruang besar di bawah dek. Melihat langit pun tak ada lagi hak, jangankan memiliki atau ikut memiliki.
(Pramudya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, catatan dari Pulau Buru, Jakarta 6 Februari 1995).
Tulisan ini diawali dengan kutipan Sartono Kartodirdjo, ditutup dengan tulisan Sartono pula :
Suatu bangsa tidak mengenal sejarahnya berarti suatu bangsa tidak mengenal identitas, padahal bangsa tanpa identitas adalah Contradictio in Terminis. (Kata Pengantar Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2)
ANTON
LAMPIRAN-LAMPIRAN TULISAN YOHANNES SULAIMAN DAN IKRANEGARA
YOHANES SULAIMAN :
dari:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0709/29/opini/3873018.htm
Sabtu, 29 September 2007
SOEKARNO, MALAYSIA DAN PKI
Yohanes Sulaiman
Sudah 42 tahun tragedi berdarah yang disebut peristiwa G30S/PKI itu
berlangsung. Namun, apa yang terjadi pada malam naas tersebut masih
merupakan misteri. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah
apa hubungan Soekarno dengan PKI? Benarkah Soekarno mau menyerahkan
Indonesia kepada PKI? Jawabannya tidak! Soekarno memerlukan PKI
karena saat itu ia ingin mengganyang Malaysia. Namun, Soekarno sendiri tak
mau membiarkan PKI naik ke panggung kekuasaan.
Seberapa jauh keterlibatan Soekarno dalam tragedi tersebut? Apa saja
yang termuat dalam berbagai dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika
Serikat dan CIA yang baru saja dideklasifikasikan?
Satu hal yang kurang diperhatikan para sejarawan yang meneliti
kedekatan Soekarno dan PKI adalah hubungan antara konfrontasi
Malaysia
dan kedekatan Soekarno dengan PKI.
Demonstrasi anti-Indonesia
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para
demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa
lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman-Perdana
Menteri Malaysia saat itu-dan memaksanya untuk menginjak Garuda,
amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Howard Jones, Duta Besar AS saat itu, melaporkan kepada Washington
bahwa ia bertemu Soekarno. "Saat itu Soekarno marah besar.... Tidak
ada lagi pertukaran salam. Tak ada basa-basi.... Menjawab pertanyaan
saya, apakah situasi sudah terkendali, Soekarno meledak dan mengutuk
tindakan Tunku. "Sejak kapan seorang kepala negara pernah menginjak-
injak lambang negara lain?" Soekarno juga menyebutkan fotonya yang
dirobek dan diinjak-injak. "Rakyat Indonesia sudah murka! Ini Asia,
tahun 1963. Saya juga amat beremosi! (telegram dari Kedubes AS di
Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS, 19 September 1963)
Howard Jones menyatakan simpatinya, tetapi ia menekankan bahwa
Indonesia tak bisa mengandalkan bantuan AS jika Soekarno ingin
melakukan balas dendam. Sementara itu, TNI Angkatan Darat terpecah:
Jenderal Ahmad Yani tidak bersedia mengerahkan pasukan untuk menyerbu
Malaysia karena tidak merasa tentara Indonesia cukup siap menghadapi
Malaysia yang dibelakangi Inggris. Namun, Jenderal AH Nasution setuju
untuk mengganyang Malaysia karena ia khawatir isu Malaysia akan
ditunggangi PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di
Indonesia.
Saat itu PKI merupakan pendukung terbesar gerakan mengganyang
Malaysia, yang dianggap antek neokolonialisme dan imperialisme.
Namun,
pertimbangan PKI bukan didasarkan sekadar idealisme. PKI berusaha
membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia dan menempatkan PKI
sebagai gerakan nasionalis yang lebih nasionalis daripada tentara
untuk memperkuat posisinya dalam percaturan politik di Indonesia,
yang saat itu berpusat pada Soekarno, tentara, dan PKI.
Melihat dukungan tentara yang setengah-setengah, Soekarno kecewa,
padahal ia ingin sekali mengganyang Malaysia. Sejak saat itulah,
hubungan Soekarno dan PKI bertambah kuat, apalagi setelah tentara
sendiri mengalami kegagalan dalam operasi gerilya di Malaysia.
Penyebab kegagalan itu bukan karena tentara Indonesia tidak
berkualitas, tetapi para pemimpin TNI Angkatan Darat di Jakarta tidak
tertarik untuk mengeskalasi konfrontasi.
Kita harus memerhatikan secara saksama jalur pemikiran para pemimpin
Angkatan Darat saat itu. Mereka menghadapi buah simalakama. Mereka
tidak mau mengeskalasi konflik karena tidak tak yakin akan bisa
menang menghadapi Inggris. Di sisi lain, jika mereka tak melakukan apa-apa,
Soekarno akan mengamuk. Tak peduli keputusan apa yang diambil, PKI
akan tetap untung.
Akhirnya, para pemimpin Angkatan Darat mengambil posisi unik. Mereka
menyetujui perintah Soekarno untuk mengirimkan tentara ke Kalimantan,
tetapi tak akan benar-benar serius dalam konfrontasi ini agar situasi
tak bertambah buruh menjadi perang terbuka Indonesia melawan
Malaysia-
Inggris (dan Australia-Selandia Baru). Tak heran, Brigadir Jenderal
Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi
tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari
belakang. (JAC Mackie, 1971, hal 214)
Kekhawatiran Soekarno
Namun, pada saat yang sama, gagalnya konfrontasi juga berakibat buruk
bagi para penentang PKI, seperti Partai Murba. Posisi PKI menguat,
sampai 25 November 1964, kepada Washington, Howard Jones melaporkan,
Adam Malik, Chaerul Saleh, Jenderal Nasution, Jenderal Sukendro, dan
banyak lagi yang lain meminta Pemerintah AS membantu menyelamatkan
kaum moderat di Indonesia dari posisi mereka yang amat sulit (akibat
menguatnya posisi PKI).... Sebagian tentara Indonesia merasa malu
karena gagalnya usaha mengganyang Malaysia. (telegram dari Kedubes AS di
Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS, 25 November 1964)
Sementara itu, secara internasional pun posisi PKI bertambah kuat
dengan semakin dekatnya hubungan Indonesia dengan China-Beijing.
Kedekatan ini disebabkan kesuksesan China dalam menguji bom nuklir
dan dukungan Beijing kepada konfrontasi Malaysia. Di sisi lain, Soekarno
merasa khawatir dengan PKI yang dianggap terlalu kuat. Namun,
masalahnya, ia amat memerlukan PKI untuk mengganyang Malaysia,
apalagi karena Indonesia sendiri sudah terkucil di lingkungan internasional
akibat konfrontasi tersebut.
Kekhawatiran Soekarno terlihat dalam dokumen CIA yang baru
dideklasifikasikan beberapa tahun lalu, bertanggalkan 13 Januari
1965.
Dokumen itu menyebutkan, dalam sebuah percakapan santai dengan para
pemimpin politik sayap kanan, Soekarno menyatakan tak bisa
menoleransi gerakan anti-PKI karena ia butuh dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia. Ia menyatakan, namanya sudah "jatuh" di dunia internasional
dan Indonesia dianggap negara gila karena keputusannya membawa
Indonesia keluar dari PBB. Namun, Soekarno menekankan, suatu waktu,
"giliran PKI akan tiba" dan saat itu gerakan menentang PKI sama
dengan gerakan untuk menentang Soekarno. Soekarno berkata, "Kamu bisa
menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu." Soekarno mengakhiri
percakapan itu dengan berkata, "Untukku, Malaysia itu musuh nomor
satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."
Dari sini terlihat, kedekatan Soekarno dengan PKI diakibatkan
gagalnya TNI Angkatan Darat memenuhi keinginan Soekarno mengganyang Malayia.
Soekarno di sini terlihat bukan sebagai antek atau pendukung PKI,
tetapi ia memang berusaha menggunakan PKI untuk membantu kebijakannya
dalam mengganyang Malaysia. Kegagalan para pemimpin TNI Angkatan
Darat juga membuat tentara-tentara, seperti Brigadir Jenderal Suparjo kesal
kepada para pimpinan Angkatan Darat. Mereka akhirnya merasa perlu
melakukan operasi untuk mengadili para pemimpin TNI Angkatan Darat
yang dianggap berkhianat kepada misi yang dibebankan Soekarno. Untuk
melakukan hal ini, mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-
orang dari PKI karena dianggap memiliki misi yang sama, yakni
mengganyang Malaysia. Hal ini akhirnya menyebabkan peristiwa yang
sampai sekarang disebut sebagai G30S/PKI.
Catatan:
Yohanes Sulaiman Mahasiswa PhD Ilmu Politik Sekaligus Mengajar
Hubungan Internasional di Ohio State University. Disertasi "Politik
Luar Negeri Indonesia di Bawah Soekarno dan Hubungannya dengan AS
Tahun 1945-1967"
TANGGAPAN IKRANEGARA
YANG TIDAK MASUK AKAL ATAS DOKUMEN CIA
Yang tidak masuk akal dalam analisis/tafsir atas dokumen CIA yang di-
deklasifikasi-kan itu adalah bahwa Soekarno memutuskan untuk
menggunakan kekuatan PKI dalam rencana mengganyang Malaysia setelah
Angkatan Darat sendiri gagal atau ogah-ogahan mendukung "dendam"
Soekarno akibat gambar yang diinjak-injak itu. Apa ya mungkin
kekuatan sipil tak terlatih militer seperti PKI (Pemuda Rakyat dan
Gerwani yang dilatih darurat sebagai sukarelawan/wati di Lobang
Buaya, misalnya?) itu akan mampu melakukan missi yang dinyatakan
gagal dilakukan oleh tentara terlatih? Konyol amat keputusan
Soekarno ketika itu, ya?
Selain itu, bukankah Soekarno adalah Panglima Tertinggi Angkatan
Perang RI selain Pemimpin Besar revolusi ketika itu, yaitu masa
setelah tahun 1959 (Dekrit dan pembubaran MPR hasil pilihan rakyat
lewat pemilu) ketika Soekarno menjadi satu-satunya kekuatan dan
penguasa yang bersifat otoriter itu? Artinya, bisa saja Soekarno
memecat jenderalnya dan mengambil alih semua komando, kalau dia mau,
bukan? Tapi juga, apa iya hanya anggota PKI saja yang diharapkan
untuk mengganyang Malaysia? Singkatnya, laporan CIA itu
menggambarkan betapa konyolnya seorang Soekarno yang di zaman itu
adalah salah satu nama besar bertaraf internasional!
Jadi, dokumen CIA yang di-deklasifikasi-kan itu pun perlu dicermati,
mana yang betul-betul fakta dan mana yang sebenarnya opini yang
subyektif. Nada dokumen CIA itu, sebagaimana dokumen-dukomen
sejenisnya, menempatkan pelapornya pada posisi diri yang hebat
sambil merendahkan lawannya -- sejalan dengan kepribadian
bias "American uber alles"!) Maka Soekarno hanya digambarkan sebagai
seorang yang emosional dan penuh dendam dan gila hormat, sehingga
hanya karena gambarnya diinjak-injak jadi ingin mengganyang
Malaysia.
Laporan CIA itu sih jelas bagi saya mengandung penilian yang konyol-
konyolan atas politik konfrontasi Soekarno pada masa itu. Dan hal
ini pula yang digunakan oleh Yohanes Sulaiman dalam "Soekarno,
Malaysia dan PKI" (Kompas 29 September 2007).
Bung Karno itu seorang ideolog yang setaraf dengan Mao, sama-sama
merasa yakin dirinya melahirkan sebuah ajaran politik, yang di mata
AS dkk tentulah berlawanan dan tidak menguntungkan. Bukankah
Marhaenisme BK itu dintakan sendiri oleh BK bahwa isme-nya itu pada
dasarnya berangkat dari Marxisme yang kemudian diterapkan sesuai
dengan kondisi riil Indonesia?
Itulah dasar "Ajaran Bung Karno" yang menjadi inti ideologi
politknya yang dijabarkan dalam pidato-pidatonya dan kemudian
dikemas oleh Juru Bicara Usdek-Manipol (Jubir Usman) Ruslan Abdul
Ghani menjadi "Tubapi" (Tujuh Bahan Pokok Indoktrrinasi) sebagai
materi satu-satunya pelajaran Civic Education di seluruh sekolah dan
perguruan tinggi di Indonesia pada masa kediktaroran BK (1959 sd
1965). Ajarannya itu bukan hanya dimaksudkan untuk dijadikan
ideologi membangun Indonesia, melainkan juga untuk membangun kembali
seluruh dunia, sebagaimana dipidatokan BK di PBB dengan judul "To
Build the World Anew."
Dalam konterk pelaksanaakn Ajaran BK itu, maka urusan mengganyang
Malaysia hanyalah bagian kecil saja dari action plannya, sebab
Malaysia jelas-jelas berada di kubu kekuatan lawan. Jadi, bukan
dikarenakan oleh adanya peristiwa injak-injak gambar di Malaysia
itu! Demikian juga halnya dengan posisi PKI di mata BK yang dalam
pidato-pidatonya selalu di-anak-emas-kan sebagai yang paling
progresif dan revolusioner, bukan dimaksudkan hanya anggota PKI-nya
itu saja, melainkan PKI sebagai bagian dari strateginya di panggung
internasional, bahwa di belakang PKI itu adalah kekuatan militer RRC
dan Korea Selatan (Poros Jakarta-Peking-Pyongyang) selain juga Uni
Soviet. Kekuatan militer Kubu Marxis Internasional ini tidak
diungkapkan dalam laporan CIA yang dideklasifikasikan. Padahal,
siapa pun yang pernah hidup di Zaman Orde Lama itu, akan merasakan
kehadiran kubu internasional kiri ini, selain kubu internasional
yang kanan di bawah Inggeris dan AS.
Nah, mungkin sekali Yohanes Sulaiman tidak mengalami zaman itu,
sehingga mudah saja ikut-ikutan mengambil posisi "American uber
alles" yang bias itu selama studi di OSU. Mungkin juga, siapa tahu,
dia dipengaruhi oleh profesor ternama (beliau sahabat baik saya
lho!) di kampusnya yang bangga disebut sebagai dedengkot "Mafia
(politik) Ohio" yang (maaf kalau saya keliru, Prof) menurut saya
juga punya pandangan bias "American uber alles" lho!
Tentang G30S (Gestok menurut Bung Karno, G30s/PKI menurut Soeharto)
itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari adanya Zaman Perang dingin,
dan juga dokumen palsu Gilchrist buatan Intel Cheko di bawah
pengawasan Jendral Agayant/KGB. Dokumen inilah yang dipakai sebagai
dasar tentang adanya Dewan jendral yang merencanakan akan berkhianat
terhadap bung Karno. Apakah BK diam? Tidak! Belaiau akan ambil
tindakan keras terhadap jenderal-jenderalnya. Maka, komando
penangkapan atas sejumlah jenderal itu dikumandangkan oleh BK pada
petang hari tanggal 30 september 1965 dengan kisah santd Arjuna dan
Kresna dalam pidatonya. Tapi pelaksanaannya dijalankan setelah lewat
jam malam, artinya tanggal 1 Oktober 1965 di bawah piminan Untung.
Komando BK itu hanyalah bertujuan menangkap sejumlah jenderal untuk
diadili di lingkungan Halim Perdanakusumah. Tapi dalam
pelaksanaannya komando itu ditelikung menjadi pembantaian atas
jendral-jendral tersebut yang mayat-mayatnya berakhir di dalam sumur
mati di Lobang Buaya.
Itulah fakta yang tidak bisa dibantah sehubungan dengan yang terjadi
pada 30 September dan 1 Oktober 1965. Tentang bagaimana prolognya
sebelum tanggal 30 September, silahkan bertengkar sampai tua!
Ikra.-
======
TANGGAPAN ANTON YANG PERTAMA
Yohannes Sulaiman, Ikranegara Dan Dialektika Sejarah Sukarno
Oleh Anton
Tulisan Yohannes Sulaiman di Kompas (29 Sept 07) lebih mirip cerita dongeng seorang kakek pensiunan CIA kepada cucunya ketimbang tulisan ilmiah seorang Mahasiswa Doktoral Ilmu politik. Adalah lucu di jaman ketika informasi sudah sedemikian komplit hanya menyandarkan pada referensi CIA yang kerap banyak bias-nya dan bisa juga merupakan bahan propaganda murahan (Bahkan kemarin saya membaca buku di Gramedia tentang sisi gelap seksual Hitler, Mao dan banyak tokoh lainnya yang seperti alat propaganda CIA ketimbang dokumen historis berdasarkan fakta). Namun sejarah bukan hanya sekumpulan fakta, bila meminjam filsafat bahasa : fakta tidak dapat mengungkapkan benar atau salah namun proposisi-proposisilah yang bisa mengungkapkan benar atau salah. Dari sisi sejarah dialektika-lah yang harus dimaknai untuk mengambil kesimpulan tindakan itu benar atau salah dari pemaknaan sejarah, jadi dialektika dalam dimensi sejarah adalah proposisi itu sendiri dan dialektika historis Indonesia pada 1960-1965 adalah sebuah rangkaian historis apa yang terjadi setelah Perang Dunia II yang selesai tahun 1945. Dimana awalnya adalah Keputusan diam-diam untuk mentransformasikan Imperialisme bentuk baru hasil kajian Pertemuan New Hampshire, Bretton Woods 1944.
Beruntung Bung Ikranegara, aktor besar Film dan Teater Indonesia itu mengingatkan kekonyolan dalam tulisan sdr. Johannes Sulaiman terhadap interpretasi sejarah ala Sdr. J. Sulaiman, apalagi Sdr. J. Sulaiman menambahkan bahwa jarang sejarawan memperhatikan faktor kedekatan Sukarno dengan PKI adalah masalah proyek Malaysia. Hal ini bisa ditertawakan karena bukan saja jarang, hampir semua sejarawan yang meneliti kasus G 30 S selalu melakukan perhatian khusus terhadap korelasi antara proyek politik pengganyangan Malaysia dimana banyak spekulasi muncul hubungan ini berimplikasi terhadap aksi G 30 S.
PKI sebagai kekuatan politik dan Sukarno mau tidak mau berterima kasih dengan PKI dalam politik anti Malaysia-nya karena PNI sendiri sudah melempem (kongres terakhir PNI hanya bisa mengumpulkan tanda tangan kader kurang dari satu juta orang).Tapi adalah naif menyandarkan PKI sebagai kekuatan militer ini sama saja melakukan tindakan bunuh diri. Sukarno tidak akan sekonyol itu nyuruh perang anak-anak Pemuda Rakyat yang nggak ngerti militer untuk terjun ke Kalimantan Utara. Bisa dibuktikan aksi-aksi penyusupan ke garis Nekolim semuanya dilakukan oleh tentara TNI kalaupun ada sukarelawan itu bukan bagian penting dari rencana operasi militer.
PKI digunakan oleh Sukarno sebagai basis politik dalam negerinya untuk mendukung politik Anti Imperialisme. Sukarno sadar sesadarnya bahwa Indonesia ini sudah jadi inceran Amerika yang ingin menguasai sumber daya alam dan perlu dicurigai kenapa Amerika tidak memihak Belanda pada dua konflik militer Indonesia dengan Belanda tahun 1945-1949 dan Konflik Irian Barat 1962. Salah satu persepsinya adalah Amerika ingin menguasai Indonesia tanpa campur tangan Belanda di dalamnya sementara kekuatan Inggris tetap berada di garis Singapura. Hal ini juga diucapkan Jenderal Yani yang ditujukan pada Nekolim Inggris : “Kita tidak gentar! Kalau mereka serang kita! Sekaligus kita hancur leburkan Singapura, Ya karena memang Singapura adalah pokok, milestone dalam line of life Imperialisme” bila menyimak pernyataan A. Yani itu adalah sungguh naif mengatakan Yani takut dalam menghadapi militer Inggris. Perlu diingat Yani berpengalaman menghadapi PRRI di Sumatera dengan kekuatan militer terbatas padahal saat itu PRRI didukung senjata modern Amerika yang didrop melalui Singapura dimana Prof. Sumitro Djojohadikusumo jadi agen dalam penyelundupan senjata-senjata itu dan itu diakui Prof. Sumitro sendiri dalam biografinya. Apalagi setelah adanya modernisasi senjata besar-besaran dengan bantuan Uni Sovyet dan dukungan dari Cina maka untuk menghadapi Malaysia Bung Karno dan Yani pasti sudah punya hitung-hitungan sendiri. Perselisihan mengenai Angkatan Ke V sebenarnya tidak begitu signifikan pada konstelasi politik pada waktu itu. Itu hanya dibesar-besarkan oleh media tertentu yang diam-diam mencoba mempertajam gap Sukarno-Yani. Namun agak sulit kiranya melihat Yani berani dengan Bung Karno bahkan berpikiran mengkudeta, Yani adalah anak emas Bung Karno ia sering disapa “Anak Lanangku” (Anak Laki-Lakiku). Pelaku-pelaku sejarah yang dekat dengan lingkaran dalam Bung Karno pasti mengetahui bahwa hubungan Yani dan Bung Karno sudah mencapai taraf hubungan emosional dan Yani adalah macan politiknya Sukarno. Yani sendiri yang menciptakan kata-kata : Nekolim. Sebagai catatan untuk AH Nasution sendiri saja masih sungkan berhadapan dengan Bung Karno pada peristiwa pasca G 30 S dimana Suharto sudah mulai muncul namun dia relatif tidak memiliki hubungan emosional dengan Bung Karno. Disini harus dikaji relasi-relasi psikologis dalam konstelasi politik pada saat itu. Bung Karno pasca G 30 S dalam rangkaian pidato dari Oktober 1965- 1967 sendiri yang seperti banteng ketaton selalu bilang dia mengutuk Gestok (Gestok : bahasa BK untuk istilah G 30 S) berulang kali. Tapi dia menolak pembubaran PKI karena dengan bubarnya PKI maka landasan politik yang dibangun Sukarno akan goyah lantas Imperialisme masuk dan nyatanya benar toch akhir sejarah kekuasaan Suharto adalah ketika dia menandatangi dokumen IMF yang disaksikan dengan cara tidak sopan oleh Michael Camdessus dimana maknanya memang Indonesia merupakan bagian dari Imperialisme halus Amerika.
PKI di jaman politik Pengganyangan Malaysia memang memiliki arti penting bagi Sukarno tapi bukan berarti lantas Sukarno bisa disetir PKI disini juga Sukarno mengatur Angkatan Darat. Bagi saya sendiri yang kurang diperhatikan oleh sejarawan adalah hubungan Loyalitas Sukarno-Yani-Nasution dan percaturan politik diantara mereka bertiga. Sementara faktor sukarelawan dan kekuatan politik bisa dikatakan sepenuhnya beres. Relasi-relasi Sukarno-Yani-Nasution harus diperhatikan karena relasi itu menyangkut hubungan cinta-benci dimana Yani kerap menjadi korban pertikaian AH Nasution-Sukarno. Nasution sendiri memang sedari mulanya berpihak pada militer rasional bergaya barat sementara Yani seperti perwira jebolan PETA lainnya ia lebih sebagai representatif Jenderal Populis namun juga perlu diperhatikan pengaruh pikiran-pikiran Yani setelah menyelesaikan pendidikan militer di USA serta mulai berpengaruhnya jalur Pentagon di kalangan think tank Angkatan Darat dimana Mayjen Suwarto menjadi tokoh pentingnya. Ini yang perlu diperhatikan bukan masalah injak-injak foto dan lambang Garuda. Bila militer TNI dituduhkan takut dengan kekuatan Inggris di Malaysia bisa dipertanyakan, takut seperti apa? Perlu diingat semua front di Kalimantan Utara sudah diisi penuh oleh tentara Indonesia. Bahkan menurut biografi buku Jenderal Sumitro ia berkali-kali meninjau front terdepan Indonesia dengan Malaysia di Long Bawang dimana dia sempat ditembaki oleh tentara Inggris. Perlu diragukan juga teori ‘kepengecutan Yani’ yang juga dijadikan bahan oleh J.Sulaiman( teori penolakan perang Angkatan Darat terhadap Federasi Malaysia baru muncul setelah kekuatan Suharto mapan dimana ekspedisi damai Ali Murtopo mencapai puncak kesepakatan dan faktanya Yani sendiri sudah meninggal pada saat itu jadi tidak ada uji historis dimana Yani takut terhadap konflik Malaysia). Apakah ada dokumen yang mengatakan Yani menolak perang dengan Malaysia walaupun itu diam-diam kecuali dari dokumen CIA?. Coba periksa berita-berita di koran-koran Indonesia pada masa konfrontasi dengan Malaysia bukan dari sisi agen rahasia intelijen Inggris-Amerika. Memang dalam sejarah militer kerap Jenderal-Jenderal perang sering ragu akan kekuatan militer mereka seperti Jenderal-Jenderal Angkatan Darat Jerman dibawah Hitler ketika mulai pecah konflik Sudetenland dengan Cekoslowakia yang dikhawatirkan memancing Inggris dan Perancis untuk perang dengan Jerman atau kekhawatiran Ike Eisenhower untuk menyerbu Eropa tahun 1944 namun baik Hitler, FDR atau Churchill mereka jauh lebih mengerti kekuatan ketimbang Jenderal-Jenderal mereka sendiri. Jadi asumsi Ikranegara disini benar bahwa Sukarno jauh lebih mengerti kekuatan Angkatan Perangnya dan tidak mungkin menjerumuskan Indonesia ke dalam perang yang tidak dimengerti. Perlu diingat juga Sukarno termasuk dalam barisan konservatif dalam pemimpin Indonesia yang berani perang. Tan Malaka adalah contoh pemimpin yang sangat percaya akan kekuatan Angkatan Perang Indonesia dengan menerapkan prinsip Merdeka 100% dimana kemudian Tan Malaka akhirnya dibunuh oleh pasukan dibawah Jenderal Sungkono di Kediri karena Tan Malaka dianggap menentang politik resmi pemerintah dibawah Hatta –jelas disini Tan Malaka lebih berani berperang bila dibandingkan Bung Karno dan menunjukkan Bung Karno lebih punya hitungan untuk melakukan tindakan politiknya seperti apa yang terjadi pada proloog Proklamasi 1945 -. Jadi Sukarno punya hitung-hitungan yang lebih jeli akan kekuatan Indonesia dalam menghadapi Malaysia. Asumsi yang mengatakan Inggris lebih kuat bertempur juga perlu diragukan. Ingat Inggris belum pernah punya pengalaman perang semesta gerilya di hutan-hutan Asia justru Perancis yang sudah merasakannya dengan dihajar di Dien Bien Phu oleh rakyat Vietnam (belakangan Belanda juga merasakan pengalaman pahit bertempur gerilya di hutan-hutan Indonesia) , realitas sesungguhnya ada pada kekuatan militer ada di Amerika Serikat – dan AS gagal total dalam perang Vietnam - . Namun Inggris adalah bangsa cerdas mereka tak mau buang-buang nyawa seperti kejadian Surabaya 10 November 1945, Inggris memilih melakukan ketrampilan paling jempolan yaitu : Operasi Intelijen untuk menjatuhkan Bung Karno dari dalam dan Bung Karno-pun menyadari kelihaian Inggris ia pernah menyebutkan ini dalam pidatonya pada Rapat Panglima Angkatan Darat pada 28 Mei 1965 tentang kecurigaan ada kekuatan asing yang akan membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio. Inilah kutipan pidato Bung Karno :
Kaum imperialis sejak mereka bisa mengadakan peacefull coexistence dengan
Moskow, mereka mempunyai anggapan bahwa yang menjadi musuh bukan lagi
Moskow, melainkan kita: Indonesian Revolution, Sesudah the Indonesian Revolution
naik aktivitas dan gengsinya, bahkan sesudah revolusi Indonesia benar-benar
universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa- bangsa lain.
Sesudah mereka melihat bahwa Indonesia adalah salah satu pokok dalam kesatuan
Asia-Afrika, sesudah mereka melihat bahwa di dalam Dasa Warsa AA. (18 april 1965)
Indonesia tidak tenggelam kedudukannya di dunia AA, malahan naik, malahan
Indonesia oleh beberapa negara AA dianggap sebagai mercu suarnya, sesudah
Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi AA-II di Aljazair lekas diadakan,
sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk mengadakan CONEFO (Conference of
the New Emerging Forces) dan ternyata inisiatif Indonesia ini mendapat sambutan
yang hebat dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-negara komunis,
sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka matanya dan
mengatakan: Here in Indonesia lies the danger. Revolusi Indonesia ini harus
di-contain.
Dulu mereka mencoba menghancurkan revolusi komunis di Rusia, karena Sovyetlah
yang pertama memberontak terhadap sistim kapitalisme dan sistim kolonial. Pada
waktu itu segala usaha diadakan oleh mereka untuk menghancurkan Sovyet Uni.
Ini in geuren en kleuren (panjang lebar) diceritakan oleh Leon Trotzky dalam bukunya
"Mein Leben". Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap gempuran
dari lima jurusan. Trotzky sebagai Panglima Besar tentara Sovyet mondar-mandir ke
lima front itu dalam Markas Besarnya di gerbong Kereta Api.
Sejak usaha itu gagal untuk menghancur-lemburkan Sovyet Uni, mulailah mereka
mengadakan international campaign terhadap komunis. Maka tiap usaha dari bangsa
apa pun yang anti imperialis, dicap komunis.
Bahkan Petrus Bloemberger dalam bukunya "De Communistische Beweging In
Nederlandsch Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ir. Sukarno juga dikatakan: Ze
Zijn communisten - mereka komunis. Dan sampai sekarang masih saja "the
communist danger in Indonesia "
Baca bukunya Arnold Brackman, wartawan Amerika dulu tinggal di Jakarta dan kawin
dengan noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism in Indonesia", kita semua
dikatakannya komunis, di samping PKI.
Sebutan komunis itu bagi kita sudah oude koek (basi). Kita sebenarnya sekedar
mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan kita dan
mempertahankan revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti imperialisme, ; mereka
sebut komunis. Dijual oleh mereka omongan bahwa Indonesia yang paling berbahaya,
oleh karena Indonesia is going communist. Padahal tidak. Indonesia hanya ingin
mempertahankan kemerdekaannya, hanya ingin menggabungkan semua tenaga anti
imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang berhasrat menentang imperialisme.
Karena revolusi kita dianggap sebagai yang paling berbahaya, enemy number one -
musuh nomor satu, -. maka segala usaha mereka sebenarnya ditumpahkan kepada
menghancurkan kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita pahami. We are in
the centre -kita berada di pusat aktivitas mereka untuk menghancurkan. Kita yang
akan dihancurkan, dengan macam-macam jalan.
Panglima Angkatan Darat sudah disclose (menyingkap) bahwa ada plan yang nyata
bisa dibuktikan zwart op wit dari mereka untok menghantam kita. Ada plan yang
nyata en jullie moet het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar plan yang nyata
ada untuk mengadakan propaganda per radio dan surat kabar anti kita, tidak! Dan
Jenderal Yani pun sudah berkata: Kita tidak gentar! Kalau; mereka serang kita,
sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang karena Singapura adalah
pokok, mile stone di dalam life line of imperialism.
Sebetulnya selain plan-plan itu, kita mengetahui juga macam-macam plan dari
mereka untuk menghancurkan revolusi Indonesia, Salah satu plan itu untuk
membunuh beberapa pemimpin Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio. Itu yang
pertama-tama harus dibunuh, malah kalau bisa, sebelum Konperensi AA - II di
Alzajair (April 1965).
Kalau tidak bisa, sesudah Konperensi di Aljazair, diadakan limited attack on
Indonesia-gempuran terbatas terhadap Indonesia. Dan pada waktu itu sedang ada
limited attack, maka seperti disebutkan dalam mereka punya plan, kawan-kawan
mereka (di dalam negeri) akan bertindak membantu menggulingkan Sukarno, Yani
dan Subandrio.
Kalau ini gagal juga, mereka akan berikhtiar lain untuk menggulingkan Sukarno, Yani
dan Subandrio, yaitu membuka segala rahasia mereka terutama yang mengenai
personal life (rahasia hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak
terhadap Sukarno, Yani dan Subandrio.
Kita mengetahui: "They are preparing an attack of Indonesia. They are going to try to
kill Sukarno, Yani and Subandrio. They are going to make a limited attack on
Indonesia. They have the* friends here" - mereka mempersiapkan serangan terhadap
Indonesia. Mereka mencoba hendak membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio.
Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka
mempunyai teman-teman di sini "
(Demikian kutipan sebagian dari isi pidato Bung Karno yang rekamannya setelah
ditranskrip terdiri dari 14 halaman folio tik-tikan (2 spasi).
Pidato ini jarang dimuat dalam kajian Sejarawan yang menulis tentang fakta G 30 S. Justru Manaii Sophiaan eks Dubes Indonesia untuk Sovyet dan Anggota Konstituante dari PNI yang dekat dengan Bung Karno yang memuat pidato pada pembukaan rapat Pimpinan Angkatan Darat, Mei 1965 dalam bukunya “Kehormatan Bagi Yang Berhak”. Pidato ini juga menunjukkan juga menunjukkan bahwa Sukarno sudah sadar ada permainan intelijen asing untuk menjatuhkan dirinya beserta Yani dan Subandrio dimana masing-masing merupakan kunci dalam politik perang dengan Malaysia. Dalam konteks perang dengan Malaysia tidak ada faktor yang signifikan dari pemimpin PKI seperti : DN Aidit atau Nyoto. Kenapa garis Subandrio-Yani menjadi signifikan?. Pertama, adalah Subandrio seorang diplomat ulung dia berhasil dalam politik diplomasi perebutan Irian Barat sehingga menghindari perang terbuka antara RI-Belanda. Subandrio memiliki hubungan dengan banyak diplomat asing dan pemimpin luar negeri yang bisa mempengaruhi negara-negara lain mendukung politik Sukarno terhadap Malaysia yang ditakuti Inggris juga adalah pengaruh kekuatan diplomasi Subandrio terhadap negara-negara Asia-Afrika terutama kelompok negara-negara Sosialis yang banyak tumbuh di Asia-Afrika dimana mereka menentang Imperialisme Amerika. Subandrio sebagai tokoh BPI juga memiliki data intelijen yang bisa membuka perang intelijen dengan Amerika-Inggris. Dengan menyingkirkan Subandrio maka data-data keterlibatan intelijen asing bisa di eliminir semaksimal mungkin, buktinya pasca G 30 S kantor Subandrio di Pejambon jadi sasaran amuk massa dan dibakar sekaligus mementahkan semua data Subandrio yang sudah dikutuk menjadi ‘Durno’ oleh penentang Sukarno di tahun 1966.
Kedua, dengan menyingkirkan Yani maka pihak asing berpeluang memasukkan Jenderal yang tidak terlalu fanatis terhadap Sukarno sehingga bisa memperlemah kekuatan militer Sukarno. Bila Subandrio dan Yani bisa disingkirkan maka puncaknya adalah Sukarno sendiri. Ini dikatakan juga oleh Oejeng Suwargana yang merupakan komplotan konspirasi bawah tanah yang pernah menyebutkan (seperti dikutip dalam buku Oltmans yang juga disadur oleh Rosihan Anwar dalam Petite Histoire) : “kami akan kucilkan (Isoleren) Soekarno dan membiarkannya mati bagaikan sebuah bunga yang tak lagi memperoleh air” . Coba bandingkan ucapan Oejeng di Amerika terhadap Oltmans pada tahun 1964 dengan kejadian karantina politik Sukarno 1967-1970 dimana hidup Sukarno bagai seorang tawanan tanpa martabat. Jadi konspirasi pemberontakan itu sendiri sudah didengar Sukarno namun bentuknya seperti apa tidak jelas sampai ada muncul bahwa Sukarno akan di Ben Bella-kan karena pada saat itu timbul kudeta Jenderal Boumedienne terhadap Presiden Aljazair Ben Bella. Dan dokumen-dokumen CIA lainnya banyak yang menyebutkan akan ada peristiwa pada 5 Oktober 1965. Ini juga di dapat oleh dokumen-dokumen rilisan BPI. Namun ketebalan dokumen apapun akan menjadi jelas pada ucapan Kol. Latief yang menemui Suharto dan dicatat dalam Kesaksian Kol. Latief dalam Pledoinya di tahun 1978 :
“Dua hari sebelum peristiwa tanggal l Oktober l965, saya beserta keluarga mendatangi ke rumah keluarga Bapak Jendral Soeharto di Jalan Haji Agus Salim, yang waktu itu beliau masih menjabat sebagai panglima Pangkostrad. Di samping acara kekeluargaan saya juga bermaksud: “Menanyakan dengan adanya info Dewan Jendral, sekaligus malaporkan kepada beliau”. Beliau sendiri justru memberitahukan kepada saya:”Bahwa sehari sebelum datang ke rumah beliau, ada seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta bernama Subagiyo, memberitahukan tentang adanya info Dewan Jendral, yan akan mengadakan Coup d’etat terhadap kekuasaan pemerintahan presiden Soekarno...”Yang sebenarnya, bahwa saya pada malam itu di samping memang menengok putranya yang sedang terkena musibah, sekaligus untuk saya laporkan akan adanya gerakan pada besok agi harinya, untuk menggagalkan rencana Coup D’etat dari Dewan Jendral, di mana beliau sudah tahu sebelumnya.”
Dengan menyimak pernyataan dari Kol. Latief tadi bahwa isu Dewan Djenderal bukan lagi merupakan isu yang sangat rahasia bahkan berita terhadap akan adanya aksi penculikan ini sudah beredar di kalangan petinggi tapi ada yang lebih penting bahwa Suharto sendiri sudah mengetahui di luar sepengetahuan Latief pada titik ini perlu dibangun ruang investigatif koridor apa yang digunakan Suharto guna memanfaatkan informasi ini.
Menilik dari pidato Sukarno di depan Pimpinan Angkatan Darat kelak dikemudian hari terbukti dengan serangkaian peristiwa.. Yani dibunuh, Sukarno digulingkan dan Subandrio dipenjara baru keluar tiga puluh tahun kemudian tahun 1995.
Selain intrik internal yang berkembang dalam interior konstelasi politik Indonesia, perlu juga diperhatikan kerja anggota komplotan anti Sukarno di luar negeri yang juga banyak bersarang di Malaysia dan Singapura. Menjadi tugas sejarawan untuk mencari tahu apakah mereka telah membangun koridor Indonesia-Malaysia untuk melemahkan Sukarno? Apakah yang dilakukan LB Moerdani pada proyek normalisasi hubungan dengan Malaysia dibawah komando Ali Moertopo merupakan proyek out of the blue sky tanpa proloog?
Menilik dari pidato Sukarno di depan Pimpinan Angkatan Darat kelak dikemudian hari terbukti dengan serangkaian peristiwa Yani dibunuh, Sukarno digulingkan dan Subandrio dipenjara baru keluar tiga puluh tahun kemudian tahun 1995.
Tulisan Sdr. Johannes Sulaiman memang menarik dari narasinya dan dalam kisah prolog sebelum G 30 S tidak ada yang salah bila J Sulaeman mendasarkan pada teori-teori Mainstream G 30 S. Namun pemaknaannya bisa membuat orang salah tafsir bahwa bentuk kemarahan Indonesia terhadap Malaysia kemudian direalisir menjadi bentuk ‘Politik Pengganyangan Malaysia’ merupakan proyek pribadi Bung Karno (-yang di masa Orde Baru oleh pelacur intelektual sering disebutkan sebagai virtual enemy Sukarno- ) bahkan dalam tulisan ini seakan-akan menyeret masalah Malaysia hanya semata karena donder-nya Bung Karno karena fotonya dan lambang Burung Garuda diinjak-injak membuat interpretasi emosional jangka pendek. Padahal politik Ganyang Malaysia merupakan puncak dari karir Sukarno sebagai pembebas dan pencetus ideologi Kemerdekaan. Alam pikiran politik Sukarno sudah mencapai tahap pengertian lebih lanjut tentang makna Imperialisme itu sendiri jauh dari pengertian Imperialisme Vulgar yang masih berbentuk Kolonialisme khas abad 19. Sukarno sudah berteriak “Go To Hell IMF!!!” jauh sebelum dunia mengerti dampak politik ketergantungan yang diterapkan IMF dan menjebak negara-negara dunia ketiga ke dalam lembah hutang. Alam pikiran politik Sukarno sudah sampai pada tahap pengertian bahwa akan ada bentuk Imperialisme baru yang dikomandoi Amerika dimana Amerika sudah mendesak Inggris pada tahun 1940-1945 ketika Churchill tiap kali menghubungi Washington untuk turut campur dalam teater perang di Eropa. Pada saat hubungan itu Amerika masih berdiam diri karena Hitler-pun mengirim lobby-lobby politik untuk memperoleh dukungan Amerika namun akhirnya Amerika lebih memilih Churchill dan Stalin sebagai sekutu di Eropa ketimbang Hitler. Itu kenapa : Karena Hitler masih menerapkan Kolonialisme Vulgar dan tidak sejalan dengan tendensi Kapitalis-Liberal ala Amerika Serikat. Daripada memusuhi Stalin dengan kekuatan Komunisnya yang besar, lebih baik mengikat Stalin di ruang Eropa Timur ketimbang bersekutu dengan Nazi Jerman yang selain buas juga masih lekat otak kolonialisme khas abad 19. Salah satu syarat yang mendasari Amerika untuk turun pada perang dunia kedua adalah Inggris harus melepaskan semua negara koloni-nya karena bila tidak hal ini akan memicu kecemburuan dari negara-negara maju lainnya seperti : Jerman dan Jepang dimana mereka merasa terpinggirkan dalam perebutan wilayah yang oleh Hitler disebut sebagai :Lebensraum-Ruang Hidup- . Untuk itu kemudian dibentuklah IMF, World Bank, GATT dan segala bentuk hub/central financial untuk membiayai imperialisme jenis baru ini. Musuh mereka sendiri adalah Uni Sovyet namun Amerika yakin Sovyet tidak akan menghajar Amerika karena bagaimanapun orang-orang Rusia berterima kasih atas bantuan Amerika membebaskan Eropa dari serbuan Hitler. Jasa dan kekaguman inilah yang kerap dijadikan landasan untuk tidak melakukan politik konfrontasi secara terbuka. Perang yang dilakukan adalah Proxy War.
Ini terbukti ketika akhirnya Sovyet menerapkan politik diplomasi dengan Amerika ko-eksistensi, yang artinya saling mengakui eksistensi masing-masing negara.
Jadi Imperialisme pertengahan dekade 1940-an ada dua : Imperialisme barat dengan Amerika sebagai boss-nya dan Imperialisme Sovyet dimana Moskow jadi Patriakhnya. Disini Sukarno ingin menghindari dua-duanya maka untuk itu pada tahun-tahun perang bersenjata 1945-1949 ia harus mempermainkan kedua kekuatan itu di Indonesia hasilnya adalah : Peristiwa Madiun 1948 dan KMB 1949. Namun setelah ko-eksistensi Sovyet-AS maka tendensi Kapitalisme Liberal berubah dari permusuhan total dengan komunisme beralih menjadi permusuhan terhadap negara-negara yang memiliki semangat nasionalisme tapi mempunyai sumber daya alam seperti : Vietnam dan Indonesia setelah itu Amerika juga memburu negara-negara Arab yang kaya minyak dengan menempatkan Israel sebagai central agent-nya. Sukarno sudah membaca ini karena itu dia menjauh dan mendekat pada Cina yang kemungkinan bisa bekerjasama apabila memang benar-benar Amerika menyerbu Indonesia atau meledak perang Malaysia-Indonesia.
Jadi untuk menjadikan basis penelitian pada G 30 S adalah tujuan utama Amerika untuk menguras kekayaan negara yang diincarnya. Terbukti dibawah rezim Kapitalis Kroni Indonesia, negara kita nyaris bangkrut (atau mungkin sudah bangkrut?) Bukan cuman mendasari pada proloog injek-injek foto dan lambang negara Garuda. Ada makna substansial yang lebih penting kenapa Bung Karno berkata dalam pidato yang ditujukan pada Tunku Abdurrahman :
“Kamu mau apa..Konfrontasi ekonomi...kita balas dengan konfrontasi ekonomi...Konfrontasi politik kita balas dengan konfrontasi politik...Konfrontasi militer....kita balas dengan konfrontasi militer...Iki Dadaku, Endi Dadamu!!!!.....
Pernyataan Bung Karno itu menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam kepungan kekuatan militer Inggris-Amerika sementara Australia dibawah dan Singapura diatas akan jadi penopang pangkalan militer barat. Politik pengganyangan Malaysia merupakan realisasi tindakan Bung Karno untuk melawan gejala Imperialisme di depan matanya, realisasi ini merupakan dialektika sejarah perkembangan politik dunia dimana kapital yang menjadi pusat silang sengketa. Apa yang ditakutkan pada Imperialisme di Kalimantan Utara malah terjadi di bumi Indonesia dengan agen Imperialisme-nya Bapak Pembangungan Indonesia, Jenderal Besar Suharto. Yang oleh pelukis Djoko Pekik dilukiskan seperti celeng dengan tulisan : Pengkhianat Revolusi.
Dalam sejarah yang saling bertubrukan keterkaitan antar teori-teori yang saling bertentangan menjadi sangat penting sebelum kita masuk ke dalam ruang kesimpulan. Namun untuk kasus G 30 S nampaknya benar apa yang dikatakan Bung Ikranegara...bertengkar terus sampai tua. Kenapa sebabnya? Ya, karena seret Suharto-pun kita nggak berani jangankan untuk mencari fakta G 30 S, untuk mendukung PBB mengungkap kebenaran saja kita masih takut pakai alasan Nasionalisme dibawa-bawa seperti tulisan aneh (untuk ukuran koran secerdas Kompas) Suryopratomo di editorial Kompas tentang Suharto dan PBB.
ANTON
TANGGAPAN YS TERHADAP IKRANEGARA DAN ANTON
> Tanggapan Saudara Anton memang benar-benar menarik, walaupun
> kelihatannya ditulis dalam kondisi yang emosional dan terlalu
> bersemangat 1945, padahal keinginan untuk saling belajar dan
berkepala
> dingin paling penting dalam sebuah diskusi apalagi tentang masalah
> G30S/PKI yang kontroversial ini. Sebelum Saudara Anton membaca
> tanggapan saya, pertama-tama, saya lampirkan dulu tanggapan saya
> terhadap tulisan Bapak Ikranegara:
>
> Tulisan sanggahan Pak Ikranegara memang menarik, namun sayangnya ia
> tidak melihat konteks politis Indonesia pada masa itu. Dalam tulisan
> ini, saya akan membahas sanggahan-sanggahan yang ia kemukakan dan
> mencoba menempatkan para pembaca dalam konteks situasi waktu itu.
>
> Sanggahan pertama Pak Ikranegara terhadap tulisan saya terletak pada
> peran PKI. Pak Ikranegara melihat peran PKI adalah sebagai serdadu
> sipil, namun Sukarno membutuhkan PKI bukan untuk sebagai serdadu.
> Sukarno menguatirkan kepopuleran PKI dikalangan masyarakat, di mana
> pada pemilu 1955 PKI mendapatkan 16.4% suara dan pada pemilu daerah
> tahun 1957, perolehan suara PKI meningkat sebesar tujuh juta, dan ini
> hanya di Jawa. Pada tahun 1963, tak ada lagi partai politik yang bisa
> menyaingi PKI: Masyumi sudah dibredel tahun 1959, PNI tak terlalu
> berguna, sementara NU hanya kuat di kalangan kaum tradisionalis di
> Jawa Tengah dan Jawa Timur.
>
> Selain itu, tak bisa dilupakan bahwa PKI adalah partai komunis
> terbesar ketiga di dunia, dibelakang Uni Soviet dan China Beijing!
> Posisi PKI begitu ditakutinya di dunia, sampai Uni Soviet dan China
> Beijing berusaha mendekati PKI. Apalagi, setelah China Beijing
> berhasil meledakkan bom nuklir dan Sukarno ingin mendekatkan
Indonesia
> ke China Beijing, PKI menjadi sulit dipisahkan. Sebetulnya masih ada
> juga satu alasan kenapa Sukarno betul-betul mau membentuk poros
> Jakarta-Beijing-Pyongyang-Phnom Pehn, namun saya tak akan bongkar
> sekarang, karena saya ingin kalau disertasi saya diterbitkan juga
> masih ada kejutan yang belum saya buka. Saya hanya beri petunjuk
saja,
> bahwa ada hubungannya dengan Amerika Serikat.
>
> Sanggahan kedua Pak Ikranegara terletak pada posisi Sukarno sebagai
> Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI dan Pemimpin Besar Revolusi.
> Perlu diingat bahwa tentara Indonesia itu mungkin paling unik di
> dunia, bahwa hampir semua divisi (bahkan batalyon!) memiliki
kebebasan
> sendiri, akibat minimnya dana yang bisa curahkan pemerintah untuk
> memenuhi kebutuhan angkatan bersenjata. Kebebasan tentara pun
> diperkuat atas bisnis tentara sendiri, di mana untuk memenuhi
> kebutuhan dana militernya, mereka harus bergantung kepada
> penyelundupan dan usaha-usaha bekas milik Belanda yang
> dinasionalisasi. Jadi, walaupun Sukarno memiliki banyak gelar, ia tak
> berkuasa sepenuhnya kepada angkatan bersenjata. Karena itu, sulit
> untuk Sukarno untuk seenak perutnya memecat jendral-jendral yang ia
> tidak sukai.
>
> Ketiga adalah pribadi Sukarno sendiri. Pak Ikranegara menolak melihat
> Sukarno sebagai seorang yang emosional, penuh dendam, dan emosional.
> Mari saya kutipkan tulisan Sukarno sendiri melalui autobiografinya
> yang terkenal (kecuali kalau anda rasa itu tulisan CIA juga):
"Sukarno
> adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin
> yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja
> sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain.
> Sukarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
> manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka."
>
> Orang macam apa yang berani menulis seperti ini, kecuali Sukarno
> dengan harga dirinya yang memang sangat tinggi itu, di mana ia ingin
> Indonesia juga memiliki harga diri tinggi di mata dunia? Saya tadinya
> juga tidak percaya waktu membaca dokumen CIA tersebut, tapi dari
> membaca biografi Sukarno serta melihat tindakan-tindakannya sejak
> tahun 1945lah maka akhirnya saya percaya bahwa Sukarno BISA melakukan
> hal ini, yakni melempar Indonesia ke Konfrontasi karena ia
> dipermalukan Malaysia. Masih banyak lagi bahan yang bisa saya gunakan
> untuk mendukung argumen saya ini, tapi saya tak mau memanjang-
> manjangkan tulisan yang memang sudah cukup panjang ini.
>
> Dari sanggahan Pak Ikranegara, ada satu yang saya setuju, yakni G30S/
> PKI itu bertujuan untuk mengadili para jendral. Tapi saya menekankan
> satu hal dalam disertasi saya, yakni G30S/PKI itu adalah sebuah
> kecelakaan. Namun saya tak tuliskan dalam tulisan di Kompas berhubung
> keterbatasan tempat dan di luar topik. Mungkin anda tak percaya, tapi
> pada tanggal Oktober 6, 1965, CIA sendiri menyatakan kepada Presiden
> Johnson bahwa tak mungkin PKI merencanakan pembunuhan atas keenam
> jendral tersebut karena situasi politis di Indonesia sangat
> menguntungkan PKI, suatu laporan yang agak sulit diterima kalau kita
> berpendapat bahwa AS/CIA itu adalah dalang dari G30S/PKI.
>
> Keempat, Pak Ikranegara sayang sekali sangat berpandangan naïf
tentang
> Sukarno, sehingga ia tak bisa menghargai dan mengagumi kehebatan dan
> kelihaian Sukarno dalam berpolitik. Walaupun disertasi saya ini
> mungkin dianggap menyerang Sukarno, tapi semakin lama saya
mempelajari
> Sukarno, semakin kagum saya, kok bisa ada orang selihai ini, tak
> seperti yang biasa dituliskan dalam buku-buku biografi tentang dia.
>
> Terakhir, saya menolak kalau saya dianggap ikut-ikutan pandangan guru
> besar saya yang dianggap berpandangan "American Uber Alles" itu.
> Soalnya, saya lebih berpandangan "American Uber Alles" daripada dia!
> (yang ini bergurau, tolong jangan dianggap serius).
>
> YS
> ---------------
>
> Saya rasa saya sudah menjawab sebagian besar tulisan Saudara Anton.
> Sekarang untuk menjawab tanggapan Saudara Anton yang belum dibahas
> dalam tanggapan saya kepada Pak Ikranegara:
>
> Pertama-tama saya akan membahas tanggapannya mengenai bahan-bahan
dari
> CIA. Semua dokumen yang saya gunakan ditulis persis pada saat
> terjadinya sebuah peristiwa, kecuali satu buku investigasi dari CIA
> tentang G30S/PKI yang diterbikan tahun 1969 dengan menggunakan bukti-
> bukti dari pengadilan orang-orang yang terlibat dalam G30S/PKI dan
> satu artikel untuk publikasi internal CIA yang mengulas peran Amerika
> Serikat dalam kejatuhan Sukarno. Semua dokumen tersebut adalah untuk
> konsumsi internal yang baru saja dilepaskan untuk umum beberapa tahun
> yang lalu, sehingga tak ada inisiatif bagi para penyusun dokumen itu
> untuk memain-mainkan apa yang mereka tulis untuk umum. Semuanya hanya
> untuk para pengambil keputusan di Washington. Mungkin Saudara Anton
> ini sudah cenderung terbuai semua rumor tentang propaganda CIA akibat
> paham kirinya yang menggembar-gemborkan dialektika sehingga ia tak
> bisa membedakan mana dokumen yang diperuntukkan untuk konsumsi umum
> dan mana yang diperuntukkan untuk konsumsi internal di Washington.
> Begitu pula dengan Sukarno: ada yang Sukarno katakan untuk konsumsi
> umum dan ada juga yang untuk konsumsi kalangan tertentu, dan lucu
> bahwa pidato Sukarno yang jelas-jelas untuk konsumsi umum dianggap
> lebih berbobot daripada dokumen-dokumen CIA yang ditulis untuk
> konsumsi elit di Washington. Keduanya sama pentingnya sebagai bukti
> sejarah, pertanyaannya adalah bagaimana kita, sebagai orang yang
> mempelajari sejarah, berusaha untuk menganalisanya.
>
> Kedua, mungkin saya memang sudah lama tidak di Indonesia akibat
> bergumul dengan pelajaran di sini karena itu saya sudah ketinggalan
> tentang perkembangan literature G30S/PKI di Indonesia. Tapi sejauh
> yang saya lihat, dari tulisan-tulisan yang muncul di berbagai media,
> ditambah lagi beberapa buku baru yang baru diterbitkan seperti buku
> John Roosa yang menarik, yang membahas tentang G30S/PKI, tak ada dari
> mereka yang betul-betul mencoba melihat korelasi antara Malaysia
> dengan tentara-tentara yang terlibat G30S/PKI. Berbuhung dari itu,
hal
> ini tak bisa saya bantah, tapi di sisi lain juga, Saudara Anton perlu
> memberikan bukti kepada saya bahwa banyak sejarahwan di Indonesia
> sudah memperhatikan hubungan antara Konfrontasi dengan G30S/PKI. Di
> sini, saya dengan senang hati menunggunya.
>
> Ketiga, cukup banyak tulisan Saudara Anton ini yang sulit dibantah,
> bukan karena tak terbantahkan, tapi karena ia melakukan orasi di sana
> sini, tanpa data-data yang kuat. Jika waktu itu Kalimantan memang
> sudah dipenuhi pasukan Indonesia dan Sukarno yakin bahwa Indonesia
> menang, mengapa tak ada penyerbuan kepada Malaysia saat itu juga?
> Dipikir-pikir Inggris sendiri waktu itu juga sebal, karena biaya
> mereka setiap hari itu mencapai satu juta poundsterling dan alasan
> mereka untuk membentuk Malaysia sendiri agar mereka bisa cepat-cepat
> meninggalkan Asia Tenggara dan mendapatkan Federasi Malaysia yang
> terdiri dari Malaya, Singapura, Sabah, dan Serawak yang anti komunis.
>
> Keempat, soal Tan Malaka, mungkin anda tak tahu, tapi Tan Malaka
> pernah meminta dukungan Sjahrir untuk mengangkat dirinya sebagai
> presiden menggantikan Sukarno. Sjahrir menjawab pendek: kalau kamu
> hanya sepuluh persen saja sepopuler Sukarno, kita akan
> mempertimbangkan untuk mengangkatmu senagai presiden. Ini bukan dari
> CIA, ini adalah tulisan Rosihan Anwar, kecuali kalau anda juga
> menganggap Rosihan Anwar dipengaruhi CIA.
>
> Kelima: Saya tak pernah berpendapat Ahmad Yani itu pengecut. Ada
> perbedaan besar antara orang yang tahu kekuatan dirinya sendiri
> sehingga menolak untuk berkelahi dengan orang yang tak mau berkelahi
> karena pengecut. Contoh yang pertama adalah Ahmad Yani. Saya tak
> pernah melihat tindakan Ahmad Yani sebagai sebuah kepengecutan.
>
> Keenam, tulisan anda itu sudah terlalu panjangnya dan meleber kemana-
> mana seperti nila didalam susu saja, sampai saya terus terang bingung
> mau balas bagian mananya, soalnya pusing. Tujuan tulisan saya di
> Kompas kan hanya untuk mencoba membawa isu Malaysia ke perdebatan
> tentang G30S/PKI dan memperlihatkan bahwa Sukarno sendiri bukannya
> pendukung PKI 100% karena tindakan Sukarno yang berpihak kepada PKI
> sejak tahun 1963-5 didasarkan oleh kalkulasinya tentang Malaysia.
>
> Satu nasihat saya: kalau menulis sejarah, tak perlu bawa-bawa
> dialektika. Dialektika imperialisme/kolonialisme yang senangnya
> digembar-gemborkan Aidit dan pemimpin-pemimpin komunis di Beijing dan
> Moskow sana membuat tulisan jadi panjangnya enggak karu-karuan dan
> meleber kemana-mana, tak terlalu bisa memberikan kontribusi yang
> berarti kepada perdebatan, dan membuat anda menjadi "bias" dan
menolak
> mengevaluasi fakta-fakta yang ada secara objektif.
>
> YS