Tuesday 6 December 2011

Politik Pencitraan Dari Masa ke Masa


Politik Pencitraan

Politik pencitraan itu amat perlu dalam komunikasi politik hanya saja kita harus melihat pencitraan kaitannya dengan implikasi yang dialami masyarakat, respon yang timbul sehingga menjadi bagian dari pemikiran, gairah dan tindakan-tindakan politik di kalangan masyarakat umum. Dalam sejarah modern Indonesia politik pencitraan dilakukan dilakukan oleh tiga pemimpin : Sukarno, Suharto dan SBY. Masing-masing memiliki kategori dan tujuan pencitraannya.

Pencitraan Gairah Revolusi Sukarno :

Pada tahun 1920-an Sukarno sudah memilih peci hitam sebagai bagian dari pencitraan kerakyatan, ia menyatukan diri dalam gerakan besar Melayu, bukan gerakan besar Jawa karena ia melihat bahwa Jawa adalah subkultur dari akar Melayu. Mangkanya ia memilih peci. Pemilihan peci ini dilakukan di Bandung ketika ia melihat tukang sate yang telanjang kaki, telanjang dada hanya pakai kolor tapi mengenakan peci. Ia melihat banyak rakyat Djakarta (dulu Batavia) mengenakan peci, peci ini asalnya dari tarbuz yang banyak dikenakan orang Turki, saat itu sedang ramai gerakan muda Kemal Pasya yang mengenakan tarbuz sebagai lambang nasional rakyat Turki.

Tahun 1945 Sukarno memilih baju model safari dengan kantong-kantong ala perwira, ia reka-reka sendiri model baju ini, kelak rakyat mengenalnya model ‘Baju Sukarno’ penggunaan baju ini ia ukur dengan perkembangan suasana batin jaman yang sedang mengalami gejolak revolusi, dalam masyarakat yang kacau, rakyat banyak butuh pegangan, dan satu-satunya pegangan yang bisa dijadikan tuntunan adalah “Ingatan Kolektif” dengan dasar ingatan kolektif inilah Sukarno memerintahkan Sudiro untuk mencari wartawan foto yang tiap hari harus memoto gaya Sukarno, foto-foto ini kemudian dijadikan alat hegemoni untuk terus membangun ingatan kolektif rakyat “ingat Sukarno, ingat revolusi kemerdekaan”.

Pakaian berpotongan safari tanpa pangkat mulai ditinggalkan Sukarno di tahun 1959, ketika Sukarno harus berhadapan pada alam politik baru yaitu : “Mengantisipasi Politik Intervensi Modal Asing” yang sudah disiapkan Ike Eisenhower dalam melakukan okupasi politik terhadap Indonesia apalagi setelah keberhasilan Sukarno merebut Irian Barat, panasnya politik di Vietnam Selatan yang bakal merambat ke Indonesia dan berakibat pada perpecahan wilayah serta tindakan ofensif sekutu Inggris disekitaran wilayah Indonesia. Sukarno melihat hanya ada tiga motor dalam melakukan pemikiran-pemikiran revolusi, yaitu : Dirinya sendiri sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengeluarkan ide-ide revolusi (yang dimulai dari “Pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita” sampai pada Manipol Usdek) –disini ia bertindak sebagai mesin ide, lalu massa rakyat disini Sukarno mengambil massa militan dari PKI yang kemudian dilambangkan dalam peci hitamnya dan motor ketiga adalah Militer, Sukarno memakai baju bergaya militer dengan bintang lima dan tongkat komando untuk menunjukkan siapa yang berkuasa dalam militer, semua kekuatan itu berkumpul di dalam dirinya dengan tujuan besar : “Membebaskan Indonesia dari Politik Intervensi Modal Asing” – Hitung-hitungan Sukarno setelah politik berdikari Indonesia sukses maka Pemilu bisa dilangsungkan sekitar tahun 1975, “Pemilu hanya bisa dilangsungkan ketika rakyat sudah menyadari bahwa “Berdikari” adalah sumber dari segala sumber kesadaran dalam berpolitik. Disini kemudian Sukarno melakukan pencitraan terus menerus untuk menggenjot alam bawah sadar keberanian rakyat Indonesia untuk mempertahankan hak-hak atas modal bangsa (Sumber daya alam, wilayah dan penduduk).

Pencitraan Suharto Untuk Menutup-nutupi kekerasan Politik :

Pencitraan Suharto adalah Pencitraan yang bertujuan untuk menutup-nutupi “Kekerasan Politik dan Pemerintahan Junta Militer yang melingkari dirinya”. Ia menolak memakai baju-baju militer, baju-baju Jenderal resmi untuk membuat kesan Indonesia bukan negara neofasisme, bukan negara yang dipimpin oleh sebarisan Junta Militer.

Secara pribadi Suharto paralel dengan pencitraan, ia memang pendiam dan santun, ia tidak banyak berbicara. Pencitraan ini membuat situasi kekuasaannya menjadi angker dan kekuasaan yang angker secara tidak langsung menjadi motor yang efektif dalam menjalankan kekuasaan baik secara illegal maupun legal.

Pencitraan Bergaya Tontonan

Kepemimpinan SBY lahir dari masyarakat yang gemar menonton, bukan lahir dari masyarakat yang berpikir secara substantif. Doktrinasi masyarakat tontonan ini adalah akibat politik represif Orde Baru, dalam politik orde baru masyarakat tidak pernah sebagai pihak yang partisipatif, tapi sebagai pihak yang tidak terlibat dalam situasi politik keseharian, politik dan kebijakannya adalah milik kaum dewa yang berarti : Pejabat bersafari.

Dalam suasana yang frustrasi ini di tahun 1980-1998 masyarakat melarikan diri ke dalam dunia tontonan, ia bisa merasa jadi bagian ketika ia menonton sesuatu, pernah masyarakat melibatkan secara aktif dalam situasi politik keseharian tapi itu pada saat kerusuhan besar 1998, tapi selepas reformasi 1998 masyarakat kembali menjadi penonton.

Ketika masyarakat gemar menonton, maka yang muncul adalah tingkah politisi dan pejabat yang harus bisa melakukan akting politik di depan masyarakat, akting politik inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai : Bahasa Komunikasi Politik Pencitraan. SBY melakukan akting politik dengan lulus S-3 pada IPB untuk menghantam Megawati yang drop out dari IPB, tapi lucunya kemudian SBY dibodohi oleh orang yang mengenalkan padi super toy dan blue energy. SBY melakukan pencitraan politik berlebihan pada iklan yang mirip Mie Instan sehingga memancing politisi lain mencitrakan diri. Apabila dulu alat komunikasi politik adalah melakukan pendidikan kader-kader yang dilakukan agen-agen politik, atau di masa Orde Baru melakukan penataran P4 untuk melakukan doktrinasi atas pembenaran-pembenaran kekuasaan Suharto, maka di masa SBY komunikasi politik dan pencitraannya dilakukan dengan cara amat instan yaitu dengan masang spanduk, baliho-baliho dan jargon-jargon yang tak jelas, penyakit ini kemudian meluas menjadi penyakit pencitraan yang diidap para penguasa.

Korban politik pencitraan yang merusak ini ternyata juga dialami Dahlan Iskan entah ia sadar atau tidak, pada awalnya ia mempesona rakyat dengan kemampuannya bertahan hidup, rakyat terpesona dengan daya juangnya yang keras, ia hanya lulusan SMA tapi dengan kemauan baja ia berhasil memiliki perusahaan media nasional terbesar kedua setelah KOMPAS. Pada titik ini Dahlan Iskan menemui otensitasnya, lalu Dahlan Iskan menjabat direksi PLN, belum ditemukan titik penting dalam kerjanya di PLN ia kemudian didapuk menjadi menteri BUMN. Lalu Dahlan Iskan melakukan sidak dan sampai-sampai ingin naik ke atap kereta rel listrik di depan wartawan. Apa yang ia lakukan secara sadar atau tak sadar adalah bagian pencitraan, rakyat senang dan bertepuk tangan melihat kabar itu dan membanding-bandingkan dengan pejabat lain yang tak memiliki daya sensitifitasnya terhadap kesusahan rakyat. – Padahal keinginan naik atap kereta rel listrik ini adalah bentuk pelecehan terhadap hukum transportasi PJKA dan Lalu Lintas Publik-.

Dalam politik pencitraan substansi tidak lagi menjadi penting, karena ketika Dahlan Iskan melakukan sidak, kesusahan dialami ribuan orang, kebijakan terhadap sistem lalu lintas dengan mengorbankan masyarakat pengguna KRL jadi tak terlihat, padahal kebijakan ini amat tak adil bagi kepentingan masyarakat umum.

Ciri umum dalam politik pencitraan bergaya SBY adalah “Mengaburkan substansi masalah ke dalam pesona-pesona personal sehingga masalah itu tidak dapat terurai dengan jelas orang dikaburkan pada titik penting persoalan”.

Semoga di tahun 2014 Politik Pencitraan berdasarkan tontonan dan artifisial-artifisial ini sudah bisa dihentikan. Sayang bila bangsa besar ini larut ke dalam dunia artifisial politik tanpa ujung.

No comments: