Monday, 24 October 2011

Kisah-Kisah Dibalik Sumpah Pemuda

Di pertengahan tahun 1927, suatu saat Sugondo Djojopuspito, Maruto dan Pandu Kartawiguna datang ke kamarnya Mohammad Yamin, mahasiswa RHS (Sekolah Tinggi Hukum), disana Yamin bercerita bahwa ia baru saja bertemu Bung Karno, yang sering diledek pelajar-pelajar Jakarta saat itu sebagai "Bapak Persatuan Dari Bandung". Yamin dengan nada gagah berkata "Bung Karno hanya minta kita bersatu, itu...bagaimana menurut kalian?" Sugondo dengan gayanya yang lembut membalas "Buat saja satu kongres yang menyatakan pemuda bisa bersatu, biar Bung Karno senang" obrolan ini sebenarnya adalah pembuka dari rangkaian kongres yang kelak terjadi, namun jiwa dari obrolan ini sesungguhnya terletak pada ucapan Sjahrir. Saat itu Sjahrir (-kelak jadi Perdana Menteri RI pertama-) masih duduk di AMS (sekarang setingkat SMA). Dia ini pelajar yang badung dan sudah diincar Intel Polisi Belanda, PID. Anak SMA ini sering membuat uraian tentang tulisan-tulisan politis di majalah dinding. Ia menulis revolusi Rusia, ia juga menulis ajakan menentang politik kolonial dan ia cantumkan di majalah dinding, pernah satu saat Sjahrir akan menempelkan tulisan di majalah dinding, Intel Polisi mengejar-ngejar Sjahrir sampai anak itu harus meloncat pagar. Beberapa hari kemudian majalah dinding di AMS Bandung dijaga polisi agar jangan sampai tulisan Sjahrir terpampang disana.

Sjahrir anak muda yang terlalu pintar, ia disenangi oleh mahasiswa-mahasiswa Jakarta yang kerap mengunjungi rumah Bung Karno. Biasanya setelah mengunjungi rumah Bung Karno di Ciateul anak-anak mahasiswa itu nongkrong di Braga disana Sjahrir dengan celana pendeknya menjadi orang yang paling disenangi untuk bicara. Sjahrir ini bukanlah seperti Bung Karno yang selalu menyenangkan lawan bicara, ia memiliki karakter judes dan ceplas ceplos bila bicara tapi Sjahrir sangat cepat dalam mendalami pemaknaan berpikir. Sjahrir yang anak SMA itu berkata "Kalian bicara persatuan, tapi tanpa suatu tindakan penjiwaan terhadap persatuan itu mana bisa?, persatuan itu bukan sekadar konsep untuk menyatukan sebuah perjuangan, tapi ia sebuah gagasan baru, sebuah jaman baru dan lebih besar lagi 'persatuan' itu adalah sebuah peradaban baru. Bisa nggak kalian bikin sebuah peradaban baru bernama Indonesia, sebuah peradaban yang bisa saja seagung 'peradaban yunani', 'peradaban romawi' atau 'peradaban eropa barat' itulah tujuan dari persatuan" kata Sjahrir sambil nyeruput sirop di pinggir jalan Braga.

Omongan Sjahrir inilah yang kena banget di hati Sugondo Djojopuspito, yang perlu mendapatkan perhatian adalah Sugondo ini, dialah pusar segala gerakan sumpah pemuda itu, ia yang mengatur agar PID tidak mengobrak abrik tempat berlangsung sumpah, ia mengakali kepala polisi bahwa kegiatan sumpah pemuda itu sebagai kegiatan debat biasa, dan ia juga mengakali para mahasiswa RHS dan siswa AMS untuk jangan berdebat karena ada kepala polisi, hal ini mempermudah terhadap jalannya kongres, karena kongres sering berlarut-larut karena perdebatan tiada henti. Saat itu terkumpullah 71 pengikrar sumpah pemuda yang diadakan di asrama milik Sie Kok Liong, Cina Semarang yang menjadi pengusaha properti di Jakarta. Sumpah pemuda ditutup oleh permainan biola WR Supratman, yang oleh intel PID dicatat sebagai "Permainan biola kelas jalanan, dan tidak memiliki mutu musik seperti orang Belanda".

Tapi toh kongres berjalan, Sjahrir tidak ikut karena harus ujian sekolah. Bung Karno mungkin tidak hadir karena menganggap itu kegiatan yunior-yuniornya. Bung Karno sudah di dalam lingkaran pemain-pemain pergerakan senior macam HOS Tjokro, Cipto Mangunkusumo, Sam Ratulangie dan Husni Thamrin. Tapi kemudian Bung Karno melonjak gembira saat ia dikabari Yamin bahwa sebuah kongres sudah berlangsung di Jakarta dan menjadi akar dari gerakan-gerakan pemuda selanjutnya. Dan memang anak-anak muda yang ikut dalam kegiatan sumpah pemuda itu banyak yang menjadi pemain politik pada masa revolusi. Yamin ikut Tan Malaka dan tergila-gila dengan kebudayaan Jawa. Sugondo agak tenggelam namanya karena kurang radikal, Maruto menjadi pemimpin banyak pemuda berwatak keras dan menguasai pertempuran-pertempuran di banyak kota di Jawa. Kaum muda menjadi pelopor sejarah.

Kaum muda penggerak sejarah yang besar di tahun 1920-an, adalah anak-anak muda yang dibesarkan pada situasi romantis. Mereka berasal dari kalangan elite, berpendidikan tinggi dan membaca ribuan buku. Mereka manusia berimajinasi dan tidak melandasi sikapnya dengan disiplin yang mendewakan kekerasan tapi ini beda dengan anak-anak muda yang besar di tahun 1940-an, mereka anak-anak jaman yang dibesarkan oleh perang dunia. Dunia mereka keras, dunia mereka penuh banjir darah dan anak-anak muda ini banyak tinggal di barak-barak tentara Jepang. Mereka lahir dari tangsi bukan dari dunia buku. Dunia mereka kokang senjata bukan berdebat dan tertawa.

Generasi 45 inilah yang kemudian menjadi paling mewarnai dalam sejarah. Generasi perang ini membentuk sikap keras. Perdebatan tidak lagi menjadi suasana intelektual perjuangan dalam membentuk dan menganalisa masalah tapi sebuah todongan pistol dan meletakkan bayonet di leher menjadi alat diskusi. Semua tokoh politik yang berusaha memanfaatkan radikalisasi pemuda dalam memainkan senjata ini habis dengan kekerasan, nasib meminta Tan Malaka yang memanfaatkan militansi pengikutnya dengan membentuk Barisan Banteng dan Murba justru dibunuh di Jawa Timur. Amir Sjarifudin yang memanfaatkan Pesindo habis di Boyolali oleh pasukan Gatot Subroto. Pemuda tangsi kemudian menjelma menjadi satu generasi dengan masa yang panjang menguasai Indonesia. Sukarno berusaha memanfaatkan namun juga habis oleh generasi ini.

Sukarno adalah satu-satunya orang yang paham mengarahkan energi muda pada sebuah pertarungan besar. Ia berhasil membangun militansi, membentuk barisan-barisan sukarelawan, membentuk imajinasi perjuangan bersama tentang kebangsaan dan jutaan pemuda disiapkan menyerbu Malaysia. Walaupun kemudian muncul sekelompok anak muda dari kalangan elite yang mengeritisi daya juang Sukarno, mereka dibesarkan alam pikiran Liberal Amerika Serikat dan jelas-jelas anti komunis. Sekelompok anak muda ini menolak mitos Sukarno. Aliran anti Sukarno ini justru bertemu dengan kemarahan barisan perwira nasionalis kolot setelah enam jenderal diculik.

Barisan perwira kolot ini dibesarkan dalam alam pikiran sederhana, berwatak priyayi feodal, pendukung nasionalisme dalam artian sempit dan tidak berdimensi intelektual. Barisan perwira ini yang kemudian pegang negara. Ironisnya barisan perwira yang tidak mengidahkan Intelektualitas ini justru berkompromi dengan barisan mahasiswa kritis anti Sukarno lalu terjadilah 'Monsterverbond' persekutuan jahat dalam penggulingan Sukarno. Monsterverbond yang hanya berlangsung sesaat setelah itu dikoreksi pada tahun 1974 saat peristiwa Malari.

Suharto pusar dari barisan perwira ini menghancurkan gerakan muda. Awalnya ia menghabiskan gerakan paling lemah dalam dinamika masyarakat yaitu : Gerakan perempuan, lalu Suharto menghantam gerakan muda. pertama kali dihancurkan Gerakan Pemuda Rakyat. Gerwani dan Pemuda Rakyat diibliskan oleh kelompok ini untuk masuk dan ikut bertanggung jawab dalam peristiwa penembakan enam jenderal. Lalu Suharto menggiring mahasiswa mendukung dia. Gerakan pemuda oleh Suharto dimasukkan ke dalam sistem. Semua masyarakat harus masuk dalam sistem formal dimana seluruh saluran sistem formal masuk ke dalam lingkaran kekuasaan yang berpusat pada Suharto.

Formalitas ala Suhartorian inilah yang kemudian menghancurkan seluruh jiwa dari dinamika gerakan pemuda. Kaum muda gagal memahami sistem tapi juga selalu merasa senang berada diluar sistem. Anehnya kaum yang diluar sistem diam-diam mengagumi kelompok di dalam sistem. Fenomena aktivis yang berbalik menjadi pemuja kekuasaan adalah fenomena umum yang dilahirkan dari sistem masyarakat Suhartorian.

Formalitas menjadi segalanya. Orang menganggap berjuang harus masuk ke dalam sistem : Menjadi bagian Partai Politik resmi, Menjadi bagian dari parlemen dan menjadi bagian dari kekuasaan yang menyeluruh. Mereka lupa bahwa tanpa masuk sistem-pun mereka bisa merubah sejarah. Gerakan muda menjadi sebuah arus besar-besaran untuk masuk sistem bahkan kerap menjadi pelacur bagi kekuasaan. Himpunan-Himpunan Mahasiswa hanya dijadikan alat untuk mempermudah karir bagi mereka, mereka memperluas jaringan untuk dipersiapkan masuk ke dalam sistem itu. Setelah masuk ke dalam sistem mereka main proyek dan menjadi makelar anggaran lalu menjadi pelobi untuk melanggengkan sistem yang rusak.

Konstitusional kita dikelabui seakan-akan seluruhnya bergerak dalam satu sistem yang sejatinya adalah mengarah pada kekuasaan. Baik kekuasaan ketua partai atau kekuasaan para pemodal. Selama arah pikiran kita terpaku pada arus sistem itu sampai kiamat pun Indonesia tidak akan berubah. Kita perlu gerakan-gerakan muda yang memancing agar sistem ini hancur, Sistem Suhartorian.

ANTON

No comments: