Friday, 2 October 2009

Batik di Hari Ini..........




Batik

Dalam masyarakat yang masih dikukung kelas berdasarkan feodal maka fashion adalah perlu untuk mengindentifikasi kelas-kelas kita di dalam masyarakat. Lalu apakah fenomena Batik sekarang adalah bagian kita dalam melakukan demarkasi pengkelasan atau counter culture fashion dari sesuatu yang mengintervensi kesadaran kolektif seperti budaya baju-baju arab yang dicap sebagai baju Muslim? Ataukah hanya kesadaran identitas ruang dalam nasionalisme kita yang sebatas dangkal ini?.

Kita diajari menghargai Nasionalisme tapi kita hanya diajari bagaimana cara berpakaian bukan cara merebut esensi Nasionalisme. Kita disibukkan identitas tapi hak kapital sesungguhnya terebut ke tangan asing. Batik adalah fenomena budaya, sebuah produk dari salah satu anggota masyarakat tapi itu hanyalah hasil dari suku tertentu bukan hasil dari kerja sebuah bangsa, itu hasil dari sejarah penindasan bukan sejarah pembebasan suatu bangsa. Identitas apakah yang ingin kita umbar-umbarkan?

Batik memang satu kerja budaya tinggi, yang melibatkan sejarah ekonomi kapital bahkan sejarah kebangkitan kesadaran kebangsaan bangsa ini. Konflik SDI (Sarekat Dagang Islam) dengan sindikasi dagang dan pendidikan Tionghoa, THHK lalu terjadilah konflik di Pasar Klewer sehingga pedagang Islam dan pihak keraton sepakat membentuk Rekso Rumekso. Ini konflik kapital, dimana kelak SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam dan salah satu tokoh SDI adalah juragan batik paling kaya di Laweyan bernama Hadji Samanhudi. Inilah batik. Dalam dunia perdagangan batik ketika sistem moneter dikenal di Jawa sejak era tanam paksa 1830, maka dunia kapital mengepung Jawa, pada tahun 1890-an sejarah perdagangan batik sudah mulai kuat, jaringan Cina melawan Jaringan Jawa. Perdagangan ini juga melibatkan cara-cara biadab kapitalisme dalam menekankan laba, agar pembatik tak kabur atau membuang-buang waktu di waktu kerja mereka dirantai. Sistem buruh batik tulis juga saat itu menghina kemanusiaan. Nilai budaya tinggi kerap kali menindas kaum marjinal pada posisi tidak memiliki apa-apa lagi.

Batik juga merupakan bentuk identitas kelas, pada jaman Panembahan Senopati para pembatik diperintahkan untuk membuat motif parang rusak (yang diilhami saat Panembahan Senopati melihat tebing-tebing di pinggir pantai Parangkusumo). Lalu motif Parang Rusak dan juga Parang Barong menjadi motif yang hanya digunakan oleh para Raja. Disinilah kemudian fashion menjadi alat penindas.

Di jaman Orde Baru kita dikenalkan pada pakaian safari, disini pihak penguasa ingin memisahkan dirinya dengan rakyat. Mereka membuat 'silent communication' dengan rakyat lewat cara mereka berpakaian. Maka untuk membuat angker penguasa digunakanlah pakaian safari. Itulah bentuk identitas yang memisahkan elite dengan rakyat?

Lalu ada apa dengan batik? Batik telah menjadi kesadaran ruang nasionalisme, kesadaran banal. Batik hanya digunakan agar kita merasa sama, agar kita merasa solider dalam satu habit. Tapi justru disana tercipta suatu bentuk Hegemoni yang diam bahwa Budaya Jawa lebih unggul, bahwa jenis pakaian diluar Jawa tidak memiliki bentuk peradabannya.

Batik memang warisan budaya dunia, dan kita bangga memakainya tapi bila lantas disana dilakukan mistifikasi atas batik dan mitos-mitos akan keunggulan budaya suku tertentu maka itu sama sekali bukan cara yang bermanfaat. Pada hakikatnya dijaman Konsumerisme ini yang terpenting bukan kesadaran sejarah, tapi kesadaran tontonan. Maka disitulah nilai lebih kapitalisme masuk.

Dan kita memakai batik.

No comments: