Wednesday, 3 October 2007
Renungan : Sinetron Para Pencari Tuhan (PPT)
Renungan : Sinetron Para Pencari Tuhan (PPT)
Oleh Anton
Sinetron paling bermutu tahun ini layak diberikan pada : Para
Pencari Tuhan. Bahkan dibandingkan dengan produksi Deddy Mizwar
lainnya yang juga tayang di sore hari : Kiamat Sudah Dekat (KSD),
mutu Sinetron PPT jauh diatas KSD yang sesungguhnya sudah memasuki
titik jenuh. Ada yang menarik dalam PPT ini dari gerak pikir Deddy
Mizwar, pertama judulnya. Kedua, karakterisasi tokoh-tokohnya dan
ketiga, susunan masyarakat yang dibangun dalam setting sinetron itu.
Dalam judul Para Pencari Tuhan Deddy Mizwar tampaknya secara
pemahaman sedang mengalami lompatan transendensi dalam memahami
proses pencarian Tuhannya. Pada judul `Kiamat Sudah Dekat', nama
judul itu mengandung makna spekulatif tapi juga ending dari seorang
yang sudah paham spiritual. Disini Deddy sebagai figur utama ada
pada puncak pemahaman Islam : Ikhlas. Landasan Ikhlas dalam
terminologi Islam bisa dikatakan sebagai landasan keseluruhan dalam
menjalankan disiplin-disiplin beragama. Ikhlas bukan berarti titik
henti tapi merupakan pelepasan dari sesuatu yang bermakna duniawi.
Keikhlasan sering dimaknai dalam konsepsi tasawuf sebagai sebuah
puncak penglihatan yang tidak terhijab. Atau `terbukanya hati
seseorang ketika melihat sesuatu yang dianggap beban'. Dititik
inilah kemudian pikiran dilepaskan dan mulai digunakannya hati
nurani sebagai alat bertindak. Dalam Sinetron KSD, keikhlasan
menjadi sebuah alur cerita yang menarik dimana seorang Bapak yang
begitu membanggakan produknya �seorang puteri yang cantik dan tahu
etika menurut standar si Bapak harus berjodoh dengan lelaki yang
sama sekali di luar himpunan etika si Bapak � disinilah kemudian
bertarung antara idealisme dengan realitas.
Kedua, adalah karakterisasi tokoh. Deddy Mizwar adalah generasi emas
Produksi film tahun 80-an. Ia dibesarkan oleh Asrul Sani lewat
Nagabonarnya dan kenal dengan sutradara-sutradara jempolan seperti
Nyak Abbas Akup atau Wiem Umboh, walaupun secara intelektualitas
sinematografi-nya ia jauh dari ruang Teguh Karya yang cenderung
kontemplatif. (Inilah kenapa lingkar dalam artis-artis Teguh Karya
selalu bernada serius) Deddy tidak, ia adalah murid terbaik Asrul
Sani sutradara drop-dropan jaman Revolusi 1945. Asrul Sani adalah
seniman berkarakter borjuis, cerdas, dan mampu memahami realitas
masyarakatnya ke dalam situasi satire. Sinetron Asrul Sani di TVRI
tahun 80-an seperti : `Monumen', `apa yang kau cari Palupi'
merupakan pendongkelan pelan-pelan sistem masyarakat Indonesia yang
sudah dibohongi oleh Orde Baru. Asrul Sani sangat concern terhadap
bentuk penghumoran dan penggelitikan susunan masyarakat, ini berbeda
dengan Teguh Karya yang lebih melihat artistik dalam susunan
masyarakat Indonesia. Nagabonar adalah contoh terbaik bagaimana
Asrul Sani memparodikan sikap perjuangan bangsanya dalam revolusi
bersenjata yang kemudian mengandung pertanyaan apakan Revolusi
Bersenjata itu merupakan perlawanan rakyat atau TNI. Sebab tahun 80-
an Orde Baru seakan-akan memonopoli sejarah bahwa hanya ABRI-lah
pemegang saham terbesar kemerdekaan Indonesia, mereka lupa ada unsur-
unsur lain dalam proses perjuangan kemerdekaan termasuk gerakan
rakyat sebagai unsur terpenting dalam kemerdekaan Indonesia. Dari
sinilah Deddy Mizwar banyak belajar.
Dalam sinetron PPT, pembangunan karakter sangat sempurna bahkan
boleh dibilang revolusioner bila dibandingkan dengan sebarisan
sinetron dungu Indonesia yang masih saja berkibar-kibar dengan orang-
orang Bollywood sebagai tokoh utama konspiratornya. Deddy berhasil
menjadi penyelamat sinetron Indonesia yang didesak ke pinggir jurang
kebodohan demi rating. Sinteron-sinetron kita saat ini bukan saja
rendah pembentukan karakternya tapi memang tidak diperhatikan. Tapi
Deddy tidak, ia mampu membentuk karakter masing-masing orang bahkan
dengan memperkuat karakter kepribadian orang itu. Deddy adalah jenis
sutradara yang tidak menjadikan aktornya tersiksa dalam karakter
orang lain. Lihatlah karakter Udin, si Udin Ngaga ini kemungkinan
dalam sehari-harinya memang berkarakter asal njeplak, cerewet dan
kritis. Di tangan Deddy Mizwar aktor Udin ini diperkuat, dari
seluruh pemeran PPT karakter Udin-lah yang terbaik dia menjadi
penterjemah pikiran Deddy Mizwar tentang pembumian agama,
penghubungan relasi-relasi antara mistifikasi agama dengan realitas
kemasyarakatan. Karakter Udin adalah tendensi sekuler dalam
masyarakat. Sedikit dibawah Udin adalah karakter Asrul Dahlan yang
berperan sebagai Asrul, karakter Asrul dengan logat Medan-nya yang
khas diperkuat Deddy dengan sikap idealis. Disini sesungguhnya Asrul
dikurung oleh Idealisme-nya, Asrul adalah pengejawantahan terbaik
dalam cerminan sikap Nabi Ayub dalam melihat kemiskinan, walaupun ia
berteriak dengan kemiskinannya, ia masih berpegang pada idealisme-
nya karakter ini ditubrukkan pada Udin yang realistis kemudian bukan
melahirkan kontra tapi sebuah kolaborator dengan titik : Idealisme
atau Realitas semuanya berujung pada kepentingan, `bagaimana gua
bisa makan hari ini'. Duet Asrul dan Udin merupakan duet menarik
yang menggambarkan kebimbangan kaum proletar. Mereka mati-matian
untuk bergantung pada orang kaya tapi dalam hati mereka memusuhi.
Ketidakberdayaan kaum proletar ini semakin dipaksa ke dalam susunan
masyarakat yang sudah ada dimana memang secara ekonomis kaum
kapitalis-lah yang memegang kekuasaan dan pendorong agar Udin-Asrul
ini agar menerima takdir kemiskinan mereka secara fatalistis adalah
Al Ustadz Ferry yang diperankan secara parodikal oleh Akri. Deddy
Mizwar tidak salah menarik Akri sebagai parodi Al Ustadz yang doyan
duit dan selebritas �sebuah tendensi dakwah jaman kita � Mungkin
Deddy mengamati secara serius karakterisasi Akri ketika melawak
dengan Patrio, dan harus diakui Deddy adalah orang paling pintar
dalam mengambil aktor dengan kesesuaian karakter, ini bisa dilihat
dalam Nagabonar 2 bagaimana Karakter Lukman Sardi yang sopir bajaj
tanpa banyak bicara bisa terbangun sebagai bagian dari masyarakat
marginal ibukota yang juga dirugikan oleh sejarah (suatu saat
Nagabonar tua melihat foto orang tua karakter Lukman Sardi yang
berseragam perwira AURI, - pada jaman Orde Baru AURI mengalami
korban sejarah akibat Gestapu), begitu juga saat Deddy memasukkan
karakter Jaja Mihardja yang tanpa bicara bisa mengundang gelak
penonton, karakter Djadja sebagai seorang Gay Tua. Nah, si Akri
yang sering memparodikan dalam lawakannya sebagai orang Arab bisa
dijadikan oleh Deddy sebagai gambaran elite agama yang lidahnya ke
Arab-Araban namun perilakunya tetap `Indonesia Banget'. Lidah ke
Arab-Araban dalam konteks keberagamaan di Indonesia dalam ruang
bahasa sudah bisa masuk ke dalam masyarakat elite, ini sama saja
dengan lidah ke Perancis-Perancisan bagi orang Jerman dan Rusia pada
abad 17, dimana bahasa Perancis adalah bahasa Dewa sementara bahasa
Jerman dan Rusia cukup buat bicara dengan kuda. Kecemerlangan Deddy
juga membawa karakter Akri ke dalam komoditifikasi Dakwah. Dakwah
dalam pikiran Al Ustadz Ferry bukan lagi media perjuangan sebagai
pewaris Ilmu Nabi, tapi merupakan sebuah industri. Ini bisa terlihat
bagaimana Al Ustadz kecewa pada isterinya yang lebih dipilih oleh
industri sinetron ketimbang dirinya, kekecewaan ini menunjukkan
bahwa konsepsi dakwah Al Ustadz adalah industrialis bukan idealis.
Zascia Mecca yang memainkan karakter Ayya, adalah sebuah
kecemerlangan Deddy yang secara diam-diam melihat Zascia adalah
etalase perempuan berpenampilan muslim, tapi cukup sampai pada
batasan etalase belum substansial kemuslimannya. Ini diperlihatkan
bagaimana Ayya menjadi wanita pendendam hanya karena
dikatakan `bodoh' oleh pacarnya. Karakterisasi Ayya ini merupakan
sindiran pada kaum muslimah bahwa dengan baju berpenampilan Muslim
apa sudah bisa melakukan substansi ke-Islamannya? Atau sekedar
menjadi etalase? Yang kemudian membawa ke arah industrialisasi yang
ujung-ujungnya adalah akumulasi Kapital.
Pelawak Jarwo yang memainkan sebagai Pak Djalal, lelaki kaya yang
sinis menjadi semacam klise bahwa menjadi kaya adalah kurang baik
dan cenderung kikir. Ini merupakan karakter biasa dimanapun, ya di
Amerika ...ya di Indonesia. Kekayaan dalam sinema-sinema selalu
digambarkan sebagai orang yang culas dan mencuri dari keringat orang
lain. Hanya saja Jarwo disini selalu merasa menang ketika bisa
menghina orang lain dengan bandingan kekayaan.
Puncak dari karakter PPT ya.. Bang Jek sendiri alias Deddy Mizwar,
dia lucu, cerdas namun na'if. Puncak kelucuannya saat dia berkhotbah
di rumah Pak Djalal tapi nggak konsen pada apa yang dibicarakannya
dan bikin malu teman-temannya. Hal ini mengingatkan saya pada
sinetron Bajaj Badjuri saat itu Si Said kedatangan pamannya dari
Arab yang nggak bisa bahasa Indonesia, dia cuman bisa bahasa Arab.
Sang Paman dan Si Said diundang ke acara selamatan Mpok Minah. Saat
paman Si Said bicara pada Said dalam bahasa Arab, pembicaraan biasa-
biasa saja dan bukan do'a. Tetangga-tetangga Si Said termasuk Pak
RT, Ucup, Emak, Badjuri dll bilang ... "Amien...Amien" menganggap
yang dikatakan Pamannya Si Said adalah do'a. Ini merupakan sindiran
bahwa orang kita tidak pernah paham substansi sebuah makna. Apalagi
makna beragama.
Susunan masyarakat dalam PPT digambarkan dengan apik oleh Deddy.
Dalam sinetron KSD susunan masyarakat ini tidak terlalu terlihat
relasi-relasinya, namun oleh Deddy di PPT diperlihatkan relasi-
relasinya termasuk penindasan terselubung si kaya dengan si Miskin
yang dengan baik digambarkan pada negosiasi kerja antara Pak Djalal
dengan Asrul-Dahlan dan saat Pak Djalal membayar uang dengan
membuang uang bukan memberikan baik-baik, inilah kekerasan
struktural masyarakat. Dari semua penggambaran susunan struktural
masyarakat pesannya singkat, bahwa kita harus menerima susunan
masyarakat tanpa harus mengkritisinya dan mungkin bila stress ya...
larinya ke do'a-do'a serta dzikir, bukan begitu Bang Deddy?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment