Wednesday 3 October 2007

Yohannes Sulaiman, Ikranegara Dan Dialektika Sejarah Sukarno

Yohannes Sulaiman, Ikranegara Dan Dialektika Sejarah Sukarno

Oleh Anton

Tulisan Yohannes Sulaiman di Kompas (29 Sept 07) lebih mirip cerita
dongeng seorang kakek pensiunan CIA kepada cucunya ketimbang tulisan
ilmiah seorang Mahasiswa Doktoral Ilmu politik. Adalah lucu di jaman
ketika informasi sudah sedemikian komplit hanya menyandarkan pada
referensi CIA yang kerap banyak bias-nya dan bisa juga merupakan
bahan propaganda murahan (Bahkan kemarin saya membaca buku di
Gramedia tentang sisi gelap seksual Hitler, Mao dan banyak tokoh
lainnya yang seperti alat propaganda CIA ketimbang dokumen historis
berdasarkan fakta). Namun sejarah bukan hanya sekumpulan fakta, bila
meminjam filsafat bahasa : fakta tidak dapat mengungkapkan benar
atau salah namun proposisi-proposisilah yang bisa mengungkapkan
benar atau salah. Dari sisi sejarah dialektika-lah yang harus
dimaknai untuk mengambil kesimpulan tindakan itu benar atau salah
dari pemaknaan sejarah, jadi dialektika dalam dimensi sejarah
adalah proposisi itu sendiri dan dialektika historis Indonesia pada
1960-1965 adalah sebuah rangkaian historis apa yang terjadi setelah
Perang Dunia II yang selesai tahun 1945. Dimana awalnya adalah
Keputusan diam-diam untuk mentransformasikan Imperialisme bentuk
baru hasil kajian Pertemuan New Hampshire, Bretton Woods 1944.

Beruntung Bung Ikranegara, aktor besar Film dan Teater Indonesia itu
mengingatkan kekonyolan dalam tulisan sdr. Johannes Sulaiman
terhadap interpretasi sejarah ala Sdr. J. Sulaiman, apalagi Sdr. J.
Sulaiman menambahkan bahwa jarang sejarawan memperhatikan faktor
kedekatan Sukarno dengan PKI adalah masalah proyek Malaysia. Hal ini
bisa ditertawakan karena bukan saja jarang, hampir semua sejarawan
yang meneliti kasus G 30 S selalu melakukan perhatian khusus
terhadap korelasi antara proyek politik pengganyangan Malaysia
dimana banyak spekulasi muncul hubungan ini berimplikasi terhadap
aksi G 30 S.

PKI sebagai kekuatan politik dan Sukarno mau tidak mau berterima
kasih dengan PKI dalam politik anti Malaysia-nya karena PNI sendiri
sudah melempem (kongres terakhir PNI hanya bisa mengumpulkan tanda
tangan kader kurang dari satu juta orang).Tapi adalah naif
menyandarkan PKI sebagai kekuatan militer ini sama saja melakukan
tindakan bunuh diri. Sukarno tidak akan sekonyol itu nyuruh perang
anak-anak Pemuda Rakyat yang nggak ngerti militer untuk terjun ke
Kalimantan Utara. Bisa dibuktikan aksi-aksi penyusupan ke garis
Nekolim semuanya dilakukan oleh tentara TNI kalaupun ada sukarelawan
itu bukan bagian penting dari rencana operasi militer.

PKI digunakan oleh Sukarno sebagai basis politik dalam negerinya
untuk mendukung politik Anti Imperialisme. Sukarno sadar sesadarnya
bahwa Indonesia ini sudah jadi inceran Amerika yang ingin menguasai
sumber daya alam dan perlu dicurigai kenapa Amerika tidak memihak
Belanda pada dua konflik militer Indonesia dengan Belanda tahun 1945-
1949 dan Konflik Irian Barat 1962. Salah satu persepsinya adalah
Amerika ingin menguasai Indonesia tanpa campur tangan Belanda di
dalamnya sementara kekuatan Inggris tetap berada di garis Singapura.
Hal ini juga diucapkan Jenderal Yani yang ditujukan pada Nekolim
Inggris : "Kita tidak gentar! Kalau mereka serang kita! Sekaligus
kita hancur leburkan Singapura, Ya karena memang Singapura adalah
pokok, milestone dalam line of life Imperialisme" bila menyimak
pernyataan A. Yani itu adalah sungguh naif mengatakan Yani takut
dalam menghadapi militer Inggris. Perlu diingat Yani berpengalaman
menghadapi PRRI di Sumatera dengan kekuatan militer terbatas padahal
saat itu PRRI didukung senjata modern Amerika yang didrop melalui
Singapura dimana Prof. Sumitro Djojohadikusumo jadi agen dalam
penyelundupan senjata-senjata itu dan itu diakui Prof. Sumitro
sendiri dalam biografinya. Apalagi setelah adanya modernisasi
senjata besar-besaran dengan bantuan Uni Sovyet dan dukungan dari
Cina maka untuk menghadapi Malaysia Bung Karno dan Yani pasti sudah
punya hitung-hitungan sendiri. Perselisihan mengenai Angkatan Ke V
sebenarnya tidak begitu signifikan pada konstelasi politik pada
waktu itu. Itu hanya dibesar-besarkan oleh media tertentu yang diam-
diam mencoba mempertajam gap Sukarno-Yani. Namun agak sulit kiranya
melihat Yani berani dengan Bung Karno bahkan berpikiran mengkudeta,
Yani adalah anak emas Bung Karno ia sering disapa "Anak Lanangku"
(Anak Laki-Lakiku). Pelaku-pelaku sejarah yang dekat dengan
lingkaran dalam Bung Karno pasti mengetahui bahwa hubungan Yani dan
Bung Karno sudah mencapai taraf hubungan emosional dan Yani adalah
macan politiknya Sukarno. Yani sendiri yang menciptakan kata-kata :
Nekolim. Sebagai catatan untuk AH Nasution sendiri saja masih
sungkan berhadapan dengan Bung Karno pada peristiwa pasca G 30 S
dimana Suharto sudah mulai muncul namun dia relatif tidak memiliki
hubungan emosional dengan Bung Karno. Disini harus dikaji relasi-
relasi psikologis dalam konstelasi politik pada saat itu. Bung Karno
pasca G 30 S dalam rangkaian pidato dari Oktober 1965- 1967 sendiri
yang seperti banteng ketaton selalu bilang dia mengutuk Gestok
(Gestok : bahasa BK untuk istilah G 30 S) berulang kali. Tapi dia
menolak pembubaran PKI karena dengan bubarnya PKI maka landasan
politik yang dibangun Sukarno akan goyah lantas Imperialisme masuk
dan nyatanya benar toch akhir sejarah kekuasaan Suharto adalah
ketika dia menandatangi dokumen IMF yang disaksikan dengan cara
tidak sopan oleh Michael Camdessus dimana maknanya memang Indonesia
merupakan bagian dari Imperialisme halus Amerika.

PKI di jaman politik Pengganyangan Malaysia memang memiliki arti
penting bagi Sukarno tapi bukan berarti lantas Sukarno bisa disetir
PKI disini juga Sukarno mengatur Angkatan Darat. Bagi saya sendiri
yang kurang diperhatikan oleh sejarawan adalah hubungan Loyalitas
Sukarno-Yani-Nasution dan percaturan politik diantara mereka
bertiga. Sementara faktor sukarelawan dan kekuatan politik bisa
dikatakan sepenuhnya beres. Relasi-relasi Sukarno-Yani-Nasution
harus diperhatikan karena relasi itu menyangkut hubungan cinta-benci
dimana Yani kerap menjadi korban pertikaian AH Nasution-Sukarno.
Nasution sendiri memang sedari mulanya berpihak pada militer
rasional bergaya barat sementara Yani seperti perwira jebolan PETA
lainnya ia lebih sebagai representatif Jenderal Populis namun juga
perlu diperhatikan pengaruh pikiran-pikiran Yani setelah
menyelesaikan pendidikan militer di USA serta mulai berpengaruhnya
jalur Pentagon di kalangan think tank Angkatan Darat dimana Mayjen
Suwarto menjadi tokoh pentingnya. Ini yang perlu diperhatikan bukan
masalah injak-injak foto dan lambang Garuda. Bila militer TNI
dituduhkan takut dengan kekuatan Inggris di Malaysia bisa
dipertanyakan, takut seperti apa? Perlu diingat semua front di
Kalimantan Utara sudah diisi penuh oleh tentara Indonesia. Bahkan
menurut biografi buku Jenderal Sumitro ia berkali-kali meninjau
front terdepan Indonesia dengan Malaysia di Long Bawang dimana dia
sempat ditembaki oleh tentara Inggris. Perlu diragukan juga
teori `kepengecutan Yani' yang juga dijadikan bahan oleh J.Sulaiman(
teori penolakan perang Angkatan Darat terhadap Federasi Malaysia
baru muncul setelah kekuatan Suharto mapan dimana ekspedisi damai
Ali Murtopo mencapai puncak kesepakatan dan faktanya Yani sendiri
sudah meninggal pada saat itu jadi tidak ada uji historis dimana
Yani takut terhadap konflik Malaysia). Apakah ada dokumen yang
mengatakan Yani menolak perang dengan Malaysia walaupun itu diam-
diam kecuali dari dokumen CIA?. Coba periksa berita-berita di koran-
koran Indonesia pada masa konfrontasi dengan Malaysia bukan dari
sisi agen rahasia intelijen Inggris-Amerika. Memang dalam sejarah
militer kerap Jenderal-Jenderal perang sering ragu akan kekuatan
militer mereka seperti Jenderal-Jenderal Angkatan Darat Jerman
dibawah Hitler ketika mulai pecah konflik Sudetenland dengan
Cekoslowakia yang dikhawatirkan memancing Inggris dan Perancis untuk
perang dengan Jerman atau kekhawatiran Ike Eisenhower untuk menyerbu
Eropa tahun 1944 namun baik Hitler, FDR atau Churchill mereka jauh
lebih mengerti kekuatan ketimbang Jenderal-Jenderal mereka sendiri.
Jadi asumsi Ikranegara disini benar bahwa Sukarno jauh lebih
mengerti kekuatan Angkatan Perangnya dan tidak mungkin menjerumuskan
Indonesia ke dalam perang yang tidak dimengerti. Perlu diingat juga
Sukarno termasuk dalam barisan konservatif dalam pemimpin Indonesia
yang berani perang. Tan Malaka adalah contoh pemimpin yang sangat
percaya akan kekuatan Angkatan Perang Indonesia dengan menerapkan
prinsip Merdeka 100% dimana kemudian Tan Malaka akhirnya dibunuh
oleh pasukan dibawah Jenderal Sungkono di Kediri karena Tan Malaka
dianggap menentang politik resmi pemerintah dibawah Hatta –jelas
disini Tan Malaka lebih berani berperang bila dibandingkan Bung
Karno dan menunjukkan Bung Karno lebih punya hitungan untuk
melakukan tindakan politiknya seperti apa yang terjadi pada proloog
Proklamasi 1945 -. Jadi Sukarno punya hitung-hitungan yang lebih
jeli akan kekuatan Indonesia dalam menghadapi Malaysia. Asumsi yang
mengatakan Inggris lebih kuat bertempur juga perlu diragukan. Ingat
Inggris belum pernah punya pengalaman perang semesta gerilya di
hutan-hutan Asia justru Perancis yang sudah merasakannya dengan
dihajar di Dien Bien Phu oleh rakyat Vietnam (belakangan Belanda
juga merasakan pengalaman pahit bertempur gerilya di hutan-hutan
Indonesia) , realitas sesungguhnya ada pada kekuatan militer ada di
Amerika Serikat – dan AS gagal total dalam perang Vietnam - . Namun
Inggris adalah bangsa cerdas mereka tak mau buang-buang nyawa
seperti kejadian Surabaya 10 November 1945, Inggris memilih
melakukan ketrampilan paling jempolan yaitu : Operasi Intelijen
untuk menjatuhkan Bung Karno dari dalam dan Bung Karno-pun menyadari
kelihaian Inggris ia pernah menyebutkan ini dalam pidatonya pada
Rapat Panglima Angkatan Darat pada 28 Mei 1965 tentang kecurigaan
ada kekuatan asing yang akan membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio.
Inilah kutipan pidato Bung Karno :
Kaum imperialis sejak mereka bisa mengadakan peacefull coexistence
dengan
Moskow, mereka mempunyai anggapan bahwa yang menjadi musuh bukan
lagi
Moskow, melainkan kita: Indonesian Revolution, Sesudah the
Indonesian Revolution
naik aktivitas dan gengsinya, bahkan sesudah revolusi Indonesia
benar-benar
universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa- bangsa lain.
Sesudah mereka melihat bahwa Indonesia adalah salah satu pokok dalam
kesatuan
Asia-Afrika, sesudah mereka melihat bahwa di dalam Dasa Warsa AA.
(18 april 1965) Indonesia tidak tenggelam kedudukannya di dunia AA, malahan naik,
malahan Indonesia oleh beberapa negara AA dianggap sebagai mercu suarnya,
sesudah Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi AA-II di Aljazair
lekas diadakan, sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk mengadakan CONEFO
(Conference of the New Emerging Forces) dan ternyata inisiatif Indonesia ini
mendapat sambutan yang hebat dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-
negara komunis, sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka matanya
dan mengatakan: Here in Indonesia lies the danger. Revolusi Indonesia
ini harus di-contain.
Dulu mereka mencoba menghancurkan revolusi komunis di Rusia, karena
Sovyetlah yang pertama memberontak terhadap sistim kapitalisme dan sistim
kolonial. Pada waktu itu segala usaha diadakan oleh mereka untuk menghancurkan
Sovyet Uni.
Ini in geuren en kleuren (panjang lebar) diceritakan oleh Leon
Trotzky dalam bukunya "Mein Leben". Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap gempuran dari lima jurusan. Trotzky sebagai Panglima Besar tentara Sovyet
mondar-mandir ke lima front itu dalam Markas Besarnya di gerbong Kereta Api.
Sejak usaha itu gagal untuk menghancur-lemburkan Sovyet Uni,
mulailah mereka mengadakan international campaign terhadap komunis. Maka tiap usaha
dari bangsa apa pun yang anti imperialis, dicap komunis.
Bahkan Petrus Bloemberger dalam bukunya "De Communistische Beweging
In Nederlandsch Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ir. Sukarno juga
dikatakan: Ze Zijn communisten - mereka komunis. Dan sampai sekarang masih
saja "the communist danger in Indonesia "
Baca bukunya Arnold Brackman, wartawan Amerika dulu tinggal di Jakarta dan kawin
dengan noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism in Indonesia", kita
semua dikatakannya komunis, di samping PKI. Sebutan komunis itu bagi kita sudah oude koek (basi). Kita sebenarnya sekedar mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan kita dan mempertahankan revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti
imperialisme, ; mereka sebut komunis. Dijual oleh mereka omongan bahwa Indonesia yang
paling berbahaya, oleh karena Indonesia is going communist. Padahal tidak. Indonesia
hanya ingin mempertahankan kemerdekaannya, hanya ingin menggabungkan semua
tenaga anti imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang berhasrat menentang
imperialisme. Karena revolusi kita dianggap sebagai yang paling berbahaya, enemy
number one -musuh nomor satu, -. maka segala usaha mereka sebenarnya ditumpahkan
kepada menghancurkan kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita
pahami. We are in the centre -kita berada di pusat aktivitas mereka untuk
menghancurkan. Kita yang akan dihancurkan, dengan macam-macam jalan.
Panglima Angkatan Darat sudah disclose (menyingkap) bahwa ada plan
yang nyata bisa dibuktikan zwart op wit dari mereka untok menghantam kita. Ada
plan yang nyata en jullie moet het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar
plan yang nyata ada untuk mengadakan propaganda per radio dan surat kabar anti kita,
tidak! Dan Jenderal Yani pun sudah berkata: Kita tidak gentar! Kalau; mereka
serang kita, sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang karena
Singapura adalah pokok, mile stone di dalam life line of imperialism.
Sebetulnya selain plan-plan itu, kita mengetahui juga macam-macam
plan dari mereka untuk menghancurkan revolusi Indonesia, Salah satu plan itu
untuk membunuh beberapa pemimpin Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio.
Itu yang pertama-tama harus dibunuh, malah kalau bisa, sebelum Konperensi AA -
II di Alzajair (April 1965).
Kalau tidak bisa, sesudah Konperensi di Aljazair, diadakan limited
attack on Indonesia-gempuran terbatas terhadap Indonesia. Dan pada waktu itu
sedang ada limited attack, maka seperti disebutkan dalam mereka punya plan,
kawan-kawan mereka (di dalam negeri) akan bertindak membantu menggulingkan
Sukarno, Yani dan Subandrio.
Kalau ini gagal juga, mereka akan berikhtiar lain untuk menggulingkan Sukarno, Yani
dan Subandrio, yaitu membuka segala rahasia mereka terutama yang mengenai personal life (rahasia hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak terhadap Sukarno, Yani dan Subandrio.Kita mengetahui: "They are preparing an attack of Indonesia. They are going to try to kill Sukarno, Yani and Subandrio. They are going to make a limited attack on
Indonesia. They have the* friends here" - mereka mempersiapkan serangan terhadap
Indonesia. Mereka mencoba hendak membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio.
Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka
mempunyai teman-teman di sini "
(Demikian kutipan sebagian dari isi pidato Bung Karno yang rekamannya setelah
ditranskrip terdiri dari 14 halaman folio tik-tikan (2 spasi).

Pidato ini jarang dimuat dalam kajian Sejarawan yang menulis tentang
fakta G 30 S. Justru Manaii Sophiaan eks Dubes Indonesia untuk
Sovyet dan Anggota Konstituante dari PNI yang dekat dengan Bung
Karno yang memuat pidato pada pembukaan rapat Pimpinan Angkatan
Darat, Mei 1965 dalam bukunya "Kehormatan Bagi Yang Berhak". Pidato
ini juga menunjukkan juga menunjukkan bahwa Sukarno sudah sadar ada
permainan intelijen asing untuk menjatuhkan dirinya beserta Yani dan
Subandrio dimana masing-masing merupakan kunci dalam politik perang
dengan Malaysia. Dalam konteks perang dengan Malaysia tidak ada
faktor yang signifikan dari pemimpin PKI seperti : DN Aidit atau
Nyoto. Kenapa garis Subandrio-Yani menjadi signifikan?. Pertama,
adalah Subandrio seorang diplomat ulung dia berhasil dalam politik
diplomasi perebutan Irian Barat sehingga menghindari perang terbuka
antara RI-Belanda. Subandrio memiliki hubungan dengan banyak
diplomat asing dan pemimpin luar negeri yang bisa mempengaruhi
negara-negara lain mendukung politik Sukarno terhadap Malaysia yang
ditakuti Inggris juga adalah pengaruh kekuatan diplomasi Subandrio
terhadap negara-negara Asia-Afrika terutama kelompok negara-negara
Sosialis yang banyak tumbuh di Asia-Afrika dimana mereka menentang
Imperialisme Amerika. Subandrio sebagai tokoh BPI juga memiliki data
intelijen yang bisa membuka perang intelijen dengan Amerika-Inggris.
Dengan menyingkirkan Subandrio maka data-data keterlibatan intelijen
asing bisa di eliminir semaksimal mungkin, buktinya pasca G 30 S
kantor Subandrio di Pejambon jadi sasaran amuk massa dan dibakar
sekaligus mementahkan semua data Subandrio yang sudah dikutuk
menjadi `Durno' oleh penentang Sukarno di tahun 1966.
Kedua, dengan menyingkirkan Yani maka pihak asing berpeluang
memasukkan Jenderal yang tidak terlalu fanatis terhadap Sukarno
sehingga bisa memperlemah kekuatan militer Sukarno. Bila Subandrio
dan Yani bisa disingkirkan maka puncaknya adalah Sukarno sendiri.
Ini dikatakan juga oleh Oejeng Suwargana yang merupakan komplotan
konspirasi bawah tanah yang pernah menyebutkan (seperti dikutip
dalam buku Oltmans yang juga disadur oleh Rosihan Anwar dalam Petite
Histoire) : "kami akan kucilkan (Isoleren) Soekarno dan
membiarkannya mati bagaikan sebuah bunga yang tak lagi memperoleh
air" . Coba bandingkan ucapan Oejeng di Amerika terhadap Oltmans
pada tahun 1964 dengan kejadian karantina politik Sukarno 1967-1970
dimana hidup Sukarno bagai seorang tawanan tanpa martabat. Jadi
konspirasi pemberontakan itu sendiri sudah didengar Sukarno namun
bentuknya seperti apa tidak jelas sampai ada muncul bahwa Sukarno
akan di Ben Bella-kan karena pada saat itu timbul kudeta Jenderal
Boumedienne terhadap Presiden Aljazair Ben Bella. Dan dokumen-
dokumen CIA lainnya banyak yang menyebutkan akan ada peristiwa pada
5 Oktober 1965. Ini juga di dapat oleh dokumen-dokumen rilisan BPI.
Namun ketebalan dokumen apapun akan menjadi jelas pada ucapan Kol.
Latief yang menemui Suharto dan dicatat dalam Kesaksian Kol. Latief
dalam Pledoinya di tahun 1978 :
"Dua hari sebelum peristiwa tanggal l Oktober l965, saya beserta
keluarga mendatangi ke rumah keluarga Bapak Jendral Soeharto di
Jalan Haji Agus Salim, yang waktu itu beliau masih menjabat sebagai
panglima Pangkostrad. Di samping acara kekeluargaan saya juga
bermaksud: "Menanyakan dengan adanya info Dewan Jendral, sekaligus
malaporkan kepada beliau". Beliau sendiri justru memberitahukan
kepada saya:"Bahwa sehari sebelum datang ke rumah beliau, ada
seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta bernama Subagiyo,
memberitahukan tentang adanya info Dewan Jendral, yan akan
mengadakan Coup d'etat terhadap kekuasaan pemerintahan presiden
Soekarno..."Yang sebenarnya, bahwa saya pada malam itu di samping
memang menengok putranya yang sedang terkena musibah, sekaligus
untuk saya laporkan akan adanya gerakan pada besok agi harinya,
untuk menggagalkan rencana Coup D'etat dari Dewan Jendral, di mana
beliau sudah tahu sebelumnya."
Dengan menyimak pernyataan dari Kol. Latief tadi bahwa isu Dewan
Djenderal bukan lagi merupakan isu yang sangat rahasia bahkan
berita terhadap akan adanya aksi penculikan ini sudah beredar di
kalangan petinggi tapi ada yang lebih penting bahwa Suharto sendiri
sudah mengetahui di luar sepengetahuan Latief pada titik ini perlu
dibangun ruang investigatif koridor apa yang digunakan Suharto guna
memanfaatkan informasi ini.

Menilik dari pidato Sukarno di depan Pimpinan Angkatan Darat kelak
dikemudian hari terbukti dengan serangkaian peristiwa.. Yani
dibunuh, Sukarno digulingkan dan Subandrio dipenjara baru keluar
tiga puluh tahun kemudian tahun 1995.
Selain intrik internal yang berkembang dalam interior konstelasi
politik Indonesia, perlu juga diperhatikan kerja anggota komplotan
anti Sukarno di luar negeri yang juga banyak bersarang di Malaysia
dan Singapura. Menjadi tugas sejarawan untuk mencari tahu apakah
mereka telah membangun koridor Indonesia-Malaysia untuk melemahkan
Sukarno? Apakah yang dilakukan LB Moerdani pada proyek normalisasi
hubungan dengan Malaysia dibawah komando Ali Moertopo merupakan
proyek out of the blue sky tanpa proloog?
Menilik dari pidato Sukarno di depan Pimpinan Angkatan Darat kelak
dikemudian hari terbukti dengan serangkaian peristiwa Yani dibunuh,
Sukarno digulingkan dan Subandrio dipenjara baru keluar tiga puluh
tahun kemudian tahun 1995.

Tulisan Sdr. Johannes Sulaiman memang menarik dari narasinya dan
dalam kisah prolog sebelum G 30 S tidak ada yang salah bila J
Sulaeman mendasarkan pada teori-teori Mainstream G 30 S. Namun
pemaknaannya bisa membuat orang salah tafsir bahwa bentuk kemarahan
Indonesia terhadap Malaysia kemudian direalisir menjadi
bentuk `Politik Pengganyangan Malaysia' merupakan proyek pribadi
Bung Karno (-yang di masa Orde Baru oleh pelacur intelektual sering
disebutkan sebagai virtual enemy Sukarno- ) bahkan dalam tulisan
ini seakan-akan menyeret masalah Malaysia hanya semata karena donder-
nya Bung Karno karena fotonya dan lambang Burung Garuda diinjak-
injak membuat interpretasi emosional jangka pendek. Padahal politik
Ganyang Malaysia merupakan puncak dari karir Sukarno sebagai
pembebas dan pencetus ideologi Kemerdekaan. Alam pikiran politik
Sukarno sudah mencapai tahap pengertian lebih lanjut tentang makna
Imperialisme itu sendiri jauh dari pengertian Imperialisme Vulgar
yang masih berbentuk Kolonialisme khas abad 19. Sukarno sudah
berteriak "Go To Hell IMF!!!" jauh sebelum dunia mengerti dampak
politik ketergantungan yang diterapkan IMF dan menjebak negara-
negara dunia ketiga ke dalam lembah hutang. Alam pikiran politik
Sukarno sudah sampai pada tahap pengertian bahwa akan ada bentuk
Imperialisme baru yang dikomandoi Amerika dimana Amerika sudah
mendesak Inggris pada tahun 1940-1945 ketika Churchill tiap kali
menghubungi Washington untuk turut campur dalam teater perang di
Eropa. Pada saat hubungan itu Amerika masih berdiam diri karena
Hitler-pun mengirim lobby-lobby politik untuk memperoleh dukungan
Amerika namun akhirnya Amerika lebih memilih Churchill dan Stalin
sebagai sekutu di Eropa ketimbang Hitler. Itu kenapa : Karena Hitler
masih menerapkan Kolonialisme Vulgar dan tidak sejalan dengan
tendensi Kapitalis-Liberal ala Amerika Serikat. Daripada memusuhi
Stalin dengan kekuatan Komunisnya yang besar, lebih baik mengikat
Stalin di ruang Eropa Timur ketimbang bersekutu dengan Nazi Jerman
yang selain buas juga masih lekat otak kolonialisme khas abad 19.
Salah satu syarat yang mendasari Amerika untuk turun pada perang
dunia kedua adalah Inggris harus melepaskan semua negara koloni-nya
karena bila tidak hal ini akan memicu kecemburuan dari negara-negara
maju lainnya seperti : Jerman dan Jepang dimana mereka merasa
terpinggirkan dalam perebutan wilayah yang oleh Hitler disebut
sebagai :Lebensraum-Ruang Hidup- . Untuk itu kemudian dibentuklah
IMF, World Bank, GATT dan segala bentuk hub/central financial untuk
membiayai imperialisme jenis baru ini. Musuh mereka sendiri adalah
Uni Sovyet namun Amerika yakin Sovyet tidak akan menghajar Amerika
karena bagaimanapun orang-orang Rusia berterima kasih atas bantuan
Amerika membebaskan Eropa dari serbuan Hitler. Jasa dan kekaguman
inilah yang kerap dijadikan landasan untuk tidak melakukan politik
konfrontasi secara terbuka. Perang yang dilakukan adalah Proxy War.
Ini terbukti ketika akhirnya Sovyet menerapkan politik diplomasi
dengan Amerika ko-eksistensi, yang artinya saling mengakui
eksistensi masing-masing negara.

Jadi Imperialisme pertengahan dekade 1940-an ada dua : Imperialisme
barat dengan Amerika sebagai boss-nya dan Imperialisme Sovyet dimana
Moskow jadi Patriakhnya. Disini Sukarno ingin menghindari dua-duanya
maka untuk itu pada tahun-tahun perang bersenjata 1945-1949 ia harus
mempermainkan kedua kekuatan itu di Indonesia hasilnya adalah :
Peristiwa Madiun 1948 dan KMB 1949. Namun setelah ko-eksistensi
Sovyet-AS maka tendensi Kapitalisme Liberal berubah dari permusuhan
total dengan komunisme beralih menjadi permusuhan terhadap negara-
negara yang memiliki semangat nasionalisme tapi mempunyai sumber
daya alam seperti : Vietnam dan Indonesia setelah itu Amerika juga
memburu negara-negara Arab yang kaya minyak dengan menempatkan
Israel sebagai central agent-nya. Sukarno sudah membaca ini karena
itu dia menjauh dan mendekat pada Cina yang kemungkinan bisa
bekerjasama apabila memang benar-benar Amerika menyerbu Indonesia
atau meledak perang Malaysia-Indonesia.

Jadi untuk menjadikan basis penelitian pada G 30 S adalah tujuan
utama Amerika untuk menguras kekayaan negara yang diincarnya.
Terbukti dibawah rezim Kapitalis Kroni Indonesia, negara kita nyaris
bangkrut (atau mungkin sudah bangkrut?) Bukan cuman mendasari pada
proloog injek-injek foto dan lambang negara Garuda. Ada makna
substansial yang lebih penting kenapa Bung Karno berkata dalam
pidato yang ditujukan pada Tunku Abdurrahman :
"Kamu mau apa..Konfrontasi ekonomi...kita balas dengan konfrontasi
ekonomi...Konfrontasi politik kita balas dengan konfrontasi
politik...Konfrontasi militer....kita balas dengan konfrontasi
militer...Iki Dadaku, Endi Dadamu!!!!.....

Pernyataan Bung Karno itu menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam
kepungan kekuatan militer Inggris-Amerika sementara Australia
dibawah dan Singapura diatas akan jadi penopang pangkalan militer
barat. Politik pengganyangan Malaysia merupakan realisasi tindakan
Bung Karno untuk melawan gejala Imperialisme di depan matanya,
realisasi ini merupakan dialektika sejarah perkembangan politik
dunia dimana kapital yang menjadi pusat silang sengketa. Apa yang
ditakutkan pada Imperialisme di Kalimantan Utara malah terjadi di
bumi Indonesia dengan agen Imperialisme-nya Bapak Pembangungan
Indonesia, Jenderal Besar Suharto. Yang oleh pelukis Djoko Pekik
dilukiskan seperti celeng dengan tulisan : Pengkhianat Revolusi.

Dalam sejarah yang saling bertubrukan keterkaitan antar teori-teori
yang saling bertentangan menjadi sangat penting sebelum kita masuk
ke dalam ruang kesimpulan. Namun untuk kasus G 30 S nampaknya benar
apa yang dikatakan Bung Ikranegara...bertengkar terus sampai tua.
Kenapa sebabnya? Ya, karena seret Suharto-pun kita nggak berani
jangankan untuk mencari fakta G 30 S, untuk mendukung PBB mengungkap
kebenaran saja kita masih takut pakai alasan Nasionalisme dibawa-
bawa seperti tulisan aneh (untuk ukuran koran secerdas Kompas)
Suryopratomo di editorial Kompas tentang Suharto dan PBB.

ANTON

No comments: