Friday 7 December 2007

Pasar Tradisional vs Pasar Retail Raksasa

Pasar Tradisional vs Pasar Retail Raksasa :
Renungan Tentang Kerja Kapital

Oleh Anton

Di Milis FPK sedang ramai membahas tentang kehadiran hypermarket-hypermarket serta kekuatan jaringan Pasar bermodal besar dimana rantai distribusi sudah teratur dengan jelas, disiplin, rasional dan efektif berhadapan dengan Pasar Tradisional yang becek, tidak ada patokan harga dan tidak efektif. Namun apa yang terjadi dibalik hadirnya Hypermarket-Hypermarket yang notabene merupakan mesin kapital dimana kepemilikannya terletak pada satu orang atau kelompok kecil orang dengan bantuan KKN dari pemerintah berupa kemudahan-kemudahan regulasi dan perlindungan usaha yang berlebihan serta ditengarai ada konspirasi besar menggusur perekonomian rakyat. Yang menjadi pertanyaan disini adalah :

1. Apakah kekuatan Hypermarket dengan cara kerja rasional itu menjadi alasan penting untuk memperbolehkan mereka bermain di pasar rakyat dan menyempitkan ruang gerak rakyat dengan pertarungan yang tidak seimbang?

2. Apa dengan kekuatan cara kerja rasional ada sesuatu yang tidak kelihatan seperti : selubung kapital, pendiktean pasar, pembentukan susunan masyarakat sehingga masyarakat gagal melihat bahwa dibalik kemudahan itu harus ada harga yang musti dibayar? Berapa opportunity cost ‘pertumbuhan ekonomi rakyat’ yang musti dibayar bila Hypermarket dibangun dengan menilai matinya pertumbuhan kapital di kalangan rakyat?

3. Apakah bisa Pasar Tradisional dimana unsur-unsurnya adalah pedagang kecil menyatukan diri menjadi kekuatan kapital raksasa? Atau dimanakah peran pemerintah?

4. Bagaimanakah mencari solusi yang tepat agar persaingan bisa berjalan dengan fair dan tidak melawan UUD 33 yang berpihak pada perekonomian rakyat tapi juga tidak mengabaikan gerak laju modernitas dan realitas mobilitas perekonomian dimana rasionalisasi dan efektifitas dari mulai hulu, jaringan distribusi sampai kenyamanan konsumen dijadikan tolok ukur kualitas.

Dari empat pokok pemikiran inilah saya akan merenung dengan membuka semua landasan yang bisa mengerti bagaimana sistem kapital bekerja – saya akan membongkar ini murni dari pemahaman kapitalis saya yang saya pelajari bukan saja di bangku kuliah (-karena seluruh mahasiswa ekonomi hanya punya satu pilihan pelajaran yaitu ekonomi kapitalis -) tapi juga pekerjaan saya yang erat kaitannya dengan kapitalisme yaitu Pasar Modal dimana kekuatan kapital menjadi penentu gerakan kehidupan. Serta bagaimana saya bisa memotong-motong anatomi kapital bukan saja hanya sebuah imajinasi tapi sudah masuk ke dalam alam realitas yang tidak bisa dihindari.

Sebagai catatan : karena jika saya berangkat dari pikiran Marxian jelas secara tutup mata saja Hypermarket sudah merupakan anomali terhadap perkembangan masyarakat bebas ala Sosialisme-Marxian, namun dengan membuka, memeriksa dan menafasi dengan alur pengertian kapitalisme seperti : Samuelson, Rodiger Dornbusch dan sedikit bumbu dari Michael P. Todaro serta Hernando De Soto maka kita akan bisa mereka-reka mengapa kapitalisme bisa bekerja sedemikian buruknya di Indonesia. Dan bagaimana menyodorkan pikiran alternatif agar rakyat tidak semakin terjebak pada susunan masyarakat baru yang pada realitasnya adalah sebuah usaha pendiktean pasar oleh kapitalisme asing terhadap bangsa yang seharusnya mandiri ini.

Serta bagaimana mencari peluang bagaimana agar perekonomian berbasis rakyat bisa berkembang sebagai salah satu jalan alternatif untuk membebaskan rakyat dengan pembangunan berdimensi kemanusiaan. Untuk itulah lontaran dalam tulisan ini saya buat komprehensif memuat banyak dimensi dimana dari relasi-relasi bisa kita temukan sebagai kesimpulan.

Pasar Dan Makna Sejarahnya Di Indonesia

Pasar adalah sebuah komunitas yang umurnya sudah setua dengan usia peradaban. Kita masih ingat diskusi Socrates di pasar Athena, Ngamuknya Yesus di Rumah Suci Sulaiman karena tempat suci dijadikan pasar dengan menendangi, menjungkirbalikkan barang dagangan dan ucapan-ucapan keras Yesus, atau awal kita mendengar tarikh Nabi Muhammad saw yang dimulai dengan perjalanan di masa kecilnya ke Pasar yang ada di Damaskus. Dari sisi sejarah Pasar adalah penggerak utama karena di pasar itulah kemudian berkembang pola-pola landasan susunan ekonomi masyarakat. Lalu bagaimana Pasar di Indonesia menjadi sebuah mesin paling efektif dari penggerak sejarah?

Pengertian Pasar di Nusantara pada awalnya adalah sebuah jaringan-jaringan dagang internasional. Unsur-unsur jaringan dagang inilah yang kemudian menjadi penggerak sejarah di Indonesia mulai dari masuknya pengaruh Hindu-Buddha (jaringan indianisasi), Cina dan Pembaratan. Setelah beberapa peristiwa penting seperti pembantaian dan pembakaran kebun-kebun lada (hongi), penguasaan jaringan dagang pesisir oleh VOC dan Monopoli perdagangan besar dimana VOC memiliki konsesi yang sangat besar. Dari unsur-unsur ini kemudian pasar di Indonesia jauh dari pengertian rakyat seperti : jaringan niaga raksasa seperti yang ada di Banten, Surabaya, Medan dan Makassar, setelah konsesi Semarang dan lahirnya perjanjian Giyanti 1755 secara revolusioner seluruh pengertian pasar dalam alam pikiran rakyat berubah total. Pasar dalam pengertian rakyat pribumi juga dalam alam pikiran para elite mengkerut menjadi pasar mikro dimana jaringan distribusinya merupakan rantai kedua setelah barang masuk pelabuhan dan diterima oleh jaringan dagang lokal. Disinilah kemudian pengertian pasar itu terbentuk. Jadi selama lebih dari dua ratus tahun bangsa kita diasingkan dari jaringan-jaringan Internasional, (Baru setelah Orde Baru kita dikenalkan oleh jaringan Internasional itu tapi bukan sebagai pelaku, sebagai subjek... namun sebagai makelar konsesi-konsesi tambang dan kekayaan negara termasuk makelar utangan negara).

Dijaman VOC dan Hindia Belanda kaum penguasa pribumi dan orang-orang timur asing tidak lagi memainkan politik dagang penting seperti ekspor gula, bermain saham di pasar modal London, membeli obligasi perang Napoleon atau menjalankan praktek-praktek aturan dagang dengan etikanya yang mengikat (macam tawan karang di Bali) dimana kekuatan negara menjadi unsur penting regulasinya. Pasar berubah maknanya menjadi alam yang sangat tradisional dan erat kaitannya dengan pola pikir masyarakat yang sempit bahkan secara tegas dijauhkan dari alam pikir penguasa oleh pemerintahan kolonialisme. Gayung bersambut dengan pikiran buruk terhadap jiwa dagang, sehingga peran saudagar diruntuhkan menjadi hanya pariah dalam sistem masyarakat. Bahkan Mangkunagoro IV dengan nyinyir mengumandangkan tembang dengan salah satu baitnya adalah : Ati Saudagar yang dalam bait itu juga diparalelkan dengan Mo limo sebuah perbuatan nista dari gerak pikir manusia Jawa. Disini kemudian wilayah ‘ati saudagar’ itu menjadi milik kelompok pendatang dalam hal ini orang-orang Cina, India dan Arab yang kedatangan mereka meledak jumlahnya di tahun 1870.

Memang tidak semua peran pasar menjadi pariah dalam alam pikir masyarakat tradisional Jawa, seperti di Kotagede, misalnya masyarakat lokal berhasil mengembangkan pasarnya sendiri. Bahkan Sargedhe (Pasar Gedhe) yang dibangun oleh Panembahan Senopati memainkan peranan penting dalam menumbuhkan peran pasar sebagai kantung-kantung kapital rakyat kecil. Perlu diingat sebelum masuknya penetrasi budaya anti-pasar yang digagas kaum priyayi-inlander peran pasar memiliki arti penting bahkan dekat dengan kekuasaan seperti halnya nama julukan yang melekat pada Panembahan Senopati pendiri wangsa Mataram itu : Panembahan Lor ing Pasar (Panembahan yang berkedudukan di utara Pasar).

Tapi Sargedhe lengkap dengan struktur sosial masyarakat Kalang dan pegadaian juga perak-nya hanya sedikit kasus dan kemudian tidak menjadi gerakan besar pertumbuhan kapital pribumi dimana perannya kemudian dimainkan oleh negara dalam hal ini Orde Baru yang menerapkan : Kapitalisme-Negara-Birokrasi. Semua kasus di Indonesia pasar di Indonesia gagal memainkan peran penting sebagai penggerak kantung-kantung kapital yang dinamis. Hanya sedikit kaum yang bergerak di pasar menjadi bintang sejarah kapital dengan omzet ratusan milyar seperti halnya Abdul latif yang memulai karirnya sebagai pedagang kaki lima di Blok M. ini kenapa?

Karena bangsa kita tidak terdidik sebagai penguasa Jaringan, tapi terdidik sebagai pion-pion yang dimainkan oleh jaringan!. Bila kita bicara jaringan maka kita bicara sistem politik dan jika kita bicara sistem politik maka kita bicara bagaimana sistem politik memakan perekonomian rakyat bukannya malah bekerja seperti seharusnya yaitu : menyediakan akses kemudahan kapital dan penciptaan jalur-jalur kemudahan distribusi untuk mengembangkan bagaimana kerja kapital dapat menjadi sarana memutar roda perekonomian.

Kapital Sebagai Pusat Dari Pusaran Kehidupan

Ada satu kosa kata yang sangat asing oleh bangsa kita yaitu : “Kapital”. Sesungguhnya kosa kata yang asing ini bisa dilihat dari begitu semangatnya generasi muda dan mentalitas orang tua yang mendidik anaknya untuk menjadi pegawai...menjadi orang bayaran karena tenaganya... ketimbang menjadi petarung kehidupan sebagai enterpreneur, ..sebagai otak daripada sistem. Hal ini bukan merupakan kesalahan dari sekedar mentalitas, tapi sudah masuk ke dalam begitu berantakannya penyebaran kapital di Indonesia yang hanya berpusat di tangan sekelompok orang dimana pihak asing terus menerus menjadi pengganggu untuk terus merangsek setiap celah yang ada agar bangsa ini terus menjadi bangsa yang diperbudak oleh mentalitas konsumtif bukan mentalitas produktif. Dan yang terpenting dari semua itu adalah keterasingan kita pada kapital!

Di usia awal dua puluhan jarang anak muda Indonesia merasa bangga bila bekerja menghasilkan uang dengan membangun sistem, tapi lebih bangga menjadi pekerja yang masuk dalam sistem. Struktur kebanggaan ini juga sangat berpengaruh dari kehidupan anak-anak muda kita untuk menjadi mandiri secara ekonomi dan tidak tergantung dari sistem ekonomi yang dibuat oleh orang lain, apalagi bangsa lain. Anak muda akan lebih diterima ke dalam struktur sosial ketika ia bekerja di industri minyak, bank atau retail modern yang sistemnya merupakan kerjaan orang lain, ketimbang anak muda yang berani dengan membuka sendiri kios warnet, kios Handphone atau cari modal untuk membangun sistem yang penuh spekulasi namun mempunyai perspektif booming di masa depan. Amerika Serikat tidak tumbuh oleh anak-anak mudanya yang bekerja di bank, sebagai klerk atau sebagai pencatat barang. Tapi Amerika Serikat tumbuh oleh keberanian anak mudanya yang berpetualang merebut kapital. Amerika Serikat tumbuh kapitalnya sebab ada jutaan Rockefeller disitu, ada jutaan JP Morgan bertarung di pusat keuangan Wall Street, Ada jutaan Warren Buffet yang sadar kapital dan ada jutaan manusia berkarakter Ford. Memang hanya satu yang menjadi bintang, tapi susunan masyarakatnya begitu kuat memiliki akar-akar kapital bahkan negara sebagai regulator tidak akan berbuat banyak dalam intervensi kapital terhadap struktur masyarakat, ini dibuktikan pada depresi 1929 ketika crash terjadi pada pasar modal Amerika, yang dilakukan Amerika bukan mendorong otoritarian pemerintah berupa pembelengguan kapital, tapi justru melakukan penggelontoran kapital agar manusia Amerika Serikat terus dapat bekerja : membangun bendungan, membangun jalan-jalan dan berakhir pada membangun industri persenjataan (- pembangunan industri persenjataan ini tak lepas dari tuduhan konspirasi Amerika main mata dengan Hitler dan Stalin untuk mengkatalisator perang yang kemudian Amerika bisa masuk ke dalam perang itu dengan mendukung Stalin dan Churchill -). Sejak era perusahaan besar di jaman Presiden Taft, negara Amerika tidak lagi menjadi negara konvensional layaknya negara-negara priyayi Eropa tapi berubah total menjadi negara industri dimana perbendaharaan kapital seluruhnya di pusatkan pada rakyatnya dan pengembangan industrinya. Lalu tumbuhlah ribuan jenis rekayasa keuangan yang dapat mempermudah anak-anak muda Amerika melakukan start-up capital untuk memulai usaha. Saking banyaknya bahkan ada profesi khusus start-up capital broker, dan yang laku di Amerika Serikat adalah jasa konsultasi usaha kecil, di Indonesia yang laku jasa konsultasi manajemen uang gaji ala Safir Senduk.

Kembali ke Indonesia setelah kita melihat bagaimana mbahnya kapitalis itu bekerja dan memberi kemudahan kapital bagi rakyatnya. Di Indonesia kemudahan kapital sama sekali tidak ada. Inilah kenapa yang maju dan berkembang adalah pengusaha-pengusaha yang notabene anaknya pejabat yang sudah berhasil ikut dalam pesta pora Orde Baru. Karena merekalah yang diuntungkan mendapatkan kemudahan kapital!, pengusaha-pengusaha bermental salon itu terus mendapat kemudahan fasilitas sampai terus seperti sekarang ini. Kemudahan fasilitas yang kemudian diakui sebagai kenyataan hidup dimana kita harus menerima bulat-bulat.

Disamping penjajahan kapital Orde Baru yang merupakan ada penjajahan kapital yang bentuknya sangat tradisional dan sudah berlangsung sejak era VOC yaitu : penjajahan jaringan distribusi. Coba lihat apakah anda bisa menjadi pemain kayu manis di Sumbar? Menjadi pemain lada di Lampung? Berbisnis ikan hias di Singapura bila tak tahu jaringannya? Jaringan perdagangan beras di Pantura Jawa? Jaringan perdagangan ikan laut di Sukabumi atau di Pasar Ikan Jakarta? Kita akan sulit masuk bila tak paham jaringan yang sudah dibangun sejak era kolonial. Keterkungkungan manusia enterpreneur Indonesia terhadap jaringan yang terbatas dipersulit lagi dengan susahnya akses kapital. Belum lagi regulasi mengada-ada dari pemerintah yang mempersulit tumbuhnya ekonomi usaha kecil. Berapa banyak waktu terbuang untuk ngurus ini itu, sementara arus komoditi dikuasai sekelompok jaringan pengusaha yang berzinah dengan kekuasaan!!!!.

Sekelompok manusia pengecut yang mau enaknya sendiri dan sudah sering mendapat fasilitas dari kekuasaan, dengan mudahnya angkat dagu dengan mulut nyinyir mengatakan “ah itu ...kecengengan” masalahnya apa bisa disebut cengeng dengan mentalitas pekerja kita yang dipasar-pasar bangun sejak jam 2 pagi dan baru selesai bekerja jam 5 sore dengan hanya waktu tidur empat jam. Kalau anda mau melihat realitas rakyat kecil datanglah ke Pasar Minggu setelah jam 12 malam, disitulah kucuran keringat rakyat terus menerus diperas habis oleh sistem kapital yang mengasingkannya. Lalu apakah kemudian dengan datangnya Hypermarket-Hypermarket besar, atau pemodal besar yang langsung berhadapan frontal dengan rejeki rakyat dimana disitulah satu-satunya ruang kapital yang masih tersisa bagi perekonomian rakyat mau terus dirampas habis!.....

Sebagai kelompok elite, kelompok kelas menengah, sebagai konsumen dan sebagai penikmat kehidupan...kita sering terjebak melihat dari sisi kita, dari sisi kenyamanan kita...kita tidak pernah melihat kita sebagai kesatuan bangsa...sebagai satu saudara yang dipersatukan dalam ruang lingkup negara nasional Indonesia. Kenapa kita harus merdeka di tahun 1945? Alasan utamanya adalah karena kita harus merebut KAPITAL!!!! Namun di tahun 1967 resmi sudah substansi kemerdekaan kita sudah hilang, karena junta militer Orde Baru menjual habis sumber KAPITAL kita. Bukan itu saja mentalitas kita sudah habis dipisah-pisah menjadi kelas-kelas yang berbeda-beda dengan kepentingan yang seakan-akan dibuat berbeda. Meminjam slogan lama ...Devide Et Empera, maka perpecahan persatuan itu bukan lagi perpecahan regional dimana dulu demarkasi wilayah menjadi sumber penting Belanda membangun benteng stelsel-nya, memisahkan para Raja, para Sultan... Benteng stelsel kita sekarang adalah psikologis kita, yang tidak pernah mau merasa satu...merasa saling memiliki....kita tidak peduli bila bu Jaetun, bu Aminah, Pak Samin atau Bang Ali tersingkir kapitalnya, tersingkir kehidupannya....dan kita dengan tenang berjalan-jalan di tengah terpaan angin dingin AC, gedung yang mewah dengan ribuan pesona menggoda kita, namun sesungguhnya pembentukan arsitektur dagang komoditi kebutuhan sehari-hari macam itu telah memakan korban bangsa sendiri.

Pasar Tradisional adalah benteng terakhir kekuatan kapital rakyat yang sudah dirampas dimana-mana, dia seperti Alamo di Texas di bawah kepungan Jenderal Santa Anna. Benteng yang masih mewarisi sejarah bahwa bangsa kita sebenarnya mampu memenuhi sosok kapital yang kuat. Di pasar-pasar dengan pertarungannya yang keras telah terbukti banyak menghasilkan anak si Kromo yang menjadi besar karena kekerasan hidup, menjadi pengusaha karena kemampuannya sendiri bukan karena fasilitas. Saya mengenal orang tua kawan saya yang tiap hari di tahun 1950-an tidur di dekat gudang beras, menjadi gelandangan disana, setiap pagi yang dilakukannya adalah mengais-ngais sisa beras yang berceceran dari karung beras, kemudian besar menjadi tukang panggul dan nasib membawanya menjadi juragan beras karena berkenalan dengan seseorang yang memberi kesempatan berkeliling seluruh Jawa Barat untuk mencari beras di Selepan (penggilingan beras), Kini kios beliau yang keliatan kecil di Cipinang tapi omzetnya milyaran...apakah anak kecil ini bisa menjadi besar bila kemudian ruang kesempatan kapitalnya dimakan oleh bangsa asing dengan modal besar bukan kepalang. Jangankan mengais-ngais beras, mendekati gedung Hypermarket saja sudah pasti ditendangi Satpam dan susah kemungkinan ia berkenalan dengan orang yang baik dan memberi kesempatan berkapital, karena orang yang baik itu dalam sistem kapital yang menjajah seperti Hypermarket mungkin hanya bernasib sebagai pencatat keluar masuk barang. Apalagi ada orang yang mengatakan secara alami Pasar Tradisional akan mati, masalahnya mati dengan cara apa? Cara terhormat karena rakyat menemukan efektifitas dan rasionalisasi terhadap pasar tradisional atau mati dikentuti oleh pemodal asing?

Kelemahan kita saat ini adalah kita tidak memiliki kesadaran kapital bersama untuk merebut kembali Kapital punya bangsa ini yang sudah lama disenggamai pihak asing, kita selalu mementingkan kepentingan diri sendiri, kita tidak ada kesadaran bersama sebagai bangsa melihat problem bersama. Bangsa tidak lagi dilihat sebagai sebuah imajinasi pengorbanan bersama, tetapi lebih dilihat sebagai kesempatan besar bagaimana kita bisa mengeruk kekayaan negara.

Mari kita kembali kepada pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan ini yang saya sodorkan kepada anda :

Apakah kekuatan Hypermarket dengan cara kerja rasional itu menjadi alasan penting untuk memperbolehkan mereka bermain di pasar rakyat dan menyempitkan ruang gerak rakyat dengan pertarungan yang tidak seimbang?

Rasionalisasi memang merupakan produk dari jaman modern, namun bukan berarti kita tidak bisa membangun rasionalisasi pasar dan efektfitas jaringan distribusi sehingga harga akhir komoditi menjadi murah-semurahnya. Koperasi pernah disodorkan sebagai salah satu alternatif dari sistem perekonomian, tapi kemudian gagal kenapa? Banyak orang menuduh bahwa sistem koperasi tidak cocok di Indonesia. Sekarang saya mau tanya sistem ekonomi apa yang tidak terlibat pada korupsi di Jaman Orde Baru?....Perbankan?, Pasar Modal? Konglomerasi?,Perusahaan Pengadaan Barang di Departemen? ....semua sektor industri terlibat pada korupsi, karena korupsi memang sengaja dibentuk untuk memperkuat sistem penjajahan Orde Baru.

Tapi pernahkah kita menoleh pada Koperasi di Pasar Minggu KSU Sejati Mulya yang dibangun warga Jatipadang R.Sukarno pada tanggal 17 Januari 1979 yang sampai sekarang masih bertahan. Koperasi yang awalnya menempati bekas tempat praktek Dokter Kuswadji ini berkembang menjadi koperasi yang bertahan dalam terpaan badai. Dan menjadi semacam pusat pikir orang-orang sekitar Pejaten, Jatipadang dan Pasar Minggu tentang mendapatkan barang kebutuhan sehari-hari. Ini bukti dari bangsa Indonesia sebenarnya sanggup membangun sistem kerja bersama. Tapi pernahkah pemerintah memikirkan bagaimana melakukan kreatifitas kerja bersama dengan distribusi kapital yang luas dan berpihak pada orang Indonesia untuk membangun pusat perdagangan ketimbang memberikan konsesi itu kepada pihak asing?
Ternyata tidak, pragmatisme yang digabung dengan kemalasan menjadi salah satu sumber kemacetan Economic Value Added Social. Saat ini sedang berkembang tentang wacana Social Capital, pernah saya bersama Mas Agus Hamonangan kita bertemu dengan akademisi Prasetya Mulya yang melontarkan idee tentang social capital. Pak Profesor itu membahas tentang adanya saling keterkaitan komunikatif diantara elemen masyarakat dan komunikasi ini bisa dikembangkan lewat pengenalan antar komunitas, namun renungan saya mungkin lebih jauh bagaimana saling keterkaitan ini ditransformasi menjadi kepentingan bersama. Sejak kapan sebagai bangsa kita memiliki kepentingan bersama untuk berjuang? Saya rasa setelah Sukarno dikuburkan di Blitar tidak ada lagi kepentingan bersama itu, tidak ada lagi sorak sorai kepentingan bersama untuk mencapai kemakmuran bersama, yang ada saling tikung dan saling menghinakan diantara elemen bangsa, tidak ada lagi sensitivitas terhadap sesama anak bangsa yang dizalimi kepentingan kapitalnya, apa ini mungkin setelah adanya kompartemen psikologis yang maha dahsyat sejak pengurungan manusia di Pulau Buru dan RTM Salemba? Yang sebelumnya ditebarkan teror tentang pembantaian 1965-1966? Yang kemudian alurnya diteruskan dengan pembantaian Priok sampai penculikan aktivis menjelang reformasi 1998? Kita bukan mengungkit masa lalu, namun masa lalu itulah yang kemudian membentuk alam psikologis kita.

Kenapa pemerintah tidak melarang dulu Hypermarket modal asing dan membangun dengan kreativitasnya sendiri dan kemudahan regulator membentuk Hypermarket lokal dimana koperasi rakyat yang membentuknya, kenapa pemerintah tidak memperbaiki pasar tradisional dengan menjaminkan obligasi dengan APBD-nya lalu memberikan kemudahan bagi rakyat?. Permasalahan pedagang kecil susah diatur etc...etc itu masalah pendekatan saja dan masalah kultural, kultur akan mudah dibentuk bila ada kesadaran bersama. Namun kesadaran bersama tidak akan timbul bila ada rasa saling timbal balik antar elemen bangsa.

Pertanyaan yang saya lontarkan kedua adalah :

Apa dengan kekuatan cara kerja rasional ada sesuatu yang tidak kelihatan seperti : selubung kapital, pendiktean pasar, pembentukan susunan masyarakat sehingga masyarakat gagal melihat bahwa dibalik kemudahan itu harus ada harga yang musti dibayar? Berapa opportunity cost ‘pertumbuhan ekonomi rakyat’ yang musti dibayar bila Hypermarket dibangun dengan menilai matinya pertumbuhan kapital di kalangan rakyat?

Sejak dulu kita sudah dicekoki bahwa menerima hasil karya bangsa asing adalah rasional. Yah, rasional kalau harga yang dibentuk itu kemudian sama dengan harga pasar, tapi masalahnya harga yang sampai ke tangan rakyat melambung seribu kali lipat seperti yang kita terima. Masih ingat tentang kasus penipuan yang dilakukan oleh Economic Hit Man? Harga disini bukan saja dari pengertian Price, tapi Future Value...lebih ke arah nilai masa depan. Apa nilai masa depan Hypermarket bagi pertumbuhan ekonomi rakyat? Ada yang bisa menjawab ini? Apa ada yang sadar tumbuhnya Hypermarket merupakan sebuah bentuk monopoli jaringan distribusi? Ada yang membantah ini? Memang satu waktu konsumen dimanjakan tapi bagaimana dengan jangka panjang?, ada yang tahu darimana duit konsumen itu didapat? Duit kita didapat dari pertumbuhan ekonomi produktif dan bagaimana ekonomi produktif yang sehat?, ekonomi produktif yang sehat bila ada perluasan kapital terus menerus di dalam masyarakat dan penumbuhan kapital tak lepas dari kemudahan akses kapital. Pertumbuhan yang baik akan merangsang konsumsi yang bertumbuh dimana kaitannya kemudian mendorong tingkat produktivitas masyarakat, dan konsumsi masyarakat (ini menurut Friedman) akan menyesuaikan dengan pendapatan jangka panjang.

Memang harga-harga di depan mata kita bila berkunjung ke Hypermarket sangat murah dan teratur, tapi apa bangsa sendiri nggak bisa buat model kayak begini? Kenapa kita tidak merangsang bangsa sendiri seperti ini melalui gerakan raksasa yang berani? Tapi itulah mental kita, ...... bukannya mendorong dan meminta pemerintah serta elemen masyarakat untuk terus menciptakan kreasi pasar modern tapi malah bertepuk tangan terhadap kehadiran Hypermarket asing yang modalnya gede itu untuk mempersempit ruang gerak ekonomi rakyat. Apa Hypermarket tidak menggusur Pasar Tradisional, jelas menggusur...dan sablengnya lagi kita malah mendukung penggusuran pasar itu, dibiarkan mati pelan-pelan...tanpa mau tahu kemana Paman Doblang, Pak Djamin, Bu Sukirah atau Mbak Sumiyati pergi mengangkat dagangannya dan tersuruk kehidupannya...itu bukan urusan kita...begitulah pikir mahluk penikmat kenyamanan. Mata kita silau liat mata cerdas Teddy Rachmat dengan Makro-nya, tapi apakah kita juga pernah merasa saling memiliki melihat mata ibu-ibu yang berjualan jagung setikar nun di Pasar Minggu sana lewat tengah malam? Atau seorang yang duduk di pinggiran trotoar menyewakan petromak? Memang saat ini mereka masih ada, tapi dengan masuk dan pongahnya pemodal asing menantang rakyat kecil kulakan beras dan gula........apakah lima atau sepuluh tahun mereka masih ada dan berjualan disana?, pemerintahan yang baik dan masyarakat yang sehat justru mendorong ibu-ibu itu mempunyai kios dengan program pinjaman tanpa bunga, apakah dengan sepuluh tahun berjualan jagung disana etos kerjanya belum terbentuk? Terbentuk mana etos kerja ibu penjual jagung itu dengan anak pejabat yang nenteng-nenteng jaminan kekayaan bapaknya ke Bank mengajukan pinjaman? Namun sudah menjadi takdir sejarah bangsa ini tidak mau melihat si lemah. Di tambah teganya kaum kapitalis brutal merambah Indonesia, mereka tidak melihat lagi bahwa apa yang dijualnya merupakan rejeki rakyat kecil tapi malah terus menerus membunuhi setiap kesempatan rejeki rakyat kecil. Dari situlah kita bisa menyingkap selubung kapital.

Apa Hypermarket kemudian tidak memperlakukan pendiktean pasar? Jangan dulu ke Cafu atau Makro, tapi coba anda berkunjung ke pusat kulak Indomaret atau Alfamart anda akan melihat begitu banyak orang mengantre karena ingin memasukkan produknya. Kemudian kita sering membaca di majalah-majalah bisnis bahwa banyak perseteruan antara produsen dengan distributor retailer tentang aturan-aturan yang ujung-ujungnya penambahan beban produksi. Namun yang dimenangkan pihak retailer, kenapa? Karena memang mereka menguasai jaringan distribusi. Kenapa jaringan distribusi ini tidak kemudian dipecah dan diberikan kesempatan yang luas kepada koperasi-koperasi?. Tidak mungkin karena semangkin lama, logika psikologis kita melihat bahwa distributor-distributor mapan itulah yang menguasai pasar, dan kini bertambah dengan jaringan Hypermarket. Lalu dimana ruang buat rakyat kecil? Ada yang bisa menjawab? Kenapa ruang rakyat kecil tidak direkayasa atau diberikan kesempatan untuk bersaing di pusat ekonomi tapi malah diludahi dan dihinakan oleh bangsa sendiri yang doyan jajan di Hypermarket.

Kesadaran manusia ditentukan oleh susunan masyarakatnya, terlepas susunan masyarakat itu benar atau salah, menindas atau membebaskan. Sementara gerak sejarah adalah gesekan terus menerus di dalam susunan masyarakat. Masyarakat kita sekarang ini secara pasrah total menerima kepentingan-kepentingan pemodal besar, dulu kroni Orde Baru menjajah dengan modal raksasa, kini segerombolan pemodal asing dengan tidak tahu malu merebut jatah rejeki rakyat yang dicucuri keringat dan air mata.

Sadarkah anda susunan masyarakat apa yang sedang kita jalani ini? Apa ketika saya sebut susunan masyarakat Kapitalis-Imperialis anda akan berteriak...Marxist Lu!!! Lalu ketika saya sebut saat ini sedang berlangsung susunan masyarakat ‘Kapitalis Brutal’ anda akan berteriak apa?.....apa tidak brutal namanya sampai rejeki rakyat kecil dipersempit dan dipaksa bertarung dengan raksasa. Sementara tidak pernah ada good will untuk memperbaiki ekonomi rakyat? Susunan masyarakat ini seringkali melahirkan manusia-manusia yang secara sosial tumpul dan tidak peka terhadap nasib masa depan bangsa.

Dengan susunan masyarakat ‘kapitalisme brutal’ berapa opportunity cost pertumbuhan kapital masyarakat yang dibunuhi dengan hadirnya modal-modal asing? Usahlah kita menengok cerita Andrea Hirata tentang laskar pelangi, dimana rakyat lapar sementara tanahnya dikeruki tambang-tambang kapitalis gendut. Coba perhatikan disekitar kita, berapa banyak yang kita dapat dari sumber-sumber potensi kekayaan negara, berapa banyak anak Papua bisa sekolah sampai sarjana sementara tanahnya menghasilkan trilyunan? Berapa banyak anak-anak cerdas harus dimatikan kecerdasannya karena sistem kapitalisme brutal yang sedang kita jalani saat ini? Kita dengan sadar hidup di alam kapital, namun proses penyadaran kapital tidak pernah ada di Indonesia, rakyat dibiarkan sedemikian buta huruf tentang betapa pentingnya KAPITAL. Sehingga tidak tahu harus darimana memulainya. Dengan susunan masyarakat ini apa bisa diharapkan pertumbuhan kapital yang meluas di kalangan rakyat jelata. Atau seumur-umur kita dipaksa jadi kuli. Dengan bangga lulusan SMA bisa dipekerjakan, padahal mau lulus SD kek...nggak sekolah kek...kalau hidup di alam kapital yang terpenting adalah bagaimana menguasai kapital, baru kita bisa membebaskan hidup kita. Namun akses itu dihalang-halangi dengan seribu satu macam alasan.
Pertanyaan Ketiga :

Apakah bisa Pasar Tradisional dimana unsur-unsurnya adalah pedagang kecil menyatukan diri menjadi kekuatan kapital raksasa? Atau dimanakah peran pemerintah?

Setiap hari yang kita saksikan bagaimana pasar dibakar, protes para pedagang seperti di Pasar Turi Surabaya. Kita jarang mendengar kemampuan pemerintah memberikan kemudahan jaringan dagang untuk pada pedagang kecil bangsa kita. Apakah pernah terpikir bahwa dengan memberdayakan kekuatan dan etos kerja pedagang kecil menjadi sebuah kekuatan raksasa kapital. Ekonom India, Amartya Sen pernah berkata “Kekuatan terbesar kapital sesungguhnya ada pada perekonomian yang digerakkan rakyat kecil” kenapa Eropa Barat, Australia, New Zealand, Kanada, Jepang dan Amerika Serikat berhasil tumbuh menjadi negara kapital yang sangat luar biasa makmur? Karena kebijakan mereka adalah secara terus menerus berpihak pada perluasan kapital di kalangan rakyatnya. Memang Jepang dan Amerika Serikat lebih berorientasi pada punggung konglomerasi, namun perputaran kapital dan perluasannya terhadap rakyat sungguh luar biasa. Kapital Rakyat akan lebih jauh bermanfaat jangka panjang ketimbang kapitalis negara yang menciptakan kelas baru apalagi ‘kapitalis brutal’ seperti yang dialami Indonesia sekarang. Peran pemerintah sekarang adalah bagaimana menjadi mesin ide dan membuat tindakan untuk terus menerus membebaskan rakyat dari keterpenjaraan kapital. Bukannya malah heboh mengundang pemodal asing bertarung dengan perekonomian rakyat. Pernahkan anda berpikir berapa banyak petualang-petualang muda yang tumbuh di pasar-pasar mati kesempatannya bila pemodal asing terus merangsek wilayah bermain mereka? Petualan-petualang yang nyalinya lebih berani ketimbang orang berpakaian rapi, berparfum wangi dengan rambut klimis terima gaji bulanan tiap bulan. Karena dalam alam kapitalis, pertumbuhan bangsa ada pada pundak-pundak mereka ini...tapi penghancuran pasar-pasar lewat pengepungan pemodal akan menghanguskan mereka yang berani bertarung hidup.

Adakah diantara kita yang pernah membaca UUD pasal 33 tentang ekonomi Indonesia. Siapakah otak dari susunan kalimat pasal itu. Hatta. Ya...Hatta-lah yang menyusun konsepsi UUD pasal 33. lalu apa impian Hatta. Negara Kemakmuran Sosial Demokrasi. Dan impian Hatta ini sudah terjadi di negara-negara Eropa Barat terutama wilayah Skandinavia. Bisakah kita menjalani dan berpihak pada perekonomian rakyat yang kuat sebagaimana halnya dengan yang ada di Eropa Barat? Bisa kalau kita mau...dan sadar.

Saya sengaja tidak mau masuk ke dalam tulisan detil tentang tetek bengek industri retailer modern, saya cuman berkutat di awal mulanya saja, di wilayah-wilayah niatnya saja....karena sedari awal bagi saya memperbolehkan pemodal besar masuk ke dalam perekonomian rakyat dengan cara bertarung yang tidak seimbang, itu merupakan sebuah KESALAHAN.


CATATAN TAMBAHAN :
TULISAN INI PERNAH DIMUAT DI FPK KEBETULAN SAYA SIMPAN DAN BISA MENJADI TAMBAHAN REFERENSI.

PASAR TRADISIONAL VS PASAR MODERN]
Oleh: Dwi Ferriati [1]

Tema rencana kerja pemerintah tahun 2008 adalah percepatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Ini dilontarkan dalam pidato kenegaraan Presiden SBY tanggal 16 Agustus 2007. Dilihat dari tema dan isinya, ini lagi-lagi hanyalah "impian di siang bolong" bagi rakyat Indonesia. Kalau kita lihat trend dari pembangunan di daerah-daerah dengan menghadirkan pasar modern (retail) sebagai pusat-pusat perdagangan. Artinya antara perencanaan dengan praktek yang berjalan bertentangan, tentu ini perencanaan sia-sia dan hanya melahirkan mimpi besar saja.

Program pemerintah yang akan dikemas dalam menjalankan tema tersebut adalah dengan membangun Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UKMK) dengan menggelontorkan kredit terhadap usaha-usaha masyarakat dalam bentuk usaha kecil seperti warung, kios dan usaha ternak. Artinya ini hanyalah sebuah "suap" agar rakyat tidak melakukan perlawanan atau paling tidak mencegah terjadinya kerusuhan sosial akibat tidak adanya daya beli masyarakat. Karena program ini sebenarnya adalah program yang sudah disodorkan oleh World Bank melalui lembaga penelitiannya, bahwa masyarakat akan marah dan potensi kerusuhan sosial tinggi apabila banyak pengangguran dan daya beli masyarakat tidak ada. Ini juga berbahaya bagi kapitalisme itu sendiri karena terjadi krisis.

Sebenarnya program ini hanyalah mengulang program pemerintahan yang sudah-sudah. Kita masih ingat adanya beberapa program seperti P2KP, Pemberdayaan Perempuan Pedesaan, dan Kredit Usaha Kecil. Kesemuanya tidak ada laporan hasil pelaksanaannya. Di sini terlihat hasilnya tidak ada, terbukti tidak berkembangnya perekonomian Indonesia paska dijalankannya program-program tersebut. Di sisi lain, program-program tersebut marak dengan "korupsi" di tataran pelaksanaan. Karena memang program ini tidak dirancang dengan baik agar bagaimana program sampai ke masyarakat yang berhak, mekanisme pengawasan dan agar uang negara kembali sehingga bisa dimanfaatkan masyarakat lainnya. Selain korupsi juga nepotisme, karena pejabat pelaksananya adalah kepala desa. Sehingga hanya orang dekat dan yang dikenal saja yang mendapatkannya.

Program ini sesungguhnya bukan untuk kepentingan ekonomi rakyat. Bila kita melihat praktek kebijakan pemerintah untuk perekonomian secara menyeluruh di kota-kota maupun di daerah kabupatan yang dijalankan selama ini, maka kita akan dapatkan sebuah kesimpulan bahwa usaha kecil yang didorong dengan kredit (kalau berhasil) akan berhadapan dengan retail-retail yang dijadikan trend pemerintah dalam menjalankan pola pemasaran perdagangannya. Lihat perkembangan bisnis retail yang berbanding terbalik dengan perkembangan pasar tradisional.

Hingga tahun 2005, berdasarkan data AC Nielsen, menyebutkan jumlah gerai ritel di Indonesia mencapai 6.804 outlet.Saat ini tidak akan kita pungkiri bahwa setiap kota kecamatan telah berdiri mall, town square atau trade center sebagai pusat perbelanjaan dan perdagangan. Jenis retail ini telah memusatkan modal pada satu orang atau kelompok dagang dengan kekuatan modal besar. Ini hal pokok awal yang membuat persaingan dalam perdagangan ini menjadi tidak seimbang dengan usaha kecil atau dengan pasar-pasar tradisional selama ini yang menjadi pusat perbelanjaan masyarakat. Retail ini mampu menyediakan segala kebutuhan dengan harga yang relatif tidak kalah dengan pasar tradisional dari segala jenis barang, dengan kualitas bisa lebih baik.

Hal yang lebih tragis adalah retail akan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dengan membuat aturan tentang retail, sementara untuk pasar tradisional tidak lagi ada peraturan yang melindunginya. Dalam memaksakan berdirinya retail ini, Pemda-Pemda menggunakan segala cara untuk menggusur pedagang yang ada di pasar tradisional. Beberapa kasus telah mencuat, bahkan sampai preman berseragam atau ormas-ormas kepemudaan digunakan dengan dalih ketertiban dan keindahan. Padahal kita tahu, setelah itu akan dibangun retail. Pun dalam mendapatkan tanah, pengusaha retail mendapatkan keistimewaan. Betapa jauh beda perlakuan negara terhadap kedua pelaku ekonomi yang berbeda strata ini.Ditinjau dari sisi lain keberadaan retail sebenarnya telah mematikan usaha kecil, baik petani kecil, peternak atau usaha-usaha kecil lainnya. Karena memakai logika pasar dalam kapitalisme maka persaingan menjadi hal yang wajib hukumnya. Petani kecil akan tergantung (kalau tidak mau terlindas) oleh tengkulak atau bandar yang menjadi pemasok retail tersebut untuk hasil-hasil pertanian.

Demikian juga di usaha-usaha kecil lainnya mengalami hal serupa. Karena tergantung maka nilai harganya tidak memiliki harga tawar dan lebih dipatok oleh pemasok tersebut. Usaha-usaha kecil yang tidak bisa masuk dalam retail akan mati dengan sendirinya, karena tidak ada ruang untuk pasar tradisional. Logika harga pada pasar modern akan membuat harga murah yang bisa menghajar harga pasar tradisional dengan menekan habis harga beli dari pemasok. Nama (brand) yang menjadi andalan serta "penyakit" konsumerisme masyarakatlah yang digunakan pasar modern untuk mengeruk keuntungan dan memenangkan persaingan tidak seimbang ini. Selain itu propaganda media elektronik dan media lainnya begitu masif dimanfaatkan.Harga "bersaing" dari retail ini tentu menentukan juga bagi upah buruhnya yang bekerja di sektor retail. Tetapi problem bagi pekerja retail juga tidak kalah kompleknya dengan pekerja lainnya. Ini berkaitan dengan dengan aturan-aturan yang akan dilaksanakan secara khusus untuk sektor retail. Di sisi kesadaran akan posisi sebagai orang ditindas dan memiliki karakter berlawan maka retail lebih melahirkan sifat-sifat tersebut. Ini berbeda dengan pekerja di pasar tradisional, karena penghasilan mereka mengandalkan kemampuan berdagangnya.

Tentu dalam pasar tradisional soal "persaingan" antar pedagang juga merupakan konsekuensi dari hukum pasar kapitalisme. Pasar tradisional juga memiliki kelemahan besar, selain soal persaingan. Problemnya adalah watak yang terbangun menjadi calon pengusaha-pengusaha menengah dan besar. Dalam sistem pasar tradisional adalah "sama" dengan pasar modern, yaitu soal tengkulak dan bandar dalam mata rantai distribusi barang dagangan serta penghasil barang produksi. Perputaran nilai uang yang dihasilkan dari perdagangan di pasar tradisional lebih besar dan merata namun dengan kualitas yang lebih rendah nilai uangnya. Kondisi ini yang membuat berjalannya roda ekonomi namun lemah dan tidak signifikan dalam mengangkat taraf hidup masyarakat.Melihat kondisi tersebut sebenarnya ada satu hal yang bisa ditarik kesamaan dalam sistem pasar dagang ini. Yakni dalam rantai produksi dan distribusinya, sementara kekuatan modalnya berbeda serta efek terhadap nilai ekonomi. Kekuatan penopang dalam distribusi kedua sistim bisnis pasar ini mengandalkan tengkulak, bandar dan pemasok.

Sementara produsen (usaha kecil, petani) dan buruh/pekerjanya tidak mendapatkan hasil yang sesuai dari hasil kerjanya.Nah, menjawab persoalan seperti ini sebenarnya konsep kerjasama antar organisasi massa harus dirumuskan dengan baik. Konsep ini adalah memajukan kerjasama untuk membangun pola hubungan saling menguntungkan. Organisasi massa petani atau penghasil produksi kecil bekerja sama dengan serikat buruh atau organisasi profesi. Kerja sama ini diporoskan pada organisasi dan dikelola oleh badan khusus bagian ekonomi masing-masing organisasi tersebut. Organisasi petani atau penghasil produksi bisa menjual hasil produksi dengan harga yang relatif lebih rendah dari harga pasar, sementara organisasi profesi atau organisasi buruh dapat mendapatkan harga lebih murah yang dapat dinikmati anggotanya bahkan masyarakat sekitar. Keuntungan ini didapat dari hasil memangkas biaya yang selama ini dipakai untuk tengkulak, bandar maupun pemasok-pemasok. Hal lainnya adalah transportasi akan lebih murah dan kepastian konsumennya terjamin. Untuk itu tingkat rutinitas penyediaan barang kebutuhan serta tata kelola manajemen di masing-masing organisasi yang harus disiapkan dengan matang. Konsep ekonomi inilah yang merupakan cikal-bakal dari ekonomi kerakyatan yang disandarkan pada kekuatan masing-masing kelompok dan kebutuhannya, sehingga nafsu serakah dan produksi yang berlomba tidak akan lagi terjadi. Mungkin konsep ini akan efektif kalau negara mampu mengelolanya, namun selagi negara tidak berorientasi untuk kesejahteraan rakyatnya maka kitalah yang harus memulainya.------------ --------- --------- -

-------- --------- --------- -[1] Penulis adalah buruh ter-PHK, sekarang menjadi pekerja sosial. Tinggal di Marunda, Jakarta Timur, anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek. webmaster@prakarsa- rakyat.org [Non-text portions of this message have been removed]
Back to top
Reply to sender Reply to group Reply via web post Messages in this topic (1)

1 comment:

Hadi Meidiyan said...

Klo menurut saya, dalam kontek bahasan ini yg menjadi pokok soal adalah Pedagang Kecil dengan Pedagang Besar.

Setuju bgt tuh soal Koperasi dan bentuk usaha gotong royong apapun..

Masalahnya din Indonesia ini Komposisi pedagang ma produsennya ga seimbang... kebanyakan pedagangnya.. akhirnya:
1. Produsen tidak bisa ekonomis
2. Konsumen tidak bisa mendapatkanharga yang terjangkau.
3. Pedagang hanya mendapatkan margin tipis...

Jadi Coba deh Pedagang sama jumlah Pasar itu Di Batasin... Pasti deh semua bisa tertata dan teratur...