Tuesday 18 December 2007

Sejenak Bercerita Soal Solo

SEJENAK BERCERITA SOAL SOLO

Di Kompas ada laporan yang menarik tentang Masjid dan Gereka Kristen Jawa (GKJ) yang berdiri berdampingan. Saya bukan saja tahu letak masjid dan gereja itu tapi memang sering shalat di masjid Al Hikmah itu, waktu saya sekolah di Solo. Saya pernah sekolah di kota itu selama dua tahun (ini karena saya sering pindah sekolah karena nggak naik kelas), dan saya perhatikan memang orang Solo itu dipersatukan oleh kultur bukan kotak-kotak agama.

Bukan hal yang aneh satu keluarga di Solo, agamanya bisa berbeda-beda. Contohnya keluarga saya. Kakek saya Katolik (-walaupun menjelang wafatnya balik ke Islam lagi-), Nenek saya Islam, Paman saya ada yang Kristen, ada yang Katolik dan banyak pula yang Islam. Memang pernah ada benturan terhadap perbedaan agama ini karena salah seorang nenek (adik kandung kakek) saya jadi tokoh Muhammadiyah dari garis keras saat yang fight dengan PKI tatkala PKI masih jaya, sampai-sampai Paman (anak nenek saya) pernah dikeroyok Pemuda Rakyat-nya PKI, namun saat pembantaian PKI karena pancingan RPKAD masuk, paman saya dan beberapa temannya melindungi agar para pemuda rakyat yang pernah berseteru dengannya tidak dibantai oleh orang-orangnya RPKAD baik tentara maupun ormas sipil. Cerita pembantaian orang-orang PKI ini menjadi cerita paling mengerikan dalam sejarah orang-orang Solo, mereka berniat menguburkannya dalam-dalam dan enggan membahasnya dikemudian hari, karena peristiwa inilah saudara kandung bisa saling membantai, dan ini menyalahi harmonisasi Jawa, disitulah langit kelam tiba di Solo dan Batara Kala memakan matahari. Sungai-sungai penuh dengan mayat. Setelah banjir besar 1966 di Solo, saling serang dan kekejaman itu menghilang juga, pelan-pelan orang Solo membangun kembali susunan sosialnya yang rukun, jauh dari provokasi.

Salah seorang adik kakek saya pernah di penjara oleh pemerintahan Sukarno karena tersangkut politik Masyumi, sementara kakek saya adalah Sukarnois sejati dan pembenci Suharto tulen tapi pilihan politiknya Murba. Kekerasan garis agama yang dibuat salah seorang nenek saya yang Muhammadiyah tak lepas dari kondisi politik saat itu, jadi kebawa-bawa sampai masalah syari’at yang kaku, namun belakangan ya kendur juga karena toh, darah lebih kental dari air. Faktor saudara tidak terpisah karena agama. Yang justru sering bikin ribut masalah warisan hahahahaha......inilah mengapa landasan ekonomi sebenarnya jauh lebih penting dari bangunan atas yaitu : agama.

Orang Solo (-dalam hal ini juga Yogya) sangat bangga dengan kebudayaannya, Solo-Yogya disebut juga memiliki kebudayaan inti Jawa. Anak-anak Solo sejak dini, bahkan sampai detik ini masih diajari bahasa Jawa halus/Kromo Inggil, mereka masih bisa bicara dengan orang melalui strata bahasa yang lumayan rumit itu- menurut saya dari seluruh langgam bahasa Jawa, logat Solo-lah yang paling enak ayunannya – tapi dibalik kehalusan bahasa orang Solo paling lengkap perbendaharaan pisuhan (bahasa umpatan).

Orang Solo juga terbuka dengan kebudayaan luar, sekitar tahun 1990-an cara bergaul anak mudanya sudah ‘Jakarta’ dari bahasa radio yang digunakan (dulu jamannya radio swasta, bukan televisi swasta) tapi bicaranya ya tetep Jawa. Acara-acara pentas seni diadakan menurut kaidah acara yang ‘Jawa’ banget, seperti : Mocopatan, Ketoprak Lucu, Wayang Orang Mbeling, Lomba Ndalang, dan lagu-lagu campursari (dulu bukan jamannya Manthous atau Didi Kempot, tapi nyanyikan lagunya Ki Nartho Sabdo). Saat saya pernah ngurusin acara Band Sekolah, dulu yang beken lagu-lagunya Guns N’Roses, kayak knocking heaven door atau .............. trus lagunya Motley Crue, Skid Row dan banyak grup metal lainnya. Eh, vokalisnya setelah manggung nyanyi-nyanyi lagu Metal yang gagah itu, di lorong sekolah bersiul-siul sambil nyanyi “Dondong opo salak, duku ilik-ilik”.....

Teater-teater rakyat banyak hidup di Solo dan sekitarnya. Saya pernah menghadiri ulang tahun teman saya di sebuah daerah pinggiran Solo, kalau di Jakarta kan...ulang tahun biasanya ada acara nge-band, atawa disko, di kampung teman saya acara ulang tahun itu diisi lomba baca puisi dan mocopatan. Orang Solo juga dikenal menyukai sejarah, mereka bangga menjadi turunan Joko Tingkir, entah benar atau saya di ‘apusi’ (dibohongi) sama temen saya, waktu saya berjalan-jalan ke daerah Pajang (tenggara Solo) saya melihat sebuah perahu besar, kata teman saya itu perahu-nya Joko Tingkir yang digunakan untuk menyeberangi Bengawan Solo dan berkelahi dengan empat puluh buaya. Saya pernah mendatangi sebuah tobong (panggung ketoprak) Siswo Budhoyo di lapangan Mangkunegaran dan memperhatikan kehidupan disana, saya banyak bicara dengan ‘anak-anak panggung’ mereka tidak sekolah dan ikut berkeliling ketoprak dari Solo sampai Surabaya menyinggahi kota-kota kecil. Dari sinilah kemudian lahir ‘Basuki, Timbul atau Gogon’. Kehidupan anak-anak panggung itu sungguh menyedihkan namun mereka menikmati. Saya juga melihat seorang dewasa yang selalu menjadi Raja, tapi siangnya jualan keris di pinggir alun-alun utara. Kehidupan teater lekat dengan kota ini, saya rasa kalau kehidupan ini diangkat ke Film akan sungguh menarik. Budaya feodal hampir kikis, rumah-rumah Pangeran jaman lama, sudah lama dimakan rayap, para Pangeran yang tidak mampu mengikuti perkembangan jaman terpuruk dalam kemiskinan, sementara ada juga yang kerap berjudi.

Dengan masalah perbedaan agama, orang Solo juga terlihat santai dan tidak pernah menjadi gangguan dalam hubungannya dengan masyarakat. Memang secara sekilas kita melihat akhir-akhir ini ada kecenderungan di Jakarta saja, masalah homogenisasi satu kebenaran yang sifatnya subyektif dan seakan-akan meniadakan pluralitas. Begitu juga di Yogyakarta sudah banyak keluhan tentang berkembangnya anti pluralitas. Tapi saya rasa di Solo, pluralisme itu kuat sekali. Orang Solo itu lebih tertarik persoalan politik dan ideologi ketimbang kisruh agama atau masalah ekonomi, inilah sebabnya kenapa Sukarno selalu memenangkan hati orang Solo ketimbang Suharto. Lebih kuat PDIP ketimbang Golkar atau PPP.

Saya juga pernah Shalat Jum’at di Kepatihan, Solo tapi khotbahnya bahasa Arab. Pake cara kuno. Sementara di Gereja-Gereja khotbah –kata teman saya- banyak menggunakan bahasa Jawa. Namun ya biar khotbahnya pake bahasa Arab tapi yang datang jum’atan juga penuh. Kalau sudah terbiasa dengan gaya Jakarta yang cepat dan diburu waktu, di Solo seakan waktu berhenti, orang Solo tidak mau diburu waktu prinsip ‘alon-alon waton kelakon’ merupakan pegangan paling sakral orang Solo. Saling mencontoh juga sangat kentara, misalnya guru agama Islam saya pernah bilang ke anak muridnya : Lihat itu saudara-saudara kristiani kita, kalau bawa kitab suci selalu didekap di dada, sementara kalian membawa kitab Al Qur’an sembarangan saja, hormati kitab suci kita...dengan menghormati maka nilai-nilai baik pada awalnya langsung teresap...” sebuah sikap saling mencontoh yang baik. Sayang guru tua itu sudah lama meninggal.

ANTON

1 comment:

Erald Raka said...

Semoga prinsip kebersamaan bisa selalu diterima dimanapun juga...Tuhan tidak membeda-bedakan umatnya, mengapa kita harus membeda-bedakan?bukannya perbedaan itulah yang membuat kehidupan menjadi indah..

terimakasih atas setiap tulisan yang anda torehkan mas, demi-sedikit menambah pengetahuan saya yang amat sedikit ini.
Matur suwun mas