Monday, 24 October 2011

Sepak Bola Kita


Adakah yang lebih indah dari menonton bola sebagai acara keluarga yang damai, kita bisa membawa anak-anak kita ke stadion, memberi kegembiraan di akhir pekan dan menjadikan sepakbola sebagai bagian budaya kita dimana nilai-nilainya memperkaya penafsiran filosofis kita.

Tapi apa nyana, realitas sepakbola kita sekarang jatuh di tangan birokrat yang korup, anarkisme, tergantung pada anggaran dan hasilnya adalah 'sepakbola yang bodoh'. Stupid Football ala Indonesia ini bukan hanya dilihat sebagai bagian dari bangkrutnya manajemen PSSI, hancurnya jaringan klub-klub dan tidak disiplinnya seluruh elemen sepakbola yang patuh pada peraturan Internasional FIFA. Tapi dari sumber dari segala sumber kehancuran sepakbola kita adalah 'Birokratisasi Sepakbola'.

Di Jaman Bung Karno, Sepakbola kita adalah bagian dari gemuruh nasionalisme yang luar biasa. Sepakbola kita boleh dikatakan terbaik di Asia. Kita bisa menahan Sovjet Uni 0-0 tahun 1956 dan menjadi headline dikoran-koran. Atang Witarsa, Danu dan Ramang menjadi idola dimana-mana, Pelatih Indonesia Toni Pogacnik berkata setelah pertandingan "Suatu saat apabila sepakbola Indonesia dibina secara baik akan menjadi sepakbola terkuat di dunia, ini akan menyamai Brasil atau Sovjet.

Tapi setelah itu malah sepakbola kita mengalami kehancuran dari waktu ke waktu. Padahal persyaratan sepakbola kita untuk menjadi nomor satu dunia sudah memenuhi syarat. : Bangsa ini adalah bangsa yang gila bola, penduduknya hampir 300 juta, dan anak-anaknya memiliki talenta yang luar biasa terhadap permainan bola. Tapi kenapa hancur? jawabnya adalah : Politik.

Politik telah menjadi racun bagi sepakbola kita, di jaman Suharto sepakbola kita masih maju, masih ada Ronny Pattinasarani, Iswadi Idris, Robby Darwis atau Herry Kiswanto. Bahkan pada Pra Piala Dunia 1986 kita sempat mengejutkan dunia dengan tim Bambang Nurdiansjah dkk. Namun semua itu tidak akan berkembang baik karena kunci penting evolusi bola yaitu : Klub diakuisisi oleh negara. Dulu ada yang namanya Galatama, sebuah liga semi Profesional yang berisi klub-klub dan dibiayai oleh pemodal. Mereka bisa mengambil pemain asing, yang terkenal dulu mengambil pemain asing adalah Niac Mitra dengan membon Fandi Ahmad dari Singapura. Jaman itu sangat marak, ada Kramayudha Tiga Berlian, Semen Padang, Pelita, Arseto, Gelora Dewata dan banyak lagi. Tapi kemudian setelah tahun 1983 gegap gempita sepakbola klub pudar, ada tema besar dalam sepakbola kita memajukan klub amatir yang dikelola negara melalui anggaran pemerintah daerah. Divisi yang diminati bernama Perserikatan dimana anggotanya adalah klub-klub yang dibiayai Pemerintah Daerah. Negara secara otomatis menjadi penyelenggara kompetisi, semua bergantung pada negara, Pemain-pemain kehilangan kesejahteraannya, yang sejahtera para pengurus yang memiliki akses kepada anggaran pemerintah. Hal ini memang seakan-akan sudah menjadi desain Orde Baru bahwa segala hal yang tumbuh di dalam masyarakat harus memiliki benihnya dari negara, masyarakat dilarang tumbuh. Klub-klub yang dibiayai pemodal dan masyarakat dimatikan.

Sepakbola yang juga merupakan bagian dari kampanye terselubung kekuasaan menjadi sebuah proyek mengamankan jalannya kekuasaan. Kantong-kantong perkembangan sepakbola menjadi kerdil karena masuknya orang-orang yang tidak memahami bagaimana olahraga sepakbola bekerja, bagaimana sportifitas dikembangkan dan bagaimana sebuah keseluruhan jaringan yang bekerja menjadikan sepakbola hidup mulai dari penonton sampai pengurus menjadi bagian dari anarkisme yang hanya bisa dikendalikan oleh kekuasaan negara.

Padahal sepakbola yang baik harus memiliki sistem yang baik dan sistem itu hanya bisa tumbuh dari kesadaran masyarakat, klub-klub sepakbola harus dibiayai sendiri oleh masyarakat, mereka bukan saja bertanding untuk sebuah liga tapi juga menjadi agen kesadaran serta penumbuhan generasi baru pemain bola. Dari kultur sepakbola klub yang mandiri dan berjarak dengan negara maka bisa tumbuh sepakbola profesional yang memiliki rantai pertumbuhan natural bukan cangkokan.

Memang Rezim Nurdin Halid harus dibongkar dan PSSI harus steril dari kelompok Nurdin, tapi yang menjadi pertanyaan : Yang Salah Nurdin atau Sistem? Bila yang salah adalah sistem maka PSSI akan terjebak seperti kondisi Republik Indonesia dimana orang berteriak Turunkan Suharto tapi Sistem Suhartorian masih tegak berdiri. Nurdin lain akan masuk bila sistem sepakbola kita masih bergantung pada negara. Satu-satunya jalan adalah memberi akses terhadap klub sepakbola membangun dirinya sendiri. Dan menghancurkan peran negara dalam perkembangan sepakbola dengan menghindari klub-klub menjadi pengemis anggaran pemerintah yang lebih baik diberikan kepada rakyat miskin dan penyejahteraannya. Biarlah klub mendapat dana lewat kompetisi dan pendanaan publik bukan merampok duit rakyat.

Kita bermimpi suatu saat Klub kita menjadi kaya, Persib atau Persija bisa menjual sahamnya di Pasar Modal, dengan dana saham bisa dibeli pemain-pemain terbaik dari Eropa atau Amerika Latin, bukan pemain kelas tiga yang pengangguran di negaranya atau pemain dunia tapi sudah berusia diatas 40 tahun. Dengan membeli pemain asing dan didukung dana kuat dari masyarakat maka datangnya pemain asing akan menumbuhkan kultur sepakbola yang profesional, para pelatih kelas dunia datang dan kompetisi liga semakin menarik. Disini negara hanya sebatas mengamankan pertandingan sepakbola saja, bukan menjadi diktator atas sepakbola dan keluarga-keluarga Indonesia akan bergembira menonton Torres, Mesut Ozil, Iker Cassilas, David Villa, Thomas Muller atau Puyol bermain di Indonesia.

No comments: