Wednesday 3 October 2007
Menggali Makna Ucapan : Warga Pondok Indah Menolak Busway
Oleh Anton
Di satu kurun waktu ketika filsafat aliran Positivisme berkembang
hebat terutama di lingkungan Wina (Der Wiener Kreis) pada paruh
pertama abad 20, ada pencarian tentang bagaimana memaknai ucapan.
Apakah ucapan itu bermakna lalu mengandung kebenaran, atau bermakna
hanya mengandung makna tanpa menghiraukan ucapan itu benar atau
tidak. Untuk mencari kebenaran diperlukan observasi, disinilah para
Filosof mencoba merumuskan verifikasi dari makna-makna ucapan.
Kemudian verifikasi berkembang menjadi sebuah ilmu bahasa yang bisa
membedakan bagaimana ini menjadi benar atau salah. Verifikasi banyak
dipahami dalam bahasa detektif-polisi dan juga banyak ditemukan dalam
kalimat-kalimat awal investigatif. Verifikasi lahir dari sebuah
pencarian bahwa : bagaimana dapat ditentukan suatu norma yang dapat
membedakan ucapan-ucapan yang bermakna dari ucapan-ucapan yang tidak
bermakna.
Kata-kata seperti : Singapura adalah ibukota Republik Moldova,
itu `benar' secara pemaknaan karena memiliki makna, karena kalimat
itu `bermakna' salah. Kalimat positivisme kemudian di verifikasi
pada pemaknaannya dan mendapatkan kebenarannya atas dasar pengalaman
atau adanya observation statement. Lalu misalnya Anton lebih keren
dari Manneke Budiman itu sama sekali tidak bermakna karena baik Anton
atau Manneke Budiman tidak pernah bertemu dan tidak mungkin
diverifikasi atas dasar pengalaman, penemuan makna Anton lebih keren
dari Manneke Budiman baru bisa dimaknai oleh pihak yang
berkepentingan secara subjektif. Jadi pemaknaan yang kosong itu
digiring ke arah kesadaran realitasnya. Dan realitas-lah yang
menentukan kesadaran bukan kesadaran menentukan realitas. Kalimat-
kalimat yang benar dan lepas dari dasar pengalaman dan mengandung
kebenaran tanpa perlu verifikasi hanyalah kalimat-kalimat simbol yang
meninggalkan cakrawala bahasa, kita menyebutnya : Matematika.
Lalu bagaimana mencoba memaknai ucapan protes warga Pondok Indah
terhadap program Busway dengan alasan di lingkungan mereka akan
terjadi penebangan pohon. Apakah makna ucapan itu juga dibenarkan
baik dari sisi historis bahasanya atau merupakan kalimat topeng yang
menyatakan `bahwa kami lebih baik dari mereka' juga `kami berbeda
dengan mereka'. Yang merupakan kalimat alam bawah sadar manusia
terhadap keberadaan mereka dalam kelasnya. Postulat Marxian
menyatakan : Kesadaran manusia ditentukan oleh masyarakatnya, cara
melihat suatu objek pertama-tama ditentukan oleh kesadarannya, jadi
kesadaran kelasnya-lah yang pertama-tama menentukan hasil dari
kesimpulan pengamatan. Ini berbeda dengan Hegel atau penganut
Metafisika yang memandang bahwa ide-lah yang menentukan kesadaran
masyarakat. Jadi dengan filsafat Positivisme ala Der Wiener Kreis dan
menggunakan pola Marxian saya mencoba memaknai protes warga Pondok
Indah.
Pertama-tama "Pohon-pohon ini jangan ditebangi" ucapan warga Pondok
Indah membela kepentingan lingkungan jadi bermakna salah dari sisi
historis keberadaan lingkungan Pondok Indah. Karena menurut
pengalaman dari masa kecil saya lingkungan Pondok Indah-Ciputat
adalah hutan karet yang teduh. Dulu daerah Pondok Indah-Fatmawati-
Ciputat (sebelum ada proyek pembangunan Kampus UI dan IAIN) adalah
wilayah yang rindang, banyak kebun buah dan hutan karet yang masih
ada segerombolan monyet-monyet liar. Sado masih banyak mangkal di
perempatan Pasar Ciputat. Barulah ketika pembangunan Kampus UI (yang
kemudian dialihkan pembangunannya ke wilayah Depok, saat ini sisa
proyek itu hanya menyisakan kompleks perumahan dosen UI Ciputat)
mulai ada sekitar awal akhir tahun 60-an dan tahun 70-an daerah ini
mulai ramai. Ledakan keramaian daerah ini tumbuh sekitar akhir tahun
70-an ketika Ciputra membangun perumahan Pondok Indah sebagai pesaing
Perumahan elite Kebayoran yang merupakan ikon pembaharuan Orde Lama.
Pondok Indah di selatan Jakarta adalah lingkungan baru orang-orang
kaya yang tumbuh di jaman Orde Baru. Pembangunan perumahan Pondok
Indah mengundang penggusuran-penggusuran atas tanah milik orang
betawi yang juga menumbangkan banyak pepohonan rindang seperti :
Pohon kecapi, Rambutan atau Pohon Nangka lalu lingkungan menjadi
berkembang dengan pesat karena tingkat pertumbuhan penduduk namun
hijaunya lingkungan di wilayah sekitar itu menjadi tidak senyaman
tahun-tahun sebelumnya. Puncak tidak ramahnya lingkungan adalah
ketika ada penggusuran besar-besaran jalan tol lingkar luar yang ada
di perbatasan Pondok Indah dengan Lebak Bulus � adanya jalan tol ini
juga secara tidak langsung karena tumbuhnya kaum kaya baru di
lingkungan ini - . Penggusuran yang melibatkan banyak mafia tanah ini
mendorong penggusuran-penggusuran juga kerusakan lingkungan. Jadi
bila ditanya siapa yang memicu ketidakharmonisan alam di sekitar
lingkungan Pondok Indah-Ciputat secara historis kita bisa mengarahkan
telunjuk kita pada pengembang Pondok Indah. Bahkan dengan akumulasi
modalnya mereka kita sudah memonopoli lingkungan Pondok Indah sampai
Mall direproduksi berkali-kali.
Setiap gerak laju masyarakat selalu menciptakan realitas baru
termasuk kontradiksi-kontradiksinya. Pondok Indah dicitrakan sebagai
lingkungan ter-elite di Jakarta. Makna lungkungan elite ini berbeda
dengan lingkungan elite Menteng atau Kebayoran Baru. Lingkungan
Menteng sering diasosiasikan sebagai tempat tinggal `orang-orang
sukses jaman dulu' , Jenderal-Jenderal Tua yang kenal Bung Karno
atau `Anak-Anak Pejabat di Era lama', Sementara Kebayoran Baru
merupakan `Lingkungan Pegawai ketimbang Lingkungan elite Pengusaha'.
Atau `Lingkungan Pegawai Tinggi era Orde Baru'. Lain dengan Pondok
Indah. Daerah itu diasosiasikan sebagai `Lingkungan orang sukses
karena hartanya banyak bukan karena ia pegawai tinggi atau Jenderal-
walaupun kenyataan banyak pegawai tinggi dan Perwira tinggi tinggal
disini'. Jadi asosiasi ingatan kolektif tentang Pondok Indah,
adalah `Lingkungan urban dimana orang yang tinggal disitu mengalami
kesuksesan finansial dan bukan dari golongan kelas yang sepenuhnya
terkooptasi oleh Negara'. Golongan ini tumbuh di era Orde Baru dengan
pesat, merekalah yang disebut sebagai OKB (Orang Kaya Baru) di era
Booming ekonomi Indonesia sepanjang dekade 1980-an. Mereka adalah
masyarakat yang diuntungkan oleh sistem Kapitalis dimana kemudian
mereka meminta sebuah lingkungan yang terpisah baik secara pemaknaan
maupun secara harafiah dengan lingkungan rakyat jelata. Pemisahan itu
bukannya mengasingkan mereka dari masyarakatnya, tapi menjadi sebuah
aquarium kelas yang dijadikan contoh keberhasilan hidup. Pondok Indah
adalah sebuah proyek properti yang paling berhasil di Indonesia
sepanjang sejarah dari segi pencitraan, proyek itu menciptakan
masyarakat baru bahkan lebih jauh lagi kelas baru. Inilah kenapa
harga rumah di Komplek Deplu lebih murah harganya ketimbang kompleks
Pondok Indah atau rumah di Radio Dalam harganya jauh dibawah Pondok
Indah. Kelas-lah yang dibeli bukan lagi fungsi murni properti.
Generasi muda yang tinggal di Pondok Indah-pun memiliki gengsinya
sendiri. Waktu saya kuliah temen yang tinggal di Pondok Indah
mendadak sontak menjadi selebriti, bukan karena kepribadiannya tapi
karena dia tinggal di Pondok Indah. Bahkan ada jargon terkenal di
pertengahan tahun 90-an "kalau Bapak Lo punya rumah di Pondok Indah,
tembak cewek di depan rumah lo, jangan di parkiran Kampus" Jadi nama
Pondok Indah lebih mempunyai gengsi ketimbang mobil semewah apapun
yang diparkir di Kampus, karena ada jargon "kalau lo punya mobil
mewah tembak cewek lo di Parkiran Kampus sambil pura-pura lo ngoles-
ngoles cat mobil". Pemujaan Lingkungan Pondok Indah ini pun menjadi
semangkin berlebihan ketika banyak Film dan Sinetron yang mengangkat
gengsi lingkungan Pondok Indah. Bahkan ada sinetron di tahun 90-an
yang kacau jalan ceritanya namun pesannya jelas "Jadi anak Pondok
Indah is the best". Dari sinilah kemudian muncul realitas yang lebih
baru lagi bahwa `Tinggal di Perumahan Pondok Indah merupakan sesuatu
yang beda'. Lalu kita setelah kita sampai pada titik ini maka kita ke
pemahaman Sartre dalam filsafat eksistensinya `Neraka adalah orang
Lain'.
Dan orang lain itu adalah orang-orang yang tinggal dan mendesak
lingkungan Pondok Indah. Warga Pondok Indah tersentak ketika
ada `sesuatu yang lain' yaitu : Busway. Terlepas dari konteks
penolakan anggapan bahwa Busway juga merupakan kendaraan warga Pondok
Indah (karena ada warga yang mengatakan ini di pers), namun perlu di
Verifikasi apakah warga Pondok Indah itu merupakan kelompok yang
sehari-hari menggunakan angkutan umum. Bila itu terjadi maka jungkir
baliklah logika borjuis "Masak tinggal di Pondok Indah nge-bis". Yang
terjadi ketika orang-orang di Lingkungan Pondok Indah menolak Busway
adalah mereka takut Busway akan mencairkan soliditas lingkungan
Pondok Indah yang merupakan aquarium dari `orang-orang kaya Jakarta'.
Adanya Busway menjadikan Pondok Indah bukan lagi sesuatu yang berbeda
dengan lingkungan di sekitarnya. Pencairan perbedaan lingkungan ini
tentu akan menurunkan nilai kelas properti Pondok Indah, sehingga
jika proses terus menerus persinggungan demografi antara orang Pondok
Indah dengan non Pondok Indah secara terus menerus dimana Busway
merupakan kelas tersendiri dari susunan masyarakat Jakarta. Akan ada
kemungkinan terbukanya lobang-lobang yang akan menghancurkan kelas
perumahan Elite Jakarta itu. Lobang-lobang itu berasal dari fenomena
tumbuhnya lingkungan bisnis dan perumahan baru sepanjang jalur
busway. Adanya jalur busway juga merupakan sebuah gambaran bahwa
Pondok Indah sama dengan lingkungan yang lainnya. Keinginan agar
digunakannya moda transportasi lain di luar busway sepanjang jalur
Pondok Indah merupakan bentuk penegasan `Kami Berbeda Dengan Mereka'.
Maka berdasarkan empirisisme atau dasar pengalaman ucapan "Kami Warga
Pondok Indah memiliki ke-khususan dalam lingkungan kami, terutama
kelas lingkungan kami yang berbeda" merupakan ucapan yang
memiliki `makna' dan makna itu adalah `benar'. Jadi ucapan "Warga
Pondok Indah menolak karena adanya penebangan pohon" adalah kalimat
yang perlu di verifikasi. Kecuali kalau pembangunan transportasinya
itu Monorel yang mewah dan bertarif mahal sehingga penumpangnya kelas
ekslusif yang sejajar dengan orang-orang PI, kalaupun pohon ditebangi
dan lingkungan perumahan dirugikan namun atas nama modernisasi dan
kemewahan kemungkinan dapat diterima, karena proyek transportasi
mewah semangkin meneguhkan bahwa kaum PI berbeda. Masalahnya Busway
adalah transportasi rakyat jelata. Transportasi murah berharga
Rp.3.500,- sekali jalan. Ataukah kekesalan Kaum PI itu bagian dari
kekesalan kaum bermobil yang selama ini dirugikan dengan proyek
populis Busway? Ataukah memang bentuk kekesalan murni atas nama
pohon. Kalau atas nama lingkungan kenapa penebangan-penebangan pohon
untuk digunakan Mall, terowongan bawah tanah dan tempat-tempat bisnis
yang dikelola pengembang tidak diprotes? Apakah Mall Pondok Indah II
sudah ada cetak birunya dalam rancangan lingkungan Pondok Indah di
tahun-tahun 80-an? Bukankah semua itu berkembang sesuai dengan
desakan bisnis? Ketika Busway menjadi desakan kebutuhan masyarakat
dari perkembangan kota Jakarta yang wajar ditolak warga PI, sementara
Mall-Mall yang tidak bersentuhan dengan hajat orang banyak tidak
ditolak? Untuk itu jawabannya adalah kalimat Verifikasi yang
argumennya didasarkan pada pengalaman.
Selamat Puasa..........
ANTON
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment