Thursday 24 September 2009
Ellyas Pical
Ellyas Pical
Saya ingat kalau nggak salah tahun 1985, waktu itu saya masih duduk di bangku SD kalau nggak salah kelas 4 atau 5, waktu itu nama Ellyas Pical atau kerap disapa Elly Pical, sungguh menjadi buah bibbir di mana2, pada saat itu Elly Pical berusaha merebut gelar juara dunia versi badan tinju dunia IBF, sekitar awal mei-lah kalau nggak salah, saat itu sebagai anak kecil saya sangat bangga melihat petinju Indonesia bisa mengalahkan petinju luar negeri dan meraih gelar paling terhormat. Euphoria terhadap Elly Pical membangkitkan semangat berolahraga bahkan mendorong semangat nasionalisme yang luar biasa. Pada saat itu nama Elly Pical separuh dewa, ia dipuja dan disanjung sebagai pahlawan yang telah mengharumkan nama bangsa, dalam ingatan saya waktu itu Elly Pical setelah meng-KO Judo Chun ia dibopong dan mengangkat tangannya sambil berteriak “beta menang…beta menang…!!! dan ada wajah ibunda Elly Pical, mama Ana menangis, juga promotor tinju legendaris Boy Bolang dan Manajer tinju Anton Sihotang.Jutaan mata orang Indonesia menatap kemenangan Ellyas Pical dengan segunung kebanggaan.
Ellyas Pical, seorang pemuda lugu yang lahir dan besar sebagai anak miskin (sebagaimana jutaan anak negeri ini) di Saparua, ia tidak melanjutkan sekolah karena faktor biaya, pekerjaannya tiap hari menyelam untuk mencari mutiara, kemudian ditemukan oleh seorang pencari bakat tinju dan dilatih tinju di Jakarta, singkat cerita jadilah ia petinju dengan hook dan jab tangan kanannya yang sangat kuat.Dan di tahun 1985 puncak kejayaan Ellyas Pical menjadi awal sebuah tragedi anak manusia.
Tahun 2005, 20 tahun setelah peristiwa jatuhnya Judo Chun, Ellyas Pical saya lihat di TV tangannya di borgol mengenakan celana pendek dan digiring ke kantor polisi, dengan kawalan beberapa orang polisi yang wajahnya terlihat bangga seakan-akan telah menangkap penjahat berkaliber besar, dan rusaklah karakter seorang Elly Pical hanya karena beberapa butir ecstasy.
Ada yang salah dengan tragedi itu, jelas…tragedi elly Pical adalah buah dari rusaknya sistem bernegara, buah dari ketidakmampuan bangsa ini menghargai prestasi warga negara, bahkan lebih jauh tragedi Elly Pical adalah tragedi bangsa Indonesia yang memang sudah diakui kebodohannya dalam mengatur negara (ramalan Van Mook 1941). Kasus Elly Pical bukan merupakan sebuah kasus yang unik, tetapi kasus yang sudah lazim terjadi dalam dunia olahraga kita, saya ingat sekitar tahun 1999, saya naik ojek dari pintu timur Senayan menuju ke suatu tempat, tukang ojek yang saya tumpangi berbadan besar, sekitar 180 kiloan dengan vespa bututnya, setelah saya ngobrol-ngobrol dengan tukang ojek itu, ternyata dia adalah mantan atlet angkat berat yang pernah ikut di kejuaraan Asian Games, lalu beberapa temannya seperti atlet-atlet dari cabang atletik malah berdagang rokok kecil-kecilan. Elly dan ratusan mantan atlet kita adalah gambaran bagaimana buruknya bangsa ini menerapkan sistem reward/penghargaan terhadap warga negara.
Di Indonesia adalah suatu hal yang wajar, bahwa yang terkenal dari hasil prestasi atlet adalah pengurusnya bukan atletnya, orang2 yang tidak mengerti olahraga dijadikan pembina hanya karena dia pejabat atau Jenderal, kemudian mereka karena kekuasaan memeras pengusaha, lalu berlakulah sistem suhartorian dalam melakukan politik olahraga, Pembina tersebut membangun jaringan dari kelompoknya dan ditempatkan sebagai barisan pengurus yang latar belakang pengetahuannya tentang olahraga adalah NOL, yang penting bisa membentengi kekuasaan sang pejabat itu di pengurusan cabang olahraga atau organisasi induk olahraga. Bagi pejabat/jenderal yang penting adalah kekuasaan tak peduli prestasi olahraga jeblok bahkan memalukan yang membangkitkan gairah mereka adalah “saya berkuasa, elu mau apa” dan inilah karakter manusia Indonesia sesunggunnya yang belum berhasil dirubah mentalitasnya.
Ellyas Pical diluar kemungkinan kasus praduga tak bersalah dalam jual beli ecstasy, jelas ia bekerja sebagai Satpam karena faktor ekonomi, dan ini sangat tragis seseorang yang sudah memiliki prestasi besar hanya dihargai menjadi satpam. Sistem penghargaan berupa parameter-parameter prestasi tidaklah berlaku di Indonesia, pada masyarakat feodal-primitif seperti Indonesia yang berlaku adalah gelar-gelar kosong, seorang ellyas pical yang tidak tammat SD tentulah tidak berharga dibanding orang yang berpendidikan sampai S3 (walau nggak jelas dari kampus apa), padahal tingkat kesarjanaan orang tersebut tidak memiliki kontribusi terhadap jenis prestasi apapun, banyak sarjana Indonesia hanya bangga dengan gelar tapi tidak pernah baca buku sampai tuntas satupun !!!, apalagi memiliki prestasi. Kemiskinan dan nasib buruk Ellyas Pical jelas merupakan kebodohan bagi seorang manusia yang bermental maling dan masuk menjadi alat institusi negara dengan mudahnya sekali tanda tangan menghasilkan milyaran karena ia pandai mark-up harga, kredit fiktif, manipulasi tender-tender proyek, Kepandaian maling di negeri jauh lebih dihargai ketimbang berkorban keringat, darah dan air mata dengan kejujuran demi kehormatan bangsa. jalan pintas adalah kemudahan di negeri ini dan banyak pintunya, lalu kenapa kita memilih jalan yang terjal, dan inilah logika di negeri yang memang semuanya sudah salah kaprah.
ANTON DJAKARTA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
bernostalgia dengan berita2 masa lalu, mengantarkan aku ke blog ini..membaca 'ellyas pical' mas Anton dan merasakan kegelisahan yang sama terhadap bangsa kita...(semoga banyak mas Anton-2 lainnya)
aq lucy, aq tertarik tw lebih banyak ttg beliau, pak elly. Ada yg tau no pak ellyias pical gk?
big thx utk infonya.
Post a Comment