Saturday, 22 October 2011

Cerita Tentang Hamengkubuwono VIII



Kisah Humanis Dari Yogyakarta : Tentang Sri Sultan HB VIII (Ayah Sri Sultan HB IX) mempersiapkan anaknya untuk menjadi pemimpin bangsa.

TIDAK sebagaimana tokoh dari dinasti Mataram yang
lain, nama Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (Sultan HB VIII) memang terasa kurang bergaung di Bumi Nusantara, bahkan masyarakat yang tinggal di Yogya sekalipun.

Popularitas Sultan HB VIII memang tidak seperti Panembahan Senapati,
Sultan Agung, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I), Pangeran Diponegoro dan Sultan Hamengkubuwono IX. Namun, jika kita mau mencermati sejarah Yogyakarta menjelang masa-masa terakhir penjajahan Belanda di Nusantara ini, peran HB VIII laksana sepercik api lentera di kegelapan malam yang bias cahayanya mampu menembus dinding siti hinggil dan benteng keraton hingga menjangkau sudut-sudut dunia.

Visi global telah berkembang di lingkungan istana Mataram meski tanpa perumusan yang rumit, yang memusingkan kepala.Sultan HB VIII yang saat itu masih berkedudukan sebagai putramahkota sadar betul akan perlunya pendidikan bagi putra-putranya dalam rangka
menghadapi perkembangan dan perubahan zaman. Persiapan awal untuk membuktikan keyakinannya dilakukan dengan tindakan yang mengejutkan banyak pihak. KRAy. Adipati Anom, sang permaisuri, "dikebonke" (dipindahkan keluar keraton) dengan alasan yang tidak diketahui oleh kerabat kraton, tetapi kedudukan sebagai garwa padmi tak pernah dicabut, bahkan segala atribut berupa pakaian dan payung kebesaran seorang permaisuri tetap disertakan.

Langkah kontroversi sang putra mahkota itu tidak berhenti, Dorodjatun, putranya yang masih berusia 4 tahun-pun segera
'disingkirkan' dari kraton untuk kost pada keluarga Belanda. Di sini,
pangeran kecil itu dibiasakan hidup mandiri, jauh dari sikap manja dan
bermalas-malas, adanya hanya disiplin, kerja keras dan spartan.
Rupanya calon Sultan Yogya itu sadar benar bahwa orang yang telanjur kalingan suka, ilang prayitnane(terbuai oleh kesenangan, akan hilang kewaspadaan). Itulah sebabnya, Sultan HB VIII sengaja memisahkan kost putra-putranya dan tidak menyertakan inang-pengasuh ataupun abdi panakawan untuk menemani putrandanya yang sedang kost, meski kenyataannya Dorodjatun sering
menangis saat akan kembali ke kost sehabis berlibur di keraton.


Pesan yang sangat bermakna dari Sultan HB VIII adalah saat Dorodjatunakan ke Holland bersama kakaknya, BRM Tinggarto (nama kecil GBPH Prabuningrat) untuk kuliah di Universitas Leiden: "Selama di Negeri Belanda, buka pintu hatimu seluas-luasnya. Berupayalah agar kau benar-benar menyelami sifat-sifat orang Belanda, karena di masa depan kau selalu akan berurusan dengan mereka".

Sejarah membuktikan bahwa buah pendidikan Sultan HB VIII mulai tampakpada pribadi Dorodjatun saat dirinya akan dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono IX. Pembahasan kontrak politik dengan ahli diplomasi Belanda, Dr Lucien Adams, harus ia jalani secara maraton selama empat bulan berturut-turut tanpa membuahkan kesepakatan. Ia memang harus benar-benar teliti dan hati-hati, karena jika salah langkah, implikasinya akan sangat berat, karena menyangkut nasib rakyat negeri Mataram, Yogyakarta.

Dorodjatun adalah salah satu contoh putra terbaik bangsa yang
mengenyam pendidikan Barat tanpa harus kehilangan pribadinya sebagai orang Indonesia atau orang Jawa. Ia telah berhasil membuktikan bahwa belajar pada orang asing tidak berarti menjadi antek-antek, begundhal atau gedibalbangsa asing, tetapi justru sebaliknya, dengan mengenal sifat-sifat bangsa asing, dirinya akan lebih mudah menghadapi bangsa tersebut demi
keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya.


Sifat itu terasa sangat bertolak belakang dengan keadaan sekarang,
dimana banyak ilmuwan melawat ke luar negeri untuk belajar ilmu
pengetahuan, teknologi, bahasa, budaya dan cara hidup orang asing.
Tetapi pada akhirnya mereka justru terhanyut menjadi agen atau
perpanjangan tangan orang asing untuk mengelabuhi bangsa sendiri.
Kebanggaan pada hal-hal yang berbau asing (Luar Negeri, Internasional,
Global) telah mengikis jatidiri sehingga tanpa disadari mereka terjebak
menjadi kacung-kacung imperialis, dimana kepandaian yang diperolehnya
justru digunakan untuk membuka pintu-pintu penjajahan baru dengan cara
menjual aset negara tanpa mempedulikan bahwa ulahnya menyengsarakan
rakyat banyak.

Sikap patriotis seorang ksatria Mataram hasil didikan Sultan HB VIII
benar-benar mengagumkan dan membanggakan. Setelah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, keraton yang dicurigai sebagai pusat gerilya dikepung tentara Belanda di bawah pimpinan Kolonel Van Langen dan ajudannya Kapten De Jonge dengan pasukan tank dan panser yang moncongnya mengarah ke gerbang Keben (Kemandungan Lor).

Sultan HB IX yang juga menyandang gelar Mayor Jenderal Tituler dari negeri Belanda itu menghalau dengan kata yang tegas dan penuh wibawa: "Kalau tuan-tuan ingin memperlakukan (mengobrak-abrik) Keraton seperti Kepatihan, lebih baik bunuhlah saya".

Di era awal kemerdekaan Indonesia, Sultan HB IX dengan jiwa besarnya telah menolak kedudukan Wali Negara sebagaimana yang ditawarkan Belanda. Suatu keputusan untuk 'mengasuh' Indonesia yang masih 'bayi' dengan segala risiko itu justru dipilihnya. Perannya sebagai 'Proklamator ke-2' saat Soekarno-Hatta sedang menyingkir ke Bukittinggi, menjadi bukti bahwa Sultan HB IX adalah benar-benar patriot sejati, benteng terakhir negeri ini.

Akankan pendidikan kita mampu berbuat seperti suksesnya Sultan HB
VIII dalam menyiapkan putranya menjadi seorang pemimpin besar dan
manusia berjiwa besar yang rela mempertaruhkan segala yang dimiliki
untuk kepentingan negerinya? Atau sebaliknya, kita justru akan
menjadikan anak-didik kita sebagai pialang/ broker/makelar untuk
menguras aset negara demi kepentingan pribadi dan orang asing?

Jawabnya akan ditemukan setelah kita mencermati pendidikan di sekitar kita yang rasa-rasanya lebih banyak didikte oleh pasar dan penanam modal.Meski saat ini telah banyak bertebaran sekolah bersertifikasi ISO, juga sekolah dengan kualifikasi SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), bukan jaminan bahwa sekolah tersebut akan menghasilkan manusia berjiwa besar yang berani menghadapi tantangan zaman demi membela bangsanya.

Konsep dasar yang dipesankan barangkali memang berbeda. Sultan HB VIII berpesan pada putrandanya supaya di kemudian hari ia mampu menghadapi dan mengatasi penjajah. Apakah? pesan internasionalisasi pendidikan Indonesia sekarang apakah juga demikian? Jangan-jangan pesan itu hanya sebatas agar anak-anak kita ikut mengenyam keuntungan dari kolonialisme modern yang tengah nge-trend di masyarakat kita, alias kita mendidik mereka menjadi manusia oportunis.
Yang lebih ironis lagi, para fasilitator internasionalisasi pendidikan kita kadang over-PD, sekan-akan yang ia bawa adalah segala-galanya bagi pendidikan Indonesia. Sikapnya cenderung jumawa, jalannya tegap, dada membusung, dagu mendongak dan wajahnya menengadah seakan-akan dirinya adalah manusia klas internasional, jagat-semesta.
Bicaranya dengan bahasa Inggris logat Jawa yang di-native-native-kan. Mereka lupa bahawa di negeri aslinya sana, bukan hanya golongan orang pintar yang berbahasa Inggris, pencoleng dan orang bloon-pun juga fasih berbahasa Inggris.

Mereka tidak sadar bahwa pada dasarnya kita sedang diolah menjadi follower yang nantinya akan diperankan sebagai bangsa yang tak lebih dari underbow sang funding country.Kalau mau menjadi bangsa yang bermartabat, jangan menyediakan diri untuk dijajah. Untuk menyikapi kemajuan, aspek global dan aspek mental kepribadian harus bangun secara imbang. Sri Sultan HB VIII adalah salah satu contoh seorang bapak/pendidik yang berhasil, dan Sri Sultan HB IX adalah salah satu contoh anak didik yang cemerlang, meskipun batal menjadi Sarjana karena tugas akhirnya dirampas Belanda. Tentu buah keberhasilan pendidikan seperti itu akan membanggakan dan membahagiakan kita semua, terlebih bagi para guru.

Jangan malu untuk mengakui bahwa gelar akademis kita seakan menjadi tak bermakna dibanding pengorbanan beliau. Juga tak perlu merasa rendah diri, karena kita takut meniru kerasnya pendidikan oleh Sultan HB VIII itu. Tidak mengapa, toh derajad kita memang hanya sebagai rakyat jelata; wong pandh? galeng, pidak pedarakan, sedangkan dua Sultan tersebut adalah trahing kesuma, rembesing madu, wijiling adana tapa, yang tentu tidak akan nangis gulung koming hanya gara-gara lapar atau karena tidak disanjung orang.

( SKH Kedaulatan Rakyat Rubrik Adiluhung)

Drs Anang Prawoto, Guru SMKN 2 Depok (STM Pembangunan) Mrican

No comments: