Wednesday 5 December 2007

GM di Rimba Filsafat Barat

Goenawan Muhammad Di Rimba Filsafat Barat
Dan Jalan Menuju Tuhan lewat ‘bahasa’

Oleh Anton

Salah satu keunggulan filsafat yang masih tersisa daripada Ilmu Pengetahuan adalah bagaimana melakukan spekulasi di jalan menuju pengertian tentang Tuhan. Tentunya ini bukan masalah perdebatan Tuhan Yang Menyejarah atau sebaliknya ‘Tuhan yang tiba-tiba ada’ tapi Tuhan dalam konsepsi lepas dari Imanen, Tuhan yang selalu melekat dari diri manusia disadari atau tidak disadari. Tuhan yang lepas dari pengucapan dan tidak terpenjara, Tuhan yang terbentuk dari alam bawah sadar dan memang menyelusup ke dalam persentuhan roh dan akal pikiran manusia. Disinilah Tuhan masih merupakan puncak misteri bagi tahapan filsafat tingkat lanjut.

Metafisika merupakan sebuah aliran filsafat besar yang mendasarkan dirinya pada idee kemudian idee ini mengalami banyak cabang spekulasi dan salah satu sungai spekulasi terderas dalam Metafisika adalah bagaimana manusia bersentuhan dengan Tuhannya. Adalah Hegel yang mengeraskan aliran Metafisika ini. Aliran Hegel adalah kanal besar yang menghubungkan antara Filsafat dan Ketuhanan sesuatu yang sudah dipatahkan sejak era Al Gazali. Hegelian justru melahirkan cerminnya yang terbalik dalam bayangan Marxian lalu kemudian melahirkan rangkaian titik-titik api ledakan revolusi yang menjungkir balikkan susunan realitas masyarakat menuju masa modern. Namun diluar Marxian, Hegel dalam idealisme tidak mati begitu saja. Di Inggris wilayah terkuat eksperimental secara aneh Idealisme bisa hidup maka disinilah –mungkin dengan sembrono – Al Gazali secara tidak sengaja bertemu pada lingkaran Russel dan Moore yang mencoba mematikannya dengan positivistik ala Inggris dimana kemudian Wittgenstein menjadi anak kandungnya. Lewat pemecahan bahasa dan pencarian atomisme logis kata-kata Wittgenstein menyatukan antara pelepasan Filsafat lewat Al Gazali (Tahafut al Falasifah – Kematian Filsafat) dalam menemukan Tuhan dengan penyatuan filsafat dimana Hegel menjadi raksasanya. Di sebuah pondok sepi pada pedesaan Austria ketika seorang filosof besar memutuskan untuk menjadi guru SD, Wittgenstein menulis :

“The Truth of the Thoughts that are here set forth seem to me unassailable and definite. I therefore believe my self to have found, and all essential points, the final solutions of the problem”
(....Kebenaran pikiran-pikiran yang dikemukakan disini bagi saya tampaknya tak dapat disangkal dan definitif. Maka dari itu saya berpendapat telah menemukan pada hakikat semua problem.) Lalu dimanakah Al Gazali dalam menemukan hakikat semua problem. Dengan membuka kematian bagi pemikiran-pemikirankah? Kematian ilmu filsafat? Lalu beranjak pada Tuhan? Atau mencari dalam cakrawala yang jauh tidak dimengerti dengan empat prinsip sederhana :

1. Ada orang tahu bahwa dirinya tahu
2. Ada orang tidak tahu bahwa dirinya tahu
3. Ada orang tahu bahwa dirinya tidak tahu
4. Ada orang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu

Apakah atomisme logis dari ketidaktahuan itu? Lalu Tuhan menyelusup dari semua relung bukan penjara-penjara pikiran kita. Wittgenstein-kah yang membebaskannya lewat penemuan proposisi makna bahasa? Tapi bukan juga tidak mungkin Wittgenstein sudah masuk ke dalam fatalisme nan lembut.

Fatalisme Wittgenstein justru membawa kita pada pembongkaran kata-kata. Namun baiknya sejenak kita tengok pada abad sebelumnya dimana eksistensialisme menjadi bintang sejarah.

Nietszche yang mengabarkan Tuhan sudah mati di Pasar-Pasar lewat Zarathustra adalah sebuah pengejawantahan bagaimana Tuhan sudah dilepaskan dari penjara kata-kata, pikiran dan konsepsi Imanen yang tahan waktu. Disini Nietszche mengajak manusia berjalan lebih jauh lagi ke dalam sebuah petualangan, dimana manusia memiliki pembebasan terhadap kata-kata, pikiran dan konsepsi Imanen untuk membentuk undakan baru dalam melihat Tuhan. Kierkegaard mungkin melihat Tuhan dalam arah yang lain, dalam keheningan padang Jutland, dan penderitaan yang dirasakan sebagai kutukan keluarga datang terus menerus dan ditengah tertawaan orang-orang di kafe-kafe Kopenhagen. Maka sebutan prolog dari sebuah tulisannya dengan kata-kata ‘Yang namanya akan disebutkan dalam lain waktu dari suatu yang tak bernama’ bukan lagi merupakan wujud dirinya atau cintanya pada tunangan yang digagalkan oleh keraguan tapi sebuah pikiran sadar bahwa dia telah menemukan Tuhannya dalam keadaan bingung. Mungkin ini spekulasi saya berlebihan tapi antara Kierkegaard dan Nietszche terdapat kesamaan menarik : Dalam penderitaan mereka melihat Tuhan dalam menara yang berbeda. Nietszche membebaskan Tuhannya dalam bekapan kata-kata dan Imanen yang tahan waktu. Kierkegaard mengekalkan kata-kata itu lewat konsepsi azabnya. Tapi toch Tuhan tidak pernah turun serta merta.

Eksistensialisme yang membebaskan atau mengurung bahasa malah menjadi permainan teka-teki Tuhan dalam proposisi-proposisi bahasa dimana atomisme logis atau pemaknaan mendapatkan loncengnya.

Dan Tuhan juga bisa masuk dalam wilayah Bahasa disinilah Wittgenstein kemudian berusaha bermain dengan Tuhannya. Lewat traktat-traktat logika dan luncuran bahasa Wittgenstein meluncur di jalan Tuhan nyaris tanpa menemukan kesulitan seperti dalam puisi-puisi Dante. Pertama kali mungkin kita akan termenung dalam singgahan sebuah diskusi antara Frege dan Wittgenstein lalu ke Betrand Russel dimana Tuhan kemudian dibuka dulu dalam wilayah Matematika. Mari kita berlompat-lompatan pada bahasa-bahasa sebagai wilayah utama menuju Tuhan yang adalah sebuah ruang kosong tanpa bahasa atau justru tempat sesak berbahasa? Dari jalur Wittgenstein maka kita bawa Russel dan Moore.

Bermula dari duet Moore dan Russel. George Moore yang dengan sederhana menyerang Idealisme Inggris ke dalam sebuah adagium paling pragmatis dan enak di baca : “Common sense” (Akal Sehat) maka disitulah kemudian ikon Idealisme hancur berkeping-keping namun kepingannya itu pelan ditatah oleh Wittgenstein nantinya dalam tiang tatal menjadi menara melihat Tuhan. Russel dan Moore berbeda dalam pandangan. Moore lebih teliti dalam menganalisa kalimat-kalimat yang kerap diucapkan sehari-hari sehingga dengan tak sengaja menghidupkan tradisi analitik dalam filsafat yang berhubungan dengan bahasa-bahasa sebagai arus besar filsafat abad 20 dimana mengganti arus besar filsafat abad 19 dimana historisitas merajai alam pikiran kaum filsuf. Bertrand Russel sendiri (yang pernah mengutuk kekejaman Orde Baru terhadap pembantaian akibat peristiwa G 30 S pada fase terakhir hidupnya) melakukan metafilsafat, atau mengomentari atas filsafat-filsafat yang berkembang dan merangkainya dalam sebuah buku tebal ‘sejarah filsafat barat’ dimana Russel ingin memberi gambaran pengaruh perkembangan filsafat barat terhadap sejarah politik dan sejarah masyarakat.

Saya justru melihat Tuhan dalam pandangan Gunawan Muhamad justru berbalik arah bila ditilik dari gerak sejarah sungai filsafat yaitu bermula dari filsafat bahasa – hal ini jika kita teliti membaca tulisan-tulisannya yang dalam dan penuh pertanyaan sejak tahun 1960 – kemudian berkesimpulan dari pemaknaan eksistensialisme dimana Nietszche membunyikan terompetnya dan Sartre bersama Jaspers berdiri di ujung modernitas bersama penjelasan Wittgenstein dalam bantuannya menerangkan atomisme logis Russel disini kita bisa bertemu terhadap jalur Tuhan walaupun penuh spekulasi, ada juga tentang Habermas yang mencoba merumuskan kategori-kategori ruang publik yang kemudian berkembang menjadi pemikiran rasional tentang masyarakat borjuis. Sebagai catatan walaupun Habermas sama sekali tidak mengidahkan metafisika dalam penjelasan filsafat rasionalnya namun dari perangkat Habermas bisa kita ambil kesimpulan usaha manusia melepaskan dari keterasingan dengan mengenalkan pada kategori-kategori keterasingan adalah sebuah upaya diam-diam manusia mengenal jalan Tuhan dalam definisi yang mungkin sulit dimengerti bagi kaum agamawan. Untuk itu mari kita berbalik dulu pada Gunawan Muhammad sebelum mendetail pada filsafat barat.

GM adalah seorang Batang (sebuah kota kecil di Jawa Tengah) yang berpikiran Barat. Itu yang harus awal mula menjadi tiang dalam mematok ukuran-ukuran GM dalam mengenal Tuhannya. Walaupun mungkin saya salah bila mematok hal demikian namun bila mengukur intelektualitas dan spiritualitas GM dari jalur timur atau istilahnya Sanusi Pane : Lembayung senja nyiur melambai. Maka adalah pengukuran yang sia-sia. Dari Baratlah bermula dan dari kemanusiaan yang bertanya berpangkal. Disitu kita tarik akar-akar spiritualitas dari tulisan Alam Ketuhanan GM. Tapi sebelum kita masuk ke dalam wilayah pemahaman spiritualitas dalam tulisan GM saya akan mencoba menggambarkan watak intelektualitas dan pemaknaan spiritualitas dalam diri GM dari kata-katanya yang ditulis tahun di usianya ke 19 :

“Salah satu kebebasan pertama dari seorang pencipta adalah kebebasannya dari sikap kolektif yang mengikat diri, dan bahaya dari orang-orang yang terlalu memperhatikan rumus-rumus umum yang dikenakan atas kesadaran keseorangannya ialah terbentuknya diri dari ruang kolektivisme, sehingga hasilnya nanti tidak akan lebih dari hasil tukang proyeksi, suara umum, dan penyodor kemutlakan ajaran.....Penyair manapun yang baik, kehadirannya mula pertama adalah sebagai seorang penyair. Lebih jauh lagi : seorang manusia dengan masalahnya, dalam suatu hidup. Hasil sastra-nya pun bukan hasil suatu eksemplar dari suatu jumlah, tapi hasil keseorangan yang betul-betul utuh”.

(Gunawan Muhammad, 1960)

Pertama-tama dalam tulisan ini GM mengalami kesadaran dalam dimensi ruang dan waktu dimana gegap gempita kebersamaan sebagai kesadaran yang dipaksakan menjadi bintang di jamannya sekitar akhir tahun 50-an dan mungkin GM terpengaruh oleh Georg Lukacs yang mencoba dengan suara pelan menjadi warna lain dari sastra ‘berkesadaran kelas’ namun berwatak individu.

Namun ia sekali lagi adalah ‘orang barat yang lahir di Batang’ GM telah menabur benih individualitas dalam arti individuasi, manusia harus menemukan keunikannya, manusia harus memperkuat alam kesendiriannya agar ia bisa secara pribadi berjalan menuju ruang paling misterius yang pekerja Ketuhanan sering bilang : Alam Tuhan. Alam Tuhan tidak mengenal definisi-definisi, tidak mengenal identifikasi tapi alam Tuhan juga berjalan lewat jalurnya. Walaupun tulisan untuk menjelaskan ini kacau karena saya sendiri mencoba mendefinisikan alam Tuhan itu tapi saya mencoba sekali lagi mencoba bahwa ‘Jalan Tuhan’ tidak harus dengan sujud, doa dan disiplin-disiplin spiritualitas yang mematikan pikiran. Menghidupkan pikiran dan selalu menali temalikan tanya manusia merupakan jalan terjal menuju alam Tuhan. Atheis atau Bukan mereka bisa menemukan jalan Tuhan. Karena alam Tuhan lepas dari kondisi-kondisi yang kita pikirkan. Tapi bisa tergambarkan abstraksinya, salah satunya dari filsafat dan sastra yang bernyanyi. Dan GM menurut saya sudah berada pada tingkatan tertinggi dalam maqam sastra Indonesia, sehingga kritikus atas tulisan dia belum mampu menggerus-gerus batu pikiran GM kecuali ada manusia sastra Indonesia yang berhasil menaiki kendaraan kuantum sejarah dan berdiri atas kepala GM. Tapi bukan berarti GM adalah Dewa Sastra tanpa cela, namun yang jelas GM adalah Ronggowarsito berwajah muda, berpikiran barat dan mampu berpikir Tuhan jauh dari kedangkalan seperti yang sering dipamerkan para sastrawan kita, tua dan muda yang kerap mencemooh pemikiran GM yang justru menunjukkan pada dunia ‘betapa bodohnya kami’.

Mari kita lompat lagi ke Tuhan.

Tuhan sebagai objektivitas –walaupun dalam kaca mata timur ini kurang tepat – dalam pemikiran barat baru berpuncak pada ketika Immanuel Kant menghidupkan filsafat ethika dan bangkitnya suar pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas dengan tema Neothomisme pada abad 20. Saya akan memfokuskan dulu usaha penemuan jalan Tuhan lewat filsafat bahasa. Mungkin bagi penikmat filsafat barat yang kerap membaca tulisan-tulisan dari Moore sampai Habermas akan heran apa hubungannya antara filsafat modern dengan ketuhanan bukankah filsafat modern justru merayap untuk meruntuhkan mitologis agama-agama dari pengaruh irasionalitas walaupun masih berpegang pada idealisme Hegelian. Tapi saya yakin dari perenungan saya bahwa antara sufistik dengan filsafat modern terutama filsafat bahasa yang berkembang hebat sepanjang abad 20 lalu. Saya akan melewati pintu ini untuk mencoba memahami Ketuhanan GM karena dengan cara GM berbahasa-lah kerap ditemukan nada-nada sufistik. Pembedahan GM bukan saja dari tulisan Kompasnya di hari sabtu tapi juga dari rentang pemikirannya yang panjang dan seolah telah menciptakan ‘kitab suci’ bagi pembaca esai GM yang setuju dengan watak kontemplatif dan terus bertanya ‘lalu mengapa’.

George Moore dan Bertrand Russel

Sebagai sastrawan GM pertama-tama adalah seorang pengamat. Ia jurnalis yang hidup. Ia mirip Ernest Hemingway (tentunya tanpa kepongahan khas EH), atau ia seorang Noah Chomsky yang selalu mencatat kata dan memperbendaharai buku-buku. Tapi dari semuanya GM adalah mahluk penanya. Dialah jenis manusia filsafat yang tak pernah berhenti berspekulasi dan melemparkan renungan. Dia bukan seorang Ullyses yang berani menantang dewa suci (-dewa suci yang kita tentang kadang-kadang hanya pikiran yang lahir dan membatu di kepala-kepala manusia keras kepala-) GM adalah pencipta Ullyses itu sendiri, ia adalah Homerus pencipta Illiad dimana kata-katanya adalah penentangan dari dewa yang lahir dan membatu di kepala keras kepala. Dan senjata GM adalah bahasa. Karena ia seorang esais yang punya cap paling tinggi di bangsa ini. Dari Moore dan Russell-lah saya mulai bermain dalam wilayah GM.

Adalah menarik menghubungkan George Moore (1873-1968) dengan pemikiran-pemikiran GM serta kemampuan Moore untuk menganalisa filsafat-filsafat yang ada. Moore sendiri adalah pencipta filsafat analitis walaupun ia menolak dengan anggapan itu. Filsafat Analisis berpedoman “tidak begitu mempedulikan kebenaran melainkan memusatkan pada makna-makna ucapan kita” pertanyaan pokoknya bukan “it is true?” tapi “what is the meaning?” Moore sendiri merupakan filosof yang menyelidiki ucapan sehari-hari (the ordinary language) bahkan lebih jauh Moore memperhatikan pikiran dan konsep-konsep.

Menilik Moore kurang lengkap rasanya tidak menampilkan prinsip filsafatnya yang kemudian menjadi alat serang terbaik bagi idealisme ala Inggris dan melahirkan positivisme. Pikiran-pikiran Russel sebenarnya mengangkat idealisme berbahasa khas Hegelian yang rumit seperti : ‘segala sesuatu bersifat spiritual’, Pikiran yang menentukan masyarakat’, ‘waktu tidak real’. Bagi Moore ucapan-ucapan itu sangat rumit bagi orang biasa jika mendengar pendapat itu. Karena memang pendapat itu merupakan penentangan dari ‘common sense’ atau akal sehat. Moore berpihak pada common sense. Bukan berarti Moore beranggapan bahwa akal sehat selalu benar, melainkan bahwa seringkali akal sehat mempunyai anggapan yang lebih mudah masuk akal daripada filsafat yang berbelit-belit yang kerap dikemukakan para filosof. Moore juga melontarkan pendapat : “bahwa yang paling tepat mengalimatkan pertanyaan-pertanyaan dengan jelas dan tepat. Banyak persoalan filsafat ternyata tak lain adalah persoalan dan menghilang begitu saja, kalau diselidiki dengan cermat yang sebenarnya mau ditanyakan dengannya”.

Kritikan Moore pada filsafat idealisme berbahasa rumit juga merupakan pembuka untuk menciptakan bahasa-bahasa modern yang simpel dan lugas. Hal ini bisa dilihat terhadap bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, dimana kelugasannya menjadi sebuah rentang imperium berbahasa yang banyak digunakan orang. Namun konteks yang lebih aktual lagi dari Moore adalah bagaimana menyikapi sebuah tulisan bernada filsafat. Saya sendiri sering membaca filsafat yang membosankan dengan bahasa rumit yang kadang-kadang dimuat di Kompas. Seolah-olah dengan kerumitan bahasanya filosof yang sering nulis di koran sedang bermasturbasi sendirian dengan bahasa yang hanya dia mengerti. Ini rupanya juga kerap menimpa siapapun di bidang apapun – tidak terkecuali saya sendiri - . Kaum Sastrawan sering beranggapan mereka berada di gua suci tanpa mau kenal bahasa profan, petinggi agama membentangkan jubahnya dengan pongah dan meremehkan kenistaan yang sering tanpa mereka sadari merupakan bayangan diri mereka sendiri, penggede politik bermain cinta dengan kemewahan tanpa tahu persoalan rakyat atau kaum intelektual yang bermanis-manis dengan kekuasaan lalu menciptakan pemikiran yang bisa dibayar. Disinilah kemudian sesuatu kehilangan makna filosofisnya. GM tidak terjebak pada hal demikian, bukan berarti tulisan di Kompas-nya tidak genit, bagi saya itu tulisan yang genit tapi mengenal GM bukan hanya tentang tulisan ‘waham yang tertipu berhala’ tetapi cobalah mengenal tulisannya seperti ‘Pak Susman’ pada tulisan Catatan Pinggirnya, disitu GM mengajak kita bahwa berpikir bukan berarti identifikasi gelar, berpikir adalah pembuka untuk menemukan kemanusiaan dimana berpikir sistematis menjadi kuncinya itu yang tersirat tapi lebih jauh lagi ada percik pencerahan dari Pak Susman yaitu :bagaimana memanusiakan manusia lewat proses berpikir. Tentu dengan penyampaian bahasa yang mudah dimengerti. Antara Pak Susman dan Ruang Ketuhanan memiliki arti yang dekat. Ruang Ketuhanan menyatu dalam diri Pak Susman dalam bentuk pencerahan terhadap anak muridnya. Apakah ini berarti seperti Sjeh Siti Djenar yang berucap ‘Sayalah Tuhan’ antara Pak Susman dan Sjeh Siti Djenar bagi saya tidaklah jauh berbeda hanya Sjeh Siti Djenar melenyapkan alam fisiknya dalam dunia ekstase dimana dia sendiri yang ‘mengerti’ namun Pak Susman berjalan dalam ruang yang kita kenal. Mungkin Pak Susman setelah mengajar di sekolah mencangkul ladangnya, atau berjualan sayur di pasar..Pak Susman adalah keseharian kita yang mengenal Tuhan dari kehidupan sehari-hari yang kita lihat : Bukankah Tuhan bekerja pada wajah anak-anak kita, pada alam pagi yang sejuk dan keriangan hati atau pada desah kita baik desah nafsu berahi atau desah rindu cinta. Hanya saja kita kerap memberi kategori-kategori terhadap alam Tuhan itu lalu pikiran menjadi takut untuk melangkah ke dalam dan banyak mengabaikan bahwa alam Tuhan juga bekerja di sekitar kita. Untuk itu saya ingin mengutip dari kata-kata Jiddu Krisnamurthi tentang rasa takut :

“Ketakutan merupakan salah satu masalah terbesar dalam hidup. Batin yang terperangkap dalam ketakutan, hidup dalam kebingungan, dalam konflik, dan karena itu tak bisa tidak penuh kekerasan, adalah batin yang cacat dan agresif. Ia tak berani meninggalkan pola-pola berpikirnya sendiri, dan ini menimbulkan kemunafikan. Terkecuali kita bebas dari rasa takut, maka apapun yang kita kerjakan –mendaki gunung yang tertinggi di dunia, menciptakan bentuk Tuhan macam apapun- kita akan tetap berada dalam kegelapan. Salah satu penyebab utama rasa takut ialah bahwa kita tak mau menghadapi diri kita sendiri dalam keadaan yang sebenarnya. Karena itu disamping menyelidiki ketakutan-ketakutan itu sendiri, kita juga harus menyelidiki jaringan pelarian yang telah kita kembangkan untuk melenyapkan ketakutan dari diri kita. Bila batin, termasuk di dalam otak kita, berusaha mengatasi ketakutan, menekannya, mendisiplinkannya, mengontrolnya dan mengubah menjadi sesuatu yang lain, maka timbullah perselisihan, timbullah konflik, dan konflik itu adalah pemborosan energi”

Apa ketakutan para Dewan Wali pada Sjeh Siti Djenar, apa ketakutan para ‘sastrawan moral’ pada GM, apakah ketakutan Orde Baru pada Wiji Thukul, Apakah ketakutan diri kita pada hal yang tidak kita ketahui? Apa benar ketakutan merupakan Gerak kepastian menuju ketidakpastian?

Untuk itu saya akan mencoba ke atomisme logis dari pikiran-pikiran Bertrand Russel sebelum akhirnya menyentuh ke Wittgenstein lalu menggoda alam pikiran Gunawan Muhammad.

Bertrand Russel (1872-1970)

Secara formal Bertrand Russel dikenal sebagai pemeta pemikiran filsafat. Karya fenomenalnya ‘History of Western Philosophy’ keluaran tahun 1946 sungguh menghentak pemetaan sejarah filsafat yang sudah ada, termasuk argumen terpentingnya tentang pelarian filsafat yang sudah layu di depan ilmu pengetahuan. Tapi apakah filsafat kemudian layu dan spekulasi-spekulasi tentang Tuhan berhenti? Seiring dengan sikap korektif Bertrand Russel terhadap ubah-mengubah alur pemikirannya dalam ‘My Philosophical Development’ yang dirilis tahun 1959. Ada hal yang menarik dalam kaitannya Bertrand Russel dengan GM. Bila saya melihat GM sebagai garis lurus tanpa koma dalam essay-essaynya dimana titik-titik garis lurus itu adalah kontemplasi, rasional dan sikapnya yang jenaka terhadap hal serius maka Bertrand Russel selalu menghentak-hentak berputar dari sisi satu ke sisi lain dimana arahnya berlawanan, bermuka-muka antara satu kurun dengan kurun yang lain. Adalah ‘Principia Mathematica’ dalam 3 jilid (1910-1913) bersama Whitehead sebagai sekondan dalam pengerjaan Principia Mathematica yang dikeringati selama 10 tahun dengan tujuan besar merealisasikan logisisme artinya mengasalkan matematika kepada logika. Russel dan Whitehead memperlihatkan bahwa konsep-konsep matematika dapat di definisikan dengan menggunakan istilah-istilah logis saja dan dalil-dalil matematis dapat dibuktikan dengan hanya menggunakan definisi-definisi dan prinsip-prinsip logis. Dalam hal ini mereka meneruskan dan menyempurnakan karya ahli Matematika Jerman G. Frege dan ahli Matematika Italia G. Peano.

Dalam jilid pertama bukunya itu dirancang suatu sistem logis yang baru yang menjadi dasar bagi logika simbolis yang modern. Ambisi besar Russel adalah menjebol tembok Newtonian atau Leibniz yaitu bagaimana logika baru ini dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah-masalah filosofis. Dari sinilah kemudian berkembang pengertian ‘Atomisme Logis’.

Dunia intelektual di kurun 1918-1919 mendapat gambaran konsepsi atomisme logis dalam bentuk artikel yang dirilis dalam majalah Amerika ‘The Monist’. Artikel-artikel itu kemudian dikumpulkan dalam buku ‘Logic and Knowledge, Essay 1901-1905. Tujuan atomisme logis adalah menelanjangi bulat-bulat struktur hakiki bahasa dan dunia. Dengan pisau bernama ‘Analisa’ memang ini kemudian bertemu dengan analisa Moore yang menganggap analisa memainkan peranan penting dan kemudian sangat berpengaruh terhadap jalan pikiran orang Inggris, namun Russel tidak melakukan ‘analisa pendapat-pendapat para filsuf’ seperti apa yang dilakukan Moore.

Tujuan ‘analisa’ Russel adalah bagaimana menganalisa fakta-fakta. Pemikiran filsafat harus mampu melukiskan jenis-jenis fakta yang ada. Dalam hal ini mirip dengan ilmu zoologist bertugas menentukan jenis-jenis binatang, atau astronomi yang mampu menyusun jenis-jenis benda alam raya. Jadi fakta dimaksudkan ciri-ciru atau relasi-relasi yang dimiliki benda-benda. Lalu dengan itu apa sesungguhnya penelanjangan dari ‘Fakta’ Russel menjawabnya dengan renungan yang amat dalam “ Fakta-fakta tidak dapat bersifat benar atau salah. Yang dapat bersifat benar atau salah adalah proposisi-proposisi yang mengungkapkan fakta”. Ini artinya proposisi merupakan simbol dan tidak merupakan sebagian dunia.

Lalu apa yang dimaksud dengan proposisi dalam pemahaman Russel. Menurutnya proposisi terdiri dari kata-kata yang menunjuk kepada data inderawi (sense data) dan universal, yaitu : ciri-ciri atau relasi-relasi . Sebagai contoh data inderawi yang disebut “putih” dan sebagai contoh universalia yang disebut “berdiri di samping”. Data inderawi ditunjukkan dengan logical proper names (nama diri yang logis), seperti misalnya “ini” dan “itu” – (nama diri dalam arti yang biasa seperti “Jakarta”, “A’A Gym” dan lain sebagainya, menurut Russel dari sudut logika harus dipandang sebagai ‘description in disguise’ (deskripsi yang bertopeng) Misalnya. Jakarta = Ibukota Indonesia, dan A’a Gym = da’i kondang yang terkenal karena poligaminya) –

Proposisi dalam bentuk yang sederhana seperti x adalah y (“inilah putih”) atau xRy (“ini berdiri di samping itu”). Russel menyebutkan proposisi itu adalah “proposisi atomis” (atomic proposition), karena sama sekali tidak memuat unsur-unsur majemuk. Suatu proposisi atomis mengungkapkan suatu fakta atomis. Dengan demikian Russel menyatakan bahwa “bahasa sepadan dengan dunia”

Sudah kita lihat dalam tulisan ini Russel dalam filsafatnya bermaksud mempelajari fakta-fakta. Dan menjadi jelas menurutnya bahwa melalui bahasa bisa ditemukan jenis mana yang ada. Dengan begitu bahasa melukiskan realitas. Disinilah kata kuncinya : bahasa melukiskan realitas. Tetapi tunggu dulu, bahasa yang dimaksud Russel bukannya bahasa yang biasa melainkan bahasa yang sempurna, sama sekali terlepas dari makna ganda dan kekaburan yaitu bahasa logis yang dirumuskan dalam ‘Principia Mathematica’. – Russel sendiri masih mengandaikan satu logika saja. Lalu belakangan para ahli menerima beberapa logika, tergantung pada norma-norma rigorisitas yang berbeda-beda.
Dengan proposisi-proposisi atomis kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk, kata “dan” atau “atau” yang dihasilkan adalah suatu proposisi yang molekuler (Moleculer Proposition). Tetapi menurut Russel tidak ada fakta molekuler. Misalnya proposisi “Inilah putih dan itulah merah” menunjuk kepada fakta-fakta atomis. Kebenaran atau ketidakbenaran suatu proposisi molekuler tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi atomis di dalamnya. Jadi fakta-fakta atomis menentukan benar tidaknya proposisi apapun juga (baik atomis maupun molekuler). Menurut peristilahan yang dipakai Russel sendiri ‘Molecular proposition are ‘truth-function’ of atomic proposition.

Sepintas pemikiran Russel tentang atomisme logis merupakan kebenaran tapi marilah kita mengembara pada jalannya sejarah tentang perdebatan-perdebatan terhadap pemikiran Russel. Coba kita lanjutkan teori ini secara konsekuen, terpaksa Russel harus mengatakan beberapa hal yang kemudian membuat banyak polemik di kalangan ahli filsafat pada jamannya. Pertama, Russel harus mengatakan bahwa juga terdapat “fakta umum” seperti : Proposisi “semua orang akan mati” tidak terdiri dari proposisi “A akan mati” atau “B akan mati”, “C akan mati” dan seterusnya. Yang membuat proposisi itu menjadi benar bukan serangkaian fakta-fakta atomis melainkan fakta umum. Berikutnya, Russel harus menerima fakta-fakta negatif, sebab itulah satu-satunya cara menerangkan kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi negatif. Seperti proposisi yang lain, proposisi “tidak ada kuda berkaki sepuluh” hanya menjadi benar atau tidak benar berdasarkan fakta. Dan akhirnya, ia mengakui adanya fakta-fakta khusus yang sepadan dengan proposisi “John beranggapan bahwa bumi itu datar” coba kalau dipandang sepintas lalu, rupanya proposisi itu majemuk, tetapi bukan proposisi molekuler seperti yang diterangkan diatas. Kebenaran proposisi “John beranggapan bahwa bumi itu datar” tidak bertumpu dari benar tidaknya proposisi “bumi itu datar”. Jadi proposisi ini menunjuk suatu fakta jenis tersendiri, yaitu dalam contoh tadi suatu kepercayaan atau – lebih umum – suatu fakta psikis (mental fact, menurut Russel)

Lalu apakah kemudian tidak ada kesulitan-kesulitan dalam memahami atomisme logis? Kesulitannya justru pada sesuatu yang ingin dihindarkan Russel.... Metafisika! . Tidak dapat disangkal atomisme logis mengandung suatu metafisika, seperti diakui oleh Russel sendiri. Kenapa metafisika? Karena teori ini ingin menjelaskan struktur hakiki bahasa dunia. Tidak jelas apakah Russel juga tertarik dengan bahasa-bahasa mistis seperti : “Om” dalam Hindu atau “Alif Lam Mim” dalam terminologi Islam. Namun Russel berpikiran dalam teorinya ini bahwa dunia dapat diasalkan pada fakta-fakta atomis. Dan ini merupakan pemikiran metafisis bukan?

Merngatakan bahwa dunia dapat diasalkan pada fakta-fakta atomis, jelas sekali merupakan suatu pendapat metafisis. Dan disini kita sudah melihat pendapat Russel tidak berdasar pada data-data empiris, melainkan berasal dari suatu analisa mengenai bahasa. Jelas juga bahwa metafisika yang terdapat dalam teori Russel merupakan suatu pluralisme radikal, sama sekali bertentangan dengan monisme yang menandai idealisme.

Atomisme menggunakan suatu kriterium yang menentukan makna. Menurut penganut paham atomisme logis , suatu proposisi bermakna kalau dapat ditunjukkan suatu fakta atomis yang sepadan dengannya atau kalau suatu proposisi majemuk terdiri dari proposisi-proposisi atomis yang masing-masing sepadan dengan suatu fakta atomis. Akan tetapi sudah nyata kiranya bahwa proposisi-proposisi yang dirumuskan oleh atomisme logis sendiri tidak dapat disamakan dengan kedua jenis proposisi itu. Tidak ada fakta atomis yang membuat proposisi-proposisi yang membentuk teori atomisme logi itu menjadi benar atau tidak benar. Akibatnya perlu disimpulkan bahwa proposisi-proposisi atomisme logis sendiri tidak bermakna!....Sayang ketika kesulitan-kesulitan ini muncul perhatian Russel sudah beralih ke pokok-pokok lainnya seperti perhatian dia pada sejarah filsafat dengan dikaitkan pada sejarah politik dan kemasyarakatan.

Ludwig Wittgenstein (1889-1951)

Pada kebingungan ini cobalah kita mengetuk pada pintu sebuah kabin tua di pedalaman Norwegia saat seseorang sedang menulis sebuah kerangka besar bangunan filsafat untuk memahami pandangan Russel tentang atomisme logis, orang itu adalah pewaris kekayaan ayahnya yang pernah memimpin pabrik baja raksasa yang kemudian memilih hidup menjadi guru SD di pedalaman Austria dan merasa menemukan rahasia alam filsafat lewat “Tractacus Logicophilosophicus”, Ludwig Wittgenstein yang takut bahwa dirinya telah gila menjelaskan kebingungan atomisme logis itu. Selain “Tractacus Logicophilosophicus” untuk menjelaskan atomisme logis dari pemikiran Wittgenstein ada baiknya kita juga menelaah “Philosophical Investigation”. Buku Philosophical Investigation memang dimaksudkan Wittgenstein untuk diterbitkan namun baru pada bagian pertama yang diselesaikan oleh Wittgenstein. Bagian kedua diberi bentuk definitifnya oleh G. Anscombe dan R.Rhees dua murid Wittgenstein yang menerbitkan bukunya.

Sebelum merambah ke ranah dua pokok pikiran Wittgenstein, ayo kita baca sejenak riwayat hidup Wittgenstein yang dari riwayatnya ini bisa menjelaskan bagaimana kemudian ia bertemu dengan Russel dan tertarik mengembangkan teori atomisme logis.

Ludwig Wittgenstein lahir di Vienna (Wina), Austria pada tanggal 26 April 1889 sebagai bungsu dari delapan anak. Ayahnya berasal dari keluarga Yahudi yang telah memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama Katolik. Profesi ayahnya adalah Insinyur yang pernah memimpin pabrik baja raksasa selama sepuluh tahun. Posisi ayahnya inilah yang kemudian menjadi kaum sosialita di lingkungan Wina. Ayah dan Ibunya berbakat musik dan memiliki pergaulan yang luas di kalangan musisi klasik di dunia, seperti yang kita ketahui di abad 17-19 Vienna merupakan kota pusat perkembangan musik klasik di Eropa. Dan rumah keluarga Wittgenstein selalu dikunjungi oleh para pencinta seni tak terkecuali Johannes Brams. Pengaruh seni musik pada Ludwig Wittgenstein dari kedua orang tuanya terlihat pada kemampuan Ludwig memainkan klarinet dan jago bersiul konserto-konserto musik klasik. Dari sinilah kemudian ada pengaruh pemahaman musik Ludwig dalam merumuskan filsafat-filsafatnya.

Pada tahun 1906 Wittgenstein pergi ke Berlin dan belajar pada Sekolah Tinggi Teknik disana. Namun ia merasa Inggris jauh lebih baik untuk itu ia pergi ke Manchester pada tahun 1908. Di Manchester ia mengadakan riset tentang pesawat terbang, khususnya mesin jet dan baling-baling. Dasar-dasar riset mesin jet dan baling-baling ini menggunakan landasan matematika karena itulah ia mendalami matematika, pada saat itu ia merasa sangat tertarik dengan matematika dan filsafat matematika. Ketertarikan mendalami filsafat matematika membawa Wittgenstein berjumpa pada G. Frege, ia berkonsultasi pada Frege sepanjang tahun 1911. “Bagaimana aku menemukan pemahaman tunggal untuk penyelesaian tunggal terhadap keseluruhan problem matematika?” begitu tanya Wittgenstein pada Frege. “Cobalah kau belajar pada Russel mungkin dia akan menemukan jawabannya yang lebih baik ketimbang aku” balas Frege. Lalu Wittgenstein pergi ke Universitas Cambridge untuk berjumpa dengan Russel dan mengikuti kuliah disana pada tahun 1912. Pada musim gugur yang buram di tahun 1913 Wittgenstein mengunjungi Norwegia dan Eslandia bersama David Pinsent seorang matematikawan muda Cambridge. Lalu sebentar mereka kembali ke Inggris lagi, namun Wittgenstein tak tahan menginginkan kesunyian alam desa Norwegia dan ia balik ke Norwegia dengan tangannya sendiri ia membangun dengan tangannya sendiri kabin yang sederhana, sebuah pondokan kecil yang akan digunakannya untuk mendekam dan bermain-main dengan alam pikirannya. Tahun 1912 ayahnya wafat dan mewariskan sejumlah besar kekayaan, namun seperti layaknya intelektual besar dan kaum filsafat yang tidak hirau akan kekayaan materi, Wittgenstein menyumbangkan kekayaannya itu kepada orang lain termasuk para seniman, dimana ia mengagumi peran hidup para seniman.

Pecah perang dunia pertama dimana Austria terlibat karena putera mahkota Pangeran Franz Ferdinand ditembak mati di Serbia oleh Nasionalis bernama Gavriel Princip yang kemudian mendorong pertikaian besar dengan daerah-daerah balkan yang hendak memerdekakan diri dan dibantu negara-negara pro sekutu termasuk Inggris, Italia, Belgia dan Perancis. Terdorong oleh semangat nasionalisme yang berkobar Wittgenstein masuk ke dalam pertempuran sebagai sukarelawan. Ia ditempatkan di berbagai tempat antara lain di front timur dan front selatan. Selama tahun-tahun itu ia menulis buku filsafat yang diselesaikannya pada tahun 1918. Namun ketika bertempur dengan pasukan Italia di sebuah garis pertempuran ia tertangkap dan ditawan oleh tentara Italia, naskah bukunya terdapat dalam ransel tempurnya. Ketika di dalam tahanan tentara Italia ia berhasil mengirim sebuah kopi naskahnya ke Russel dan Frege. Setelah mengetahui Wittgenstein mengetahui bahwa muridnya yang cemerlang ini ditawan pasukan Italia yang juga sekutu Inggris maka dengan pengaruhnya Russel mendekati pejabat militer Inggris untuk memberikan memo terhadap pembebasan Wittgenstein. Maka pada tahun 1919 ketika perang selesai Wittgenstein berhasil dibebaskan tanpa proses hukum. Pada bulan Desember ia melakukan kunjungan ke Den Haag, Belanda. Di Den Haag Wittgenstein akhirnya bertemu kembali dengan Russel. Di setiap pertemuan yang intensif itu termasuk obrolan mereka di sebuah kafe dekat jalan utama kota Den Haag yang banyak dikunjungi oleh kaum intelektual yang belajar di Universitas kota itu termasuk beberapa mahasiswa dari Hindia Belanda. Russel dan Wittgenstein terlibat pembicaraan serius. Dari pembicaraan mereka yang panjang lebar tentang naskah Wittgenstein. Pada tahun 1921 di dalam majalah Annalen der Naturphilosophie terbitlah karya Wittgenstein : “Logisphilosophische Abhandlungen” (Ulasan-ulasan logis dan Philosophis). Setahun kemudian diterbitkan suatu edisi baru dengan terjemahan Inggris disamping teks Jerman yang asli. Edisi ini dengan disertai pengantar oleh Russel, berjudul “Tractacus Logico-Philosophicus” - (Bukunya itu dipersembahkan kepada sahabatnya David Pinsent yang gugur dalam perang dunia pertama. Pada tahun 1961 oleh DF Pears dan B.F McGuiness diterbitkan suatu terjemahan Inggris yang diperbaiki) – Sesungguhnya Wittgenstein tidak menyetujui isi pengantar dari Russel itu karena ia beranggapan dalam beberapa hal Russel tidak mengerti maksudnya. Beberapa catatan yang dibuat Wittgenstein waktu ia mempersiapkan bukunya, masih disimpan kemudian diterbitkan sebagai “Notebooks 1914-1916” yang kemudian diterbitkan pada tahun 1979, dari Notebooks inilah kita banyak diantar untuk menjelajah poin-poin tractacus yang padat rumusannya.

Selesainya buku tadi membuat Wittgenstein merasa tugasnya sebagai filsuf sudah selesai, apalagi ia dihantui ketakutan akan penyakit halusinasi-nya yang ia anggap sudah mendekati kegilaan. Akhirnya ia mengikuti beberapa kursus untuk memperoleh ijasah guru. Ia menjadi guru sekolah dasar di pelbagai desa terpencil di Austria. Pada tahun 1926 ia berhenti mengajar sebagai guru sekolah dasar dan mengunjungi biara Hutteldorf dekat Vienna, di biara itu Wittgenstein diterima bekerja sebagai tukang kebun. Namun tak lama kemudian adik perempuannya datang dan meminta bantuan Wittgenstein membuatkan rancangan rumah untuk dirinya. Bersama seorang arsitek lalu Wittgenstein membuat rancangan rumah itu, namun belakangan Wittgenstein sendirilah yang meneruskan pekerjaan mengurusi pembangunan rumah bagi adik perempuannya. Selama tahun-tahun dalam kesepian ini ia memelihara kontak dengan beberapa sahabat-sahabatnya di Cambridge dan dengan beberapa anggota “lingkungan Vienna”. Buku Tractacus mempengaruhi “Lingkungan Vienna” namun Wittgenstein tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan pada “Lingkungan Vienna”.

Namun padamnya api pemikiran filsafat Wittgenstein menyala lagi setelah ia mengunjungi kampusnya dulu Cambridge. Berdasarkan buku Tractacus ia diberi gelar doktor filsafat dan ia mulai mengajar di Trinity College. Kembalinya Wittgenstein ke Vienna berbarengan dengan perkembangan baru pemikirannya. Diskusi-diskusi dengan Frank Ramsey, ahli matematika dan filsuf, dan Pierro Sraffa, ahli ekonomi Italia yang mengajar di Cambridge mempunyai andil dalam perkembangan itu. Selama tahun 1936, ia mengunjungi pondoknya di Norwegia dan tinggal disana dan mulai mengerjakan apa yang kemudian disebut buku “Philosophical Investigation” . Pada tahun 1938 setelah meledaknya sentimen anti Yahudi dan mendiskriminasi keturunan Yahudi di Jerman dimana kota-kota di Austria juga terkena imbasnya, Wittgenstein diterima sebagai warga negara Inggris. Pada tahun 1939 ia menggantikan Moore sebagai profesor di Trinity College. Saat ribuan pesawat Jerman membombardir daratan London namun dihadapi dengan keberanian oleh penduduk London Wittgenstein mendaftarkan diri sebagai sukarelawan dan bekerja di rumah sakit London lalu ia dipindahkan ke Newcastle. Pada tahun 1944 ia kembali lagi ke Cambridge dan memberikan kuliah-kuliahnya. Ketakutan akan penyakit gilanya tumbuh kembali sehingga ia menganggap tugas mengajar di Cambridge semakin berat. Dua tahun setelah perang selesai pada tahun 1947 ia meminta ijin pada rektor Cambridge untuk mengundurkan diri tugasnya mengajar untuk meneruskan karyanya “Philosophical Investigation” . Beberapa lamanya ia hidup kesepian di Irlandia kemudian ia mengunjungi sahabatnya di Amerika Serikat, tak berapa lama ia kembali ke Austria dan mengunjungi beberapa sanak keluarganya. Pada tanggal 29 April 1951 Filosof besar di era modern ini meninggal karena kanker yang dideritanya selama dua tahun.

Sesudah kita membaca bagaimana jalan hidup Wittgenstein mari kita remas-remas pemikiran Wittgenstein tentang Tractacus dan Philosophical investigation.

Tractacus Logicus-Philosophicus

Ketika Russel menerbitkan artikel-artikelnya tentang atomisme logis dalam majalah The Monist pada tahun 1918 ia menambahkan suatu catatan dimana dijelaskannya bahwa maksudnya tidak lain daripada menguraikan beberapa gagasan yang diterimanya dari murid dan sahabatnya, Wittgenstein. Namun karena sejak Agustus 1914 Russel tidak tahu dimana sahabatnya itu apalagi dalam suasana perang dunia pertama dan Russel tidak bisa memperkirakan apakah sahabatnya itu masih hidup atau sudah mati, maka menurutnya lagi tanggung jawab gagasan-gagasan itu ada pada Russel. Dan Russel memberikan ceramah tentang atomisme logis yang juga ada warna Wittgenstein-nya ditempat lain nun jauh dari London Wittgenstein mengembangkan filsafat yang sama dengan menyelesaikan buku Tractacus. Kelak dikemudian hari antara filsafat atomisme logis yang dikembangkan oleh Russel dan oleh Russel sendiri mempunyai warna kuat akan gagasan-gagasan Wittgenstein menjadi sangat berbeda dengan apa yang dikembangkan dalam tulisan Wittgenstein dalam bukunya Tractacus. Bahkan selama hidupnya Wittgenstein mengklaim filsafatnya ini sulit dimengerti bahkan oleh beberapa sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya. Lalu apa itu Tractacus?

Tractacus sendiri bukan sebuah buku yang tebal, jumlah halamannya hanyalah 75 halaman saja. Buku ini terdiri dari pernyataan-pernyataan yang agak pendek yang dibagi-bagi menurut sistem desimal. Memang banyak yang bilang menginterpretasikan buku ini tidak mudah, lazimnya karya-karya besar filsafat Jerman yang sangat sukar dipahami. Susunan Tractacus diatur demikiran rupa sehingga terdapat tujuh dalil pokok yang dibagi-bagi menurut sistem desimal. Namun di kemudian hari ada bebera[a komentar yang memudahkan untuk mengerti Tractacus dengan lebih baik, sebagian didasarkan pada catatan-catatan Wittgenstein sendiri : Notebooks (1914-1916); (terbit tahun 1961 dan edisi yang sudah diperbaiki 1979). Sulit sekali membedakan buku Wittgenstein dengan ajaran Russel. Kedua-duanya menganut atomisme logis (-walau Wittgenstein tidak menggunakan istilah itu- ) tetapi ada perbedaan yang mendalam yang tidak menyangkut detail-detail saja. Dalam tulisan ini kita coba melukiskan garis-garis besar buku Wittgenstein, tanpa harus mencari perbedaan dengan pemikiran Russel.

Dalam pendahuluan bukunya Wittgenstein sendiri menyingkatkan usahanya dengan berkata : The whole sense of the book might be summed up in the following words : What can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence. – (Maksud buku ini dapat disingkatkan dengan kata-kata berikut ini : apa yang memang dikatakan, dapat dikatakan secara jelas. Dan tentang apa yang tidak dapat dikatakan, orang harus berdiam diri) – Jadi, buku Tractacus berbicara tentang bahasa, atau lebih tepat lagi jika dikatakan buku ini berbicara tentang logika bahasa. Ada salah satu unsur yang terpenting dalam uraiannya apa yang disebut picture theory atau “teori gambar” yang dapat dianggap sebagai “teori tentang makna”. Sebagaimana tersirat dalam makna ini, Wittgenstein berpendapat bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain daripada penggambaran suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa. Ide ini datang pada Wittgenstein pada suatu pagi ketika ia sedang membaca koran yang memberitakan tentang sidang pengadilan di mana di rekonstruksikan suatu kecelakaan lalu lintas. Katakan saja, orang itu menggunakan sebungkus rokok yang menggambarkan sebagai mobil dan menggunakan sekotak korek api untuk melambangkan sebagai mobil lain. Menurut Wittgenstein hal seperti itu berlangsung juga dalam bahasa. Suatu proposisi adalah gambar bukan dalam arti kiasan (maksudnya bukan bahwa proposisi dapat dibandingkan dengan gambar), melainkan secara harafiah. Memang benar dalam bahasa sehari-hari tidak begitu kelihatan bahwa ucapan-ucapan menggambarkan dunia, tetapi kalimat-kalimat yang kita pakai dapat dianalisa menjadi sejumlah proposisi yang lebih sederhana. Wittgenstein berkeyakinan bahwa semua ucapan kita mengandung satu atau lebih proposisi elementer, artinya proposisi yang tidak dapat dianalisa lagi. Perlu ditambahkan dengan proposisi elementer dimaksudkannya suatu bentuk logis, bukan suatu ucapan konkrit. Latar belakang bagi teori Wittgenstein adalah logika modern sebagaimana dirumuskan oleh Russel dan Whitehead.

Inti pemikiran Wittgenstein adalah bahwa suatu proposisi elementer menunjuk kepada suatu ‘Sachverhalt’ (State of Affairs) dalam realitas – ( State of affairs) dalam pengertian Russel disebut fakta atomis – Suatu proposisi elementer terdiri dari nama-nama. Suatu nama menunjuk pada suatu objek dalam realitas. Tetapi nama-nama sendiri tidak mempunyai makna. Nama-nama sendiri mengatakan sesuatu dan akibatnya tidak mungkin benar atau tidak benar. Hanyalah proposisi yang mempunyai makna. Kalau ditanyakan apa yang dimaksud Wittgenstein dengan nama, kita tidak dapat mendapat jawaban yang jelas. Para komentator tidak setuju apakah dengan nama dimaksudkannya term-term primitif seperti misalnya “warna”, “benda material” dan lain sebagainya ataukah apa yang disebut logical proper names oleh Russel seperti “ini” dan “itu” Wittgenstein sendiri tidak memberi contoh tentang nama atau proposisi elementer, seperti ia tidak memberi contoh tentang “Objek Tunggal” (Single Object) dan State of Affairs. Dari Notebook 1914-1918 kita tahu bahwa senantiasa ia berusaha untuk mendapatkan contoh-contoh yang tepat, tetapi akhirnya ia menghentikan usaha-usaha itu. Ia berkeyakinan mempunyai alasan-alasan baik untuk menuntut adanya nama-nama dan proposisi-proposisi elementer, biarpun contohnya tidak mungkin diberikan.

Kalau Wittgenstein mengatakan bahwa dalam suatu proposisi elementer digambarkan suatu duduk perkara (state of affairs) dalam realitas maksudnya ialah bahwa unsur-unsur dalam proposisi dan unsur-unsur dalam realitas sepadan satu sama lain. Dengan perkataan lain, struktur proposisi sesuai dengan struktur yang terdapat dalam realitas. Persesuaian itu sebaiknya tidak dibandingan dengan hubungan antara lukisan atau foto dengan apa yang dipotret, tetapi lebih tepat dibandingkan dengan hubungan antara peta koya dan kota sendiri atau partitur, compact disc, kaset, dan musik yang didengarkan pada taraf yang berbeda-beda pola-pola hubungan antara unsur-unsur itu secara formal sama, biarpun secara material sama sekali berlainan. Wittgenstein berpendapat bahwa hanya “teori gambar” ini sanggup menjelaskan bahwa kita dapat mengatakan sesuatu tentang realitas. Hanya dengan teori ini dapat diterangkan bahwa bahasa kita bermakna.
Suatu proposisi majemuk terdiri dari proposisi-proposisi elementer. Suatu proposisi majemuk adalah ‘truth function’, artinya kebenarannya tergantung dari proposisi-proposisi elementer yang membentuknya. Wittgenstein menekankan bahwa apa yang disebut logical contants (“tidak”, “dan”, “atau”, “kalau”) tidak menunjukkan objek-objek dalam realitas. Dalam realitas tidak ada sesuatu yang sesuai dengannya. Seandainya tidak, maka ‘p’ akan merupakan suatu yang lain daripada – ‘p’ (‘p’ mengacu ke proposisi dan tanda – mengacu ke proposisi pengingkaran).

Ada dua macam proposisi yang tidak dapat ditangani dengan cara yang sama seperti proposisi-proposisi yang menggambarkan realitas, yaitu di satu pihak tautologi-tautologi dan di lain pihak kontradiksi-kontradiksi. Tautologi-tautologi itu selalu benar (-misalnya “John berada di tempat A atau ia tidak berada di tempat A”). Dalam pandangan Wittgenstein sebenarnya tautologi dan kontradiksi sebenarnya tidak merupakan proposisi yang sejati, sebab tidak menggambarkan sesuatu. Yang penting ialah bahwa menurut dia proposisi-proposisi logika (berarti kebenaran-kebenaran dan prinsip-prinsip logis) harus digolongkan dalam tautologi-tautologi. Proposisi-proposisi ini tidak mengungkapkan suatu pikiran, tidak mengatakan sesuatu, sebab tidak merupakan picture (gambar) dari sesuatu. Tetapi proposisi-proposisi bukan tidak bermakna.

Salah satu konsekwensi yang harus ditarik dari “teori gambar” Wittgenstein ialah bahwa proposisi-proposisi metafisis tidak bermakna. Oleh karena itu Wittgenstein dapat dianggap sebagai seorang filosof yang berorientasi anti-metafisis. Tentu saja menolak metafisika bukanlah hal yang baru dalam sejarah filsafat. Kant sudah membuatnya dan sesudahnya lagi positivisme. Yang baru pada Wittgenstein ialah bahwa ia menyatakan metafisika tidak bermakna atas nama suatu “logika bahasa”. Menurut dia filsafat tidak merupakan suatu ajaran, melainkan suatu aktivitas. Tugas filsafat adalah menjelaskan kepada orang apa yang dapat dikatakan dan apa yang tidak dapat dikatakan.

Metafisika melampaui batas-batas bahasa. Metafisika mau melampaui apa yang tidak dapat dikatakan. Tetapi Wittgenstein berpendapat juga bahwa memang ada hal-hal yang tidak dapat dikatakan. There are indeed, things that cannot be put into words. They make themselves manifest. They are what is mystical ( memang ada hal-hal yang tidak dapat dikatakan. Hal itu menunjukkan diri. Itulah yang mistis) Pada akhir bukunya Wittgenstein memandang beberapa aspek yang “mistis” antara lain melampaui batas-batas bahasa seperti : Subyek, Kematian, Allah dan bahasa sendiri. Marilah kita pandang empat pokok ini dari lebih dekat :

1. Karena bahasa merupakan gambar dunia, subyek yang menggunakan bahasa, tidak termasuk dunia (6.522 : the subject does not belong to the world; rather, it is a limit of the world) seperti mata tidak dapat diarahkan pada dirinya sendiri, demikian juga subyek yang menggunakan bahasa tidak dapat mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.

2. Tidak mungkin juga berbicara tentang kematiannya sendiri, karena kematian tidak merupakan suatu kejadian yang dapat digolongkan antara kejadian-kejadian lain. Kematian kita seakan-akan memagari dunia kita, tetapi tidak termasuk di dalamnya. Kematian merupakan batas dunia dan karenanya tidak dapat dibicarakan sebagai suatu unsur dunia (6.4311 : Death is not an event in life: we do not live to experience death)

3. Juga Allah tidak dapat dipandang sebagai sesuatu dalam dunia. Tidak dapat dikatakan pula bahwa Allah menyatakan diri dalam dunia (6.342 : God does not reveal himself in the world ) Wittgenstein bermaksud bahwa tidak pernah suatu kejadian di dunia dalam dunia dapat dipandang sebagai “campur tangan” tangan Allah. Sebab kalau demikian, Allah bekerja sebagai sesuatu di dalam dunia. Akibatnya kita tidak dapat bicara tentang Allah dengan cara yang bermakna.

4. Yang paling paradoksal ialah pendapat Wittgenstein bahwa bahasa tidak bisa bicara tentang dirinya sendiri. Bahasa mencerminkan dunia tetapi suatu cermin tidak memantulkan dirinya sendiri. Karena itu Wittgenstein berkesimpulan bahwa orang yang mengerti Tractacus akan mengakui bahwa ucapan-ucapan di dalamnya tidak bermakna. Melalu bahasa si pembaca dihantar ke suatu titik dimana dia mengerti bahwa yang dihantarkannya tidak bermakna. Ia seakan-akan harus membuang tangga setelah ia memanjat dengannya (6.54 : My proposition serve as elucidation in the following way: anyone who understand me eventually recoginizes them as nonsensical, when he used them – as steps – to climb up beyond them. –he must, so to speak, throw away the ladder after he has climbed up it) - :Proposisi-proposisi saya menjadi jelas dengan cara berikut ini : setiap orang yang mengerti saya akhirnya mengakui proposisi-proposisi itu sebagai tidak bermakna, setelah ia menggunakan proposisi-proposisi itu sebagai tidak bermakna, setelah ia menggunakan proposisi-proposisi tersebut sebagai anak-anak tangga untuk melampauinya.



Setelah kita berlelah-lelah membaca sedikit ulasan Tractacus marilah kita sejenak menoleh pada : Philosophical Investigation.

Philosophical Investigation

Wittgenstein bukanlah filosof snobis yang doyan akan selebritas, dia merupakan perenung dan ini banyak hinggap di kalangan para intelektual besar yang tidak ingin karya-karyanya diterbitkan karena mereka tidak menginginkan popularitas. Tapi ada satu karya yang memang sedari awal dimaksudkan untuk diterbitkan karya itu adalah Philosphical Investigation. Seperti yang saya ceritakan diatas bahwa Wittgenstein hanya menyelesaikan bagian pertamanya – bagian ini yang paling luas- sementara bagian kedua diberi bentuk definitifnya oleh G. Anscombe dan R. Rhees. Philosophical Investigation terdiri dari banyak pasal pendek (seringkali tidak melebihi beberapa kalimat saja; seluruh bagian pertama dibagi atas 693 nomor), yang hubungannya satu sama lain tidak begitu erat. Wittgenstein sendiri dengan sedikit nada humor menyebut karyanya ini sebagai ‘sebuah album’. Namun bagi kita penikmat filsafat yang terpenting bukan saling tidak eratnya antar hubungan nomor-nomornya namun yang paling penting pendapat barunya tentang bahasa yang dikemukakan pada karya ini; termasuk kritikannya terhadap Tractacus. Karya besarnya itu.

Sebagaimana sudah kita lihat “teori gambar” yang diuraikan dalam Tractacus dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk menentukan hakikat bahasa. Apa yang diterangkan dalam teori ini nampaknya tidak terlalu jelas bahasa sehari-hari, tetapi kebenarannya harus diakui jika kita menggali di bawah permukaan sampai pada dasar bahasa. Supaya makna bahasa kita dapat mengerti, kita harus menerima adanya proposisi-proposisi elementer yang menunjuk kepada state of affairs dalam realitas. Di kemudian hari Wittgenstein menginsafi bahwa dengan teori pertama itu sebetulnya tidak memperlihatkan struktur tersembunyi dari segala macam bahasa, melainkan hanya melukiskan jenis bahasa tertentu. Dalam philosphical investigation ia menolak yang dulu diandaikan begitu saja dalam teori pertama yaitu :

1. Bahwa bahasa hanya dipakai untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan state of affairs (keadaan-keadaan faktual).

2. Bahwa kalimat-kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan keadaan faktual.

3. Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.

“Kata-kata dipakai dengan banyak cara. Dapat dibandingkan dengan alat-alat” ujar Wittgenstein. Tidak ada gunanya dan agaknya tidak mungkin pula untuk merumuskan berfungsinya alat-alat dengan satu cara saja. Ada macam-macam alat yang mempunyai macam-macam fungsi. Demikian halnya juga dengan bahasa, artinya kata-kata dan kalimat yang kita pakai. Ada banyak sekali cara menggunakan bahasa, bahkan menurut Wittgenstein sendiri banyak cara yang tak terbilang jumlahnya, sangat bertentangan apa yang dikatakan para ahli logika. It is interesting to compare the multiplicity of the tools in the language and of the way they are used, the multiplicity of kinds of word and sentence, with what logicians have said about the structure of languge – including of the author of the tractacus logico-philosphicus – ( No. 23 : Suatu hal yang cukup menarik ialah membandingkan keanekaragaman alat-alat dalam bahasa dan jalan-jalan yang dipergunakannya – keanekaragaman yang menyangkut kata dan kalimat – sebagai apa yang dikatakan para ahli logika tentang struktur bahasa. (termasuk juga pengarang buku Tractacus logico-philosophicus)

Apa sebabnya orang sampai menuntut bahwa bahasa yang dipakai dengan satu cara saja? Kalau begitu, orang bertolak dari prasangka. Wittgenstein melihat kita untuk melihat suatu kenyataan dan tidak bertolak dari suatu keadaan ideal. Don’t think but look (no. 66)

Bagaimana mungkin Wittgenstein dulu tidak memperhatikan bahwa bahasa yang dipakai dengan banyak cara? Bukan karena suatu kekeliruan logis dalam jalan pikirannya atau karena ia melupakan salah satu hal yang penting. Pikirannya seakan-akan dihantui. Akal budi begitu mempesona sehingga ia tidak mampu memandang fakta-fakta dengan cara yang begitu wajar. Sumber yang mengakibatkan bahasa salah dimengerti adalah, bahasa sendiri!. Dalam bahasa sendiri terletak suatu godaan untuk salah mengerti bahasa itu. Pertanyaan-pertanyaan “apakah maknanya suatu kata” atau “apakah maknanya suatu kalimat” mudah menyesatkan. Mudah dapat diandaikan bahwa sama seperti nama “Hitler” yang kita berikan kepada anjing kita; atau dengan kata lain, bahwa kata selalu menunjuk pada sesuatu. Dalam Philosophical investigation Wittgenstein mengatakan tentang teorinya mengenai makna dalam Tractacus : “Kita terkurung dalam suatu gambaran” (No.28 : A picture held us captive. And We could not go outside it, for it lay in our language and language seemed to repeat it to us inexorably) - Kita terkurung dalam suatu gambaran dan tidak mungkin kita keluar, sebab gambaran itu terdapat dalam bahasa kita sendiri dan nampaknya mau tidak mau bahasa senantiasa mengulangi gambaran kepada kita -. Gambaran (picture) disini dapat dimengerti sebagai suatu model. Dalam Tractacus Wittgenstein menerima begitu saja bahasa model atau bahasa standar. Dan ia mengandaikan bahwa bahasa pada umumnya dapat dipahami dengan mempelajari model itu. Yang menjadi model adalah apa yang disebut sebagai “bahasa deskriptif” : bahasa yang melukiskan suatu keadaan faktual. Pendapat ini jelas sekali dirumuskan dalam perkataan Tractacus berikut ini umpamanya : The general form of proposition is : This is how things are (Tractacus 4.5). Dalam philosophical investigation perkataan ini dikutip dan dikritik sendiri oleh Wittgenstein : (no.114 : Tractacus 4.5 : The general form of proposition that one repeat to oneself countless times. One think that one is tracing the outline of the thing’s nature over and over again, and is merely tracing round the frame through which we look at it. - (Bentuk umum proposisi-proposisi ialah : demikian halnya dengan benda-benda. Ialah jenis proposisi yang bertubi-tubi diulangi orang kepada dirinya sendiri. Orang menyangka berkali-kali menelusuri kodrat benda bersangkutan, tetapi tidak berbuat lain daripada menelusuri saja bentuk melalui mana orang memandang benda itu.)

Untuk menjelaskan bahwa bahasa dipakai dengan rupa-rupa cara dalam Philosophical Investigation Wittgenstein mengenalkan istilah ‘Language Games’ (permainan-permainan bahasa). Suatu permainan dapat dilukiskan sebagai sebagai aktivitas yang dilakukan menurut aturan. Tetapi ada banyak sekali macam permainan. Ada permainan menggunakan papan, bola atau kartu atau alat lain. Ada yang bisa dimainkan sendiri; ada yang memerlukan dua orang atau regu. Dan juga norma atau aturan yang dipakai untuk menentukan kemenangan sangat berbeda satu sama lain. Malah, menang atau kalah tidak berperanan dalam semua permainan. Tidak ada gunanya mencari persamaan dalam permainan. Tidak ada gunanya dan tidak mungkin juga menunjukkan suatu permainan sebagai model atau ideal bagi semua permainan lain. (No. 66 : Consider for example the proceeding that we call ‘games’. I mean board-games, card games, olympic games, ball games and so on. What is common to them all? – don’t say : there must be something common, or they would no be called ‘games’ - but look and see whether there is anything common to all. For if you look at them you will not see something that is common to all, but similarities, relationship, and a whole a series of them of that. To repeat : don’t think but look! : Pandanglah umpamanya apa yang disebut “permainan-permainan” Maksud saya, permainan-permainan yang pakai papan, kartu, olympic, bola dan seterusnya. Persamaan apakah yang ada diantara semua itu? – jangan katakan : “haruslah ada suatu persamaan, sebab kalau tidak – semua itu tidak disebut “permainan-permainan” tetapi lihatlah apakah memang ada persamaan antara semua : - karena kalau anda memandang permainan-permainan itu anda tidak akan melihat suatu permainan antara semua, tetapi kemiripan-kemiripan, hubungan-hubungan dan memang banyak sekali. Sekali lagi : Jangan dipikir : Tapi Lihatlah!) –

Sebagaimana terdapat banyak permainan, demikian juga terdapat banyak ‘banyak permainan bahasa’ banyak cara untuk menggunakan bahasa. Wittgenstein memberi beberapa contoh : memberi perintah, melukiskan suatu obyek, melaporkan suatu kejadian, main sandiwara, bersenda gurau, bertanya, berterima kasih, mengutuki, memberi salam, berdoa. Seperti tiap permainan merupakan suatu aktivitas, demikian pula bahasa kita. Dan kata-kata yang dipakai mendapat maknanya dalam aktivitas dalam aktivitas itu - (no. 23 : here to term ‘language game’ is meant to bring into prominence the fact the speaking of language is part on activity, or of a form a life (kata “permainan bahasa” disini untuk menekankan bahwa berbicara bahasa termasuk suatu aktivitas atau suatu bentuk kehidupan.) – karena itu makna suatu kalimat selalu tergantung pada cara yang dipakainya kalimat tersebut. Dengan perkataan lain kalimat dapat dimengerti sebagai penggunaan kalimat itu.- (no. 421 : Look at the sentences as an instrument, and a it’s sense as its employment.- anggaplah kalimat sebagai alat dan makna kalimat sebagai penggunanya) -.

Apakah tugas filsafat dalam pandangan ini? Filsafat harus menyelidiki permainan bahasa-bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan logikanya, dan sebagainya. Filsafat tidak campur tangan dalam pembentukan suatu permainan bahasa. Filsafat hanya melukiskan berfungsinya : ( no. 24 : Philosophy may is no way interfere with the actual use of language; it can in the end only describe it. For it cannot give it any foundation either. It leaves everything as it is - : Filsafat sekali-kali tidak bolehc ampur tangan dalam pemakaian bahasa konkrit; akhirnya ia hanya dapat melukiskan pemakaian itu. Filsafat juga tidak dapat memberikan pendasaran kepada pemakaian bahasa itu. Oleh filsafat segalanya dibiarkan apa adanya).

Dari penguraian yang agak detil tentang Wittgenstein sedikit banyak kita bisa menarik pandangan bahwa bahasa dalam ruang filsafat belum bisa menemukan pemecahannya baik itu pemecahan makna misterius bahasa maupun pemecahan tunggal bahasa terhadap semua problem seperti yang diinginkan oleh Russel ketika ia menelurkan : Atomisme Logis. Apakah ini berarti kemenangan ‘bahasa-bahasa’ gelap, bahasa metafisika –bahasa yang lepas dari gambaran – seperti yang digambarkan oleh Wittgenstein ketika ia memikirkan jawaban akan lontaran Russel? Dan untuk itu saya teringat akan Sutardji Calzoum Bachri yang secara kebetulan dicatat oleh Gunawan Muhammad dalam catatan pinggir 30 Januari 1982 yang berjudul “Tuhan” – yang kebetulan juga diulas tentang Ahmad Wahib, wartawan muda ‘magang’ Tempo yang mati muda dan pernah tertawa dalam gambaran Tuhannya - , begini tulisan selengkapnya :

Tuhan

Dia menenggak bir. Selapis busa menyangkut pada misai yang tak rapi itu. Dia baca sajak. Lampu menyorot ke mimbar, dan hadirin terpukau.
Sutardji Calzoum Bachri, tentu. Yang gondrong rambutnya, yang tak jelas sopan santunnya, yang cepat cemoohnya, yang keras ketawanya – dan mengejutkan puisinya. Penyair yang kena serapah? Orang yang berantakan? Sebentar. Inilah baris sajaknya :

Aku telah menemukan jejak
Aku telah mencapai jalan
Tapi belum sampai tuhan
Berapa banyak abad lewat
Berapa banyak arloji pergi
Berapa banyak isyarat dapat
Berapa banyak jejak menapak
Agar sampai padaMu?

Jika cuma kata-kata itu yang ada disana, mungkin kita menduga Sutardji iseng. Tapi dalam kumpulan puisinya yang baru terbit, O amuk kapak (penerbit Sinar Harapan, 1981), baris sejenis itu berderet. Kadang berulang-ulang; Seolah Tardji sedang membaca dzikir yang intens, untuk menemui Tuhan. Dia mencari karena, dia rindu.

Mungkin setelah Amir Hamzah di tahun ’30-an, tak ada penyair Indonesia lain yang bergetar rasa kangennya kepada dzat yang maha gaib itu. Aku telah menangkap manusia dengan tangan, tulis Sutardji : dengan meriam, dengan ide, dengan pikiran. “ namun cuma jejakMu yang aku dapatkan pada mereka”. Dan ia mereguk bir.

Anda boleh berkeberatan bila Tuhan dikangeni dengan cara begini. Tapi bagaimana anda bisa mengatur kerinduan orang lain?

Amir Hamzah sekalipun, bangsawan sebelum perang, dengan adatnya yang jelas, toh tak juga bisa kita atur. “Hatiku yang terus hendak mengembara ini,” begitu satu sajaknya di tahun 1935. “Membawa daku pada tempat yang dikutuki oleh segala kitab suci di dunia.” Lalu katanya, “ tapi engkau, hatiku, berkitablah sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain...”

HATI yang gandrung, yang gelisah, memang mudah tak betah dengan peta yang tersedia. Amir Hamzah melukiskan hubungannya dengan Tuhan sebagai “bertukar tangkap dengan lepas”. Sebuah akidah, serumus hukum, paling banter hanya menuntutnya untuk jinak. Tapi penyair yang paling rapi sekalipun punya saat-saat yang paling majenun.

Karena itulah mereka yang lebih menyukai organisasi, tertib, stabilitas, persatuan, doktrin yang pasti karena berkuasa, selalu ogah pada kerinduan ala Sutardji dan pengembaraan Amir Hamzah. Bagi mereka Tuhan harus ditaati bukan digandrungi. Bagi mereka ia adalah Kekuasaan, dan kita tak perlu akan kebebasan. Kebebasan adalah berbahaya, subversif, membingungkan umat dan mengacaukan generasi.

Bagi orang banyak, memang tak ada manfaatnya kebebasan penyair dan kerinduan seorang sufi. Agama bagi khalayak ramai ini, ibarat sebuah rumah sakit yang ideal : Ia bisa menyembuhkan, merawat, membersihkan. Ia juga teratur, tak gaduh dan steril.

Dalam tiap agama selalu ada yang disebut Max Weber sebagai Alltagsreligion ini – agama orang ramai yang selalu dilakukan secara rutin sehari-hari. Dan dalam tiap agama, selalu ada ruang yang tak puas dengan itum, dari waktu ke waktu.

Demikianlah sya’ir Wedatama di abad ke-19 mencemooh kaum muda yang “anggung anggubel sarengat” yang hanya bangga hanya merepotkan syari’at. Bagi Wedatama, yang utama adalah orang yang ‘karoban ing sih’ diluapi rasa cinta, yakni “cinta pada sang Suksma, yang tumbuh menggunung besarnya”.

Jika penyair Wedatama hidup di abad ini ia pasti akan melihat Amir Hamzah, atau Sutardji, dan mungkin juga Ahmad Wahib.

Sebab dalam satu catatan hariannya yang menghebohkan itu, anak muda itu menulis : “Tuhan aku menghadap padaMu bukan hanya disaat-saat aku cinta padaMul, tapi disaat-saat aku juga tidak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak pada terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian, Rabbi, aku mengharap cintaku padaMu akan pulih kembali”


(Catatan Pinggir Tempo, 30 Januari 1982)


Dalam catatannya Ahmad Wahib selalu memposisikan sebagai mahluk penanya pada Tuhan yang dirasanya selalu bengis dalam gambaran masa kecilnya menjadi kemudian Tuhan yang tertawa dan pandai melawak, tentunya kita bicara ini diluar pengertian harafiah. Lalu bagaimanakah Tuhan dalam Gunawan Muhammad, Tuhan dan hal-hal yang tidak selesai. Saya tidak berani untuk menjelaskan pikiran tentang Tuhan kecuali menggambarkan runtuhnya filsafat dalam menjelaskan kegagalan Russel dan Wittgenstein hanya dalam satu titik saja rahasia kehidupan yaitu : bahasa. Atomisme Logis – mungkin sampai detik ini dapat menjelaskan kemarahan Gazali terhadap kaum filosof dan kemudian ia beralih pada sufisme, ataukah memang pikiran kita belum sempurna, lalu dimanakah kesempurnaan apakah ada pada pikiran Socrates saat di detik-detik ia meminum racun, atau melayangnya jiwa Al Hallaj. Sekali lagi menilik tulisan-tulisan GM tentang Tuhan belum menjelaskan dimana kita berada pada alam Ketuhanan dan semakin menguatkan bahwa kita belum mampu menjelaskan secara jelas dengan pikiran kita tentang Tuhan, dengan begini mustikah kita menghukum manusia lain atas pencariannya? .....Bagi saya sendiri hidup ini adalah rangkaian cerita mirip cerpen, cerita pendek. Dan saya tidak mengikuti gaya Anton Chekov justru saya lebih mendengar apa kata cerpenis Amerika, Edgar Allan Poe (1809-1949).....dengan alur yang ia kumandangkan dari karya-karyanya macam “The Murders in The Rue Morgue”, “The Fall of The house of Usher”, “ The Gold Bug” atau “Annabel Lee” dan seperti Poe, mencari Tuhan dalam pengertian cinta adalah sebuah ketegangan dalam cerpen-cerpen karyanya. Ada ketegangan melalui pencarian-pencarian kreatif dimana ujung ceritanya ada kejadian puncak yang memiliki makna paling dramatik. Mungkin inilah yang dirasakan Sjeh Siti Djenar.



Jakarta Di Musim Hujan Bulan Desember 2007


ANTON

3 comments:

spew-it-all said...

Panjang juga uraiannya. Tapi ada satu hal yang saya kurang mengerti dalam kalimat ini:

"Hegelian justru melahirkan cerminnya yang terbalik dalam bayangan Marxian lalu kemudian melahirkan rangkaian titik-titik api ledakan revolusi yang menjungkir balikkan susunan realitas masyarakat menuju masa modern. Namun diluar Marxian, Hegel dalam idealisme tidak mati begitu saja"

Bukankah Hegel ada sebelum Marx? Bagaimana bayangan Marxian tiba-tiba muncul dalam gagasan Hegel, apapun perannya?

anton-djakarta said...

Hegelian disini diartikan sebagai aliran pemikiran filsafat, bukan nama Hegel. Begitu juga dengan Marxian. Itu adalah aliran pemikiran bukan dinisbahkan pada nama Karl Marx.

ANTON

Antown said...

ayo bos di update lagi.
Oya blog saya pindah di

antownholic.blogspot.com

salam kenal