Saturday, 22 October 2011

Kode-Kode Kultural


Jepang secara tradisional adalah peminum teh, tetapi mengapa sekarang hampir 80 % orang Jepang juga peminum kopi? Pada awal tahun 1970-an kopi di Jepang hanya dihidangkan di hotel-hotel berbintang untuk konsumsi para tamu asing yang menginap. Nestle melihat peluang ini dengan bermaksud membuat gerai-gerai kopi di luar hotel-hotel berbintang itu.

Tetapi yang terjadi adalah gagal total. Nestle gagal merebut pasar di Jepang. Kemudian dilakukanlah penelitian dan Nestle melakukan konsultasi dengan seorang psikiater AS keturunan Perancis, Coltraire. Kesimpulan yang akhirnya didapat adalah, kegagalan Nestle memasarkan produk kopi pada masyarakat Jepang saat itu adalah dikarenakan dalam otak masyarakat Jepang belum ter-implant tentang kopi. Kode-kode kultural (cultural codes) tentang kopi belum ada dalam masyarakat Jepang.

Disarankan oleh Coltraire supaya Nestle melakukan implant rasa kopi di otak masyarakat Jepang dengan memasukkannya dalam permen atau biskuit-biskuit yang dibuat berasa kopi. Maka selama sepuluh tahun beredarlah permen dan biskuit yang berasa kopi itu ke anak-anak Jepang dan kaum mudanya Hasilnya setelah sepuluh tahun adalah: ketika Starbuck. -gerai kopi terkenal- membuka gerai pertamanya di Tokyo, dalam waktu singkat telah dibuka cabang-cabang berikutnya di berbagai kota di Jepang.

Memang betul peran kode-kode kultural itu dalam ikut menentukan suksesnya Starbuck menguasai outlet gerai kopi di Jepang, tetapi yang diperlukan pertanyaan di sini adalah, jika yang buka gerai kopi ini adalah Kang Giman yang belum mempunyai nama sekuat dan se-prestis Starbuck, apakah ini juga akan mendorong sedemikian cepatnya masyarakat Jepang menjadi peminum kopi?

(Dikutip : Dari sumber lain).

No comments: