Saturday, 31 October 2009
Sajak Hidup
Sajak Hidup
By.Anton Djakarta
Hidup akan datang mengetuk pintumu, entah kau siap atau tidak
menyiapkan segala perkakas menggeluti siang
bentara malam yang kita impikan dengan tenang usai ketika pagi tumbuh
cakrawala merah muda diujung langit sana dan kokok ayam
:mata terbuka
kehidupan berputar seperti roda pedati pelan menginjak batu tanah
arloji gantungkan pikiran tentang waktu
dan kaki-kaki membuka langkah menunjuk langit yang tersapu hujan tadi malam
Pagi membuka jendelanya dan sayap-sayap kabut berterbangan dihirup matahari
Pukul tujuh hari ini, pasar-pasar membuka lapaknya, petani turun pada tanah lumpur, nelayan kembali dari lautan dan menenteng ikan tangkapan, pencuri tertidur pulas dan anak malas mulai menyalakan TV melihat musik sambil makan indomie.
Hidup dimulai pada keriangan hati
Nyalakan mesin mobil, siapkan buku-buku laporan
atau menuliskan pada laptop tentang agenda hari ini
proyek musti dijalankan, anak gelandangan tertidur pulas, negara masih ada......
hidup mengetuk pintumu.
Wartawan-wartawan tertidur di depan markas polisi, penyiar bersolek dengan gincu mahal
Ajudan menteri berlarian
Presiden mengangguk-angguk dan memainkan pulpennya sambil menghirup kopi
Pak Lurah mencari dokumen-dokumen tanah sambil menghayal tentang janda sebelah
Penjaja roti berlarian mengejar pelanggan
Pelacur masih tertidur kelelahan
: Anak kecil gelandangan menyusun kotak-kotak karton dipinggir kali
Rumah kardus berdiri
Rumah Pejabat dihiasi kolam renang
dan Pagi menyiangi tanpa membedakan
kerna kehidupan seperti tanah keadilan, hanya manusialah yang mengurapinya dengan rumusan modal.
Balur-balur cemeti ada di jalan raya dan polisi yang kelelahan karena gagal menangkapi sopir bis sialan.
Persiapan luka ada di jalan-jalan raya, jalan setapak hutan dimana harimau kerap berjemur sambil makan ubi
mobil-mobil, motor yang liar, angkot dengan kecepatan ferrary, busway yang memasukkan penumpang dengan semangat membenahi ibukota, atau penumpang lelaki di kereta yang senang mengobel pantat wanita dalam desakan-desakan penuh keringat bercampur parfum murahan.
Kuliah di ruang universitas
monitor-monitor saham
transaksi obligasi atau sejenis hutang
tanda tangan kartu kredit
dan perjanjian dengan setan
Intelektual melacurkan pengetahuan
Profesor dinobatkan, tanpa satu bukupun dihasilkan
pada kehidupan kita mengaduh
pada sampah-sampah yang dibakar Pram di sore waktu
: Hidup
Rindu pada pacar yang menghilang
pada cinta yang menguap
Perkabaran tentang kawan-kawan
berita keluarga tentang perkelahian rebutan warisan
Artis-artis yang senang mengangkang
Sutradara sinetron murahan dengan pet dan kaca mata hitam
Penjual ganja dan narkotika yang sedang bergurau dengan Intel Polisi
Mahasiswa rajin kutu buku yang ingin menjadi dosen paruh waktu
Tukang Mie Ayam yang hampir terjengkang jatuh ke selokan
Penerima beasiswa yang melonjak kegirangan
dan si sial yang selalu saja gagal visa di kedutaan
: Kehidupan
Ibu-ibu yang marah anaknya dipaksa jilbaban pada sekolah negeri
Tentang artis porno yang tertawa cekikikan
Pejuang humanis yang bangun kesiangan
Pembaca puisi yang mencoba santun terhadap kehidupan
Guru-guru sekolah
Kepala Sekolah
Penilik Sekolah
Menteri Pendidikan yang senang gonta-ganti peraturan dan memajang wajahnya di televisi-televisi sambil bilang pendidikan gratis lalu rakyat senang
Motivator-motivator di ruang kantor yang teriak-teriak sambil melemparkan kursi membakar semangat
Auditor akuntan yang hampir mati terkurung angka
Serdadu yang mulai tidak kuat lari pagi
Anak-anak SD yang dibebani kehidupan
Ibu-ibu dengan daster you can see memamerkan ketek di depan penjaja sayuran
dan Petinju yang tersungkur di kanvas tadi malam
: Menjalani Hidup
Hidup pagi ini
berputar kencang serupa alat dokter gigi
menggergaji gigi sampai cukup ditambal amalgam
itulah hidup
: selalu menambal hati yang tak pernah jelas maunya apa.
Lantai semen jembatan penyebrangan
mencatat dengan sisa-sisa karbon
hidup yang dijejaki
pada kaki-kaki cakrawala dan itulah sejarah, tanpa bekas tak usah diingat
hidup ini ribuan kali memang sudah mati
: Mati berkali-kali
Beri tau aku
Beri tau aku
by.Anton Djakarta
Berapa nomor hapemu sekarang :
agar aku bisa memastikan kamu baik-baik saja
agar aku bisa tau deras hujan tak menyakiti tubuhmu
agar aku bisa rasakan hatimu yang bergerak menantang kehidupan
agar aku bisa tenang dalam menjalani pikiran tentangmu
Dan kirimlah pesan pendekmu agar kau tau aku duduk disini kangen padamu
: Berapa nomor hapemu sekarang.
Friday, 30 October 2009
Pulang
Pulang
by. Anton Djakarta
Dalam gelap dimana langit bisa kutuju
Pada jalan-jalan sepi dibawah cakrawala merah
disanalah aku pulang
desai-desai angin dan suara kereta
bisik sengau penjaja
disanalah aku pulang
Pada ladang petang, senja menantang
aku hadirkan lelah lukisan malam
aku pulang membawa cinta
dengan hati yang terjaga.........
Kerjaku di hari tadi
peluh-peluh keringat menjadi bulir beras yang kutanak
demi kehangatan
Aku pulang
Pada rumah dimana matahari bersembunyi
Pada kamar dipenuhi air api cinta
Aku pulang.......
Memoar Rindu
Thursday, 29 October 2009
Sajak Orang Kesepian
By.Anton Djakarta
Rotan yang tumbuh dikepala menjadi duri menusuk otak dan dahi
belukar menantang udara dan rumput-rumput kering menjadi rambut
Siang ini sudah lama mati ditusuk mata pagi dan aku kesepian seperti ikan lele tersesat dalam selokan
sepi adalah rumah diatas angin, tempat anak bajang menangis meminta ibunya kembali
aku mati pelan-pelan dalam duka yang lamban
sepi ini seperti bui bumi, yang masuk tanpa permisi
tanpa teman bicara, tanpa hati yang meruang dan menjadikan lapang
sepi ini mirip macan tidur yang bangun kesiangan, karena sang macan sulit kencing tadi malam
Jendela kubuka dan aku lihat matahari tumbuh di atas jamban
tak ada lagi suka yang membuatku tertawa
tak ada lagi harapan yang bisa kukarang-karang
dan tak ada lagi hati yang bisa kutantang menggarap angin
Matinya hari ini karena sepi
dan sepi menjadi luka bagi manusia setengah dewa
ia hanya ditemani ide tanpa mau keluar dari kotak-kotak kayu berbiji besi
kata-kata rapuh dan pasir tak lagi menemani pantai
pohon kelapa tiba-tiba menjadi bunga bangkai
melambai-lambai menyebar bau keringat apek sopir angkot
Jejak langkah mengalahkan buaya mati
langkah orang kesepian seperti langkah seorang ibu yang mengantarkan anaknya ke liang kubur
dibawah keranda dia menangis, kosong tanpa isi
arah manusia kesepian tak ada arti, tujuan hampa manusia menjadi tak berguna
hidup menjadi bola ditendang tanpa guna
mengerjakan apa yang tidak perlu dikerjakan
berlagak menegakkan kemaluan tanpa melihat wanita membuka beha
itulah sepi
Sepi seraut wajah kayu api
pelan-pelan layu dimakan mimpi
sepi milik manusia setengah dewa yang meracau
bicara tentang kebesaran Tuhan, tapi yang didapat hanya waham........
Rotan yang tumbuh dikepala menjadi duri menusuk otak dan dahi
belukar menantang udara dan rumput-rumput kering menjadi rambut
Siang ini sudah lama mati ditusuk mata pagi dan aku kesepian seperti ikan lele tersesat dalam selokan
sepi adalah rumah diatas angin, tempat anak bajang menangis meminta ibunya kembali
aku mati pelan-pelan dalam duka yang lamban
sepi ini seperti bui bumi, yang masuk tanpa permisi
tanpa teman bicara, tanpa hati yang meruang dan menjadikan lapang
sepi ini mirip macan tidur yang bangun kesiangan, karena sang macan sulit kencing tadi malam
Jendela kubuka dan aku lihat matahari tumbuh di atas jamban
tak ada lagi suka yang membuatku tertawa
tak ada lagi harapan yang bisa kukarang-karang
dan tak ada lagi hati yang bisa kutantang menggarap angin
Matinya hari ini karena sepi
dan sepi menjadi luka bagi manusia setengah dewa
ia hanya ditemani ide tanpa mau keluar dari kotak-kotak kayu berbiji besi
kata-kata rapuh dan pasir tak lagi menemani pantai
pohon kelapa tiba-tiba menjadi bunga bangkai
melambai-lambai menyebar bau keringat apek sopir angkot
Jejak langkah mengalahkan buaya mati
langkah orang kesepian seperti langkah seorang ibu yang mengantarkan anaknya ke liang kubur
dibawah keranda dia menangis, kosong tanpa isi
arah manusia kesepian tak ada arti, tujuan hampa manusia menjadi tak berguna
hidup menjadi bola ditendang tanpa guna
mengerjakan apa yang tidak perlu dikerjakan
berlagak menegakkan kemaluan tanpa melihat wanita membuka beha
itulah sepi
Sepi seraut wajah kayu api
pelan-pelan layu dimakan mimpi
sepi milik manusia setengah dewa yang meracau
bicara tentang kebesaran Tuhan, tapi yang didapat hanya waham........
Sajak Polisi Melawan KPK
by.Anton Djakarta
Polisi memang lucu
di masa Orde Baru gemar gebuki mahasiswa
di masa Demokrasi menjadi warna biru kok senang gebukin punggawa KPK
apa yang kau cari polisi? Menangkap Palupi?
Sudahlah, jujurlah dengan hati nurani
kerjamu tangkap penjahat, bukan orang berjuang demi rakyat
apa memang kerjamu menangkap pejuang yang bela rakyat
kalau begitu untuk apa kamu jadi Polisi
malu sama pangkat pakai melati..........
Polisi dibentuk untuk menjaga ketertiban dan memelihara kejujuran
bukan membesarkan manusia berwatak maling dengan diberi pangkat bintang berbeling-beling
dari dulu polisi diajari bagaimana caranya berkuasa
bukan bagaimana melindugi rakyat biasa
Ajaran ini rupanya sudah jadi monumen batu dibalik pet polisi
kalau polisi membela yang benar malah logikanya terbalik-balik
Rakyat butuh kejujuran, untuk menembus awan gelap rumah penjahat
penjahat yang selalu dibekingi pejabat
pada bibit dan chandra rakyat percaya, bahwa mereka punya niat
masihkah polisi terus membohongi rakyat
di depan televisi dan media amanat
KPK benteng alamo melawan kaum bajingan yang bersekutu dengan negara
dengan kejujuran kita bangkitkan, berani melawan kuasa jahat
barisan rakyat mengawasi apa kerja polisi
jangan kira rakyat yang diam tidak bisa melawan
kalau polisi terus menerus memberaki kejujuran
Jadilah polisi yang jujur
yang bisa membuat rakyatnya tidak terjemur
oleh nasib yang kurang mujur
kerna polisinya tak paham bagaimana mengatur
Langit gelap menancap gedung trunojoyo
rakyat sudah muak akan sandiwara sontoloyo
Polisi memang lucu
di masa Orde Baru gemar gebuki mahasiswa
di masa Demokrasi menjadi warna biru kok senang gebukin punggawa KPK
apa yang kau cari polisi? Menangkap Palupi?
Sudahlah, jujurlah dengan hati nurani
kerjamu tangkap penjahat, bukan orang berjuang demi rakyat
apa memang kerjamu menangkap pejuang yang bela rakyat
kalau begitu untuk apa kamu jadi Polisi
malu sama pangkat pakai melati..........
Polisi dibentuk untuk menjaga ketertiban dan memelihara kejujuran
bukan membesarkan manusia berwatak maling dengan diberi pangkat bintang berbeling-beling
dari dulu polisi diajari bagaimana caranya berkuasa
bukan bagaimana melindugi rakyat biasa
Ajaran ini rupanya sudah jadi monumen batu dibalik pet polisi
kalau polisi membela yang benar malah logikanya terbalik-balik
Rakyat butuh kejujuran, untuk menembus awan gelap rumah penjahat
penjahat yang selalu dibekingi pejabat
pada bibit dan chandra rakyat percaya, bahwa mereka punya niat
masihkah polisi terus membohongi rakyat
di depan televisi dan media amanat
KPK benteng alamo melawan kaum bajingan yang bersekutu dengan negara
dengan kejujuran kita bangkitkan, berani melawan kuasa jahat
barisan rakyat mengawasi apa kerja polisi
jangan kira rakyat yang diam tidak bisa melawan
kalau polisi terus menerus memberaki kejujuran
Jadilah polisi yang jujur
yang bisa membuat rakyatnya tidak terjemur
oleh nasib yang kurang mujur
kerna polisinya tak paham bagaimana mengatur
Langit gelap menancap gedung trunojoyo
rakyat sudah muak akan sandiwara sontoloyo
Sastrawan Kentut Kambing
by.Anton Djakarta
Terlalu banyak orang sekarang bicara tentang diri sendiri
menjelaskan kecengengan ditengah orang banyak
memamerkan ketidakmampuan menghadapi hidup dengan belagak baca puisi
Lalu dengan menebah dada mereka membelah masyarakat dan menasbihkan diri sebagai sastrawan
Sastrawan kentut kambing,
yang hanya bisa bercerita tentang perceraian dan persoalan-persoalan renik yang tidak menghasilkan
tidak memberikan daya kehidupan
membuat rotan-rotan pada kata, menjalin makna tanpa tau apa yang dihadapinya.
Dikiranya kecengengannya menghadapi soal kehidupan adalah proses membangun peradaban.
Memamerkan kelemahan diri sendiri
tanpa tau persoalan masyarakat
Menangisi diri sendiri, dikiranya dunia ini milik dia sendiri
Sastrawan kentut kambing, asik bercerita tentang berapa harga sepatu, tangisan cengeng pacar kita, ceriwisnya selingkuhan atau kaki yang mengangkang.
Persoalan masyarakat
tak pernah jadi perhatian, kerna otakpun dia tak punya
dikiranya puisi hanya meninju udara, tangisan selesai maka kisah disudahi.
Persoalan kita di hari ini adalah persoalan melawan jaman
memberi tempat pada sastrawan-sastrawan kentut kambing dalam ruang publik sama saja menunggingi perlawanan
Kebudayaan tontonan adalah kebudayaan dangkal, tanpa tempat, tanpa makna dan kita memperbolehkan segala hal, sinetron Punjabi disamakan ruangnya dengan Mutiara Sani.
Puisi kentut kambing disamakan applausnya dengan sajak Lorca yang mencari kebenaran.
Puisi sudah kehilangan magisnya
ketika secara ramai-ramai dibacai, para jenderal pembunuh kesenian diajak ke panggung dan dengan kalung setengah dewa dijadikan pahlawan bagi masa lalu, para artis menjadi deklamator dan perempuan-perempuan wangi yang jatuh dari langit tiba-tiba bisa membaca mantra kehidupan.
Puisi tidak lagi dijadikan tapal perlawanan
seperti pada jok becak Wiji Thukul, atau jalan-jalan sunyi Umbu Landu Paranggi.
Puisi tidak lagi dijalani dengan proses mencari wahyu dari bahasa pengolahan kata.
Maka cukuplah kita sulap kata
merangkai kesedihan kita dan dengan gagah memamerkan kecengengan menghadapi kehidupan
kita menjadi sastrawan dan seniman
membacai kisah perceraian dan perselingkuhan di depan khalayak sambil bibir menyunggingkan senyum yang meruntuhkan awan.
Puisi kini hanyalah gincu, untuk mengisi luang waktu
mari-mari kita baca puisi tak peduli lagi fungsi, tak tahu taklimat seni, yang penting kita sudah meluapkan persoalan-persoalan pribadi yang cengeng ini.
Sastrawan kentut kambing sudah menjajah cakrawala kesenian kita, dan sebagai penyokongnya kita harus merayakannya dengan ramai-ramai baca puisi sambil menangis di depan mikropon dan mendendangkan suara khas mereka "lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu..........."
Terlalu banyak orang sekarang bicara tentang diri sendiri
menjelaskan kecengengan ditengah orang banyak
memamerkan ketidakmampuan menghadapi hidup dengan belagak baca puisi
Lalu dengan menebah dada mereka membelah masyarakat dan menasbihkan diri sebagai sastrawan
Sastrawan kentut kambing,
yang hanya bisa bercerita tentang perceraian dan persoalan-persoalan renik yang tidak menghasilkan
tidak memberikan daya kehidupan
membuat rotan-rotan pada kata, menjalin makna tanpa tau apa yang dihadapinya.
Dikiranya kecengengannya menghadapi soal kehidupan adalah proses membangun peradaban.
Memamerkan kelemahan diri sendiri
tanpa tau persoalan masyarakat
Menangisi diri sendiri, dikiranya dunia ini milik dia sendiri
Sastrawan kentut kambing, asik bercerita tentang berapa harga sepatu, tangisan cengeng pacar kita, ceriwisnya selingkuhan atau kaki yang mengangkang.
Persoalan masyarakat
tak pernah jadi perhatian, kerna otakpun dia tak punya
dikiranya puisi hanya meninju udara, tangisan selesai maka kisah disudahi.
Persoalan kita di hari ini adalah persoalan melawan jaman
memberi tempat pada sastrawan-sastrawan kentut kambing dalam ruang publik sama saja menunggingi perlawanan
Kebudayaan tontonan adalah kebudayaan dangkal, tanpa tempat, tanpa makna dan kita memperbolehkan segala hal, sinetron Punjabi disamakan ruangnya dengan Mutiara Sani.
Puisi kentut kambing disamakan applausnya dengan sajak Lorca yang mencari kebenaran.
Puisi sudah kehilangan magisnya
ketika secara ramai-ramai dibacai, para jenderal pembunuh kesenian diajak ke panggung dan dengan kalung setengah dewa dijadikan pahlawan bagi masa lalu, para artis menjadi deklamator dan perempuan-perempuan wangi yang jatuh dari langit tiba-tiba bisa membaca mantra kehidupan.
Puisi tidak lagi dijadikan tapal perlawanan
seperti pada jok becak Wiji Thukul, atau jalan-jalan sunyi Umbu Landu Paranggi.
Puisi tidak lagi dijalani dengan proses mencari wahyu dari bahasa pengolahan kata.
Maka cukuplah kita sulap kata
merangkai kesedihan kita dan dengan gagah memamerkan kecengengan menghadapi kehidupan
kita menjadi sastrawan dan seniman
membacai kisah perceraian dan perselingkuhan di depan khalayak sambil bibir menyunggingkan senyum yang meruntuhkan awan.
Puisi kini hanyalah gincu, untuk mengisi luang waktu
mari-mari kita baca puisi tak peduli lagi fungsi, tak tahu taklimat seni, yang penting kita sudah meluapkan persoalan-persoalan pribadi yang cengeng ini.
Sastrawan kentut kambing sudah menjajah cakrawala kesenian kita, dan sebagai penyokongnya kita harus merayakannya dengan ramai-ramai baca puisi sambil menangis di depan mikropon dan mendendangkan suara khas mereka "lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu..........."
Wednesday, 28 October 2009
Sajak Oleh Sebab
Oleh sebab matamu gaib
pada senja berbunga malam kejora
apakah aku bisa menumbuhkan mantera didalamnya
Oleh sebab tulip mekar di tengah ladang kincir
pada bulan terang gaib
apakah aku tidak bisa menggulingkan badanmu dikamar temaram
Oleh sebab dirimu embun penanda pagi pada jam pertama
tak pernah mengoleskan di daun-daun dan kelopak bunga
lalu pagi menjadi lentera
dan terang cahaya berjuta-juta
apakah dengan ini aku tak bisa lagi memandangmu tanpa dosa
Oleh sebab alam membisu
tak ada jarum penunjuk waktu
maka aku benar-benar mampus menahan rindu
karena mukamu sejarah masa lalu
pada senja berbunga malam kejora
apakah aku bisa menumbuhkan mantera didalamnya
Oleh sebab tulip mekar di tengah ladang kincir
pada bulan terang gaib
apakah aku tidak bisa menggulingkan badanmu dikamar temaram
Oleh sebab dirimu embun penanda pagi pada jam pertama
tak pernah mengoleskan di daun-daun dan kelopak bunga
lalu pagi menjadi lentera
dan terang cahaya berjuta-juta
apakah dengan ini aku tak bisa lagi memandangmu tanpa dosa
Oleh sebab alam membisu
tak ada jarum penunjuk waktu
maka aku benar-benar mampus menahan rindu
karena mukamu sejarah masa lalu
Tuesday, 27 October 2009
Sajakku, Sumpah Pemuda
by. Anton Djakarta
Sajakku sajak pemuda yang bersumpah
bersumpah sambil kencing di celana dan membayangkan luna maya
di jaman penuh tontonan ini aku bersumpah, tentang kabar kabur nasionalisme, tentang melawan secara gagap modal asing dan tentang romantisme picisan yang menghasilkan duit bagi pemilik toko-toko
Hari ini sumpah pemuda, kata buku-buku sejarah
lalu kita mengenang bendera merah putih dan Indonesia Raya dengan sebungkus kuaci dan coca cola
lalu dengan gembira kita hisap ganja sambil menghitung duit bapak yang ditransfer ke bank kita, duit hasil komisi proyek cukong yang baru kemarin ditandatangani.
Sumpahku, sumpah pemuda. Buat apa hidup susah demi ide yang tak pernah aku mengerti.
Buat apa buang-buang waktu demi mimpi yang pada akhirnya toh tak terjaga.
Sumpahku adalah sumpah, ketika Disc Jockey memutarkan irama ajib-ajib atau sambil melihat Pemandu lagu karaoke telanjang di depan TV dan dengan gembira aku nyanyikan lagu "Maju Tak Gentar"......
Mengapa harus banyak baca buku politik, sejarah dan budaya. Toh, dengan mudah aku bisa duduki bangku parlemen, karena di Indonesia kekuasaan adalah warisan bukan soal perjuangan.
Mengapa aku harus sibuk bicara kemiskinan dan perut rakyat yang lapar, atau bicara tentang sistem moda transportasi yang menghasilkan rakyat seperti lele disesakkan pada plastik beroksigen di Metromini dan Kopaja, Di Busway dan Angkutan Kota. Toh kita tak pernah masuk dalam dunia mereka, biarlah kaum kere tetap di dunia yang kere, kaum kaya menjaga kehidupan. Jangan biarkan kaum kere mengancam kaum kita, biarlah mereka tenang di kehidupan, berilah mereka sinetron dan sulap agar duduk manis penuh harapan.
Sumpahku, Sumpah Pemuda yang dibangun atas semangat menumpuk kekayaan, menjaga agar Bapakku tetap berkuasa dan bahasaku adalah bahasa elite kaum kaya dimana logatnya mirip Cinta Laura.......
Sumpahku, Sumpah Pemuda dimana kemewahan adalah duniaku dan Indonesia adalah negeri dimana aku bisa mendapat seribu kuli untuk dibohongi baik itu buruh pabrik atau kuli jurnalistik.
Dengan disaksikan mobil bapakku yang baru diberi Bapak Presiden tadi pagi dan ajudan berderet-deret sambil menyembah daulat Tuan Muda padaku, aku bersumpah :
Sumpah Pemuda
Bertanah air satu, tanah air yang ada ladang batubara, lahan kelapa sawit dan minyak bumi agar aku bisa jadi makelar komisi....
Berbangsa satu, bangsa para kuli yang mendewakan asing sebagai sumber modal.
Berbahasa satu, bahasa proposal proyek dan mencari solusi menyogok kaum birokrasi.
Inilah sumpahku, sumpah dengan ketulusan hati untuk menjaga kelasku dan menjaga kekuasaan. Toh apa artinya hidup bila tak bisa menjaga kelanggengan kelas berkuasa.
Sejarah bangsaku sudah dimenangkan bapakku
dan tugas kaum muda bagiku adalah bagaimana kerja bapakku menjadi monumen hidup
dan aku diwariskan kerjanya
tanpa otak dan tanpa pengetahuan
dengan jas puluhan juta
dan senyum di pas-paskan
aku duduk di kursi Parlemen, toh bangsa ini hanya mainan bagi bapakku......
Hujan rayap di negeri Indonesia
karena Pemuda hanya berani kentut saja
takut pada penguasa
dan berebut menjilat kaum bajingan yang pegang negara....
Sajakku sajak pemuda yang bersumpah
bersumpah sambil kencing di celana dan membayangkan luna maya
di jaman penuh tontonan ini aku bersumpah, tentang kabar kabur nasionalisme, tentang melawan secara gagap modal asing dan tentang romantisme picisan yang menghasilkan duit bagi pemilik toko-toko
Hari ini sumpah pemuda, kata buku-buku sejarah
lalu kita mengenang bendera merah putih dan Indonesia Raya dengan sebungkus kuaci dan coca cola
lalu dengan gembira kita hisap ganja sambil menghitung duit bapak yang ditransfer ke bank kita, duit hasil komisi proyek cukong yang baru kemarin ditandatangani.
Sumpahku, sumpah pemuda. Buat apa hidup susah demi ide yang tak pernah aku mengerti.
Buat apa buang-buang waktu demi mimpi yang pada akhirnya toh tak terjaga.
Sumpahku adalah sumpah, ketika Disc Jockey memutarkan irama ajib-ajib atau sambil melihat Pemandu lagu karaoke telanjang di depan TV dan dengan gembira aku nyanyikan lagu "Maju Tak Gentar"......
Mengapa harus banyak baca buku politik, sejarah dan budaya. Toh, dengan mudah aku bisa duduki bangku parlemen, karena di Indonesia kekuasaan adalah warisan bukan soal perjuangan.
Mengapa aku harus sibuk bicara kemiskinan dan perut rakyat yang lapar, atau bicara tentang sistem moda transportasi yang menghasilkan rakyat seperti lele disesakkan pada plastik beroksigen di Metromini dan Kopaja, Di Busway dan Angkutan Kota. Toh kita tak pernah masuk dalam dunia mereka, biarlah kaum kere tetap di dunia yang kere, kaum kaya menjaga kehidupan. Jangan biarkan kaum kere mengancam kaum kita, biarlah mereka tenang di kehidupan, berilah mereka sinetron dan sulap agar duduk manis penuh harapan.
Sumpahku, Sumpah Pemuda yang dibangun atas semangat menumpuk kekayaan, menjaga agar Bapakku tetap berkuasa dan bahasaku adalah bahasa elite kaum kaya dimana logatnya mirip Cinta Laura.......
Sumpahku, Sumpah Pemuda dimana kemewahan adalah duniaku dan Indonesia adalah negeri dimana aku bisa mendapat seribu kuli untuk dibohongi baik itu buruh pabrik atau kuli jurnalistik.
Dengan disaksikan mobil bapakku yang baru diberi Bapak Presiden tadi pagi dan ajudan berderet-deret sambil menyembah daulat Tuan Muda padaku, aku bersumpah :
Sumpah Pemuda
Bertanah air satu, tanah air yang ada ladang batubara, lahan kelapa sawit dan minyak bumi agar aku bisa jadi makelar komisi....
Berbangsa satu, bangsa para kuli yang mendewakan asing sebagai sumber modal.
Berbahasa satu, bahasa proposal proyek dan mencari solusi menyogok kaum birokrasi.
Inilah sumpahku, sumpah dengan ketulusan hati untuk menjaga kelasku dan menjaga kekuasaan. Toh apa artinya hidup bila tak bisa menjaga kelanggengan kelas berkuasa.
Sejarah bangsaku sudah dimenangkan bapakku
dan tugas kaum muda bagiku adalah bagaimana kerja bapakku menjadi monumen hidup
dan aku diwariskan kerjanya
tanpa otak dan tanpa pengetahuan
dengan jas puluhan juta
dan senyum di pas-paskan
aku duduk di kursi Parlemen, toh bangsa ini hanya mainan bagi bapakku......
Hujan rayap di negeri Indonesia
karena Pemuda hanya berani kentut saja
takut pada penguasa
dan berebut menjilat kaum bajingan yang pegang negara....
Masaku Baru Saja Bermula
By.Anton Djakarta
Masaku baru saja bermula
Majalah Hai baru dekade lalu kutinggalkan
Bobo dulu aku suka, tapi tak apalah bila kuingat tentang Deni Manusia Bertelapak ikan
Masa itu masa kanak
sungguh riang gembira
Paman Gembul kebanggaanku
dan cerita klasik cina menjadi pegangan hidup daya khayal kanak-kanakku
Masa mudaku dulu riang ceria
Aku kabarkan pada kawan-kawan tentang jalan-jalan kebayoran
tiap meternya aku hapal
dari Mampang sampai Menteng akulah raja jalanan
Seperempat wanita muda di Jakarta aku kenal
Dari kafe ke kafe
Dari Pondok Indah Mall sampai Bekasi Mall
dari panggung jazz sampai dangdut pasar malam
itulah masa ketika aku mengenangkan kehidupan seperti roda-roda komidi putar
gemerlap penuh cahaya
Dengan gaya segagah koboy California
aku mainkan gagang senjata, berantem disana sini
memukuli orang dekat pom bensin pakai gagang senjata api
dulu ketika masa muda menjadi rembulan remang-remang
Kugoda wanita karena wajahnya bercahaya
kurayu wanita bukan demi cinta, tapi demi air mata api yang meledak di ubun-ubun kemaluan
itulah masa
ketika kesadaran akan kerinduan hanya angin-angin sayup....
Kukenangkan juga pada pertengahan awan
tentang rakusnya membaca pada huruf-huruf buku dan koran
Aku mencintai Marx, karena paham realitas adalah sumber idea
aku mengagumi Hegel karena membuatku paham tentang masalah sebab musabab
aku percaya pada Darwin bukan karena kita keturunan kera, tapi percaya pada hukum besi manusia, daya tahan hidup dan evolusinya
Aku percaya pada Freud yang syahdu melihat psikologi sebagai sejarah libido antara Oedipus yang memimpikan peti mati ayahnya.
Aku menyukai buku ekonomi dan Pasar Modal
dari Samuelson sampai Soros
Dari demand supply sampai berjalan mendahului kurva, bermain seolah tuhan yang mengatur manusia pada pasar yang tidak imbang
Aku bacai sejarah dengan kenangan berapi-api
Pada Sukarno dan DN Aidit, pada Hatta dan Wikana
Pada sejarah hidup Nabi Muhammad yang disusun Haikal dengan langgam air mata
Dari situlah aku menemukan kesadaran bahwa kemanusiaan adalah proses
dan agama bagiku bukanlah lembaga penekan, bukan juga lembaga yang memaksa
ia kesadaran yang dibangun dari batu bata kedisiplinan
Tuhan memacari manusia pada jalan besi ibadah, jalan bercabang antara kesombongan spiritual atau kerendahan hati.
Ketika matahari masih tinggi tentunya aku ingin merubah jaman
agar aku mengerti bahwa aku berarti untuk dilahirkan
entah lewat Marx atau hukum Islam
entah lewat api Sukarno atau jalan bebas kaum Liberal
inilah dunia yang aku singgungkan
ketika matahari masih tinggi di kepala
Masaku baru saja bermula
Masyarakat kini tidaklah jauh beda
dengan tiga dekade yang lama
tak tau bagaimana jalan sejarah bisa diukir pada tindakan
yang penting gerak dulu, hasil kemudian
Entahlah bila aku tua
apa Tuhan memberiku anak apa tiada
tapi yang jelas aku akan menjalani takdir
mengguyur doa di Musholla tua
Tapi aku berdoa
pada Tuhan yang kuasa
janganlah aku menjadi tua tanpa berarti apa-apa
seperti gadis cantik yang pernah kutemui bilang : “semua orang akan mati tetapi tidak semua orang bisa betul-betul hidup!” katanya dengan mata seindah bulan dan hidung secantik cleopatra
benar juga pikirku
Ah, Soe Hok Gie pernah mencoretkan kata-kata di satu malam sunyi :
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah umur tua.
Aku tak tau umurku sampai berapa
Tapi yang jelas aku hanya ingin bersajak
agar aku bisa melatih kejujuran
setidaknya pada diri sendiri.............
Masaku baru saja bermula
Majalah Hai baru dekade lalu kutinggalkan
Bobo dulu aku suka, tapi tak apalah bila kuingat tentang Deni Manusia Bertelapak ikan
Masa itu masa kanak
sungguh riang gembira
Paman Gembul kebanggaanku
dan cerita klasik cina menjadi pegangan hidup daya khayal kanak-kanakku
Masa mudaku dulu riang ceria
Aku kabarkan pada kawan-kawan tentang jalan-jalan kebayoran
tiap meternya aku hapal
dari Mampang sampai Menteng akulah raja jalanan
Seperempat wanita muda di Jakarta aku kenal
Dari kafe ke kafe
Dari Pondok Indah Mall sampai Bekasi Mall
dari panggung jazz sampai dangdut pasar malam
itulah masa ketika aku mengenangkan kehidupan seperti roda-roda komidi putar
gemerlap penuh cahaya
Dengan gaya segagah koboy California
aku mainkan gagang senjata, berantem disana sini
memukuli orang dekat pom bensin pakai gagang senjata api
dulu ketika masa muda menjadi rembulan remang-remang
Kugoda wanita karena wajahnya bercahaya
kurayu wanita bukan demi cinta, tapi demi air mata api yang meledak di ubun-ubun kemaluan
itulah masa
ketika kesadaran akan kerinduan hanya angin-angin sayup....
Kukenangkan juga pada pertengahan awan
tentang rakusnya membaca pada huruf-huruf buku dan koran
Aku mencintai Marx, karena paham realitas adalah sumber idea
aku mengagumi Hegel karena membuatku paham tentang masalah sebab musabab
aku percaya pada Darwin bukan karena kita keturunan kera, tapi percaya pada hukum besi manusia, daya tahan hidup dan evolusinya
Aku percaya pada Freud yang syahdu melihat psikologi sebagai sejarah libido antara Oedipus yang memimpikan peti mati ayahnya.
Aku menyukai buku ekonomi dan Pasar Modal
dari Samuelson sampai Soros
Dari demand supply sampai berjalan mendahului kurva, bermain seolah tuhan yang mengatur manusia pada pasar yang tidak imbang
Aku bacai sejarah dengan kenangan berapi-api
Pada Sukarno dan DN Aidit, pada Hatta dan Wikana
Pada sejarah hidup Nabi Muhammad yang disusun Haikal dengan langgam air mata
Dari situlah aku menemukan kesadaran bahwa kemanusiaan adalah proses
dan agama bagiku bukanlah lembaga penekan, bukan juga lembaga yang memaksa
ia kesadaran yang dibangun dari batu bata kedisiplinan
Tuhan memacari manusia pada jalan besi ibadah, jalan bercabang antara kesombongan spiritual atau kerendahan hati.
Ketika matahari masih tinggi tentunya aku ingin merubah jaman
agar aku mengerti bahwa aku berarti untuk dilahirkan
entah lewat Marx atau hukum Islam
entah lewat api Sukarno atau jalan bebas kaum Liberal
inilah dunia yang aku singgungkan
ketika matahari masih tinggi di kepala
Masaku baru saja bermula
Masyarakat kini tidaklah jauh beda
dengan tiga dekade yang lama
tak tau bagaimana jalan sejarah bisa diukir pada tindakan
yang penting gerak dulu, hasil kemudian
Entahlah bila aku tua
apa Tuhan memberiku anak apa tiada
tapi yang jelas aku akan menjalani takdir
mengguyur doa di Musholla tua
Tapi aku berdoa
pada Tuhan yang kuasa
janganlah aku menjadi tua tanpa berarti apa-apa
seperti gadis cantik yang pernah kutemui bilang : “semua orang akan mati tetapi tidak semua orang bisa betul-betul hidup!” katanya dengan mata seindah bulan dan hidung secantik cleopatra
benar juga pikirku
Ah, Soe Hok Gie pernah mencoretkan kata-kata di satu malam sunyi :
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah umur tua.
Aku tak tau umurku sampai berapa
Tapi yang jelas aku hanya ingin bersajak
agar aku bisa melatih kejujuran
setidaknya pada diri sendiri.............
Monday, 26 October 2009
Sajak Menolak Pembangunan Trotoar
by. Anton Djakarta
Membangun trotoar hanya mengajarkan rakyat berjalan kaki
bau badan hasilnya nanti
tidak seperti masyarakat penuh gengsi
tak ada jalan penuh mobil berharga jeti-jeti
Maka itu atas nama kehidupan yang santun
Dan rasa sopan yang diajarkan oleh orang tua kita
Bahwa bau badan adalah dosa dalam pergaulan
dan kita dipaksa menjadi wangi seperti bunga taman
Tolak trotoar
dan duduklah manis di dalam mobil
Agar Investasi Jepang terjaga
Agar Para menteri terus dapat uang komisi
dan susunan masyarakat seperti sedia kala
Susunan masyarakat berlandaskan hukum babu
maka trotoar haram hukumnya
Trotoar adalah saksi kehidupan paling sejati
kita bisa melihat ruang dengan seksama
tapi kita sudah biasa diasingkan
dari lingkungan, dari kehidupan
Maka tolaklah Trotoar lewat regulasi para pemimpin kota
karena itu bisa mengurangi impor kendaraan
jangan biarkan manusia kota mengenali kehidupan
karena dia bisa dijauhkan dari alam benda.
Biarlah kota berkembang seperti ruang kapal yang kacau
tidak jelas arah, tidak jelas ruang
bertumbuh tanpa hitungan
karena setiap hitungan adalah pelarangan
dan pelarangan selalu menghasilkan uang
bagi birokrat yang terbiasa patuh memuja pantat atasan
Tolak trotoar jalan
karena membangun trotoar bisa mengurangi impor kendaraan buatan Jepang.
Kurangnya impor membuat modal asing menyusut
apalah jadinya dunia pejabat tanpa modal asing
tak bisa lagi beri sangu anak bini ke singapur beli arloji dan ali-ali.
Trotoar yang lebar
hanya menjadikan rakyat malas membeli mobil
jalan yang rapi
hanya membuat rakyat senang naik bis dan jalan kaki
Itu tidak baik buat masa depan penguasa
karena tak ada lagi pajak masuk pada kas mereka
tolaklah trotoar dan laranglah orang naik sepeda
kerna itu membahayakan modal asing
modal yang dibina pejabat dengan rasa penting.
Membangun trotoar hanya mengajarkan rakyat berjalan kaki
bau badan hasilnya nanti
tidak seperti masyarakat penuh gengsi
tak ada jalan penuh mobil berharga jeti-jeti
Maka itu atas nama kehidupan yang santun
Dan rasa sopan yang diajarkan oleh orang tua kita
Bahwa bau badan adalah dosa dalam pergaulan
dan kita dipaksa menjadi wangi seperti bunga taman
Tolak trotoar
dan duduklah manis di dalam mobil
Agar Investasi Jepang terjaga
Agar Para menteri terus dapat uang komisi
dan susunan masyarakat seperti sedia kala
Susunan masyarakat berlandaskan hukum babu
maka trotoar haram hukumnya
Trotoar adalah saksi kehidupan paling sejati
kita bisa melihat ruang dengan seksama
tapi kita sudah biasa diasingkan
dari lingkungan, dari kehidupan
Maka tolaklah Trotoar lewat regulasi para pemimpin kota
karena itu bisa mengurangi impor kendaraan
jangan biarkan manusia kota mengenali kehidupan
karena dia bisa dijauhkan dari alam benda.
Biarlah kota berkembang seperti ruang kapal yang kacau
tidak jelas arah, tidak jelas ruang
bertumbuh tanpa hitungan
karena setiap hitungan adalah pelarangan
dan pelarangan selalu menghasilkan uang
bagi birokrat yang terbiasa patuh memuja pantat atasan
Tolak trotoar jalan
karena membangun trotoar bisa mengurangi impor kendaraan buatan Jepang.
Kurangnya impor membuat modal asing menyusut
apalah jadinya dunia pejabat tanpa modal asing
tak bisa lagi beri sangu anak bini ke singapur beli arloji dan ali-ali.
Trotoar yang lebar
hanya menjadikan rakyat malas membeli mobil
jalan yang rapi
hanya membuat rakyat senang naik bis dan jalan kaki
Itu tidak baik buat masa depan penguasa
karena tak ada lagi pajak masuk pada kas mereka
tolaklah trotoar dan laranglah orang naik sepeda
kerna itu membahayakan modal asing
modal yang dibina pejabat dengan rasa penting.
Kesalahan Di Masa Lalu
by.Anton Djakarta
Hidup adalah soal mengumpulkan kesalahan
satu per satu disusun menjadi buku kehidupan
dan ditandatangani pada rasa sedih saat malam-malam kelam
Hidup adalah soal bagaimana memikirkan rasa bersalah
dan dari itu kita bisa mengudap arus hikmah
agar jangan sampai luka dulu terbuka
dan membuka langkah dengan kalimat Bismillah.....
Langit disana mencatat, setiap dosa yang kita gurat
maka segeralah gelar sajadah dan shalat
agar dirimu tak mati dengan rasa kendat
Mata hatimu selalu hidup
walau dosamu kau tumpuk
renungkanlah malam malammu dengan rasa kasih
dan biarkanlah dirimu menuntun pada Sang Hidup
Dunia ini hanya sebentar
tak perlulah kita bela dengan kekuatan segala
kita berakhir pada alam mati dan setelah itu sunyi
Kesalahan dimasa lalu
adalah kehidupan juga
tak usahlah kita ingkari karena itulah pikiran kita di masa itu
karena itulah tingkat kedewasaan kita pada tahapan itu
Tak usahlah ditangisi
kesalahan itu
dan diungkap dengan rasa marah
jalan menuju dewasa bukan jalan yang mudah
terkadang butuh darah dan nanah
Hidup adalah soal mengumpulkan kesalahan
satu per satu disusun menjadi buku kehidupan
dan ditandatangani pada rasa sedih saat malam-malam kelam
Hidup adalah soal bagaimana memikirkan rasa bersalah
dan dari itu kita bisa mengudap arus hikmah
agar jangan sampai luka dulu terbuka
dan membuka langkah dengan kalimat Bismillah.....
Langit disana mencatat, setiap dosa yang kita gurat
maka segeralah gelar sajadah dan shalat
agar dirimu tak mati dengan rasa kendat
Mata hatimu selalu hidup
walau dosamu kau tumpuk
renungkanlah malam malammu dengan rasa kasih
dan biarkanlah dirimu menuntun pada Sang Hidup
Dunia ini hanya sebentar
tak perlulah kita bela dengan kekuatan segala
kita berakhir pada alam mati dan setelah itu sunyi
Kesalahan dimasa lalu
adalah kehidupan juga
tak usahlah kita ingkari karena itulah pikiran kita di masa itu
karena itulah tingkat kedewasaan kita pada tahapan itu
Tak usahlah ditangisi
kesalahan itu
dan diungkap dengan rasa marah
jalan menuju dewasa bukan jalan yang mudah
terkadang butuh darah dan nanah
Inilah rinduku yang diterbangkan oleh angin
Aku akan berdiri di tepi jendela
tapi tak menguapkan udara
aku hanya melihat daun runtuh
menimbuni halaman
dan melihat bulan yang sayup-sayup perak warnanya
Rinduku seperti gunung kapur
menukar air kali
dan menjadikannya tiada
kapur-kapur yang menuliskan ajaran anak murid
pada sekolah, pada kehidupan
Inilah rinduku
yang diterbangkan oleh angin
dan memesankan satu kata : Aku mencintaimu.
tapi tak menguapkan udara
aku hanya melihat daun runtuh
menimbuni halaman
dan melihat bulan yang sayup-sayup perak warnanya
Rinduku seperti gunung kapur
menukar air kali
dan menjadikannya tiada
kapur-kapur yang menuliskan ajaran anak murid
pada sekolah, pada kehidupan
Inilah rinduku
yang diterbangkan oleh angin
dan memesankan satu kata : Aku mencintaimu.
Gibran dan Bell
Ketika tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka, sebab apa yang paling kalian kasihi darinya mungkin akan nampak lebih nyata dari kejauhan – seperti gunung yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan dataran (Khalil Gibran): Hmm....sund i miss U.
Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka; namun terkadang kita melihat dan menyesali pintu tertutup tersebut terlalu lama hingga kita tidak melihat pintu lain yang telah terbuka. ( Alexander Graham Bell)
Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka; namun terkadang kita melihat dan menyesali pintu tertutup tersebut terlalu lama hingga kita tidak melihat pintu lain yang telah terbuka. ( Alexander Graham Bell)
Dengan sajak aku melatih kejujuran dengan kata-kata aku menjaga kehidupan.
by.Anton Djakarta
Dunia ini memang aneh
kita dipaksa apa saja seturut apa maunya lingkungan
otak dan kelakuan kita seperti tanah liat dimana kepentingan menginginkan dibentuklah kita
dengan cungkil dan palu kita menjadi patung-patung yang diam
demi maunya keinginan kita bisa menyembah manusia
Kita dipaksa melawak di depan tembok kosong
atau menangisi perceraian tak perlu
kita diharuskan menjadi sesuatu yang lain
padahal masa lalu kita dan alam pikirnya menuntut kita menjadi apa adanya
Dengan doa kita sujud pada Tuhan
tapi hati kita menyembah pada alam benda
karena pikiran kita sudah terpenjara
tentang dunia yang hanya sebentar saja
Kenapa kita tidak seperti arus kali yang membawa batu-batu
dan menyuburkan tanah petani
menumbuhkan tanaman, memberi makan pada kehidupan
Kenapa kita tidak bisa sejenak saja berhenti menipu diri sendiri
mengalahkan keinginan, mengalahkan mimpi untuk mentertawakan kemalangan orang lain
dan sedikit saja melupakan dendam yang menyakitkan
Jika malam sudah datang
sering kita menulis catatan
hanya sekedar menumpahkan rasa bersalah
bahwa kita telah menyakiti dan membuat dosa dihari tadi
O, kejujuran memang menyakitkan
karena wajahnya penuh bopeng luka dalam diri kita yang tak tersembuhkan
O, kemunafikan seperti patung pualam yang sempurna ujudnya
karena luka disembunyikan
dan perkataan dipaksa menjadi tiada
ruang makna telah diperkosa
dan baju-baju bahasa menjadi lokomotif awan imajinasi kita
Hati kecil kita adalah sajak kehidupan
yang diberikan Tuhan ketika nyawa kita dihembuskan dalam rahim Ibu
tapi tak pernah sekalipun kamu perhatikan
setelah menderas doa-doa malam kita kucilkan
lalu dengan topeng kita membangun dunia
Mungkin dengan sajak kita bisa melatih kejujuran
Atau dengan puisi kita bisa membangun pelan-pelan hati nurani
Percayalah, hati kecil tak pernah mati
walaupun dengan resah kau membangun kehidupan
dengan duit kau asingkan makna kemanusiaan
tapi hati nuranimu tetap menjadi air kehidupan
Dengan sajak aku melatih kejujuran
dengan kata-kata aku menjaga kehidupan.
Dunia ini memang aneh
kita dipaksa apa saja seturut apa maunya lingkungan
otak dan kelakuan kita seperti tanah liat dimana kepentingan menginginkan dibentuklah kita
dengan cungkil dan palu kita menjadi patung-patung yang diam
demi maunya keinginan kita bisa menyembah manusia
Kita dipaksa melawak di depan tembok kosong
atau menangisi perceraian tak perlu
kita diharuskan menjadi sesuatu yang lain
padahal masa lalu kita dan alam pikirnya menuntut kita menjadi apa adanya
Dengan doa kita sujud pada Tuhan
tapi hati kita menyembah pada alam benda
karena pikiran kita sudah terpenjara
tentang dunia yang hanya sebentar saja
Kenapa kita tidak seperti arus kali yang membawa batu-batu
dan menyuburkan tanah petani
menumbuhkan tanaman, memberi makan pada kehidupan
Kenapa kita tidak bisa sejenak saja berhenti menipu diri sendiri
mengalahkan keinginan, mengalahkan mimpi untuk mentertawakan kemalangan orang lain
dan sedikit saja melupakan dendam yang menyakitkan
Jika malam sudah datang
sering kita menulis catatan
hanya sekedar menumpahkan rasa bersalah
bahwa kita telah menyakiti dan membuat dosa dihari tadi
O, kejujuran memang menyakitkan
karena wajahnya penuh bopeng luka dalam diri kita yang tak tersembuhkan
O, kemunafikan seperti patung pualam yang sempurna ujudnya
karena luka disembunyikan
dan perkataan dipaksa menjadi tiada
ruang makna telah diperkosa
dan baju-baju bahasa menjadi lokomotif awan imajinasi kita
Hati kecil kita adalah sajak kehidupan
yang diberikan Tuhan ketika nyawa kita dihembuskan dalam rahim Ibu
tapi tak pernah sekalipun kamu perhatikan
setelah menderas doa-doa malam kita kucilkan
lalu dengan topeng kita membangun dunia
Mungkin dengan sajak kita bisa melatih kejujuran
Atau dengan puisi kita bisa membangun pelan-pelan hati nurani
Percayalah, hati kecil tak pernah mati
walaupun dengan resah kau membangun kehidupan
dengan duit kau asingkan makna kemanusiaan
tapi hati nuranimu tetap menjadi air kehidupan
Dengan sajak aku melatih kejujuran
dengan kata-kata aku menjaga kehidupan.
Sajak Mengenang Orde Baru
by.Anton Djakarta
Hari ini aku duduk di tepi rumput
melihat bunga-bunga liar menari dan angin menyejukkan garis mataku
baiklah, aku duduk sendiri
mengenang tentang masa lalu
tentang Orde Baru
Ah, sebuah masa ketika kita mengenang harga beras murah
supermarket mulai ada dan gedung menjangkung dimana-mana
Banpol mengejar-ngejar becak dan menjadi bahan sorakan rakyat di tepi-tepi pasar, kampanye pemilu seperti buluh perindu bagi pecinta Oma Irama, sang raja menyanyi dangdut irama gendang.
Spekulan tanah menjadi buaya bagi halaman-halaman rumah rakyat, kerna jalan tol dibangun pada seribu titik kota
Dengan seribu rupiah kita bisa makan di warteg serupa tingkat kepuasan para bayi menetek pada ibunya, kenyang perut terisi.
Di masa ketika bunga ranum, dan nyanyian cengeng menghegemoni telinga, kita juga lihat film-film john travolta menari-narikan kaki dan menaikkan kerah baju sambil mengusap jambul lalu berkata “Yeah...”
sungguh hangat hidup di jaman itu
Harmoko selalu membuat harga cabe keriting stabil tanpa berani orang main harga kerna takut cap subversif dan Habibie membangunkan mimpi kaum muda bahwa bangsa yang dikatakan berotak tempe ini, mampu bikin pesawat dengan teknologi yang membuat kerut kening kita.
Anak-anak muda tertawa, di Senayan kita main sepatu roda
Di Jakarta Fair kita memburu barang-barang murah
ah, indahnya negeriku
TVRI menjadi ruang publik satu-satunya, Anita Rahman dan Tuti Adhitama kita kenang sebagai wajah televisi dimana Unyil hanya saingannya.
Eddy Sud mengantarkan mimpi kaum jelata, tentang dangdut atau lawak
Krisbiantoro rambutnya menjingkrak ke udara, dan Benyamin S membuat kita tertawa sampai kencing di celana.
Jikalau malam kita putar Prambors dan SK
mendengar Sys NS atau Ida Arimurti lalu mendengarkan anekdot dan lagu sambil kita melukisi awan, dan giliran tertawa mendengarkan Unang mengejar umpan lawakan Mi'ing dan adiknya Didin.
Betapa indah jaman Orde Baru, bila lebaran datang tak ada yang lebih menggairahkan kecuali film-film Warkop dan Saur Sepuh atau awal tahun baru mendengarkan Elvy Sukaesih mencari bulan di atas panggung Monas.
Setiap akhir cerita TVRI kita dengarkan suara lagu Ibu Sud “walaupun banyak negeri kudatangi, yang masyhur permai dikata orang.........”
ah, romantisnya jaman itu kukenang sambil memakan silver queen aku nyanyikan lagu Gombloh tentang malam yang tergadaikan karena cinta dibawa kabur orang.
Malam Orde Baru ternyata tidak sampai disitu
ia bermula pada malam jahanam
malam direnggutnya para Jenderal yang berakhir sampai jatuhnya Sukarno dua tahun kemudian.
Malam jahanam menyeret dua bulan hari-hari pembantaian
orang saling tuduh, keluarga saling menghancurkan
sungai-sungai banjir darah, dan tentara menjadi penguasa tunggal seperti Dewa yang menentukan hidup atau mati orang.
Inilah Orde Baru, ketika kesenian dijadikan kali-kali dangkal
Orang-orang pintar dibui atau dipaksa melacur pada kekuasaan, orang-orang penjilat menjadi kuat dan bandit tiba-tiba muncul menjadi penguasa manis dengan senyum murah hati di dalam kotak televisi.
Para seniman tak punya ruang, tapi pengarang lagu cengeng menjadi permata kesukaan
inilah jaman ketika kita tak boleh lagi berpikir dalam-dalam
saat rakyat diajarkan bagaimana menghabiskan uang hutang dan produksi Amerika serta Jepang menjadi penguasa di rak toko-toko.
O, sebuah Orde yang dibangun dengan darah berton-ton beratnya
dengan kekejaman yang membuat seribu malaikat menangis
lalu diatas lumbung air mata, dibuatlah dunia manis secerah pelangi, dibangunlah rupa tentang gadis manis yang merindukan pangeran tampan bermobil Corolla DX sambil mengangkangi orang-orang miskin yang tak dapat rejeki.
Ketentraman dibayar dengan nyawa, biarlah darah membanjiri aspal
dan Petrus terang-terangan melanggar kemanusiaan dibilangnya Hukum Penuh kemanusiaan
tanpa dosa sang penguasa menceritakan bagaimana menghilangkan kemanusiaan bisa menentramkan kehidupan
O, inilah jaman ketika engkau berani bersuara maka suaramu membuat pintu penjara terbuka
manusia hidup di jaman ini, dijadikan paranoid
takut pada bayangan-bayangan yang tak ada
takut pada kata-kata, karena kata-kata yang salah berarti peluru tajam penuhi dada
dan bui, buang, bunuh menjadi tiga rangkaian yang lengkap sempurna sebagai bahasa kekuasaan.
Keadilan hanya untuk pejabat
bukan untuk rakyat
maka di depan meja hijau Sum Kuning dipaksa mengangkang kakinya menceritakan berahi karena ingin sama ingin bukan perkosaan terhadap wanita penjual telor
dan tersangka anak penggede aman tidur nyenyak tanpa gangguan polisi.
Rasa adil hanya milik yang punya uang
bukan dirasai kaum buruh serupa Marsinah
di markas tentara dia dipukuli sampai mati
dan di detik ini semua tersangka masih bisa mengangkat kaki diatas meja sambil menghisap rokok dalam-dalam.
Pengadilan hanya untuk pencopet
tapi bukan edy tansil serta kompradornya yang kasih katabelece
Wartawan Bodrek menjadi dewa
Wartawan idealis mati seperti Udin
Koran, tabloid dan Majalah macam Indonesia Raya, Pedoman, Tempo sampai Detik
Bredel informasi kuasa pemerintah
sementara rakyat dianggap tak mengerti apa-apa
pemerintahlah yang tau segala
WS Rendra dibungkam mulutnya
Widji Thukul tak jelas nyawanya kemana?
Hanya karena puisi yang ia tulis
bagaimana penguasa disebut manusia kerna hanya menuangkan pikiran nyawa menjadi barang gadaian
Kenanglah dijaman itu
Cerita Losmen dengan lembut wajah Mieke Widjaja
tapi juga kupikir ada baiknya kamu mengenang,
bagaimana telinga Pram menjadi tuli kerna dipopor gagang pestol tentara
Kenanglah komik Lupus dijaman itu
tapi setel kenanganmu barang sebentar pada “Gadis Pantai” yang diacung-acungkan jaksa agung sebagai buku neraka dan anak muda dilarang membaca.
Itulah jaman ketika kedangkalan menjadi panglima dan kita sudah separuh lupa..............
namun kini setelah sepuluh tahun Orde Baru separuh tutup buku :
Sajak-sajak WS Rendra tentang orang miskin dan terinjak mastodon birokrat dibacai di apartemen mewah, sambil naik mercy kita kenangkan orang melarat
sambil naik camry mulut kita lancar bicara rejeki yang tak adil
dan dengan cerutu kita mainkan kemiskinan sebagai celoteh yang mengasikkan
Tulisan-tulisan Pram penuh di rak-rak buku
anak-anak membacai Pram tanpa harus takut todongan peluru
tak seperti dulu ketika Coki Naipospos yang kena tangkap serdadu kerna mengedarkan copy “Rumah Kaca” mendapat hadiah kurungan bui
tapi kini aura Pram tak lebih Andy Warhol
fungsi sosialnya gagap
hanya bisa memenuhi ruang jualan toko buku, tanpa rakyat berani melawan
padahal Pram selalu bilang
“Bacalah tulisanku, maka kamu akan berani”
Pemuda saat ini tidak pernah dilahirkan menjadi pemimpin
tapi membeo kaum tua
kaum tua yang sudah kena duit Orde Baru
maka kita menjadi pemuda pewaris mental babu takut pada generasi tua
kita pandang muka mereka, beraklah pemuda di celana........
Inilah jaman ketika Orde Baru dilanjutkan
anak pejabat tetap digariskan takdir menjadi pejabat
tanpa pengetahuan duduk di Parlemen
tanpa pengalaman menyusui kekuasaan bapaknya
anak tukang becak paling banter jadi tukang sapu departemen
mana mungkin masuk UI, berapa uang kuliah saat ini
Mencerdaskan kehidupan bangsa hanya jadi literatur di ruang sunyi
dibacai dengan seksama pada upacara anak SMA setelah itu kita hisap ganja.
Lupa pada jaman, lupa tanggung jawab.
dan Indonesia Raya berkibar-kibar
sambil kita dengarkan bagaimana Hatta menangis keras-keras dalam kubur
melihat bangsanya tumbuh pandai main korupsi
O, inilah jaman ketika pemuda hanya berani kentut tanpa berani bersuara lantang.
“Kugantikan Orde Baru, sebagai Jaman Baru...Jaman penuh keberanian dan berdiri diatas garis yang sudah ditentukan kenapa kita harus merdeka”
Percayalah, semua bapak pendiri negeri tak pernah membayangkan Indonesia jadi begini
Kita semakin jadi bangsa kuli dan dibiayai oleh modal yang dikumpuli setelah menguliti bumi Republik
Kita semua sudah menjadi Romusha atas modal Amerika, tapi kita duduk tenang seperti tak terjadi apa-apa.
O, Orde Baru yang kukenangkan ternyata masih ada sampai kini dan kita tak lupa
malah dengan seksama kita jalani, anak-anak muda yang menyusui kekuasaan bapaknya itu diajari menjadi plagiat yang paling sempurna.
............................
Hari ini aku duduk di tepi rumput
melihat bunga-bunga liar menari dan angin menyejukkan garis mataku
baiklah, aku duduk sendiri
mengenang tentang masa lalu
tentang Orde Baru
Ah, sebuah masa ketika kita mengenang harga beras murah
supermarket mulai ada dan gedung menjangkung dimana-mana
Banpol mengejar-ngejar becak dan menjadi bahan sorakan rakyat di tepi-tepi pasar, kampanye pemilu seperti buluh perindu bagi pecinta Oma Irama, sang raja menyanyi dangdut irama gendang.
Spekulan tanah menjadi buaya bagi halaman-halaman rumah rakyat, kerna jalan tol dibangun pada seribu titik kota
Dengan seribu rupiah kita bisa makan di warteg serupa tingkat kepuasan para bayi menetek pada ibunya, kenyang perut terisi.
Di masa ketika bunga ranum, dan nyanyian cengeng menghegemoni telinga, kita juga lihat film-film john travolta menari-narikan kaki dan menaikkan kerah baju sambil mengusap jambul lalu berkata “Yeah...”
sungguh hangat hidup di jaman itu
Harmoko selalu membuat harga cabe keriting stabil tanpa berani orang main harga kerna takut cap subversif dan Habibie membangunkan mimpi kaum muda bahwa bangsa yang dikatakan berotak tempe ini, mampu bikin pesawat dengan teknologi yang membuat kerut kening kita.
Anak-anak muda tertawa, di Senayan kita main sepatu roda
Di Jakarta Fair kita memburu barang-barang murah
ah, indahnya negeriku
TVRI menjadi ruang publik satu-satunya, Anita Rahman dan Tuti Adhitama kita kenang sebagai wajah televisi dimana Unyil hanya saingannya.
Eddy Sud mengantarkan mimpi kaum jelata, tentang dangdut atau lawak
Krisbiantoro rambutnya menjingkrak ke udara, dan Benyamin S membuat kita tertawa sampai kencing di celana.
Jikalau malam kita putar Prambors dan SK
mendengar Sys NS atau Ida Arimurti lalu mendengarkan anekdot dan lagu sambil kita melukisi awan, dan giliran tertawa mendengarkan Unang mengejar umpan lawakan Mi'ing dan adiknya Didin.
Betapa indah jaman Orde Baru, bila lebaran datang tak ada yang lebih menggairahkan kecuali film-film Warkop dan Saur Sepuh atau awal tahun baru mendengarkan Elvy Sukaesih mencari bulan di atas panggung Monas.
Setiap akhir cerita TVRI kita dengarkan suara lagu Ibu Sud “walaupun banyak negeri kudatangi, yang masyhur permai dikata orang.........”
ah, romantisnya jaman itu kukenang sambil memakan silver queen aku nyanyikan lagu Gombloh tentang malam yang tergadaikan karena cinta dibawa kabur orang.
Malam Orde Baru ternyata tidak sampai disitu
ia bermula pada malam jahanam
malam direnggutnya para Jenderal yang berakhir sampai jatuhnya Sukarno dua tahun kemudian.
Malam jahanam menyeret dua bulan hari-hari pembantaian
orang saling tuduh, keluarga saling menghancurkan
sungai-sungai banjir darah, dan tentara menjadi penguasa tunggal seperti Dewa yang menentukan hidup atau mati orang.
Inilah Orde Baru, ketika kesenian dijadikan kali-kali dangkal
Orang-orang pintar dibui atau dipaksa melacur pada kekuasaan, orang-orang penjilat menjadi kuat dan bandit tiba-tiba muncul menjadi penguasa manis dengan senyum murah hati di dalam kotak televisi.
Para seniman tak punya ruang, tapi pengarang lagu cengeng menjadi permata kesukaan
inilah jaman ketika kita tak boleh lagi berpikir dalam-dalam
saat rakyat diajarkan bagaimana menghabiskan uang hutang dan produksi Amerika serta Jepang menjadi penguasa di rak toko-toko.
O, sebuah Orde yang dibangun dengan darah berton-ton beratnya
dengan kekejaman yang membuat seribu malaikat menangis
lalu diatas lumbung air mata, dibuatlah dunia manis secerah pelangi, dibangunlah rupa tentang gadis manis yang merindukan pangeran tampan bermobil Corolla DX sambil mengangkangi orang-orang miskin yang tak dapat rejeki.
Ketentraman dibayar dengan nyawa, biarlah darah membanjiri aspal
dan Petrus terang-terangan melanggar kemanusiaan dibilangnya Hukum Penuh kemanusiaan
tanpa dosa sang penguasa menceritakan bagaimana menghilangkan kemanusiaan bisa menentramkan kehidupan
O, inilah jaman ketika engkau berani bersuara maka suaramu membuat pintu penjara terbuka
manusia hidup di jaman ini, dijadikan paranoid
takut pada bayangan-bayangan yang tak ada
takut pada kata-kata, karena kata-kata yang salah berarti peluru tajam penuhi dada
dan bui, buang, bunuh menjadi tiga rangkaian yang lengkap sempurna sebagai bahasa kekuasaan.
Keadilan hanya untuk pejabat
bukan untuk rakyat
maka di depan meja hijau Sum Kuning dipaksa mengangkang kakinya menceritakan berahi karena ingin sama ingin bukan perkosaan terhadap wanita penjual telor
dan tersangka anak penggede aman tidur nyenyak tanpa gangguan polisi.
Rasa adil hanya milik yang punya uang
bukan dirasai kaum buruh serupa Marsinah
di markas tentara dia dipukuli sampai mati
dan di detik ini semua tersangka masih bisa mengangkat kaki diatas meja sambil menghisap rokok dalam-dalam.
Pengadilan hanya untuk pencopet
tapi bukan edy tansil serta kompradornya yang kasih katabelece
Wartawan Bodrek menjadi dewa
Wartawan idealis mati seperti Udin
Koran, tabloid dan Majalah macam Indonesia Raya, Pedoman, Tempo sampai Detik
Bredel informasi kuasa pemerintah
sementara rakyat dianggap tak mengerti apa-apa
pemerintahlah yang tau segala
WS Rendra dibungkam mulutnya
Widji Thukul tak jelas nyawanya kemana?
Hanya karena puisi yang ia tulis
bagaimana penguasa disebut manusia kerna hanya menuangkan pikiran nyawa menjadi barang gadaian
Kenanglah dijaman itu
Cerita Losmen dengan lembut wajah Mieke Widjaja
tapi juga kupikir ada baiknya kamu mengenang,
bagaimana telinga Pram menjadi tuli kerna dipopor gagang pestol tentara
Kenanglah komik Lupus dijaman itu
tapi setel kenanganmu barang sebentar pada “Gadis Pantai” yang diacung-acungkan jaksa agung sebagai buku neraka dan anak muda dilarang membaca.
Itulah jaman ketika kedangkalan menjadi panglima dan kita sudah separuh lupa..............
namun kini setelah sepuluh tahun Orde Baru separuh tutup buku :
Sajak-sajak WS Rendra tentang orang miskin dan terinjak mastodon birokrat dibacai di apartemen mewah, sambil naik mercy kita kenangkan orang melarat
sambil naik camry mulut kita lancar bicara rejeki yang tak adil
dan dengan cerutu kita mainkan kemiskinan sebagai celoteh yang mengasikkan
Tulisan-tulisan Pram penuh di rak-rak buku
anak-anak membacai Pram tanpa harus takut todongan peluru
tak seperti dulu ketika Coki Naipospos yang kena tangkap serdadu kerna mengedarkan copy “Rumah Kaca” mendapat hadiah kurungan bui
tapi kini aura Pram tak lebih Andy Warhol
fungsi sosialnya gagap
hanya bisa memenuhi ruang jualan toko buku, tanpa rakyat berani melawan
padahal Pram selalu bilang
“Bacalah tulisanku, maka kamu akan berani”
Pemuda saat ini tidak pernah dilahirkan menjadi pemimpin
tapi membeo kaum tua
kaum tua yang sudah kena duit Orde Baru
maka kita menjadi pemuda pewaris mental babu takut pada generasi tua
kita pandang muka mereka, beraklah pemuda di celana........
Inilah jaman ketika Orde Baru dilanjutkan
anak pejabat tetap digariskan takdir menjadi pejabat
tanpa pengetahuan duduk di Parlemen
tanpa pengalaman menyusui kekuasaan bapaknya
anak tukang becak paling banter jadi tukang sapu departemen
mana mungkin masuk UI, berapa uang kuliah saat ini
Mencerdaskan kehidupan bangsa hanya jadi literatur di ruang sunyi
dibacai dengan seksama pada upacara anak SMA setelah itu kita hisap ganja.
Lupa pada jaman, lupa tanggung jawab.
dan Indonesia Raya berkibar-kibar
sambil kita dengarkan bagaimana Hatta menangis keras-keras dalam kubur
melihat bangsanya tumbuh pandai main korupsi
O, inilah jaman ketika pemuda hanya berani kentut tanpa berani bersuara lantang.
“Kugantikan Orde Baru, sebagai Jaman Baru...Jaman penuh keberanian dan berdiri diatas garis yang sudah ditentukan kenapa kita harus merdeka”
Percayalah, semua bapak pendiri negeri tak pernah membayangkan Indonesia jadi begini
Kita semakin jadi bangsa kuli dan dibiayai oleh modal yang dikumpuli setelah menguliti bumi Republik
Kita semua sudah menjadi Romusha atas modal Amerika, tapi kita duduk tenang seperti tak terjadi apa-apa.
O, Orde Baru yang kukenangkan ternyata masih ada sampai kini dan kita tak lupa
malah dengan seksama kita jalani, anak-anak muda yang menyusui kekuasaan bapaknya itu diajari menjadi plagiat yang paling sempurna.
............................
Karena Neoliberalisme adalah Dewa
By Anton Djakarta
Neoliberalisme adalah Dewa
yang harus kita jaga
dan kita ucapkan dengan hati-hati
Jangan kau kasar padanya
karena ketika kau membencinya
seumur hidup kau tak akan merasakan enaknya nasi
atau makan di mall tempat orang berdasi
Neoliberalisme adalah sekutu
bagi kaum mampu
maka itu kita harus menjilati pantat mereka itu
agar makmur hidup kita
agar doa-doa kita terjaga
Sssttt... jangan kau kentuti neoliberalisme
atau bicara Marx, Hegel dan Pram
karena mereka itu sudah menjadi bahan komoditi
di toko-toko buku yang memasang pakai harga mati
Sudahlah bangsa ini memang sudah sejak dulu diajarkan menjadi bangsa kuli
yang hanya paham bagaimana caranya membuat terasi
tapi tak tau rupa merangkai modal yang penuh kalibrasi
Sukarno dan Hatta sudah lama mati
Suharto baru mati kemarin tadi
tapi jangan lupa
Sukarno dan Hatta memang sudah tak dipakai lagi
Pada Suhartolah kita berguru
belajar menjadi budak kolonial dan modal.
Sementara Sukarno dan Hatta
cukuplah dipatungkan saja di pintu masuk bandara
dan dengan wajah lesu
kita tak pedulikan seonggok patung yang tak berarti apa-apa.
Neoliberalisme adalah Dewa
yang harus kita jaga
dan kita ucapkan dengan hati-hati
Jangan kau kasar padanya
karena ketika kau membencinya
seumur hidup kau tak akan merasakan enaknya nasi
atau makan di mall tempat orang berdasi
Neoliberalisme adalah sekutu
bagi kaum mampu
maka itu kita harus menjilati pantat mereka itu
agar makmur hidup kita
agar doa-doa kita terjaga
Sssttt... jangan kau kentuti neoliberalisme
atau bicara Marx, Hegel dan Pram
karena mereka itu sudah menjadi bahan komoditi
di toko-toko buku yang memasang pakai harga mati
Sudahlah bangsa ini memang sudah sejak dulu diajarkan menjadi bangsa kuli
yang hanya paham bagaimana caranya membuat terasi
tapi tak tau rupa merangkai modal yang penuh kalibrasi
Sukarno dan Hatta sudah lama mati
Suharto baru mati kemarin tadi
tapi jangan lupa
Sukarno dan Hatta memang sudah tak dipakai lagi
Pada Suhartolah kita berguru
belajar menjadi budak kolonial dan modal.
Sementara Sukarno dan Hatta
cukuplah dipatungkan saja di pintu masuk bandara
dan dengan wajah lesu
kita tak pedulikan seonggok patung yang tak berarti apa-apa.
Sajak Menangkap Penyair
Sajak Menangkap Penyair
by. Anton Djakarta
Kutangkap dirimu, agar kata-katamu mati
karena kau berani melawan pemerintah dengan pamflet gelap air mata
karena kau berani menunggungi para Jenderal dengan sajak tanpa rupa
Kutangkap dirimu dan kubawa ke bui
seperti para pengarang di Pulau Buru
seperti para penjudi nasib politik yang mati di tahun enam lima
Kusekap puisi-puisimu dalam perintah radiogramku
melarang kamu mensajak
karena pemerintah tak butuh sajak, pemerintah butuh beras untuk rakyat
sajakmu sajak wangi kopi, sementara kerja negara membutuhkan kepatuhan, penguasa tak butuh wangi kopi tapi butuh sendiko dawuh agar tentram negeri ini.
Sajakmu meresahkan, membangkitkan rakyat dari ketakutan
menginspirasi gerilyawan kapiran, membangunkan tukang becak untuk melawan
Maka demi ketertiban
kutangkap kamu dan kularang kamu bersajak
Ini kuberi waktu
bersajaklah tentang rembulan atau wanita cantik dengan sudut mata angsa
jangan kau bersajak tentang rumah kardus pinggir kali, kerna itu meresahkan
Jikalau pamflet gelapmu masih menjadi bahan kopian mahasiswa maka kami tak ragu
Membuimu seperti manusia-manusia di Pulau Buru.....
Aku ingatkan kamu, Penyair berwajah bulan
agar kamu jangan melawan pemerintah
kerna negeri ini dibangun dengan rasa sopan
maka berbuatlah seperti manusia yang tau aturan.
Bila kamu masih bersajak dengan pamflet gelap dan mengosongkan gudang-gudang nyali para tukang becak, mahasiswa dan guru maka kami tak segan menangkapmu, menjeblosakmu ke dalam bui.
by. Anton Djakarta
Kutangkap dirimu, agar kata-katamu mati
karena kau berani melawan pemerintah dengan pamflet gelap air mata
karena kau berani menunggungi para Jenderal dengan sajak tanpa rupa
Kutangkap dirimu dan kubawa ke bui
seperti para pengarang di Pulau Buru
seperti para penjudi nasib politik yang mati di tahun enam lima
Kusekap puisi-puisimu dalam perintah radiogramku
melarang kamu mensajak
karena pemerintah tak butuh sajak, pemerintah butuh beras untuk rakyat
sajakmu sajak wangi kopi, sementara kerja negara membutuhkan kepatuhan, penguasa tak butuh wangi kopi tapi butuh sendiko dawuh agar tentram negeri ini.
Sajakmu meresahkan, membangkitkan rakyat dari ketakutan
menginspirasi gerilyawan kapiran, membangunkan tukang becak untuk melawan
Maka demi ketertiban
kutangkap kamu dan kularang kamu bersajak
Ini kuberi waktu
bersajaklah tentang rembulan atau wanita cantik dengan sudut mata angsa
jangan kau bersajak tentang rumah kardus pinggir kali, kerna itu meresahkan
Jikalau pamflet gelapmu masih menjadi bahan kopian mahasiswa maka kami tak ragu
Membuimu seperti manusia-manusia di Pulau Buru.....
Aku ingatkan kamu, Penyair berwajah bulan
agar kamu jangan melawan pemerintah
kerna negeri ini dibangun dengan rasa sopan
maka berbuatlah seperti manusia yang tau aturan.
Bila kamu masih bersajak dengan pamflet gelap dan mengosongkan gudang-gudang nyali para tukang becak, mahasiswa dan guru maka kami tak segan menangkapmu, menjeblosakmu ke dalam bui.
Berkatalah Arjuna Pada Kresna
by. Anton Djakarta
Suatu saat di sore yang rengas
Arjuna berjalan menuju taman hutan dekat perbatasan negeri Hastina
tak nyana Kresna sedang melompati beringin tua setinggi dua ribu depa jauhnya
ia sedang berlatih ilmu kanuragan mengalahkan langit, mengentuti rembulan
Kresna yang sakti mandraguna, tubuhnya kebal panah kunta dan sejuta gendam para dewa
ingin bertambah sakti lagi, ia ingin sekuat baladewa
agar siap dalam perang bharata
Dengan langkah ringan seperti kapas diterbangkan angin siang
arjuna mendekati kresna dan menyerunya sambil tertawa
“Kakang, bisakah kau berikan kesaktianmu barang sedikit
aku sedang jatuh cinta pada anak resi gunung...”
“Siapa lagi kau korbankan hatinya menangisi tampan wajahmu, hei putera Indra?”
kata Kresna bersungut-sungut karena tak suka arjuna mengejar-ngejar wanita sementara perang sudah diambang mata.
Arjuna diam saja
ia tau Kresna menolak diam-diam tapi bukanlah arjuna bila tak memaksa.....
Berilah aku mantra
satu kali ini saja, agar aku meniduri puteri resi yang memiliki kesaktian seribu panah salya
“Baiklah inilah ajiku, tapi terakhir...”
“NIYAT INGSUN AMATEK AJIKU SIJARAN GOYANG.
TAK GOYANG ING TENGAH LATAR, CEMETIKU SODO LANANG
UPET UPET KU LEWE BENANG.
TAK SABETAKE GUNUNG JUGRUG WATU GEMPUR
TAK SABETAKE SEGORO ASAT
TAK SABETAKE OMBAK GEDHE SIREP
TAK SABETAKE ATINE SI.........
PET SIDHO EDAN ORA EDAN SIDHO GENDENG ORA GENDENG
ORA MARI MARI YEN ORA INGSUN SING NAMBANI.
Lalu arjuna merapal, maka seribu dewa menaburkan ugo rampe dan wangi menguap dari tanah merah, wangi kopi menguasai hutan dan harimau gemetaran kehilangan prabawa.
Itulah asal muasal
ajian jarang goyang
yang bisa kau rapalkan
ketika wanitamu melarikan hatimu
tapi kini aji itu tak lagi bisa kau ucapkan
kalau kau tak pulang ke rumah bawa uang
mana bisa ajian jaran goyang bertahan
Jaman ini jaman modal
bukan lagi jaman dongeng jimat-jimat
tak ada lagi ajian
tak ada lagi sirep matek aji
maka rajinlah kau cari uang
agar tak lagi dimarahi pasangan
seribu rapalan ajian jaran goyang
tak bisa meruntuhkan hatinya
karena toh cinta juga perlu biaya.......
Suatu saat di sore yang rengas
Arjuna berjalan menuju taman hutan dekat perbatasan negeri Hastina
tak nyana Kresna sedang melompati beringin tua setinggi dua ribu depa jauhnya
ia sedang berlatih ilmu kanuragan mengalahkan langit, mengentuti rembulan
Kresna yang sakti mandraguna, tubuhnya kebal panah kunta dan sejuta gendam para dewa
ingin bertambah sakti lagi, ia ingin sekuat baladewa
agar siap dalam perang bharata
Dengan langkah ringan seperti kapas diterbangkan angin siang
arjuna mendekati kresna dan menyerunya sambil tertawa
“Kakang, bisakah kau berikan kesaktianmu barang sedikit
aku sedang jatuh cinta pada anak resi gunung...”
“Siapa lagi kau korbankan hatinya menangisi tampan wajahmu, hei putera Indra?”
kata Kresna bersungut-sungut karena tak suka arjuna mengejar-ngejar wanita sementara perang sudah diambang mata.
Arjuna diam saja
ia tau Kresna menolak diam-diam tapi bukanlah arjuna bila tak memaksa.....
Berilah aku mantra
satu kali ini saja, agar aku meniduri puteri resi yang memiliki kesaktian seribu panah salya
“Baiklah inilah ajiku, tapi terakhir...”
“NIYAT INGSUN AMATEK AJIKU SIJARAN GOYANG.
TAK GOYANG ING TENGAH LATAR, CEMETIKU SODO LANANG
UPET UPET KU LEWE BENANG.
TAK SABETAKE GUNUNG JUGRUG WATU GEMPUR
TAK SABETAKE SEGORO ASAT
TAK SABETAKE OMBAK GEDHE SIREP
TAK SABETAKE ATINE SI.........
PET SIDHO EDAN ORA EDAN SIDHO GENDENG ORA GENDENG
ORA MARI MARI YEN ORA INGSUN SING NAMBANI.
Lalu arjuna merapal, maka seribu dewa menaburkan ugo rampe dan wangi menguap dari tanah merah, wangi kopi menguasai hutan dan harimau gemetaran kehilangan prabawa.
Itulah asal muasal
ajian jarang goyang
yang bisa kau rapalkan
ketika wanitamu melarikan hatimu
tapi kini aji itu tak lagi bisa kau ucapkan
kalau kau tak pulang ke rumah bawa uang
mana bisa ajian jaran goyang bertahan
Jaman ini jaman modal
bukan lagi jaman dongeng jimat-jimat
tak ada lagi ajian
tak ada lagi sirep matek aji
maka rajinlah kau cari uang
agar tak lagi dimarahi pasangan
seribu rapalan ajian jaran goyang
tak bisa meruntuhkan hatinya
karena toh cinta juga perlu biaya.......
Sajak Kesepian Di Kuburan
by. Anton Djakarta
Kita yang riang dalam kehidupan
dengan tawa seribu manusia membangun khayal-khayal
memutar roda sejarah, membina keluarga dan menafsirkan dunia
Membangun pendidikan
dengan sejuta buku pengetahuan
Mencintai harapan seperti menumpuk-numpukkan kertas kosong dalam pikiran
Ah, lalu apakah kita
ketika kita sudah menjadi mati
menghuni liang dua kali dua
dan dibuka penggali kubur separuh baya
Siapakah kita dan dimanakah kita
ketika kita menjadi tiada
hanya kain kafan tanpa merek penjahit siapa?
dimanakah uang kita
hasil kerja kita
anak kita
dan mimpi-mimpi kita
Kita tak tau setelah mati mau apa?
mungkin mendongakkan kepala
di atas langit kuburan sepi wingit
dan berucap pelan
"Andai dosa tidak pernah menjadi bajuku, dan khianat bukanlah perbuatanku, andai sholat menjadi gerakku dan doa-doa adalah bahasaku mencintai Tuhan dan Manusia, mungkin aku tak kesepian"
Di kuburan sepi
hanya nisan tanpa air api
bunga-bunga yang ditaburkan dengan tangisan kehilangan tadi pagi
sudah layu
........dan aku sendiri.
Kita yang riang dalam kehidupan
dengan tawa seribu manusia membangun khayal-khayal
memutar roda sejarah, membina keluarga dan menafsirkan dunia
Membangun pendidikan
dengan sejuta buku pengetahuan
Mencintai harapan seperti menumpuk-numpukkan kertas kosong dalam pikiran
Ah, lalu apakah kita
ketika kita sudah menjadi mati
menghuni liang dua kali dua
dan dibuka penggali kubur separuh baya
Siapakah kita dan dimanakah kita
ketika kita menjadi tiada
hanya kain kafan tanpa merek penjahit siapa?
dimanakah uang kita
hasil kerja kita
anak kita
dan mimpi-mimpi kita
Kita tak tau setelah mati mau apa?
mungkin mendongakkan kepala
di atas langit kuburan sepi wingit
dan berucap pelan
"Andai dosa tidak pernah menjadi bajuku, dan khianat bukanlah perbuatanku, andai sholat menjadi gerakku dan doa-doa adalah bahasaku mencintai Tuhan dan Manusia, mungkin aku tak kesepian"
Di kuburan sepi
hanya nisan tanpa air api
bunga-bunga yang ditaburkan dengan tangisan kehilangan tadi pagi
sudah layu
........dan aku sendiri.
Cinta Ringan
by.Anton Djakarta
Pernahkah kau tersenyum dalam hidupmu
...sekali saja
sekedar mentertawai apa yang kita anggap lalu
tanpa kita toleh atau kita kejap-kejapkan mata
tertawalah dengan ringan
maka hidup bisa kau terbangkan ke awan-awan
Cinta ini memang kutuliskan ketika aku mengudap mie ayam
wajahmu menari seperti lukisan picasso yang tertimpa matahari sore, lembut dan menyenangkan
kubus-kubus membentuk harapan, ketidakteraturan membangun keinginan
Aku mau mancung hidungmu
atau indah rambutmu, rambut yang tumbuh karena belaian dewi malam
aku gemetar melihat cerdasmu
aku duduk lemas mengagumi bentuk bibirmu ketika kau serempetkan peluru cerita-cerita hidupmu
dan dengan rindu aku tuliskan sajak ini pada kertas kusam milik tukang mie ayam
lalu apakah cinta menjadi serius seakan mendekap udara malam
dan berkelahi dengan seribu dewa di atas gunung tangkuban perahu?
Ah, bagiku cinta dibangun oleh hal-hal sederhana
tentang kau yang menceritakan keluh kerjamu
tentang halaman yang kotor tiada tersapu
tentang cara makanku yang berbunyi
atau terlambatku menjemputmu
Cintaku padamu memang sederhana
sesederhana paku-paku air hujan tumpah ke bumi dan menjadi pelana rumput merah di halaman
tumbuh pelan tanpa ragu.
Aku tidak mungkin membangun cinta ini seperti Taj Mahal dalam pikiranmu
Tak mungkin juga dibentuk oleh kesetiaan para Nabi yang menjaga waktu
karena aku tidak hidup di taman para Nabi, aku hanya hidup pada hari-harimu.
godaan kerap datang, lupa kadang menjadi teman
tapi toh hidup adalah cinta yang kutanam pada batu-batu menuju rumah hatimu
aku tak mungkin lekang, lepas dari cintamu
selama matamu masih seperti sayap-sayap merpati yang memamerkan ototnya
atau angsa yang merebahkan dada di punggung kali sawah
maka tali cinta kita seperti novel yang tak pernah usai.
Dengan sajak yang kutuliskan pada kertas pinjaman tukang mie ayam
kugubah namamu seperti Juwita Malam
ditengah kereta senja
matamu bulat seperti mata bola.
Ya, aku mencintaimu
tapi dengan cara yang sederhana.
Pernahkah kau tersenyum dalam hidupmu
...sekali saja
sekedar mentertawai apa yang kita anggap lalu
tanpa kita toleh atau kita kejap-kejapkan mata
tertawalah dengan ringan
maka hidup bisa kau terbangkan ke awan-awan
Cinta ini memang kutuliskan ketika aku mengudap mie ayam
wajahmu menari seperti lukisan picasso yang tertimpa matahari sore, lembut dan menyenangkan
kubus-kubus membentuk harapan, ketidakteraturan membangun keinginan
Aku mau mancung hidungmu
atau indah rambutmu, rambut yang tumbuh karena belaian dewi malam
aku gemetar melihat cerdasmu
aku duduk lemas mengagumi bentuk bibirmu ketika kau serempetkan peluru cerita-cerita hidupmu
dan dengan rindu aku tuliskan sajak ini pada kertas kusam milik tukang mie ayam
lalu apakah cinta menjadi serius seakan mendekap udara malam
dan berkelahi dengan seribu dewa di atas gunung tangkuban perahu?
Ah, bagiku cinta dibangun oleh hal-hal sederhana
tentang kau yang menceritakan keluh kerjamu
tentang halaman yang kotor tiada tersapu
tentang cara makanku yang berbunyi
atau terlambatku menjemputmu
Cintaku padamu memang sederhana
sesederhana paku-paku air hujan tumpah ke bumi dan menjadi pelana rumput merah di halaman
tumbuh pelan tanpa ragu.
Aku tidak mungkin membangun cinta ini seperti Taj Mahal dalam pikiranmu
Tak mungkin juga dibentuk oleh kesetiaan para Nabi yang menjaga waktu
karena aku tidak hidup di taman para Nabi, aku hanya hidup pada hari-harimu.
godaan kerap datang, lupa kadang menjadi teman
tapi toh hidup adalah cinta yang kutanam pada batu-batu menuju rumah hatimu
aku tak mungkin lekang, lepas dari cintamu
selama matamu masih seperti sayap-sayap merpati yang memamerkan ototnya
atau angsa yang merebahkan dada di punggung kali sawah
maka tali cinta kita seperti novel yang tak pernah usai.
Dengan sajak yang kutuliskan pada kertas pinjaman tukang mie ayam
kugubah namamu seperti Juwita Malam
ditengah kereta senja
matamu bulat seperti mata bola.
Ya, aku mencintaimu
tapi dengan cara yang sederhana.
Sunday, 25 October 2009
Pelabuhan Kecilku
Pelabuhan Kecilku
by.
Anton Djakarta
Dulu dirimu seperti pelabuhan kecil
sampan-sampan kayu bersauh
layar-layar tambalan koyak nelayan menaruh harapan pada ikan-ikan tangkapan
dirimu pelabuhan kecil yang mungil
dengan dermaga kayu berjajar mengatasi ombak, memotong angin.
Dulu dirimu seperti pelabuhan kecil
dimana cakrawala di atas rumah penjaga lautan memerahkan senja
dan angin sore menghujani kepala
sejuk dan nyaman
memeluk dirimu berjam-jam tanpa lupa cinta yang dibina
Dulu dirimu seperti pelabuhan kecil
tanganmu halus kulembut seperti arus kali yang menghangatkan batu-batu
Pelabuhan kecil
tempat nelayan menaruh jaring dan mengait-ngait kayu untuk keramba
membina harapan dengan merajut senar-senar agar bisa menangkap ikan-ikan laut
tempat dimana keluarga bisa dibentuk
tempat dimana aku bisa keluar dari angin badai masa silam
Pelabuhan kecil kini sudah mati
karena tidak ada kesetiaan dan kepala batu
kadang-kadang sikap keras perlu
untuk percaya bahwa cinta bisa dilanjutkan
Pelabuhan kecil porak tempatnya
hancur menjadi puing-puing
hanya puisi yang bisa dikenang
tentang pelabuhan kecil yang nyaman................
Sajak Orang Tua di Bawah Pohon
Inilah sajakku,
seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,
dengan kedua tangan kugendong di belakang,
dan rokok kretek yang padam di mulutku.
Aku memandang zaman.
Aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh merk asing,
dan jalan-jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
Aku meludah di atas tanah.
Aku berdiri di muka kantor polisi.
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
punuh debu,
penuh kucing-kucing liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.
Aku berjalan menempuh matahari,
menyusuri jalan sejarah pembangunan,
yang kotor dan penuh penipuan.
Aku mendengar orang berkata :
"Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana.
Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,
kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.
Mengatasi kemiskinan
meminta pengorbanan sedikit hak asasi"
Astaga, tahi kerbo apa ini !
Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ?
Di negeri ini hak asasi dikurangi,
justru untuk membela yang mapan dan kaya.
Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa,
dibikin tak berdaya.
O, kepalsuan yang diberhalakan,
berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.
Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan.
Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.
Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?
Apakah kata nurani kemanusiaan ?
O, Senjakala yang menyala !
Singkat tapi menggetarkan hati !
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang !
O, gambaran-gambaran yang fana !
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.
seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,
dengan kedua tangan kugendong di belakang,
dan rokok kretek yang padam di mulutku.
Aku memandang zaman.
Aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh merk asing,
dan jalan-jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
Aku meludah di atas tanah.
Aku berdiri di muka kantor polisi.
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
punuh debu,
penuh kucing-kucing liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.
Aku berjalan menempuh matahari,
menyusuri jalan sejarah pembangunan,
yang kotor dan penuh penipuan.
Aku mendengar orang berkata :
"Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana.
Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,
kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.
Mengatasi kemiskinan
meminta pengorbanan sedikit hak asasi"
Astaga, tahi kerbo apa ini !
Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ?
Di negeri ini hak asasi dikurangi,
justru untuk membela yang mapan dan kaya.
Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa,
dibikin tak berdaya.
O, kepalsuan yang diberhalakan,
berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.
Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan.
Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.
Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?
Apakah kata nurani kemanusiaan ?
O, Senjakala yang menyala !
Singkat tapi menggetarkan hati !
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang !
O, gambaran-gambaran yang fana !
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.
Sajak Kenalan Lama
Kini kita saling berpandangan saudara.
Ragu-ragu apa pula,
kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
tergencet oleh penumpang berjubel,
Dari Yogya ke Jakarta,
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran,
sambil memeluk satu anakmu,
sementara istrimu meneteki bayinya,
terbaring di sebelahmu.
Pernah pula kita satu truk,
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama kaget,
ketika truk tiba-tiba terhenti
kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak resmi.
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan raya.
…………………............
Hidup macam apa ini !
Orang-orang dipindah kesana ke mari.
Bukan dari tujuan ke tujuan.
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.
………….............
Kini kita bersandingan, saudara.
Kamu kenal bau bajuku.
Jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Waktu itu hujan rinai.
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
tepat pada waktu kamu juga menariknya.
Kita saling berpandangan.
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
Aku membuka mulut,
hendak berkata sesuatu……
Tak sempat !
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
aku melihat kamu
membawa helaian plastik itu
ke satu gubuk karton.
Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
Sebungkus nasi yang dicuri,
itulah santapan.
Kolong kios buku di terminal
itulah peraduan.
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
karena kita anak jadah bangsa yang mulia.
…………..........
Hidup macam apa hidup ini.
Di taman yang gelap orang menjual badan,
agar mulutnya tersumpal makan.
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
agar pantatnya diganjal sedan.
……...........
Duabelas pasang payudara gemerlapan,
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
Dan di bawah semuanya,
celana dalam sutera warna kesumba.
Ya, saudara,
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
Ragu-ragu apa pula
kita memang pernah berjumpa.
Kita telah menyaksikan,
betapa para pembesar
menjilati selangkang wanita,
sambil kepalanya diguyur anggur.
Ya, kita sama-sama germo,
yang menjahitkan jas di Singapura
mencat rambut di pangkuan bintang film,
main golf, main mahyong,
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.
…….....
Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan……
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban fatamorgana.
……….
Ayo, jangan lagi sangsi,
kamu kenal suara batukku.
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
bergiliran meniduri gula-gulanya,
dan mengintip ibumu main serong
dengan ajudan ayahmu.
Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
di samping kere di Malioboro.
Kita alami semua ini,
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
…..
Hidup melayang-layang.
Selangit,
melayang-layang.
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
meninggi…. Ke awan……
Peraturan dan hukuman,
kitalah yang empunya.
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
di atas sol sepatu kita.
Kitalah gelandangan kaya,
yang perlu meyakinkan diri
dengan pembunuhan.
…........
Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
Kini kita bertemu lagi.
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Bukankah tadi telah kamu kenal
betapa derap langkahku ?
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakari mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
Kita telah sama-sama merancang strategi
di panti pijit dan restoran.
Dengan arloji emas,
secara teliti kita susun jadwal waktu.
Bergadang, berunding di larut kelam,
sambil mendekap hostess di kelab malam.
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.
Politik adalah cara merampok dunia.
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
Dan bila ada orang banyak bacot,
kita cap ia sok pahlawan.
…..........................
Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
Di hari-hari yang berat,
aku cari kacamataku,
dan tidak ketemu.
……............
Ya, inilah aku ini !
Jangan lagi sangsi !
Inilah bau ketiakku.
Inilah suara batukku.
Kamu telah menjamahku,
jangan lagi kamu ragau.
Kita telah sama-sama berdiri di sini,
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
gunung yang kelabu membara,
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
di putar blue-film di dalamnya.
…………………
Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.
Suara-suara di kolong meja.
Suara-suara di dalam lacu.
Suara-suara di dalam pici.
Dan akhirnya
dunia terbakar oleh tatawarna,
Warna-warna nilon dan plastik.
Warna-warna seribu warna.
Tidak luntur semuanya.
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
dari suatu kejadian,
yang kita tidak tahu apa-apa,
namun lahir dari perbuatan kita.
Yogyakarta, 21 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
Ragu-ragu apa pula,
kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
tergencet oleh penumpang berjubel,
Dari Yogya ke Jakarta,
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran,
sambil memeluk satu anakmu,
sementara istrimu meneteki bayinya,
terbaring di sebelahmu.
Pernah pula kita satu truk,
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama kaget,
ketika truk tiba-tiba terhenti
kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak resmi.
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan raya.
…………………............
Hidup macam apa ini !
Orang-orang dipindah kesana ke mari.
Bukan dari tujuan ke tujuan.
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.
………….............
Kini kita bersandingan, saudara.
Kamu kenal bau bajuku.
Jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Waktu itu hujan rinai.
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
tepat pada waktu kamu juga menariknya.
Kita saling berpandangan.
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
Aku membuka mulut,
hendak berkata sesuatu……
Tak sempat !
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
aku melihat kamu
membawa helaian plastik itu
ke satu gubuk karton.
Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
Sebungkus nasi yang dicuri,
itulah santapan.
Kolong kios buku di terminal
itulah peraduan.
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
karena kita anak jadah bangsa yang mulia.
…………..........
Hidup macam apa hidup ini.
Di taman yang gelap orang menjual badan,
agar mulutnya tersumpal makan.
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
agar pantatnya diganjal sedan.
……...........
Duabelas pasang payudara gemerlapan,
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
Dan di bawah semuanya,
celana dalam sutera warna kesumba.
Ya, saudara,
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
Ragu-ragu apa pula
kita memang pernah berjumpa.
Kita telah menyaksikan,
betapa para pembesar
menjilati selangkang wanita,
sambil kepalanya diguyur anggur.
Ya, kita sama-sama germo,
yang menjahitkan jas di Singapura
mencat rambut di pangkuan bintang film,
main golf, main mahyong,
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.
…….....
Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan……
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban fatamorgana.
……….
Ayo, jangan lagi sangsi,
kamu kenal suara batukku.
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
bergiliran meniduri gula-gulanya,
dan mengintip ibumu main serong
dengan ajudan ayahmu.
Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
di samping kere di Malioboro.
Kita alami semua ini,
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
…..
Hidup melayang-layang.
Selangit,
melayang-layang.
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
meninggi…. Ke awan……
Peraturan dan hukuman,
kitalah yang empunya.
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
di atas sol sepatu kita.
Kitalah gelandangan kaya,
yang perlu meyakinkan diri
dengan pembunuhan.
…........
Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
Kini kita bertemu lagi.
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Bukankah tadi telah kamu kenal
betapa derap langkahku ?
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakari mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
Kita telah sama-sama merancang strategi
di panti pijit dan restoran.
Dengan arloji emas,
secara teliti kita susun jadwal waktu.
Bergadang, berunding di larut kelam,
sambil mendekap hostess di kelab malam.
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.
Politik adalah cara merampok dunia.
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
Dan bila ada orang banyak bacot,
kita cap ia sok pahlawan.
…..........................
Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
Di hari-hari yang berat,
aku cari kacamataku,
dan tidak ketemu.
……............
Ya, inilah aku ini !
Jangan lagi sangsi !
Inilah bau ketiakku.
Inilah suara batukku.
Kamu telah menjamahku,
jangan lagi kamu ragau.
Kita telah sama-sama berdiri di sini,
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
gunung yang kelabu membara,
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
di putar blue-film di dalamnya.
…………………
Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.
Suara-suara di kolong meja.
Suara-suara di dalam lacu.
Suara-suara di dalam pici.
Dan akhirnya
dunia terbakar oleh tatawarna,
Warna-warna nilon dan plastik.
Warna-warna seribu warna.
Tidak luntur semuanya.
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
dari suatu kejadian,
yang kita tidak tahu apa-apa,
namun lahir dari perbuatan kita.
Yogyakarta, 21 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
Sajak Sebotol Bir (WS Rendra)
Menenggak bir sebotol,
menatap dunia,
dan melihat orang-orang kelaparan.
Membakar dupa,
mencium bumi,
dan mendengar derap huru-hara.
Hiburan kota besar dalam semalam,
sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !
Peradaban apakah yang kita pertahankan ?
Mengapa kita membangun kota metropolitan ?
dan alpa terhadap peradaban di desa ?
Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,
dan tidak kepada pengedaran ?
Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
Kota metropolitan di sini,
adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,
Australia, dan negara industri lainnya.
Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ?
Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?
Kini telah terlantarkan.
Menjadi selokan atau kubangan.
Jalanlalu lintas masa kini,
mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,
adalah alat penyaluran barang-barang asing dari
pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan
bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.
Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,
tidak untuk petani,
tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.
Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.
Di mana kita hanya mampu berak dan makan,
tanpa ada daya untuk menciptakan.
Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?
Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ?
Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik
yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan……..
harus senantiasa menghasilkan….
Dan akhirnya memaksa negara lain
untuk menjadi pasaran barang-barang kita ?
…………………………….
Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ?
Apakah pemikiran ekonomi kita
hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?
Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?
Apakah kita akan hanyut saja
di dalam kekuatan penumpukan
yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan
terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?
……………………………….
Kita telah dikuasai satu mimpi
untuk menjadi orang lain.
Kita telah menjadi asing
di tanah leluhur sendiri.
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
dan menghamba ke Jakarta.
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
dan menghamba kepada Jepang,
Eropa, atau Amerika.
menatap dunia,
dan melihat orang-orang kelaparan.
Membakar dupa,
mencium bumi,
dan mendengar derap huru-hara.
Hiburan kota besar dalam semalam,
sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !
Peradaban apakah yang kita pertahankan ?
Mengapa kita membangun kota metropolitan ?
dan alpa terhadap peradaban di desa ?
Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,
dan tidak kepada pengedaran ?
Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
Kota metropolitan di sini,
adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,
Australia, dan negara industri lainnya.
Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ?
Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?
Kini telah terlantarkan.
Menjadi selokan atau kubangan.
Jalanlalu lintas masa kini,
mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,
adalah alat penyaluran barang-barang asing dari
pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan
bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.
Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,
tidak untuk petani,
tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.
Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.
Di mana kita hanya mampu berak dan makan,
tanpa ada daya untuk menciptakan.
Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?
Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ?
Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik
yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan……..
harus senantiasa menghasilkan….
Dan akhirnya memaksa negara lain
untuk menjadi pasaran barang-barang kita ?
…………………………….
Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ?
Apakah pemikiran ekonomi kita
hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?
Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?
Apakah kita akan hanyut saja
di dalam kekuatan penumpukan
yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan
terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?
……………………………….
Kita telah dikuasai satu mimpi
untuk menjadi orang lain.
Kita telah menjadi asing
di tanah leluhur sendiri.
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
dan menghamba ke Jakarta.
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
dan menghamba kepada Jepang,
Eropa, atau Amerika.
Sajak SMA.... (WS Rendra)
Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya
Bagaimana itu mungkin ?
Itu mungkin.
Karena tidak ada patokan untuk apa saja.
Semua boleh. Semua tidak boleh.
Tergantung pada cuaca.
Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.
Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.
Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.
Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.
Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.
Dan juga ingin jaminan pil penenang,
tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.
Maka berkatalah ia
Kepada orang tua murid-muridnya :
“Kita bisa mengubah keadaan.
Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
terpandang di antara tetangga,
boleh dibanggakan pada kakak mereka.
Soalnya adalah kerjasama antara kita.
Jangan sampai kerjaku terganggu,
karna atap bocor.”
Dan papa-papa semua senang.
Di pegang-pegang tangan ibu guru,
dimasukan uang ke dalam genggaman,
serta sambil lalu,
di dalam suasana persahabatan,
teteknya disinggung dengan siku.
Demikianlah murid-murid mengintip semua ini.
Inilah ajaran tentang perundingan,
perdamaian, dan santainya kehidupan.
Ibu guru berkata :
“Kemajuan akan berjalan dengan lancar.
Kita harus menguasai mesin industri.
Kita harus maju seperti Jerman,
Jepang, Amerika.
Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma.”
Murid-murid tertawa,
dan mengeluarkan rokok mereka.
“Karena mengingat kesopanan,
jangan kalian merokok.
Kelas adalah ruangbelajar.
Dan sekarang : daftar logaritma !”
Murid-murid tertawa dan berkata :
“Kami tidak suka daftar logaritma.
Tidak ada gunanya !”
“kalian tidak ingin maju ?”
“Kemajuan bukan soal logaritma.
Kemajuan adalah soal perundingan.”
“Jadi apa yang kaian inginkan ?”
“Kami tidak ingin apa-apa.
Kami sudah punya semuanya.”
“Kalian mengacau !”
“Kami tidak mengacau.
Kami tidak berpolitik.
Kami merokok dengan santai.
Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka :
santai, tanpa politik
berunding dengan Cina
berunding dengan Jepang
menciptakan suasana girang.
Dan di saat ada pemilu,
kami membantu keamanan,
meredakan partai-partai.”
Murid-murid tertawa.
Mereka menguasai perundingan.
Ahli lobbying.
Faham akan gelagat.
Pandai mengikuti keadaan.
Mereka duduk di kantin,
minum sitrun,
menghindari ulangan sejarah.
Mereka tertidur di bangku kelas,
yang telah mereka bayar sama mahal
seperti sewa kamar di hotel.
Sekolah adalah pergaulan,
yang ditentukan oleh mode,
dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan.
Dan bila ibu guru berkata :
“Keluarkan daftar logaritma !”
Murid-murid tertawa.
Dan di dalam suasana persahabatan,
mereka mengobel ibu guru mereka.
Yogya, 22 Juni 1977.
Potret Pembangunan dalam Puisi
Bagaimana itu mungkin ?
Itu mungkin.
Karena tidak ada patokan untuk apa saja.
Semua boleh. Semua tidak boleh.
Tergantung pada cuaca.
Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.
Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.
Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.
Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.
Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.
Dan juga ingin jaminan pil penenang,
tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.
Maka berkatalah ia
Kepada orang tua murid-muridnya :
“Kita bisa mengubah keadaan.
Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
terpandang di antara tetangga,
boleh dibanggakan pada kakak mereka.
Soalnya adalah kerjasama antara kita.
Jangan sampai kerjaku terganggu,
karna atap bocor.”
Dan papa-papa semua senang.
Di pegang-pegang tangan ibu guru,
dimasukan uang ke dalam genggaman,
serta sambil lalu,
di dalam suasana persahabatan,
teteknya disinggung dengan siku.
Demikianlah murid-murid mengintip semua ini.
Inilah ajaran tentang perundingan,
perdamaian, dan santainya kehidupan.
Ibu guru berkata :
“Kemajuan akan berjalan dengan lancar.
Kita harus menguasai mesin industri.
Kita harus maju seperti Jerman,
Jepang, Amerika.
Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma.”
Murid-murid tertawa,
dan mengeluarkan rokok mereka.
“Karena mengingat kesopanan,
jangan kalian merokok.
Kelas adalah ruangbelajar.
Dan sekarang : daftar logaritma !”
Murid-murid tertawa dan berkata :
“Kami tidak suka daftar logaritma.
Tidak ada gunanya !”
“kalian tidak ingin maju ?”
“Kemajuan bukan soal logaritma.
Kemajuan adalah soal perundingan.”
“Jadi apa yang kaian inginkan ?”
“Kami tidak ingin apa-apa.
Kami sudah punya semuanya.”
“Kalian mengacau !”
“Kami tidak mengacau.
Kami tidak berpolitik.
Kami merokok dengan santai.
Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka :
santai, tanpa politik
berunding dengan Cina
berunding dengan Jepang
menciptakan suasana girang.
Dan di saat ada pemilu,
kami membantu keamanan,
meredakan partai-partai.”
Murid-murid tertawa.
Mereka menguasai perundingan.
Ahli lobbying.
Faham akan gelagat.
Pandai mengikuti keadaan.
Mereka duduk di kantin,
minum sitrun,
menghindari ulangan sejarah.
Mereka tertidur di bangku kelas,
yang telah mereka bayar sama mahal
seperti sewa kamar di hotel.
Sekolah adalah pergaulan,
yang ditentukan oleh mode,
dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan.
Dan bila ibu guru berkata :
“Keluarkan daftar logaritma !”
Murid-murid tertawa.
Dan di dalam suasana persahabatan,
mereka mengobel ibu guru mereka.
Yogya, 22 Juni 1977.
Potret Pembangunan dalam Puisi
Sajak Orang Kepanasan (WS Rendra)
karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu .....
karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan .....
maka kita bukan sekutu
karena kami kucel
dan kamu gemerlapan .....
karena kami sumpeg
dan kamu mengunci pintu .....
maka kami mencurigaimu
karena kami terlantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan .....
karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar .....
maka kami tidak menyukaimu
karena kami dibungkam
dan kamu nrocos bicara .....
karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan .....
maka kami bilang TIDAK kepadamu
karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana .....
karena kami cuma bersandal
dan kamu bebas memakai senapan .....
karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara .....
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu
karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu
dan terigu menumpuk di gudangmu .....
karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan .....
maka kita bukan sekutu
karena kami kucel
dan kamu gemerlapan .....
karena kami sumpeg
dan kamu mengunci pintu .....
maka kami mencurigaimu
karena kami terlantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan .....
karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar .....
maka kami tidak menyukaimu
karena kami dibungkam
dan kamu nrocos bicara .....
karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan .....
maka kami bilang TIDAK kepadamu
karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana .....
karena kami cuma bersandal
dan kamu bebas memakai senapan .....
karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara .....
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu
karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu
Sajak Sebatang Lisong (WS Rendra)
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi
Sajak Orang Tua Pada Isterinya (WS Rendra)
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972
Sajak Merayu Maryam Supraba
by. Anton Djakarta
Mei, aku tau kamu tak suka kata-kata yang bermain di halaman lumpur
kamu menyukai bunga tapi kamu juga suka gitar yang ditaruh pada jalan-jalan kota
flamboyan yang tumbuh di perempatan dago
manggut-manggut mencari angin, resah menyapa pada buah-buah malam
dan satu-pun tak bisa kudengar dari rintihan kecapi yang dipetik pelan-pelan
aku melihatmu tertawa dan menari
pada sudut belokan jalan tamansari sambil menyanyi folk
badanmu yang kurus itu menyetel bulan sehingga malam berputar-putar.. cihui, riang gembira
Mei, sajak ini sajak murahan
tak apalah menjadi tumpukan kertas yang memberatkan tinta-tinta
sedikit bualan menimpa sunyi. Malam berhenti dan kata-kata ini menabrak logika kosong
tapi ini adalah mantra rayuan
untuk membuat hatimu takluk seperti Suminten Edan
yang jimatnya dipasang pada sudut mata kananku, dengan susuk berlian kubeli dua ratus ribu perak pada dukun di pinggir sawah.
Mata kusam...Mata hutan, aku sudah lama merekrut kesaktian buta-buta wayang
tapi aku adalah sukrasana yang membuat taman sriwedari, hanya untukmu Mei
sambil kujalin bunga-bunga dan bunga-bunga itu menjadi buku-buku bekas dari pasar loakan inilah hadiah paling indah untukmu, kusajikan sebagai aji-aji agar dirimu runtuh dan secepat daun beringin jatuh, kau memuja aku.
O, Mei
Bulan retak di pinggir kali
janda-janda menari
republik ini berdiri
tapi kok yang kaya para menteri
ah, buat apa memikirkan negeri yang seperti buaya mati
kalau masih ada kamu, Mei
O, Mei
Wajahmu itu punya siapa
mewarisi kecantikan siapa
kulitmu hitam seperti Sembadra
hidungmu bangir seperti banowati
dan lincahmu bagai srikandi terserempet panah bisma
Rerata tanah dua terbilang, dari buku-buku catatan harian semasa SMA
Matahari menjadi jaring-jaring
dan jaring-jaring gagal menebak masa depan
Diamku menarik rindu
dan kamu menari diatas kertas-kertas puisi ini, sambil mendengarkan tuts-tuts piano mendentingkan suara sautan jazz negro yang hidupnya dijeruji
Rayuan ini seperti peluru
peluru yang macet di ujung kokang
lidahku kelu
untuk sekali lagu merayu
bumi gempa
cakrawala tak lagi menjadi alam keberanian
dan kata-kata bukanlah pelaksanaan perdjoangan
perjuangan sudah mati
dari jaman silam
tapi untukmu, Mei
tak boleh satu senti-pun perjuangan mati
Mei, Wajahmu manis semanis coklat swiss
senyummu seindah barisan kata proklamasi empat lima
dan hidupmu semisteri narasi gestapu enam lima
tapi percayalah Mei
aku tidak berjanji seperti Presiden di jaman Pemilu
aku berjanji seperti tukang kredit panci yang akan datang tepat waktu
mencari cintamu.......
Pucuk-pucuk cemara, daun jati berwarna kesumba
malam legit tak pernah puasa, memuja wajah dengan kecantikan Supraba
Aku bukanlah arjuna, yang mampu merayu setiap anak resi
Aku hanya secuil berahi begawan Wisrawa, yang menjadi awal hebatnya cinta Rahwana......
Mei, aku duduk menontonmu
menari-nari dengan tubuh kurusmu, dan batara narada menggoyang-goyangkan pantatnya
lalu Neptunus menolak menjaga samudera dan datang ke tanah Jawa
hanya untuk memainkan tabla, mengiringi kamu menjura-jura
Mei, inilah rayuanku
jilid nanti mungkin puisiku hanya pelangi yang dicoret-coret anak TK menjadi lukisan Affandi
lalu korator cinta menggiling harga
sampai aku tak bisa menyentuh kulitmu, Mei
seperti Ateng merayu Mutiara Sani pada film-film jaman dulu......
Inilah sajak rayuanku
kutulis ketika semangkuk mie ayam Pasar Baru sudah kutelan bulat-bulat
sambil mendengar tukang parkir berteriak....Kiri Jalan Terus.......
Jakarta, 25 Oktober 2009.
Mei, aku tau kamu tak suka kata-kata yang bermain di halaman lumpur
kamu menyukai bunga tapi kamu juga suka gitar yang ditaruh pada jalan-jalan kota
flamboyan yang tumbuh di perempatan dago
manggut-manggut mencari angin, resah menyapa pada buah-buah malam
dan satu-pun tak bisa kudengar dari rintihan kecapi yang dipetik pelan-pelan
aku melihatmu tertawa dan menari
pada sudut belokan jalan tamansari sambil menyanyi folk
badanmu yang kurus itu menyetel bulan sehingga malam berputar-putar.. cihui, riang gembira
Mei, sajak ini sajak murahan
tak apalah menjadi tumpukan kertas yang memberatkan tinta-tinta
sedikit bualan menimpa sunyi. Malam berhenti dan kata-kata ini menabrak logika kosong
tapi ini adalah mantra rayuan
untuk membuat hatimu takluk seperti Suminten Edan
yang jimatnya dipasang pada sudut mata kananku, dengan susuk berlian kubeli dua ratus ribu perak pada dukun di pinggir sawah.
Mata kusam...Mata hutan, aku sudah lama merekrut kesaktian buta-buta wayang
tapi aku adalah sukrasana yang membuat taman sriwedari, hanya untukmu Mei
sambil kujalin bunga-bunga dan bunga-bunga itu menjadi buku-buku bekas dari pasar loakan inilah hadiah paling indah untukmu, kusajikan sebagai aji-aji agar dirimu runtuh dan secepat daun beringin jatuh, kau memuja aku.
O, Mei
Bulan retak di pinggir kali
janda-janda menari
republik ini berdiri
tapi kok yang kaya para menteri
ah, buat apa memikirkan negeri yang seperti buaya mati
kalau masih ada kamu, Mei
O, Mei
Wajahmu itu punya siapa
mewarisi kecantikan siapa
kulitmu hitam seperti Sembadra
hidungmu bangir seperti banowati
dan lincahmu bagai srikandi terserempet panah bisma
Rerata tanah dua terbilang, dari buku-buku catatan harian semasa SMA
Matahari menjadi jaring-jaring
dan jaring-jaring gagal menebak masa depan
Diamku menarik rindu
dan kamu menari diatas kertas-kertas puisi ini, sambil mendengarkan tuts-tuts piano mendentingkan suara sautan jazz negro yang hidupnya dijeruji
Rayuan ini seperti peluru
peluru yang macet di ujung kokang
lidahku kelu
untuk sekali lagu merayu
bumi gempa
cakrawala tak lagi menjadi alam keberanian
dan kata-kata bukanlah pelaksanaan perdjoangan
perjuangan sudah mati
dari jaman silam
tapi untukmu, Mei
tak boleh satu senti-pun perjuangan mati
Mei, Wajahmu manis semanis coklat swiss
senyummu seindah barisan kata proklamasi empat lima
dan hidupmu semisteri narasi gestapu enam lima
tapi percayalah Mei
aku tidak berjanji seperti Presiden di jaman Pemilu
aku berjanji seperti tukang kredit panci yang akan datang tepat waktu
mencari cintamu.......
Pucuk-pucuk cemara, daun jati berwarna kesumba
malam legit tak pernah puasa, memuja wajah dengan kecantikan Supraba
Aku bukanlah arjuna, yang mampu merayu setiap anak resi
Aku hanya secuil berahi begawan Wisrawa, yang menjadi awal hebatnya cinta Rahwana......
Mei, aku duduk menontonmu
menari-nari dengan tubuh kurusmu, dan batara narada menggoyang-goyangkan pantatnya
lalu Neptunus menolak menjaga samudera dan datang ke tanah Jawa
hanya untuk memainkan tabla, mengiringi kamu menjura-jura
Mei, inilah rayuanku
jilid nanti mungkin puisiku hanya pelangi yang dicoret-coret anak TK menjadi lukisan Affandi
lalu korator cinta menggiling harga
sampai aku tak bisa menyentuh kulitmu, Mei
seperti Ateng merayu Mutiara Sani pada film-film jaman dulu......
Inilah sajak rayuanku
kutulis ketika semangkuk mie ayam Pasar Baru sudah kutelan bulat-bulat
sambil mendengar tukang parkir berteriak....Kiri Jalan Terus.......
Jakarta, 25 Oktober 2009.
Saturday, 24 October 2009
Sajakku Sajak Kemarahan
Sajak Kemarahan
Anton Djakarta
Gending ini sudah tamat riwayat, tak bisa aku memaknai tak pula aku mengerti
Kias-Kias orang Jawa memainkan musik liwat hati sudah mampus digilasi jaman modal
jaman modal, jaman dangkal tak ada lagi renungan dalam-dalam tentang rumput yang dibasahi air bulan atau tentang kehidupan manusia yang terbungkuk dihantam berkarung-karung gabah
Ini hari kita liat, petani tidak berhak atas tanah sawahnya
Buruh tani sudah ada lima generasi menonton tanah yang dulu digergaji buyutnya, tanah sawah sudah milik haji kaya atau pemodal saham yang beruntung juta-juta
nelayan tidak ada solar dan menyewa kapal dari orang kota bermodal
kaum buruh hidup dari jam-jaman dan tidak lagi bisa mengerti kenapa dia harus bekerja
Kaum modal memanjakan anaknya ke luar negeri dan barter dengan Presiden sampai Bupati
Buat apa negeri ini merdeka bila hanya kaum penggede yang berkitaran pada Sukarno merampas tanah dan rumah di seputaran Menteng dari tangan Belanda lalu berlagak menjadi priyayi kampungan yang ujungnya mengentuti pantat rakyat.
Buat apa negeri ini ada bila guru-guru di kemudian waktu menjadi buruh kapur yang hanya terima sogokan orang tua murid kaya.
Buat apa negeri ini membangun kecerdasan bila gelar sarjana tak lebih berbunyi dari ijasah sah keraton sebagai penancap status sosial dan menjadi sarjana bila tak pernah satu pun buku dibaca.
Buat apa negeri ini menghasilkan intelektual bila dosennya sudah melacurkan telanjang bulat-bulat demi transfer imbal konsultasi menghitung angka-angka kekuasaan lalu berkata : “Kamilah Agen Kemenangan Anda untuk meraih kekuasaan” Dengan bangga watak rendahan menjadi makelar kekuasaan diiklankan di koran-koran.
Dulu Partai-Partai menjadi penggerak suara rakyat
sungguh-sungguh menjadi mesin kebudayaan mengenalkan suara ideologi
Masjumi, NU, PKI, PNI, Murba, PSI
bukan saja alat politik tapi alat gerak peradaban
Tapi memang keputusan bejat fusi 1973 menjadi awal mula kehancuran
Partai yang dulu menjadi alat kebudayaan dan ukuran-ukuran ideologis tak lebih dari agen-agen perekrut massa yang hanya disuruh menyanyi dangdut di lapangan.
Partai-partai dihari ini hanya menjadi Perusahaan Terbatas liwat Notaris Mendagri
Dengan beslit Mendagri Partai menjadi alat modal, dan modal selalu berjarak dengan rakyat
Lalu lewat kekuasaan dan modal merekrut para pesohor dan pesolek untuk dijadikan wakil rakyat
Badut-badut televisi dikumpulkan lalu disuruh tertawa di depan meja parlemen
Persoalan rakyat bukan persoalan penting
Cukuplah rakyat diberi hiburan sinetron, ajang cari jodoh, sulap jalanan atau tebak lagu maka persoalan itu menjadi beres. Sejarah negeri ini dibangun dengan semangat filsafat tapi berakhir seperti orang kesrakat.
Apa yang kita lihat di hari-hari ini adalah lelucon tanpa musabab
Demokrasi menari-nari seakan sudah menjadi ruang kebenaran, matahari kesadaran lenyap sudah digantikan proyek-proyek pengadaan
Parlemen menjadi pasar malam, komidi putar menari-nari diatas ribuan saran tumpukan bundel-bundel regulasi
Tawar-menawar komisi, gratifikasi dan uang lelah adalah keringat bernanah yang sudah diwarisi sejak jaman kakek nenek dulu menjilati pantat Belanda dan Djepang.
Raja-Raja Jawa yang edan sejak jaman Giyanti
Semakin sinting ketika pabrik-pabrik gula dibangun dan tak merasa bersalah melihat petani-petani yang punya sawah gembur dipaksa mengganti ladang-ladang tebu dicambuki pecut pari lalu hanya melahirkan generasi babu,
Raja Jawa dengan tingkah biadab mewarisi watak bejat ke pejabat kita sekarang,
Raja-Raja warisan Giyanti boleh naik ke langit Imogiri tapi watak bajingannya sudah menjadi karat dalam kalimat buku-buku adat.
Adat birokrasi, adalah adat dengan harga mati
Seribu Revolusi tak bisa menembus watak-watak ini
Birokrasi kita dibangun dari candi-candi batu hasil korupsi
Malam ini, Malam kemarin dan Malam Depan Sudah jadi kekacauan
Hidup bukan saja entropi tapi kekacauan yang berjiwa
Suharto boleh saja mati tapi bukan alam pikirannya, alam pikiran Suharto adalah alam pikiran yang hidup..sehidup-hidupnya, boleh saja kita memaki-maki Suharto sampai berak dicelana, tapi tingkah laku kita menjadi plagiat paling persis dari pribadinya.
Ya, Negeri ini dari dulu dijiwai kekacauan
Agama menjadi mainan, halal-haram dijadikan alat modal dan cukuplah kita lancar mengucap ayat maka bersihlah jalan hidup kita. Cukuplah kita lancar mengucapkan salam dan pandai melawak maka agama menjadi bahan cari duit dan laku di televisi-televisi
Bulan Puasa bukan lagi jaman menderas ayat-ayat suci Al Qur'an lalu memaknai sejarah hubungan Tuhan dan manusia tapi diredusir serendah banyolan-banyolan di waktu sahur.
Sajak ini bukan sajak revolusi sosial
karena sudahlah mati revolusi sosial, para pemimpin revolusi tak kuat lagi menahan berahi
bermain-main api rakyat jua yang mati
tak mungkin lagi ada sejarah yang dibangun dengan darah kesadaran kerna rakyat sudah diajari bagaimana enaknya kencing di muka umum tanpa malu.
Sejarah kita adalah sejarah pengulangan, pengulangan dari ketololan
Sumpah Pemuda, Proklamasi, Revolusi Sukarno, Demonstrasi 66 sampai Jaman Reformasi hanya melahirkan pejabat-pejabat
rakyat tak pernah dilibatkan dalam sejarah, karena toh kita dibajaki alam pikiran wayang yang tak kenal dunia rakyat, ngurusi rakyat tak ada duit, lebih baik kita jilati pantat anak-anak pejabat maka duit datang seperti kena jimat.
Dunia ini hanya 'sementara' mung mampir ngombe.... kata orang Jawa
itulah orang Jawa yang kalah, karena tak bisa melihat realitas
Padahal semua bermula dari Realitas
dan kita sejak bayi tak diajari mengenali realitas
dunia yang dikenalkan adalah dunia dongeng, disekolah-sekolah guru kita mengajari agar kita menjadi buruh yang patuh, diasingkan kemanusiaannya lewat stigma-stigma kecerdasan, guru-guru kita dipaksa mencekoki kurikulum yang dia sendiri tidak tau bagaimana riwayat infiltrasinya.
Dari generasi ke generasi kita dikenalkan hanya pada dunia babu
negara lain sudah sampai ke bulan dan mengapling tanah Mars kita hanya ribut soal mengapling sorga
Dan kita rebutan sorga lalu berlomba-lomba doa dan menjalankan ritual agama padahal duit didapat dari hasil menjarah : Menjarah hutan-hutan, menyakiti bumi dengan menambang batu bara,. Menipu dana anggaran, atau main kongkalingkong peraturan..........
Kita mengapling sorga dengan duit yang didapat dari menghinakan kemanusiaan dan kita mendikte Tuhan semau-mau kita. Lalu sehabis makan uang rakyat, kita selalu memohon doa selamat.
Inilah sajakku
Sajak kemarahan.............
Jakarta, 25 Oktober 2009
Anton Djakarta
Gending ini sudah tamat riwayat, tak bisa aku memaknai tak pula aku mengerti
Kias-Kias orang Jawa memainkan musik liwat hati sudah mampus digilasi jaman modal
jaman modal, jaman dangkal tak ada lagi renungan dalam-dalam tentang rumput yang dibasahi air bulan atau tentang kehidupan manusia yang terbungkuk dihantam berkarung-karung gabah
Ini hari kita liat, petani tidak berhak atas tanah sawahnya
Buruh tani sudah ada lima generasi menonton tanah yang dulu digergaji buyutnya, tanah sawah sudah milik haji kaya atau pemodal saham yang beruntung juta-juta
nelayan tidak ada solar dan menyewa kapal dari orang kota bermodal
kaum buruh hidup dari jam-jaman dan tidak lagi bisa mengerti kenapa dia harus bekerja
Kaum modal memanjakan anaknya ke luar negeri dan barter dengan Presiden sampai Bupati
Buat apa negeri ini merdeka bila hanya kaum penggede yang berkitaran pada Sukarno merampas tanah dan rumah di seputaran Menteng dari tangan Belanda lalu berlagak menjadi priyayi kampungan yang ujungnya mengentuti pantat rakyat.
Buat apa negeri ini ada bila guru-guru di kemudian waktu menjadi buruh kapur yang hanya terima sogokan orang tua murid kaya.
Buat apa negeri ini membangun kecerdasan bila gelar sarjana tak lebih berbunyi dari ijasah sah keraton sebagai penancap status sosial dan menjadi sarjana bila tak pernah satu pun buku dibaca.
Buat apa negeri ini menghasilkan intelektual bila dosennya sudah melacurkan telanjang bulat-bulat demi transfer imbal konsultasi menghitung angka-angka kekuasaan lalu berkata : “Kamilah Agen Kemenangan Anda untuk meraih kekuasaan” Dengan bangga watak rendahan menjadi makelar kekuasaan diiklankan di koran-koran.
Dulu Partai-Partai menjadi penggerak suara rakyat
sungguh-sungguh menjadi mesin kebudayaan mengenalkan suara ideologi
Masjumi, NU, PKI, PNI, Murba, PSI
bukan saja alat politik tapi alat gerak peradaban
Tapi memang keputusan bejat fusi 1973 menjadi awal mula kehancuran
Partai yang dulu menjadi alat kebudayaan dan ukuran-ukuran ideologis tak lebih dari agen-agen perekrut massa yang hanya disuruh menyanyi dangdut di lapangan.
Partai-partai dihari ini hanya menjadi Perusahaan Terbatas liwat Notaris Mendagri
Dengan beslit Mendagri Partai menjadi alat modal, dan modal selalu berjarak dengan rakyat
Lalu lewat kekuasaan dan modal merekrut para pesohor dan pesolek untuk dijadikan wakil rakyat
Badut-badut televisi dikumpulkan lalu disuruh tertawa di depan meja parlemen
Persoalan rakyat bukan persoalan penting
Cukuplah rakyat diberi hiburan sinetron, ajang cari jodoh, sulap jalanan atau tebak lagu maka persoalan itu menjadi beres. Sejarah negeri ini dibangun dengan semangat filsafat tapi berakhir seperti orang kesrakat.
Apa yang kita lihat di hari-hari ini adalah lelucon tanpa musabab
Demokrasi menari-nari seakan sudah menjadi ruang kebenaran, matahari kesadaran lenyap sudah digantikan proyek-proyek pengadaan
Parlemen menjadi pasar malam, komidi putar menari-nari diatas ribuan saran tumpukan bundel-bundel regulasi
Tawar-menawar komisi, gratifikasi dan uang lelah adalah keringat bernanah yang sudah diwarisi sejak jaman kakek nenek dulu menjilati pantat Belanda dan Djepang.
Raja-Raja Jawa yang edan sejak jaman Giyanti
Semakin sinting ketika pabrik-pabrik gula dibangun dan tak merasa bersalah melihat petani-petani yang punya sawah gembur dipaksa mengganti ladang-ladang tebu dicambuki pecut pari lalu hanya melahirkan generasi babu,
Raja Jawa dengan tingkah biadab mewarisi watak bejat ke pejabat kita sekarang,
Raja-Raja warisan Giyanti boleh naik ke langit Imogiri tapi watak bajingannya sudah menjadi karat dalam kalimat buku-buku adat.
Adat birokrasi, adalah adat dengan harga mati
Seribu Revolusi tak bisa menembus watak-watak ini
Birokrasi kita dibangun dari candi-candi batu hasil korupsi
Malam ini, Malam kemarin dan Malam Depan Sudah jadi kekacauan
Hidup bukan saja entropi tapi kekacauan yang berjiwa
Suharto boleh saja mati tapi bukan alam pikirannya, alam pikiran Suharto adalah alam pikiran yang hidup..sehidup-hidupnya, boleh saja kita memaki-maki Suharto sampai berak dicelana, tapi tingkah laku kita menjadi plagiat paling persis dari pribadinya.
Ya, Negeri ini dari dulu dijiwai kekacauan
Agama menjadi mainan, halal-haram dijadikan alat modal dan cukuplah kita lancar mengucap ayat maka bersihlah jalan hidup kita. Cukuplah kita lancar mengucapkan salam dan pandai melawak maka agama menjadi bahan cari duit dan laku di televisi-televisi
Bulan Puasa bukan lagi jaman menderas ayat-ayat suci Al Qur'an lalu memaknai sejarah hubungan Tuhan dan manusia tapi diredusir serendah banyolan-banyolan di waktu sahur.
Sajak ini bukan sajak revolusi sosial
karena sudahlah mati revolusi sosial, para pemimpin revolusi tak kuat lagi menahan berahi
bermain-main api rakyat jua yang mati
tak mungkin lagi ada sejarah yang dibangun dengan darah kesadaran kerna rakyat sudah diajari bagaimana enaknya kencing di muka umum tanpa malu.
Sejarah kita adalah sejarah pengulangan, pengulangan dari ketololan
Sumpah Pemuda, Proklamasi, Revolusi Sukarno, Demonstrasi 66 sampai Jaman Reformasi hanya melahirkan pejabat-pejabat
rakyat tak pernah dilibatkan dalam sejarah, karena toh kita dibajaki alam pikiran wayang yang tak kenal dunia rakyat, ngurusi rakyat tak ada duit, lebih baik kita jilati pantat anak-anak pejabat maka duit datang seperti kena jimat.
Dunia ini hanya 'sementara' mung mampir ngombe.... kata orang Jawa
itulah orang Jawa yang kalah, karena tak bisa melihat realitas
Padahal semua bermula dari Realitas
dan kita sejak bayi tak diajari mengenali realitas
dunia yang dikenalkan adalah dunia dongeng, disekolah-sekolah guru kita mengajari agar kita menjadi buruh yang patuh, diasingkan kemanusiaannya lewat stigma-stigma kecerdasan, guru-guru kita dipaksa mencekoki kurikulum yang dia sendiri tidak tau bagaimana riwayat infiltrasinya.
Dari generasi ke generasi kita dikenalkan hanya pada dunia babu
negara lain sudah sampai ke bulan dan mengapling tanah Mars kita hanya ribut soal mengapling sorga
Dan kita rebutan sorga lalu berlomba-lomba doa dan menjalankan ritual agama padahal duit didapat dari hasil menjarah : Menjarah hutan-hutan, menyakiti bumi dengan menambang batu bara,. Menipu dana anggaran, atau main kongkalingkong peraturan..........
Kita mengapling sorga dengan duit yang didapat dari menghinakan kemanusiaan dan kita mendikte Tuhan semau-mau kita. Lalu sehabis makan uang rakyat, kita selalu memohon doa selamat.
Inilah sajakku
Sajak kemarahan.............
Jakarta, 25 Oktober 2009
Sajak Malem Minggu
by.anton djakarta
Malem minggu
pukul tujuh
sepi
sayup-sayup bayang datang
dengan awan dan giringan angin
membekap
Malam minggu
di tahun-tahun itu waktu
selalu
karcis bioskop, antre parkir, dan menghirup bercangkir-cangkir kopi
rutinitas menjelang malam
dan bulan turun pelan-pelan
Malam minggu
ini waktu
mati
tak bertepi
Saut burung hantu
menjadi pertanda
bahwa kisah sudah harus diakhiri
sepi di malam minggu
menjadi mimpi yang mati.
Malem minggu
pukul tujuh
sepi
sayup-sayup bayang datang
dengan awan dan giringan angin
membekap
Malam minggu
di tahun-tahun itu waktu
selalu
karcis bioskop, antre parkir, dan menghirup bercangkir-cangkir kopi
rutinitas menjelang malam
dan bulan turun pelan-pelan
Malam minggu
ini waktu
mati
tak bertepi
Saut burung hantu
menjadi pertanda
bahwa kisah sudah harus diakhiri
sepi di malam minggu
menjadi mimpi yang mati.
Friday, 23 October 2009
Bicara Tentang Lupa
by.Anton Djakarta
Lupa adalah nafas kehidupan
Ia aksara Tuhan yang tersembunyi dalam kediaman akal dan budi
Lupa kadang menjadi senjata bagi peluru mimpi
Lupa menjadi bangunan Tuhan atas diri manusia
dengan lupa, Manusia mencipta sejarah
dengan lupa sejarah terus berulang
dan tidak pernah ada yang baru di bawah cakrawala Matahari
Lupa adalah ingatan yang kabur
Ia berlari-lari tanpa arah
Memburu kenangan yang seperti bayang-bayang
Lalu lupa membentuk bosan
dan bosan adalah ibu dari segala perpecahan
Lupa adalah ingatan yang kabur
Sementara cinta adalah ingatan yang mengikat kita pada masa lalu
Cinta dan lupa
seperti mata dan hidung
tak pernah sua tapi dibutuhkan dalam anatomi kita
Cinta manusia selalu berjalan dari detak-detaknya
Ia ditumbuhkan kenangan, harapan dan bayangan dosa
tapi cinta tak pernah kabur
ia hanya tersembunyi pada tumpukan alasan-alasan
dan matahari kesadaran selalu ada pada diri yang bisa merapikan alasan menjadi ikatan untuk memulihkan lupa.
Perlawanan manusia pada kekuasaan adalah soal ingatan melawan lupa
Tapi kesetiaan manusia pada cintanya bukan hanya soal melawan lupa tapi juga melawan waktu.
Lupa dan Waktu menjadi guru alam yang menguji
Apakah cinta bisa dibangun pada tiap jeruji jam yang kita lalui?
Lupa adalah aksara Tuhan yang mengendap dalam diri kita.....
Lupa adalah nafas kehidupan
Ia aksara Tuhan yang tersembunyi dalam kediaman akal dan budi
Lupa kadang menjadi senjata bagi peluru mimpi
Lupa menjadi bangunan Tuhan atas diri manusia
dengan lupa, Manusia mencipta sejarah
dengan lupa sejarah terus berulang
dan tidak pernah ada yang baru di bawah cakrawala Matahari
Lupa adalah ingatan yang kabur
Ia berlari-lari tanpa arah
Memburu kenangan yang seperti bayang-bayang
Lalu lupa membentuk bosan
dan bosan adalah ibu dari segala perpecahan
Lupa adalah ingatan yang kabur
Sementara cinta adalah ingatan yang mengikat kita pada masa lalu
Cinta dan lupa
seperti mata dan hidung
tak pernah sua tapi dibutuhkan dalam anatomi kita
Cinta manusia selalu berjalan dari detak-detaknya
Ia ditumbuhkan kenangan, harapan dan bayangan dosa
tapi cinta tak pernah kabur
ia hanya tersembunyi pada tumpukan alasan-alasan
dan matahari kesadaran selalu ada pada diri yang bisa merapikan alasan menjadi ikatan untuk memulihkan lupa.
Perlawanan manusia pada kekuasaan adalah soal ingatan melawan lupa
Tapi kesetiaan manusia pada cintanya bukan hanya soal melawan lupa tapi juga melawan waktu.
Lupa dan Waktu menjadi guru alam yang menguji
Apakah cinta bisa dibangun pada tiap jeruji jam yang kita lalui?
Lupa adalah aksara Tuhan yang mengendap dalam diri kita.....
Wednesday, 21 October 2009
Sejatine Wong Urip
Kawruho sejatine wong urip
urip mono bebasan mung mampir ngombe
panjeriting wong urip sing ora nduwe
ngupaya bogo direwangi mbanting rogo
mung hasile ora misro, ora sepiro
rino wengi panas udan ora diroso
Sandang pangan kekurangan sarwo cecingkrangan
Mrono-mrene mung tandah dadi rasanan
nora kuwat, pengen sugih wedi yen kangelan
nuruti godhane setan, malah salah dalan
ngorbanake sedulur ugo katresnan
mburu bondo kadonyan nggolek pesugihan
Ngelingono neng ndonyo amung sedhelo
drajat pangkat bondo donyo bisa onyo
suk yen mati kabeh mau ora digowo
urip mono bebasan mung mampir ngombe
panjeriting wong urip sing ora nduwe
ngupaya bogo direwangi mbanting rogo
mung hasile ora misro, ora sepiro
rino wengi panas udan ora diroso
Sandang pangan kekurangan sarwo cecingkrangan
Mrono-mrene mung tandah dadi rasanan
nora kuwat, pengen sugih wedi yen kangelan
nuruti godhane setan, malah salah dalan
ngorbanake sedulur ugo katresnan
mburu bondo kadonyan nggolek pesugihan
Ngelingono neng ndonyo amung sedhelo
drajat pangkat bondo donyo bisa onyo
suk yen mati kabeh mau ora digowo
Amratelakake lakune nitisake wijining dumadi
Amratelakake lakune nitisake wijining dumadi, nyumurupi wewijangane wiji lan peprincening piranti. Mungguh lakune nitisake wijining dumadi, iku ana petang prakara, iya iku: lila, narima, temen, utama.
1. Lila, iya iku wong priya kudu lila yen kelonglongan, ing kene karepe nuruti panjaluke rabine, amarga panjaluk mau, yen kapiturutan, dadine rabine banjur dhemen marang lakine, ing wusana bisa mantep.
2. Narima, iya iku wong priya kudu narima marang suka-pirenaning rabine (kang arupa leladi saka rabine), amarga ing atase laden iku yen katarima, tegese katampa kalayan seneng, mesti bakal gawe legane kang leladi, ing wusana dadi madhep lan sregep.
3. Temen, iya iku wong priya kudu nuhoni ing semayan utawa sesanggeman, amarga manawa netepi ing janji, iku bisa mahanani katresnan, ing wusana dadi kedep.
4. Utama, iya iku wong priya kudu demen ngapura marang kaluputane rabine, amarga dadi wong priya iku manawa sabar demen ngapura marang kaluputan kang remeh-remeh, iku bakal mahanani tumemening rabine, ing wusana dadi gelem labuh.
Ana dene nyumurupi wewijangane wiji, iku kudu ngreti marang lakuning wektu karon-sih, dene lakune karon-sih iku uga ana petang prakara, iya iku: eneng, ening, awas, eling.
1. Eneng, iya iku wektu karon-sih atine kudu eneng (menep), dene paedahe bisa suwe wetuning rahsa, lan gawe kandeling wiji,. Amarga ati kang menep mau bisa ngenthelake wiji (jiwa), kentheling jiwa bisa mahanani kandeling wiji, ing wusana dadining anak ing tembe bisa dawa umure.
2. Ening, iya iku atine kudu ening, dene paedahe bisa nikmat rasane lan manfaat. Amarga kaweningan mau bisa gawe weninging wiji (tetep trimurti), wiji kang tetep trimurti mau ing wiji ala apa becik, dene panengerane wujud cahya kaya kawasa.
3. Awas, iya iku kudu mulat kedep-liringing rabine, wektu karon-sih, kendho apa mempeng, utawa ngulatake tumitising wiji ala apa becik, dene panengerane wujud cahya kaya kang wis kapratelakake ing dhuwur.
4. Eling, iya iku aja mikir liya-liyane, kajaba eling yen wektu iku lagi nitisake wiji, mula yen rabine semu kendho ing karon-sih, wajib eling, manawa durung binuka bakuning rasa, tumuli duweya osik sumedya mbuka kadatoning rahsa, supaya rabine mau gumregut rasane, lan maneh yen nyumurupi cahyaning wiji ala kang bakal tumitis, banjur enggal-enggal bisa nglebur sarana laku nusupake utawa mutahake menyang ing jaba. Dene manawa uninga wiji becik kang bakal tumitis, iya banjur bisa mrenahake ing papan samestine.
Mungguh tuwuhing rasa iku jalarane ana loro prakara, iya iku: marahi lan meruhi.
1. Marahi, iya iku sadurunge tumindak karon-sih, kang priya miwitana mbuka rasa sarana kekembangan saprayogane, dene paedahe bisa mempengake atining rabine, yen wis katon mempeng rabine tumuli tumindaka karon-sih, iku rabine saka katuju karepe dadine banjur lega kanti suka rena. Mula sadurunge karon-sih luwih dhisik mangsetiya tumuruning wiji kang becik (teteping trimurti), kapantenga ana ing cipta.
2. Meruhi, iya iku aja nganti nerak wewalere, nanging malah mbumbonana kang prayoga. Dene wewaler iku: nyumurupi wewadining wanodya lan wewadining wiji. Kang diarani wadi mau katerangane mangkene: bab kang diarani tumindak rusuh, iya iku rusuh arep nyumurupi marang wewadining wanodya. Dene kang diarani elok, iya iku arep nyumurupi wewadining wiji.
Dene wadining wanodya bakuning rasa, iku wijang-wijange mangkene: ing sajroning baga iku ana kulite alus sarta sangisoring batuk baga ing jero uga ana kulite kang diarani daging song, song mau gedene pada lan batuking baga, mangisoring song ana urate loro (diarani purana), urat iku lengket ing semu katone mung siji, iya iku kang minangka let-letan banyu telung warna, iya iku: satengening urat iku dalan banyu sene, sakiwane urat iku dalan banyu suker (getih), mung tengahing urat loro mau iku dalaning banyu rahsa pita (kama). Dene urat loro iku ing dhuwur gathuk karo song, terusane anjog ing lawang kadatoning rahsa, lawang mau ngrukubi Sang Hyang Kamajaya (uwel), kang diarani uwel iku lawang kekandhanganing jabang bayi, wujude mung bening kaya kaca.
Mungguh kahanane song mau iya iku poking rasa, amarga samasa kagosok (kagepok) banjur mekrok, kaya dene kewan kintel saben kagepok banjur mlembung, mekroking song mau jalaran saka rasa keri, yen wis krasa keri iku bisa narik rosaning rasa nikmat. Dene lawang yen wis menga banjur kawawa nduwa, uwel, iya iku narik kekandhanganing bebayi. Kekandhanganing bayi mau yen nganti nyaut utawa nadhahi kamaning priya, iku adate tumrap wanodya awake mesti banjur krasa keri, gumriminging rasa temahan dadi cape (marlupa).
Saiki mratelakake kekandhanganing bebayi, mungguh wewijangane mangkene: ing sadurunge kaisenan wiji saka wong priya, kekandhangan mau wujude isih kimpes, sarta mawa urat dumunung ing pucuk minangka gantilan. Urat mau ana loro, kang siji urat urut-urutane kang anjog ing jantung, dene sijine urat urut-urutane kang anjog ing wadhuk.
Urat kang anjog ing wadhuk iku kasamadan dening genining manusa kang arane Yitnamaya. Geni mau gedhene mung samrica, iya iku kang kawawa matengi pangan sajroning wadhuk, sarta kawawa nyepuhi wiji kang wis ngumandhang ing kekandhanganing bayi. Kandhang bayi iku manawa panyaute bener ora luput, nganti bisa ngamedi pucuking pasta-purasa (ngepuh kam), ing mangka kapinujon kasusupan wiji, iku banjur bisa kalebon mani, dene mani kang wis kumpul lawan wiji ana sajroning kandhang kono, iku mratandhani yen wiji bakal dadi, mula wong wanodya banjur ngandheg. Ing sajroning ngandheg, upama kinaron-sih ing priya liyane iku wis ora bisa kasusulan wiji kang dadi maneh, kajaba kang nitis sapisan mau. Yen kurang pracaya katerangane kene ginawe kosok bali, kang minangka tandha seksine iya iku bapa manawa wis mati kajupuka balunge, anak kang isih urip kairisa wetokna getihe katetesna ing bebalunging bapa mau, mesti getihing anak banjur amblas (kasesep), manawa dudu getihing anak dhewe iku mesti ora kasesep (ora ambles ing bebalung).
Ambaleni wiji kang wis ngumandhang ing kekandhangan, ing kono mani saya suwe saya tambah matimbun-timbun, yen wis kebak banjur malembung. Yitnamaya urube saya banget, sasuwene kasalad urubing Yitnamaya wusanane banjur kenthel, samasa wis kenthel banjur kumulit, yen wis kumulit banjur gana, nanging isih kakum ing banyu. Sajroning gana kakum ing banyu, iku banjur nurut bolonganing urat kang gandeng karo wadhuk. Mungguh kumambanging gana iku kaya dene banyu kang dumunung ing godhong lumbu. Sawise mangkono gana banjur gatra kaya pepukiran ing manusa, gatra mau saya suwe saya mundhak gedhe lan mundhak kekuwatane, ing kono banyu kang kakuman gana banjur njendhel, jendhelaning banyu uga banjur mundhak sumaring maneh, ampase pada kelet ing kuliting bayi, dene sarine dadi kawah. Mula pepelinge wong tuwa-tuwa, tumrap wong wanodya kang ngandhut lagi masane gana, iku aja sok ngajangake solah-bawaning raga, awit manawa kepleseting wiji, iku bisa njalari gagar (kluron).
Samengko genti mratelakake wewadi wadining wiji ing nalika arep tumitis, sajatine sengseming atining bapa kang ketarik dening dayaning wiji mau mangkene: Manawa arep nitisake wiji iku kang luwih dhisik manuksma ana ing utek, lebuning wiji nurut lebuning napas, tumuli nuksma ana ing panon, banjur manggon ana ing pramana, ing kono wis kawawa narik maya (sengseming ati sakaloron bapa lan biyung), temahan kelakon karon-sih iku wiji banjur manuksma ana ing rasa, dene tumibane ing biyung iku mbarengi wetune rahsaning bapa, kang banjur katampan ing papane. Lakuning wiji mau miturut wetuning swasana, ing kono banjur tempuk karo metuning rahsa (mani) banjur kacatok dening kandhangan, sawise mangkono wiji tumuli tumempel, ing kono kudrating Pangeran wis ora owah maneh, tumrap kadadiyane bocah ing tembe, lelakone sarta wewatekane, miturut tanceping cipta sarta rasaning karep wektu pepasihan, ana kang minangka tandha-yektine, iya iku wujuding rupa mesti mirib (memper) bapa lan biyung, sabab wektu sih-sinihan sisi lan sijien tunggal padha nancepake katresnan, kaya rahsa narik jiwa, mula anak iku uga kena sinebut layanganing jiwa, dadi wis tetela tanceping warna kang ana ing cipta iku mahanani warna, rahsaning karsa lan greneking cipta mahanani wewatekan lan lelakon, mula iya ana paribasan: Kacang manut lanjaran. Utawa: Ora ana banyu mili mandhuwur. Kang mesthi banyu mili mangisor.
Karepe bebasan iku mangkene: Rupaning anak iku mesthi mirib wong-tuwane.
Samengko mratelakake wewijangane wiji kang katarik saka dayaning bapa, ing nalika lebuning wiji mbarengi lebuning napas, nuli sumimpen ana ing utek, banjur rembes marang panon. Kang diarani panon iku banyu sari iya sarining utek, pamanggone sajroning manik. Sawise wiji ana ing kono kawawa manuksma ing pramana sarta kawawa amor sarasa, rasaning pramana ndayani tunggal karep, yen wis nunggal garepe wiji narik daya surenging karon-sih, mangkono iku manawa cinegah dadi paedah, yen linantur dadi batur. Tegese: Sing sapa nuju kasusupan wiji, mangka bisa nanggulangi karepe iku sayekti bakal tambah muncaring cahyane lan padhanging pamwas, dene yen tinurutan bakal kawawa mahanani anak, dadi tetela wijining anak iku manut empaning cipta, sarta urubing pramana minangka bahu (nguled), bumbu yen wis kauled ing bahu banjur kumpul, dene matenge saka daya Yitnamayaning biyung, dadi matenging panganan mau jenenge wis mapan, mulane mangkono, amarga urubing pramana iku manut mapaning cipta.
Terange mangkene. Saupama tanceping cipta welas asih, urubing pramana sarta wiji mesthi maya-maya, iku mahanani wewatekaning anak ing tembe linulutan ing sapada-pada, sarta jatmika alus ing budi, nanging kurang lantip ing panggraita.
Saupama tanceping cipta matutuk rumasa kabeneran ing sapolah-polahe, urubing pramana sarta wiji mesthi biru muyek marakata, iku mahanani wewatekane anak ing tembe bodho ing budi, nanging becik atine.
Saupama tanceping cipta kadereng ing kabudayan, urubing pramana sarta wiji mesthi warna abang mbaranang mblerengi, iku mahanani wewatekane anak ing tembe landhep ing panggraita sarta berbudi, nanging getapan sarta panas baranan.
Saupama tanceping cipta drengki, urubing pramana sarta wiji mesthi warna dadhu bureng marakata, iku mahanani wewatekane anak ing tembe culika, ndaluya, dora-cara, kang mangkono iku adate sok kataman lara owah (gingsir).
Saupama tanceping cipta kang lagi nungkul ing puja brata, mangke katarima, urubing pramana sarta wiji mesthi warna ijo nom mancur maya-maya, iku mahanani wewatekane anak ing tembe demen ngapura ambek paramarta, sarta wicaksana, kang mangkono iku adat sok bisa kasinungan darajat kawiryan.
Mungguh kang kasebut ing dhuwur kabeh mau, tumrap ala beciking wiji. Dene kandel-tipising wiji iku manut wancining karon-sih, nalika terangke mangkene: Yen wanci awan, wijine tipis, sabab ing wanci mau pramana nedhenge amer. Yen wanci bengi, wijine kandel, sabab ing wanci mau pramana nedhenge kenthel. Mulane sabisa-bisa manawa karon-sih, miliha wanci lingsir wengi tumekaning bangun esuk, iku wijine mesthi kandel kang njalari dawa umure.
Kapriye carane nyumurupi wujuding wiji, sarehne wiji iku bangsaning alus, dadi enggone nyumurupi iya sarana alusing pandulu. Kang diarani alusing pandulu iku ana limang prakara, iya iku saka beninging ati, sirnaning kekarepan, sarehing pangganda, lereming pancadriya, jatmikaning solah bawa. Yen wis bisa netepi laku limang prakara iku, lagi bisa nyumurupi wiji kang sawantahe.
Bab panengeraning wiji
Tumrap panengeraning wiji, iku kena disumurupi, mungguh beda-bedaning wiji lanang utawa wiji wadon, bakal dadining anak, wantu utawa kembar, apa dene dhampit. Terange mangkene: Yen wiwit arep karon-sih ngawasna lakuning napas, manawa lakuning (metuning) napas santer ing lenging irung kang tengen, iku mratandhani cumitaking wiji ana ing panon kiwa, iya iku pratandha wiji lanang. Manawa napas santer ing lenging irung kang kiwa, iku mratandhani cumitaking wiji ana ing panon tengen, iya iku pratandha wiji wadon. Manawa napas santer ing lenging irung loro pisan (padha santere), iku mratandhani cumitaking wiji ana ing tengah-tengahing panon (manon), iya iku pratandha wiji wandu. Manawa eninging cipta rong pandurat suwene, iku bisa narik wiji loro, nalika karon-sih greget-santing sakarone tempuk (padha karepe), iku bakal mahanani anak kembar utawa dhampit. Nanging manawa kembar wijine cumitaking panon kang sasisih, yen dhampit wijine cumitaking panon kang kiwa tengen.
Lan maneh kanggo panengeran sawise wiji tumiba ing biyung, manawa bakal dadi lanang sang bapa katara swatata, anadene yen bakal dadi dhampit sakarone mempeng (padha andrenge) ing swatata.
Ing dalem layang Pangracutan amratelakake kawruh kang aran: Sajatining Lanang lan
Sajatining Wadon, iku genahe mangkene:
Kang ingaranan roh Idlafi, iku rohing wadon, nanging dumunung ana ing lanang. Sajatining wadon iku roh Kudus mulya, nanging rohing lanang, mapan ing wadon, kang mahasucekake ing jinem, padha mapan sajroninng junup, mula kawasa anuwuhake karkat dhewe-dhewe, amarga rohing wadon kaango lanang, rohing lanang kaanggo wadon, dadi saka anggone arep narik rohe dhewe-dhewe, ing wekasan aliru lambang sari padha carane, temah kawasa anganakake sifat, mula ingaran sanggama, tegese benering sawiji balaka, utawa saresmi, pikarepe campuring sari wor syuh dadi padha mareme, awit kasamadan dening Dzat-ing Pangeran Kang Amahasuci, anggone arep cumitak warnaning bapa-babu, mula kang pancen waskita marang rahsaning karon-sih, yekti bisa angarani sadurunge kababar.
1. Kaya ta, ing dalem salapan dina, sakaloron mau kang anduweni kumenyut dhisik sapa, saupama wanodya kang ngrasakake kangen dhisik marang priyane, tumekaning kalakon anitisake wiji yekti bakal lair putra priya.
2. Kaya ta, kang anduweni kumenyut dhisik kang priya, kangen marang rabine, tumekani nitisake wiji, sayektine bakal lair putra wanita, ananging kudu banjur ditimbangi careme, supaya sakaro-karone atunggal, awit manawa kurang dhauping cipta, rasane bakal sulaya, sanadyan bakal tumuwuh ing tembe wijine anduweni cacad, mungguh wujuding cacad iku warna-warna.
* Manawa ana lelabet cuwaning panggalih, kurang sarujuking saresmi mau, tembene anumusi wewatekaning putra kerep kacuwan ati, tarkadhang nandhang susah ing uripe;
* Manawa ing dalem saresmi mau anduweni ngeres ing panggalih semu duka, nanging ora kawedhar, ing tembe wijine kalabetan watak sugih napsu hawa, tarkadhang tiwas uripe.
* Manawa salah sawiji ing dalem arep ngangkat saresmi, ana kang duwe ati sisip sathithik, ing tembe uga tumus wewatekaning putra, yen kang sisip kang wanodya, tumus marang wiji priya, manawa kang sisip kang priya, tumus marang wewatekaning wiji wanita, kabeh iku kalebu paniitihan, ing dalem salapan dina iku wajib katitika titikaning cipta, sarta rasa pangrasa ing dalem salapan dina mau, mula bayi lair iku angetung salapanan, manawa wis tumeka sataun aran bocah tawa lare, tegese kuwat, mula banjur angetung taun.
Saka wasiyat dhawuh wewelinge Kangjeng Susuhunan ing Kalijaga, prakara panitikan ora kena sembrana ngarah apa, malah ing sabisa-bisa angestiya peta, tegese ing dalem karkat mau bisaa banjur tampa-tinampaning cipta sasmita, dadi aran sakaroning atunggal, sarta kudu suci supaya becik tumusane, utawa bisaa pasang gelaring salulut, tegese kang wanodya aja nganti liya pancipta pangalembana marang priyane, sanadyan priyane iya anyiptaa marang wanodyane, aja angrasakake liya-liyane, iya iku wiji sajati premati.
Sawenehing wong sajroning saresmi karo bojo, ora mawa pepantengan sakaroning atunggal, malah anduweni liya panyipta, tarkadhang anggagas kasenengane dhewe, kang mangkono iku upama bisa dadi wiji, sok ambilaheni wong tuwa, iya iku kang ingaran anak agawe rusak, yoga karya rengkaning praja.
Dene prataping wong ajejodon mau, bisaa cadhang-cinadhang, tegese wajibing wanodya ora kena adreng ing panedya kudu dianggo wadi, priya iku wewenange angon cipta-sasmitaning wanodya, sakira ing dalem sadina kono ora ana sebab apa-apa, tanpa labet susah, apa dene sepi pakewuh, iku tandha yen Pangeran Kang Amahasuci anggone bakal nitahake wiji, wiji ing sasama, iya iku jatining Trimurti, akeh kang dadi anak anung angungkuli bapa. Sanadyan para luhur manawa kabeneran pakartining budi, kalayan nastiti, yekti bisa dadi. Dene kang agawe rusaking nagara, iya saka kurang saranta, temahane kurang prayoga lelegetaning ngaurip.
Bab pangleburing wiji ala
Sanadyan wis bisa narik wiji, ing mangka wiji kang sumurup mau wiji ala, iku uga kena dilebur sadurunge dadi wiji kang dumadi. Dene pratikele mangkene: ing sajrone karon-sih among ulahing swatata, manawa duwe niyat arep nurunake wiji, lan maneh ilafating wiji kang bakal tumiba kurang becik, mangka sajroning ulah swatata sem-ing karsa mau, utawa sajroning karon-sih nalika lagi kadereng kadhesek mempenging karep, iku kasurehna, aja kabacutake, ora-orane iya kagaweya gela utawa kemba, iya iku saran wudharing rahsa kasilipna mangisor utawa kawutahna ing sajabaning lawang. Sarana mangkono adate wiji ora bisa dadi amarga ora bisa katampan ing wadhahe ing wasana gagar utawa sonya.
1. Lila, iya iku wong priya kudu lila yen kelonglongan, ing kene karepe nuruti panjaluke rabine, amarga panjaluk mau, yen kapiturutan, dadine rabine banjur dhemen marang lakine, ing wusana bisa mantep.
2. Narima, iya iku wong priya kudu narima marang suka-pirenaning rabine (kang arupa leladi saka rabine), amarga ing atase laden iku yen katarima, tegese katampa kalayan seneng, mesti bakal gawe legane kang leladi, ing wusana dadi madhep lan sregep.
3. Temen, iya iku wong priya kudu nuhoni ing semayan utawa sesanggeman, amarga manawa netepi ing janji, iku bisa mahanani katresnan, ing wusana dadi kedep.
4. Utama, iya iku wong priya kudu demen ngapura marang kaluputane rabine, amarga dadi wong priya iku manawa sabar demen ngapura marang kaluputan kang remeh-remeh, iku bakal mahanani tumemening rabine, ing wusana dadi gelem labuh.
Ana dene nyumurupi wewijangane wiji, iku kudu ngreti marang lakuning wektu karon-sih, dene lakune karon-sih iku uga ana petang prakara, iya iku: eneng, ening, awas, eling.
1. Eneng, iya iku wektu karon-sih atine kudu eneng (menep), dene paedahe bisa suwe wetuning rahsa, lan gawe kandeling wiji,. Amarga ati kang menep mau bisa ngenthelake wiji (jiwa), kentheling jiwa bisa mahanani kandeling wiji, ing wusana dadining anak ing tembe bisa dawa umure.
2. Ening, iya iku atine kudu ening, dene paedahe bisa nikmat rasane lan manfaat. Amarga kaweningan mau bisa gawe weninging wiji (tetep trimurti), wiji kang tetep trimurti mau ing wiji ala apa becik, dene panengerane wujud cahya kaya kawasa.
3. Awas, iya iku kudu mulat kedep-liringing rabine, wektu karon-sih, kendho apa mempeng, utawa ngulatake tumitising wiji ala apa becik, dene panengerane wujud cahya kaya kang wis kapratelakake ing dhuwur.
4. Eling, iya iku aja mikir liya-liyane, kajaba eling yen wektu iku lagi nitisake wiji, mula yen rabine semu kendho ing karon-sih, wajib eling, manawa durung binuka bakuning rasa, tumuli duweya osik sumedya mbuka kadatoning rahsa, supaya rabine mau gumregut rasane, lan maneh yen nyumurupi cahyaning wiji ala kang bakal tumitis, banjur enggal-enggal bisa nglebur sarana laku nusupake utawa mutahake menyang ing jaba. Dene manawa uninga wiji becik kang bakal tumitis, iya banjur bisa mrenahake ing papan samestine.
Mungguh tuwuhing rasa iku jalarane ana loro prakara, iya iku: marahi lan meruhi.
1. Marahi, iya iku sadurunge tumindak karon-sih, kang priya miwitana mbuka rasa sarana kekembangan saprayogane, dene paedahe bisa mempengake atining rabine, yen wis katon mempeng rabine tumuli tumindaka karon-sih, iku rabine saka katuju karepe dadine banjur lega kanti suka rena. Mula sadurunge karon-sih luwih dhisik mangsetiya tumuruning wiji kang becik (teteping trimurti), kapantenga ana ing cipta.
2. Meruhi, iya iku aja nganti nerak wewalere, nanging malah mbumbonana kang prayoga. Dene wewaler iku: nyumurupi wewadining wanodya lan wewadining wiji. Kang diarani wadi mau katerangane mangkene: bab kang diarani tumindak rusuh, iya iku rusuh arep nyumurupi marang wewadining wanodya. Dene kang diarani elok, iya iku arep nyumurupi wewadining wiji.
Dene wadining wanodya bakuning rasa, iku wijang-wijange mangkene: ing sajroning baga iku ana kulite alus sarta sangisoring batuk baga ing jero uga ana kulite kang diarani daging song, song mau gedene pada lan batuking baga, mangisoring song ana urate loro (diarani purana), urat iku lengket ing semu katone mung siji, iya iku kang minangka let-letan banyu telung warna, iya iku: satengening urat iku dalan banyu sene, sakiwane urat iku dalan banyu suker (getih), mung tengahing urat loro mau iku dalaning banyu rahsa pita (kama). Dene urat loro iku ing dhuwur gathuk karo song, terusane anjog ing lawang kadatoning rahsa, lawang mau ngrukubi Sang Hyang Kamajaya (uwel), kang diarani uwel iku lawang kekandhanganing jabang bayi, wujude mung bening kaya kaca.
Mungguh kahanane song mau iya iku poking rasa, amarga samasa kagosok (kagepok) banjur mekrok, kaya dene kewan kintel saben kagepok banjur mlembung, mekroking song mau jalaran saka rasa keri, yen wis krasa keri iku bisa narik rosaning rasa nikmat. Dene lawang yen wis menga banjur kawawa nduwa, uwel, iya iku narik kekandhanganing bebayi. Kekandhanganing bayi mau yen nganti nyaut utawa nadhahi kamaning priya, iku adate tumrap wanodya awake mesti banjur krasa keri, gumriminging rasa temahan dadi cape (marlupa).
Saiki mratelakake kekandhanganing bebayi, mungguh wewijangane mangkene: ing sadurunge kaisenan wiji saka wong priya, kekandhangan mau wujude isih kimpes, sarta mawa urat dumunung ing pucuk minangka gantilan. Urat mau ana loro, kang siji urat urut-urutane kang anjog ing jantung, dene sijine urat urut-urutane kang anjog ing wadhuk.
Urat kang anjog ing wadhuk iku kasamadan dening genining manusa kang arane Yitnamaya. Geni mau gedhene mung samrica, iya iku kang kawawa matengi pangan sajroning wadhuk, sarta kawawa nyepuhi wiji kang wis ngumandhang ing kekandhanganing bayi. Kandhang bayi iku manawa panyaute bener ora luput, nganti bisa ngamedi pucuking pasta-purasa (ngepuh kam), ing mangka kapinujon kasusupan wiji, iku banjur bisa kalebon mani, dene mani kang wis kumpul lawan wiji ana sajroning kandhang kono, iku mratandhani yen wiji bakal dadi, mula wong wanodya banjur ngandheg. Ing sajroning ngandheg, upama kinaron-sih ing priya liyane iku wis ora bisa kasusulan wiji kang dadi maneh, kajaba kang nitis sapisan mau. Yen kurang pracaya katerangane kene ginawe kosok bali, kang minangka tandha seksine iya iku bapa manawa wis mati kajupuka balunge, anak kang isih urip kairisa wetokna getihe katetesna ing bebalunging bapa mau, mesti getihing anak banjur amblas (kasesep), manawa dudu getihing anak dhewe iku mesti ora kasesep (ora ambles ing bebalung).
Ambaleni wiji kang wis ngumandhang ing kekandhangan, ing kono mani saya suwe saya tambah matimbun-timbun, yen wis kebak banjur malembung. Yitnamaya urube saya banget, sasuwene kasalad urubing Yitnamaya wusanane banjur kenthel, samasa wis kenthel banjur kumulit, yen wis kumulit banjur gana, nanging isih kakum ing banyu. Sajroning gana kakum ing banyu, iku banjur nurut bolonganing urat kang gandeng karo wadhuk. Mungguh kumambanging gana iku kaya dene banyu kang dumunung ing godhong lumbu. Sawise mangkono gana banjur gatra kaya pepukiran ing manusa, gatra mau saya suwe saya mundhak gedhe lan mundhak kekuwatane, ing kono banyu kang kakuman gana banjur njendhel, jendhelaning banyu uga banjur mundhak sumaring maneh, ampase pada kelet ing kuliting bayi, dene sarine dadi kawah. Mula pepelinge wong tuwa-tuwa, tumrap wong wanodya kang ngandhut lagi masane gana, iku aja sok ngajangake solah-bawaning raga, awit manawa kepleseting wiji, iku bisa njalari gagar (kluron).
Samengko genti mratelakake wewadi wadining wiji ing nalika arep tumitis, sajatine sengseming atining bapa kang ketarik dening dayaning wiji mau mangkene: Manawa arep nitisake wiji iku kang luwih dhisik manuksma ana ing utek, lebuning wiji nurut lebuning napas, tumuli nuksma ana ing panon, banjur manggon ana ing pramana, ing kono wis kawawa narik maya (sengseming ati sakaloron bapa lan biyung), temahan kelakon karon-sih iku wiji banjur manuksma ana ing rasa, dene tumibane ing biyung iku mbarengi wetune rahsaning bapa, kang banjur katampan ing papane. Lakuning wiji mau miturut wetuning swasana, ing kono banjur tempuk karo metuning rahsa (mani) banjur kacatok dening kandhangan, sawise mangkono wiji tumuli tumempel, ing kono kudrating Pangeran wis ora owah maneh, tumrap kadadiyane bocah ing tembe, lelakone sarta wewatekane, miturut tanceping cipta sarta rasaning karep wektu pepasihan, ana kang minangka tandha-yektine, iya iku wujuding rupa mesti mirib (memper) bapa lan biyung, sabab wektu sih-sinihan sisi lan sijien tunggal padha nancepake katresnan, kaya rahsa narik jiwa, mula anak iku uga kena sinebut layanganing jiwa, dadi wis tetela tanceping warna kang ana ing cipta iku mahanani warna, rahsaning karsa lan greneking cipta mahanani wewatekan lan lelakon, mula iya ana paribasan: Kacang manut lanjaran. Utawa: Ora ana banyu mili mandhuwur. Kang mesthi banyu mili mangisor.
Karepe bebasan iku mangkene: Rupaning anak iku mesthi mirib wong-tuwane.
Samengko mratelakake wewijangane wiji kang katarik saka dayaning bapa, ing nalika lebuning wiji mbarengi lebuning napas, nuli sumimpen ana ing utek, banjur rembes marang panon. Kang diarani panon iku banyu sari iya sarining utek, pamanggone sajroning manik. Sawise wiji ana ing kono kawawa manuksma ing pramana sarta kawawa amor sarasa, rasaning pramana ndayani tunggal karep, yen wis nunggal garepe wiji narik daya surenging karon-sih, mangkono iku manawa cinegah dadi paedah, yen linantur dadi batur. Tegese: Sing sapa nuju kasusupan wiji, mangka bisa nanggulangi karepe iku sayekti bakal tambah muncaring cahyane lan padhanging pamwas, dene yen tinurutan bakal kawawa mahanani anak, dadi tetela wijining anak iku manut empaning cipta, sarta urubing pramana minangka bahu (nguled), bumbu yen wis kauled ing bahu banjur kumpul, dene matenge saka daya Yitnamayaning biyung, dadi matenging panganan mau jenenge wis mapan, mulane mangkono, amarga urubing pramana iku manut mapaning cipta.
Terange mangkene. Saupama tanceping cipta welas asih, urubing pramana sarta wiji mesthi maya-maya, iku mahanani wewatekaning anak ing tembe linulutan ing sapada-pada, sarta jatmika alus ing budi, nanging kurang lantip ing panggraita.
Saupama tanceping cipta matutuk rumasa kabeneran ing sapolah-polahe, urubing pramana sarta wiji mesthi biru muyek marakata, iku mahanani wewatekane anak ing tembe bodho ing budi, nanging becik atine.
Saupama tanceping cipta kadereng ing kabudayan, urubing pramana sarta wiji mesthi warna abang mbaranang mblerengi, iku mahanani wewatekane anak ing tembe landhep ing panggraita sarta berbudi, nanging getapan sarta panas baranan.
Saupama tanceping cipta drengki, urubing pramana sarta wiji mesthi warna dadhu bureng marakata, iku mahanani wewatekane anak ing tembe culika, ndaluya, dora-cara, kang mangkono iku adate sok kataman lara owah (gingsir).
Saupama tanceping cipta kang lagi nungkul ing puja brata, mangke katarima, urubing pramana sarta wiji mesthi warna ijo nom mancur maya-maya, iku mahanani wewatekane anak ing tembe demen ngapura ambek paramarta, sarta wicaksana, kang mangkono iku adat sok bisa kasinungan darajat kawiryan.
Mungguh kang kasebut ing dhuwur kabeh mau, tumrap ala beciking wiji. Dene kandel-tipising wiji iku manut wancining karon-sih, nalika terangke mangkene: Yen wanci awan, wijine tipis, sabab ing wanci mau pramana nedhenge amer. Yen wanci bengi, wijine kandel, sabab ing wanci mau pramana nedhenge kenthel. Mulane sabisa-bisa manawa karon-sih, miliha wanci lingsir wengi tumekaning bangun esuk, iku wijine mesthi kandel kang njalari dawa umure.
Kapriye carane nyumurupi wujuding wiji, sarehne wiji iku bangsaning alus, dadi enggone nyumurupi iya sarana alusing pandulu. Kang diarani alusing pandulu iku ana limang prakara, iya iku saka beninging ati, sirnaning kekarepan, sarehing pangganda, lereming pancadriya, jatmikaning solah bawa. Yen wis bisa netepi laku limang prakara iku, lagi bisa nyumurupi wiji kang sawantahe.
Bab panengeraning wiji
Tumrap panengeraning wiji, iku kena disumurupi, mungguh beda-bedaning wiji lanang utawa wiji wadon, bakal dadining anak, wantu utawa kembar, apa dene dhampit. Terange mangkene: Yen wiwit arep karon-sih ngawasna lakuning napas, manawa lakuning (metuning) napas santer ing lenging irung kang tengen, iku mratandhani cumitaking wiji ana ing panon kiwa, iya iku pratandha wiji lanang. Manawa napas santer ing lenging irung kang kiwa, iku mratandhani cumitaking wiji ana ing panon tengen, iya iku pratandha wiji wadon. Manawa napas santer ing lenging irung loro pisan (padha santere), iku mratandhani cumitaking wiji ana ing tengah-tengahing panon (manon), iya iku pratandha wiji wandu. Manawa eninging cipta rong pandurat suwene, iku bisa narik wiji loro, nalika karon-sih greget-santing sakarone tempuk (padha karepe), iku bakal mahanani anak kembar utawa dhampit. Nanging manawa kembar wijine cumitaking panon kang sasisih, yen dhampit wijine cumitaking panon kang kiwa tengen.
Lan maneh kanggo panengeran sawise wiji tumiba ing biyung, manawa bakal dadi lanang sang bapa katara swatata, anadene yen bakal dadi dhampit sakarone mempeng (padha andrenge) ing swatata.
Ing dalem layang Pangracutan amratelakake kawruh kang aran: Sajatining Lanang lan
Sajatining Wadon, iku genahe mangkene:
Kang ingaranan roh Idlafi, iku rohing wadon, nanging dumunung ana ing lanang. Sajatining wadon iku roh Kudus mulya, nanging rohing lanang, mapan ing wadon, kang mahasucekake ing jinem, padha mapan sajroninng junup, mula kawasa anuwuhake karkat dhewe-dhewe, amarga rohing wadon kaango lanang, rohing lanang kaanggo wadon, dadi saka anggone arep narik rohe dhewe-dhewe, ing wekasan aliru lambang sari padha carane, temah kawasa anganakake sifat, mula ingaran sanggama, tegese benering sawiji balaka, utawa saresmi, pikarepe campuring sari wor syuh dadi padha mareme, awit kasamadan dening Dzat-ing Pangeran Kang Amahasuci, anggone arep cumitak warnaning bapa-babu, mula kang pancen waskita marang rahsaning karon-sih, yekti bisa angarani sadurunge kababar.
1. Kaya ta, ing dalem salapan dina, sakaloron mau kang anduweni kumenyut dhisik sapa, saupama wanodya kang ngrasakake kangen dhisik marang priyane, tumekaning kalakon anitisake wiji yekti bakal lair putra priya.
2. Kaya ta, kang anduweni kumenyut dhisik kang priya, kangen marang rabine, tumekani nitisake wiji, sayektine bakal lair putra wanita, ananging kudu banjur ditimbangi careme, supaya sakaro-karone atunggal, awit manawa kurang dhauping cipta, rasane bakal sulaya, sanadyan bakal tumuwuh ing tembe wijine anduweni cacad, mungguh wujuding cacad iku warna-warna.
* Manawa ana lelabet cuwaning panggalih, kurang sarujuking saresmi mau, tembene anumusi wewatekaning putra kerep kacuwan ati, tarkadhang nandhang susah ing uripe;
* Manawa ing dalem saresmi mau anduweni ngeres ing panggalih semu duka, nanging ora kawedhar, ing tembe wijine kalabetan watak sugih napsu hawa, tarkadhang tiwas uripe.
* Manawa salah sawiji ing dalem arep ngangkat saresmi, ana kang duwe ati sisip sathithik, ing tembe uga tumus wewatekaning putra, yen kang sisip kang wanodya, tumus marang wiji priya, manawa kang sisip kang priya, tumus marang wewatekaning wiji wanita, kabeh iku kalebu paniitihan, ing dalem salapan dina iku wajib katitika titikaning cipta, sarta rasa pangrasa ing dalem salapan dina mau, mula bayi lair iku angetung salapanan, manawa wis tumeka sataun aran bocah tawa lare, tegese kuwat, mula banjur angetung taun.
Saka wasiyat dhawuh wewelinge Kangjeng Susuhunan ing Kalijaga, prakara panitikan ora kena sembrana ngarah apa, malah ing sabisa-bisa angestiya peta, tegese ing dalem karkat mau bisaa banjur tampa-tinampaning cipta sasmita, dadi aran sakaroning atunggal, sarta kudu suci supaya becik tumusane, utawa bisaa pasang gelaring salulut, tegese kang wanodya aja nganti liya pancipta pangalembana marang priyane, sanadyan priyane iya anyiptaa marang wanodyane, aja angrasakake liya-liyane, iya iku wiji sajati premati.
Sawenehing wong sajroning saresmi karo bojo, ora mawa pepantengan sakaroning atunggal, malah anduweni liya panyipta, tarkadhang anggagas kasenengane dhewe, kang mangkono iku upama bisa dadi wiji, sok ambilaheni wong tuwa, iya iku kang ingaran anak agawe rusak, yoga karya rengkaning praja.
Dene prataping wong ajejodon mau, bisaa cadhang-cinadhang, tegese wajibing wanodya ora kena adreng ing panedya kudu dianggo wadi, priya iku wewenange angon cipta-sasmitaning wanodya, sakira ing dalem sadina kono ora ana sebab apa-apa, tanpa labet susah, apa dene sepi pakewuh, iku tandha yen Pangeran Kang Amahasuci anggone bakal nitahake wiji, wiji ing sasama, iya iku jatining Trimurti, akeh kang dadi anak anung angungkuli bapa. Sanadyan para luhur manawa kabeneran pakartining budi, kalayan nastiti, yekti bisa dadi. Dene kang agawe rusaking nagara, iya saka kurang saranta, temahane kurang prayoga lelegetaning ngaurip.
Bab pangleburing wiji ala
Sanadyan wis bisa narik wiji, ing mangka wiji kang sumurup mau wiji ala, iku uga kena dilebur sadurunge dadi wiji kang dumadi. Dene pratikele mangkene: ing sajrone karon-sih among ulahing swatata, manawa duwe niyat arep nurunake wiji, lan maneh ilafating wiji kang bakal tumiba kurang becik, mangka sajroning ulah swatata sem-ing karsa mau, utawa sajroning karon-sih nalika lagi kadereng kadhesek mempenging karep, iku kasurehna, aja kabacutake, ora-orane iya kagaweya gela utawa kemba, iya iku saran wudharing rahsa kasilipna mangisor utawa kawutahna ing sajabaning lawang. Sarana mangkono adate wiji ora bisa dadi amarga ora bisa katampan ing wadhahe ing wasana gagar utawa sonya.
Subscribe to:
Posts (Atom)